Anda di halaman 1dari 21

Ekspedisi Jalan Daendels, Belajar dari Sejarah Sebuah Jalan Kompas, 14 Agustus 2008 Indonesia adalah negeri budak.

Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain. -Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel Jalan Raya Pos, Jalan Daendels______________ 5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer, Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra dari negeri Belanda. Tidak ringan misi yang diembannya di negeri jajahan ini. Raja Belanda Louis (Lodewijk) Napoleon, saudara Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte, mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal di Jawa menggantikan Albertus Wiese. Tugas utama Gubernur Jenderal Daendels adalah menyelamatkan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius jatuh pada tahun 1807. Beberapa kali armada Inggris terlihat di perairan utara Laut Jawa, dekat Batavia. Delapan tahun lalu, tepatnya tahun 1800, armada Inggris berhasil memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust. Belum lama, dua tahun lalu, tahun 1806, armada Inggris muncul di Gresik. Kegentingan politik mewarnai kedatangan Daendels hari itu. Gubernur Jenderal baru ini bergerak cepat. Ia sadar betul, kekuatan Perancis-Belanda di Jawa tidak akan mampu menghadapi armada Inggris. Ia pun merestrukturisasi kekuatan militernya. Orang-orang pribumi direkrutnya menjadi tentara. Ia membangun sejumlah rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia mendirikan Benteng Lodewijk dan membangun sebuah pabrik senjata. Di Semarang ia membangun pabrik meriam. Sementara, sekolah militer ia dirikan di Batavia. Namun, lebih dari semua itu, proyek utamanya demi mempertahankan Jawa adalah membangun jalan raya sepanjang lebih kurang 1.000 kilometer yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa, menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Tujuannya satu agar mobilisasi perang dapat berjalan cepat. Hanya dengan jalur darat yang bagus mobilisasi pasukan untuk mempertahankan Jawa akan lebih mudah dilaksanakan. Inilah Jalan Raya Pos (Groote Postweg, The Great Post Road). *** Era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang hanya tiga tahun (1808-1811) merupakan salah satu titik kelam sejarah bangsa ini. Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengabadikan masa-masa pahit itu. Dengan getir ia menulis, Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain. Sejarah mencatat, lebih dari 12.000 jiwa tewas akibat kerja paksa membangun jalan ini. Namun siapa nyana, di balik hitamnya sejarah masa lalu, Daendels sesungguhnya meletakkan dasar bagi perkembangan tata ruang kota dan hubungan antarkota di Jawa sejak awal abad XIX hingga kini. Jalan raya itu kini menjadi urat nadi transportasi di Jawa. Pembangunan Jalan Raya Pos juga telah mengubah wajah perkotaan di Jawa. Kehidupan ekonomi di kota-kota yang dilewati jalur Jalan Raya Pos berkembang pesat. Satu kota mati, kota lain tumbuh. Begitu terus sepanjang waktu. Selama 200 tahun

(1808-2008) jalan raya itu menjadi saksi bisu hidup dan matinya kota-kota di Pulau Jawa. Mengenang 200 tahun Jalan Raya Pos, Kompas akan melakukan ekspedisi, menyusuri kembali jalan itu dari Anyer hingga Panarukan. Perjalanan akan berlangsung dari tanggal 16 hingga 25 Agustus nanti. Rute yang akan ditempuh adalah Anyer-Serang-Tangerang-Jakarta-Depok-Bogor-Cipanas-Cianjur-BandungCileunyi-Sumedang-Palimanan-Cirebon-Losari-Brebes-Tegal-Pekalongan-Batang-Semarang-DemakKudus-Pati-Rembang-Lasem-Tuban-Gresik-Surabaya-Waru-Sidoarjo-Pasuruan-Probolinggo-Panarukan. Napak tilas yang mengambil tema 200 Tahun Anjer-Panaroekan: Jalan (untuk) Perubahan ini ingin memotret perkembangan yang terjadi di sepanjang Jalan Raya Pos. Kompas juga ingin menggali pelajaran apa yang bisa dipetik dari Gubernur Jenderal Belanda dengan proyek jalan raya ini. Sejarah, sekelam apa pun bentuknya, selalu menyimpan pelajaran berharga. Di halaman ini Anda dapat mengikuti perjalanan tim ekspedisi Kompas. ______________________ "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya, -Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-

MBK,MSH ---------------------------------------------

Jalan Pelajaran, Jalan Perubahan

15 Agustus 2008

Melintasi bayang gelap dari rerimbunan deretan pohon-pohon asam jawa bak melintas lorong waktu menuju masa lalu. Seolah kembali ke sekitar 200 tahun silam, menemukan kembali artefak lama tentang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) bikinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Awalnya adalah Anyer di barat yang dijejak Daendels 1 Januari 1808. Ujung satunya adalah Panarukan, 1.100-an km ke arah timur. Keduanya telah menjadi titik penting pembangunan jalan raya trans Jawa yang menghubungkan pulau ini sebagai sebuah kesatuan. Dengan rampungnya Jalan Raya Pos, waktu tempuh Batavia ke Surabaya dari sebulan di musim kemarau terpangkas menjadi 3-4 hari saja. Adalah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang berkuasa di Hindia Belanda sepanjang 18081811 yang "memulai" pembukaan "trans-Jawa" itu.

Awalnya, Jalan Raya Pos diperuntukkan bagi kepentingan administratif para penguasa. Gerobak atau cikar milik rakyat tidak boleh lewat. Berawal dari keinginan untuk menyiapkan sistem pertahanan dari kemungkinan serangan Inggris; Jalan Raya Pos sekaligus berperspektif ekonomis. Dasar pemikirannya: hanya dengan akses transportasi yang baik, sumberdaya bisa lebih mudah "disedot" ke pusat pemerintahan Hindia Belanda. Pesona Jawa Di masa lalu, Jawa memang ibarat "permata". Sumberdaya yang berlimpah terbukti bisa dikuras untuk mengapungkan negeri Belanda. Pendukung utama dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi itu adalah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch pada 1830. Beberapa komoditas ekspor utama dan yang sengaja dipilih karena laku di pasar Eropa dan dunia adalah kopi, gula, teh dan tembakau. Hingga paruh awal abad ke-20, kopi terus berkembang menjadi komoditas andalan pemerintah Kolonial Belanda bersama-sama dengan teh, gula pasir, dan tembakau. Belanda bak mendulang "emas hijau" dari sistem itu. Apalagi komoditas unggulan seperti kopi, gula, teh dan tembakau asal Jawa terus menanjak menjadi primadona di pasar dunia. Masa tanam paksa telah menjadikan Jawa sebagai pemasok sumberdaya yang luar biasa. Dari semua itu diperkirakan Belanda bisa mendapatkan untung sampai 2,4 juta gulden per tahun, sementara buruh perkebunan hanya dibayar sekitar 30 sen saja. Masa lalu juga menyisakan cerita kepedihan. Daendels dianggap menjalankan kekuasaan tangan besi selama memerintah. Apapun, zaman bergerak. Jawa yang tampak kini sungguh sangat berbeda dari Jawa 200 tahun silam. Jalan raya itu telah berubah menjadi salah satu urat nadi ekonomi, salah satu sumber perubahan di Jawa. Pembangunan infrastruktur baru, utamanya jalan, pastilah akan mendorong perubahanterutama bagi wilayah dan penduduk yang dilewatinya. Ketika semuanya bisa bergerak lebih cepat, rupa Jalan Raya Pos tak lagi sama dengan 200-an tahun silam. Demikian pula dengan lingkungan sosial dan ekonomi di sekitarnya. Jalan Raya Pos mengubah wajah perkotaan Jawa, menjadi saksi hidup dan matinya kota-kota yang dilaluinya. Jalan ibarat "penyedot" dan "penggelontor" sumberdaya dan energi lokal. Jalan juga menjadi pintu masuk melihat potret kehidupan yang tak banyak perbaikan. Ratusan hingga jutaan warga terbelit persoalan kemiskinan. Petani yang kehilangan tanah garapan, nelayan yang tidak lagi sanggup melayarkan kapal ke lautan. Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan digagas Kompas untuk mengingatkan kembali bangsa ini tentang perjalanannya di masa lalu. Ekspedisi akan dimulai di Anyer pada 15 Agustus ini dan diakhiri di Panarukan 25 Agustus mendatang. Jawa ibarat perahu sarat penumpang. Berdasarkan survei pemerintahan Raffles pada 1815, jumlah penduduk Jawa-Madura sebanyak 4.615.270 jiwa pada awal abad ke-19. Kini, penduduk Pulau Jawa telah melonjak menjadi sekitar 129,996 juta jiwa. Daya dukung Jawa tentu menjadi makin berat, bahkan pada tingkat mengkawatirkan. Krisis air bersih selalu menjadi hantu. Jalan Daendels, Jalan Raya Pos, Jalan Anyer-Panarukan, atau apapun sebutannya adalah tonggak untuk belajar melihat ke dalam, menemukan kembali diri kita. Melihat diri lebih dalam, menarik pelajaran, dan menerawang perubahan yang mesti dilakukan di depan. Sidik Pramono,Josie Susilo Hardianto

