Anda di halaman 1dari 14

Pengaruh Doktrin Wahabi Jihadi terhadap Terorisme Global

Irwan Masduqi

Abstraksi: Wahabi semakin santer dituding sebagai doktrin radikal


yang paling berpotensi mencetak para kader teroris. Seluruh aksi
terorisme religius yang dilakukan oleh teroris berideologi Wahabi Jihadi
merupakan hasil dari doktrin kaku Wahabi. Para analis strategi dan
geopolitik saat ini sibuk untuk mencari tahu bagaimana mungkin doktrin
Wahabi mempengaruhi terorisme global. Wahabi dianggap telah
mempropagandakan intoleransi terhadap liyan dengan tuduhan kafir
dan musyrik, kemudian mendorong meningkatnya skala kekerasan atas
nama agama dimana korbannya adalah orang-orang yang tak berdosa
di sejumlah negara seperti Suriah, Iraq, Lebanon, Chechnya, Yaman,
Afghanistan, India, Somalia, Nigeria, Libya, dan seterusnya. Kajian ini
akan mengamati peran Wahabi dalam kebangkitan terorisme global,
strategi penyebaran ideologi radikal Wahabi di negara-negara di luar
Saudi Arabia, dan bagaimana tindakan untuk menganggulanginya.
Kata Kunci
Wahabiyah, terorisme, takfir, bid’ah, deradikalisasi

Pendahuluan
Tradisi pemikiran Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Budha telah
terbukti dapat disalahgunakan untuk memproduksi terorisme religius.
Terorisme yang berbasis pada doktrin agama telah berumur tua,
terutama pada era pra-modern di mana agama sering disalahgunakan
sebagai justifikasi utama bagi terorisme. Dalam sejarah Yahudi terdapat
sekte radikal bernama Sicarii yang membantai sekte lainnya. Di India
dikenal kelompok radikal bernama Thuggee yang membantai warga
sipil sebagai bentuk persembahan pada Kali, dewa perusak dalam
keyakinan Hindu. Teror juga dilakukan oleh tentara Kristen (Crusaders)
pada Perang Salib untuk membasmi populasi Yahudi dan Muslim di
Jerusalem. Tujuan mereka adalah untuk mengembalikan Jerusalem
menjadi kota Kristen.[1]
Di dalam sejarah Islam klasik,
kelompok Khawarij dan Hasyasyiyin (Assassins) merupakan dua
kelompok radikal yang menghalalkan pembunuhan terhadap kelompok
Muslim lainnya. Khawarij melakukan penafsiran radikal atas al-Qur’an
untuk membangun teologi radikal yang melegitimasi perang melawan
musuh politik yang mereka tuduh telah mengabaikan al-Qur’an dalam
pemecahan masalah kepemimpinan.
Sementara Hasyasyiyin merupakan sempalan sekte Syiah yang
dimotori oleh Hassan Sabbah. Mereka menganggap kelompoknya
sebagai wakil Tuhan, sehingga halal bagi mereka untuk membunuh
siapa saja yang berseberangan dalam hal keyakinan. Sementara saat
ini, terdapat kelompok Wahabi yang senantiasa dikait-kaitkan dengan
merebaknya terorisme global dimana pengikutnya gemar
membid’ahkan dan mengkafirkan Muslim lain yang berbeda aliran.
