Anda di halaman 1dari 11

RADIKALISME DALAM ERA MODERNISASI

Muhammad Annas Khoiruddin

Sastra Inggris Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Jl. Gajayana No. 50, Malang

Email: 19320204@student.uin-malang.ac.id

Abstraksi

Di dalam agama Islam terbagi menjadi beberapa aliran, yang mana tidaklah semuanya
bisa dianggap aliran yang benar. Baik di Negara timur, maupun di Indonesia sendiri. Seperti,
NU, Muhammadiyah, merupakan contoh ormas yang menganut aliran ahli sunnah wal
jama’ah (Aswaja) yang mana aliran tersebut aktif, diakui dan dianut oleh masyarakat kita.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, munculah aliran Islam radikalis, yang menganggap
semua orang selain muslim harus diperangi, dengan dalih penegakan jihad agama Allah
SWT.

Perubahan yang diiringi perkembangan zaman, serta gaya hidup masyarakat yang hari ini
bisa dibilang lebih praktis, efektif bahwa orang-orang masa kini, kekinian adalah masyarkat
modern. Tentu saja hal ini tak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi itu sendiri,
khususnya dalam bidang komunikasi, yang dengan mudahnya menjangkau seluruh lapisan
elemen masyarakat, atau singkatnya globalisasi. Dengan demikian, ilmu agama-pun dengan
mudahnya tersebar luas ke berbagai daerah, tanpa penyaring, ataupun validasi yang terkadang
malah menjerumuskan atau menggiring masyarakat dalam jaringan teroris radikalis. Oleh
karena itu pada tulisan ini akan dijelaskan pengaruh perkembangan teknologi, dan
radikalisme, dengan tujuan pada era yang serba modern ini, diharapkan masyarakat agar tidak
terjerumus dalam kesesatan aliran Islam radikal dan mempunyai wawasan umum tentang hal
tersebut.

Kata kunci: Perkembangan teknologi, Radikalisme, Masyarakat


Pendahuluan

Tak dapat dipungkiri bahwasanya teknologi berkembang pesat di zaman yang serba
digital ini. Tak terkecuali dalam hal komunikasi yang menyebabkan berbagai macam
informasi, berita, dan pesan-pesan dapat tersampaikan atau menyebar ke masyarakat dengan
cepat. Tak butuh waktu lama dalam penyebaran tersebut, dalam hitungan menit hingga bahan
detik sekalipun, hal-hal tersebut dengan mudahnya menjangkau masyarakat dari kota sampai
desa, dari Negara satu ke Negara lainnya. Informasi yang tersebar luas-pun beragam, mulai
dari olahraga, politik, kesehatan, ekonomi, hingga menyangkut perihal agama. Dan dalam hal
ini, informasi yang tersebar-pun tidak tersaring dengan jelas, hingga berita yang tak jelas asal
usul sumbernya dapat terkonsumsi masyarakat, terutama dalam internet, seperti dalam blog,
ataupun Youtube.

Dengan demikian, tak sedikit masyarakat yang terbawa dengan informasi-informasi


yang tidak jelas ini yang mana menimbulkan kepahaman yang setengah, tak utuh, bahkan
melenceng ataupun keliru. Dan dalam hal ini, tentu saja agama tak luput dari fenomena
tersebut.

Menyinggung soal agama, Islam adalah salah satu agama mayoritas yang dianut oleh
rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Islam terbagi menjadi beberapa golongan, mulai dari NU,
Muhammadiyah, LDII, dll. Akan tetapi, selain golongan tersebut muncul juga golongan yang
dianggap sesat, seperti aliran Ahmadiyah. Tak cukup sampai disitu, Islam-islam militan yang
konservatif menolak minoritas juga telah masuk ke Indonesia. Mereka menolak untuk hidup
secara pluralis, dan menentang pemerintah sekuler, hingga cenderung memaksakan Islam
versi mereka kedalam masyarakat. Dan tak dapat dipungkiri, mereka dengan segan
menggunakan kekerasan, ataupun menebar terror.

