Anda di halaman 1dari 31

Penulis Buku : Anne Both, William J.

O’Malley
Judul Buku : Sejarah Ekonomi Indonesia
Kota Terbit : Jakarta
Penerbit : LP3ES
Tahun Terbit : 1998
Tebal Halaman: 492
A. Kemiskinan dan Kemakmuran Pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau
Jawa ( R.E. Elson )
Sistem tanam paksa yang di terapkan oleh pemerintah Belanda pada tahun
1830 merupakan conoh kelasik penindasan kaum penjajah. Tujuan pokoknya ialah
meningkatkan secara pokok kapasitas produksi pertanian orang-orang Jawa demi
keuntungan perbendaharan Belanda. Sistem tersebut memang berhasil dengan
baik, dengan dihasilkannya sejumlah besar komoditi ekspor, yang penjualannya
sangat meningkat dan mampu menompang keuangan Belanda. Melonjaknya
produksi dan laba ini hampir seluruhnya bersumber kerja paksa kaum tani Jawa.
Sistem Tanam Paksa di nilai oleh ulama sangat buruk bahwa keberhasilan sistem
tersebut dalam menghasilkan laba, diiringi dengan kemiskinan yang secara
sistematis dalam kaum petani jawa. Budidaya kopi merupakan komoditas utama
yang di selenggarakan dalam sistem Tanam Paksa. (Hal 39-43)

Berbeda dengan budidaya kopi, budidaya yang terpenting lainnya dalam


rangka sistem tanam paksa ialah tebu dan nila, kedua jenis tanaman itu ditanam
bergiliran di sekitar saawah-sawah yang tersedia, harus membongkar jaringan dan
saluran pematang yang lazimnya di tanam padi. Dalam suatu desa tidak atau
sedikit terdapat lahan yang sesuai untuk budidaya tebu atau nila, penggarap tebu
menerima upah dari tanah sawah mereka sendiri petani tidak hanya diwajibkan
untuk menanam dan mearawat tanaman tapi juga wajib mengambil hasilnya (3-4
kali setahun). Ada seorang pejabat tinggi menyatakan bahwa dibawah Sistem
Tanam Paksa itu kaum tani di haruskan bekerja 4 atau 5 kali lebih lama dari pada
jam kerja yang dituntut dalam masa sebelum tahun 1830. (Anon.1851,hal.35)

Disamping tambahan kuota hari kerja dan kecilnya imbalan yang mereka
terima, kaum tani itu juga mengalami banyak kesulitan sehubungan dengan
dampak dari budidaya paksa itu terhadap pertanian tanaman pangan. Pertama,
sebagai mana disinggung atas, hari kerja yang dituntut untuk budidaya paksa itu
seringkali banyak waktu yang tersisa untuk penggarapan tanaman pangan yang
tidak bersesuaian dengan penanaman tebu dan nila. Kedua, budidaya seperti tebu
dan nila menggunakan tanah dengan jumlah yang besar dan sebagai akibatnya
kaum tani harus mengkuburkan panen padi atau jagung. (Hal.50-56)

Pandangan mengenai penyebab kemiskinan itu secara jelas mengemukakan


bahwa pada berbagai waktu dan berbagai daerah tertentu kaum tani menderita
kesengsaraan fisik dan materi akibat dari pelaksanaan sitem Tanam Paksa, adapun
banyak bukti dan alasan yang mengakibatkan sitem tanam paksa yang
mengakibatkan kemiskinan dan kesengsaraan pada kaum petani. Namun dengan
adayan berbagai persoalan ini, agaknya cukup beralasan untuk menyimpulkan
pembuktian mengenai hal penyebab kemiskinan itu sungguh sangat lemah, dasar
pembuktiannya sama lemahnya dengan pembuktian mengenai peningkatan
kemakmuran. (Hal.66-72)

B. Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-19: Studi dari
Karisidenan Pekalongan 1830-1870. (G.R. Knight)

Perwujudan industri gula merupakan satu-satunya hasil karya


mengagumkan dari sistem tanam paksa. Tentu saja sebagian hal ini
mengungkapkan penerapan teknologi modern kepada perluasan produksi untuk
pasar dunia, tentang bagaiamana cara melakkannya penjelasan yang diajukan para
sejarawan modern pulau Jawa abad ke-19. Pertama, para aristek industri Belanda
memanfaatkan jalur-jalur wewenang di wilayah pedesaan untuk mendapatkan
kesediaan para petani. Kedua, Kesediaan ini dibeli dengan pembayaran teratur
para petani produsen berdasarkan hasil produksi pabrik mereka. Ketiga. Tuntutan-
tuntutan industri Belanda tidak merusak ekonomi masyarakat pedesaaan, dari
pada yang mungkin di bayangkan. (Hal.74-81)

Adapun bukti-bukti dari Wonopringgo dan dari Pekalongan umumnya


menyatakan perlunya pemikiran kembali secara mendalam akan cara-cara yang
menjamin bahan baku untuk produksi gula yang telah meluas di pulau jawa pada
pertengahan abada ke-19. Memusatkan perhatian dari penggunaan jalur-jalur
kekuasaan traditional di wilayah pedesaanoleh pihak Belanda maupun pada
kemakmuran baru yang ditimulkan oleh industri gula bagi paara petani penanam
tebu. Dalam kenyataanya kaum elite pedesaan yang terlibat dalam pengelolaan
produksi tebu pada pertengaha abad ke-19 mengalami transformasi radikal sendiri
dan menjadikan mereka tak lagi tradisional. Walaupun menanggapi sikap kaum
elite tersebut tuntutan-tuntutan industri serta mengandaikan tumbuhnya
kemakmuran umum berkat perluasan produksi gula yang jauh dari keyataanya.
(hal.86-90)

Ekonomi baru yang merupakan gabungan dari berbagai perkembangan di


wilayah pedesaan daerah pekalongan pada dasawarsa pertengahan abad ke-19.
Salah satu diantaranya adalah apa yang dinamakan “ Penyakit Padi” Pekalongan.
Yang lain dari perluasan bukan hanya dari industri gula melainkan juga industri
nila dalam rangka menjalankan sistem tanam paksa. Semua itu bergabung
menghasilkan kondisi bagi para petani yang menyebabkan mereka jadi sangat
terpaksa makin melibatkan diri dalam produksi gula. Penyaki, padi merusak
sebagian besar panen padi di wilayah pekalongan dari temapat yang satu ke
tempat yang lain yang berbeda-beda intensitasnya semenjak akhir tahun- tahun
1840 hingga jauh dalam tahun-tahun 1860-an. Kegagalan panen hanya merupakan
salah satu faktor, namun dalam krisis pertengahan abad yang mempengaruhi
siklus tahunan penanaman padi dan palawija yang mendasari pertanian tradisional
yang bertepatan dengan tuntuan pemerintahan kolonial akan lahan yang luas serta
tenaga yang banyak. Pada permulaan tahun 1840an pada puncak ekspansi industri
tersebut, nilai memenuhi hampir 10% dari areal sawah yang tercatat di
Pekalongan. Bagaimanapun yang penting dalam pemahaman kita tentang sebab-
sebab petani menanam tebu. (Hal. 92-98)

C. Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya


( Robert van Niel)

Salah satu tujuan Tanam Paksa adalah mengikuti pola-pola kekuasaan


tradisional dari masyarakat Jawa untuk menggerakan kaum tani di daerah tertentu
agar bekerja dalam menghasilkan tanaman untuk komoditas ekspor. Pemerintah
menyadari sejak semula bahwa setiap pengolahan yang di perlukan untuk
produksi ini, mungkin juga harus di kembangkan dengan pemasukan-pemasukan
modal yang diusahakan oleh pemerintah sendiri untuk melengkapinya.
Penyediaan tenaga buruh yang efektif pembiayaannya dan banyak jumlahnya
merupakan syarat utama bagi budidaya tanaman komoditas ekspor. Pada abad ke-
19 pengawasan terhadap buruh lebih penting daripada pengawasan terhadap
tanah. Sistem Tanam Paksa menanggulangi masalah itu dengan menerapka pola
tradisional jawa dalam memperkerjakan tenaga buruh yang menghendaki agar
petani jawa itu menyerahkan sebagian hasil perkebunannya kepada pejabat yang
lebih tinggi dan selama beberapa waktu setiap tahun mengerjakan tugas-tugas
yang ditentukan oleh atasannya (Naessen, 1977). (Hal.100-110)

