O’Malley
Judul Buku : Sejarah Ekonomi Indonesia
Kota Terbit : Jakarta
Penerbit : LP3ES
Tahun Terbit : 1998
Tebal Halaman: 492
A. Kemiskinan dan Kemakmuran Pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau
Jawa ( R.E. Elson )
Sistem tanam paksa yang di terapkan oleh pemerintah Belanda pada tahun
1830 merupakan conoh kelasik penindasan kaum penjajah. Tujuan pokoknya ialah
meningkatkan secara pokok kapasitas produksi pertanian orang-orang Jawa demi
keuntungan perbendaharan Belanda. Sistem tersebut memang berhasil dengan
baik, dengan dihasilkannya sejumlah besar komoditi ekspor, yang penjualannya
sangat meningkat dan mampu menompang keuangan Belanda. Melonjaknya
produksi dan laba ini hampir seluruhnya bersumber kerja paksa kaum tani Jawa.
Sistem Tanam Paksa di nilai oleh ulama sangat buruk bahwa keberhasilan sistem
tersebut dalam menghasilkan laba, diiringi dengan kemiskinan yang secara
sistematis dalam kaum petani jawa. Budidaya kopi merupakan komoditas utama
yang di selenggarakan dalam sistem Tanam Paksa. (Hal 39-43)
Disamping tambahan kuota hari kerja dan kecilnya imbalan yang mereka
terima, kaum tani itu juga mengalami banyak kesulitan sehubungan dengan
dampak dari budidaya paksa itu terhadap pertanian tanaman pangan. Pertama,
sebagai mana disinggung atas, hari kerja yang dituntut untuk budidaya paksa itu
seringkali banyak waktu yang tersisa untuk penggarapan tanaman pangan yang
tidak bersesuaian dengan penanaman tebu dan nila. Kedua, budidaya seperti tebu
dan nila menggunakan tanah dengan jumlah yang besar dan sebagai akibatnya
kaum tani harus mengkuburkan panen padi atau jagung. (Hal.50-56)
B. Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-19: Studi dari
Karisidenan Pekalongan 1830-1870. (G.R. Knight)
Kerja wajib atau paksa untuk atasan-atasan berkebangsaan jawa dan untuk
para kepala desa juga meningkat, walaupun pemerintah hanya bertugas untuk
memeriksa apakah ada penyalahgunaan. Petani Jawa bekerja di bawah pemerintah
kepala desa dan atasannya langsung, sambil menganggap pekerjaan itu sebagai
persembahan tradisionalnya kepada pejabat-pejabat yang lebih tinggi. Bagi petani
jawa tidak ada perbedaan dalam jenis kerja paksa; yang ada hanyalah suatu
peningkatan jumlah kerja paksa yang mencolok. Sebaliknya Sistem Tanam Paksa
menyebabkan penilaian yang negatif bagi pekerjaan karena memberikan
kompensasi atau ganti rugi yang serendah mungkin dengan meneruskan
penggunaan pola-pola kekuasaan tradisional. Dampak ekonomi Sistem itu
menggerakan perubahan dan mempercepat kecenderungan yang sudah ada. Dan
adapun petani yang menanam tanaman pada tanah yang di tanaminya bisa di
paksa untuk meninggalkannya jika keadaan memaksa. Tekann-tekanan baru yang
dikenakan pada kaum tani memaksa diadaknnya perubahan atau perbaikan
terhadap hak-hak kaum tani, tetapi tidak ada pengaruhnya atas hak-hak cacah atau
hak-hak kepala pemerintah di atas tingkat desa. (Hal.111-120)
D. Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat : Stagnasi Ekonomi dan Jalan Buntu
dalam Politik (Kenneth R. Young)
Di Pantai Barat Pulau Sumatra, ranah Minang, penanaman dan penyerahan
kopi secara paksa berhasil di lembagakan pada tahun 1847, dan berlanjut menjadi
faktor politik dan ekonomi yang penting selama lebih dari enam dasawarsa.
Sistem Tanam Paksa itu diterapkan di Sumatra Barat dan menunjukkan
bagaimana paksaan itu melahirkan stagnasi dalam perekonomian masyarakat
Minangkabau yang sebelumnya sangat giat dan aktif, suatu keadaan yang
ditambah dengan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir dari abad ke-19.
