Anda di halaman 1dari 5

Lina Dwiyanti (1403618010)

Tri Agus Darmawan (1403618074)


Pendidikan Sejarah A 2018

Mata Kuliah Sejarah Indonesia Masa Pergerakan Nasional


Dosen: Dr. Kurniawati, M,Si

REVIEW NOVEL MAX HAVELAAR

Gelombang liberalisme Eropa telah menempatkan kolonialisme dalam pandangan yang


buruk di kalangan masyarakat Eropa, bahkan jauh sebelum Max Havelaar diterbitkan. Namun,
tidak banyak orang yang dapat mengutarakan dengan baik bagaimana sistem kolonialisme ini
menciptakan kesengsaraan terhadap penduduk lokal di wilayah-wilayah koloni.

Max Havelaar ditulis sebagai novel autobiografi Eduard Douwes Dekker, seorang anak
pelaut yang lahir di Belanda pada 1820, dan pergi ke Hindia Belanda pada umur 18 tahun untuk
menjadi pegawai negeri, dan akhirnya menjadi asisten residen di Lebak pada 1856. Namun, ia
dicopot dari jabatannya dan jatuh miskin akibat usahanya untuk menegakkan keadilan bagi
penduduk pribumi, setelah kepulangannya, ia menulis pengalamannya di Lebak dalam novel “Max
Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda” atas nama penanya ‘Multatuli’ yang
dalam bahasa latin berarti “saya yang sudah menderita banyak” untuk menyadarkan masyarakat
Belanda atas perlakuan pemerintahannya di tanah koloni, dan juga untuk membalaskan rasa
kesalnya dengan mengekspos bagaimana sistem kolonial Belanda dijalankan di Hindia Belanda,
dan mengapa sistem ini menemui kegagalan dengan penggambaran yang jelas. Dalam karyanya
ini, Max Havelaar diceritakan sebagai asisten residen lebak yang cerdas dan memiliki kepribadian
yang altruistik, tugasnya sebagai asisten keresidenan adalah membuat laporan kepada atasannya
mengenai perkembangan di daerah yang ia ditugaskan. Kebanyakan asisten residen di Hindia
Belanda memilih untuk menutup mata atas perlakuan buruk yang dilakukan oleh para penguasa
kepada penduduk aslinya; dimana mereka ditindas, dieksploitasi, dan dianiaya dengan kejam dan
tidak manusiawi. Namun, Havelaar tentu bukanlah bagian dari kebanyakan asisten residen itu,
hatinya membara untuk berusaha mengakhiri praktek-praktek kejam seperti itu.

Didalam buku ini terdapat 3 narator yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Narator
pertama yaitu Droogstoppel, kedua Stern dan yang ketiga adalah Multatuli. Bab pertama dijelaskan
bahwa Droogstoppel menceritakan bahwa dirinya seorang makelar kopi dan bursa perdagangan
yang sangat rasional dan orang yang taat agama. Dia bertemu dengan Sjaalman yang merupakan
seorang penyair miskin yang membutuhkan uang, Sjaalman memberikan paket ke Kediaman
Droogstoppel yang berisi salinan-salinan karyanya agar Droogstoppel menerbitkannya. Awalnya
Droogstoppel tidak tertarik, tetapi ketika melihat cerita tentang makelar kopi akhirnya dia
memutuskan untuk mengangkat cerita Sjaalman, dengan dibantu Stern untuk menyusun cerita dan
naskahnya. Cerita berlanjut ketika Stern menceritakan sosok asisten residen yang bernama Max
Havelaar, Havelaar datang ke Lebak menggantikan asisten residen sebelumnya yang meninggal.
Saat itu kondisi Lebak sangat memprihatinkan karena banyak warga yang pergi atau pindah ke
wilayah lain untuk memperbaiki nasib. Hasil bumi di Lebak juga tidak banyak. Havelaar
menganggap dirinya memiliki tugas yang mulia, yaitu menegakkan keadilan, melindungi rakyat
Lebak, dan mencapai kemakmuran di Lebak. Havelaar adalah orang yang baik, adil, murah hati,
dan selalu memihak kepada mereka yang melakukan kebenaran. Tetapi hal tersebut membuat
dirinya dan keluarganya menjadi kesulitan. Sebelum ditugaskan di Lebak, Havelaar bertugas di
natal (sekarang menjadi Sumatera Utara). Havelaar juga menceritakan kejadian - kejadian ketika
dia menjabat di natal.

