Anda di halaman 1dari 11

KENAPA FILM BUMI MANUSIA HARUS SAYA?

Hanung Bramantyo
https://www.facebook.com/hanung.b.anugroho/posts/10211179732848002

Saya lahir pada 1 Oktober 1975. Ketika di bangku sekolah dasar, saya ingat ada bendera
setengah tiang dikibarkan sehari sebelum ulang tahun saya. Guru saya di SD mengatakan
bendera itu penanda negara sedang berkabung.

“Kenapa sih setiap saya mau ulang tahun ada bendera setengah tiang? Kenapa negara
berkabung?” Kata saya kepada Ibu.

Ibu kemudian menjelaskan soal pemberontakan yang dilakukan PKI ( Parta Komunis Indonesia
) terhadap Negara Indonesia yang terjadi pada 30 September 1965 . Tentunya kisah Ibu saya
sesuai dengan sudut pandang pemerintah Orde Baru. Bahwa PKI adalah partai terlarang, jahat,
tidak beragama. Kafir. Sadis. Dan segudang kejelekan terhadapnya.

Di usia yang masih belia, saya hanya mampu merekam satu versi kisah tentang malam 1
Oktober dari Ibu saya. Bagi ibu saya, barangkali penjelasannya sudah cukup membuat saya
memahami tentang segala peristiwa yang terjadi seputar tahun 65.

Tapi kenyataannya, justru saya makin penasaran.

Perkenalan saya dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilandasi oleh rasa penasaran
tersebut. Setiap mendengar kata Komunis, saya selalu tergelitik ingin tahu. Begitupun ketika
mendengar kata Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan yang dianggap berideologi kiri
saat itu. Saat itu saya menginjak remaja. SMA. Di sekolah Muhammdiyah di Yogyakarta.
Kebetulan nama Pram muncul karena sejak SMP saya terlibat dalam komunitas teater. Tidak
hanya Pram satsrawan yang saya kenal, tapi juga Chairil Anwar, Shakespeare, Anton P Chekov,
Samuel Becket, Motinggo Busje, Hamka, Marah Rusli, AA Nafis. Bedanya, untuk Pram saya
harus membacanya dengan sembunyi-sembunyi. Takut ditangkap apparat.

Perkenalan dengan karya Pram pertama kali justru bukan Bumi Manusia. Tapi Perburuan. Saya
menemukan buku itu di suatu toko loak di pusat perbelanjaan di Yogyakarta yang sekarang
sudah jadi taman bermain anak-anak. Tentu saja saya membelinya dengan sembunyi-sembunyi.

Semula saya kira Perburuan bercerita tentang orang-orang komunis yang memburu orang-orang
Indonesia. Ternyata, tidak ada satupun kata Komunis, PKI, Kiri, Lekra dan sebagainya di novel
itu. Karena penasaran, saya kemudian mencari karya Pram lainnya.

Perkenalan saya dengan Bumi Manusia terjadi secara tidak sengaja. Saya memperoleh buku itu
dari kawan satu Sanggar dalam bentuk foto kopian yang dijilid dalam bentuk stensilan.
Sebelum saya membaca Bumi Manusia, kawan-kawan saya sudah membicarakan tentang kisah
cinta antara Minke dan Annelies. Bahkan ada seorang kawan yang saking jatuh cintanya dengan
Annelies, sampai membuat puisi untuknya.
Bumi Manusia saya pikir berbicara tentang manusia komunis yang menyiksa 7 jenderal yang
kemudian dimasukkan kedalam BUMI ( Lubang Buaya ). Lagi-lagi saya dibuat keliru oleh
asumsi ke-ABG-an saya sendiri.

Seperti saat membaca Perburuan, Bumi Manusia sama-sama berbicara tentang perlawanan
terhadap penindasan. Hanya saja di Bumi Manusia menggambarkan perlawanan seorang anak
muda, Remaja, SMA, yang dipersonifikasikan kedalam sosok bernama MINKE, bukan nama
sebenernya; Dimana nama tersebut diambil dari ejekan teman sekelasnya semasa di ELS (
Sekolah Dasar ) yang mayoritas ber bangsa Belanda, yang berarti MONYET.

Membaca sosok Minke seperti membaca diri saya sendiri. Kebetulan saya dari keluarga Ibu
Cina dan Bapak Jawa. Sejak kecil saya selalu dipanggil : SINKEK. Atau CINO LOLING. Saya
pun merasa dekat dengan Minke.