-------------------------------------Daendels, Sultan Agung dan Jalan Pos Kompas, 18 Agustus 2008 Herman Willem Daendels yang berkuasa di abad 19 dan Sultan Agung pendiri wangsa Mataram yang berkuasa di abad 17 ternyata memiliki kaitan erat lewat keberadaan Jalan Raya Pos. Sebagian jalur Jalan Raya Pos (Gr ote Post Weg-Red) yang dibangun oleh Daendels merupakan bagian dari jalan desa yang dirintis dan ditempuh pasukan Sultan Agung saat menyerang Batavia tahun 1628 dan 1630. Sejarawan Mona Lohanda dalam diskusi terbatas dengan KOMPAS menjelaskan, beberapa ruas Jalan Raya Pos merupakan perluasan dari jalan yang pernah dirintis atau digunakan pasukan Sultan Agung dari Mataram. "Sultan Agung bermaksud mengukuhkan kekuasaan di tanah Jawa dengan menyerang Batavia lalu menguasai Banten. Itu sebabnya Kesultanan Banten tidak membantu pengepungan yang dilakukan Sultan Agung terhadap Batavia," ujar Mona yang menerjemahkan arsip VOC sejak tahun 1600-an hingga era Hindia Belanda tahun 1942. Penulis Belanda Pierre Heiboer dalam Klamboes, Klewang, Klapperbomen Indie Gewonnen en Verloren menulis, semula Sultan Agung tidak memandang Belanda di Batavia sebagai musuh. Namun, sikap Sultan Agung berubah saat dia berusaha mengalahkan Banten. Heijboer menulis ...Vijanden van Mataram werden ze pas toen ze weigerden de sultan sch epen te lenen voor de verovering van Bantam. Het brach Agoeng tot het besluit ... eerst Batavia veroveren en daarna Bantam yang kurang lebih berarti permusuhan berawal ketika Belanda menolak meminjamkan kapal kepada Sultan Agung untuk menyerang Banten, Sultan Agung pun memutuskan untuk mengalahkan Batavia terlebih dahulu, selanjutnya Banten ditaklukkan. Sebelumnya, seperti dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer, Jalan Pos Jalan Daendels, disebutkan Sultan Agung telah melebarkan kekuasaan dengan menguasai dataran tinggi Priangan. Setiap tahun, para bangsawan Pasundan pun diwajibkan datang ke Mataram sebagai wujud kesetiaan pada Sultan Agung. Semasa menyerang Batavia, Sultan Agung memiliki dua panglima yakni Bahureksa yang berasal dari suku Jawa dan Dipati Ukur yang merupakan bangsawan Sunda. Pasukan bergerak dari wilayah Jawa Tengah dan dataran tinggi Priangan di Jawa Barat. Salah satu gudang beras pasukan Sultan Agung terdapat di sekitar Cirebon, Jawa Barat dan Tegal, Jawa Tengah. Ribuan rakyat desa dikerahkan menjadi tenaga bantuan untuk mendukung pasukan Sultan Agung. Iwan Santosa ----------------------------------------------Dari Jalan Daendels, ke Jalan Tol Trans Jawa Kompas, 22 Agustus 2008 JAKARTA, JUMAT - Jalan Tol Trans-Jawa yang akan menghubungkan Merak dan Banyuwangi sejauh 1.200 kilometer ibarat mengulang mimpi Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels, 200 tahun silam.

Pada era kolonial, Jalan Daendels menjadi pipa penyedot kekayaan Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke Belanda. Trans-Jawa babak kedua akan mengulang hal serupa jika tidak hati-hati. Semarang, 5 Mei 1808. Setelah seminggu perjalanan melelahkan dari Buitenzorg (Bogor) ke Semarang, Daendels memerintahkan pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1.100 kilometer. Karena keterbatasan dana, Daendels hanya sanggup meratakan jalan Batavia ke Buitenzorg, kemudian membangun jalan Priangan ke Karangsambung (Cirebon) dengan biaya 30.000 ringgit. Selebihnya, pembangunan dibebankan kepada bupati yang daerahnya dilewati, kebanyakan dengan sistem kerja rodi. Ribuan orang meninggal dalam pelaksanaannya. Kini, keterbatasan dana juga menjadi alasan pemerintah menyerahkan pembangunan Jalan Trans-Jawa babak kedua kepada swasta. Sedikitnya tujuh perusahaan swasta dalam dan luar negeri (dari Malaysia dan Australia) terlibat. Para investor tergiur tarif tol yang dipastikan pemerintah bakal naik terus. Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sejumlah kesempatan menegaskan, pembangunan tol di Pulau Jawa diswastakan agar dana perawatan jalan di Jawa dialihkan untuk membangun jalan baru di luar Jawa. Pelajaran dari Daendels Jalan Daendels itu sama sekali bukan demi rakyat. Belanda dan para pengusaha pribumi mendapat keuntungan ekonomi dari pembukaan perkebunan dan bagi hasil kopi, teh, atau komoditas lain yang dikirim lewat jalan itu, kata Djoko Marihandono, sejarawan dari Universitas Indonesia. Sejarawan Nina Herlina Lubis dari Universitas Padjadjaran mengatakan, selama empat dekade setelah selesai dibangun, jalan itu tak boleh dilewati rakyat. Hanya kereta pos, militer, pejabat Belanda, dan priayi pribumi yang boleh melewati jalan itu. Pelajaran dari Jalan Raya Pos, pembangunan jalan telah memicu pertumbuhan sporadis dan tak terencana. Kota-kota tumbuh mengikuti jalan, fenomena yang menurut Peter JM Nas dan Pratiwo (Java and De Groote Postweg, La Grande Route, The High Military Road, Leiden/Jakarta, 2001), sebagai pertumbuhan kota memanjang. Setelah 200 tahun, wajah Jawa pun seperti pulau kota. Dari Anyer hingga Panarukan hampir tak ada jeda ruang untuk konservasi dan pertanian. Ruang disesaki perumahan, pertokoan, dan pergudangan. Kehancuran ekologis dan perubahan tata ruang yang tidak terkontrol menimbulkan banjir pada musim hujan, kekeringan saat kemarau. Mengubah Jawa Tol Trans-Jawa, yang sebagian besar dibangun di sisi selatan Jalan Daendels, sangat mungkin mengubah wajah Pulau Jawa. Konversi sawah di sepanjang tol, misalnya. Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, Tol Trans-Jawa, khususnya di Jawa Tengah hingga Jawa Timur, akan mengorbankan sekitar 600 hektar lahan pertanian beririgasi teknis. Konversi lahan sangat mungkin meluas karena pembangunan jalan selalu diikuti kantong pertumbuhan ekonomi baru. Padahal, menurut mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim, tingkat kesuburan tanah di Jawa delapan kali lipat daripada Kalimantan dan enam kali lipat ketimbang Sumatera.