Pada era modern, terutama pasca revolusi Prancis pada tahun 1789,
terorisme yang dimotivasi oleh sentimen agama jarang ditemui. Pada
abad ke-18 dan 19, ideologi-ideologi yang muncul adalah ideologi
sekular seperti nasionalisme dan Marxisme. Nasionalisme dan
Marxisme pun dapat mempengaruhi kemunculan terorisme yang
dijustifikasi dengan term-term sekular, bukan religius. Namun pasca
Perang Dingin antara Barat dengan Uni Soviet dan pasca revolusi Iran
pada tahun 1979, terorisme atas nama agama muncul kembali ke
permukaan. Belakangan ini terorisme religius secara massif
dipertontonkan oleh Al-Qaeda dan ISIS yang berbasis pada doktrin
Wahabi Jihadi.[2]
Pasca serangan Al-Qaeda pada 11 September 2001 di World Trade
Center New York dan Pentagon, terorisme menjadi isu global yang
hangat dibicarakan karena dinilai telah mengakibatkan konsekuensi
yang luas, tidak hanya secara politis dan militer, tetapi juga secara
ekonomis. Serangan 11 September kemudian diikuti oleh serangkaian
bom bunuh diri (suicide bombing) di Bali pada tahun 2002, Madrid pada
tahun 2004, London pada tahun 2005, New Delhi pada tahun 2005, dan
Mumbai pada tahun 2006. Bom bunuh diri hingga saat ini juga sering
terjadi di kawasan konflik seperti di Iraq, Israel-Palestina, dan negara-
negera Timur Tengah terutama Suriah yang dikacaukan oleh aksi-aksi
brutal ISIS. Di Indonesia, dari tahun 2000 hingga 2016 teror bom terus
saja memakan korban. Bahkan pada tahun 2016 ini kita kembali
dikejutkan oleh bom di jalan Tamrin dan gereja Oikumene di Samarinda
baru-baru ini.
Ancaman terorisme global ini mendorong pentingnya identifikasi
terhadap akar-akarnya (the roots of terrorism) dan cara
penanggulangannya. Identifikasi merupakan langkah awal yang harus
dilakukan untuk mengenali apa itu terorisme dan mengapa tindakan
kekerasan dilakukan oleh para teroris. Kajian ini akan memperlihatkan
bahwa selain dimotivasi oleh faktor politik, terorisme juga sering dipicu
oleh doktrin Wahabi yang radikal. Terorisme religius yang didorong oleh
doktrin radikal Wahabi memiliki karakteristik yang berbeda dengan tipe-
tipe terorisme lain. Teroris religius ala Wahabi selalu menganggap
tergetnya sebagai kafir danmusyrik yang boleh dibunuh. Mereka
menghalalkan penggunaan kekerasan sebagai aksi suci. Benarkan
doktrin Wahabi adalah sumber terorisme global? Inilah pertanyaan yang
akan dikaji jawabannya dalam tulisan ini.[3]

Wahabi dan Aliansinya


Doktrin Wahabi yang destruktif tersebut dengan mudah
dimanfaatkan dan ditunggangi oleh Kerajaan Saud berserta aliansi-
aliansi politik mereka yang selama ini senantiasa mensuplay dana dan
persenjataan perang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kelompok
Wahabi dalam sejumlah peperangan melawan Uni Soviet telah nyata-
nyata beraliansi dengan Amerika dan Inggris kemudian menampakkan
sikap arogansinya terhadap dunia Islam. Bahkan berdirinya Kerajaan
Saudi setelah melepaskan diri dari Turki Utsmani juga karena
mendapat dukungan dari Amerika dan Inggris, baik di bidang ekonomi,
politik maupun militer. Inggris memiliki kepentingan mengamankan link
via Canal Suez menuju India, sedangkan Amerika berkepentingan
mengeksploitasi sumber daya minyak.
Anshumali Shukla, seorang peneliti dari Punjabi University,
menggarisbawahi bahwa kemunculan Wahabi didorong oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internalnya adalah keprihatinan
Muhammad bin Abdul Wahab melihat perilaku bid’ah dan takhayul yang
marak terjadi di Najd dan sekitarnya. Merespon fenomena itu,
Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya menyerukan semangat
pemurnian Islam sesuai dengan pemahaman tekstual dan kaku
terhadap Al-Quran dan hadits. Sedangkan faktor eksternalnya adalah
dorongan kepentingan kolonialisme. Negara-negara kolonialis Barat
sangat terusik dengan semakin meluasnya pengaruh Turki Utsmani dari
kawasan Asia Barat, Afrika Utara, hingga sebagian kawasan Eropa.
