Anda di halaman 1dari 9

CHRISTINA MARTHA TIAHAHU

Usianya baru 17 tahun tatkala Ia terjun langsung dalam medan perang melawan tentara kolonial Belanda.
Gadis yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800 di Desa Abubu, Nusalaut ini merupakan putri sulung
dari Kapitan Paulus Tiahahu, salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku.

Dialah Martha Christina Tiahahu, srikandi dari tanah Maluku. Meski masih sangat belia, ia dikenal baik di
kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh sebagai gadis pemberani dan
konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.

Dengan rambut panjangnya yang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah),
ia mendampingi ayahnya angkat senjata untuk mengusir penjajah di Pulau Nusa Laut maupun di Pulau
Saparua. Pada waktu yang sama Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan
Belanda di Saparua. Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Dalam perjuangannya, Martha Christina juga turut berperan dalam pertempuran melawan belanda di
pulau Saparua tepatnya didesa Ouw, Ullath. Di tengah keganasan pertempuran itu, Martha Christina
tampil memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusa Laut untuk menghancurkan musuh.
Pekikan semangat Martha telah membakar semangat kaum perempuan untuk turut mendampingi kaum
laki-laki di medan pertempuran. Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik
yang turut bertempur.

Pada pertempuran tersebut, Richemont, seorang pimpinan perang belanda dapat dibunuh oleh
pasukan Martha Cristina. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan
bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma berdiri.

Dengan kematian pemimpin Belanda, penjajah semakin brutal dalam menekan dan menyerang rakyat
Maluku. Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap
pasukan rakyat. Pertempuran sengit pun tak dapat dihindarkan. Korban berjatuhan dari kedua belah
pihak. Ketika akhirnya pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan
batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan
dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan
Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam
kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan
Pattimura dan tawanan lainnya.

Mereka diinterogasi dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Martaha Christina Tiahahu
dibebaskan, namun sang Ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina Tiahahu beserta 39
orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara
paksa di perkebunan kopi. Perjalanan Martha Christina ke jawa yang menggunakan kapal Eversten di
warnai pemberontakan melawan Belanda.

Selama di atas kapal, kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin memburuk, ia menolak
makan dan pengobatan. Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha
Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu
disemayamkan dengan penghormatan militer di Laut Banda.

Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional tanggal 20 Mei 1969,
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969.

Berkat pengorbanannya tersebut, pemerintah Maluku membuat monumen untuk mengenang jasa
Martha Christina. Monumen Martha Tiahahu menjadi bukti sejarah keberanian wanita maluku dalam
membela tanah air tercinta.
CUT NYAK MEUTIA

Pameo yang mengatakan,"Wanita sebagai insan lemah dan harus selalu dilindungi tidak selamanya
benar". Itu dibuktikan oleh Cut Nyak Meutia, Pahlawan wanita asal Aceh ini, terus berjuang melawan
Belanda hingga tetes darah penghabisan diterjang tiga peluru di tubuhnya.

Perjuangan wanita dan kancah peperangan telah memberi warna tersendiri dalam sejarah perjuangan
Aceh. Sederetan nama muncul seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia,
Pocut Baren dan pejuang wanita lainya. Peran mereka sangat besar, tak pernah ada rasa takut gentar
mendampingi suami ke medan perang, meskipun melintasi hutan yang penuh marabahaya di dalam
hutan belantara terkadang mereka harus menahan lapar dan dahaga namun semangat mereka tidak
pernah sirna dalam membela tanah air dan agama.

...Wanita Aceh gagah berani adalah penjelmaan rasa dendam terhadap Kolonial Belanda yang tak
ada taranya sertatidak mengenal damai. Jika ia turut bertempur maka tugas itu dilaksanakandengan
suatu energi yang tak kenal maut dan mengalahkan prianya... (H.C.Zentgraaff, 1983: 78).