Hal yang membuat kami pilu yaitu kisah Saidjah dan Adinda, diceritakan bahwa kerbau
milik Saidjah dicuri oleh pejabat distrik, ayah Saidjah yang bingung karena kerbaunya yang hilang
tidak bisa menggarap sawah tepat pada waktunya. Belum lagi mereka harus membayar pajak
tanah, yang sudah menjadi hukumnya. Akhirnya ayah Saidjah menjual sebuah kerisnya kepada
orang Cina yang hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli kerbau. Saidjah merawat kerbau
itu dengan sangat baik dan bersahabat dengan kerbau, tetapi selang beberapa tahun kemudian
kerbau Saidjah dirampas untuk disembelih, Saidjah sangat sedih, akhirnya ayah Saidjah kabur dari
desa karena ia tidak bisa membayar pajak. Ibu Saidjah meninggal karena terlalu menderita. Ayah
Saidjah pergi ke Buitenzorg, tetapi dia dihukum cambuk karena pergi tanpa adanya surat jalan.
Saidjah tumbuh sebagai seorang remaja, ia berteman dengan Adinda (anak dari teman ayahnya)
mereka ternyata saling mencintai, karena kondisi mereka yang kesulitan Saidjah berniat pergi dari
desanya untuk bekerja dan mengumpulkan uang agar bisa membeli 2 ekor kerbau untuk Adinda.
Saidjah pergi selama 3 tahun meninggalkan Adinda, dan mereka berjanji untuk bertemu di pohon
ketapang. Namun takdir berkata lain, Adinda ternyata pergi meninggalkan desanya sebelum dia
bertemu dengan Saidjah. Adinda pergi ke Lampung menyusul ayahnya. Ketika Saidjah
mengetahuinya dia langsung bergegas menyusul Adinda. Namun, ternyata nasib buruk menimpa
Adinda, Saidjah menemukan tubuh Adinda sudah tidak bernyawa akibat sebuah pemberontakan
untuk menentang pemerintahan Belanda. Dijelaskan bahwa banyak sekali cerita tentang Saidjah
dan Adinda yang bisa dibuktikan dengan fakta-fakta yang ada.

Cerita berganti ke Max Havelaar yang menjabat asisten residen di Lebak, Havelaar
menemukan bukti-bukti keganjilan yang ada disana, dari kasus suami madam Slotering yang
meninggal, yang ternyata suaminya meninggal bukan karena sakit, tetapi karena memakan
makanan yang diberi racun. Madam Slotering bercerita bahwa suaminya sama seperti Havelaar
yang sangat menjunjung tinggi keadilan, tetapi berakhir naas. Kekejaman yang dilakukan
pemerintahan Belanda nyatanya memiliki bukti yang jelas, tetapi selalu ditutupi dengan uang.
Havelaar selanjutnya meminta penyelidikan terhadap bupati Lebak karena banyak melakukan
pemerasan dan penindasan terhadap rakyatnya. Havelaar mengirim surat ke residenan untuk
meminta izin agar bupati Lebak diadili dan diperiksa. Setelah mengirim surat ke residen, akhirnya
dia mendapatkan balasan. Balasan tersebut menyatakan bahwa residen tidak setuju jika Havelaar
menyelidiki bupati Lebak, dan sangat menentang tindakan Havelaar. Havelaar akhirnya
memutuskan untuk mengundurkan diri dengan mengirimkan surat ke Gubernur Jenderal Hindia
Belanda yang tidak butuh waktu panjang untuk mengabulkan surat permohonan Havelaar,
akhirnya Havelaar berhenti untuk pekerjaannya dan memutuskan untuk kembali ke Belanda.