Kerja wajib atau paksa untuk atasan-atasan berkebangsaan jawa dan untuk
para kepala desa juga meningkat, walaupun pemerintah hanya bertugas untuk
memeriksa apakah ada penyalahgunaan. Petani Jawa bekerja di bawah pemerintah
kepala desa dan atasannya langsung, sambil menganggap pekerjaan itu sebagai
persembahan tradisionalnya kepada pejabat-pejabat yang lebih tinggi. Bagi petani
jawa tidak ada perbedaan dalam jenis kerja paksa; yang ada hanyalah suatu
peningkatan jumlah kerja paksa yang mencolok. Sebaliknya Sistem Tanam Paksa
menyebabkan penilaian yang negatif bagi pekerjaan karena memberikan
kompensasi atau ganti rugi yang serendah mungkin dengan meneruskan
penggunaan pola-pola kekuasaan tradisional. Dampak ekonomi Sistem itu
menggerakan perubahan dan mempercepat kecenderungan yang sudah ada. Dan
adapun petani yang menanam tanaman pada tanah yang di tanaminya bisa di
paksa untuk meninggalkannya jika keadaan memaksa. Tekann-tekanan baru yang
dikenakan pada kaum tani memaksa diadaknnya perubahan atau perbaikan
terhadap hak-hak kaum tani, tetapi tidak ada pengaruhnya atas hak-hak cacah atau
hak-hak kepala pemerintah di atas tingkat desa. (Hal.111-120)

Raffles, dengan memperkenalkan sistem sewa tanah pada tahun 1813


bermaksud untuk ”memperbaiki otonomi” dari dasar unit produksi di jawa yaitu
desa dengan menjadikan kepala desa yang dipilih itu sebagai wakil pemerintah
dalam pemungutan penghasilan. Tanam Paksa melanjutkan proses untuk membuat
desa dijawa menjadi unit paling rendah dalam sistem administrasi terpusat proses
ini di tambah pula dengan menjadikan desa sebagai basis produksi dan unit mata
pencaharian yang utama dari masuknya Jawa ke dalam perekonomian pasaran
dunia. Fungsi ini berlanjut setelah sistem Tanam Paksa ini memudar dan tetap
merupakan dasar kehidupan ekonomi di Jawa selama masa kolonial. Sistem itu
adalah bagian pokok dan pentin bagi suatu proses sejarah yang lebih panjang yang
melibatkan integrasi Jawa ke dalam suatu sistem ekonomi pasar. (Hal. 130-135)

D. Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat : Stagnasi Ekonomi dan Jalan Buntu
dalam Politik (Kenneth R. Young)
Di Pantai Barat Pulau Sumatra, ranah Minang, penanaman dan penyerahan
kopi secara paksa berhasil di lembagakan pada tahun 1847, dan berlanjut menjadi
faktor politik dan ekonomi yang penting selama lebih dari enam dasawarsa.
Sistem Tanam Paksa itu diterapkan di Sumatra Barat dan menunjukkan
bagaimana paksaan itu melahirkan stagnasi dalam perekonomian masyarakat
Minangkabau yang sebelumnya sangat giat dan aktif, suatu keadaan yang
ditambah dengan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir dari abad ke-19.
Sebelum abad ke-19 Belanda tidak berani menjamah pusat daerah Minangkabau
yang terletak diwilayah pegununga Sumatra Barat. Johanes van den Bosch, arsitek
utama sistem tanam paksa di pulau jawa, berkunjung ke Sumatra Barat pada tahun
1833 dengan bertujuan mengatur perdagangan hasil bumi di Sumatra Barat demi
keuntungan Kerajaan Belanda. (Hal.137-145)
Pada tingkat ekonomi yang lebih dasar tanah dan buruh di minangkabau
hamoir tidak di pengaruhi oleh penguasa yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya
dalam komunitas-komunitas sendiri yang di sebut negari yang di rapatkan untuk
meentukan pemimpin yang berasal dari keturunannya. Secara politis tidak ada
pilihan lain bagi Belanda, selain mengadakan pemerintahan tidak langsung
melaluli kepala adat. Bagi kepala adat lebih banyak ruginya dari pada untungnya
karena ikatannya dengan pemerintah kolonial dan melihat pengaruhnya memudar
dan kedudukannya menjadi lemah, apalagi setelah belanda mencoba mengatur dan
menyusun lembaga adat. Produksi dan perdagangan besar dua unsur pokok dalam
kehidupan kampung terganggu karena terganggu adanya hubungan dengan sistem
tanam paksa dan mengalami kemunduran yang besar. (Hal.147-151)
Dibidang ekonomi orang-orang kampung sangat bergantung sekali pada
barang- barang dagang, teristimewa pada garam dan tekstil yang harus di beli
dengan uang. Secara politis, Sistem Tanam Paksa berjalan dengan kekerasan yang
murah, hanya bila para pemuka kampung bisa mengerahkan tenaga kerja yang di
butuhkan, inti dari keterlibatan Minangkabau dalam penanaman kopi adalah
sistem harta kekayaan. Hak dasar kekayaan adalah dasar organisasi produksi dan
lewat hak-haki itu tanah di gunakan oleh perorangan bebas dan ruma tangga. (Hal.
159-163)

Mengubah Ukuran dan Perubahan Ukuran: Pertumbuhan Pertanian Daerah


di Pulau Jawa, 1855-1875

Pulau Jawa pada abad ke-19 seringkali dianggap melambangkan kisah


sukses pertanian. Hasil bumi untuk ekspor seperti kopi, gula dan nila sesudah tahun
1815 luar biasa meningkat, dan pertumbuhan penduduk – walaupun tidak seperti
dicerminkan oleh angka-angka resmi – tetap berjumlah rata-rata 1,0 sampai 1,5%
setahun, angka yang cukup mengesankan. Angka-angka produksi padi, hewan
ternak serta areal yang ditanami menunjukkan kecenderungan yang hampir terus-
menerus naik.

Menghitung dan Menilai

Pada hakekatnya, statistik produksi padi, merupakan hasil sampingan


statistik tanah yang dapat ditanami. Taksiran besar sewa tanah didasarkan pada
perkiraan tentang jumlah areal yang ditanami (dibagi lebih lanjut kedalam 4-6
kategori) diperbanyak dengan perkiraan rata-rata produksi padi (atau jagung) setiap
hektar untuk setiap kartegori. Petugas pemungut sewa tanah menyerahkan hasil
perkiraannya kepada kepala desa yang biasanya berhasil mendapat potongan.
Taksiran besar sewa tanah bergantung pada besarnya tekanan politik.pada tahun
1836 van den Bosch, sebagai mentri Urusan Kplpni, mengajukan saran kepada
pihak berwenang di Batavia, bahwa sewa tanah dapat dinaikkan, hasilnya adalah
peningkatan pesat dalam pendapatan pemerintah, sesudah masa stagnasi yang
relatif panjang. Kebalikannya terjadi sesudah musibah pada akhir tahun-tahun
1840-1n: para residen diberi intruksi agar mengendurkan penafsiran, dan di luar
dugaan pendapatan pemerintah jadi stabil pada tingkat tahun 1846 selama jangka
waktu 10 tahun kemudian.

Dalam produksi padi, jika kita mendapati angka-angka yang sangat tinggi
atau sangat rendah, biasanya ini beriringan masing-masing dengan panen yang
sangat baik dan dengan panen yang gagal, sebagaimana dapat disimpulkan dari
laporan karesidenan umum. ( Hal 171-172)

Contoh yang bagus adalah Cirebon pada tahun 1840-an, Tegal antara tahun 1820
dan 1855, dan Pekalongan antara tahun 1850 dan 1855. Tetapi hendaknya diingat
bahwa angka-angka produksi tanaman tak banyak mengungkapkan taraf prosuksi
sesungguhnya dspat diduga bahwa perkiraan dibawah 25-50%.

Dari lima karasidenan yang diteliti, saya menemukan jejak-jejak survei baru
hanya untuk cirebon dan pekalongan. Pada sebuah laporan bertanggal 1827, Vitalis
yang pada masa itu jadi petugas pemungutan pajak di Majalengka, Cirebon
menyatakan bahwa telah melakukan survei mengenai sepertiga luas tanah yang
dapat ditanami dalam devisinya pada tahun 1824 dan 1825. Satu-satunya contoh
survei awal adalah yang dilakukan di Sukabumi, suatu perkebunan swasta di daerah
Priangan yang dibuka semasa pemerintahan Inggris dan dikembalikan oleh bangsa
Belanda tak lama setelah mereka kembali.