Akan tetapi, apa boleh buat, Jalan Tol Trans-Jawa, kan, harus dibangun. Kami akan siapkan sawah pengganti di luar Jawa, kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. Ia menjanjikan, lahan pertanian akan dibeli dengan harga layak sehingga petani tidak dirugikan. Direktur Bina Teknik Departemen Pekerjaan Umum Danis H Sumadilaga mengatakan, jika jalan tol terbangun, pertumbuhan ekonomi akan terpicu. Mungkin saja akan dibangun pabrik di ujung tol, kata Danis. Pemerintah sepertinya terlalu menyederhanakan masalah dengan memimpikan petani yang kehilangan lahan dapat bertransformasi begitu saja ke sektor lain yang lebih baik dengan uang hasil penjualan lahannya. Perjalanan Anyer-Panarukan memperlihatkan petani yang kehilangan lahan karena dibebaskan untuk industri gagal masuk ke sektor formal. Mereka kebanyakan jadi buruh atau bermigrasi ke sektor informal di kota-kota di Jawa, khususnya Jakarta. Kantong-kantong industri identik dengan kemiskinan. Sebutlah, misalnya, di Cilegon, Tangerang, Tuban, dan Gresik. Transmigrasi ke luar Jawa juga tidak efektif mengurangi kepadatan penduduk. Selama 31 tahun (19681999) hanya 1,6 juta keluarga (2,7 juta jiwa) yang bertransmigrasi. Sebagian kembali ke Jawa, terutama generasi kedua dan seterusnya. Keengganan penduduk bertransmigrasi karena Jawa terus membangun megaproyek, sementara di luar Jawa pembangunan tersendat. Apakah ini berarti Jawa tidak boleh membangun? Ahli transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menyarankan, infrastruktur transportasi di Jawa sebaiknya ditopang oleh jaringan kereta api. Kereta api menghubungkan antarstasiun sehingga dapat mengurangi pertumbuhan memanjang mengikuti jalan. Lagi pula, menurut Direktur Utama PT Kereta Api Ronny Wahyudi, jika pemerintah lebih memilih jalan tol, keuntungan mengalir ke industri otomotif Jepang. Membebaskan lahan tol juga butuh lima tahun, padahal lahan rel sudah ada, tak perlu mengonversi lahan lagi. Kenapa tidak mendorong investasi kereta api? kata Ronny. Ekonom senior, Emil Salim, pun pernah mengatakan, jangan meniru proyek Daendels dengan membuat Jalan Anyer-Panarukan karena jalan raya itu dibuat sebelum kereta api ada. Belajar dari masa silam dan mendengarkan pendapat pihak lain adalah sikap bijaksana demi masa mendatang. Ahmad Arif,Haryo Damardono,Nawa Tunggal ---------------------------------------------------Jalan Raya Pos, 200 Tahun Pengisapan Kompas, 29 Agustus 2008 Perjalanan ini melelahkan, berkelit di antara truk dan bus, dibuai elok tanah Priangan dan angin laut di pesisir pantai utara Jawa. Hanya untuk menemui kisah tentang rakyat yang kalah. Tanggal 1 Januari 1808. Kapal Virginia merapat di Anyer. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sejak hari itu, Jawa tidaklah sama.

Perubahan dimulai dari sebuah jalan: Anyer-Panarukan sepanjang 1.100-an kilometer. Lebih dari sekadar jalan untuk mengantisipasi serangan Inggris dari utara Jawa, menurut Werner Rutz (Cities and Towns in Indonesia, Berlin, 1987), jalan ini telah menumbuhkan kota-kota baru, misalnya Pacet, Plered, Weleri, Sidoarjo, Gempol, Bangil, dan Kraksaan. Pengajar tata kota Universitas Gadjah Mada Sudaryono menyebutkan, kota-kota baru itu semula adalah pasar kecil yang diuntungkan dari lokasinya di persilangan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg). Kotakota tumbuh memanjang mengikuti jalan. Kini, hampir separuh penduduk Jawa berdiam di kota-kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, itu juga menjadi pipa pengisap kekayaan tanah Jawa ke Batavia untuk kemudian dikirim ke pasar dunia. Pengisapan kekayaan itu mencapai puncaknya ketika Van Den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di tahun 1830. Pada era inilah, Jalan Raya Pos menemukan fungsi besarnya: menyedot kekayaan Jawa. Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain. Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa sebagai kaki tangan Belanda. Enam puluh tahun setelah kedatangan Daendels, seorang asisten residen Belanda di Banten, Douwes Dekker, menuliskan penderitaan rakyat akibat ekonomi pengisapan itu. Tuan dan kuli Dari tanah Multatulinama samaran Douwes Dekkerperjalanan ini bermula. Tahun 1860, Douwes Dekker menulis Max Havelaar, kitab tentang derita rakyat yang diisap penguasa. Fragmen Saijah-Adinda dalam Max Havelaar kembali nyata saat mendengarkan kisah petani-petani Banten tentang jawara dan tentara yang memaksa mereka melepas tanah dengan harga murah untuk dijadikan areal industri sejak era 1970-an. Di Serang dan Tangerang, perjumpaan dengan para buruh pabrik makin mengingatkan pada sistem ekonomi pengisapan warisan kolonial. Ratno, buruh di Serang, mengisahkan, mereka harus membayar kepada para jawara hingga Rp 3 juta untuk kontrak kerja di pabrik selama setahun. Jawara adalah wajah Banten paling purba yang masih nyata hingga saat ini, yang menjadi penghubung antara dua kutub: kuli dan majikan. Melewati Puncak Pas, mata sempat disegarkan oleh rimbun pepohonan yang masih tersisa dari gambaran tentang keindahan Tanah Priangan. Namun, di balik elok alam dan mojang Priangan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri. Sebagian besar lahan pertanian di sini telah dimiliki tuan tanah dari kota, terutama dari Jakarta. Turun dari Cadas Pangeran, tempat ribuan korban pekerja tewas dalam pembangunan Jalan Raya Pos, perjalanan memasuki pantai utara. Cirebon adalah gerbangnya. TD Sujana, sejarawan Cirebon, menyebutkan, kota ini dibangun dari tebu dan air gula. Pada masanya tebu-tebu dari Cirebon merajai pasar Eropa. Legit air tebu yang diperas dari air mata petani. Menemui

petani-petani tebu di Cirebon saat ini serasa disedot ke masa dua abad lalu pada kondisi yang digambarkan Jan Breeman (Control of Land and Labour in Colonial Java, Foris Publication, Holand, 1983). Jan menulis, di Cirebon Timur pada akhir abad ke-18, tebu merupakan hasil pribumi yang wajib disetorkan kepada VOC. Semarang, kota yang pernah menjadi bandar besar itu, meredup, menyisakan kota lama yang sekarat oleh hantaman rob dan penurunan muka tanah. Pati-Rembang-Lasem menjadi kota pesisir yang miskin. Hampir tak ada yang tersisa dari masa lalu, selain ladang garam dengan buruh-buruh yang merana. Hanya di Juwana, Pati, harapan sedikit muncul, yaitu ketika melihat nelayan Desa Bendar yang tinggal di rumah- rumah gedongan. Di Tuban dan Gresik, harapan juga berseri ketika melihat pabrik-pabrik menjulang. Namun, kemiskinan ternyata tetap tak terusir. Titik akhir Di Porong, Sidoarjo, segala haru-biru pun tumpah: saat melihat rakyat Siring Barat, yang hidup berdampingan dengan maut. Mereka tinggal di tanah yang bergolak, dibekap gas beracun, dihantui bunyi tembok retak dalam tidur. Mereka kehilangan rumah, tanah, masjid, kuburan, bahkan masa depan. Hingga dua tahun sejak lumpur menyembur, tak ada kepastian untuk pindah ke tempat lain. Di Porong, sejarah 200 tahun Jalan Raya Pos, tamat riwayatnya. Pemerintah saat ini telah merencanakan untuk membangun jalan baru, menggantikan Jalan Raya Pos, untuk melanjutkan jalan itu hingga ke Panarukan. Dalam tulisan Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam/Belanda, 1989), citra Jawa awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau ini dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk bisa hidup di perkotaan yang padat penduduknya. Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu ternyata tak beranjak pergi. Ahmad Arif ----------------------------------------------------------------