Sebelum abad ke-19 Belanda tidak berani menjamah pusat daerah Minangkabau
yang terletak diwilayah pegununga Sumatra Barat. Johanes van den Bosch, arsitek
utama sistem tanam paksa di pulau jawa, berkunjung ke Sumatra Barat pada tahun
1833 dengan bertujuan mengatur perdagangan hasil bumi di Sumatra Barat demi
keuntungan Kerajaan Belanda. (Hal.137-145)
Pada tingkat ekonomi yang lebih dasar tanah dan buruh di minangkabau
hamoir tidak di pengaruhi oleh penguasa yang lebih tinggi, tetapi sebaliknya
dalam komunitas-komunitas sendiri yang di sebut negari yang di rapatkan untuk
meentukan pemimpin yang berasal dari keturunannya. Secara politis tidak ada
pilihan lain bagi Belanda, selain mengadakan pemerintahan tidak langsung
melaluli kepala adat. Bagi kepala adat lebih banyak ruginya dari pada untungnya
karena ikatannya dengan pemerintah kolonial dan melihat pengaruhnya memudar
dan kedudukannya menjadi lemah, apalagi setelah belanda mencoba mengatur dan
menyusun lembaga adat. Produksi dan perdagangan besar dua unsur pokok dalam
kehidupan kampung terganggu karena terganggu adanya hubungan dengan sistem
tanam paksa dan mengalami kemunduran yang besar. (Hal.147-151)
Dibidang ekonomi orang-orang kampung sangat bergantung sekali pada
barang- barang dagang, teristimewa pada garam dan tekstil yang harus di beli
dengan uang. Secara politis, Sistem Tanam Paksa berjalan dengan kekerasan yang
murah, hanya bila para pemuka kampung bisa mengerahkan tenaga kerja yang di
butuhkan, inti dari keterlibatan Minangkabau dalam penanaman kopi adalah
sistem harta kekayaan. Hak dasar kekayaan adalah dasar organisasi produksi dan
lewat hak-haki itu tanah di gunakan oleh perorangan bebas dan ruma tangga. (Hal.
159-163)
Dalam produksi padi, jika kita mendapati angka-angka yang sangat tinggi
atau sangat rendah, biasanya ini beriringan masing-masing dengan panen yang
sangat baik dan dengan panen yang gagal, sebagaimana dapat disimpulkan dari
laporan karesidenan umum. ( Hal 171-172)
Contoh yang bagus adalah Cirebon pada tahun 1840-an, Tegal antara tahun 1820
dan 1855, dan Pekalongan antara tahun 1850 dan 1855. Tetapi hendaknya diingat
bahwa angka-angka produksi tanaman tak banyak mengungkapkan taraf prosuksi
sesungguhnya dspat diduga bahwa perkiraan dibawah 25-50%.
Dari lima karasidenan yang diteliti, saya menemukan jejak-jejak survei baru
hanya untuk cirebon dan pekalongan. Pada sebuah laporan bertanggal 1827, Vitalis
yang pada masa itu jadi petugas pemungutan pajak di Majalengka, Cirebon
menyatakan bahwa telah melakukan survei mengenai sepertiga luas tanah yang
dapat ditanami dalam devisinya pada tahun 1824 dan 1825. Satu-satunya contoh
survei awal adalah yang dilakukan di Sukabumi, suatu perkebunan swasta di daerah
Priangan yang dibuka semasa pemerintahan Inggris dan dikembalikan oleh bangsa
Belanda tak lama setelah mereka kembali.
Pada tahun 1853, Survei Statistik Kadaster yang diatur secara sentral
dimulai di Cirebon. Pada akhir tahun 1870-an setelah survei diakhiri di sembilan
karasidenan, Surbei Statistis Kadaster ditiadakan karena biayanya yang terlalu
mahal. Sekalipun di Priangan tidak memakai survei tersebut, namun dari data yang
diku,pulkan jelas bahwa angka-angka karasidenan-karasidenan tersebut dikireksi
ke atas beberapa kalim mungkin sebagai akibat prakarsa lokal. Di Priangan terjasdi
sua kali kenaikan 10% selama kurun waktu dua tahun (1855/57bdan 1863/65),
sedangkan perkiraan adalah 3%.
