Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH

PERJUANGAN DU’A TORU

MELAWAN BELANDA DI TANA AI SIKKA

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD)

ARKEOLOGI, KAJIAN SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL

KUPANG

2006
Sejarah Perjuangan Dua Toru Melawan Belanda di Tana Ai Sikka

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Kehadiran bangsa barat pada abad ke-16 di bumi Nusantara mambawa dampak yang sangat
besar bagi kehidupan Bangsa Indonesia. Dampak tersebut dapat dilihat pada pelbagai bidang
kehidupan, antara lain di bidang politik, ekonomi, dan bidang budaya. Dalam bidang politik ,
bangsa Indonesia kehilangan kedaulatannya. Di bidang ekonomi, sumber daya alam dan sumber
daya manusia di eksploatasi sedemikian rupa sehingga rakyat Indonesia menjadi miskin dan
hidup menderita. Di bidang budaya tradisi barat dianggap lebih tinggi dan lebih terhormat
sedangkan tradisi-tradisi lokal dianggap rendah dan kolot.
Dengan politik devide et impera pemerintah Kolonial Belanda menguasai satu demi satu
kerajaan-kerajaan di seluruh wilayah Nusantara. Kerajaan Sikka, Kerajaan Nita, Kerajaan Kangae
di Wilayah Flores Tengah yang sekarang merupakan Kabupaten Sikka tidak luput dari sasaran
politik devide et impera ini.
Akan tetapi kehadiran bangsa barat di Indonesia bukan diterima dangan pasrah, tetapi
ditentang dangan keras oleh seluruh rakyat kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh Wilaya
Indonesia, seluruh rakyat berusaha mengusir kaum penjajah. Timpul perlawanan di seluruh
wilayah tanah air, seperti Thomas Matulessy, Kristina Martha Tiahahu, Sultan Angung, Untung
Senopati, Raden Mas Said, Sultan Angeng Tirtayasa, Sultan Hassanuddin, Diponegoro, Imam
Bonjol, Panglima Polim, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Sisingamangaraja, dan lain sebagainya.
Selain itu masih ada pejuang-pejuang lokal di Wilayah Nusa Tenggara Timur yang telah
ditulis riwayat perjuangannya sehingga terlah dikenal oleh masyarakat yaitu antara lain Bil Nope,
Nahak Maroe Rai, Moruk Pan Sunan, Sobe Sombay, H. A. Koroh dari daratan Timor, Umbu
Tunggu Maramba, Taralandu, Umbu Biditan, Umbu Haumara, Umbu Nai Lalu, Rato Loughe
Kandua, dan Wona Kaka dari Pulau Sumba.
Sedangkan tokoh-tokoh pejuang terkenal dari kepulauan Alor dan dari Lembata antara lain
adalah Malie Lehi dan Polo Ama, serta tokoh dari Pulau Flores antra lain adalah Motong Rua dan
Masang Pacar dari Kabupaten Manggarai, Nipa Do dan Selo Lejo dari kabupaten Ngada, Mari
Longa dan Herman Fernandes dari kabupaten Ende dan Flores Timur. Sementara beberapa tokoh
yang sudah ditulis riwayat perjuangannya dari Kabupaten Sikka adalah Teka dan Iku serta Don
Thomas.
Pada kesempatan ini kami menambah lembaran sejarah perjuangan rakyat Nusa Tenggara
Timur dangan mengangkat seorang pejuang wanita yaitu Du’a Toru khususnya Kabupaten Sikka.
Tokoh pejuang ini berasal dari Wilayah Tana Ai yang sekarang merupakan Wilayah Kecamatan
Talibura.

B. Masalah.
Masalah yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini adalah (1) latar belakang yang mendorong
perjuangan Du’a Toru melawan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1912, (2) bagaimana bentuk
dan jalannya perlawanan Du’a Toru, dan (3) dampak dari perjuangan Du’a Toru.
C. Tujuan dan Kegunaan.