Kisah cinta Minke, juga sangat dekat dengan remaja seumuran saya. Suka sama cewek cantik
apalagi keturunan bule. Putih. Dengan rambut coklat. Maklum lah anak-anak seusia saya waktu
itu tontonannya film Hollywood. Cewek macam Demi More, Drew Barrymore selalu jadi
orientasi. Apalagi ketika tidak disetujui bapak dan kakak lelakinya. Rasanya deket banget.

Hal-hal yang membuat saya saat itu terpantik untuk menyukai lebih dalam kondisi Indonesia
masa Kolonial adalah pergulatan pemikiran Minke yang menjadi latar kisah cinta mereka. Pram
sangat lihai mengemas itu sehingga kami, anak-anak remaja galau saat itu benar-benar
merasakan amarah kepada colonial Belanda saat annelies dan Minke dipisahkan. Padahal tanpa
ada adegan peperangan dengan senjata sambal memekik ‘Merdeka!’ yang heroic sebagaimana
yang digembar-gemborkan guru sejarah di sekolah.

Lalu kenapa buku ini dilarang? Apa hanya karena Pramoedya berideologi komunis semata
maka segala pemikiran tentang Indonesia di larang? Begitulah pertanyaan saya saat remaja dulu
berkelindan dikepala.

Ketika saya hijrah ke Jakarta untuk kuliah. Suhu Politik sedang panas. Orde Baru yang
dianggap rezim represif selama 32 tahun mulai rontok. Orang-orang yang dianggap
berseberangan dengan Rezim Orde Baru mulai melawan. Saya berada dalam pusara konflik
tersebut yang berujung Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Suhu Politik berubah
drastis. Apa yang dulu dilarang mulai bermunculan. Terutama buku-buku yang mengupas
seputar peristiwa 65 dari sudut pandang berbeda dari Orba.

Sebagai remaja yang masih penasaran saya langsung melahap segala buku-buku tentang itu.
Tanpa ada rasa takut dan kuatir untuk ditangkap.

Saya membaca kembali Bumi Manusia dalam situasi yang berbeda. Tidak dengan stensilan dan
sembunyi-sembunyi. Tapi sudah dengan cover asli terbitan Hasta Mitra. Bahkan saya sempat
membuat catatan-catatan atas setiap karakter seolah-olah saya seperti hendak memfilmkan
novel tersebut. Saking cintanya dengan kisah dalam novel itu, saya tercetus ide membuat Film
pendek kisah Sanikem untuk keperluan ujian tengah akhir saya. Di IKJ-Fakultas Film dan
Televisi.
Dengan modal nekad saya naik motor pergi ke rumah Pramoedya di Bojong Gede. Saya
utarakan maksud saya untuk memfilmkan kisah Nyai tersebut dengan dalih film ini untuk
keperluan Pendidikan dan kebudayaan. Bukan untuk keperluan komersil. Berharap sosok
Pramoedya yang saya kenal sebagai manusia idealis, berbudaya, layaknya kawan-kawan
seniman senior di Yogyakarta, dengan mudah memberikan ijin kepada saya dengan terbuka.
Tapi rupanya beliau dengan tegas mengatakan :

“Maaf sekali, bung. Tidak semudah itu. Asal bung tahu, Bumi Manusia itu sudah ditawar oleh
Sutradara Hollywood (Oliver Stone) sebesar 60 ribu dolar dan saya bahkan belum memberikan.
Sorry kalau saya terlihat seperti tidak mendukung kemajuan anak muda. Tapi inilah hidup saya.
Saya hanya bisa menulis. Tulisan-tulisan saya adalah anak-anak Rohani saya yang harus bisa
menghidupi keluarga saya baik secara materi maupun Non-Materi.’

Mendegar jawaban pak Pram saya kaget luar biasa. Sebagai anak yang lahir dari keluarga
pedagang, saya sangat memahami pola pikir untung, rugi, pinjam meminjam modal, investasi,
jual dan beli. Tapi tidak ditempatkan untuk kebudayaan dan Seni. Saya dididik dalam sebuah
komunitas yang meletakkan seni sebagai sebuah pengabdian kepada kemanusiaan yang jauh
dari komersialisasi dan kapitalisasi. Saya bahkan pernah dimarahi, dimaki-maki dihadapan
anggota sanggar oleh guru teater saya karena memiliki pemikiran seperti ayah saya yang
pedagang.

Pulang dari Bojong Gede, saya tidak bisa tidur. Tapi dari pengalaman itu, saya menemukan
pijakan dan pemahaman baru atas pilihan saya. Kebetulan Seni, khususnya Film sudah jadi
pilihan saya. Film, dalam risalah sejarah dunia yang saya pelajari di sekolah Film adalah sebuah
kultur yang lahir dari perkawinan antara Seni dan Teknologi. Antara bisnis dan Artistik
sebagaimana digambarkan dengan sangat nyata oleh Hollywood, Bollywood, China dan saat ini
Korea dengan K-Pop nya.

Sepulang dari bertemu Bung Pram saya kembali membaca Bumi Manusia sekaligus membuat
sebuah sketsa tentang biaya produksi yang dibutuhkan ketika Novel ini beralih medium menjadi
sebuah Film. Saya memperoleh gambaran angka kasar bahwa untuk membuat film Bumi
Manusia dibutuhkan biaya sebesar minimal 20 Milyar. Di tahun 2000, angka 20 Milyar adalah
angka fantastis untuk sebuah produksi Film. Mengingat di tahun yang sama kawan-kawan
senior IKJ seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani sedang memproduksi Film
Kuldesak dengan bujet kisaran 1,5 Milyar yang diperoleh secara indie. Mas Garin Nugroho
memproduksi Bulan Tertusuk Ilalang dengan kisaran bujet 3,5 M.

Sejak saat itulah saya mulai mengubur keinginan memfilmkan Bumi Manusia. Saya tinggalkan
Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Darsam, Khomers, Maghda Peters, si pengecut Suurhoff, si
bangsat Herman dan Robert Mellema jauh dari imajinasi saya. Saya mulai berkelana dengan
film-film saya sendiri, mengadopsi prinsip kreatif yang dikatakan Bung Pram. Karya saya
adalah anak-anak rohani saya yang akan menghidupi saya dan keluarga saya.

Kira-kira 4 tahun berselang, saat saya mulai berkiprah di dunia serial Televisi baik dengan TV
Swasta maupun Rumah Produksi yang memproduksi sinetron dan serial mini series yang
mewarnai Televisi Indonesia, Leo Sutanto ( Boss Sinemart pictures ) menelphone saya,
mengatakan bahwa Novel Bumi Manusia sudah dibeli Bersama Hatoek Soebroto ( Boss PT
Elang Perkasa Film ). Hati saya melonjak. Kebetulan saat itu saya selesai membuat Film
Jomblo produksi Sinemart dan Film Brownies yang mampu menyabet penghargaan sutradara
terbaik FFI 2005.

Alih-alih mengajak, Pak Leo saat itu malah bertanya ke saya: “menurut Hanung siapa sutradara
yang pas untuk memfilmkan Bumi Manusia?”

Hampir saja mulut saya mengatakan ‘Saya yang pantas, pak Leo’. Tetapi tiba-tiba saya
menyadari kapasitas dan posisi saya saat itu dimata industri Film Indonesia. Akhirnya justru
yang keluar dari mulut saya … ‘Riri Riza atau Garin Nugroho saja pak. Hanya dua orang besar
itu yang pantas untuk menyutradarai Bumi Manusia. Selain itu tidak ada.’

Sejak saat itu saya hanya bisa berharap apa yang saya bayangkan ketika membaca Bumi
Manusia bisa digambarkan dengan baik oleh guru dan senior saya.

Tahun 2008, saat Ayat-Ayat Cinta meledak di pasaran dan dianggap Film drama dengan genre
religi pertama yang mampu survive secara komersial di pasaran. Pak Hatoek Subroto (Boss
Elang Perkasa Film) menelphone saya, meminta bertemu saya. Kali ini pak Hatoek Bersama
seorang sineas senior Indonesia, seorang actor sekaligus producer dan sutradara: bang Deddy
Mizwar.

Mereka berdua bertemu saya untuk menawari saya menyutradarai BUMI MANUSIA. Dibalik
rasa senang saya, ada pertanyaan besar yang mengganjal kenapa novel ini akhirnya jatuh ke
tangan saya? Bagaimana dengan Garin Nugroho? Riri Riza? Bukankah mereka yang
seharusnya memfilmkan?

Tapi pertanyaan itu sampai hari ini tidak saya dapatkan.

Kepada Hatoek dan Dedy Mizwar saya sampaikan bahwa untuk membuat Bumi Manusia
membutuhkan bujet 20 Milyar. Setelah itu tidak ada lagi kabar kelanjutan proses Film Bumi
Manusia. Padahal saya sudah membentuk team riset untuk menunjang proses pembuatan
scenario. Lama sekali saya menantikan kepastian pembuatan Film itu, tapi kemudian pada saat
saya sedang melakukan shooting Film Sang Pencerah, saya secara tak sengaja bertemu dengan
Mas Riri Riza yang saat itu rupanya sedang melakukan hunting film barunya. Ketika saya tanya
sedang berencana membuat film apa? Dijawabnya bahwa saat ini dia sedang menyiapkan
BUMI MANUSIA.

Saya kaget. Rupanya tanpa sepengetahuan saya, Bumi Manusia sudah dialihkan ke sutradara
lain. Tapi saya tidak merasa kecewa sedikitpun. Toh sejak awal memang kalo bukan Garin
Nugroho ya Riri Riza yang pantas. Akhirnya, saya kembali mengikhlaskan novel tersebut.

Karena itu, ketika bertahun-tahun kemudian saya mendengar berita Falcon Pictures yang
digawangi producer bertangan dingin HB Naveen memperoleh hak memfilmkan Bumi
Manusia, saya tidak punya harapan apapun. Saya sudah ikhlas. Saya sudah dengan sepenuh hati
merelakan pergi jauh dari angan-angan saya. Bahkan ketika Pak Naveen menelphone saya
untuk menawari beberapa project Film: Jomblo Rebooth, Benyamin Biang Kerok, Remake
Film Korea Miracle On The Cell No.7 dan Harimau-Harimau karya novel Mochtar Loebis, tak
sekalipun saya bertanya tentang Bumi Manusia. Saya sudah ikhlas. …

Tapi, justru disaat saya sudah tidak memikirkan lagi Bumi Manusia. Pak Naveen menelphone
saya dan memberikan novel Bumi Manusia kepada saya. Saya hanya bisa menatap Novel yang
sudah berganti rupa itu. Kali ini lebih tebal karena di cetak lebih kecil dari ukuran versi Hasta
Mitra. Cover perpaduan warna hijau dan kuning lengkap dengan tulisan bergaya kekinian :
BUMI MANUSIA.

‘Mas Hanung bersedia menyutradarai Novel ini?’ Tanya pak Naveen.

‘Kenapa Novel ini ada ditangan bapak sekarang. Apakah bapak memintanya ke keluarga pak
Pram? Karena saya dengar novel ini jadi rebutan banyak PH’ tanya saya.

‘Saya tidak menyangka Bu Astuti ( Puteri Pramoedya ) memberikannya kepada saya. Awalnya.
Kami datang hendak membeli Novel Perburuan dan Gadis Pantai untuk Sutradara Richard Oh.
Tapi Bu. Astuti memberikan kepada saya. Saya anggap ini sebuah anugerah. Saya tidak mau
menyia-nyiakan’

‘Anda mau apa dengan Bumi Manusia pak?’

‘Saya mau Novel seindah dan sepenting ini dinikmati oleh anak-anak muda jaman sekarang.
Agar mereka tidak lupa ada sosok sepenting Pramoedya yang pernah dimiliki negeri ini.’

Ingatan saya terlempar ke masa dimana saya pertama kali mengenal nama Pramoedya Ananta
Toer. Ketika saya masih remaja. Masih ABG yang penasaran dengan pertanyaan kenapa
NOVEL ini DILARANG? Yang kemudian anak muda yang penasaran ini tiba-tiba tersadar saat
usai mengakhiri halaman terakhir, bahwa penindasan itu rupanya nyata. Dekat. Sedekat kita
berada di rumah bersama saudara kita. Kawan kita. Sekolah kita. Bahkan hingga sekarang. Hari
ini. Di era Millenial dimana kekuasaan colonial sudah tidak lagi menyoal Belanda maupun
Pribumi. Tetapi penindasan antar manusia, antar Ras, antar suku, agama kenapa masih saja
terjadi dalam wujud dan bentuk yang berbeda.

Tanpa pikir panjang saya menjawab tawaran pak HB Naveen : IYA. SAYA BERSEDIA.

MINKE DAN SEGALA DERITA YANG MENYERTAINYA

Saya sadar. Saya bukan sutradara terbaik, jenius, Intelek sebagaimana kritikus, budayawan dan
sejarawan yang dengan lantang mengkritik karya-karya saya sebelumnya. Faktanya HB Naveen
menyerahkan kepercayaan kepada saya. Bukan kepada yang lain. Saya sempat bertanya kepada
diri saya. Kenapa sekarang? Kenapa tidak dulu? Kenapa Pram harus menolak saya terlebih
dahulu yang mana pada akhirnya toh novel ini jatuh ke tangan saya?

Hanya Tuhan yang bisa menjawab.


Sejak awal saya katakan bahwa Bumi Manusia adalah novel yang saya cintai dan kagumi.
Lewat Novel ini saya jadi mengerti bahwa peristiwa malam 1 Oktober di tahun 1965 bukan
sebuah peristiwa Hitam Putih sebagaimana yang diceritakan Ibu saya. Tapi sebuah peristiwa
tragedy kemanusiaan yang tidak hanya mengorbankan 7 Jenderal di Lubang Buaya. Tapi juga
ribuan bahkan ratusan ribu manusia yang dibantai dan dipenjara tanpa proses peradilan. Salah
satunya adalah Pramoedya Ananta Toer.

Ketika novel ini difilmkan, Oleh siapapun, saya orang pertama yang akan berharap apa yang
tergambar di layar HARUS sesuai dengan apa yang saya imajinasikan. Kalau perlu berikut
kepedihan sang penulis yang turut menyertainya. Jadi, sebelum Film ini berhadapan dengan
para penggemarnya di bioskop, film ini akan berhadapan dengan diri saya sendiri. SAYA
melawan SAYA.

Agar saya berjarak, saya meminta Salman Aristo, penulis Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi dan
Sang Penari; Juga seorang sutradara atas film Jakarta Maghrib dan Suatu Hari Nanti, untuk
menuliskan Skenario Bumi Manusia.

Aris mentransformasi Bumi Manusia ke dalam skrip menjadi 200 halaman dengan 129 scene
dengan fokus penceritaan pada Minke.

Pada saat saya membacanya, sejujurnya saya merasakan banyak moment yang hilang dalam
Novel. Tentang siapa Jean Marais, sahabat sekaligus guru Minke soal hidup. Lalu Robert
Suurhoff si pengecut indo, Bocah Sanikem yang dijual bapaknya, Babah Ah tjong dan Maiko si
pembunuh Herman Mellema.

‘Kenapa semua itu hilang ya, Ris?’ Tanya saya

‘Mau berapa jam film kita? Apa yang gue tulis ini kalau di filmkan bisa jadi 4 jam’ Jawab Aris

Saya memutar otak. Saya bisa merasakan bagaimana reaksi pecinta Novel Bumi Manusia di
bioskop? Mereka akan kehilangan.

Kemudian saya mengusulkan ke pak HB Naveen agar Film Bumi Manusia menjadi 2 bagian.
Bumi Manusia part 1, Bumi Manusia part 2. Sebagai producer yang pengalaman membuat film
sequel seperti. Warkop DKI Reborn 1 dan 2, Pak Naveen tidak setuju. Bumi Manusia harus
menjadi master piece.

‘Akan banyak scene yang hilang dan disederhanakan’ Kata saya menyanggah pendapat beliau.

‘Itu konsekwensi alih medium dari teks ke Film. Saya pikir semua akan menyadari itu. Yang
terpenting dari semua ini kita tidak boleh menghilangkan spirit besarnya. Yaitu bagaimana
sebagai bangsa yang tertindas kita tetap berupaya menjadi manusia modern dan setara dengan
bangsa lain. Kalau film ini disambut penonton sebagaimana Warkop dan Dilan 1990, maka kita
bisa membuat Spin Off-nya. Kisah Jean Marais sebagai mantan legium Belanda berasal dari
Perancis bisa kita filmkan. Juga kisah Sanikem, Maiko si Geisha, Suurhoff. Bumi Manusia bisa
menjadi universe seperti Star Wars, Marvel maupun DC. Kita harus membuat Film ini laris di
pasaran.’

Melihat alasan itu, akhirnya skenario diputuskan untuk di eksekusi.

Ratusan pasang kostum mulai dibuat oleh Retno Ratih Damayanti ( Sang Pencerah, Soekarno,
Cokroaminoto, Kartini) Lahan seluas 2,5 Hektar mulai dibangun kota Surabaya dan Buitenzorg
oleh Alan Sebastian ( Art Director Sang Pencerah, Sugija, Cokroaminoto, Soekarno dan Kartini
). Puluhan property disiapkan termasuk kereta kuda Nyai Ontosoroh. Ratusan pemain termasuk
pemain Belanda kita casting. Tidak hanya di Jakarta dan Jogjakarta. Juga di Bali hingga
Amsterdam. Seluruh kerabat kerja produksi Film berusaha memenuhi ekspektasi pembaca
Novel. Ekspektasi saya. Fans dari Novel Bumi Manusia.

Dari segala kerumitan, kompleksitas produksi, Saya, Salman Aristo, Producer HB Naveen dan
Frederica telah sepakat bahwa Film ini berangkat dari sudut pandang Minke. Si anak remaja
pribumi murid HBS, anak bupati. Sosok yang membuat saya ketika remaja selalu bercita-cita
menjadi dirinya. Pintar. Pembangkang sekaligus Pecinta perempuan.

Casting pun mulai dibuka. Siapakah aktor Indonesia usia 19 tahun, memiliki kemampuan 4
bahasa : Inggris, Perancis, Bahasa, Belanda sekaligus. Pembaca karya Shakespeare, Multatuli,
mengenal konsep pemikiran Asosiasi Snouck Hurgonje, mengenal kisah Roman Sampek Eng
Tai dan Sin Djie Kwie? Jawabannya … TIDAK ADA!

Kami mengundang aktor remaja usia 19 tahun yang biasa main Sinetron dan Film-Film remaja
Indonesia. Dari semuanya, jangankan tahu siapa Multatuli, BAHKAN Novel BUMI
MANUSIA dan PRAMOEDYA ANANTA TOER sendiri mereka tidak pernah tahu.

Satu-satunya aktor yang kami temui di Indonesia, yang juga pembaca Shakespeare, Multatuli
dan berkemampuan Bahasa asing secara bagus dan pernah berlakon di film-film garapan HBO,
peraih piala Citra sebagai Aktor Terbaik lebih dari 2 kali hanyalah Reza Rahadian. Dalam
kiprahnya, Reza bahkan pernah memainkan sosok Minke dalam sebuah pementasan Bunga
Penutup Abad. Seorang pemain watak yang tak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Tapi
sayangnya Reza bukan anak muda usia 19 tahun.

Setelah 2 bulan mencari, kami menemukan dua nama anak muda yang kami anggap punya
kapasitas menjadi Minke. Dia adalah Emir Mahira dan Iqbal Ramadhan. Kedua remaja itu
bersekolah di luar negeri. Emir di Amerika, Iqbal di Canada. Keduanya bukan lahir dari
sanggar teater atau sekolah teater sebagaimana Reza Rahadian. Meski demikian, keduanya
pernah bermain film layar lebar yang Box Office di Indonesia. Emir Mahira bermain di film
Garuda di Dadaku produksi SBO Films. Iqbal Ramadhan bermain di Dilan 1990 produksi
Falcon Pictures. Keduanya memiliki umur dan raut wajah yang sama.

Pertemuan pertama dengan Iqbal Ramadhan terjadi ketika Dilan 1990 sukses di pasaran.
Sebagai anak muda yang sudah memiliki fans 6 juta penonton, Iqbal datang dengan gayanya
yang penuh percaya diri. Saya sangat mengenal lagak aktor-aktor muda dengan banyak fans
macam Iqbal. Seorang yang sudah merasa puas diri. Paling jago akting. Meski kemampuan
sebenarnya masih jauh dari semua itu.

Ketika saya tanya pertama kali tentang Bumi Manusia, saya terkejut dengan jawabannya.

‘Saya tidak hanya baca Bumi Manusia Om. Tapi meresensinya dalam Bahasa Inggris’ Jawab
Iqbal percaya diri.

‘Kok bisa?’ Tanya saya mendesak

‘Guru saya di Canada meminta seluruh murid di kelasnya untuk memilih satu karya sastra dunia
untuk diresensi. Saya memilih Bumi Manusia.’

‘Kenapa?’

‘Sebenernya ada banyak Novel sih yang diberikan Mama dan Papa ke saya. Seperti
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan. Tapi saya memilih Bumi
Manusia.’

‘Kenapa?’

Saya terus mendesak. Sejujurnya saya ingin memperoleh jawaban yang esensial, dimana
jawaban tersebut mampu membuat hati saya bangga. Membuat saya bisa percaya bahwa dari
ribuan actor muda Indonesia ada seorang yang sangat mengenal Pramoedya lengkap dengan
segala deritanya. Hampir saja saya memeluk pemuda dihadapan saya itu dan menangis terharu
atas segala kecerdasasnnya jika dia mampu memberikan jawaban se intelek itu.

Ketika sekali lagi saya tanya untuk kesekian kalinya ‘Kenapa kamu memilih Bumi Manusia dan
bukan novel lainnya?’
Iqbal si Dilan itu menjawab dengan ringan :

‘Judulnya lucu sih Om.’

Alih-alih memeluknya dengan bangga, saya justru ingin menampar wajah tengilnya sambil
menyumpahinya dengan kalimat : ‘Hei, KID! Bisa-bisanya lo bilang Lucu!!! Emang lo pikir ini
novel Cupu apa???? Lo nggak tau yaa? Kalo Bumi Manusia ini ditulis di pembuangan. Di Pulau
Buru. Oleh seorang penulis yang selama 10 tahun dipenjara tanpa proses peradilan dan separuh
hidupnya menjalani hari-hari dalam stigma masyarakat dan negara sebagai penghianat bangsa.
Kok Lo bisa-bisanya dengan gampangnya mengatakan Lucu untuk sebuah karya yang ditulis
secara berdarah-darah, hingga ada orang yang dipenjara 8 tahun hanya karena menjual
bukunya.’

Tapi rupanya seluruh sumpah serapah saya kepadanya harus batal saya lontarkan karena saya
teringat akan umur anak muda ini yang masih sangat belia. 19 TAHUN. Umur yang ketika saya
membaca Bumi Manusia pertama kalinya di masa SMA, belumlah lahir di muka bumi.
Lalu apa hak saya membebani anak sebelia ini dengan segala penderitaan yang pernah melatari
proses kreatif Bumi Manusia? Dosa apakah dia? Salahkah ketika anak-anak muda seusia Iqbal
mengenal Bumi Manusia dan Pramoedya dengan caranya yang riang, fun, sambil selfie, lalu
menguploadnya dalam insta-story dengan segala atribut emoticon didalamnya?

Mendadak saya jadi berfikir.

Siapakah sebenarnya Minke? Adakah sosok aslinya?

Dalam pengakuan Pram disebuah interview, dia mengatakan bahwa Minke adalah Tirto Adhi
Suryo. Tapi dia juga mengatakan dalam interview yang berbeda bahwa sosok Tirto hanyalah
sebagai sebuah acuan saja. Sejatinya Minke hanyalah tokoh fiksi tak ubahnya Forest Gump.
Terbukti dalam Jejak Langkah, Pram tidak menyebut siapakah Dokter Jawa? Gadis Jepara?
Padahal kita sebenernya bisa menebak bahwa mereka adalah Dr. Wahidin dan R.A Kartini.

Jangan-jangan Pram, melalui sosok Minke, justru sedang menciptakan tokoh fiktif yang
bertujuan merangsang anak-anak muda seperti saya agar menjadi sosok yang melebihi dirinya
sendiri?

Kalau Minke adalah tokoh rekaan Pram yang Too good to be true, lalu bagaimana saya harus
menghadirkan ke dalam layar? Apakah Iqbal Ramadhan sebagai representasi anak muda
millennial, actor muda yang digandrungi anak-anak muda zaman now, pembaca sekaligus
meresensi Bumi Manusia dalam Bahasa Inggris di sekolah yang memposisikan dia sebagai
murid minoritas di Canada, tidak cukup sebagai representasi Minke jaman sekarang?

Sejujurnya untuk mengatakan Iya … saya membutuhkan waktu yang lama. Saya melihat lagi
anak saya sendiri, Barmastya Bhumi yang juga baru lulus SMA. Sambil turut merayakan
perpisahannya dengan kawan-kawan seusianya saya melakukan tanya jawab dengan teman-
teman Bhumi tentang cita-cita, tentang penindasan, bahkan tentang cinta. Rata-rata tidak ada
yang bisa menjawab sebagaimana Minke menjawab di Novel Bumi Manusia.

Dari sana saya kemudian mengingat kembali saat pertama kali kita membaca Bumi Manusia di
usia Iqbal dan Bhumi. Adakah Minke disekeliling kita? Atau jangan-jangan yang ada hanyalah
anak-anak muda yang ingin menjadi Minke. Ah, barangkali saya terlampau skpetis dengan
anak-anak muda zaman now. Well, saya ubah pertanyaan.

Saya percaya bahwa ada Minke diantara kita. Tapi apakah mereka seorang Aktor seperti Reza
Rahadian? Kalau memang ada anak muda jenius sekaligus actor, adakah dia seorang popular
seperti Iqbal Ramadhan? Ah, dari seorang Minke saya akhirnya menyadari betapa masih
kerdilnya Industri film kita, yang terbukti mencari sosok Minke saja sangatlah sulit. Benarkah
itu?

Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar bahkan ketika hari-hari saya dan Iqbal menjalankan
latihan Bersama, berproses Bersama menjadi Minke baik di studio latihan maupun di lokasi
shooting.
‘Apa yang harus saya lakukan Om?’ Tanya Iqbal kepada saya
‘Baca ini’

Saya berikan buku Multatuli. Juga beberapa catatan pemikiran Snouck. Siapa Snouck? Apa
fungsinya dia bagi Minke?

Sambil istirahat di ruang latihan, saya kisahkan padanya apa itu Babad Tanah Jawi. Bagaimana
orang-orang Jawa seperti saya percaya sekali dengan Mitos kemenangan dan kekuasaan.

‘Menjadi orang Jawa tidak sesederhana berbicara medok! Kamu harus berpikir sebagaimana
orang Jawa berpikir’

Dan Iqbal Ramadhan mulai berbahasa Jawa dengan saya dan para crew yang dari Jawa. Hari-
hari latihan Iqbal menunjukkan antusiasmenya. Berupaya menjadi Minke. Atau lebih tepatnya
menjadi sosok sesuai ekspektasi saya.

‘Hati Minke itu berdarah, Bal! Ayo Tinggalkan semua kemudahan-kemudahanmu dirumah.
Masak sendiri. Cuci sendiri piring bekas makananmu. Ngepel! Cuci baju! Rasakan jadi budak
di rumahmu sendiri.’

Iqbal menjalani itu. Tanpa keluh kesah. Tanpa perlawanan. Ketika di lokasi Shooting, alih-alih
mendapatkan ruang tunggu selayaknya seorang bintang, Iqbal rela berada di ruang yang panas.
Hanya untuk mendapatkan perasaan yang tertekan. Sosok pemuda yang awalnya petentang
petenteng itu sudah menjadi manusia yang berbeda. Apakah dia Minke yang saya bayangkan?
Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi sejauh mata melihat, dia sudah berusaha melampau dirinya
sendiri. Sesuatu yang (mungkin) dikehendaki Pram kepada anak muda ketika membaca Minke.

Saat adegan berpisah dengan Ann, Iqbal kebingungan. Dia mondar-mandir dengan gelisah.
Anak muda mana yang pernah mengalami peristiwa yang dialami Minke dan Annelies?
Sejenius apapun remaja saat ini, tidak akan pernah mengalami tragika yang dialami Minke.

‘Saya susah merasakan sakit, Om. Saya tidak pernah mengalaminya’ Kata Iqbal

Saya hanya terdiam. Saya benar-benar tersadar bahwa aktor yang dihadapan saya ini adalah
seorang anak muda. Sekalipun Novel Bumi Manusia sudah dia bedah sedalam mungkin dengan
bahasa yang BUKAN bahasa Ibunya, tetap saja dia masih anak umur 19 TAHUN. Jiwanya tak
punya rujukan. Butuh asupan. Tapi apa?

‘Tolong pukul saya, Om’ Kata Iqbal yang membuatku kaget luar biasa. ‘Pukul saya!’
‘PLAK!’

Saya pukul lengannya. Ditempat yang tentunya tak membuatnya cedera.

‘Lagi Om!’ Pintanya


‘PLAK!’
‘Lagi!’
‘PLAK!’
Aku mulai tidak tega.

‘Lagii om!’
‘PLAAKK! PLAAAK!! PLAAKKKK!!!’
Iqbal menahan airmatanya.
‘Lagi Om!’

Ini yang terakhir. Satu pukulan keras mengenai lengannya. “BUAAKK!!’’


Terdengar suara Iqbal mengejan. Menahan sakit.

And Camera Roll !!! Action!

Sederet kalimat keluar dibalik tangisnya yang pecah …

‘Kita sudah kalah, Ma!’ Kalah!’

Kalimat itu mengakhiri Film Bumi Manusia yang sedang dia mainkan. Apakah dia berhasil
menjadi Minke yang saya inginkan?

IQBAL RAMADHAN …. sudah berusaha menjadi yang terbaik buat dirinya. Jika masih ada
yang belum puas, mari tanyakan kepada sang pencipta.

Wahai bung Pram, apakah Iqbal sudah menjadi sosok yang kau ciptakan dengan sebaik-baiknya
dan sehormat-hormatnya?

Jakarta, 19 Agustus 2019.


Hanung Bramantyo

Anda mungkin juga menyukai