Untuk melemahkan kedigdayaan Turki Utsmani maka diperlukan
strategi pecah belah dan adu domba antar kaum Muslimin. Inggris
kemudian melihat bahwa Arab Saudi, yang memiliki doktrin Wahabi
yang radikal, berpotensi digunakan untuk menciptakan konflik sesama
Muslim melalui doktrin takfirnya. Arab Saudi sendiri—dengan dukungan
Barat—berkepentingan untuk lepas dari hegemoni Turki Utsmani dan
berdiri secara independen. Arab Saudi yang notabene merupakan
daerah kemunculan Islam tidak selayaknya berada di bawah bayang-
bayang hegemoni Turki Utsmani. Sebaliknya, Arab Saudi semestinya
berada di depan memimpin negara-negara berpenduduk Muslim
lainnya. Bertemunya kepentingan-kepentingan itulah yang mendorong
kedua negara merancang agenda-agenda politiknya.[4]
Kuatnya hubungan Amerika dan Kerajaan Saudi semakin kuat pasca 18
Desember 2010 ketika gelombang revolusi pecah di Tunisia dan Mesir;
perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, demonstrasi
besar-besaran di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait dan
negara-negara Timur Tengah lainnya. Dalam situasi tidak stabil
tersebut, Amerika tampak melindungi kekuasaan monarkhi Kerajaan
Saudi dari gelombang revolusi untuk melanggengkan hegemoni,
intervensi, dan kepentingan kapitalisasi sumber daya alam di Timur
Tengah.
Yang tak kalah menarik dibanding fakta di atas adalah pernyataan dari
Garikai Chengu, seorang peneliti dari Harvard University, dalam
artikelnya yang berjudul America Created Al-Qaeda and the ISIS Terror
Group. Menurutnya, Al-Qaeda dan ISIS tak lain hanyalah boneka
buatan Amerika yang didesain untuk memecah-belah dengan strategi
teror kemudian menguasai kekayaan kantong-kantong minyak di Timur
Tengah di satu sisi, sedangkan di sisi lain adalah untuk menghambat
berkembangnya pengaruh Iran di Timur Tengah. Pada era Perang
Dingin, Amerika dengan kepentingan kapitalismenya menggunakan
jasa Al-Qaeda Wahabi—yang didukung Arab Saudi dan dimentori oleh
CIA—untuk melawan Uni Soviet di Afghanistan dengan dalih
memerangi ideologi sosialisme yang dinilai atheis. Bahkan Amerika
juga menndompleng gerakan Ikhwan Muslimin untuk menanggulangi
semakin kuatnya pengaruh sosialisme di Mesir.
Sementara di Suriah saat ini, ISIS dengan doktrin Wahabi Jihadinya
kembali ditunggangi oleh Amerika untuk menghadapi Basyar Asad dan
sekutunya, yakni Iran dan Russia. Garikai Chengu menambahkan
bahwa pada dasarnya ada tiga perang yang terjadi di Suriah: satu
antara pemerintah dan pemberontak, yang lain antara Iran yang Syiah
dan Arab Saudi yang Wahabi, dan yang lain lagi antara Amerika dan
Russia. Ini adalah tiga pertempuan yang saling tumpang tindih. Inilah
Perang Dingin Baru yang membuat Amerika mengambil risiko
mempersenjatai pemberontak Wahabi di Suriah, karena Presiden
Suriah, Bashar al-Assad, adalah sekutu utama Russia. Di sisi lain dan
pada saat bersamaan, dukungan diam-diam Amerika pada ISIS
bertujuan untuk menekan Iran. Dari situlah dapat dilihat sejauh mana
doktrin radikal Wahabi yang dianut ISIS berperan dalam menciptakan
konflik di Suriah.[5]
Kompleksitas konflik di Timur Tengah tersebut, menurut pandangan F.
