Anda di halaman 1dari 4

POLITIK ETIS

Pengertian Politik Etis


Dalam hal ini sebenarnya apakah sih yang dimaksud dengan politik etis..?? Politik etis atau
Politik Balas Budi merupakan suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial
memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik
terhadap politik tanam paksa.

Pelaksanaan Dalam Politik Etis


Dalam perubahan politik ini negeri Belanda membawa pengaruh bagi kebijakan pada negara-
negara jajahan Belanda, termasuk Indonesia Hindia Belanda. Golongan liberal di negeri
Belanda yang mendapat dukungan yang besar dari kalangan masyarakat, mendesak pemerintah
Belanda untuk meningkatkan kehidupan di wilayah jajahan.

Yang dalam hal ini salah satu penganut politik liberal ialah Van Deventer.C.Th.van Deventer
yang merupakan salah seorang tokoh penganjur pencetus Politik Etis. Desakan ini mendapat
dukungan dari pemerintah Belanda, dalam pidato negara pada tahun 1901, Ratu Belanda,
Wihelmina mengatakan:

Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran dari penduduk


Hindia Belanda.

Yang hal demikian pidato tersebut menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda
yang dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi.

Tokoh-Tokoh Pencetus Politik Etis


Yang keberadaan Politik Etis di Hindia Belanda ketika itu, setidaknya diwarnai oleh sosok-sosok
mereka, baik sebagai inisiator, fasilitator, eksekutor maupun kritikus dari kebijaksanaan tersebut.

Berikut adalah 5 tokoh Belanda yang mewarnai Politik Etis.

1. Eduard Douwes Dekker (1820-1887)

Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli adalah penulis
Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas
perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Ketika
menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran Multatuli. Nama ini berasal
dari bahasa Latin dan berarti Aku sudah menderita cukup banyak atau Aku sudah banyak
menderita; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah.
Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda,
walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan. Max
Havelaar bisa jadi buku yang mempengaruhi terlahirnya Politik Etis di Hindia Belanda kelak.
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (Sumber: voiceseducation)
2. Pieter Brooshooft (1845 1921)

Brooshooft adalah seorang wartawan dan sastrawan, yang dikenal sebagai salah satu tokoh
Politik Etis. Tahun 1887 Brooshooft mengadakan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, lalu
menuliskan laporan tentang keadaaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda akibat
kebijakan tanam paksa pemerintah. Dia menyampaikan laporan tadi kepada 12 tokoh politisi
Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal buku yang memaparkan fakta-fakta yang dicatat
dan ditandatangani 1255 orang. Laporan itu menuntut harus dibentuk sebuah partai Hindia agar
kepentingan Hindia Belanda terwakili di Parlemen. Dilampirkan pula buku Memorie over den
toestan in indie (Catatan tentang keadaan di Hindia), yang mengkritik struktur pajak dan
mengecam sistem bandar. Tahun 1904 Brooshooft kembali ke Belanda dalam keadaan kecewa
dan putus asa, karena merasa perjuangannya bagi keadilan terhadap pribumi tidak ada hasilnya.
Tajuk Rencana yang terakhir ditulis berjudul: Pamitan Dengan Orang Sakit, dimuat pada surat
kabar Semarang, De Locomotief, tanggal 31 Desember 1903. Setelah di Belanda, Brooshooft
tetap rajin menulis, antara lain sebuah naskah pentas: Arm Java (Kasihan, Pulau Jawa), pada
1906. Naskah ini dianggap memiliki benang merah dengan eksistensi dan riwayat Kartini, sebab
di dalamnya ada tokoh Murtinah, puteri seorang Bupati modern yang telah maju pikirannya.
Diceritakan Murtinah sering menulis dalam majalah-majalah wanita di Belanda dan mengadakan
surat-menyurat dengan teman-teman di negeri itu pula. Pieter Brooshoft.

3. Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)

Van Deventer dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Pada
sebuah surat tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang tuanya, Deventer
mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena
mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah
jajahan. Lalu pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een
Eereschuld (Hutang kehormatan). Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada
publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman adalah hasil
kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (Indonesia), sementara Hindia
Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut
dikembalikan. Ketika Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari
menteri daerah jajahan Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi
rakyat pribumi di Jawa dan Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil menyelesaikan
tugasnya (1904). Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan,
kemudian dengan tegas mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan
tentu saja mengundang banyak reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak kalah terkenalnya
adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan Insulinde,
yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.
Theodor van Deventer.

4. Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)

J.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun
1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia ditugaskan oleh Belanda untuk
melaksanakan Politik Etis. Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-
sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah
yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru
OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). J.H. Abendanon mengumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya di
Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah
Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima
kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Jacques Henrij Abendoon
(Sumber: facebook)

5. Dr. Douwes Dekker (1879-1950)

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang
kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak dasar
nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama Nusantara
sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari Tiga
Serangkai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan
Suwardi Suryaningrat. Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan
politik etis ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang
pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk
asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap
(blijvers) dan Tionghoa.
Keberadaan Politik Etis di Hindia Belanda ketika itu, setidaknya diwarnai oleh sosok-sosok
mereka, baik sebagai inisiator, fasilitator, eksekutor maupun kritikus dari kebijaksanaan tersebut.

Tujuan/Isi Politik Etis


Adapun tujuan Isi Politik Etis yaitu:

Edukasi ialah menyelenggarakan pendidikan.


Irigasi ialah membangun sarana dan jaringan pengairan.
Transmigrasi/imigrasi ialah mengorganisasi perpindahan penduduk.

Politik etis yang dalam hal ini dilaksanakan Belanda dengan melakukan perbaikan bidang irigasi,
pertanian, transmigrasi dan pendidikan, sepintas kelihatan mulia. Namun di balik itu, program-
program ini dimasudkan untuk kepentingan Belanda sendiri.

Munculnya Elite Nasional Kaum Terpelajar Pribumi


Yangs salah satu dampak pelaksanaan Politik Etis ialah melahirkan golongan cerdik, karena
berkat diselenggarakannya pendidikan cendikiawan. Sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu
ialah HIS Hollands Inlandsche School yang diperuntukkan bagi keturunan Indonesia asli yang
berada pada golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah
disediakan sekolah kelas dua.

Dalam pendidikan tingkat menengah disediakan HBS Hogere Burger School, MULO Meer
Uiterbreit Ondewijs, AMS Algemene Middlebared School, di samping itu ada beberapa
sekolah kejuruan/keguruan seperti Kweek School, Normal School.

Adapun untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik Koninklijk Institut or Hoger
Technisch Ondewijs in Netherlands Indie, Sekolah Tinggi Hukum Rechshool, dan Sekolah
Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Jawa, Stovia, Nias dan GHS
Geneeskundige Hooge School.

Pendidikan kesehatan kedokteran tersebut di atas yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir
sebagai sekolah dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumi
Putra Inlaends Geneekundige. Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi Dokter
Bumi Putra Inlands Arts, Sekolah ini diberi nama STOVIA School Tot Opleiding Van
Indische Artsen kemudian pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS Netherlands Indische
Artesen School. Dengan kemajuan di bidang pendidikan ini maka melahirkan golongan cerdik
dan pandai yang mulai memikirkan perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah.

Anda mungkin juga menyukai