Anda di halaman 1dari 4

Bumi Manusia

Alwina Fariqoh Amaliyah

Bumi Manusia (Hasta Mirta; 535; Jakarta; 1980; PAT) merupakan buku
pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali
diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini memiliki 535 halaman
dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Bahasa Belanda, Bahasa
Inggris, Bahasa Italia, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, Bahasa Korea, Bahasa
Malayalam, Bahasa Mandarin, Bahasa Melayu, Bahasa Norwegia, dan masih
banyak yang lainnya.
Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbaik yang pernah dimiliki
bangsa ini. Apalagi di kalangan para pecandu literasi. Sastrawan kelahiran Blora
ini telah menghasilkan puluhan karya yang telah diterjemahkan lebih dari empat
puluh dua bahasa.
Salah satu karya yang dapat dibilang masterpiecenya yaitu Bumi Manusia.
Novel bergenre roman sejarah ini sebenarnya satu dari empat series novel yang
dinamai Tetralogi Buru, karya yang ditulis Pram saat menjadi tahanan politik di
Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979). Tetralogi Buru terdiri dari Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918,
masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode
Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional
Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga
merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.
Buku ini bercerita tentang seorang keturunan Jawa, Minke, yang sering
diperolok-olok oleh kaum totok Belanda karena kulitnya, karena pribumi. Pram
memberikan karakter Minke sebagai manusia pribumi yang terpelajar, melawan
penindasan terhadap dirinya, terhadap orang lain dan terhadap bangsanya. Minke
bersekolah di H.B.S (Hogere Burger School) yaitu sekolah yang setara SMA yang
tidak semua pribumi bisa bersekolah sampai sejauh itu, hanya keturunan minimal
ningrat yang boleh bersekolah. Minke merupakan anak dari bupati kota B
(disebutkan dalam novelnya seperti itu, mungkin maksud Pram adalah Blora
karena menceritakan tentang RM. TAS) karena itulah dia dapat bersekolah di
H.B.S. Tetapi hidup di tengah-tengah pergaulan Eropa menjadikan pandangan
Minke menjadi pengagung Eropa, dia melupakan tradisi dan adat Jawanya, tradisi
yang ada dari nenek moyangnya hilang begitu saja karena pengetahuan Eropanya
bahkan ia tidak mau memakai baju adat Jawa karena sudah terbiasa dengan
pakaian-pakaian Eropanya. Hal tersebut sempat membuat geram ayahnya yang
merupakan Bupati B akan tetapi sang ibunda lah yang terus mendukung anaknya,
Minke agar melaksanakan apa yang ia cita-citakan. Di sini Minke mengalami
pencarian jati dirinya, seorang pribumi tapi pengagung Eropa.
Tentu Bumi Manusia tidak hanya berpusat pada kisah cinta. Ada juga
perjuangan Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema yang dipandang
miring oleh masyarakat, tapi kemudian belajar menjadi pengusaha ulung. Bumi
Manusia juga menjadi fase ketika kesadaran Minke terhadap rasa kebangsaan dan
kemanusiaannya bangkit melalui pertemuan dan benturan dengan berbagai sosok.
Dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot, Nurgiyantoro
(2000:178) membaginya ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang disukai pembaca karena sifat-sifatnya (biasanya
hero, baik, penyelamat). Tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak disukai
pembaca karena sifat-sifatnya (biasanya jahat pengecut). Di dalam novel Bumi
Manusia ini, tokoh protagonis digambarkan pada tokoh utama yaitu Minke,
Annelies, Nyai Ontosoroh, Ayah dan Ibu Minke, Jean Marais, Darsam, serta
Amelia Hammers Mellema. Sedangkan tokoh antagonis di dalam novel ini
diperankan oleh Herman Mellema, Robet Mellema, Robert Surhorf, Ah Tjong,
dan Maiko.