Pada tahun 1853, Survei Statistik Kadaster yang diatur secara sentral
dimulai di Cirebon. Pada akhir tahun 1870-an setelah survei diakhiri di sembilan
karasidenan, Surbei Statistis Kadaster ditiadakan karena biayanya yang terlalu
mahal. Sekalipun di Priangan tidak memakai survei tersebut, namun dari data yang
diku,pulkan jelas bahwa angka-angka karasidenan-karasidenan tersebut dikireksi
ke atas beberapa kalim mungkin sebagai akibat prakarsa lokal. Di Priangan terjasdi
sua kali kenaikan 10% selama kurun waktu dua tahun (1855/57bdan 1863/65),
sedangkan perkiraan adalah 3%.
Kecenderungan-kecenderungan

Areal Sawah per Rumahtangga. Areal sawah per rumahtangga sebagaimana


dilaporkan dalam berbagai sumber, berkisar secara kasar antara 3,5 dan 6,0. Tetapi
kebanyakan karasidenan rata-rata meliputi 4,5.5, 5 jiwa. Karena kriteria yang
digunakan untuk mendefinisikan rumah tangga tidak jelas, maka untuk
perhitungan-perhitungan saya menggunakan standar rumah tangga, yaitu rata-rata
lima orang per rumahtangga.

Jelas bahwa, jika tahun 1815 diambil sebagai titik pangkal, maka
kecenderungan di Cirebon, Pekalongan, dan Tegal semua menurun, (Hal 173-176)

jadi harus ditarik kesimpulan jumlah rata-rata tanah yang dapat ditanami per rumah
tangga menurun selama kurun waktu 1815-1875. Di Cirebon, Tegal dan
Pekalongan perbedaan-perbedaan antara tahun 1815-1875 terlalu besar untuk dapat
dipulamgkan semata kepada pengecilan berlebihan dari angka-angka
kependudukan pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya.

Di Priangan terdapat kecenderungan untuk meningkat tetapi ini mungkin


merupakan dari akibat kenyataan bahwa areal sawah relatif dikecilkan
dibandingkan mengenai kependudukan. Data kependudukan di sana mengalami
koreksi beberapa kali antara tahun 1825 dan 1835, dan mungkin angka-angka untuk
kependudukan untuk tahun 1835 tidak terlalu buruk. Sebelum tahun 1855, angka-
angka untuk berbagai areal tidak menunjukkan peningkatan yang berlebihan,
mungkin karena tidak diadakan penetapan ulang. Sewa tanah belum diadakan di
Priangan, dan angka-angka mengenai produksi padi dan tanah yang dapat ditanami,
dilaporkan oleh para bupati yang menerima sepersepuluh bagian hasil produksi padi
sebagai pajak. Penetapan ulang dari angka-angka ini jauh kurang penting bagi
pemerintah kolonial daripada di karasidenan-karasidenan tempat sewa tanah
diadakan. Antara tahun 1855 dan 1873, terdapat tiga koreksi ke atas dari data tanah
yang dapat ditanami berlebihan, dan hanya satu lompatan ke atas dalam data
kependudukan.
Pada 1857 Statistika KV menyebut adanya 178.595 bau tanah yang dapat
ditanami di Cirebon, tetapin pada tahun 1858- setelash survei selesai- dilaporkan
adanya 514.967 bau. Kejadian ini telah dikemukakan sebagai bukti angka awal
tanah yang dapat ditanami yang sangat dikecilkan. Yang terjadi sesungguhnya
adalah bahwa pegawai yang melaporkan survei telah ikut menghitung 300.000 bau
tanah yang belu, ditanami, tetapi memang dapat ditanami. Baru pada tahun 1873,
kekeliruan ini diketemukan dan diperbaiki.

Produksi Padi per Kapita

Di empat karasidenan dimana statistik untuk tahun 1815 atau 1820 tersedia,
produksi padi per kepala lebih tinggi daripada untuk tahun 1870/74. (hal 177-179)

Masih ada lagi persamaan lain sesudah tahun 1815 (atau dalam satu kasus tahun
1820) terjadi penurunan tajam; tercapailah penurunan antara antara tahun 1830 dan
1845. Produksi perkapita lalu meningkat di lima karasidennan, dengan pencapaian
taraf relatif tinggi antara tahun 1840 dan 1865 sesudah itu kelihatan kecenderungan
menurun yang lainnya. Angka-angka statistika prosuksi padi tidak hanya
didasarkan pada statistik areal serta penetapan kembali panen, melainkan juga pada
garis patokan politik dari Batavia.

Produksi Padi per Unit Sawah

Aspek paling meb=ncolok dari data-data ini adalah bahwa tidak ada
kecenderungan yang nyata/ data yang mengesankan iuntuk tiga karasidenan yang
mengalami penurunan 10% antara tahun 1815 (atau 1825) dan tahun 1870/1874,
tetapi mengingat mutunya kita tidak dapat menarik kesimpulan yang tegas. Semua
karasidenan tetap menduduki produksi posisi relatif selama kurun waktu yang
diperhatikan; Priangan dan Tegal agak tinggi, dibandingkan dengan ketiga
karasidenan lain. Sebelum tahun 1880, areal yang dialiri secara tepat meningkat
hanya sedikit-sedikit dan presentase sawah terbesar bergantung pada curah hujan/

Beberapa persamaan lain dapat disebut, yaitu semua karasidenan


mengalami penurunan (relatif) antara tahun 1830 dan 1840, disusul oleh
penjernihan keadaan di Banten, Priangan dan Tegal. Ketiga-tiganya mencapai
puncak pada tahun 1855 dan 1865. Di Cirebon sama sekali tidak terdapat
kecenderungan, dan di Pekalongan terdapat gambar berlawanan, pasti sebagai
akibat serangkaian panen yang gagal.

Penduduk dan Pertanian

Bagi Priangan dan Cirebon, dimana pertumbuhan penduduk lebih laju dan
presentase anak yang lebih rendah mungkin bertepatan, jika dapat diasumsikan
bahwa wilayah-wilayah tersebut dimasuki oleh imigrasi dewasa secara besar-
vesaran. Tegal seakan-akan menduduki posisi tengah : pertumbuhan penduduk
pusat dan dalam posisi peralihan dalam segi presentase anak, hal mana mungkin
memang adanya imigrasi. (hal 183-191)

Sayang sekali hampir tidak adanya data sebelum tahun 1880: tetapi
presentase petani gurem dapat digunakan sebagai indeks untuk migrasi. Bahwa jika
karasidenan-karasidenan dengan proporsi keluarga petani gurem yang tinggi,
menerima lebih banyak migran dari pada yang dihasilkannya, sedangkan presentase
yang rendah menunjukkan migrasi ke luar netto.

Jika produksi padi per kapita merupakan indikator dari produktivitas kaum
pekerjanya, maka terdapat hubungan erat anatara produktivitas rendah kaum
pekerja dan migrasi di satu pihak, serta produktifitas dan imigrasi di pihak lain.

Sebagai ringkasan mengenai hubungan indikator antara demografi dan


indikator pertanian ini, dapat dikatakan bahwa di Banten dan Pekalongan ynag
miskin, peningkatan alamiahnya terbatas dan imigrasi netto, sedangkan di Priangan,
Cirebon, dan Tegal yang lebuh kaya terdapat imigrasi netto dan setidak-tidaknya di
Priangan dan Tegal laju peningkatan tinggi. (hal 191-194)
Perkebunan 1830-1940: Iktisar

Selama lebih dari satu abad, perkebuann meruoakan aspek terpenting dalam
pemandangan ekonomi Indonesia pada masa penjajahan. Tujuan tanpa malu-malu
dari jajahan ini adalah demi kepentingan negeri Belanda; cara pemelihraan tersebut
yang terbaik menurut anggapan adalah dengan menghasilkan surplus ekspo; surplus
ekspor dengan sangat mudah dan konsisten dicapai di kepulauan nusantara ini
sengan proksi komiditi-komiditi pertanian untuk pemasaran dunia; dan sistem
perkebuana ternyata merupakan cara yang sangat efektif untuk menghasilkan
komoditi-komoditi pertanian yang sangat diinginkan.

Konsep tentang perkebuanna meliputi berbagai komponen-tanah, pekerja,


modal, teknologi, skala, organisasi dan tujuan. Di dalam sistem perkebunan, semua
faktor ini kungkin berbeda-beda, dan memenga demikian halnya, diukurb dengan
tolak ukur yang berdeda-beda, baik sepanjang masa atau dalam kurun waktu
tertentu.

Tanaman Keras di Pulau Jawa

Gula. Sekalipun cara aktual, pelksanaan dan pengaeasan penanaman gula dibawah
sistem tanam paksa berbeda, namun dalam segi-segi penting ia sangayt sejalan
dengan patokan-patokan yang dikeluarkan Batavia.industri gula yang disponsori
pemerintah cukup menguntungkan walaupun tidak secara spektakulerdalam masa
antara tahun 1840 dan Undang-undang Produksi Gula tahun 1870. Sistem
perkebunan pemerintah menjelang yahun 1840 maantap dalam stuktur yang akan
dipertahankannya sampai kira-kira tahun 1870. Jumlah pabrik penggiling serta
lahan yang ditanami tebu dan jumlah total prosuksi atas perintah pemerintah hampir
tak mengalami perubahan selama seperempat abad sesudah tahun 1845.

Industri perkebunan gula sampai Zaman Malaise tahun-tahun 1830-an


merupakan kisah sukses perdagangan belaka. Menjelang tahun 1940-an industri
gula sudah berpusat di wilayah-wilayah yang kelak merupakan jantung industri
gula pada abad kemudian. Ditunjang oleh produk-produk, (hal 197-205)
laba serta pajak diperas dari pangkalanini, industri gulandapat menuntut, dan
memanfaatkan pelebaran jalan, jaringan tranfor dengan kereta.

Kopi. Seperti halnya gula, kopi ditanam oleh petani-petani bumiputra pulau Jawa
dibawah paksaan pemerintah. Berbeda dengan gula, kopi biasanya tidak sitanam
pada lahan pertaniaj biasa, melainkan melainkan digabung dengan tanaman bahan
makanan. Pada masa kobsolidasi Tanam Paksa antara pertengahan tahun 1830-an
dan 1870-an- yang biasanya disebut sebagai kematian Sistem Tanam Paksa-kopi
jelas merupan tanaman ekspor utama di Pulau Jawa. Nilai ekspor gula dan tercatat
pula bahwa sampai penanaman tebu di bawah Sistem ini dikurangi, bagian
keuntungan bagi pemerintah yang dihasilkan oleh kopi adalah 80% (Rebaquain
1985, hal. 319).

Sebagaimana halnya gula, juga ada perkebunan swasta yang menghasilkan


kopi di pulau Jawa pada masa Tanam Pakdsa, yang nilainya meliputi 30% dari nilai
kespor kipi pada tahun 1870 (Allen dan Donnithore 1954, hal. 89). Gula dan kopi
merupakan komoditas selama tahun-tahun Tanam Paksa, baik nagi perusahaan
swasta maupun bagi pemerintah, dan sua komoditi ini tetap sukses sekalipun pada
tingkat yang berbeda-beda dibawah rezi, yang menyusul pada saat itu.

Tembakau. Karena tanaman tembakau sangat memerlukan perhatian, dan menguras


mutu tanah, kerapuhan relatifnya menghadapi perubahan-perubahan cuaca serta
pasarannya yang terkenal buruk karena krtidakstabilannya, maka dibawah Sistem
Tanam Paksa ia terbukti merupakan usaha penuh resiko. Antara tahun 1870 dan
1940, perkebunan tembakau didirikan ditempat-tempat seperti kedu dan kediri,
serta di daerah batu kapur antara Semarang dan Surabaya, tetapi yang lebih berhasil
adalah yang disekitar Klaten, di daerah kesultanan, serta disekitar kota Jember dam
di daerah Besuki. Sengan adanya bantuan teknis, imdustri berhasil membuat bibit
baru, menggunakan pupuk buatan, dan memerangi hama dan penyakit, perkebunan
tembakau bertebaran di pulau Jawa, dan lebih melipat-tigakan produksi antara
tahun 1890-an dan 1920-an. (hal 213-219)
Teh. Seperti juga tembakau, penanaman teh di bawah sistem Tanam Paksa tidak
berkembang. Ditangani oleh swasta sevara mantapwalau tidak memberi tanda-
tanda mengesankan, antara tahun 1860-qn hinggan 1890-an. Setelah menetap
tumbuh di dataran tinggi teh ncukup berhasil. Industri perkebunan teh terpancang
mantap di Jawa Barat. Tetapi terlihat juga di dataran tinggi berbagai karasidenan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang bersama-sama menghasilkan 10% dari imdustri
pulau Jawa pada tahun 1939 (Emden 1949, hal. 124).

Karet. Pada dasawarsa pertama abad sekarang, di pulau Jawa maupun maupun di
banyak tempat lain di daerah katulistiwa, muncul tanaman keras baru yang juga
sesuai dengan penanaman diperkebunan, yaitu karet. Berbeda dengan area
penanaman tebu, perkebunan karet jauh lebih tersebar rata di pulau Jawa.

Gula, kopi, tembakau, teh, dan karet, adalah tanaman perkebunan di Pulau
Jawa, tetapi lebih kurang 20 jenis tanaman di perkebunan-perkebunan di pulau ini
(Kolonial Verslag 1926) dan dua yang ditanam cukup besar-besaran yaitu kina dan
kelapa.

Kepulauan Luar Jawa

Kemajuan pesat sekali di luar pulau Jawa ini lebih bersemangat oleh
penyebaran perkebunan tembakau, karet, teh, kopi dan kopra. Pertumbuhan
memang trejadi di berbagai tempat di kepulauan Indonesia, termasuk bagian-bagian
tertentu pulau Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra Selatan, tetapi tempat kegiatan
perkebunan utama di Pulau Jawa adalah daerah pantai Sumatra Timur yang berubah
dari rimba raya tak terbatas tahun 1860-an menjadi tempat perkebunan nomor satu
di dunia.

Perkebunan dan pemerintah

Hubungan antara pemerintah dan industri perkebunan di Indonesia


merupakan hubungan kodrat yang mutlak diperlukan oleh masing-masing lembaga.
Ini terbukti pada kenyataan bahwa divisi ekonomi politik kurun 1830-1840 (yang
sebetulnya merupakan ekonomi politik/perkebunan), Era Liberal (1870-1900),
Politik Etis (1900-1930), (hal 220-228)
serta Zaman Maleise (1930-1940) digunakan tidak saja dalam analisis ini,
melainkan juga dalam analisa yang dihidangkan hampir dalam semua karangan lain
yang berkenaan dengan sejarah ekonomi Indonesia.

Dibawah Sistem Tanam Paksa pemerintah jajahan Indonesia memegang


peranan utama dalam ekonomi perkebunan dengan mensponsori fan menuntut
produksi komoditi ekspor secarabesar-besaran. Produksi ini tidak saja mengasilkan
dana untuk pemerintah secara resmi, melainkan juga dana pribadi ekstra bagi
pejabat-pejabat pemerintah dalam bentuk persentase-presentase yang menjadi hak
mereka.

Selama periode Liberal, peranan aktif pemerintah dalam produksi


perkebunan sangat merosot, walaupun pemerintah katanya mengambil sikap laisse-
faire, ia tidak berdiri di pinggiran antara tahun 1870 dan akhir abad ke-19 (Day
1904, Bab 10 dan 11). Pemerintah masih berkepentingan besar dalam produksi gula
dan kina, ia berusaha mati-matian untuk memastikan bahwa industri gula diberi
cukup bantuan dalam usaha menyesuaikan diri kepada kondisi usaha bebas, dan
emmegang peranan penting dalam menyediakan antara jalan, rel kereta api, dan
pelabuhan yang membantu peningkatan kesehatan serta daya tarik industri
perkebunan para investor.