Tulisan tentang perjuangan Cut Meutia disajikan secara lengkap perjuangannya agar para generasi
muda khususnya dan masyarakat umum untuk membacanya. Sikap patriotis yang dimiliki Cut Meutia
patut diteladani serta terus menerus ditumbuhkan dalam diri generasi muda dan masyarakat sehingga
sikap bela bangsa dan negara dapat terbina dalam rangka untuk mengisi pembangunan yang sedang
terlaksana.

Latar Belakang Kehidupan Beliau

Cut Meutia di lahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak
dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikaruniai 5 oranganak. Cut Meutia merupakan
putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki.
Saudara tertua bernama Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku
Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah
Keuleebalangan Keureutoe.

Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia (berarti mutiara) bukan saja karena paras
wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahan rupa dan
tubuhnya tidak luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan :
"...Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang Semampai dan
menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di
Aceh dengan siluewue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di
dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis
perhiasan rambut)dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar benar
seorang bidadari ." (H.C. Zentgraaff, 1983: 151).

Sebagaimana kebiasaan rakyat Aceh, maka sejak kecil Meutia telah diberikan pendidikan agama Islam,
terutama pendidkan yang mengajarkan tentang kebesaran Islam yaitu sikap benci terhadap
kemungkaran dan penindasan dan tidak merasa senang terhadap siapa saja yang mengganggu agama
Islam dan bangsanya. Bagi mereka mati membela agama syahid hukumnya yang pahalanya adalah
mendapat syurga di akhirat kelak.

Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku
Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namunla mempunyai watak lemah dan sikap
hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Pertentangan-Pertentangan pendirian yang
semakin hari semakin terasa membuat Cut Meutia merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan
Teuku Chik Bintara.

Akhirnya perkawinan mereka tidak bertahan lama ia bercerai dan kemudian menikah dengan adik
Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik
Tunong. Ialah sesungguhnya pria yang sangat dicintainya.

Perjuangan Cut Meutia bersama Teuku Chik Tunong

Awal pergerakannya di mulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng
Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik
Tunong (suaminya sendiri), Cut Meutia berjuang bahu-membahu dengan suami dan para pejuang
lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi
pertempuran sehingga taktiknya tersebut dapat memporak-porandakan pertahanan pasukan Belanda
yang sedang berpatroli dan merampas senjata serta amunisi mereka yang akan digunakan untuk
memperkuat persenjataan pejuang muslimin.

Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyama sebagai penduduk
(ureung gampong) disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri, dengan keluguannya para spion selalu
mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui
pasukan Belanda dapat segera diketahui. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1901-an itu telah
banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.

Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang
kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali
pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah
menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi
diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri,
Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah
tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.

Pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang
berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan muslimin untuk
mencegat pasukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang
tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang mengintai dan
sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh
total dan para pejuang muslimin dapat merebut 42 pucuk senapan.

Gerakan sabotase-sabotase dijalan yang dilalui kereta api, penghancuran hubungan telepon sehingga
jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda antara bivak-bivak seperti di Lhoksukon
dengan pertahanan di Kota Lhokseumawe menjadi sering terputus dan terganggu.

Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad-Cut Meutia adalah sebagai akibat dariperistiwa di Meurandeh
Paya sebelah timur kota Lhoksukon (tepatnya tanggal 26 Januari1905). Peristiwa tersebut diawali
dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh
Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat besar dan berat bagi
pemerintah Belanda. Didalam penyelidikannya serta berdasarkan informasi yang diterima dan mata-
mata Belanda bahwa Teuku Chik Tunong turut terlibat hal ini merupakan fitnah semata oleh karena itu
pemerintah Belanda menangkapnya dan di dalam peradilan Militer di Lhokseumawe di putuskan Teuku
Chik Tunong Mendapat hukuman gantung dan akhirnya berubah menjadi hukuman tembak mati.