Buku ini sempat dilarang oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1981, dengan
tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme.
Walaupun dalam buku ini tidak disebutkan sedikit pun tentang ajaran-ajaran
Marxisme-Leninisme atau Komunisme, yang disebut hanya Nasionalisme.
***
Gaya bahasa Pramoedya yang kaya, menggabungkan bahasa Jawa sehari-
hari dengan gambaran budaya Jawa klasik serta banyak menggambarkan keadaan
di setiap daerah pada masa revolusi kemerdekaan itu telah tampak dari karya-
karya sebelumnya, seperti Keluarga Gerilja (1950), yang menceritakan
konsekuensi tragis dari simpati politik yang terpecah dalam keluarga Jawa selama
masa revolusi Indonesia melawan pemerintah Belanda. Mereka yang
Dilumpuhkan (1951) menggambarkan tahanan-tahanan aneh yang Pramoedya
temui di camp penjara Belanda, cerita-cerita pendek yang dikumpulkan dalam
Pertjikan Revolusi dan Subuh (1950). Pramoedya juga menggambarkan provinsi
Jawa saat masa pemerintahan Belanda dan ketidakadilan yang dirasakannya
setelah kemerdekaan dicapai dalam karyanya Tjerita dari Blora (1952).
Bumi Manusia merupakan karya sastra yang wajib dibaca walaupun hanya
sekali dalam seumur hidup. Jika novel-novel roman lainnya hanya memiliki alur
yang itu-itu saja, namun tidak dengan novel ini. Hal yang lebih menonjol dari
kisah cinta Minke-Annelies adalah kondisi sosial rakyat Indonesia pada masa
kolonial. Pram benar-benar membawa pembaca untuk menyelami kehidupan serta
emosi dari setiap tokoh. Nasib pribumi yang dianggap rendah, ditindas, tak
terpelajar, hidup sebagai budak serta haknya yang sering tak terpenuhi.
Penokohan Minke dalam Bumi Manusia ini sebagai salah satu dari beberapa
pribumi yang terpelajar, namun malah bangga akan peradaban Eropa. Seakan-
akan Pram menyampaikan pesan bahwa jangan sampai kita lupa tentang siapa diri
kita sebenarnya. Tak heran jika buku ini digadang-gadang sebagai buku yang
membangkitkan jiwa nasionalisme pembaca melalui tragedi yang dialami para
tokohnya.
Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Kisah dalam buku ini ditulis
Pram secara runtut, mengalir tak terduga dengan ritme yang bermacam. Beberapa
halaman romantis tiba-tiba berubah menjadi menegangkan. Memang benar kata
orang-orang bahwa tulisan Pram mengandung makna dan mendidik. Banyak nilai
pembelajaran yang dapat pembaca petik, mulai dari jiwa nasionalisme,
humanisme, dan lain sebagainya.
Namun, gaya bahasa yang disuguhkan oleh Pramoedya dalam karyanya ini
sangat puitis, sehingga membuat pembaca sulit memahami apa yang ingin
disampaikan oleh Pramoedya melalui karyanya. Seperti kalimat yang terdapat
dalam buku ini “Memvrom Telinga telah beberapa kali mengomopres kepala ku
dengan cuka-bawang merah” (hal 268). Satu kalimat ini saja berhasil membuat
para pembaca kebingungan akan pesan tersirat apa yang ingin Pramoedya
sampaikan kepada para penikmat karyanya.
Bahasa-bahasa yang begitu rumit untuk dipahami dan terlalu puitis serta di
buat untuk mengisahkan zaman kolonial menyebabkan banyak istilah asing yang
kurang akrab di pikiran pembaca, sehingga membuat buku legendaris ini kurang
diminati oleh kaum milenial.
Dengan mempertimbangkan berbagai hal, tetap saja buku ini sangat
direkomendasikan untuk siapapun yang menyukai cerita romantik penuh nilai-
nilai kemanusiaan dan pemahaman tentang sejarah. Bukan hanya menambah
wawasan pengetahuan, setiap kutipan yang disampaikan Pramoedya sangatlah
bermakna dan menginspirasi. Selain itu, setiap kata bijak sangat relevan dengan
karakter tokoh dalam cerita, hingga setiap kata-kata inspirasi itu dapat menancap
di otak pembaca dan menjadi pegangan hidup. Bumi Manusia, berhasil tampil
sebagai novel dengan kategori:cerdas!

Anda mungkin juga menyukai