Gregory Gause, bukan semata-mata pertempuran tidak langsung
antara Riyadh vis a vis Tehran. Jauh lebih komplek lagi, intervensi
kepentingan ekonomi dan politik Amerika melawan Russia serta
perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi atas negara-negara
lemah di Timur Tengah menjadi muara Perang Dingin Baru di Suriah.
Kaum militan yang mendasarkan aksi-aksi mereka pada doktrin agama
hanyalah dijadikan alat perang kepentingan kelompok elit. Hal itu dapat
terjadi sebab doktrin radikal rawan dipolitisasi oleh pihak-pihak elit yang
berkepentingan. Amerika mendukung ISIS yang berbasis pada ideologi
radikal Wahabi untuk melawan Basyar Asad, kemudian mengisolasi
Iran, dan target berikutnya adalah Russia.[6]

Akar Terorisme dalam Doktrin Wahabi


Dalam kitab Fajar al-Shadiq fi al-Radd ‘ala al-Firqah al-Wahabiyah al-
Mariqah, Jamil Sidqi al-Zahawi menuturkan sejarah kemunculan
Wahabi di Najd pada tahun 1143 H yang dipimpin oleh Muhammad bin
Abdul Wahab dan kemudian penyebarannya didukung oleh Dinasti
Saudi yang beraliansi dengan Amerika dan Inggris. Sejak
kemunculannya, para pengikut Wahabi mengkafirkan umat Islam yang
berbeda pendapat, bahkan, lebih kejam lagi, mereka menghalalkan
penjarahan harta serta pembunuhan terhadap kelompok lain yang
dikafirkan. Dengan doktrin yang kaku dan sempit, pengikut Wahabi
merusak bangunan-bangunan bersejarah Maqbaroh Baqi’ dan artifak-
artifak keluarga Rasulullah. Jamil Shidqi berpendapat bahwa doktrin
radikal Wahabi menjadi biang keladi kerusuhan dan kekerasan atas
nama Islam di Jazirah Arab. Doktrin Wahabi sangatlah eksklusif, tidak
menerima dialog, dan secara serampangan mudah menyesatkan
kelompok-kelompok lain. Inilah penyebab utama fitnah di kalangan
kaum Muslimin saat ini.[7]
Dr. Ahmad Mahmud Shubhi juga berpendapat senada dalam bukunya
yang berjudul Judzur al-Irhab fi al-Aqidah al-Wahabiyyah (Akar-akar
Terorisme dalam Akidah Wahabiyah). Menurutnya, gerakan-gerakan
politik yang mengatasnamakan Islam dan menggunakan kekerasan
atas nama Islam sejatinya tidak bisa merepresentasikan Islam. Mereka
hanya merepresentasikan kelompok Wahabi saja. Kelompok-kelompok
teroris apapun namanya, baik itu Taliban, Al-Qaeda maupun ISIS,
merupakan produk dari paham Wahabi yang ekstrem. Ahmad Subhi
Manshur, pakar sejarah al-Azhar University Cairo, pun sepakat bahwa
akar kekerasan atas nama Islam belakangan ini adalah produk dari
paham Wahabi yang rigid (al-mutazammid). Di Mesir, paham itu
menemukan tempatnya dalam gerakan Ikhwan al-Muslimun, sebuah
organisasi keagamaan di Mesir yang terpengaruh kuat oleh Wahabi
Saudi. Para ulama al-Azhar senantiasa melawan pemikiran Ikhwan
Muslimun yang keras dengan cara-cara dialogis, akan tetapi sering
sekali mereka mengkafirkan dan menyesatkan ulama-ulama al-
Azhar.[8]
Di Indonesia, Ikhwan Muslimun sangat kuat mempengaruhi gerakan-
gerakan PKS. Salah satu bukti kuat adalah tingginya kebencian kader-
kader PKS terhadap ulama-ulama moderat Al-Azhar. Saat Syaikh
Ahmed Thayyib berkunjung ke Indonesia pada awal tahun 2016 dalam
rangka menyebarkan pesan damai, para kader PKS beramai-ramai
mencaci maki Grand Syaikh Al-Azhar tersebut dengan kata-kata yang
keji. Fakta ini menunjukkan bahwa teologi kebencian ala Wahabi telah
merasuk dalam pemikiran sebagian kader-kader PKS.