Perlu Pertimbangan Matang Bangun Tol Trans Jawa 14 Agustus 2008 Kapanlagi.com - Perlu pertimbangan matang dari pemerintah untuk melaksanakan pembangunan tol trans Jawa, sebab, pembangunan ini dinilai lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan rakyat dan negara. "Kendaraan yang melewati jalan tol jumlahnya sama, dan yang lebih ironis lagi adanya lahan pertanian yang hilang dengan perkiraan lima kali luas lahan tol. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan lahan

pertanian dan banyak petani penggarap kehilangan pekerjaannya," kata Drs. Djoko Setyowarno, M.T., dosen Unika A.A. Soegijapranata Semarang, Kamis (14/08/08). Pengamat moda transportasi ini berpendapat, jika jalan tol trans Jawa tetap diberlakukan, maka yang menderita adalah petani penggarap sawah. Kalau sudah demikian jumlah rakyat miskin di Indonesia akan semakin bertambah banyak. "Apakah kondisi yang demikian yang dimaksud pemerintah, padahal pembangunan jalan tol untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat negeri ini," katanya. Pembangunan itu justru merugikan rakyat kecil yang akan kehilangan pekerjaan sebagai petani penggarap. "Mereka akan hidup miskin terus," katanya dan menambahkan, justru yang meningkat kesejahteraannya adalah oknum-oknum tertentu, mulai dari panitia pembebasan lahan, jajaran Departemen PU, hingga pembuat keputusan. Selain itu, ia mengingatkan, pembuatan jalan tol baru akan mengurangi lahan resapan air dan menambah daerah rawan bencana baru. Belum lagi lahan pertanian yang dibebaskan untuk pembuatan jalan tol adalah lahan subur. Karenanya, sebelum membangun jalan tol, sebaiknya pemerintah membuat terobosan lain yang menguntungkan semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat, yakni lebih memanfaatkan moda transportasi massal kereta api (KA). "Jika pemerintah lebih memanfaatkan moda transportasi KA dengan cara membangun peningkatan jalur rel yang ada, masalah transportasi darat dapat teratasi tanpa mengorbankan lahan pertanian yang subur," katanya. Ia mengatakan, lahan terbuka di Pulau Jawa pada akhir-akhir ini makin meluas dan lahan hijaunya semakin rendah, semua itu menjadikan potensi banjir dan tanah longsor di pulau ini cukup tinggi. Meluasnya lahan terbuka itu dapat dilihat dengan pembukaan lahan baru untuk kepentingan pembuatan jalan tol dan lokasi pemukiman perumahan baru, katanya. Idealnya lahan hijau di Indonesia 30%, namun kenyataannya kini sekitar 10%, katanya menjelaskan. Berdasarkan kenyataan itu, ia berharap pembukaan lahan baru bagi pemukiman perumahan baru makin diperketat oleh pemerintah, termasuk di daerah resapan air. "Jika daerah resapan air dialihfungsikan menjadi lahan pemukiman, maka air hujan yang seharusnya tertampung di daerah resapan air menjadi lepas begitu saja. Akibatnya akan terjadi banjir di sekitar daerah resapan air. Celakanya lagi, jika daerah resapan air di dekat pantai dan menjadi penampung air laut saat air laut meluber ke bibir pantai. Dampaknya banjir besar akan semakin terasa," katanya. Sementara di daerah pegunungan yang lahan hijaunya dialihfungsikan sebagai lahan pemukiman baru tanpa memperhitungkan kondisi lingkungan secara ideal, maka tidak menutup kemungkinan potensi tanah longsor akan semakin tinggi. Jadi, kata Djoko, untuk membuka lahan terbuka untuk pemukiman baru maupun jalan tol harus dilakukan secara hati-hati. "Pembukaan lahan terbuka jangan hanya memikirkan keuntungan materi saja. Tapi harus memikirkan kelestarian lingkungan. Apakah senang dan rela kalau anak cucu dan keturunan kita sengsara akibat

lingkungannya rusak. Pembangunan yang dilakukan saat ini harus berkesinambungan bagi masa depan keturunan kita," katanya. (*/lin)

-------------------------------------------------------60 Hektare Alas Roban "Terkepras" Tol Oleh Totok Wijayanto 21 Agustus 2008, website Perum Perhutani BATANG - Pembangunan jalan tol transjawa dipastikan bakal "mengepras" 60 hektar lahan hutan produksi dan kawasan perlindungan Alas Roban di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Saat ini, patokpatok penanda batas alih fungsi sudah diletakkan di Desa Gambilangan dan Desa Mangkang Wetan, Tugu, Kendal. Pelestarian hutan sebenarnya amat penting, tetapi keputusan pemerintah pusat dengan mempertimbangkan kepentingan umum yang lebih besar, maka sebagian kawasan Alas Roban terpaksa dilalui jalan tol. Namun, luasan yang dikepras amat kecil dibanding total luas hutan yang mencapai 20.416 hektar, kata Administratur Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kendal Widianto, Rabu (20/8). Pembangunan jalan tol dan jalan lintas antara Pekalongan-Semarang telah beberapa kali mengepras Alas Roban. Gubernur Jenderal Hindia Timur Herman Willem Daendels, 200 tahun lalu, juga mengepras hutan demi membuat Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Menurut Widianto, jalan Daendels paling ramah lingkungan karena berusaha mengikuti kontur alam Alas Roban yang berliku-liku. Namun, karena dianggap tidak lagi memadai untuk menampung padatnya arus lalu lintas saat ini, pemerintah pusat dan daerah bekerja sama membuat dua jalan baru lain, sebuah jalan tegak lurus yang lebih pendek, tetapi menanjak dan sebuah jalan melingkar yang landai. Data KPH Kendal menyebutkan, pembangunan jalan baru yang melingkar telah mengepras Alas Roban seluas 19 hektar. Meski tergolong kecil tingkat kehilangan tutupan lahan, keberadaan tiga poros jalan tersebut membuka akses luas untuk okupasi lahan secara ilegal, termasuk penebangan jati liar dan praktik sewa lahan tanpa izin. Saat ini saja, penebangan jati yang sebenarnya belum boleh dipanen sedang terjadi tidak jauh dari desa saya ini. Saya bahkan ditawari untuk menyewa lahan bekas tanaman jati itu asalkan membayar Rp 250.000 untuk setiap satu hektar, kata Matingal (55), warga Desa Adinuso, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang. Matingal yang ditemui pada Selasa siang sedang menggarap kebun singkongnya di sekitar Hutan Wisata Adinuso mengatakan, terkadang atas nama penegakan hukum, warga yang cuma mengambil kayu bakar saja ditangkap. Namun, praktik tebang liar dan sewa lahan dibiarkan terus terjadi. (NIT/NAW/NEL) --------------------------------------------Jasa Marga Bisa lepas Tol Nonproduktif Investor Daily (18/4): PT Jasa Marga (Persero) dapat melepas aset jalan tol nonproduktif yang dikelolanya untuk mendapatkan dana segar dan selanjutnya diinvestasikan pada proyek ruas tol Trans

Jawa.Perintah Wapres (Jusuf Kalla) untuk menjual aset-aset PT Jasa Marga seharusnya merupakan kesempatan bagi Jasa Marga untuk melepas aset yang tidak produktif atau yang arus kasnya negatif, ungkap Agus Sidharta, anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dari unsur asosiasi, di Jakarta, Selasa (17/4). Menurut Agus, melepas ruas tol saat ini dapat dilakukan sebelum PT Jasa Marga menjadi milik publik maka pelepasan ruas jalan tol sulit dilakukan. Pasalnya, PT Jasa Marga harus mengikuti aturan perusahaan publik. Apabila sudah IPO (Penawaran Umum Perdana, red), akan lebih sulit bagi Jasa Marga untuk melepas aset ruas jalan tol, karena Jasa Marga sebagai emiten terikat aturan bursa, paparnya. Dia menambahkan, penjualan aset yang non produktif sebenarnya tidak menyalahi ketentuan surat Wakil Presiden Jusuf Kalla bernomor B.514/Seswapres/III/2007 yang ditujukan kepada Menneg BUMN. Surat tersebut tentang percepatan Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa tertanggal 2 maret 2007. Surat yang ditandatangani Sekretaris Wapres Gembong Prijono itu berisi arahan Wapres untuk mnemerintahkan pelaksanaan penugasan kepada PT Jasa marga dalam percepatan pembangunan jalan tol Trans Jawa. Guna meningkatkan kemampuan pembiayaan PT Jasa Marga, divestasi ruas-ruas tol yang telah beroperasi dapat segera dilaksanakan pada awal 2007. PT Jasa Marga diperintahkan untuk menjual ruas-ruas jalan tol yang ada sebagai sumber pembiayaan pembangunan jalan tol yang menjadi prioritas pemerintah. Dana hasil disvestasi itu ditempatkan sebagai aset ruas jalan tol yang termasuk Trans Jawa dalam skema pembiayaan investasi Trans Jawa secara keseluruhan. Dengan demikian, pelepasan aset nonproduktif tersebut tidak menyalahi perintah Wapres. Malah PT Jasa Marga mengambil langkah tepat dengan melepas ruas yang merugi, kata Agus. Dia memperkirakan aset-aset ruas tol yang telah beroperasi tetapi kurang produktif masih diminati banyak investor ataupun pemerintah daerah. Apalagi, pihak investor kelak hanya mengelola ruas jalan tol yang telah terbangun dan sudah beroperasi. Di sisi lain, menurut Agus, pemerintah daerah sekarang ini berlomba-lomba meminta proyek jalan tol di wilayahnya segera terbangun. Contohnya Pemerintah Provinsi Sumatera Uara yang bersemangat membangun proyek jalan tol Kuala Namu-Tebing Tinggi. Siapa yang tidak mau membeli ruas jalan tol yang telah beroperasi dan bergaransi konsesi selama 40 tahun, tukasnya. Cukup menarik Menanggapi perintah pelepasan aset ruas jalan tol milik PT Jasa Marga yang kurang produktif, Ketua Asosiasi Tol Indonesia (ATI) Fatchur Rohman menilai hal itu cukup bijaksana. Sebab, ruas jalan tol yang saat ini tidak memberikan konstribusi positif kepada perusahaan belum tentu nantinya terus negatif. Sebab, bisa saja arus kasnya menjadi positif seiring berjalannya waktu dan penyesuaian tarif berkala, sehingga hal itu cukup menarik bagi investor. Tapi, kalau menual ruas yang merugi seharusnya dijual dengan nilai diskon, ucapnya. Fatchur menegaskan, menjual ruas yang rugiatau menguntungkan sebenarnya sama saja. Sebab, aset ruas jalan tol yang merugi dapat dijual dengan harga diskon dan yang telah memberikan keuntungan dijual dengan harga premium. Keduanya sebenarnya menarik bagi investor dan tergantung penilaian masingmasing, ungkapnya. Dia mendukung penjualan aset dengan jalan menjual ruas jalan tol yang telah beroperasi. Dengan demikian, saham PT Jasa Marga tetap menjadi milik pemerintah dan bukan perorangan atau korporasi yang tidak diketahui kredibilitasnya. Pemerintah tetap memegang saham Jasa Marga dan tidak dimiliki oleh siapa saja, katanya. (har) ----------------------------------------------------------PEMERINTAH SELESAIKAN PEMBEBASAN LAHAN TOL TRANS JAWA TAHUN 2008

