Irwan Masduqi
Pendahuluan
Tradisi pemikiran Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Budha telah
terbukti dapat disalahgunakan untuk memproduksi terorisme religius.
Terorisme yang berbasis pada doktrin agama telah berumur tua,
terutama pada era pra-modern di mana agama sering disalahgunakan
sebagai justifikasi utama bagi terorisme. Dalam sejarah Yahudi terdapat
sekte radikal bernama Sicarii yang membantai sekte lainnya. Di India
dikenal kelompok radikal bernama Thuggee yang membantai warga
sipil sebagai bentuk persembahan pada Kali, dewa perusak dalam
keyakinan Hindu. Teror juga dilakukan oleh tentara Kristen (Crusaders)
pada Perang Salib untuk membasmi populasi Yahudi dan Muslim di
Jerusalem. Tujuan mereka adalah untuk mengembalikan Jerusalem
menjadi kota Kristen.[1]
Di dalam sejarah Islam klasik,
kelompok Khawarij dan Hasyasyiyin (Assassins) merupakan dua
kelompok radikal yang menghalalkan pembunuhan terhadap kelompok
Muslim lainnya. Khawarij melakukan penafsiran radikal atas al-Qur’an
untuk membangun teologi radikal yang melegitimasi perang melawan
musuh politik yang mereka tuduh telah mengabaikan al-Qur’an dalam
pemecahan masalah kepemimpinan.
Sementara Hasyasyiyin merupakan sempalan sekte Syiah yang
dimotori oleh Hassan Sabbah. Mereka menganggap kelompoknya
sebagai wakil Tuhan, sehingga halal bagi mereka untuk membunuh
siapa saja yang berseberangan dalam hal keyakinan. Sementara saat
ini, terdapat kelompok Wahabi yang senantiasa dikait-kaitkan dengan
merebaknya terorisme global dimana pengikutnya gemar
membid’ahkan dan mengkafirkan Muslim lain yang berbeda aliran.
Pada era modern, terutama pasca revolusi Prancis pada tahun 1789,
terorisme yang dimotivasi oleh sentimen agama jarang ditemui. Pada
abad ke-18 dan 19, ideologi-ideologi yang muncul adalah ideologi
sekular seperti nasionalisme dan Marxisme. Nasionalisme dan
Marxisme pun dapat mempengaruhi kemunculan terorisme yang
dijustifikasi dengan term-term sekular, bukan religius. Namun pasca
Perang Dingin antara Barat dengan Uni Soviet dan pasca revolusi Iran
pada tahun 1979, terorisme atas nama agama muncul kembali ke
permukaan. Belakangan ini terorisme religius secara massif
dipertontonkan oleh Al-Qaeda dan ISIS yang berbasis pada doktrin
Wahabi Jihadi.[2]
Pasca serangan Al-Qaeda pada 11 September 2001 di World Trade
Center New York dan Pentagon, terorisme menjadi isu global yang
hangat dibicarakan karena dinilai telah mengakibatkan konsekuensi
yang luas, tidak hanya secara politis dan militer, tetapi juga secara
ekonomis. Serangan 11 September kemudian diikuti oleh serangkaian
bom bunuh diri (suicide bombing) di Bali pada tahun 2002, Madrid pada
tahun 2004, London pada tahun 2005, New Delhi pada tahun 2005, dan
Mumbai pada tahun 2006. Bom bunuh diri hingga saat ini juga sering
terjadi di kawasan konflik seperti di Iraq, Israel-Palestina, dan negara-
negera Timur Tengah terutama Suriah yang dikacaukan oleh aksi-aksi
brutal ISIS. Di Indonesia, dari tahun 2000 hingga 2016 teror bom terus
saja memakan korban. Bahkan pada tahun 2016 ini kita kembali
dikejutkan oleh bom di jalan Tamrin dan gereja Oikumene di Samarinda
baru-baru ini.