Media Propaganda Wahabi dan Efek Geopolitiknya


Kelompok Wahabi sangat militan mempropagandakan doktrin
kebencian melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Chanel televisi merupakan media efektif yang sering dimanfaatkan oleh
para pendukung Wahabi. TV Rodja, TV Insan, Sunnah TV, Ahsan TV,
TV Wesal, Noor TV, Safa TV, dan puluhan TV lainnya merupakan
contoh media corong Wahabi dalam menyebarkan paham-paham
radikal. Bahkan di Iran yang notabene basis Syiah juga dapat diitemui
satelit chanel TV berhaluan Wahabi yang program-programnya
mempropagandakan anti Syiah.
Dunia maya kita sekarang ini pun dijejali fitnah-fitnah dan ujaran
kebencian yang disebarluaskan oleh situs-situs Wahabi radikal.
Anshumali Shukla memberikan informasi bahwa otoritas Wahabi di
Saudi Arabia telah menggelontorkan dana yang sangat besar untuk
mendanai 40.000 website Wahabi yang isinya menyebarkan teologi
kebencian dan adu domba. Ditambah lagi dengan penerbitan buku-
buku berhaluan Wahabi serta reduksi isi kitab-kitab Sunni yang
bertentangan dengan ajaran Wahabi. Para penganut Wahabi terbukti
merubah isi sebagian kitab para ulama salaf yang tak sejalan dengan
doktrin Wahabi. Propaganda yang didukung oleh Kerajaan kaya minyak
tersebut berdampak pada cepatnya penyebaran ideologi Wahabi yang
rigid dan intoleran.
Efek geopolitik yang mungkin ditimbulkan dari propaganda tersebut
antara lain: 1) Meningkatnya saling benci antar kaum Muslimin
disebabkan oleh watak ideologi Wahabi yang intoleran terhadap sekte
lain. Pembantaian brutal teroris Wahabi terhadap warga Yazidi di Iraq,
warga Syiah di Suriah-Iraq, dan Ahmadiyah di Pakistan merupakan
bukti bahwa ideologi Wahabi telah menjelma menjadi virus kebencian
yang membahayakan; 2) Meningkatnya kebencian terhadap penganut
agama lain. Perusakan gereja koptik di Mesir, Vihara di Afghanistan,
dan patung Budha di Indonesia merupakan bukti sahih bahwa teologi
kebencian Wahabi berimbas pada gangguan keamanan penganut
agama lain; 3) Meningkatnya kasus-kasus kekerasan atas nama
agama. Munculnya Jamaah Islam, Jamaah Ansharu Daulah, Jamaah
Ansharu Tauhid, dan lain sebagainya di Indonesia yang diikuti oleh
bom-bom bunuh diri di sejumlah lokasi di tanah air cukup menjadi
peringatan akan bahayanya ideologi Wahabi. Sebagai perbandingan,
meningkatnya kekerasan di Chechnya adalah konsekuensi dari
semakin populernya ideologi Wahabi di kalangan anak muda. Mereka
berani mendeklarasikan perlawanan melawan Russia dan hendak
mendirikan negara Islam; 4) Lahirnya organisasi-organisasi teroristik
yang dipengaruhi Wahabi. Sebagai contoh, telah lahir Ansharuddin, Al-
Syabab, Boko Haram, Jamaah Ansharu Tauhid, Jamaah Ansharu
Daulah, dan lain sebagainya yang telah berjejaring dengan ISIS.