21 Januari 2008, www.pu.go.id Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol trans jawa sepanjang 645 Km mulai dari Cikampek hingga Surabaya pada tahun 2008. ''Kedatangan kami bertiga merupakan komitmen kami mendorong tol dapat terlaksana. Diharapkan 2008 pembebasan lahan dapat selesai sehingga pada tahun 2009 sudah dimulai pekerjaan fisiknya' jelas Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam jumpa pers usai mengikuti rapat membahas evaluasi pengadaan tanah jalan tol trans jawa bersama Menteri Dalam Negeri Mardiyanto. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, Gubernur Jawa Tengah Ali Mufidz serta para bupati/walikota provinsi jawa tengah, di Semarang, Minggu (20/1).

Menteri PU mengungkapkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah sepakat pembangunan tol Trans Jawa dipercepat pelaksanaannya, terutama masalah pembebasan tanah yang sampai saat ini masih menjadi kendala utama. "Mudah mudahan dilapangan bisa berjalan dengan baik, apalagi sudah ada tim penilai harga (appraisal) yang telah memiliki sertifikasi dari BPN," kata Djoko.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto mengatakan, pihaknya juga akan mendukung program percepatan pembangunan tol trans Jawa ini. "Kami akan melakukan pendampingan dan supervisi sampai ke tingkat camat dalam menyelesaikan tanah ini," kata Mardiyanto. Bahkan, kata dia, sudah melakukan sosialisasi kepada Bupati/Walikota yang daerahnya terkena pembebasan lahan untuk tol trans jawa.

Sementara itu Kepala BPN Joyo Winto menyatakan perangkat UU maupun aturan lainnya, pada dasarnya sudah lengkap, sehingga persoalan pembebasan lahan itu sudah tidak menjadi masalah lagi. "Kalau ini sukses tentu pembangunan jalan tol bisa dipercepat," kata Joyo. Dijelaskannya, dengan adanya tim appraisal ini diharapkan harga tanah yang wajar dapat diketahui sehingga pembebasan lahan buat kepentingan umum yang dilakukan oleh P2T tidak merugikan masyarakat pemilik tanah dan bisa mengurangi adanya praktek dan permainan para spekulan tanah. "Hak hak warga masyarakat bisa terlindungi dan para spekulan bisa ditekan," kata Joyo.

BPN sendiri, tambah Joyo akan akan melakukan pemantauan terhadap harga tanah yang akan dibebaskan, sehingga semua bisa kontrol. Sehingga, kata Joyo, pihaknya sudah menyiapkan satgas dalam penyelesaian konflik pertanahan yang masih menjadi sengketa. "Setelah ada P2T di daerah, BPN langsung membentuk satgas pembebasan lahan," ujarnya.

Sementara itu Dirjen Bina Marga Dept PU Hermanto Dardak mengungkapkan, jalan tol trans Jawa koridor Cikampek-Surabaya ini merupakan prioroitas utama untuk dapat diselesaikan. tim penilai (apraisal) secara profesional memiliki kemampuan menilai harga tanah. Hasilnya dapat menjadi pegangan bagi P2T melakukan musyawarah harga dengan masyarakat. Namun apabila tetap tidak dicapai kesepakatan dapat dilakukan konsinyasi (penitipan ganti rugi di pengadilan) jelas Hermanto Dardak.

Negosiasi harga tanah di lapangan kerap menemui jalan buntu, karena P2T tidak bisa memenuhi permintaan harga tanah terlalu tinggi dari NJOP karena khawatir dianggap melakukan korupsi.

Progres pembebasan lahan untuk ruas tol yang melewati Provinsi Jawa Tengah sebagian besar masih dalam tahap masih dalam tahap sosialisasi, pematokan, inventarisasi, musyawarah dan menunggu pendanaan dari Investor. Pejagan-Pemalang (57,5km), Pemalang-Batang (39km), Batang-Semarang (75 Km), Semarang-Solo (75,6 km), Solo-Ngawi (40 km). Sementara untuk ruas tol Kanci-Pejagan (13,4 km) sudah 70 persen tanah yang telah dilakukan pembayaran. Pembebasan lahan di Jawa Tengah lebih lambat dibandingkan provinsi lainnya. --------------------------------------------Masa Depan Ekologi Jawa (Utara) Kompas, 29 Agustus 2008 Oleh Ahmad Arif Disesaki oleh hampir separuh penduduk Pulau Jawa, kota-kota sepanjang Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) saat ini ibarat kapal bocor yang hendak tenggelam. Bahkan, sebagian daratan di utara pulau ini benar-benar tenggelam dalam arti sesungguhnya, seperti terjadi di pantai utara Jakarta dan Semarang yang sekarat oleh banjir rob. Hampir semua kota di utara Jawa kini mengalami masalah dengan ketersediaan air, baik untuk irigasi maupun air minum. Banjir juga menjadi langganan, seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Pati, Semarang, hingga Situbondo. Padahal, Jawa masa lalu adalah permata hijau di sabuk khatulistiwa yang di tanahnya mengalir sungaisungai nan permai. Setidaknya itu yang tergambar dalam catatan Thomas Stamford Raffles (The History of Java, Oxford University Press/Kuala Lumpur, 1978) pada saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816. Raffles menyebutkan, sepanjang pantai utara Jawa terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan semak belukar. Pantainya sangat indah dengan udara yang sehat. Di sebelah selatannya terdapat hutan lebat, pegunungan yang banyak ditumbuhi sawah- sawah siap panen, dan kehijauan abadi. Pada musim terpanas, udara masih tetap segar, sementara pada musim kering anak-anak sungai masih tetap berisi air tawar. Dari sungai inilah para petani mengairi sawah yang bertingkat-tingkat. Lebatnya hutan bakau di pantai utara Jawa, seperti yang digambarkan Raffles, kini hampir tak terlacak lagi jejaknya. Kepala Bidang Sarana Penelitian pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pramudji mengatakan, alih fungsi bakau di Jawa, terutama untuk tambak, terus terjadi. Di Jawa, bakau sudah hampir habis, kata Pramudji. Hampir tak ada lagi ruang tersisa di pantai utara untuk konservasi. Di sebelah selatan Jalan Raya Pos, hutan lebat itu juga menghilang dengan cepat. Pembukaan lahan baru untuk pembangunan jalan tol transJawa dikhawatirkan juga mempercepat laju kerusakan hutan. Dipastikan sedikitnya 60 hektar lahan hutan produksi dan kawasan perlindungan Alas Roban di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan dikepras untuk jalan baru itu. Pembukaan hutan yang bisa dipastikan akan meluas mengingat pembukaan lahan untuk hutan pasti diikuti pertumbuhan ekonomi baru sekitar jalan.