Kecenderungan-kecenderungan
Jelas bahwa, jika tahun 1815 diambil sebagai titik pangkal, maka
kecenderungan di Cirebon, Pekalongan, dan Tegal semua menurun, (Hal 173-176)
jadi harus ditarik kesimpulan jumlah rata-rata tanah yang dapat ditanami per rumah
tangga menurun selama kurun waktu 1815-1875. Di Cirebon, Tegal dan
Pekalongan perbedaan-perbedaan antara tahun 1815-1875 terlalu besar untuk dapat
dipulamgkan semata kepada pengecilan berlebihan dari angka-angka
kependudukan pada dasawarsa-dasawarsa sebelumnya.
Di empat karasidenan dimana statistik untuk tahun 1815 atau 1820 tersedia,
produksi padi per kepala lebih tinggi daripada untuk tahun 1870/74. (hal 177-179)
Masih ada lagi persamaan lain sesudah tahun 1815 (atau dalam satu kasus tahun
1820) terjadi penurunan tajam; tercapailah penurunan antara antara tahun 1830 dan
1845. Produksi perkapita lalu meningkat di lima karasidennan, dengan pencapaian
taraf relatif tinggi antara tahun 1840 dan 1865 sesudah itu kelihatan kecenderungan
menurun yang lainnya. Angka-angka statistika prosuksi padi tidak hanya
didasarkan pada statistik areal serta penetapan kembali panen, melainkan juga pada
garis patokan politik dari Batavia.
Aspek paling meb=ncolok dari data-data ini adalah bahwa tidak ada
kecenderungan yang nyata/ data yang mengesankan iuntuk tiga karasidenan yang
mengalami penurunan 10% antara tahun 1815 (atau 1825) dan tahun 1870/1874,
tetapi mengingat mutunya kita tidak dapat menarik kesimpulan yang tegas. Semua
karasidenan tetap menduduki produksi posisi relatif selama kurun waktu yang
diperhatikan; Priangan dan Tegal agak tinggi, dibandingkan dengan ketiga
karasidenan lain. Sebelum tahun 1880, areal yang dialiri secara tepat meningkat
hanya sedikit-sedikit dan presentase sawah terbesar bergantung pada curah hujan/
Bagi Priangan dan Cirebon, dimana pertumbuhan penduduk lebih laju dan
presentase anak yang lebih rendah mungkin bertepatan, jika dapat diasumsikan
bahwa wilayah-wilayah tersebut dimasuki oleh imigrasi dewasa secara besar-
vesaran. Tegal seakan-akan menduduki posisi tengah : pertumbuhan penduduk
pusat dan dalam posisi peralihan dalam segi presentase anak, hal mana mungkin
memang adanya imigrasi. (hal 183-191)
Sayang sekali hampir tidak adanya data sebelum tahun 1880: tetapi
presentase petani gurem dapat digunakan sebagai indeks untuk migrasi. Bahwa jika
karasidenan-karasidenan dengan proporsi keluarga petani gurem yang tinggi,
menerima lebih banyak migran dari pada yang dihasilkannya, sedangkan presentase
yang rendah menunjukkan migrasi ke luar netto.
Jika produksi padi per kapita merupakan indikator dari produktivitas kaum
pekerjanya, maka terdapat hubungan erat anatara produktivitas rendah kaum
pekerja dan migrasi di satu pihak, serta produktifitas dan imigrasi di pihak lain.
Selama lebih dari satu abad, perkebuann meruoakan aspek terpenting dalam
pemandangan ekonomi Indonesia pada masa penjajahan. Tujuan tanpa malu-malu
dari jajahan ini adalah demi kepentingan negeri Belanda; cara pemelihraan tersebut
yang terbaik menurut anggapan adalah dengan menghasilkan surplus ekspo; surplus
ekspor dengan sangat mudah dan konsisten dicapai di kepulauan nusantara ini
sengan proksi komiditi-komiditi pertanian untuk pemasaran dunia; dan sistem
perkebuana ternyata merupakan cara yang sangat efektif untuk menghasilkan
komoditi-komoditi pertanian yang sangat diinginkan.