1. Tujuan.
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui latar belakang yang mendoroong Du’a Toru untuk berjuang melawan
Pemerintah Kolonial Belanda di Tana Ai.
b. Mengetahui bentuk dan jalannya perjuangan Du’a Toru.
c. Mengetahui dan dari perjuangan dari Du’a Toru melawan Pemerintah Kolonial Belanda
bagi rakyat Tana Ai.
2. Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan berguna (a) sebagai bahan bacaan bagi masyarakat yang
berminat pada masa kesejarahan, (b) sabagai bahan atau materi pelajaran sejarah pada jenjang
pendidikan desar, pendidikan menegah dan pendidikan tinggi, (c) sabagai khasanah untuk
memperkaya ilmu pengetahuan sejarah, (d) sebagai bahan referensi bagi penulis sejarah di
Derah Nusa Tenggara Timur khususnya Kabupaten Sikka, dan (e) sebagai data pendukung
untuk mengusulkan Du’a Toru menjadi pahlawan nasional.
D. Tinjauan Pustaka.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Indonesia menggantikan Kompeni
(VOC) dilakukan ekspedisi-ekspedisi dalam rangka penaklukan daerah-daerah di Indonesia,
termasuk daerah-daerah kawasan yang sekarang bernama Nusa Tenggara Timur. Pusat kegiatan
Pemerintah Hindia Belanda di kawasan ini adalah Kupang di Pulau Timor. Sebelumnya sebagian
Daerah Nusa Tenggara Timur ini dikuasai oleh bangsa Portugis. Tetapi wilayah-wilayah
kekuasaan Portugal di kawasan ini, antara lain Pulau Flores, berdasarkan Perjanjian Lisabon
tahun 1859 diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dengan ganti rugi sebesar seratus
golden. Berdasarkan perjanjian itu, maka pada tahun 2879 ditempatkan G. A. Van Siek di
Maumere sebagai Posthonder (Mandalangi, 1996).
Upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan kekuasaan dan pengaruhnya di
seluruh wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Sikka dilakukan dengan mengakui
keberadaan dua kerajaan baru di samping Kerajaan Sikka yang sudah ada sebelumnya. Kedua
kerajaan yang diakui Pemerintah Kolonial Hindia Belanda itu adalah Kerajaan Nita pada tahun
1885 dan Kerajaan Kangae pada tahun 1902. Pada waktu pelantikan Raja Moang Nai Juje pada
tahun 1902 di Waipare dilakukan juga penandatanganan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek).
Penandatanganan Korte Verklaring ini berarti Kerajaan Kangae telah berada di bawah kekuasaan
Kolonial Belanda. Sebagai bawahan atau yang dikuasai, rakyat Kerajaan Kangae berkewajiban
untuk membayar pajak dan bekerja rodi untuk kepentingan penguasa Kolonial Hindia Belanda.
Pajak dan rodi serta kewajiban-kewajiban lain yang dibebankan menyebabkan rakyat Kerajaan
Kangae yang umumnya petani hidup menderita.
Suatu masyarakat yang hidup dari pertanian, seperti masyarakat di Wilayah Kerajaan
Kangae di Pulau Flores, memiliki kerawanan-kerawanan. Wolf (1985) menyatakan bahwa kaum
tani selalu rawan terhadap sejumlah tekanan yang dating dari luar dan mengancam kehidupannya.
Ada tiga macam tekanan yaitu (1) tekanan yang berasal dari ekotipe petani sendiri seperti rekanan
dari lingkungannya, (2) tekanan yang berasal dari sistem social petani dalam rangka
mempertahankan hidup dan (3) tekanan yang berasal dari masyarakat luar baik secara politik,
ekonomi, maupun militer. Salah satu tekanan dari masyarakat yang dating dari luar lingkungan
adalah kekuasaan Kolonial Belanda.
Penaklukan dan penguasaan wilayah kerajaan menimbulkan perubahan besar dalam
sistem pemerintahan tradisional. Penaklukan dan penguasaan itu menimbulkan tekanan kepada
penduduk akibat kerja rodi, penerapan pajak dan perubahan status dan peran para pejabat
tradisional. Beberapa kerajaan digabungkan dan rajanya diturunkan status menjadi penguasa
distrik (raja bawahan). Kenyatan ini menimbulkan trauma bagi penduduk di wilayah yang telah
ditaklukan. Perubahan yang dilakukan Belanda tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, karena
itu diterima sebagai tekanan.
Menurut Selo Sumarjan (1982), rakyat yang tertekan cenderung untuk menjadi agresif
begitu mereka semakin menyadari adanya kesenjangan antara keadaan mereka sekarang
(kenyataan) dan keadaan yang diinginkan (harapan). Sikap agresif akan terwadahi dan semakin
menunjukkan kegiatan konkrit dalam bentuk perlawan bila terdapat seorang pemimpin yang
mampu mendorong dan memimpin mereka .
Pelbagai perlawanan bersenjata merupakan bentuk reaksi terhadap Kolonialisme Belanda
di daerah-daerah di Indonesia terutama dalam abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas
( Frederick dan Soeroto, 1984). Hal ini dipertegas pula oleh Kartodirdjo (1984) yang mengatakan
bahwa sesungguhnya abad kesembilan belas merupakan satuan priode pergolokan sosial yang
menyertai perubahan sosial sabagai akibat pengaruh barat yang semakin kuat. Sedangkan di
Nusa Tenggara Timur, umumnya pergolokan sosial berupa perlawanan kaum tani terhadap
penguasa, baik penguasa asing mau pun penguasa pribumi (raja dan bangsawan ) baru
berlangsung sejak priode modernisasi perekonomian dan politik masyarakat yang semakin
meningkat.
Umumnya seluruh proses peralihan dari tradisionalitas ke modernisasi ditandai oleh
guncagan-guncagan sosial yang silih berganti terutama berupa perlawanan yang terjadi di mana-
mana. Perlawanan-perlawanan terhadap penguasa asing (Kolonialisme Belanda) di Daerah Nusa
Tengara Timur antara lain telah disebutkan di atas. Para penulis sejarah (Kartodirjo, 1984)
menganggap bahwa perlawanan-perlawanan baik fisik maupun non fisik, yang dilakukan oleh
rakyat dari barbagai kerajaan di Nusantara terhadappenguasa Belanda adalah suatu ledakan yang
tidak disenangi. Meraka senantiasa sudah puas dengan mengemukakan faktor-faktor ekonomidan
budaya yang menjadi penyebabnya. Sesunguhnya pelbagai macam rasa tidak senang mencapai
puncaknya pada perlawanan-perlawanan seperti di Kerajaan Kangae ini.
Dalam rangka kontak antara kebudayaan barat dan kebudayaan Indonesia, perlawanan-
perwanan baik fisik maupun non fisik dari masyarakat petani dapat dipandang sabagai gerakan-
gerakan protes terhadap masuknya perekonomian barat yang tidak diinginkan dan proses terhadap
pengawasan politik. Kedua hal tersebut merongrong tatanan masyarakat tradisional.
Terganggunya keseimbagan lama masyarakat tradisional, tidak disangsikan lagi, telah
menimbulkan frustasi dan rasa tersingkir yang umum. Perasaan-perasaan tersebut jika
dikomunikasikan berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang luas. Keadaan seperti ini
pasti akan meledak apabila difokuskan di bawah seorang pemimpin yang mampu mengarahkan
potensi agresif itu terhadap sasaran-sasaran tertentu.
Sebagai gerakan sosial, perlawanan-perlawanan itu tidak menujukkan ciri-ciri modern
dan agitasi yang meliputi suatu Wilayah yang luas. Perlawanan-perlawanan masyarakat tani itu
umumnya besifat lokal dan tidak mempumyai hubungan yang satu dengan orang lain. Mereka
tidak tahu apa yang mereka bertindak dan melawan. Mereka ingin mengusir penjajah, bahkan
daerah-daerah yang belum dijangkau oleh penguasa Kolonial Belanda, rakytnya siap
mempertahankan diri agar tidak dikuasai. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka
sedang mengambil bagian dalam suatu gerakan sosial yang revolusioner. Yang pasti adalah
bahwa tidak ada realisme dalam tujuan perlawanan mereka. Umumnya para pemimpin
perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata dan seandainya perjuangan (perlawanan) itu berhasil.
Karna itu perlawanan-perlawanan bersenjata dan tidak bersenjata seperti itu sudah seharusnya
gagal (Kartodirjo, 1984).
Sementara itu Frederick dan Soerato (1984) mencatat bahwa dari data historis yang ada,
perlawanan-perlawanan bersenjata di Nusantara biasanya dipimpin oleh orang-orang dari
golongan tertentu dalam masyarakat. Umumnya dalam perlawanan terhadap Belanda yang
beragama Kristen, kecuali di Nusa Tengara Timur, pemimpin perlawanan adalah para ulama atau
para kyai Islam. Sebagai pemimpin perang, para ulama dan kyai juga bertindak sebagai penasihat
dan pemberi landasan kayakinan untuk mempertebal semangat dan tekad perang. Mereka
manyadari bahwa landasan kerohanian sangat diperlukan dalam peperangan disamping
persenjataan lahir. Landasan kerohanian itu dapat diperkuat lagi dengan menciptakan simboyan
perang. Simboyan yang sangat penting dalam perlawananbersenjata, berbentuk seruan, ataupun
identitas perlawanan. Semboyan dapat memberi pegangan mental yang pokok dikalangan
pengikut.
Sedangkan di Daerah Nusa Tenggara Timur, umumnya perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda hanya bermotif politik dan ekonomi, tidak ada motif agama. Rakyat dari
kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara Timur memberikan perlawanan kepada kolonialisme
Belanda karena mereka sangat tertekan dan menderita oleh tagihan pajak dan penyerahan wajib
hasil bumi yang sangat membedakan mereka serta kerja paksa (rodi) yang sangat berat dan
campuran tangan dalam pemerintah yang menurunkan status dan martabat kemanusiaan para
penguasa kerajaan tertentu.
E. Metode Penelitian.

