Anda di halaman 1dari 3

PERGERAKAN NASIONAL

Masa penjajahan bangsa Eropa di Indonesia sangat menyedihkan dan menyakitkan.


Bangsa Indonesia saat itu hidup bagaikan budak di negeri sendiri. Selain tenaga mereka yang
diperas untuk menjadi budak, bangsa Indonesia atau pribumi diwajibkan untuk menyetor
pajak atau hasil pertanian. Tidak ada akses pendidikan untuk pribumi. Bahkan, kaum pribumi
tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik. Kemiskinan merajalela dan musibah
kelaparan terjadi di mana-mana.
Sayangnya, tidak ada yang berani melawan penjajah pada saat itu. Kaum pribumi
takut jika melawan, mereka akan mendapat hukuman yang kejam dan mengerikan. Sehingga,
penjajah semakin semena-mena terhadap kaum pribumi.
Masa penjajahan ini berlangsung sangat lama, hingga ratusan tahun. Selama berabad-
abad, kaum pribumi mengalami masa-masa kelam dalam ketidak pastian. Hidup di bawah
garis kemiskinan, tanpa akses pendidikan ataupun pelayanan publik yang baik. Hasil panen
dan jerih payah mereka pun harus diserahkan sebagian kepada penguasa.
Ketika para penjajah ini dianggap melukai rasa keadilan, mengoyak martabat dan
harga diri, serta melahirkan penderitaan, barulah muncul perlawanan. Perlawanan ini awalnya
dilakukan oleh pemimpin atau tokoh yang dianggap kharismatik dan memiliki pengaruh di
masyarakat. Umumnya, perlawanan ini dipimpin oleh raja, bangsawan, pemuka agama,
bahkan rakyat biasa yang diyakini memiliki kesaktian atau kekuatan lebih.
Perlawanan ini bersifat kedaerahan atau lokal. Mereka hanya akan melakukan
perlawanan ketika wilayah mereka diganggu. Pun, mereka tidak akan membantu wilayah lain
yang bukan menjadi urusan mereka.
Lahirnya Politik Etis
Penjajahan yang berlangsung selama berabad-abad ini ternyata mendorong seorang
wartawan untuk mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Wartawan dari koran De Locomotief
bernama Pieter menullis sindiran sikap tak acuh Eropa di Hindia Belanda ketika terjadi
wabah kolera yang menimbulkan banyak korban jiwa bagi masyarakat pribumi. Selain itu, C.
Th. van Deventer, seorang ahli hukum Belanda mengkritik sistem tanam paksa.
Kritik ini menyatakan bahwa pemerintah Belanda memegang tanggung jawab moral
bagi kesejahteraan pribumi. Pemerintah Belanda harus membayar hutang budi dengan
meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.
Kritik-kritik ini menjadi perhatian serius oleh pemerintah kolonial Belanda dan
membuat Ratu Wilhelmina memunculkan kebijakan baru bagi daerah jajahan. Kebijakan ini
dikenal dengan politik etis. Kebijakan ini dituangkan dalam program Trias van Deventer.
Program ini diterapkan di Indonesia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander
W. F. Idenburg pada tahun 1909 sampai tahun 1916.
Ada tiga program penting dalam politik etis, yaitu irigasi, imigrasi, dan edukasi.
Irigasi diperlukan untuk membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk
pertanian. Migrasi dilakukan untuk mendorong transmigrasi demi keseimbangan jumlah
penduduk di berbagai kota pada masa itu. Sedangkan edukasi dilaksanakan untuk
memperluas bidang pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda.
Meski terlihat seperti sebuah rencana program yang baik, sayangnya pemerintah Hindia
Belanda menjalankannya dengan semena-mena. Irigasi justru digunakan untuk mengairi
perkebunan milik Belanda dan tidak menyentuh lahan pertanian masyarakat setempat.
Program imigrasi dimanfaatkan untuk mengirimkan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan
di wilayah Sumatera. Sedangkan program edukasi dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga
kerja yang diperlukan oleh pemerintah kolonial. Program politik etis pada akhirnya tidak
memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia pada saat itu.

Tumbuhnya Kesadaran Kebangsaan


Dari tiga program Trias van Deventer, program edukasi menjadi program yang paling
berpengaruh bagi masyarakat di Hindia Belanda. Adanya program edukasi ini melahirkan
golongan elit baru di Indonesia yang disebut sebagai golongan priyayi.
Golongan priyayi adalah golongan yang mengenyam pendidikan di sekolah yang
dibentuk oleh pemerintah kolonial. Sekolah-sekolah yang dibentuk oleh pemerintah kolonial
ini menerapkan pendidikan gaya barat. Seusai sekolah, golongan priyayi tersebut banyak
yang berprofesi sebagai dokter, guru, jurnalis, dan pegawai pemerintahan.
Selain profesi yang lebih menjanjikan, golongan ini memiliki pemikiran yang lebih
maju serta sadar terhadap penindasan-penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Kemunculan golongan priyayi mengubah corak perjuangan masyarakat dalam
melawan penindasan pemerintah kolonial, yang tadinya bersifat kedaerahan menjadi bersifat
nasional. Inilah titik awal pergerakan nasional dimulai.

Pergerakan Nasional
Pergerakan nasional dipimpin oleh para kaum terpelajar. Menurut mereka,
perlawanan fisik sudah tidak lagi relevan untuk melawan penindasan pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, mereka membentuk organisasi-organisasi sebagai motor penggerak
perlawanan.
Akhirnya, lahirlah berbagai organisasi kebangsaan untuk pertama kalinya pada kurun
waktu 1908 hingga 1920. Terdapat tiga organisasi pergerakan nasional yang lahir pada
periode ini, yaitu Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij. Organisasi-organisasi ini
lebih mengedepankan diplomasi ketimbang kekerasan. Selain itu, mereka juga memanfaatkan
media massa sebagai alat perjuangan. Munculnya organisasi-organisasi kebangsaan ini
menjadi tanda dimulainya pergerakan nasional dengan visi yang jelas, yaitu Indonesia
merdeka.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan semakin terarah setelah
berbagai organisasi ini lahir. Namun, butuh waktu yang cukup panjang hingga Indonesia
berhasil memproklamasikan kemerdekaannya.

Anda mungkin juga menyukai