Ancaman terorisme global ini mendorong pentingnya identifikasi
terhadap akar-akarnya (the roots of terrorism) dan cara
penanggulangannya. Identifikasi merupakan langkah awal yang harus
dilakukan untuk mengenali apa itu terorisme dan mengapa tindakan
kekerasan dilakukan oleh para teroris. Kajian ini akan memperlihatkan
bahwa selain dimotivasi oleh faktor politik, terorisme juga sering dipicu
oleh doktrin Wahabi yang radikal. Terorisme religius yang didorong oleh
doktrin radikal Wahabi memiliki karakteristik yang berbeda dengan tipe-
tipe terorisme lain. Teroris religius ala Wahabi selalu menganggap
tergetnya sebagai kafir danmusyrik yang boleh dibunuh. Mereka
menghalalkan penggunaan kekerasan sebagai aksi suci. Benarkan
doktrin Wahabi adalah sumber terorisme global? Inilah pertanyaan yang
akan dikaji jawabannya dalam tulisan ini.[3]
Penanggulangan Terorisme
Terorisme bukan hanya persoalan penafsiran teks-teks agama.
Terorisme merupakan problematika kompleks yang semestinya
dipahami dalam konteks yang lebih luas yang membutuhkan perspektif-
perspektif bervariasi dari beragam disiplin ilmu. Dari aspek psikologis,
para pakar menilai bahwa teroris adalah manusia yang normal dan
tidak mengalami gangguan psikopat maupun skizofrenia paranoid.
Organisasi teroris tidak akan merekrut anggota yang mengalami
gangguan mental sebab operasi terorisme membutuhkan rencana
matang yang tak dapat dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan
mental. Para psikiatris dan psikolog menilai terorisme lebih berkaitan
dengan fanatisme sehingga teroris tidak sudi berkompromi. Teroris
fanatik sering melihat permasalahan secara hitam putih dan single-
minded dalam menyikapi setiap hal yang tak disetujui. Pandangan
hitam-putih itulah yang membuat teroris eksklusif mempertentangkan
antara “Muslim versus kafirun”. Jika “mereka” (the other) adalah sumber
problem kami, maka kami harus membasmi mereka. Begitulah pola
pikir fanatik.[9]
Pandangan di atas senada dengan pendapat Abu Hasan al-Amiri, murid
al-Kindi dan penulis al-I’lam bi Manaqib al-Islam, yang menyatakan
bahwa fanatisme (ta’ashub) merupakan penyakit sosial karena dapat
mendorong seseorang rela mengorbankan nyawa demi membela
pandangan sempitnya. Fanatisme tidak hanya menjangkiti penganut
Islam, tetapi adalah masalah yang dihadapi oleh semua agama (hadzihi
afat yubtala biha ahlu kulli millah).[10]
Dari perspektif lingkungan, terorisme sering dimotivasi oleh faktor
politik, sosial, ekonomi, dan ideologi agama. Terorisme sering dipicu
oleh kepentingan mempengaruhi kebijakan politik atau bahkan merebut
kendali kekuasaan. Kelompok teroris yang kecewa atas kondisi negara
termotivasi untuk merubah kondisi politik melalui kekerasan. Kekerasan
menjadi pilihan jika kelompok teroris merasa berhadapan dengan sikap
represif pemerintah, kurangnya kebebasan politik, dan pendudukan
asing. Meluasnya ketidakpuasan kelompok-kelompok teroris di dunia
Muslim terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika dalam masalah-
masalah Timur Tengah, pendudukan Israel di Palestina, dan trauma
kolonialisme ikut andil besar dalam memicu rasa benci dan curiga
terhadap Barat. Belum lagi ditambah dengan dukungan Amerika
terhadap Israel dan rezim-rezim negara Arab yang represif, eksploitasi
Amerika atas kekayaan minyak di Timur Tengah, dan pendudukan
tentara Amerika di dunia Arab.
