Anda di halaman 1dari 5

Judul: Bumi Manusia

Pengarang: Pramoedya Ananta Toer


Penerbit: Hasta Mitra
Tahun Terbit: 1980
Tebal Halaman: 535 Halaman

Bumi Manusia Dengan Segala Persoalannya


(oleh Septa Hidayatus Sibyan)
Pramoedya Ananta Toer atau biasa dikenal dengan eyang Pram atau Pram
adalah salah satu pahlawan kemerdekaan juga pengarang yang produktif dalam
sejarah sastra Indonesia. Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya
danditerjemahkan lebih dari 42 bahasa asing. Pram juga maendapatkan banyak
penghargaan Internasional dibidang sastra, namun walaupun mengabdi untuk
negara Pram pernah mengalami masa kelam dalam hidupnya. Ia pernah mendekam
di rumah tahanan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Ditahan di
Pulau Buru tidsk membuat Pram berhenti untuk berkarya, buktinya salah satu
karyanya yang terkenal hingga mendunia lahir dari sana yaitu Tetralogi Buru
diantaranya novel semi-fiksi sejarah Indonesia Bumi Manusia. Setelah Pram bebas
dari tahanan tidak serta merta ia dapat langsung menerbitkan novel Bumi Manusia,
namun Pramoedya harus kembali bekerja keras memilah tumpukan kertas
doorslag yang berhasil diselamatkan dari Pulau Buru.
Buku ini dapat dibilang salah satu karya kontroversial karena sempat dicekal
oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1981, dengan tuduhan mempropagandakan
ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme, padahal dalam buku ini tidak
disebut-sebut sedikit pun tentang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme atau
komunisme, yang disebut hanya Nasionalisme.
Tidak sampai disitu, beberapa organisasi pemuda bentukan Orde
Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini
kemudian disiarkan melalui media massa sebagai bukti keresahan masyarakat,
modal penting bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar
pendukung Orde Baru seperti Suara Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai
menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan pengarangnya.
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan menyelenggarakan pameran
buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat Hasta Mitra. Padahal
sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu menjadi
anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula
simpati semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap
naik cetak tiba-tiba dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya
Pramoedya. Sampai-sampai orang-orang yang ingin membaca karya Pram ini
harus secara sembunyi-sembunyi, karena jika ketahuan oleh aparat akan terlibat
masalah.
Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke
adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat
masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah
seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat
orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat
itu. Minke memiliki nama pena yang bernama Max Tonellar. Sebagai seorang
pribumi, ia sering kali mendapat diskriminasi dan kurang disukai oleh siswa-siswi
Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia
berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani
memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang "Nyai" yang
bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang
tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan.
Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia
tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya
adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras
dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai
Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan
sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya
menikah dengan Annelies, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Mellema.
Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan
pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan
betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam
buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi
siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari
pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas
dari guru-guru sekolah HBS.
Novel ini memiliki banyak keistimewaan bagi para pembaca diantaranya,
Pram sukses mengupas arti manusia itu sendiri. Bahwa kita dilahirkan didunia
memiliki hak-hak sosial yang sama walaupun terlahir dari orangtua yang berbeda,
daerah yang berbeda, bahkan berbeda benua sekalipun. Manusia berhak berdiri
diatas kakinya sendiri tanpa menjadi budak siapapun. Tokoh Minke digambarkan
sebagai bentuk perjuangan rakyat Indonesia atas merebut hak-haknya sebagai
manusia. Melawan ketidak adilan pengadilan kulit putih. Merebut harkat martabat
pribumi, “aku hanya ingin menjadi manusia yang bebas bu, tidak diperintah juga
tidak memerintah” ungkapan hati minke kepada ibundanya. Disini dapat
disimpulkan bahwa minke tidak peduli ia terlahir menjadi pribumi, manusia
Indo(campuran pribumi dan belanda), atau eropa totok sekalipun. Namun yang
menjadi permaslahannya adalah tak sepantasnya orang yang berada dibawah kita
untuk ditindas, diperlakukan layaknya bukan manusia, mengabdi kepada orang
yang lebih tinggi dari kita.