Tak ayal dengan hal tersebut, banyak juga masyarakat yang menganut paham-paham
ekstrim terebut, hal ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena perkembengan teknologi itu
sendiri, terlebih dalam bidang komunikasi audio hingga visual, ditambah kurangnya
pendidikan agama sebagai dasar tameng pertahanan, landasan dalam ber-agama juga kurang,
juga menjadi salah satu faktor pendukung dengan mudah masuknya paham-paham ekstrimis
yang meyimpang dari identitas bangsa kita. Oleh karena itu lewat tulisan ini, akan dijelaskan
tentang pengaruh perkembangan teknologi, juga sampai pada pengertian radikalisme,
pengaruhnya, dan penjelasan teologi Islam radikal itu sendiri. Dengan demikian, diharapkan
lewat artikel ini, masyarakat dapat memperoleh dasar dalam memahami radikalisme,
sehingga tidak lagi terjerumus dalam organisasi-organisasi teroris berpaham ekstrimis.

Awal perkenalan dengan radikalisme

Di era saat ini, tentunya tak asing lagi terdengar di telinga kita tentang penggunaan kata
radikal, radikalisme. Apalagi di zaman modern seperti sekarang yang mana informasi dapat
menyebar luas atau di dapatkan, dan diakses dari berbagai sosial media. Berbicara mengenai
radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya adalah akar, pangkal. Sementara
dalam KBBI (2016) radikalisme mempunyai arti (1) paham atau aliran yang radikal dalam
politik, (2) paham atau alian yang menginginkan perubahan atau pembaharuan social dan
politik dengan cara kekerasan atau drastis, (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Menurut Abdul Munip (2012: 162) radikalisme dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang
pertama bagian wacana, konsep, atau pemikiran. Disini ide awal tersebut mulai
diperbincangkan, dibahas, hingga mulai mendukung tindakan-tindakan kekerasan yang
diperlukan demi diterapkannya gagasan yang diusulkan. Kemudian, yang kedua bagian aksi
atau tindakan, dalam hal ini mulai diterapkan cara-cara kekerasan dalam upaya mencapai
tujuannya, bahkan dalam ranah sosial-politik agama, tak segan penggerakan massa yang
dimobilisasi digunakan sebagai tameng sekaligus pendukung buta agar tercapainya tujuan.

Maka, dalam hal ini Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat,
menjadi salah satu alasan ataupun tameng landasan penegekan Islam versi mereka (teroris).
Yang dicerminkan dalam tindakan-tindakan yang anarkis-destruktif atas nama agama Islam
kepada pemeluk agama yang lain (eksternal) ataupun kepada sesama muslim (internal) yang
berbeda akan dianggap sesat. Jadi, kegiatan memaksakan pendapat, keinginan, ideologi,
bahkan cita-cita dengan jalan kekerasan termasuk dalam kategori radikalisme agama. (Munip
Abdul, 2012: 162)