Analisis Litbang Kompas berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan sawah di 42 kabupaten/kota yang dilalui Jalan Raya Pos selama periode 2000-2003 mencapai 33.384 hektar. Penyusutan sawah terbesar terjadi di Kabupaten Bandung, yaitu 7.105 hektar. Sedangkan penyusutan hutan untuk periode dan wilayah yang sama mencapai 10.052 hektar. Penyusutan hutan terbesar juga terjadi di Kabupaten Bandung, mencapai 3.577 hektar. Kerugian ekonomi Cepatnya laju penyusutan luas sawah, selain karena alih fungsi lahan, juga disebabkan oleh kekeringan. Rusaknya daerah tangkapan hujan menyebabkan jumlah lahan kritis meluas. Data Balai Besar Cimanuk Cisanggarung di Cirebon dari pengawasan Bendung Rentang pada awal Agustus 2008 ini menunjukkan debit air menyusut sampai 8 meter kubik per detik. Pada musim kemarau tahun sebelumnya rata-rata debit masih 20 meter kubik per detik. Ayi (45), petani dari Ligung Lor, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, mengatakan, 2 hektar lahan yang ditanami hanya menghasilkan 4 ton padi. Sebagian petani bahkan mengalami gagal panen. Sedangkan kerusakan ekologi pantai dan mengecilnya air sungai telah mengakibatkan intrusi air laut makin jauh menjorok ke daratan hingga merusak lahan pertanian. Ribuan hektar lahan pertanian mulai dari Cirebon hingga Brebes tak bisa ditanami karena intrusi air laut. Banyak lahan dibiarkan mengering dan tidak ditanami petani di sepanjang pantura ini karena airnya asin, kata buruh tani bawang merah, Darito (40), di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah. Darito menunjukkan, lahan di desanya itu yang berjarak sekitar 12 kilometer dari garis pantai masih saja terkena dampak intrusi. Buruh tani lainnya, Basran (60), yang ditemui di Desa Tengki, Brebes, mengatakan, lahan baru bisa ditanami lagi setelah musim hujan. Itu pun masih harus menunggu beberapa bulan setelah hujan pertama. Total selama setahun, Darito hanya bisa memanfaatkan lahan selama empat bulan. Kepala Seksi Pemulihan Kualitas Lingkungan pada Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Brebes Sobawi mengatakan, biaya mengatasi kerusakan lingkungan tidak terjangkau pemerintah. Sabuk pengaman bakau di pesisir yang menghambat intrusi air laut sudah nyaris hilang. Upaya memulihkannya tidak murah, kata Sobawi. Peradaban yang hilang Kemunduran ekonomi akibat kerusakan ekologi di kawasan pesisir ini seperti mengulang hancurnya peradaban yang pernah jaya di kawasan pantai utara Jawa. Menurut catatan Raffles, sepanjang pantai utara Jawa awal abad ke-19, hampir di setiap distrik mempunyai sungai utama. Kebanyakan sungai ini bisa dilayari kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil produk lokal. Kotakota pelabuhan besar tumbuh di sepanjang pantai utara ini,, misalnya Banten, Batavia, Cirebon, Demak Lasem, Rembang, Tuban, Gresik, hingga Panarukan. Kebesaran pelabuhan dagang sepanjang pantai utara Jawa itu dicatat oleh banyak perantau. Misalnya Cirebon yang ditulis pengelana Portugis, Tome Pires (Summa Oriental, 1515), Cherimon (Cirebon) adalah pelabuhan besar yang banyak dikunjungi kapal. Di sana ada tiga sungai yang bisa dilayari kapalkapal.

Mengenai Gresik, Tome Pires menceritakannya sebagai pelabuhan besar yang didatangi kapal-kapal dari Gujarat, Kalkuta, Benggela, Siam, China, selain kapal-kapal dari Maluku. Kini pendangkalan akibat kerusakan hutan di daerah hulu dan pencemaran telah membunuh sungaisungai di Jawa utara. Menciut dan mendangkalnya sungai-sungai itu pada akhirnya telah membunuh pelabuhan-pelabuhan besar. Dengan hilangnya pelabuhan, hilang pula sebuah peradaban. Jejak kejayaan pantai utara Jawa itu hanya menyisakan gudang- gudang tua di sekitar pelabuhan, seperti di Cirebon dan Panarukan. Di Lasem, jejak kejayaannya terlihat dari bekas galangan kapal Belanda dan Jepang yang berada di tengah ladang warga. Bahkan, sebagian besar tak meninggalkan jejak sedikit pun. Sungai-sungai besar yang dilayari kapal mengecil, bahkan lebih mirip selokan seperti terlihat di Banten dan Cirebon. Jika sejarah adalah kunci untuk melihat masa depan, masa depan ekologi Jawa seperti apa yang tergambarkan selain kemunduran? Dengan daya dukung lingkungan yang terus merosot dan pertambahan penduduk yang tak terkendali, tinggal menunggu waktu Jawa menjadi pulau yang karam....(Nawa Tunggal/ Neli Triana/Siwi Yunita) --------------------------------------Proyek Tol dan Ekspansi Properti Sabtu, 5 Juli 2008 | 00:49 WIB HARYO DAMARDONO Berbicara mengenai pembebasan lahan, perusahaan kami jagonya. Kami ini pemain properti, sudah terbiasa membebaskan lahan di mana pun. Jangan meragukan kami dalam membantu pembangunan jalan tol di Indonesia, ujar Hiramsyah Thaib, Presiden Direktur PT Bakrieland Development Tbk, dengan nada berapi-api. Hiramsyah berbicara berapi-api lantaran terkejut. Pasalnya, wartawan yang bertugas di Departemen Pekerjaan Umum memberi tahu, dua ruas tol di mana Hiramsyah menjadi komisaris utama terancam diputus kontrak oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Dua ruas tol yang diancam putus kontrak per Jumat (22/8) adalah Tol Batang-Semarang (75 km) dan Tol Pejagan-Pemalang (57,50 km). Kalau kami tidak kerja boleh diputus, tetapi kami bekerja, ujar Hiramsyah. Persoalan terpenting dalam pembangunan tol di Indonesia adalah pembebasan lahan sebab teknologi konstruksi jalan telah dikuasai. Jadi, pantas bila Hiramsyah membanggakan diri. Meski pembebasan lahan tugas Departemen PU dan pemda, investor lazim menyumbang tenaga dan pikiran. Ada dua titik lemah bisnis tol bila beroperasi. Pertama, tarif tidak naik sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Kedua, jumlah kendaraan (traffic) yang melintas lebih rendah dari perkiraan dalam rencana bisnis. Di Indonesia, hampir seluruh ruas tol yang beroperasi sebelum tahun 2000 pernah tidak naik tarif. Akibatnya, perusahaan tol tidak meraup laba dan sulit mengembalikan pinjaman. BPJT tidak mencari broker Seretnya dana juga menurunkan intensitas perawatan sehingga jalan tol berlubang dan tidak dilengkapi pagar. Seretnya kendaraan yang melintas, misalnya, dialami ruas Tol Tanjung Morawa-Medan-Belawan, Tol Palimanan-Kanci, dan Tol Semarang Kota.