Secara special, penelitian tentang perjuangan Du’a Toru terhadap kekuasaan colonial Belanda
meliputi seluruh Tana Ai sebagai bekas Wilayah Kerajaan Kangae. Wilayah ini pada masa
sekarang dalam atministrasi pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia meliputi
Kecamatan Talibura. Kecamatan ini terletak di bagian timur dari Kabupaten Sikka. Luas
Kecamatan Talibura ini adalah 404,70 km2(Sikka dalam angka 2005)
Sedangkan secara temporal, priode penelitian yang menjadin fokus penelitian ini adalah tahun
1912 ketika Du’a Toru mengadakan perjuagan bersama para pengikutnya hingga Du’a Toru
ditembak mati pada tahun yang sama. Akan tetapi situasi di Kerajaan Kangae dan kerajaan-
kerajaan lain di sekitarnya serta ptistiwa-pristiwa yang terjadi sebelumnya perlu diketahui sebagai
latar belakang perjuangan Du’a Toru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan empat tahap penting
yang harus dilalui.keempat tahap itu adalah heuristik(pengumpulan data), kritik dan interpretasi
(pengolahan dan analisa data) serta historiografi atau penulisan sejarah (Gottschalk, 1986). Pada
tahap heuristic, mula-mula peneliti melakukan studi pustaka untuk mempelajari keadaan
masyarakat Tana Ai, terutama keadaan sosial, ekonomi,budaya dan keadaan politik tradisional.
Pustaka yang dipelajari antara lain adalah People pf the source (Lewis, 1988), sejarah
kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur (Depdikbud, 1978/1979), Sejarah
perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Nusa Tenggara Timur
(Depdikbud, 1982/1983); serta Hikayat Kerajaan Sikka(Kondi, 1996), dan DonThomas Peletak
Dasar Sikka Membangun (Gomez dan Mandalangi,2005).
Semua data dan informasi yang diperoleh dari pustaka di atas masih di bandingkan dengan data
yang di peroleh dari informan (nara sumber) melalui wawancara. Para informan dalam penelitian
ini dipilih dari penduduk Tana Ai (Kecamatan Talibura) yang benar-benar mengetahui kisa
perjuagan Du’a Toru. Nama para informan ada pada lampiran laporan penelitian ini. Setelah itu
semua data dan informasi yang diperoleh baik melalui studi pustaka maupun melalui wawancara,
diedit, diuji dan dinilai. Pengujuan dan penilaian dilakukan dilakukan dengan kritik secara
eksternal dan kritik secara internal. Prilaku ini dimaksud untuk validasi data. Kemudian data yang
teratur dan valid tersebut dianalisa dengan tehnik interpretasi dan akhirnya ditulis dalam bentuk
laporan (historiografi) ini.
BAB II
KEADAAN TANA AI PADA MASA PERJUANGAN DU’A TORU
A. Keadaan Geografi
Tanah Ai adalah suatu daerah di Kabupaten Sikka sekarang yang terletak di sebelah Timur
dan berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur. Dalam administrasi pemerintahan Republik
Indonesia, Tana Ai merupakan Wilayah kecamatan Talibura dalam Kabupaten Sikka. Secara