Jaringan kelompok teroris tersebut terbukti membahayakan eksistensi
negara dan kedamaian kehidupan bersama.

Penanggulangan Terorisme
Terorisme bukan hanya persoalan penafsiran teks-teks agama.
Terorisme merupakan problematika kompleks yang semestinya
dipahami dalam konteks yang lebih luas yang membutuhkan perspektif-
perspektif bervariasi dari beragam disiplin ilmu. Dari aspek psikologis,
para pakar menilai bahwa teroris adalah manusia yang normal dan
tidak mengalami gangguan psikopat maupun skizofrenia paranoid.
Organisasi teroris tidak akan merekrut anggota yang mengalami
gangguan mental sebab operasi terorisme membutuhkan rencana
matang yang tak dapat dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan
mental. Para psikiatris dan psikolog menilai terorisme lebih berkaitan
dengan fanatisme sehingga teroris tidak sudi berkompromi. Teroris
fanatik sering melihat permasalahan secara hitam putih dan single-
minded dalam menyikapi setiap hal yang tak disetujui. Pandangan
hitam-putih itulah yang membuat teroris eksklusif mempertentangkan
antara “Muslim versus kafirun”. Jika “mereka” (the other) adalah sumber
problem kami, maka kami harus membasmi mereka. Begitulah pola
pikir fanatik.[9]
Pandangan di atas senada dengan pendapat Abu Hasan al-Amiri, murid
al-Kindi dan penulis al-I’lam bi Manaqib al-Islam, yang menyatakan
bahwa fanatisme (ta’ashub) merupakan penyakit sosial karena dapat
mendorong seseorang rela mengorbankan nyawa demi membela
pandangan sempitnya. Fanatisme tidak hanya menjangkiti penganut
Islam, tetapi adalah masalah yang dihadapi oleh semua agama (hadzihi
afat yubtala biha ahlu kulli millah).[10]
Dari perspektif lingkungan, terorisme sering dimotivasi oleh faktor
politik, sosial, ekonomi, dan ideologi agama. Terorisme sering dipicu
oleh kepentingan mempengaruhi kebijakan politik atau bahkan merebut
kendali kekuasaan. Kelompok teroris yang kecewa atas kondisi negara
termotivasi untuk merubah kondisi politik melalui kekerasan. Kekerasan
menjadi pilihan jika kelompok teroris merasa berhadapan dengan sikap
represif pemerintah, kurangnya kebebasan politik, dan pendudukan
asing. Meluasnya ketidakpuasan kelompok-kelompok teroris di dunia
Muslim terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika dalam masalah-
masalah Timur Tengah, pendudukan Israel di Palestina, dan trauma
kolonialisme ikut andil besar dalam memicu rasa benci dan curiga
terhadap Barat. Belum lagi ditambah dengan dukungan Amerika
terhadap Israel dan rezim-rezim negara Arab yang represif, eksploitasi
Amerika atas kekayaan minyak di Timur Tengah, dan pendudukan
tentara Amerika di dunia Arab.
Realitas ketidakadilan politik tersebut mendorong Graham E. Fuller,
mantan wakil ketua intelejen di CIA sekaligus penulis sejumlah buku
tentang Timur Tengah, melancarkan kritik terhadap kebijakan Amerika
yang terbukti memicu konflik. Dia berkata, “Yang seharusnya menjadi
pertanyaan bukan mengapa tragedi 11 September bisa terjadi, tetapi
mengapa tragedi itu tidak terjadi lebih cepat?”. Dalam bukunya yang
berjudul A World Without Islam, Graham berandai-andai bahwa
seandainya tidak ada agama Islam di muka bumi maka terorisme akan
tetap terjadi. Terorisme di Timur Tengah dan di kawasan lain tidak ada
hubungannya dengan Islam. Fenomena terorisme adalah respons
terhadap kondisi geopolitik dan isu-isu sosial yang melibatkan
komunitas Muslim di dunia. Graham meyakini bahwa Islam tidak
mengajarkan terorisme dan kekerasan yang destruktif, namun Islam
yang mengajarkan jihad—yang bermakna cukup kompleks—
disalahgunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik. Dengan
statemennya tersebut dia hendak mengatakan bahwa kebijakan luar
negeri Amerika dan sekutunya ikut andil memicu terorisme. Oleh
karena itu penanggulangan terorisme menuntut perubahan kebijakan
Amerika yang lebih simpatik di Timur Tengah.[11]
Richard Bonney, seorang pendeta Inggris, juga menganjurkan agar
Amerika dan kaum Muslimin sebaiknya meninggalkan cara-cara
kekerasan dan beralih pada pendekatan diplomasi publik demi masa
depan kehidupan manusia yang lebih damai. Resolusi konflik secara
damai dengan menggunakan proses diplomatik sangatlah efisien dalam
memediasi kepentingan dunia Barat dan Islam. Resolusi tersebut harus
sesuai dengan aturan hukum internasional serta penuh keadilan untuk
semua pihak. Selain itu, semua pihak harus konsisten bahwa perang
hanyalah pilihan terakhir ketika penyebabnya adalah keadilan dan
bersifat defensif dengan sarana terbatas sehingga membatasi jumlah
korban, baik sipil maupun militer.[12]
Faktor lain yang berkaitan dengan terorisme adalah ideologi
agama. Hampir dapat dipastikan bahwa semua teroris Muslim
mengatasnamakan aksi-aksi mereka sebagai jihad di jalan Allah. Aksi-
aksi teror yang dilakukan oleh militan Muslim yang ditujukan kepada
warga sipil jelas merupakan tindakan yang melewati batas dan tidak
dibenarkan dalam Islam. Aksi-aksi tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai jihad karena telah menyalahi prosedur yang ditetapkan dalam
Islam. Namun harus digarisbawahi bahwa kebijakan militer Amerika dan
sekutunya yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban dari warga sipil
di Iraq, Suriah, dan lain-lain juga merupakan tindakan yang melewati
batas sehingga wajar jika memantik emosi dan balas dendam dari
kelompok militan Muslim.
Berkaitan dengan hal ini, ada wacana menarik yang ditawarkan oleh
para pengamat seperti Richard Jackson, Eamon Murphy, dan Scott
Poynting tentang terorisme negara (state-terrorism). Menurut mereka,
terorisme yang dilakukan oleh negara, dalam konteks ini adalah
Amerika dan Israel, merupakan salah satu dari sumber kerusakan
terbesar yang menimpa umat manusia dewasa ini. Bentuk-bentuk
ekstrem kekerasan sering dilakukan oleh institusi negara demi agenda
politik, pemindahan populasi, dan kolonialisme dengan korban yang
mencapai jutaan jiwa dari rakyat jelata. Terorisme negara atas nama
perang melawan teror jauh lebih berbahaya dibanding terorisme yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok militan. Ironisnya, terorisme
kelompok militan lebih disoroti oleh media Barat ketimbang terorisme
negara. Oleh karena itu, Richard Jackson, Eamin Murphy, dan Scott
Poynting mengajak analis hubungan internasional dan sarjana
yang concern dalam wacana counter-terrorism agar tidak mengabaikan
masalah kejahatan terorisme negara.[13]

Kesimpulan
Islam adalah agama damai yang diturunkan untuk menyebarkan kasih
sayang universal. Islam datang untuk merahmati, bukan membasmi.