Pelaksanaan hukuman tembak mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe
dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong, tidak jauh dan kota Lhokseumawe. Sebelum hukuman
tembak dilaksanakan ia dapat bertemu dengan salah seorang staf setia dalam perjuangan, yaitu Pang
Nanggroe. Seorang panglima muslimin yang juga teman yang paling dekat dan dipercaya, kata terakhir
yang diucapkan kepada Pang Nanggroe adalah ;

"...Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari
perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan
engkau dan teruskanlah perjuangan." (lsmailYakub, 1979: 49).

Perjuangan Cut Meutia bersama Pang Nanggroe

Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah dengan Pang
Nanggroe, pria yang ditunjuk dan diamanahkan suaminya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang
Nanggroe adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama
suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.

Penyerangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe - Cut Meutia dimulai dan hulu Krueng Jambo Aye
suatu tempat pertahanan yang sangat strategis karena daerahtersebut merupakan daerah hutan liar
yang banyak tempat tempat persembunyian pasukan Pang Nanggroe - Cut Meutia sering melakukan
penyerangan ke tangsi-tangsi danbivak pasukan Belanda dimana banyak terdapat para pejuang
muslimin yang ditahan sekaligus membebaskan mereka dengan demikian penyerangan-penyerangan
itumembuat pasukan Belanda marah dan gusar.

Pada tanggal 6 Mei 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia melakukan penyerbuan secara gerak
cepat terhadap bivak-bivak yang mengawal para pekerja keretaapi. Dan hasil beberapa orang serdadu
Belanda tewas dan luka-luka bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru
serta amunisi (H.C. Zentgraaff,1983:160); Muhammad Said; 1983:269.

Pada tanggal 15 Juni 1907 pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia menggempurkembali sebuah bivak di
Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota
pasukan 8 orang luka-luka dan kehilangan 1 pucuk senjata (H.C. Zentgraaff, 1983: 160).
Pertengahan 1910 di rawa-rawa Jambo Aye, terjadi lagi bentrokan danpertempuran senjata yang
sengit, pasukan muslimin melakukan taktik serang dan mundur. Pasukan terus bepindah-pindah sampai
ke daerah Peutoe, menyebabkan pasukan Belanda sulit untuk melacak posisi pasukan muslimin.
Penyerangan pasukan yang sedang penasaran terus dilakukan dan pada tanggal 30 Juli 1910 terjadi
bentrokan senjata di daerah Bukit Hague dan Paya Surien.

Selanjutnya pada bulan Agustus 1910 terjadi lagi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya, dalam
bentrokan senjata ini, banyak pejuang muslim teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia dan seorang
ulama syahid, sedangkan Pang Nanggroe-Cut Meutia, anaknya Teuku Raja Sabi, dan beberapa
pejuang muslimin selamat dan dapat menghindari diri dari kepungan Pasukan Belanda.

Hari kelabu akhirnya datang juga bagi Pang Nanggroe, yaitu pada tanggal 25 September 1910 di
daerah Rawa dekat Paya Cicem, tepatnya di Buket Hague terjadi penyergapan dan pertempuran
dahsyat, pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia mengalami pukulan hebat atas penyerangan yang
dilakukan dengan gencar oleh pihak Belanda. Pada pertempuran inilah Pang Nanggroe syahid karena
terkena tembakan peluru Belanda sedangkan Cut Meutia dan beberapa pejuang muslimin dapat
melepaskan diri dari kepungan serta anaknya Teuku Raja Sabi juga dapat diselamatkan. Jenazah Pang
Nanggroe dimakamkan di samping Masjid Lhoksukon. Sebelum meninggal dalam keadaan berlumuran
darah Pang Nanggroe memanggil Teuku Raja Sabi yang berada disampingnya seraya berkata ;

"Ambillah rencong yang berada di pinggangku serta pengikat kepalaku larilah cepat-cepat mencari
ibumu (Cut Meutia), sampaikanlah salam perjuanganku dan teruskanlah perang Sabil, semoga kita
akan bertemu nanti di akhirat. (Ismail Yakub; 1979:62).