o
astronomis Wilayah Tana Ai atau Kecamatan Talibura terletak 8 o 22’ dan 8 43’ Lintang
selatan serta antara 122o 18’ dan 122o11’ bujur Timur, sedangkan secara geografis Tana Ai
terletak antara Laut Flores di Utara dan Laut Sawu di Selatan serat Kecamatan Waigete di
sebelah Barat dan Kabupaten Flores Timur di sebelah Timur. Luas Wilayah Tana Ai adalah
404,7km2 atau 23,25% dari luas Kabupaten Sikka (BPS,2003). Daerah Tana Ai terdiri dari
gunung-gunung seperti IIi Darat, IIi Wuli, IIi Namak, IIi Wogot, IIi Teu, IIi Wuko; serta
beberapa sungai dan beberapa mata air, sungai yang terpencil adalah Napun Gete dengan
tebing yang terjal dan lembah yang dalam tetapi selalu meluap pada musim hujan sejak bulan
Desember hingga bulan April yang menggisolasi penduduk di sebelah Timur dan Barat
(Lewis,1988). Sedangkan mata air yang terdapat di Tana Ai adalah Wair Terang, Nanga
Merah, Wair Laka, serta Wait Bak I dan Wait Bak II. Air sungai dan mata air digunakan
untuk kebutuhan akan air minum dan pengairan. Keadaan demikian ditambah dengan curah
hujan sebanyak 3,415mm(BPS,2003) menunjukkan bahwa Wilayah Tana Ai itu cukup subur
dan cocok untuk pertanian padi(sawah,lading) dan jagung serta perkebunan.
B. Keadaan penduduk
Penduduk Tana Ai adalah penduduk daerah perbatasan antara dua kerajaan tradisional dan
antara dua kebudayaan etnis. Kedua kerjaan tradisional itu adalah kerajaan Sikka di sebelah
Barat dan Kerajaan Larantukas di sebelah Timur, serta dua kebudayaan adalah kebudayaan
Sikka-Krowe dan Kebudayaan Solor-Larantuka. Pada zaman dahulu selalu ada perselisian
antara Kerajaan Sikka dan Kerajaan Larantuka karena merebut Wilayah Tana Ai
(Lewis,1988). Perselisian itu berakhir sejak Pemerintahan Kolonial Belanda menetapkan
batas yang tegas pada tahun 1904. Menurut batas tersebut, Wilayah Tana Ai menjadi Wilayah
Kerajaan Sikka dan penduduk Tana Ai menjadi rakyat Kerajaan Sikka. Dengan penetapan
tersebut maka penduduk Tana Ai menjalin hubungan yang lancar dan … dengan penduduk
daerah lain dalam Kerajaan Sikka. Segala orentasi kehidupan seperti ekonomi dan budaya
mengarah pada ekonomi dan budaya Sikka. Pada masa kini sudah jelas bahwa berbudaya
sebagai …budaya Sikka Krowe.
Mengenai asal usul penduduk Tana Ai, menurut tradisi berasal dari dalam tanah atau perut
bumi yang disebut “bubuk hu’u bekor wara, bubuk nora nian bekor nora tanah”(artinya
tumbuh dari jujungan dan hidup dari pikulan, tumbuh bersama dengan alamnya hidup
bersama dengan tanahnya). Pernyataan tersebut berkaitan dengan ungkapan ini:
Ina nian tana wawa : Ibu bumi dari tanah sana
Nganga wa tua bian : buka mulut memuntahkan manusia
Lua dua hua huri : Memuntahkan perempuan untuk lahirkan banyak anak
Ama rai gae teto : Laki-laki melindungi anak dari generasi ke generasi