Selanjutnya cerita berganti ketika multatuli mengambil alih tulisan Stern, Multatuli
menjelaskan tujuan penulisan bukunya, dan semua keluh kesah yang ia rasakan sebagai seseorang
yang selalu dikucilkan dan tidak pernah didengar. dan meluapkan kekesalannya kepada
pemerintahan Hindia Belanda. Buku Max Havelaar ini bertujuan agar semua orang dari kalangan
bawah sampai kalangan atas membaca dan melihat kekejaman pemerintahan Belanda terhadap
penduduk pribumi di Hindia Belanda.
Kami setuju bahwa buku Max Havelaar ini merupakan salah satu karya paling penting pada
masanya, bahkan sampai sekarang. Mengingat buku ini memiliki pengaruh yang besar dalam
mengkampanyekan perdagangan yang adil dan juga mendorong dijalankannya kebijakan politik
etis di Hindia Belanda menjelang abad 20 atas desakan golongan liberal di parlemen Kerajaan
Belanda. Namun, novel yang sudah berumur lebih dari satu abad ini agak sulit untuk diikuti karena
memang novel ini adalah novel terjemahan, yang mana biasanya akan berubah tata bahasanya dan
berujung membingungkan dalam proses penerjemahan isi novel. Selanjutnya, novel ini juga
menggunakan format penulisan yang cukup membingungkan jika pembaca tidak terbiasa
membaca novel-novel lama, Apalagi novel ini dinarasikan oleh tiga orang yang sangat berbeda;
Droogstoppel yang sombong, Stern yang simpatik, dan Max Havelaar sendiri, yang menceritakan
ceritanya dengan sangat rinci, yang menurut kami memberikan penggambaran yang kurang lebih
nyata atas keadaan dalam ceritanya. Namun, terlepas dari kesulitan tersebut, salah satu kelebihan
menjadi perhatian kami dalam novel ini adalah pada bagian cerita mengenai seorang pemuda lokal
bernama Saidjah. Ceritanya sangat menonjol di antara cerita-cerita lainnya, cerita Saidjah yang
sangat menyedihkan ini menggambarkan dengan apik bagaimana buruknya perlakuan yang
dihadapi oleh para penduduk lokal di Hindia Belanda.

Kami mengidentifikasi beberapa masalah mendasar yang ada di Hindia Belanda pada saat
itu sebagaimana disampaikan oleh Multatuli lewat novel Max Havelaar ini, masalah-masalah yang
menginspirasi golongan liberal di Belanda untuk mendorong kebijakan politik etis untuk
dijalankan di Hindia Belanda, yang diantaranya adalah: Pertama, Kerajaan Belanda memaksa
daerah jajahannya untuk menghasilkan tanaman ekspor untuk menghasilkan pendapatan yang
lebih banyak lagi, tetapi justru mengabaikan penanaman tanaman pokok sehingga justru terjadi
kelaparan dan kemiskinan di koloni yang tadinya selalu memiliki cukup makanan dari tanaman
pokoknya. Kedua, harga dari komoditas ekspor itu justru tidak stabil dan tidak dapat diandalkan
untuk mendapatkan kapital yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur industri yang
dibutuhkan, sebagai hasilnya, Hindia Belanda dapat dikatakan tertinggal dalam melakukan
industrialisasi. Ketiga, perpajakan yang berlebihan dan memberatkan penduduk lokal menambah
masalah di atas tumpukan-tumpukan masalah yang sudah ada akibat dari ekonomi kolonial yang
berorientasi pada sektor ekspor yang justru tidak dapat diandalkan. Kami sangat setuju dengan
pendapat bahwa kebijakan agrikultur yang lebih mementingkan komoditas ekspor ini justru
memperlambat industrialisasi, kami menyetujuinya dengan pertimbangan bahwa Amerika Serikat
yang pada 1850an sudah membangun sabuk gandum dan jagung, dan mulai 1860an merevolusi
sektor agrikulturnya mengalami industrialisasi dengan cepat, berbeda jauh dengan kawasan yang
masih relatif dekat, yaitu Amerika Latin, kawasan tersebut tidak mengalami industrialisasi karena
pada saat itu lebih berorientasi untuk memprioritaskan tanaman kapas yang menjadi komoditas
ekspor utamanya.

Terakhir, kami sepakat bahwa “Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang
Belanda” adalah novel yang secara keseluruhan sangat bagus dan sangat direkomendasikan untuk
dibaca, dengan pertimbangan bahwa tema kolonialisme dan materialisme yang diangkat oleh novel
ini ternyata tidak mengenal batas waktu, karena dampak dari kolonialisme dan materialisme,
bahkan juga prakteknya masih dapat dilihat dan dirasakan di banyak belahan bumi, juga termasuk
di Indonesia pada saat ini.

Anda mungkin juga menyukai