Cut Meutia Memimpin Pergerakan

Kematian Pang Nanggroe membuat beberapa orang teman Pang Nanggroe akhirnya menyerahkan diri.
Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba
Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi, yang masih berumur sebelas tahun
untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.

Walaupun Pang Nanggroe suaminya sekaligus pemimpin perlawanan telah syahid menghadap Ilahi Cut
Meutia tetap melanjutkan perjuangan dan perlawanan bersenjata. Untuk melaksanakan perjuangan
yang berlanjut tersebut diperlukan seorang pemimpin yang tangguh dipercayai, serta disegani oleh
lawan maupun kawan oleh karena itu, atas kesepakatan dan saran pejuang muslim pimpinan
pergerakan diserahkan kepada Cut Meutia. Jiwa semangat pejuang dan kearifannya muncul tatkala ia
diminta untuk memimpin pergerakan dengan rasa haru dan senyum, Cut Meutia memberikan
tanggapannya sebagai berikut :

"...Kalau demikian maka sekarang aku terangkan pada saudara sekalian dan Teungku-Teungku
yang hadir pada hari ini dan kepada anakku Raja Sabi, bahwa, penyerahan pimpinan itu aku terima
dengan penuh tanggung jawab pada agama dan negara kita, akan tetapi bila pimpinanku kurang
sempurna supaya cepat ditegur, sehingga segala urusan dapat berjalan lancar dan baik dan supaya
kita semua seiya sekata, bersatu hati dan tidak terpecah belah. Janganlah dipandang kepadaku dan
anakku yang masih kecil ini akan tetapi pandanglah kepada ayahnya Teuku Chik Tunong dan kepada
pang Nanggroe yang baru saja gugur meninggalkan kita sekalian. Sekali lagi aku jelaskan bahwa aku
seorang wanita yang kurang daya dan tenaga. Bila anakku ini telah dewasa dan sudah dapat memimpin
perang, maka akan kuserahkan pipimpinan perang Sabil kepadanya dari itu peliharalah, didiklah, dan
jagalah dia dengan baik-baik, semoga lekas besarlah dia untuk memimpin perang melawan kaphe
Belanda pada masa mendatang." (Ismail Yakub, 1979: 68/69).
Pada tanggal 22 Oktober 1910 pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan
berada di daerah Lhokreuhat. Besoknya (tanggal 23 Oktober 1910) pengejaran diteruskan kembali,
mereka mengejar cepat pasukan Cut Meutia yang berada dipengkolan Krueng Peutoe menuju arah
Bukit Paya. Perjuangan Cut Meutia besertamuslim lainnya semakin sulit, basis perjuangan terus
berpindah-pindah dari daerah kedaerah yang bergunung dan hutan belantara.

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi.
Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada
tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.

Tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1910 pasukan Belanda bergerak ke arah Krueng Peutoe yang
airnya dangkal terjadilah bentrokan dahsyat. Pasukan Cut Meutia tidak mungkin mundur lagi dengan
semangat jihad Fisabilillah mereka maju menentang pasukan Belanda dengan keyakinan yang satu
lebih baik mati syahid dari pada menyerah kaphe Belanda penjajah. Oleh karena itu posisi Cut Muetia
yang tidak menguntungkan dengan sikap gagah berani dia tampil ke depan dengan rencong terhunus
maju bertempur di sertai dengan semangat dan jiwa kesatria. Sebagai srikandi Aceh ia maju seperti
banteng terluka dengan pekikan Allahu Akbar beliau iringi penyerangan.

Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Hanya
dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda
yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Cut Meutia Syahid setelah sebuah peluru mengenai
kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya, bersama-sama dengan beberapa pejuang muslimin
lainnya serta para ulama seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat
Saleh.