Akan tetapi teks-teks Islam yang berkaitan dengan jihad bisa ditafsirkan
secara tekstual dan reduktif oleh kelompok-kelompok yang
berkepentingan guna membangun ideologi puritan radikal. Bencana
besar bagi kemanusiaan ketika ideologi puritan tersebut mendorong
kelompok-kelompok radikal—yang dimanfaatkan oleh elit politik—untuk
menjustifikasi terorisme. Sejarah perkembangan penyebaran Wahabi
sejak pertama kemunculannya di Najd hingga saat ini senantiasa diikuti
oleh jatuhya banyak korban jiwa dari kelompok-kelompok yang dituduh
kafir dan musyrik. Pembantaian kelompok liyan terus dilakukan oleh
penganut Wahabi ekstrem atas nama pemurnian akidah. Dari rekam
jejak sejarah itulah kemudian para peneliti sampai pada kesimpulan
bahwa doktrin puritan Wahabi yang sangat rigid dan ekstrem ikut andil
besar dalam penyebaran kebencian dan kekerasan atas nama agama.
Tidak berlebiihan apabila sejumlah ulama Timur Tengah menyatakan
bahwa doktrin Wahabi merupakan salah satu akar terorisme global
(judzur al-irhab al-‘alami).
Namun tidak bisa dipukul rata bahwa semua Wahabi pasti teroris. Tidak
bisa demikian. Sebab kenyataannya ada ulama-ulama Wahabi yang
melakukan otokritik, deradikalisasi, dan serius menyuarakan pentingnya
toleransi dan perdamaian. Salah satunya adalah Abd al-Basit bin Yusuf
al-Gharib, penulis Tasamuh al-Islam ma’a Ghayr al-Muslimin: Hashr wa
Istiqra’ al-Nushus wa al-Atsar al-Muta’alliqah bi Ta’amul al-Muslimin
ma’a Ghayrihim (Toleransi Islam terhadap Non-Muslim: Rangkuman
dan Penelitian Teks-teks dan Tradisi tentang Interaksi Muslimin dengan
Non-Muslim). Intelektual Wahabi Yordania ini berupaya menelaah
kembali ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi untuk meneguhkan spirit
toleransi dalam Islam.
______________
[1]Assaf Moghadam, The Root of Terrorism (New York: Chelsea
House, 2006), hlm. 102.
[2] Ibid., hlm. 27.
[3] Eli Berman, Radical Religious and Violent: the New Economics of
Terrorism (Cambridge, The MIT Press), hlm. 2.
[4] Anshumali Shukla, Wahhabism and Global Terrorism (Punjabi
University, International Kournal of Innovation and Applied Studies),
hlm. 1524-1525.
[5] Garikai Chengu, Amerika Created Al-Qaeda and the ISIS Terror
Group, http://www.globalresearch.ca/america-created-al-qaeda-and-
the-isis-terror-group/5402881
[6] F. Gregory Gause, Beyond Sectarianism: The New Middle East Cold
War (Washington DC, The Brookings Institution), hlm. 1.
[7] Jamil Shidqi al-Zahawi, Fajr al-Shadiq fi Radd al-Firqah al-
Wahabiyah al-Mariqah (Dar al-Shidiq al-Akbar), hlm. 12-18.
[8] Ahmad Mahmud Shubhi, Judzur al-Irhab fi al-Aqidah al-Wahabiyyah,
Beirut: Dar al-Mizan, hlm. 10-14.
[9] Assaf Moghadam, The Root of Terrorism, hlm. 18-19.
[10] Abu Hasan al-’Amiri, al-I’lam fi Manaqib al-Islam (Riyadh: Dar al-
Ashalah li Tsaqafah, 1988), hlm. 195.
[11] Graham E. Fuller, A World Without Islam (New York: Hachette
Book Group, 2010), hlm. 267 & 281.
[12] Richard Bonney, Jihad From Qur’an to bin Laden (New York:
Palgrave Macmillan, 2004), hlm. 422.
[13] Richard Jackson, Eamin Murphy, dan Scott Poynting (ed.),
“Terrorism, the State and the Study of Political Terror “ in Contemporary
State Terrorism: Theory and Practice (USA and Canada: Routledge,
2010), hlm. 1-2.
 

Anda mungkin juga menyukai