Rendahnya jumlah kendaraan dapat diakibatkan belum terhubungnya ruas tol yang dibangun dengan jaringan tol yang belum jadi atau juga disebabkan oleh kawasan yang tidak berkembang. Di Tol Tanjung Morawa-Belawan, misalnya, jumlah kendaraan diharapkan disumbang Kawasan Industri Medan (KIM), tetapi KIM tidak berkembang. Lebih menyedihkan adalah rendahnya jumlah kendaraan yang melintas di Tol Merak-Tangerang. Kawasan industri di sepanjang tol itu tidak tumbuh pesat. Banyak faktor penghambatnya, antara lain tidak terbangunnya Pelabuhan Bojonegara yang diharapkan menggantikan Pelabuhan Tanjung Priok. Ketika pelabuhan tidak terbangun, industri di Serang dan Cilegon meredup. Bagaimana mengoneksikan pembangunan tol dengan sebuah kawasan, baik industri maupun perumahan, agar bisnis tol sebagai bisnis inti tidak merugi? Langkah terbaik adalah membangun tol sekaligus kawasan properti. Tidak melulu perumahan, tetapi juga pusat perbelanjaan, kondominium, dan kawasan industri. Aksesibilitas memang krusial bagi properti. Premis properti berbunyi, lokasi, lokasi, dan lokasi. Pengembang perumahan Alam Sutera juga membuka akses tol di Kilometer 15 Tol Jakarta-Merak, yang rencananya selesai dibangun kuartal III 2008. Kisah pengembang membangun tol bukan hal baru. Jalan tol dari Pondok Aren menuju Serpong (7,5 kilometer) dibangun PT Bintaro Serpong Damai sebagai akses ke perumahan Bintaro Jaya dan Bumi Serpong Damai. Langkah itu diteruskan Grup Bakrie. Agresivitas membangun tol dipadukan pengembangan kawasan. Sinergi bisnis model ini akan meningkatkan traffic, ujar Harya Mitra Hidayat, Wakil Grup Bakrie, yang menjadi Presiden Direktur PT Pejagan-Pemalang Toll Road. Harya merangkap Presdir Tol Kanci-Pejagan (34 km) dan Batang-Semarang (75 km). Artinya, di Tol Trans-Jawa, antara Kanci (Kabupaten Cirebon) hingga Kota Semarang (205,5 km), hanya PemalangBatang (39 km) yang tidak dibangun Bakrie. Tiga ruas, yakni Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, dan Batang-Semarang, de facto dibangun Grup Bakrie. Harya meyakini, pembangunan properti di kawasan itu cukup prospektif karena industri setempat berkembang. Siapa yang tidak kenal industri batik di Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan? Bila investor juga membangun kawasan industri batik dekat gerbang tol, sama artinya sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Terlebih bila Grup Bakrie berniat membangun rumah susun sederhana milik bagi pekerja industri batik. Juga ada peluang usaha membangun pergudangan bawang merah dan telur asin di ruas tol yang melintas Kabupaten Brebes. Selain itu, usaha pembangunan kawasan industri pengolahan kayu dan hasil perikanan di Kabupaten Kendal. Jangankan membangun kawasan industri, membangun mal batik di area istirahat tol sudah diperkirakan akan menguntungkan. Sebab, bisa menarik pengguna jalan tol untuk beristirahat sekaligus berbelanja batik. Dari Kanci hingga Semarang, mungkin hanya di Kabupaten Batang tidak terlalu memberikan prospek karena industri lokal yang menyokongnya juga minim. Namun, rasanya, pengguna jalan lebih memilih jalan tol daripada jalur Alas Roban yang dikenal lebih angker. Menemukan investor tol berduit memang telah menjadi obsesi Departemen PU dan BPJT. Sebab, investor tol pemenang tender di tahun 1990-an ternyata tak mempunyai cukup dana.

Bagi peserta tender masa mendatang, BPJT akan memperketat persyaratan. Kami akan memilih investor yang mempunyai uang, kata Kepala BPJT Nurdin Manurung. Dia mengisyaratkan menolak pengusaha yang menjadi broker proyek tol. Terobosan berbeda untuk mengumpulkan modal dikerjakan PT Jasa Marga Tbk dengan menggaet penyertaan modal daerah. Pada tol Semarang-Solo, dibentuk perusahaan patungan PT Trans-Marga Jateng, perusahaan patungan PT Jasa Marga Tbk (60 persen) dan PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (40 persen). Membangun tol dengan menggaet penyertaan modal daerah atau menggabungkan beberapa misi bisnis memang harus dipikirkan oleh peserta tender tol tahun 2008 untuk mengurangi risiko bisnis jalan tol. Namun, pemerintah sendiri tidak jelas dalam membuat kebijakan transportasi. Di satu sisi ingin merevitalisasi jalur kereta api (KA) di pantura Jawa, di sisi lain pemerintah ingin membangun Tol TransJawa (menghubungkan Jakarta-Surabaya) yang jalurnya sejajar dengan jalur KA. Kalau harga BBM terus melambung, boleh jadi masyarakat lebih memilih moda angkutan kereta api yang relatif lebih murah. Oleh karena itu, investor jalan tol harus mampu membangun kawasan properti untuk menghindari kerugian. Tentu saja, pembangunan properti sekaligus jalan tol harus mematuhi tata ruang. Jangan sampai, misalnya, pembangunan jalan tol malah menghilangkan areal sawah. ------------------------------------------------------Tempo, 8 September 2008

Memacu Ambisi Bebas Hambatan


Pemerintah akan membangun 1.600 kilometer jalan tol dalam lima tahun. Mengincar dana Jamsostek. INI bukan legenda Bandung Bondowoso, yang berusaha membangun seribu candi dalam semalam. Ini kisah pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, yang berencana membangun 1.600 kilometer jalan tol yang terbagi dalam 49 ruas di Pulau Jawa dan beberapa tempat di Sumatera dan Sulawesi, dalam waktu lima tahun. Rencana besar itu diungkapkan Presiden Yudhoyono jauh di Santiago, Cile, sewaktu mengikuti pertemuan kepala negara anggota APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik). Pembangunan jalan tol baru dipandang akan membuka transportasi lebih efisien dan memacu investasi. Ujung-ujungnya, roda perekonomian akan tumbuh lebih cepat, dan kesejahteraan rakyat bakal meningkat. Amin. Proyek raksasa itu diperkirakan akan menyedot dana hingga Rp 90 triliun, dan jelas bukan pekerjaan ringan. Di masa Orde Baru saja, sejak 1978, pemerintah hanya berhasil membangun 600 kilometer jalan bebas hambatan. Artinya, rata-rata cuma 24 kilometer per tahun. Sejak krisis ekonomi 1998, pembangunan puluhan proyek jalan tol betul-betul mandek abis. Dibandingkan dengan Malaysia saja, kita jauh tertinggal. Padahal, negeri penghalau TKI ilegal itu baru mulai membangun jalan bebas hambatan pada 1989, dan sebetulnya belajar dari pembangunan jalan tol Jagorawi di Indonesia. Namun, saat ini Malaysia telah membangun 3.000 kilometer jalan tol. Cina? Jangan tanya! Baru membangun jalan tol pada 1991, sampai saat ini Negeri Panda itu telah merampungkan jalan bebas hambatan 19 ribu kilometer. Artinya, setiap tahun mereka membangun 1.500 kilo-meter jalan tol baru. Lambannya pembangunan jalan bebas hambatan di Tanah Air tentu layak membuat heran. Soalnya, lalu lintas kendaraan di Pulau Jawa lima kali lebih padat ketimbang di Malaysia. Bila di negeri jiran itu saja