Menjelang ajalnya Cut Meutia sempat membisikan kepada sahabat dekatnya yang bernama
Teungku Syech Buwah ;

"...Jangan bertempur lagi, strategi kalian saat ini adalah mundur dan mengatur siasat perjuangan
selanjutnya karena posisi kita terlalu sulit jangan korbankan perjuangan ini, tetapi hari esok masih
panjang dan berguna untuk perjuangan. "...selamatkan anakku Raja Sabi. Carilah anakku dimana
sekarang, tolong pelihara dia baik-baik, mungkin ajalku akan datang di tempat ini, ....Aku titipkan
anakku dalam tanganmu semoga Tuhan menyelamatkannya." (lsmail Yakub,1979: 70).

Demikian sejarah kehidupan srikandi Aceh Cut Meutia catatan sejarah kehidupannya ini hanya
sebahagian kecil diungkapkan karena sebenarnya riwayat hidupnya sangatlah panjang. Sebagai
pelopor pergerakan untuk menghancurkan penjajahan Belanda di tanah rencong, ia diakui oleh kawan
dan lawan dia bukan saja sebagai pengatur siasat dan strategi yang paling jitu ia juga mampu tampil
sendiri sebagai pimpinan perang. Sebagai ibu rumah tangga iapun merupakan seorang wanita jujur
bertanggungjawab besar kepada pendidikan dan kemajuan walaupun dia bergerilya di hutan belantara
ia tetap menanamkan ajaran ketauhidan di dalam perjuangan menghancurkan kaphe Belanda sehingga
kelak anaknya akan mampu juga mewarisi nilaiperjuangan orang tuanya.

Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara
namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI
No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
CUT NYAK DIEN

Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan Aceh. Dari garis ayahnya, Cut Nyak Dien
merupakan keturunan langsung Sultan Aceh. Ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga pada usia masih
belia tahun 1862 dan memiliki seorang anak laki-laki.

Ketika Perang Aceh meluas tahun 1873, Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan
Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Setelah bertahun-tahun bertempur, pasukannya
terdesak dan memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih terpencil. Dalam pertempuran di Sela
Glee Tarun, Teuku Ibrahim gugur.

Kendati demikian, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan dengan semangat berapi-api. Kebetulan saat
upacara penguburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang kemudian menjadi suami sekaligus
rekan perjuangan.

Bersama, mereka membangun kembali kekuatan dan menghancurkan markas Belanda di sejumlah
tempat. Namun, ujian berat kembali dirasa ketika pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Sementara
itu, Belanda --yang tahu pasukan Cut Nyak Dien melemah dan hanya bisa menghindar-- terus melakukan
tekanan.

Akibatnya, kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dien menurun, namun pertempuran tetap ia lakukan.
Melihat kondisi seperti itu, panglima perangnya, Pang Laot Ali, menawarkan menyerahkan diri ke
Belanda. Tapi Cut Nyak Dien malah marah dan menegaskan untuk terus bertempur.

Akhirnya Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya terhadap masyarakat
Aceh, ia diasingkan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pengasingannya, Cut
Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami gangguan penglihatan, mengajar agama. Ia tetap
merahasiakan jati diri sampai akhir hayatnya.

Ia wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang. Makamnya baru diketahui secara pasti
pada tahun 1960 kala Pemda Aceh sengaja melakukan penelusuran. Perjuangan Cut Nyak Dien
membuat seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulof, kagum dan menggelarinya "Ratu Aceh".
FATMAWATI

Fatmawati yang bernama asli Fatimah (lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 – meninggal di Kuala Lumpur,
Malaysia, 14 Mei 1980 pada umur 57 tahun)[1] adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi
Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Presiden
Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah
Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17
Agustus 1945.

Fatmawati lahir dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah.[2] Orang tuanya merupakan keturunan Putri
Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.[3]
Ayahnya merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.[4]

Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno, yang kelak menjadi presiden pertama
Indonesia. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarnoputra,
Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh
Soekarnoputra. Pada tanggal 14 Mei 1980 ia meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam
perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai