KEKALAHAN
AHOK
Eep
Saya
ajak
dan
ingatkan
Anda
untuk
gak
cengeng
soal
isu
agama
dlm
pilkada
DKI.
Saya
sendiri
mulai
muak
dengan
banyak
pendukung
Ahok
terus
berkutat
soal
ini.
Begini
cara
kita
melihat
isu
agama
itu
secara
tak
cengeng.
Jika
dalam
kontestasi
berhadap-‐hadapan
kandidat
lelaki
vs
perempuan
maka
isu
gender
naik
ke
atas
permukaan;
kandidat
dari
suku
ttt
vs
dari
suku
yang
lain,
isu
kesukuan
mencuat
ke
atas;
kandidatnya
beda
agama
maka
isu
agama
mencuat.
Ini
sangat
biasa
dalam
semua
kontestasi
di
seluruh
dunia.
Kita
sebut
ini
sebagai
isu
kontestasi
antar-‐golongan.
Isu
itu
menjadi
lebih
intens
jika
isu
kontestasinya
berubah
menjadi
kontestasi
mayoritas
vs
minoritas.
Sentimen
mayoritas
gampang
tersulut
dan
kalangan
minoritas
yang
terdesak
harus
"kreatif"
untuk
bisa
memenangkan
kontestasi
itu.
Apakah
ini
persoalan
khas
Indonesia?
Bukan!
Saat
John
F
Kennedy
berhadapan
dengan
Nixon
dan
memenangkan
Pilpres
AS
(1960),
Kennedy
harus
kreatif
karena
dia
minoritas
Katolik
yang
harus
melawan
Nixon
yang
mayoritas
Protestan.
Sama
sekali
gak
mudah
buat
Kennedy
untuk
sampe
ke
Gedung
Putih.
(Bahkan
sampe
saat
saya
di
Columbus,
Ohio
dulu,
masih
ada
orang
Katolik
Amerika
percaya
bahwa
Kennedy
ditembak
mati
karena
dia
berasal
dari
agama
minoritas).
Bagaimana
dengan
Ahok.
Ahok
harus
berhadapan
dengan
fakta
kontestasi
minoritas-‐mayoritas
itu.
Isu
agama
bukan
saja
mencuat
tapi
intens,
sebab
ini
bukan
sekadar
kontestasi
antar-‐golongan.
Harusnya
dia
kreatif
kalo
mau
menang.
Pernyataan
Ahok
di
Pulau
Seribu
soal
Al
Maidah
51
itu
-‐-‐
terlepas
perdebatan
bahwa
itu
penistaan
agama
atau
bukan
-‐-‐
adalah
cara
yang
180
derajat
bertolak
belakang
dengan
kebutuhan
untuk
kreatif
itu.
Dengan
kesembronoan
tingkat
dewa
itu
Ahok
telah
menjebol
"bendungan
sentimen
agama"
di
Indonesia,
bukan
cuma
di
Jakarta.
Jebolnya
bendungan
itu
telah
melahirkan
kemarahan
besar
umat
Islam.
Kemarahan
umat
terbesar
sepanjang
sejarah
Reformasi
atau
bahkan
mungkin
sejarah
Indonesia
modern.
Pendukung
Ahok
selalu
menyalahkan
terjadinya
banjir
kemarahan
umat
ini
tanpa
mau
introspeksi
bahwa
banjir
ini
terjadi
karena
Ahok
menjebol
bendungan
itu!
Apapun,
kembali
fokus
ke
diskusi
kita,
kesembronoan
itu
bertentangan
secara
diametral
dengan
kebutuhan
creative
campaign
pihak
Ahok.
Contoh
lain.
Membagi
sembako
dengan
mengenakan
baju
kotak-‐kotak,
didampingi
orang-‐orang
berbaju
partai
(bahkan
di
beberap
tempat
sambil
diamankan
oleh
polisi),
adalah
kampanye
yang
melanggar
keharusan
untuk
kreatif
itu.
Bahkan,
itu
bisa
disebut
sebagai
kedunguan
yang
tak
terperikan.
Jangan
salahkan
orang
lain
-‐-‐
apalagi
lagi-‐lagi
menyalahkan
agama
-‐-‐
kalo
dalam
4
hari
terakhir
menjelang
19/4/2017,
basis
pemilih
Ahok
tergerus
dan
terjadi
penetapan
pilihan
(para
undecided
voters
dan
pemilih
belum
mantap)
ke
Anies-‐Sandi.
Siapa
yang
bilang
begini?
Exit
Poll
PolMark
Indonesia.
Ada
hal
lain
selain
isu
kontestasi
antar
golongan
dan
minoritas-‐mayoritas
itu,
yaitu
fakta
bahwa
Ahok
adalah
petahana,
pejabat
yang
sedang
berkuasa.
Banyak
(di
atas
70%)
orang
Jakarta
puas
sama
kerjanya
tapi
banyak
di
antara
mereka
(di
atas
50%)
gak
inginkan
lagi
dia
sebagai
Gubernur.
Fakta
ini
sudah
terlihat
dari
survei
PolMark
Indonesia
Februari
dan
Juli
2016,
jauh
sebelum
isu
Al
Maidah
51
dihadirkan
Ahok
ke
atas
meja
kontestasi.
Kenapa
begitu?
Saya
pake
istilah
Rizki
soal
"melayani"
dan
"baik".
Anda
bilang
kan
Anda
ingin
Gubernur
yang
melayani
dan
baik.
Survei-‐survei
kami
memperlihatkan
bahwa
Ahok
itu
cenderung
dianggap
"melayani"
tapi
tidak
dianggap
"baik".
Ketika
soal
"baik"
dianggap
lebih
penting
daripada
"melayani",
mampus
lah
dia
(secara
politik)
sebagai
petahana.
Ini
hukum
besi
pemerintahan
demokratis
di
mana
saja.
Pendukung
Ahok
jangan
cengeng
soal
ini.
Sebagai
penutup,
saya
mau
kasih
analogi
tentang
Ahok
yang
melayani
tapi
tidak
baik
itu.
Ahok
punya
kewajiban
membuatkan
sarapan
buat
saya,
dan
saya
berhak
mendapatkan
sarapan
yang
dia
siapkan.
Saya
duduk
di
meja
menunggu
sarapan
saya.
Ahok
datang.
Sambil
meletakkan
piring
makanan
dan
gelas
minuman
di
depan
saya,
sambil
melotot
Ahok
membentak
saya:
"Bangsat!
Maling!
Itu
sarapan
kamu!
Makan
situ!"
Rizki,
sarapan
itu
hak
saya.
Menyiapkannya
kewajiban
Ahok.
Dia
penuhi
kewajibannya.
Saya
terima
haknya.
Tapi
dengan
cara
dia
memenuhi
hak
saya
seperti
itu,
wajar
kalo
saya
mencari
pengganti
Ahok.
Wajar
juga
kalo
saya
muak
mendengar
orang-‐orang
yang
mendukung
Ahok
(sang
mantan
penyedia
sarapan
saya),
terus-‐menerus
bilang:
"Biadab
si
Eep
itu
karena
mengeksploitasi
isu
sopan
santun
buat
ngeganti
Ahok!"