Realitas ketidakadilan politik tersebut mendorong Graham E. Fuller,
mantan wakil ketua intelejen di CIA sekaligus penulis sejumlah buku
tentang Timur Tengah, melancarkan kritik terhadap kebijakan Amerika
yang terbukti memicu konflik. Dia berkata, “Yang seharusnya menjadi
pertanyaan bukan mengapa tragedi 11 September bisa terjadi, tetapi
mengapa tragedi itu tidak terjadi lebih cepat?”. Dalam bukunya yang
berjudul A World Without Islam, Graham berandai-andai bahwa
seandainya tidak ada agama Islam di muka bumi maka terorisme akan
tetap terjadi. Terorisme di Timur Tengah dan di kawasan lain tidak ada
hubungannya dengan Islam. Fenomena terorisme adalah respons
terhadap kondisi geopolitik dan isu-isu sosial yang melibatkan
komunitas Muslim di dunia. Graham meyakini bahwa Islam tidak
mengajarkan terorisme dan kekerasan yang destruktif, namun Islam
yang mengajarkan jihad—yang bermakna cukup kompleks—
disalahgunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik. Dengan
statemennya tersebut dia hendak mengatakan bahwa kebijakan luar
negeri Amerika dan sekutunya ikut andil memicu terorisme. Oleh
karena itu penanggulangan terorisme menuntut perubahan kebijakan
Amerika yang lebih simpatik di Timur Tengah.[11]
Richard Bonney, seorang pendeta Inggris, juga menganjurkan agar
Amerika dan kaum Muslimin sebaiknya meninggalkan cara-cara
kekerasan dan beralih pada pendekatan diplomasi publik demi masa
depan kehidupan manusia yang lebih damai. Resolusi konflik secara
damai dengan menggunakan proses diplomatik sangatlah efisien dalam
memediasi kepentingan dunia Barat dan Islam. Resolusi tersebut harus
sesuai dengan aturan hukum internasional serta penuh keadilan untuk
semua pihak. Selain itu, semua pihak harus konsisten bahwa perang
hanyalah pilihan terakhir ketika penyebabnya adalah keadilan dan
bersifat defensif dengan sarana terbatas sehingga membatasi jumlah
korban, baik sipil maupun militer.[12]
Faktor lain yang berkaitan dengan terorisme adalah ideologi
agama. Hampir dapat dipastikan bahwa semua teroris Muslim
mengatasnamakan aksi-aksi mereka sebagai jihad di jalan Allah. Aksi-
aksi teror yang dilakukan oleh militan Muslim yang ditujukan kepada
warga sipil jelas merupakan tindakan yang melewati batas dan tidak
dibenarkan dalam Islam. Aksi-aksi tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai jihad karena telah menyalahi prosedur yang ditetapkan dalam
Islam. Namun harus digarisbawahi bahwa kebijakan militer Amerika dan
sekutunya yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban dari warga sipil
di Iraq, Suriah, dan lain-lain juga merupakan tindakan yang melewati
batas sehingga wajar jika memantik emosi dan balas dendam dari
kelompok militan Muslim.
Berkaitan dengan hal ini, ada wacana menarik yang ditawarkan oleh
para pengamat seperti Richard Jackson, Eamon Murphy, dan Scott
Poynting tentang terorisme negara (state-terrorism). Menurut mereka,
terorisme yang dilakukan oleh negara, dalam konteks ini adalah
Amerika dan Israel, merupakan salah satu dari sumber kerusakan
terbesar yang menimpa umat manusia dewasa ini. Bentuk-bentuk
ekstrem kekerasan sering dilakukan oleh institusi negara demi agenda
politik, pemindahan populasi, dan kolonialisme dengan korban yang
mencapai jutaan jiwa dari rakyat jelata. Terorisme negara atas nama
perang melawan teror jauh lebih berbahaya dibanding terorisme yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok militan. Ironisnya, terorisme
kelompok militan lebih disoroti oleh media Barat ketimbang terorisme
negara. Oleh karena itu, Richard Jackson, Eamin Murphy, dan Scott
Poynting mengajak analis hubungan internasional dan sarjana
yang concern dalam wacana counter-terrorism agar tidak mengabaikan
masalah kejahatan terorisme negara.[13]
Kesimpulan
Islam adalah agama damai yang diturunkan untuk menyebarkan kasih
sayang universal. Islam datang untuk merahmati, bukan membasmi.