jalan bebas hambatan bisa menjadi bisnis menguntungkan yang mengundang banyak investor, di Indonesia keuntungan mestinya lebih berlipat ganda. Secara resmi Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie menyatakan tingkat pengembalian, alias interest rate of return (IRR), proyek jalan tol rata-rata 18 persen. Bila dibandingkan dengan bunga kredit perbankan yang 12 persen, kata Bakrie, "Investor masih bisa memperoleh keuntungan 6 persen." Dokumen rencana pembangunan jalan tol yang diperoleh Tempo bahkan memperlihatkan, ada beberapa ruas yang memiliki IRR lebih tinggi. Contohnya ruas Gempol-Pandaan dan Waru-Wonokromo-Tanjung Perak di Jawa Timur, yang IRR-nya 21 persen. Jembatan tol Sura-baya-Madura bahkan diperkirakan bakal menghasilkan keuntungan 24 persen bagi investornya. Hitungan keuntungan bisnis jalan tol yang kelewat hati-hati bukan cerita baru. Di masa lalu, perkiraan pengembalian modal, alias payback periode, proyek jalan tol dibuat sangat konservatif. Biasanya hingga 12-15 tahun. Kenyataannya, setelah jalan tol beroperasi, investor sudah kembali modal dalam waktu 7-8 tahun. Ini bisa terjadi karena pesatnya pertambahan kendaraan pengguna jalan tol. Lihatlah jalan tol dalam kota Jakarta, yang kini sering macet. Ketika dibangun, pemakai jalan itu diperkirakan hanya 30 ribu-40 ribu kendaraan per hari. Nyatanya, jumlah pengguna jalan itu sekarang ditaksir 350 ribu kendaraan per hari. Pengamat infrastruktur Reviansyah menyamakan gurihnya bisnis jalan tol seperti bisnis telekomunikasi. "Setiap kali ada orang menelepon atau melewati jalan tol, uang masuk kendati kita sedang tidur," katanya. Namun, seperti kata peribahasa: di mana ada gula, di situ ada semut. Lezatnya bisnis jalan tol di masa lalu telah mengundang datangnya para pemburu rente. Berbekal koneksi dengan penguasa, mereka "memenangkan" tender, tapi izin itu mereka jual kembali pada investor sesungguhnya dengan komisi besar. Akibatnya terjadilah praktek penggelembungan nilai proyek. Maraknya praktek mark-up proyek itulah yang membuat pembangunan jalan tol di Indonesia tersaruksaruk. Belum lagi hambatan lain seperti keterbatasan dana, sulitnya pembebasan tanah, tak pastinya mekanisme penentuan tarif, dan krisis ekonomi. Untuk memacu kembali pembangunan jalan tol, pemerintah telah berusaha memperbaiki iklim investasi. Contohnya dengan merevisi UU No. 13/1980 menjadi UU No. 38/2004 tentang Jalan. Dengan peraturan baru, pemerintah memberikan kepastian kenaikan tarif tol setiap dua tahun sekali. Kenaikan tarif itu ditentukan berdasarkan selisih nilai tarif sebelumnya dikaitkan dengan angka inflasi. Penetapan tarif juga tak lagi dilakukan presiden, melainkan cukup oleh menteri. "Birokrasinya menjadi lebih sederhana," kata Direktur Jenderal Prasarana Wilayah Departemen Pekerjaan Umum, Hendrianto Noto Soegondo. Untuk merayu investor, tarif tol kini juga bisa diketahui sejak rencana bisnis diajukan, berbeda dengan di masa lalu, ketika tarif baru diketahui setelah proyek selesai dibangun. Menyangkut pembebasan tanah, pemerintah memberikan kesempatan investor melakukan perundingan langsung dengan rakyat. Nilai tanah yang disepakati kemudian akan diperhitungkan untuk menentukan masa konsesi. "Saya kira kepastian ini cukup menarik investor," ujar Hendrianto. Alternatif lain berupa dukungan pemerintah dengan menyediakan dana awal untuk pengadaan lahan. Dana itu kelak akan diganti investor dan digunakan kembali untuk pengadaan lahan di ruas lain secara bergulir (revolving fund). Batasan harga tanah ditetapkan sesuai dengan nilai jual obyek pajak (NJOP). Bila harga tanah melebihi NJOP, pemerintah akan membayar kelebihannya dengan dana dari APBN. Usul

lain berupa pembekuan jual-beli tanah di sepanjang koridor jalan tol (land freezing) berdasarkan peraturan daerah. Cara ini dipandang efektif mencegah praktek spekulasi tanah. Bila masih ada pemilik lahan membandel, ada senjata pamungkas yang disiapkan, yakni penerapan pencabutan hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kalaupun kemudian muncul sengketa, penyelesaiannya akan diurus tanpa harus menunda pelaksanaan konstruksi. Pemerintah juga sudah memisahkan peran regulator dan operator yang dulu disandang di satu tangan oleh PT Jasa Marga. Kini pemerintah telah membentuk Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang berfungsi sebagai regulator. Jasa Marga tinggal menjadi operator belakasama seperti investor lainnya. Satu-satunya masalah yang masih mengganjal adalah pembiayaan. Beberapa alternatif akan dicoba, mulai dari investasi swasta, penggunaan kredit lunak dari luar negeri, hingga penggalangan dana berupa dana investasi infrastruktur jalan tol (DIIJT). Dana ini merupakan dana kelola kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA) untuk menjaring investor di pasar modal sesuai dengan UU Pasar Modal dan peraturan Bapepam. Namun, menurut Bakrie, dalam jangka pendek pemerintah akan lebih mendorong perbankan dan lembaga dana pensiun dalam negeri ikut membiayai pembangunan jalan tol. "Dana pensiun itu kan bersifat jangka panjang, jadi cocok membiayai pembangunan jalan tol," katanya. Secara terus terang Bakrie mengaku mengincar dana yang dikelola Jamsostek, sejumlah Rp 40 triliun. "Menurut Pak Sugiharto (Menteri BUMNRed.), Rp 28 triliunRp 30 triliun dari dana itu bisa digunakan membiayai proyek jangka panjang," katanya. Untuk lebih menciptakan rasa aman bagi para investor, menurut Bakrie, pemerintah juga bersedia menerbitkan comfort letter (baca wawancara dengan Aburizal Bakrie: "Pemerintah Akan Memberikan Comfort Letter"). Ini merupakan surat sakti yang menjamin pemerintah tak akan menghentikan proyek. Ia berkilah, comfort letter merupakan prasyarat yang diminta oleh banyak lembaga pembiayaan. Bakrie optimistis, pembangunan jalan tol sepanjang 1.600 kilometer akan bisa diselesaikan sesuai dengan target. Namun tak demikian halnya dengan Reviansyah. Mengingat banyaknya persoalan dan belum adanya uji coba yang mulus, ahli jalan tol lulusan Bradford University, Inggris, ini menilai proyek itu sangat ambisius. Reviansyah mengingatkan, untuk membangun satu ruas jalan tol diperkirakan perlu waktu dua tahun. Mengingat ada 49 ruas tol dalam bentangan jarak 1.600 kilometer, tiap dua tahun minimal harus dikerjakan 24 ruas tol secara serempak. "Mungkinkah biaya dan tenaga ahlinya tersedia?" katanya. Ia memperkirakan jumlah jalan tol yang masuk akal untuk dibangun dalam waktu lima tahun hanya 700 kilometer. "Itu sudah bertambah dua kali lipat dibanding jumlah yang ada sekarang," katanya. Nugroho Dewanto, Taufik Kamil, Leanika Tanjung --------------------------------------------------

Megaproyek Trans-Jawa
Selasa, 13 Maret 2007 | 11:43 WIB

Jalan tol Kanci-Pejagan adalah salah satu ruas tol dalam proyek Trans-Java Tollway System atau biasa disebut Trans-Jawa. Pemerintah merencanakan jalan tol--yang melintang dari Merak, Banten, hingga ke Banyuwangi, Jawa Timur--tersebut bisa selesai pada 2010. Panjangnya direncanakan bisa mencapai 1.657 kilometer. Demi megaproyek ini, pemerintah pun telah menganggarkan Rp 2 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2006, khusus untuk menalangi biaya pembebasan lahan. Dalam proyek ini, sepanjang 264,7 kilometer akan dikerjakan oleh PT Jasa Marga. Berikutnya, sepanjang 564,5 kilometer, akan dibangun oleh investor non-Jasa Marga. Sisanya, sepanjang 828,8 kilometer, akan dibangun bersama antara Jasa Marga dan investor. Tiga bank negara pun dilibatkan dalam pendanaan megaproyek ini. Riset Tempo menunjukkan PT Bank Negara Indonesia Tbk. menyiapkan kredit hingga Rp 12 triliun untuk proyek jalan tol tersebut. Sebesar Rp 8,8 triliun direncanakan untuk proyek jalan tol Trans-Jawa. Adapun PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. dan PT Bank Mandiri Tbk. masing-masing menyiapkan Rp 3,6 triliun dan Rp 10 triliun. Siapa Puny Pemegang Hak Pengusahaan: PT Jasa Marga 1. Jakarta-Tangerang (26,8 km), beroperasi 2. Jakarta-Cikampek (72,5 km), beroperasi 3. Palimanan-Kanci (28 km), beroperasi 4. Semarang A, B, C (19,3 km), beroperasi 5. Surabaya-Gempol (42 km), beroperasi 6. Semarang-Solo (75,67 km), persiapan Total ruas: 264,7 km Pemegang Hak Pengusahaan: Investor 1. Cikampek-Palimanan (114 km), PT Lintas Marga Sedaya 2. Kanci-Pejagan (35 km), PT Semesta Marga Raya 3. Pejagan-Pemalang (57,5 km), PT Sumber Mitra Jaya 4. Pemalang-Batang (39 km), PT Sumber Mitra Jaya 5. Semarang-Batang (75 km), PT Marga Setia Puntama 6. Kertosono-Mojokerto (41 km), PT Hanurata Coy 7. Surabaya-Mojokerto (34 km), PT Marga Nujyasumo Agung 8. Solo-Mantingan-Ngawi-Kertosono (169 km), prakualifikasi ulang Total gabungan ruas investor: 564,5 km Total panjang jalan tol Trans-Jawa (PT Jasa Marga dan investor): 828,77 km SUMBER: PT JASA MARGA ANNE LH. Tempo

--------------------------------

Anda mungkin juga menyukai