3.2.1 Meganthropus
Jenis manusia purba ini berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran pada
tahun 1936 dan 1941. Ukuran fisik manusia purba jenis ini serba besar dan bentuknya
tegap. Para ahli kemudian menamai manusia purba jenis ini Meganthropus paleojavanicus yang
artinya manusia raksasa dari Jawa. Diperkirakan makanan manusia jenis ini adalah tumbuhan
dan masa hidupnya pada zaman Pleistosen Awal.
Berdasarkan fosil yang ditemukan, para ahli menduga Meganthropus paleojavanicus
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tulang pipi yang tebal
2) Otot kunyah yang kuat
3) Kening menonjol
4) Memiliki tonjolan belakang yang tajam
5) Tidak memiliki dagu
6) Memiliki perawakan yang tegap
7) Memakan jenis tumbuhan
8) Geraham besar
9) Bentuk muka diduga masih masif
10) Bentuk gigi homonin
11) Permukaan kunyah tajuk terdapat banyak kerut
Fragmen fosil Meganthropus yang ditemukan masih sangat sedikit. Sampai sekarang
belum ditemukan perkakas atau alat-alat yang digunakan oleh Meganthropus. Para ahli
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi keberadaan dan kebudayaan yang ditingalkan. Oleh
karena itu, para ahli masih berbeda pendapat tentang keberadaan Megantropus. Sebagian ahli
menganggap sebagai Pithecanthropus, tetapi ada juga ahli yang menganggapnya sebagai
Australopithecus.
3.2.2 Pithecanthropus
Pithecanthropus erectus (manusia kera berjalan tegak) merupakan manusia purba yang
memiliki persebaran paling luas. Sehingga frakmen yang ditemukan lebih banyak. Fragmen fosil
yang berhasil ditemukan antara lain atap tengkorak, tulang paha, rahang bawah, gigi lepas, dan
tulang kering. Sebagian besar fosil ditemukan di tepi Sungai Bengawan Solo. Berdasarkan fosil
yang ditemukan, para ahli menduga ciri-ciri Pitchecanthropus Erectus sebagai berikut:
1) Tinggi badan sekitar 160 180 cm
2) Volume otak berkisar antara 750 1000 cc
3) Bentuk tubuh dan anggota badan tegap, tetapi tidak setegap meganthropus
4) Alat pengunyah kuat
5) Bentuk geraham besar dengan rahang yang sangat kuat
6) Bentuk tonjolan kening tebal melintang di dahi dari sisi ke sisi
7) Bentuk hidung tebal dan lebar
8) Bagian belakang kepala tampak menonjol menyerupai wanita berkonde
9) Muka menonjol ke depan, dahi miring ke belakang
Sedangkan, hasil budaya Pithecanthropus erectus antara lain:
-Kapak perimbas
-Kapak penetak
-Kapak gengam
-Pahat gengam
-Alat serpih
-Alat-alat tulang
3.2.3 Homo
Hasil penelitian Van Koeningswald menyimpulkan bahwa makhluk yang diberi nama homo ini
memiliki tingkatan lebih tinggi dibanding Pitchecanthropus Erectus dan Meganthropus. Bahkan
manusia purba jenis homo dapat dikatakan sebanding dengan manusia biasa. Di Indonesia
ditemukan tiga jenis fosil homo, yaitu Homo soloensies, Homo wajakensis, dan Homo
florensiensis.
Nama Homo soloensies berarti manusia dari solo. Fosil ini ditemukan oleh von Koeningswald
di daerah Ngandong, tepi Sungai Bengawan Solo antara tahun 1931-1934. Manusia jenis ini
diperkirakan hidup sekitar 900-200 ribu tahun yang lalu.
Ciri-ciri Homo Soloensis:
- Volume otaknya antara 1000 1200 cc
- Tinggi badan antara 130 210 cm
- Berat badan 30-150 kg
- Otot tengkuk mengalami penyusutan
- Muka tidak menonjol ke depan
- Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna
Hasil Budaya Homo Soloensis
- Kapak gengam / Kapak perimbas
- Alat serpih
- Alat-alat tulang
- Alat-alat zaman dahulu
Nama Homo wajakensis berarti manusia dari wajak. Fosil ini ditemukan oleh Eugene Dubois
di Desa Wajak, Tulungagung pada tahun 1889. Manusia purba ini diperkirakan hidup sekitar 40-
25 ribu tahun yang lalu. Menurut Eugene Dubois, Homo wajakensis termasuk ras Australoid dan
bernenek moyang Homo soloensis. Von Koeningswald memasukkan Homo wajakensis dalam
jenis Homo sapiens (manusia cerdas) karena sudah mengenal upacara penguburan.
Pada tahun 2003 para ilmuwan dari Australia dan Indonesia melakukan peggalian di gua Liang
Bua, Flores. Mereka berhasil menemukan fosil tengkorak manusia purba yang memiliki bentuk
mungil atau hobbit. Manusia purba yang ditemukan di Gua Liang Bua tersebut kemudian diberi
nama Homo Floresiensis. Ukuran manusia ini tidak lebih besar dari anak-anak usia lima tahun.
Homo Floresiensis diperkirakan memiliki tinggi badan 100 cm dan berat badan 30 kg. Selain itu,
mereka sudah berjalan tegak dan tidak memiliki dagu. Manusia purba ini hidup di Kepulauan
Flores sekitar 18.000 tahun lalu. Homo floresiensis hidup sezaman dengan gajah-gajah pigmi
(gajah kerdil) dan kadal-kadal raksasa (komodo) di Flores.
Menurut tim ilmuwan yang menemukan fosil tersebut. Homo floresiensi merupakan keturunan
spesies Homo erectus yang hidup di Asia Tenggara sekitar 1 juta tahun lalu. Akibat proses
seleksi alam, tubuh mereka berevolusi menjadi bentuk yang lebih kecil. Hipotesis ini didasarkan
pada penemuan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh Homo erectus di sekitar fosil
Homo floresiensis. Selain itu, di Flores ditemukan fosil stegodon (gajah purba) berukuran kecil.
Penemuan ini semakin menguatkan ipotesis para ilmuwan bahwa banyak makhluk hidup di pulau
ini menyesuaikan diri dengan habitatnya dengan cara menjadi lebih kecil.
Sementara itu, dalam jumlah ilmiah Nature para ilmuwan lan menjelaskan Homo
Floresiensis sebagai spesies baru manusia. Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh para peneliti
dari Universitas Gadjah Mada. Menurut mereka, Homo floresiensis bukan merupakan spesies
baru, melainkan nenek moyang dari orang-orang katai Flores yang menderita
penyakit microcephalia, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil. Sampai sekarang penyakit
tersebut masih ditemukan pada beberapa penduduk yang hidup di sekitar Gua Liang Bua.