Gula. Sekalipun cara aktual, pelksanaan dan pengaeasan penanaman gula dibawah
sistem tanam paksa berbeda, namun dalam segi-segi penting ia sangayt sejalan
dengan patokan-patokan yang dikeluarkan Batavia.industri gula yang disponsori
pemerintah cukup menguntungkan walaupun tidak secara spektakulerdalam masa
antara tahun 1840 dan Undang-undang Produksi Gula tahun 1870. Sistem
perkebunan pemerintah menjelang yahun 1840 maantap dalam stuktur yang akan
dipertahankannya sampai kira-kira tahun 1870. Jumlah pabrik penggiling serta
lahan yang ditanami tebu dan jumlah total prosuksi atas perintah pemerintah hampir
tak mengalami perubahan selama seperempat abad sesudah tahun 1845.
Kopi. Seperti halnya gula, kopi ditanam oleh petani-petani bumiputra pulau Jawa
dibawah paksaan pemerintah. Berbeda dengan gula, kopi biasanya tidak sitanam
pada lahan pertaniaj biasa, melainkan melainkan digabung dengan tanaman bahan
makanan. Pada masa kobsolidasi Tanam Paksa antara pertengahan tahun 1830-an
dan 1870-an- yang biasanya disebut sebagai kematian Sistem Tanam Paksa-kopi
jelas merupan tanaman ekspor utama di Pulau Jawa. Nilai ekspor gula dan tercatat
pula bahwa sampai penanaman tebu di bawah Sistem ini dikurangi, bagian
keuntungan bagi pemerintah yang dihasilkan oleh kopi adalah 80% (Rebaquain
1985, hal. 319).
Karet. Pada dasawarsa pertama abad sekarang, di pulau Jawa maupun maupun di
banyak tempat lain di daerah katulistiwa, muncul tanaman keras baru yang juga
sesuai dengan penanaman diperkebunan, yaitu karet. Berbeda dengan area
penanaman tebu, perkebunan karet jauh lebih tersebar rata di pulau Jawa.
Gula, kopi, tembakau, teh, dan karet, adalah tanaman perkebunan di Pulau
Jawa, tetapi lebih kurang 20 jenis tanaman di perkebunan-perkebunan di pulau ini
(Kolonial Verslag 1926) dan dua yang ditanam cukup besar-besaran yaitu kina dan
kelapa.
Kemajuan pesat sekali di luar pulau Jawa ini lebih bersemangat oleh
penyebaran perkebunan tembakau, karet, teh, kopi dan kopra. Pertumbuhan
memang trejadi di berbagai tempat di kepulauan Indonesia, termasuk bagian-bagian
tertentu pulau Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra Selatan, tetapi tempat kegiatan
perkebunan utama di Pulau Jawa adalah daerah pantai Sumatra Timur yang berubah
dari rimba raya tak terbatas tahun 1860-an menjadi tempat perkebunan nomor satu
di dunia.
Limabelas tahun abad ke-19, tidaklah mengun tungkan bagi pengusaha kopi
di Cirebon. Perang-perang Napoleon menimbulkan kesulitan bagi perdagangan
kopi di Eropa dan Asia, dan waktu Inggris tiba pafa tahun 1812m nereka dapati
gudang-gudang kopi membengkak berisi biji kopi yang tidak dapat dijual. Namhsa
inggris mengubah seluruh sistem produksi kopi. Inggris mengontrakkan
perkebunan kepada para bupati Cirebon. Mereja bebas membudidayakan kopi
dengan syarat memenuhinpaajak dan sewa lahan. Namun hasilnya jelek. Karena
yang membeli hanya pemerintah, dan dengan harga murah. Akhirnya mereka
melepaskan kontrak dan akibatnya perkebunan dipenuhi semak belukar.
Waktu Belanda kembali, hak kontrak diberikan kepada para kepala desa di
wilayah pembudidayaan kopi. Dalam rencana ini, penduduk desa menanam dan
mengolah kopi. Sedangkan kepala desa mengurusi kruangannya. ( hal 238-241)
Di bawah pembudidayaan bebas ini, para kepala desa merupaklan unsur kunci
dalam produksi kopi dan mereka menggunakan kekayaan serta kekuasaan baru
untuk menetapkan kedudukan mereka pada puncak piramida sosial lokal.