Ungkapan tersebut mempertegas peryataan bahwa nenek moyang orang Tana Ai berasal dari perut
bumi. Ia muncul dan lahir berkat perkawinan antara NianTana (bumi) dan Lero Wulan ( matahari dan
bulan) sebagai wujud tertinggi. Nian Tana adalah symbol perempuan dan Lero Wulan sebagai symbol
laki-laki. Perkawinan ini menurunkan manusia laki-laki dan manusia perempuan Tana Ai, Mereka hidup,
bertambah dan berkembang menjadi besar dan akhirnya kembalih ke tanah (mati). Sementara itu ada
metologi dalam masyarakat Tana Ai yang menceritakan bahwa manusia awal atau manusia purba
disebut ata tawa tana atau ata teri nian era wa’a, memiliki postur tubuh yang tinggi besar, kekar dan di
seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu yang lebat dan panjang, berbeda dengan menusia yang sekarang.
Orang yang memiliki postur tubuh yang demikian disebut dengan ata pudul (orang hutan). Tempat
tinggal mereka di dalam hutan, di daerah pegunungan, di daerah-daerah yang berkelimpahan hasil alam.
Mereka berpindah dari suatu tempat ke tempat lain (nomaden), kehidupan mereka sangat bergantung
pada hasil hutan (food gathering). Metologi ini sejalan dengan metologi di Tana Ai tentang kehidupan
manusia pertama. Manusia awal atau purba di Tana Ai mulai hidup menetap, menurut metologi
dikisahkan bahwa pada suatu ketika pemimpin kelompok migram (Raja Sina Muti Malaka) pergi ke
sebuah gunung bertemu dengan dua manusia hutan laki-laki dan perempuan (padut lai dan du’a), yang
mempuyai postur tubuh yang tinggi, kekar, besar dan berbulu lebat dan panjang. Kedua orang hutan itu
sedang mencari makan. Lalu mereka diajak untuk pergi ke rumah raja. Setibahnya di ramah raja, mereka
diajak untukn makan dan minum bersama. Kedua orang hutan (padut) rupanya makan dan minum
samapai kenyang dan mabuk lalu tertidur. Melihat kondisi kedua manusia hutan yang sudah tidak
menyadarkan diri, maka sang raja dan istri raja mengambil alat cukur, lalu mencukur bulu pada seluruh
badan kedua orang hutan (pudut) hingga bersih. Usai dicukur, keduanya disiram air dan diberi pakaian.
Karena merasa dingin mereka sadardan bangun. Dengan kondisi yang demikian, maka keduanya
memutuskan untuk tidak kembali lagi ke hutan karena kondisi fisik dan mental mereka sudah tidak bisa
menyatu dengan dunia alam terbuka. Mereka harus hidup menetap dan beranak cucu seperti manusia
biasa. Metologi tersebut jelas menunjukkan sudah ada orang dari daerah lain dating dan tinggal di Tana
Ai, jauh sebelum bangsa kulit putih menguasai dan menjajah penduduk Tana Ai. Orang-orang pendatang
ini diperkirakan adalah orang Proto Malayu dan Deutero Malayu (Orinbao,; 1969).

Anda mungkin juga menyukai