Zaman Malaise membantu pengungkapan betapa eratnya jalinan hubungan


kepentingan perkebunan dengan kepentingan pemerintah di Indonesia. di waktu
kemerosotan di pasaran dunia untuk hampir semua hasil pertanian menyebabkan
industri demi menghadapi krisis, dalam keadaan demikian pemerintah mengambil
tindakan tambal sulam apa saja yang kelihatan berguna. Menyetujui pemberhentian
kaum pekerja serta kaum pekerja serta pengurangan upah dan gaji Menyetujui
pemberhentian kaum pekerja serta kaum pekerja serta pengurangan upah dan gaji
walapun ini berarti pelanggaran kontrak, serta membantu pengusaha perkebunan
mengadakan perjanjian yang murah serta kesepakatan dengan pemilik lahan
Indonesia berkenaan dengan lahan yang di kontrak, yang tidak diinginkan lagi. (hal
228-231)
Perkebunan dan Orang Indonesia

Masalah besar tentang bagaimana tepatnya ekonomi perkebunan di berbagai


tempat, pada waktu-waktu berbeda dan lambat laun, mempengaruhi ekonomi
rakyat. Berkenaan dengan monetisasi dalam bidang ekonomi, tak dapat disangkal
bahwa perkebunan memegang peran penting. Jarringan perkebunan berinfestasi
dengan pertanian rakyat dalam berbagai cara yang rumit dan perdebatan lama
mengenai sistem beras/gula, tembakau, teh, karet, kapas kopra, dan kopi.

Perkebunan-perkebunan dapat menciptakan lowongan-lowongan pekerja


baru dan bahkan kategori-kategori pekerjaan yang baru bagi bangsa Indonesia,
seperti pekerjaan tukang pedati untuk perkebunan-perkebunan gula, pembangun
gudang untuk perkebunan tembakau, pembuka lahan untuk perkebunan di daerah
bukit, serta leveransir bahan-bahan pengepakan untuk semua perkebunan bisa
muncul dan menghilang dengan berlakunya waktu. (hal 232-233)
Petani dan Pembudidayaan Kopi di Karasidenan Cirebon, 1800-1900

Pembudidayaan kopi dimulai oleh VOC di pulau Jawa pada dasawarsa


terakhir abad ke-17, dan meluas terutama di Jawa Barat, pada tahun-tahun 1720-an,
waktu kopi terbukti sangat menguntungkan di pasaran Eropa. Dengan Priangan dan
aresl cukup luas di Cirebon, terutama wilayah dataran tingginya yang lebih dari
1.000 mter diatas permukaan laut, menjadi pembudidayaan kopi yang penting pada
dasawarsa –dasawarsa awal abad ke-18.pada waktu itu cirebon masih merupakan
kesultanan yang merdeka, tetapi lambat laun berada di bawah penguasaan
lamngsung bangsa Belanda yang memanipulasi konflik intern demi kepentingan
politik mereka di daerah ini.

Kepentingan dagang dan politik Belanda mulai mengubah gaya kehidupan


demikian dan kopilah yang menjadi faktor utama penyebab perubahan ini. Mula-
mula Belanda hanya menawarkan harga pembelian bagi kopi, dalam jumlah
beberapa untuk kaum ningrat Cirebon kepada VOC. Dengan meningkatnya
kekuasaan Belanda dan setelah permintaan akan kopi di pasaran eropa meningkat,
pembudidayaan kopi mulai dihadapi dengan serius.

Limabelas tahun abad ke-19, tidaklah mengun tungkan bagi pengusaha kopi
di Cirebon. Perang-perang Napoleon menimbulkan kesulitan bagi perdagangan
kopi di Eropa dan Asia, dan waktu Inggris tiba pafa tahun 1812m nereka dapati
gudang-gudang kopi membengkak berisi biji kopi yang tidak dapat dijual. Namhsa
inggris mengubah seluruh sistem produksi kopi. Inggris mengontrakkan
perkebunan kepada para bupati Cirebon. Mereja bebas membudidayakan kopi
dengan syarat memenuhinpaajak dan sewa lahan. Namun hasilnya jelek. Karena
yang membeli hanya pemerintah, dan dengan harga murah. Akhirnya mereka
melepaskan kontrak dan akibatnya perkebunan dipenuhi semak belukar.

Waktu Belanda kembali, hak kontrak diberikan kepada para kepala desa di
wilayah pembudidayaan kopi. Dalam rencana ini, penduduk desa menanam dan
mengolah kopi. Sedangkan kepala desa mengurusi kruangannya. ( hal 238-241)
Di bawah pembudidayaan bebas ini, para kepala desa merupaklan unsur kunci
dalam produksi kopi dan mereka menggunakan kekayaan serta kekuasaan baru
untuk menetapkan kedudukan mereka pada puncak piramida sosial lokal.

Di bawah rencan abaru ini, kepala desa serta sikep-sikep lain yang
berpengaruh sanggup mempppppetahankan kedudukan mereka yang penting dalam
produksi. Mereka yang menentukan wilayah-eilayah yang akan ditanami kopi,
mereka mengatur pekerja-pekerja yang tenaganya dibutuhkan, mengawasi
pensnaman, perawatab, pemetikan, pengolahan, menortir kopi serta membagikan
uang yang dihasilkan. Jumlah uang yang masuk ke Cirebon sebagai hasil penjualan
kopi setiap tahun berubah-ubah, tergantung besar panen dan beberapa faktor lain.

Secara ekonomi. Sikep terkemuka luar biasa beruntung dalam berbagai cara.
Beberapa sikep ini malah siangkat menjadi pengawas resmi kebun kopi, dan untuk
pekerjaan demikian mereka mandapatkan gaji bulanan tetap.

Selama sekitar 30 tahun sistem ini berjalan dengan cukup baik. Pemerintah
menerima kopi dalam jumlah yang, walaupun sering naik turun setiap tahun, rata-
rata tetap mengesankan. Pejabat=pejabat desa menerima pembayaran secara teratur.
Dan sekalipun uangnya tersalur jauh dari merata, para petani menetima banyak
sekali uang pembayaran untuk kopi mereka. Tapi menjelang tahun-tahun 1860-qn,
berbagai masalah timnul dalam Sistem tersebut di Cirebon, dan penanaman kopi
secara paksa mulai merosot pesat sampai sesudah peralihan abad. ( hal 244-253)
Pemerintah dan Industri Karet yang Muncul di Indonesia dan
Malaysia, 1900-1940

Pola Kesejarahan

Segala peristiwa di sekitar pemaksaan tana,am havea Brasiliensi dari


Amweika Selatan ke Asia Selatan dan tenggara pada bagian akhir abad ke ke-19
disokumentasikan dengan baik. Perkembangannya yang pesat dan bersinambungan
dimulai di Indonesia dan Malaya pada saat peralihan abad yang lampai, sefangkan
Malaisia unggul dalam hal luas areal yang ditanami karet. Di Indonesia penanaman
karet pada tanah perkebunan dibangun di Sumatra Timur, diman karet memacu
perluasan ekonomi diperbaharui kembali, menyusul krisis tembakau pada akhir
dasawarsa 1880-an yang lainnya di Jawa.

Industri karet petani kecil di Indonesia berkembang agak terlambat, tumbuh


subur ketika terjadi lonjakan luar biasa pad tahun-tahun 19009-1912, dimana harga
karet di bursa London mencapai rat-rata f.8-f.9 perlembar. Lokasi utama kebun
mereka terdapat di daerah yang kini dikenal dengan Povinsii Jambidan Sumatra
Selatan, dengan daerah yang kurang besar di Sumatra Utara dan Riau.

Sebelum mulai dibudidayakannya karet, perekonomian di Malaya jauh


kurang mengembangkan bidang pertania dbanding Indonesia. pengusaha (lada,
tapioka, gambir) golongan cina berkedudukan utama sampai dasawarsa 1880-an
dan 1890-an. Metode penanaman dan hasil tanaman Cina mengakibatkan
terkurasnya kesuburan tanah. Dan setelah tahun 1894 keadaan ini bertambah parah
karena merosotnya harga pasar kopi serta munculnya berbagai hama tanaman.
Berbagai kesulitan ini mendorong peralihan secara luas usaha perkebunan karet
pada bagian dini pada dasawarsa 1900-an (Jackson 1968). Benih pohon karet
banyak tersdia pada Kebun Raya (Botanical Garden) di Singapure, dimana sudah
tercapai penerobosan yang penring dalam hal teknikik penyadapan karet (Drabble
1973). (hal 259-262)
Sikap terhadap Pembangunan

Dalam kenyataannya budidaya karet dipandang menguntungkan oleh


budidaya kolonial di Indonesia dan Malaya, dimana pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 ini banyak didorong oleh motivasi dengan tujuan menciptakan peluang
niaga baik. Di Indonesia selama abad ke-19 kaum penguasa Belanda telah beralih
dari penarikan komoditi ekspor berdasarkan kebijakan paksaan (Sistem Tanam
Paksa, 1830-1870) ke arah cara pendekatan laisses-faire (politik liberal, 1870-
1900).