Di bawah rencan abaru ini, kepala desa serta sikep-sikep lain yang
berpengaruh sanggup mempppppetahankan kedudukan mereka yang penting dalam
produksi. Mereka yang menentukan wilayah-eilayah yang akan ditanami kopi,
mereka mengatur pekerja-pekerja yang tenaganya dibutuhkan, mengawasi
pensnaman, perawatab, pemetikan, pengolahan, menortir kopi serta membagikan
uang yang dihasilkan. Jumlah uang yang masuk ke Cirebon sebagai hasil penjualan
kopi setiap tahun berubah-ubah, tergantung besar panen dan beberapa faktor lain.
Secara ekonomi. Sikep terkemuka luar biasa beruntung dalam berbagai cara.
Beberapa sikep ini malah siangkat menjadi pengawas resmi kebun kopi, dan untuk
pekerjaan demikian mereka mandapatkan gaji bulanan tetap.
Selama sekitar 30 tahun sistem ini berjalan dengan cukup baik. Pemerintah
menerima kopi dalam jumlah yang, walaupun sering naik turun setiap tahun, rata-
rata tetap mengesankan. Pejabat=pejabat desa menerima pembayaran secara teratur.
Dan sekalipun uangnya tersalur jauh dari merata, para petani menetima banyak
sekali uang pembayaran untuk kopi mereka. Tapi menjelang tahun-tahun 1860-qn,
berbagai masalah timnul dalam Sistem tersebut di Cirebon, dan penanaman kopi
secara paksa mulai merosot pesat sampai sesudah peralihan abad. ( hal 244-253)
Pemerintah dan Industri Karet yang Muncul di Indonesia dan
Malaysia, 1900-1940
Pola Kesejarahan
Perbandingan Pengalaman
Tanah. Persedissn lshsn luar dengan syarat-syarat ringan merupakan syarat mutlak
bagi pengembangan perusahaan perkebunan di kedua daerah jajahan (Voon!976).
di Pulau Jawa banyaknya tanah kosong, yang belum dituntut sebagai milik oleh
perorangan ataupun oleh komoditas setempat, berada dibawah judiksi pemerintah
berdasarkan Undang-undang Agraria tahun 1817. Lahan kosong itu disediakan
khususnya untuk perusahaan perkebunan Eropa dengan perjanjian sewa jangka
lama dengan hanya dibebani biaya 1%-2% dari jumlah biaya pembukaan lahannya
(Aken 1923).
Jika di Pulau Jawa perkebunan dapat saja mengerahkan buruh dari kalangan
penduduk setempat yang melarat, tapu Sumatra dan Malaya perlu buruh yang
berasal dari luar. Buruh untuk Sumatra Timur awalnya dari Cina, namun berangsur
pindah dari penduduk Jawa yang lebih murah. Sedangkan Malaya buruh pendatang
berasal dari India, kemudian dalam jumlah kecil didatangkan dari Cina.
Perpajakan. Di Indonesia pajak utama yang dibebankan pada produsen karet adalah
pajak atas laba perseroan bersangkutan. Sekalipun pajak ini hanya 10%. Di Malaya,
dari semua dipungut bea ekspor sebanyak 2,5-3,0% dari seluruh ekspor karet.
Diganungkan dengan premi dan sewa tanah yang dipungut dari kaum tani kebun
karet, pajak ininmerupakan sumber pendapatannegara yang kian penting. (hal 274-
284)
Evolusi Kebijakan Fiskal dan Peranan Pemerintah dalam Perekonomian
Kolonial
Pertama-tama dari tahun 1800 hingga kira-kira tahun 1830 merupakan suatu
periode percobaan tetapi percobaan-percobaan iyu yang terkenal adalah usaha
orang inggris untuk menetapkan suatu sistem pajak tanah yang seragam
berdasarkan penilaian perseorangan, telah gagal (Bastin, 1945).
Apabila kita menyelidiki data-data yang kurang kompak dari pengeluaran sebagai
presentase pendapatan nasional, patut kita catat bahwa Indonesia membelanjakan
kira-kira presentase yang sama dengan india untuk pertahanan, agak lebih banyak
untuk administrasi, bunga hutang dan kesejahteraan sosial dan jauh nlebih banyak
untuk jasa-jasa perekonomian termasuk pekerjaan umum.
