Anda di halaman 1dari 3

Nama: Rizky Fatihatul Uswah

Kelas: XII DPIB 2


Mapel: Bahasa Indonesia

Judul: Rumah Kaca


Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Tahun: 2006
Penerbit: Lentera Dipantara
Genre: Fiksi
Peresensi: Aida Mudjib

Pada tahun 1899, pengacara liberal Belanda Conrad Theodor Van Deventer menerbitkan sebuah
esai dalam jurnal Belanda De Gids yang mengklaim bahwa pemerintah kolonial memiliki
tanggung jawab moral untuk mengembalikan kekayaan yang telah diterima Belanda dari Hindia
Timur kepada penduduk asli. Jurnalis lain, Pieter Brooshooft juga menulis tentang tugas moral
Belanda untuk berbuat lebih banyak bagi rakyat Hindia. Dengan dukungan kaum sosialis dan
Belanda kelas menengah yang peduli, ia berkampanye menentang apa yang ia lihat sebagai
ketidakadilan dari surplus kolonial. Pada masa itu, surat kabar adalah salah satu dari sedikit
media komunikasi Hindia ke parlemen Belanda, dan untungnya sebagai editor De Locomotief,
surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia, Brooshoft juga menerbitkan tulisan Snouck
Hurgronje untuk memahami orang Indonesia.

Brooshooft mengirim reporter ke seluruh nusantara untuk melaporkan perkembangan lokal;


Mereka melaporkan kemiskinan, kegagalan panen, kelaparan, dan epidemi pada tahun 1900.
Pengacara dan politisi yang mendukung kampanye Brooshooft mengadakan audiensi dengan
Ratu Wilhelmina dan berpendapat bahwa Belanda berutang 'hutang kehormatan' kepada
masyarakat Hindia. Akhirnya untuk meredam situasi politik, Pada tahun 1901, Sang Ratu, di
bawah nasehat dari perdana menteri Partai Anti Revolusioner Kristen, secara resmi menyatakan
'politik etis' yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Hindia.
Penaklukan Belanda atas Hindia menyatukan mereka sebagai satu kesatuan kolonial pada awal
abad ke-20, yang merupakan dasar bagi implementasi kebijakan tersebut. Kalangan pendukung
politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Para
pendukung kebijakan etik berpendapat bahwa transfer keuangan tidak boleh dilakukan ke
Belanda sementara kondisi untuk masyarakat di kepulauan itu buruk. Harus dilakukan transfer
budaya terlebih dahulu sebelum dana dikucurkan agar pribumi juga bisa mengelola dengan baik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan
diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses
emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Politik etis sangat berpengaruh dalam bidang pengajaran dan pendidikan yaitu dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah satu
orang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam hal ini adalah Mr. J.H. Abendanon-dia juga
suami Nyonya Abendanon sahabat RA Kartini-, Sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah,
baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Terjadi
pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Mulai banyak berdiri
organisasi pergerakan nasional sebagai suatu dampak dari berkembangnya mental dan pemikiran
bangsa Indonesia sebagai salah satu hasil dari kemajuan pendidikan nasional yang dialami oleh
para penduduk pribumi khususnya.

Politik dalam negeri Hindia-Belanda memanas karena masyarakat menggeliat. Politik etis
berbalik bak senjata makan tuan. Situasi di Hindia Belanda awal abad ke-20 dimana kebangkitan
nasionalisme dan kesadaran persatuan yang dimiliki kaum-kaum terpelajar pribumi dengan
didikan ala Eropa, hasil dari politik etis inilah kepingan yang dirangkai dengan indah oleh Pak
Pram dalam buku terakhir tetraloginya.

Rumah kaca, bagi saya lebih seperti spin-off. Tokoh utama tiga novel sebelumnya, Denmas
Minke digantikan oleh Jaques Pangemanann. Ia merupakan ‘lawan’ dari tokoh Minke.
Pangemanann adalah seorang pribumi asal manado yang diangkat anak oleh seorang warga
negara prancis. ia adalah seorang polisi berprestasi dan memiliki kecakapan khusus untuk
menangani perkara-perkara ‘halus’. Suatu hari ia dipindahtugaskan ke kantor Algemeene
Secretarie dan ditugaskan untuk mengawasi seluruh organisasi-organisasi pribumi yang ada saat
termasuk organisasi Minke. Pangemanann sebenarnya sangat menghormati sosok Minke
membaca tulisan-tulisan yang dibuat oleh Minke. Tetapi karena Pangemanann mengabdi pada
pemerintah kolonial, ia tetap berusaha melumpuhkan segala kegiatan Minke. Ia terus mencari-
cari kesalahan Minke. Seluruh kekayaan dan aset yang dimiliki Minke disita, fitnah disebarkan
bahwa Minke mempunyai hutang bank dan setiap orang yang memiliki hubungan dengan Minke
akan dicurigai dan diperiksa oleh kepolisian. Situasi ini membuat semua orang tidak ada yang
berani menjalin hubungan kembali dengan Minke. Sampai pada suatu saat, Minke jatuh sakit,
stress dan akhirnya meninggal dunia.

Novel ini mengasikkan dan lebih menarik dari tiga buku sebelumnya dalam tetralogi pulau buru.
Latar kondisi pembangunan masyarakat pada masa politik etis yang terhalang great depression
dan simalakama kaum kolonial sendiri digambarkan dengan begitu detail. Pergeseran tokoh
utama Minke ke Pangemanan memang membuat novel ini terlihat terpisah dari karya-karya
Pramoedya yang lain seperti “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah”.
Namun sebenarnya novel “Rumah Kaca” juga merupakan kelanjutan dari ketiga jilid buku
sebelumnya karena diakhir novel dimana Pangemanann sebelum kematiannya mengembalikan
semua coretan, catatan dan naskah Minke yang disita pemerintah pada Madame Sanikem Le
Boucq, mertua pertama dan ibu angkat Minke yang mencari-cari Sinyo-Denmas Minke. Naskah
yang sama yang dibaca oleh Pangemanann untuk mengetahui pemikiran minke serta orang-orang
disekitarnya. Pangemanann juga menyerahkan manuskrip yang ditulisnya, berjudul rumah kaca
yang berisi seluruh pengalaman dan penyesalannya telah mendorong Minke –yang katanya
sangat ia hormati, menuju ajal.

Akhir yang mengingatkan saya pada Samwise Gamgee yang menyerahkan Buku Merah
Westmarch pada keturunannya sebelum menyusul Frodo. Buku merah westmarch entah
bagaimana berhasil diterima kemudian diterjemahkan Tolkien ke bahasa negeri westron dan kita
baca.

Pak Pram juga, entah lewat siapa berhasil mendapatkan semua manuskrip Minke dan Jacques
Pangemanann dari Sanikem untuk kemudian kita nikmati.

Brilliant.

Anda mungkin juga menyukai