Seperti halnya berkenaan dengan kaum tani karet Indonesia, penduduk


Melayu dalam budidaya karet kecil-kecilan terjadi tanpa dukungan pemerintah.
Sebaliknya penalaran dasar yang diajukan oleh pihak Inggris berkenaan dengan
kebijaksanaannya ialah kedudukannya sebagai perwalian bagi penduduk Melayu
yang dipandang lebih cocok dengan ekonomi tradisonal, seperti misalnya bertanam
padi daripada menghasilkan budidaya komersial seperti karet.

Perbandingan Pengalaman

Tanah. Persedissn lshsn luar dengan syarat-syarat ringan merupakan syarat mutlak
bagi pengembangan perusahaan perkebunan di kedua daerah jajahan (Voon!976).
di Pulau Jawa banyaknya tanah kosong, yang belum dituntut sebagai milik oleh
perorangan ataupun oleh komoditas setempat, berada dibawah judiksi pemerintah
berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1817. Lahan kosong itu disediakan
khususnya untuk perusahaan perkebunan Eropa dengan perjanjian sewa jangka
lama dengan hanya dibebani biaya 1%-2% dari jumlah biaya pembukaan lahannya
(Aken 1923).

Sebailiknya, di Malaya pihak penata tanah menyediakan hak guna usaha


khusus bagi penduduk bumiputra yang diperkenenkan mengutamakan usaha
sebidang tanah kurang dari 4 hektar dengan hak mewariskan dan menjual tanah itu,
bahkan dapat digunakan sebagai uang pinjaman sewa rendah. (hal 267-272)
Tenaga Kerja. Persediaan tenaga kerja juga diperlukan untuk suksesnya
pengembangan kebun karet, kerena karet merupakan suatu budidaya yang lebih
padatkarya di antara berbagai jenis tumbuhan kekal.

Jika di Pulau Jawa perkebunan dapat saja mengerahkan buruh dari kalangan
penduduk setempat yang melarat, tapu Sumatra dan Malaya perlu buruh yang
berasal dari luar. Buruh untuk Sumatra Timur awalnya dari Cina, namun berangsur
pindah dari penduduk Jawa yang lebih murah. Sedangkan Malaya buruh pendatang
berasal dari India, kemudian dalam jumlah kecil didatangkan dari Cina.

Perusahaan perkebunan karet Kurang mengalami campur tangan


pemerintah soal pengerahan tenaga kerja, selain larangan bentuk kontrakan kuli.
Upah diberikan atas dasat tawar-menawar dengan tenaga kerja yang tinggal di luar
perkebunan. Namun, di Sumatra Timur dan juga Malaya, banyak juga campur
tangan dari pemerintah. Di Sumatra Timur berlaku istem Peonale Sancetie dengan
kontrak buruh sampai awal dasawarsa 1930-an.

Perpajakan. Di Indonesia pajak utama yang dibebankan pada produsen karet adalah
pajak atas laba perseroan bersangkutan. Sekalipun pajak ini hanya 10%. Di Malaya,
dari semua dipungut bea ekspor sebanyak 2,5-3,0% dari seluruh ekspor karet.
Diganungkan dengan premi dan sewa tanah yang dipungut dari kaum tani kebun
karet, pajak ininmerupakan sumber pendapatannegara yang kian penting. (hal 274-
284)
Evolusi Kebijakan Fiskal dan Peranan Pemerintah dalam Perekonomian
Kolonial

Kebijakan Fiskal Kolonial pada Abad ke-19

Pertama-tama dari tahun 1800 hingga kira-kira tahun 1830 merupakan suatu
periode percobaan tetapi percobaan-percobaan iyu yang terkenal adalah usaha
orang inggris untuk menetapkan suatu sistem pajak tanah yang seragam
berdasarkan penilaian perseorangan, telah gagal (Bastin, 1945).

Pada periode kedua, bertepatan dengan sistem Tanam Paksa, periode


percobaan berubah menjadi masa pemerasan tenaga secara sistematis, yang tujuan
utamanya adalah menjamin sulplus fiskal sebesar mungkin untuk dikirimkan ke
Belanda. Selama seluruh periode Sistem Tsnsm Paksa, penghasilan kotor yang
penjualan produk-produk berkisar antara 50 dan 60% dari seluruh pendapatan,
sisanya didapatkan dari minopoli atas beberapa produk seperti garam dan candu,
pajak tanah, pajak impor dan pajak ekspor.

Day mengatakan pecahnya perang Aceh (187#) sebagai penyebab utama


berakhirnya era panjang dari surplus-surplus fiskal kolonial itu. Antara tahun 1876
dan 1899, surplus anggaran negara hanya terjadi enam tahun; untuk membiayai
defisist-defisit dari perjanjian-perjanjian pinjaman oleh Bagian Urusan Koloni,
Departemen Keuangan Belanda. Dalam masa tahun 1894 sampai 1923 terjadi
empat tahap perubahan. Dari tahun 1848 hingga tahun 1866 terdapat sedikit
pertambahan yang dipertahankan (little sustained growt). Dari tahun 1885 terdapat
pertambahan yang dipertahankan sampai beberapat fluktuasi. Dari tahun1886
sampai 1894 terdapat sedikit penurunan, sedangkan dalam periode 1896-1913
nilai0nilai sesungguhnya dari penilain umum hampir dua kali lipat.

Perkembangan-perkembangan dalam abad ke-20

Empat dasawarsa terkhir dari kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia


ditandai oleh sejumlah perubahan dalam ( hal 290-299)
kebijaksananan-kebijaksanaan penghasilan dan pengeluaran, dalam kebijaksanaan
berhutang, da secara lebih luas tentang perekomian. Kebijakan penghasilan. Bagian
penghasilan pemerintah yang timbul dan diterima dari pajak telah meningkat
selama tiga dasawarsa teakhir abad ke-19.

Kecenderungan- kecenderungan Pengeluaran. Terdapat perubahan-


perubahan penting dalam komposisi pengeluaran pemerintah selama dua dasawarsa
pertama abad ke20, juga pengeluaran-pengeluaran secara keseluruhan meningkat
dengan cepat. Pengeluaran nominal antara tahun 1900-1913 naik sampai kira-kira
41%-46% setahun untuk indeks pengeluaran domestik pada tahun 1939 hanya 68%
diatas indeks tahun 1913.

Perbandingan dengan Negara Lain

Apabila kita menyelidiki data-data yang kurang kompak dari pengeluaran sebagai
presentase pendapatan nasional, patut kita catat bahwa Indonesia membelanjakan
kira-kira presentase yang sama dengan india untuk pertahanan, agak lebih banyak
untuk administrasi, bunga hutang dan kesejahteraan sosial dan jauh nlebih banyak
untuk jasa-jasa perekonomian termasuk pekerjaan umum.