Akan tetapi teks-teks Islam yang berkaitan dengan jihad bisa ditafsirkan
secara tekstual dan reduktif oleh kelompok-kelompok yang
berkepentingan guna membangun ideologi puritan radikal. Bencana
besar bagi kemanusiaan ketika ideologi puritan tersebut mendorong
kelompok-kelompok radikal—yang dimanfaatkan oleh elit politik—untuk
menjustifikasi terorisme. Sejarah perkembangan penyebaran Wahabi
sejak pertama kemunculannya di Najd hingga saat ini senantiasa diikuti
oleh jatuhya banyak korban jiwa dari kelompok-kelompok yang dituduh
kafir dan musyrik. Pembantaian kelompok liyan terus dilakukan oleh
penganut Wahabi ekstrem atas nama pemurnian akidah. Dari rekam
jejak sejarah itulah kemudian para peneliti sampai pada kesimpulan
bahwa doktrin puritan Wahabi yang sangat rigid dan ekstrem ikut andil
besar dalam penyebaran kebencian dan kekerasan atas nama agama.
Tidak berlebiihan apabila sejumlah ulama Timur Tengah menyatakan
bahwa doktrin Wahabi merupakan salah satu akar terorisme global
(judzur al-irhab al-‘alami).
Namun tidak bisa dipukul rata bahwa semua Wahabi pasti teroris. Tidak
bisa demikian. Sebab kenyataannya ada ulama-ulama Wahabi yang
melakukan otokritik, deradikalisasi, dan serius menyuarakan pentingnya
toleransi dan perdamaian. Salah satunya adalah Abd al-Basit bin Yusuf
al-Gharib, penulis Tasamuh al-Islam ma’a Ghayr al-Muslimin: Hashr wa
Istiqra’ al-Nushus wa al-Atsar al-Muta’alliqah bi Ta’amul al-Muslimin
ma’a Ghayrihim (Toleransi Islam terhadap Non-Muslim: Rangkuman
dan Penelitian Teks-teks dan Tradisi tentang Interaksi Muslimin dengan
Non-Muslim). Intelektual Wahabi Yordania ini berupaya menelaah
kembali ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi untuk meneguhkan spirit
toleransi dalam Islam.
______________
[1]Assaf Moghadam, The Root of Terrorism (New York: Chelsea
House, 2006), hlm. 102.
[2] Ibid., hlm. 27.
[3] Eli Berman, Radical Religious and Violent: the New Economics of
Terrorism (Cambridge, The MIT Press), hlm. 2.
[4] Anshumali Shukla, Wahhabism and Global Terrorism (Punjabi
University, International Kournal of Innovation and Applied Studies),
hlm. 1524-1525.
[5] Garikai Chengu, Amerika Created Al-Qaeda and the ISIS Terror
Group, http://www.globalresearch.ca/america-created-al-qaeda-and-
the-isis-terror-group/5402881
[6] F. Gregory Gause, Beyond Sectarianism: The New Middle East Cold
War (Washington DC, The Brookings Institution), hlm. 1.
[7] Jamil Shidqi al-Zahawi, Fajr al-Shadiq fi Radd al-Firqah al-
Wahabiyah al-Mariqah (Dar al-Shidiq al-Akbar), hlm. 12-18.
[8] Ahmad Mahmud Shubhi, Judzur al-Irhab fi al-Aqidah al-Wahabiyyah,
Beirut: Dar al-Mizan, hlm. 10-14.
[9] Assaf Moghadam, The Root of Terrorism, hlm. 18-19.
[10] Abu Hasan al-’Amiri, al-I’lam fi Manaqib al-Islam (Riyadh: Dar al-
Ashalah li Tsaqafah, 1988), hlm. 195.
[11] Graham E. Fuller, A World Without Islam (New York: Hachette
Book Group, 2010), hlm. 267 & 281.
[12] Richard Bonney, Jihad From Qur’an to bin Laden (New York:
Palgrave Macmillan, 2004), hlm. 422.
[13] Richard Jackson, Eamin Murphy, dan Scott Poynting (ed.),
“Terrorism, the State and the Study of Political Terror “ in Contemporary
State Terrorism: Theory and Practice (USA and Canada: Routledge,
2010), hlm. 1-2.