Salah satu ciri yang menonjol dari struktur ekonomi Indonesia pada zaman
kolonial adalah perusahaan-perusahaan besar berorientasi ekspor merupakan milik
orang Asing, bersama perusahaan-perusahaan dagang milik pemerintah dapat
dikatakan bahwa 80% dari seluruh nilai modal perdagangan berada ditangan orang
Belanda. Ekspansi hebat dari perusahaan-perusahaan barat itu, terutama sesudah
1990, hanya sedikit yang dibiayai dengan modal yang seluruhnya berasal dari
wilayah indonesia. [339]
Para pedagang asing yang bukan bangsa Eropa, yang masuk kepedalaman,
sebagian orang Cina, biasanya mereka pemilik toko atau tukangb tadah hasil bumi.
Mereka menyediakan segala macam barang untuk para petani kredit dengan
jaminan hasil-hasil panen nanti. Dalam hubungan ini juga disebutkan Cina
mindering ( Cina cicilan ). [352]
Anne Booth
Pertumbuhan ekspor dari indonesia dimulai lagi pada abad ke 19, dengan
diterapkan serta dilaksanakannya sistem tanam paksa di pulau jawa. Seperti
kebanyakan daerah jajahan lain di kawasan tropis, Indonesia makin lama makin
terlibat dalam perdagangan internasional pada abad terakhir pemeringtahan
kolonial. Baik peningkatan dalam perkapalan sebagai konsekuensi dari dibukanya
terusan suez maupun munculnya bahan –bahan pokok baru untuk ekspor-mula-
mula di pulau jawa dan kemudian di pulau sumatera dan kalimantan-menyebabkan
berjuta-juta orang indonesia makin lama makin tergantung pada perekonomian
dunia untuk mata pencahariannya, baik sebagai pegawai di perkebunan-perkebunan
asing maupun sebagai produsen-produsen pertanian kecil yang menghasilkan
produk-produk ekspor. [373]
Howard W. Dick
Mulai tampilnya integrasi ekonomi yang sejati antara Jawa dengan Daerah
luar Jawa tidaklah mencerminkan tahap yang wajar dalam perkembangan
perekonomian kolonial, melainkan runtuhnya susunan kolonial lama. Depresi
dasawarsa 1930-an merupakan krisis internasionalisme yang dahsyat. Selama lebih
dari satu abad, pertumbuhan perdagangan dunia merupakan sarana untuk
memperpadu kapitalisme internasional dengan nasionalisme dikalangan negara-
negara Eropa. Kolonialisme merupakan nasionalisme terjajah yang dipaksakan
terhadap bagian dunia selebihnya, dengan tujuan memperkukuh kedudukan negara-
negara Eropa dalam perdagangan dunia. Kehancuran perdagangan itu menimbulkan
tekanan-tekanan kearah autarki ; bukan saja di Eropa, melainkan juga di daerah
jajahan. [433]
Angus Maddison
Tak dapat disangkal bahwa banyak usaha penting yang penuh tantangan
masih harus dilakukan. Tetapi oleh siapa ? sudah seharusnya bab ini dan koleksi
makalah ini di akhiri dengan sepatah duapatah kata tentang studi sejarah ekonomi
Indonesia. Sejak perhatian pada studi sejarahperekonomian mulai bangkit lagi,
sarjana-sarjana Indonesia umumnya tidak memegang peranan yang penting.
Kontrasnya dengan keadaan Asia Selatan sangat mencolok. Sementara buku
Cambridge Economic History of India yang baru-baru ini di terbitkan disunting dan
sebagian besar ditulis oleh sarjana-sarjana India, namun mayoritas sarjana sosial
dan sejarawan Indonesia bolehn dikatakan sama sekali tidak memiliki perhatian
pada sejarah Ekonomi, bahkan mereka kurang memahami apa artinya Sejarah
Ekonomi (Thee 1979). Kurangnya perhatian sarjana ekkonomi Indonesia lebih
menyedihkan lagi, sebab sarjana Ekonomi, yang berusaha memerangkan prestasi
dan struktur ekonomi lintas waktu (North 1978,hal 77), dapat amemberikan
berbagai pelajaran sejarah yang berharga, baik yang positif maupun negatif.[459]