Seperti kebanyakan negara di kawasan ini, Indonesia memperoleh sebagian


besar dari seluruh penghasilannya dari sumber-sumber bukan pajak, seperti
monopoli-monoli pemerintah dan ongkos-ongkos untuk Jasa yang disediakan untuk
umum, termasuk sarana atas keperluan masyarakat dan pendiidikan. Aspek teakhir
dari kebijakan fiskal yang di perbandingkan secara internasional adalah besarnya
peminjaman pemerintah.tingkat yang tinggi serta menonjol dari pinjaman negara di
luar negri di pihak negara-negara yang baru mengadakan kolonisasi, seperti
Australia, tercermin dari saham besar sekali dari sektor negara dalam seluruh
pembentukan modal. (hal 306-323)
BAB XI. Di Antara De Javasche Bank dan Ceti-ceti Cina :
Perbankan dan Kredit di Indonesia pada Zaman Kolonial

Jan T.M Van Laanen

Pada bab ini dikemukakan mengenai garis-garis besar tentang perbankan


Barat dan sistem perkreditan rakyat di Indonesia, pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Dua sektor utama perekonomian Indonesia selama abad ke-19 dan awal abad
ke-20, yaitu sektor pertanian tradisional di satu pihak dan sektor Barat yang
berorientasi ekspor yang relatif cukup maju di pihak lain. Untuk menmpatkan peran
uang (sistem kredit dan sistem perbankan) dalam perekonomian demikian itu, pada
perspektif yang sebenarnya, dikemukakan garis-garis besar kedua sektor
tersebut,menurut klasifikasi Dalton (1967, hal.264-266). [333]

Dalton membedakan ekonomi primitif (ekonomi untuk mencari nafkah) dan


ekonomi petani (ekonomi pasar). Ekonomi primitif masih dibagi kedalam 2 jenis
yakni ekonomi tanpa pasar dan ekonomi mendekati pasar periferal. Dalam ekonomi
tanpa pasar tanah dan tenaga kerja tidak diperoleh dari jual beli tanah atau tenaga
kerja, melainkan didapatkan dari orang-orang yang masih memiliki hubungan
kedekatan keturunan atau karena kesamaan suku. Tidak ada pasar resmi tempat jual
beli barang, pola transaksi untuk mendapatkan bahan dan buruh, semua didapatkan
atas dasar timbal balik ( pemberian hadiah antara sesama kawan-kawan). Kemudian
ekonomi mendakati pasar periferal, ekonomi dengan pasar periferal hanya sedikit
barang yang diperjualbelikan, baik dengan uang sebagai alat tukar (komersil), atau
melalui pertukaran barang (barter), namun tanah dan tenaga kerja masih sama
seperti ekonomi tanpa pasar yakni tidak diperjual-belikan dan sebagian besar
pendapatan orang tidak diperoleh dari penjualan barang dipasar. Selanjutnya
mengenai ekonomi Petani (ekonomi Petani) sebagian besar dari pertukaran tanah
dan pekerja, dan juga barang atau jasa, melalui transaksi dengan jual dan beli di
pasar dan sebagian besar orang bergantung padapenjualan tenaga kerja dan hasil
bumi mereka. Dalam ekonomi petani berbeda dengan ekonomi primitif karena
Petani produsen bergantung dari hasil produksi untuk dijual.[334]

Uang yang dikeluarkan De Javasche Bank dengan denomisasi tinggi hampir


tidak dipakai. Uang logam seperti ringgit, gulden, uang receh seperti uang
setali,uang picis dari perak, dan uang logam lainnya banyak digunakan sebagai alat
pembayaran oleh para pedagang pribumi. Justru uang barat sama sekali tidak
penting. Barang-barang, yang secara meluas digunakan oleh masyarakat, seperti
beras seganteng, garam atau kerbau sering digunakan oleh masyarakat sebagai
pengganti uang dalam segala macam transaksi barter, khususnya pada masa
kelangkaan uang. Perusahaan yang dijalankan oleh nonpribumiyang mendapatkan
nilai tambah dari ekspor bahan mentah pertanian atau tambang disebut sektor barat,
sektor ini dianggap sebagai pos terdepan perdagangan atau industri yang
berorientasi barat yang berjalan hampir sama dengan kapitalisme modern.[337]

Sejarah singkat perbankan Barat, De Javasche Bank adalah yang terpenting


diantara bank-bank besar yang bergerak di indonesia pada zaman kolonial. Ia
adalah bank yang mengeluarkan uang. Selain De Javasche Bank terdapat Bank-
bank yang ada di Indonesia saat itu yaitu antara lain Nederlands Handels
Maatschappij (NHM), De Nederlands Indisce Handels Bank (NIHB), dan bank-
bank lainya. [338]

Salah satu ciri yang menonjol dari struktur ekonomi Indonesia pada zaman
kolonial adalah perusahaan-perusahaan besar berorientasi ekspor merupakan milik
orang Asing, bersama perusahaan-perusahaan dagang milik pemerintah dapat
dikatakan bahwa 80% dari seluruh nilai modal perdagangan berada ditangan orang
Belanda. Ekspansi hebat dari perusahaan-perusahaan barat itu, terutama sesudah
1990, hanya sedikit yang dibiayai dengan modal yang seluruhnya berasal dari
wilayah indonesia. [339]

Kredit untuk bumiputera, penyediaan kredit yang tidak terorganisasi. Saling


memberikan kredit antara masyarakat sendiri atau “ kredit Bumiputera”(Fruin
1937), berkaitan erat dengan jiwa gotong royong. Kredit ini tidak bersifat dagang,
dimana barter masih ada, kredit semacam ini merupakan sumber utama untuk
mengatasi kekurangan anggaran. Penjaman kepada para ceti (biasanya orang Cina),
adalah suatu jenis kredit pedesaan yang tidak terorganisasi. Suatu sumber kredit
bagi petanai kecil yang diberikan oleh pedagang atau pemborong hasil-hasil tani
mereka untuk di ekspor atau di jual lagi di dalam negeri. Dengan pembayaran uanga
muka, para pedagang mendapatkan hasil bumi tersebut dengan harga yang lebih
murah. Disebuut juga ijon(pembelian sebelum panen) yang sudah biasa. [351-352]

Para pedagang asing yang bukan bangsa Eropa, yang masuk kepedalaman,
sebagian orang Cina, biasanya mereka pemilik toko atau tukangb tadah hasil bumi.
Mereka menyediakan segala macam barang untuk para petani kredit dengan
jaminan hasil-hasil panen nanti. Dalam hubungan ini juga disebutkan Cina
mindering ( Cina cicilan ). [352]

BAB XII. Perdagangan, Pertumbuhan dan Perkembangan dalam


Perekonomian Kolonial

Anne Booth

Selama abad ke-19, pertumbuhan ekonomi yang bertambah cepat di negara-


negara Eropa, Amerika Utara, dan Australia berjalan seiring dengan perluasan
secara dramatis dalam perdagangan dunia, sehingga perniagaan antara bangsa-
bangsa menjadi terkenal dalam kepustakaan ekonomi sebagai motor ” motor
pertumbuhan “. Sebagian besar negara-negara tropis juga mengambil bagian dalam
perluasan perdagangan ini, tetapi perekonomiannegara-negara tersebut tidak
mengalami transformasi yang menandai corak negara-negara yang sekarang telah
maju. Pertanyaan diajukan mengenai kebanyakan tanah jajahan sekitar khatulistiwa
di Asia dan dimana saja (misalnya, Sundrum dan Aye Hlaing, hal.8). ini jelas
merupakan pertanyaan yang erat sekali hubungannya dengan indonesia pada abad
ke-19 dan ke-20. [363-364]

Sodersten (1970, hal. 188) dalam buku pegangannya yang terkenal


menunjukan, bahwa “ teori yang statis tidak banyak artinya” bagi hubungan antara
perdagangan dan perkembangan ekonomi jangka panjang. Para ahli ekonomi
klasik, terutama Smith dan Mill, menekankan bahwa negara-negara dapat memetik
keuntungan-keuntungan dinamis dari perdagangan karena dua alasan yang berbeda.
Pertama, proses membuka suatu perekonomian bagi perdagangan memungkinkan
sumber-sumber yang selama ini tidak digunakan menjadi produktif; ini adalah apa
yang disebut argumen “peluang untuk surplus”. Kedua , kaum klasik berpendapat
bahwa perdagangan mendorong pertumbuhan tidak saja pada sektor ekspor saja,
tetapi juga pada bagian-bagian lain dari perekonomian, melalui efek-efek
penyingkapan yang mendidik terhadap persaingan luar negeri dan melakukan
segala sesuatu dengan cara seperti yang dilakukan di luar negeri. [364]