Selain itu, tokoh Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner ia tak
peduli dari mana dilahirkan. untuk mendapatkan apa yang ia inginkan tak sedikit
halang dan rintang dilalui. “Siapa bilang aku akan jadi bupati ?** "Aku. Dan
aku akan meneruskan sekolah ke Nederland. Aku akan jadi insinyur. Pada
waktu itu kita akan bisa bertemu lagi. Aku akan berkunjung padamu bersama
istriku” percakapan Minke dengan kawannya. Bayangkan seorang pribumi yang
tak ada harganya dimata orang-orang belanda dan eropa, ia dapat bersekolah di
HBS sekolah yang cukup terkenal seantero Nusantara. Sekolah yang mengajarkan
pendidikan Belanda dan memiliki guru-guru dari eropa. Namun ia mampu bersaing
dalam pembelajaran, bergaul dan berteman dengan orang-orang Indo maupun
Eropa.
“Tanpa mengetuk pintu kamar pemondokanku Robert Suurhof — di sini tak
kupergunakan nama sebenarnya — masuk. Didapatinya aku sedang
mencangkung! gambar sang dara, kekasih para dewa itu. Ia terbahak, diri
menggerabak dan tersipu. Lebih kurangajar lagi justru seruannya:
"Ahoi, si philogynik, matakeranjang kita, buaya kita! Bulan mana pula sedang
kau rindukan ?"
Memang aku berhak mengusirnya. Tapi: "Husy!" dengusku, siapa
tahu ?” "Astrolog itu tahu segala, kecuali dirinya sendiri,” kemudian
seperti biasa ia lanjutkan dengan seringai. Biar aku ceritakan: ia
temanku sekolah di H.B.S., jalan H.B.S., Surabaya. Ia lebih tinggi
daripadaku. Dalam tubuhnya mengalir darah Pribumi. Entah berapa
tetes atau gumpal.” Kutipan diatas dapat menggambarkan keakraban
Minke yang seorang pribumi dan temannya yang bukan pribumi.
Berfikir secara modern, bahkan ia berani menentang adat Jawa karena
mudah menerima dan percaya terhadap Belanda tanpa memikirkannya lagi, bahkan
tak segan memberi hormat dan mengabdi kepada Belanda. Minke mempunyai
pandangan bahwa yang lebih terhormat adalah pribumi, karena orang-orang
Belanda hanya menumpang dan memanfaatkan pribumi. Puncaknya ketika minke
diminta untuk menjadi translator dalam upacara peresmian ayahnya yang naik
tahta menjadi bupati, saat ayahnya memberikan sambutan kepada orang-orang
belanda, memuji-muji dan sangat berterimakasih kepadanya. Namun yang
diucapkan Minke justru berbeda dengan ayahnya. Dalam bahasa belanda ia sangat
berwibawa, tegas tanpa rasa takut menyampaikan kepada orang-orang belanda
tentang keberadaban dan juga kebijaksanaan pribumi. Kegagahan para raja-raja
majapahit dalam memimpin kerajaanya. Bekerja dengan usaha sendiri hingga
mampu memperluas kerajaanya. Orang-orang belanda yang hadir dalam upacara
tersebut pun terkagum-kagum dengan apa yang telah Minke ucapkan, seorang
resident pun berdiri dan mengangkat gelas nya memberikan pujian kepada Minke
dan akhirnya mengajak seluruh tamu untuk bersulang. Disitulah Minke dapat
membuktukan bahwa pribumi juga bermartabat.
Novel ini juga tidak hanya bercerita tentang kisah cinta dua orang remaja
antara Annelies dan Minke saja, namun Pram sukses menghadirkan persoalan-
persoalan yang menimpa mereka berdua. Mulai dari tak direstuinya Minke oleh
tuan Mellema (ayah Annelies) karena seorang pribumi, pernikahannya yang
dianggap tak sah oleh pengadilan Belanda, dan masalah-masalah lainya yang dapat
mangaduk-ngaduk perasaan pembaca.
Dari novel Bumi Manusia Pram ingin menyampaikan pentingnya perjuangan
dengan pena. Minke atau Max Tonnelar adalah orang pertama yang melawan
pengadilan kulit putih dengan pena. Saat tuan Melemma tewas karena virus yang
disebabkan hobinya bermain wanita, Nyai ontosoroh (mama Annelies) terseret ke
pengadilan. Saat itu tak ada yang dapat dilakukan Minke selain menulis. Ia pun
menuliskan artikel-artikel tentang kejadian untuk menyadarkan masyarakat
lainnya. Karena kemahiran Minke dalam menulis, beberapa surat kabar pun
sukarela untuk membantu bahkan seorang pemilik surat kabar bersedia
menterjemahkan dalam bahasa Melayu. Dengan kegigihan minke dalam
memperjuangkan keadilan ia pun berhasil menyelamatkan Nyai Ontosoroh dari
kebiadaban pengadilan kulit putih.
Selain keistimewaan-keistimewaan yang terdapat dalam novel Bumi
Manusia ini, terdapat juga kelemahan diantaranya pemilihan kosa kata oleh Pram
yang cukup sulit dipahami sehingga buku ini tidak cocok untuk dibaca anak-anak.
Bahasa yang dipakai terkadang terklalu puitis juga mengharuskan pembaca untuk
lebih mencermati makna yang terkandung didalamnya.
Dalam buku ini Pramoedya menunjukkan betapa pentingnya belajar, dengan
belajar, dapat mengubah nasib, seperti dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah,
dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa H.B.S Minke. Bahkan
pengetahuan si Nyai yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku dan dari
kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah H.B.S. Sehingga
kita tahu bahwa belajar itu tidak merugikan melainkan menguntungkan.
“Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar
penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu
lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-
tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bisa kemput.” (Nyai
Ontosoroh)
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran ,
apalagi dalam perbuatan.” (Jean Marais).

Anda mungkin juga menyukai