Pengalaman Indonesia: Pertumbuhan Perdagangan

di kepulauan asia tenggara telah terlibat pada perdagangan maritim selama


berabad-abad sebelum kedatangan eropa dalam abad ke-16. Pedagang-pedagang
dari Cina, India, Arabia dan daratn Asia tenggara, semuanya tertarik pada hasil-
hasil alam Nusantara.pada abad ke 17 dan 18, perdagangan internasional dan
antarwilayah daerah nusantara makin lama makin berada di bawah pengawasan
eropa (terutama belanda), dan diatur menurut peraturan mereka. Reid (1984)
membahas beberapa faktor yang membuat Indonesia pada waktu itu peka terhadap
gangguan atau campur tangan Barat; tentu saja berbagai kerajaan bumiputera itu
bukanlah merupakan tandingan militer bagi kapal-kapal yang lebih besar dan
senjata-senjata yang lebih unggul dari bangsa Eropa. Pada tahun 1669, VOC
menghancurkan Makassar, dan pada tahun 1684 banten dikuasai. Meskipun ekspor
kop, lada, rempah-rempah, nila, gula dan beras, semua terus berkembang selama
zaman VOC, namun dalam banyak hal tampaknya keuntungan-keuntungan yang
timbul dari perdagangan itu,; sebagian besar jatuh ketangan para pegawai kompeni
dan golongan atas bumiputera yang berkuasa. [372-373]

Pertumbuhan ekspor dari indonesia dimulai lagi pada abad ke 19, dengan
diterapkan serta dilaksanakannya sistem tanam paksa di pulau jawa. Seperti
kebanyakan daerah jajahan lain di kawasan tropis, Indonesia makin lama makin
terlibat dalam perdagangan internasional pada abad terakhir pemeringtahan
kolonial. Baik peningkatan dalam perkapalan sebagai konsekuensi dari dibukanya
terusan suez maupun munculnya bahan –bahan pokok baru untuk ekspor-mula-
mula di pulau jawa dan kemudian di pulau sumatera dan kalimantan-menyebabkan
berjuta-juta orang indonesia makin lama makin tergantung pada perekonomian
dunia untuk mata pencahariannya, baik sebagai pegawai di perkebunan-perkebunan
asing maupun sebagai produsen-produsen pertanian kecil yang menghasilkan
produk-produk ekspor. [373]

BAB. XIII. Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan


Timbulnya Suatu Perekonomian Nasional

Howard W. Dick

Mulai tampilnya integrasi ekonomi yang sejati antara Jawa dengan Daerah
luar Jawa tidaklah mencerminkan tahap yang wajar dalam perkembangan
perekonomian kolonial, melainkan runtuhnya susunan kolonial lama. Depresi
dasawarsa 1930-an merupakan krisis internasionalisme yang dahsyat. Selama lebih
dari satu abad, pertumbuhan perdagangan dunia merupakan sarana untuk
memperpadu kapitalisme internasional dengan nasionalisme dikalangan negara-
negara Eropa. Kolonialisme merupakan nasionalisme terjajah yang dipaksakan
terhadap bagian dunia selebihnya, dengan tujuan memperkukuh kedudukan negara-
negara Eropa dalam perdagangan dunia. Kehancuran perdagangan itu menimbulkan
tekanan-tekanan kearah autarki ; bukan saja di Eropa, melainkan juga di daerah
jajahan. [433]

Dalam menanggapi krisis tersebut, pemerintahan jajahan di Indonesia mulai


memegang peranan suatu pemerintah nasional dalam segi penyelenggaraan
pengelolaan ekonomi dan dengan mengadakan pembatasan terhadap perdagangan
Internasional, mempermudah integrasi ekonomi antaera Jawa dengan Daerah luar
Jawa. Hal itu tidak mungkin terjadi andai kita tidak terdapat keswaprajaan yang
luas. Kaum penulis, termasuk Boeke yang pada bagian akhir dasawarsa 1930
menulis tentang prospek ekonomi tanah jajahan itu, seperti juga Direktur Urusan
Ekonomi, Van Mook, rupanya menduga tercapainya suatu masyarakat aneka-
bangsa dengan kemandirian “dominion status “ dibawah kekuasaan Belanda. [433]

Harapana itu menjadi sirna dengan pendudukan jepang. Yang merupakan


tragedi ialah, bahwa golongan yang berpandangan lapang di pihak Belanda terlalu
lambat menginsafi hal itu. Kendatipun demikian, paham nasionalisme dalam bidang
ekonomi pada dasawarsa 1930an itu dan sejumlah besar kebijaksanaannya telah
diambil alih oleh negara Indonesia yang baru, seandainya tidak ada pengalaman
kolonial itu, sudah tentu tidak akan ada negara indonesia. Mungkin itulah yang
merupakan warisan fundamental.[434]

BAB XIV. Kolonialisme Belanda di Indonesia :

Suatu Perspektif Berdasarkan Perbandingan

Angus Maddison

Bab ini menaruh perhatian kepada keadaan Indonesia pada tahun-tahun


1930-an, berkonsentrasi pada perbandingan dengan rezim-rezim kolonial lain,
khususnya di Asia. Bab ini memperhatikan (A). Tingkat kehadiran bangsa asing
yang diintrodusir oleh sistem kolonial masuk Indonesia (B). “pengaliran ke Luar”
dari pembayaran;(C) dampak keadaan depresi tahun 1930-an dan tanggapan politik
yang disebabkannnya, dari penguasa-penguasa lokal.

Pada tahun-tahun 1930-an gaya pemerintah kolonial belanda dapat


dilukiskan sebagai “imperialisme Perdagangan Bebas “ sedikit-banyak seperti
model Inggris . pada tahun1870, bangsa belanda telah meninggalkan sistem tanam
paksa yang sangat kejam itu, meng milibatkan ikatan-ikatan timbal balik yang erat
dengan pungutan-pungutan paksa kota besar dari hasil-hasil pertanian tertentu atau
pelayanan kerja paksa dengan hasil –hasil uang yang dikirim langsung ke
pemerntah belanda sebagai persembahan (dengan sedikit banyak mengikuti contoh
spanyol pada tahun –tahun sebelumnya di amerika latin). [436]

Kolonialisme Jepang lebih bersifat memajukan daripada penjajahan negara-


negara lain, karena sistem jepang menyangkut upaya yang lebih besar untuk
mengalihkan dan mengembangkan teknologi , investasi fisik yang lebih tinggi, dan
pengembangan yang lebih baik dari penduduk setempat serta modal kemanusiaan.
Berbeda dengan kebanykan negara asia, korea kelihatannya telah menikmati arus
pemasukan netto yang cukup berarti dari segi modal jepang, karena korea
mempunyai defisit perdagangan, sedangkan hampir semua daerah jajahan lainnya
mengalami surplus perdagangan.[442]

BAB XV. Petunjuk-Petunjuk Untuk Penelitian Lebih lanjut

Thee Kian-wie dan Anne Booth

Diandingkan dengan jumlah besar karya yang telah diterbitkan mengenai


sejarah ekonomi kawasan asia selatan misalnya, jelas bahwa kajian mengenai
sejarah ekonomi di asia tenggara secara sistematik dikatakan belum di mulai. Dan
bahkan di wilayah Asia Tenggara, Indonesia relatif kurang mendapat perhatian.
[454]

Tak dapat disangkal bahwa banyak usaha penting yang penuh tantangan
masih harus dilakukan. Tetapi oleh siapa ? sudah seharusnya bab ini dan koleksi
makalah ini di akhiri dengan sepatah duapatah kata tentang studi sejarah ekonomi
Indonesia. Sejak perhatian pada studi sejarahperekonomian mulai bangkit lagi,
sarjana-sarjana Indonesia umumnya tidak memegang peranan yang penting.
Kontrasnya dengan keadaan Asia Selatan sangat mencolok. Sementara buku
Cambridge Economic History of India yang baru-baru ini di terbitkan disunting dan
sebagian besar ditulis oleh sarjana-sarjana India, namun mayoritas sarjana sosial
dan sejarawan Indonesia bolehn dikatakan sama sekali tidak memiliki perhatian
pada sejarah Ekonomi, bahkan mereka kurang memahami apa artinya Sejarah
Ekonomi (Thee 1979). Kurangnya perhatian sarjana ekkonomi Indonesia lebih
menyedihkan lagi, sebab sarjana Ekonomi, yang berusaha memerangkan prestasi
dan struktur ekonomi lintas waktu (North 1978,hal 77), dapat amemberikan
berbagai pelajaran sejarah yang berharga, baik yang positif maupun negatif.[459]

Sekalipun bukan disini tempatnya untuk mengemukakan sebab-musabab


kekurangan perhatian ini, namun penerbitan karya ini dalam bahasa Indonesia
diharapkan dapat merangdang suatu generasi baru sejarawan dan sarjana sosial
Indonesia untuk lebih memperhatikan studi sejarah ekonomi negara mereka sendiri
[459]

Anda mungkin juga menyukai