Kembali ke masa lalu, dimana radikalisme pertama kali terjadi pada masa kekhalifahan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Shiffin, dimana ada perselisihan
pendapat mengenai Arbitrase (tahkim) atau perjanjian damai dengan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan yang berkaitan dengan masalah kekuasaan (khilafah). Oleh karena itu, sebagian besar
tentara yang membela Sayyidina Ali keluar meninggalkan beliau karena menganggap hal
tersebut hanya menguntungkan pihak musuh. Kemudian muncul lah golongan “Khawarij”
yang artinya dari bahasa Arab “kharaja” keluar, dari kesatuan Islam.
Sementara di Indonesia, gerakan Islam radikal mulai tumbuh setelah runtuhnya era
presiden Soeharto atau dikenal dengan sebutan orde baru. Hal ini dibuktikan dengan
munculnya beragam organisasi dan kelompok kepentingan yang mengatasnamakan Islam.
(Ummah Choirul Sun, 2012: 117). Dimana menurut Ummah (dalam Riddel, 2002: 65-83),
Islam terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: modernis, tradisionalis, neomodernis, dan
Islamis. Yang dalam hal ini, setiap kelompok memiliki ciri tersendiri dalam menyikapi isu-
isu krusial setelah runtuhnya orde baru, seperti, piagam Jakarta, krisis Maluku, pembukaan
hubungan dagang dengan Israel, Indonesia menjadi Negara federal, tempat kaum minoritas
dalam system Negara Indonesia, dan munculnya para partai baru pasca keruntuhan orde baru.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya radikalisme di Indonesia menurut
Asrori (dalam Fanindy dan Mupida 2021: 205-206), yaitu: pertama, peningkatan dari tingkat
global. Dalam hal ini,mereka (yang berpaham radikal) menjadikan kekacauan di Timur
Tengah sebagai patokan mereka dalam hal mengangkat ssenjata dan melakukan aksi terror
yang disebabkan oleh asumsi mereka terhadap Amerika, Israel, dan sekutunya yang turut
andil dalam sebab terjadinya kekacauan. Apalagi, paham Wahabisme yang sudah masuk ke
Indonesia, yang akhirnya mencipakan kelompok-kelompok eksklusif yang sering menuduh
orang yang tidak sepaham dengan mereka dengan sebutan kafir, musuh, dan boleh diperangi.

Kedua, masuknya Wahabisme yang berasal dari Arab Saudi ke Indonesia. Paham ini tak
sekedar membawa ide, ideologi, atau pemikiran-pemikiran melainkan juga membawa
mentalitas yang menyatakan batas-batas kelompok dari kaum Muslim satu dengan yang
lainnya, yang mana mereka menyalahkan, hingga memfitnah kelompok yang lain sebagai
kelompok yang kafir, yang boleh untuk diperangi.

Ketiga, tingkat ekonomi yang rendah. Dalam hal ini,para terori melakukan pendekatan
eknomi dengan memberikan bantuan kepada mereka (orang-orang yangtidak mapu). Karena
kemiskinan, seringkali dengan mudahnya mempengaruhi seseorang.

Lebih jauh, adapun untuk ciri-ciri gerakan radikalisme menurut Abdul Munip (dalam
Rubaidi, 2010) adalah: pertama, Islam menjadi patokan ideologi bagi kehidupan
bermasyarakat, dan bernegara, sementara kita tahu masyarakat kita terdiri dari masyarakat
majemuk, kedua, nilai-nilai Islam yang dianut adalah nilai-nilai yang berasal dari Timur
Tengah secara harfiah tanpa mempertimbangkan kearifan local serta kebudayaan yang
berbeda, ketiga, berpegang teguh pada hukum-hukum yang terdapat pada Al-Qur’an dan
hadist sehingga menyebabkan kekhawatiran yang berlebih akan tercampurnya budaya yang
menimbulkan bid’ah, keempat, menolak seluruh Ideologi non-Timur Tengah tanpa
terkecuali, termasuk liberalisme, dan sekuleralisme, karena berpegang teguh hanya pada Al-
Qur’an dan hadist, kelima, seringnya perbedaan gerakan yang tak sesuai, atau berseberangan
dengan masyarakat hingga pemerintah, tak ayal sering terjadi pergesekan ideologi hingga
fisik.

Perkembangan teknologi sarana penyebaran radikalisme

Pengertian teknologi informasi adalah segala alat atau perangkat yang digunakan untuk
mengolah berbagai data (menyusun, menyimpan, memproses, mendapatkan, dan
memanipulasi data) dengan tujuan mendapatkan informasi yang bekualitas. (Sunarto Andang,
2017:127) Adapun di era yang modern ini, tak sulit bagi kita menjumpai dampak-dampak
hasil dari perkembangan teknologi, bahkan wujud dari perkembangan teknologi tersebut
sudah menjadi hal yang umum dirasakan dampaknya di kalangan masyarakat. Tidak terkejut
akan semua hal tersebut, masyarakat pada era yang serba modern ini, bisa dikatakan sebagai
masyarakat millennial, meski masih ada beberapa golongan yang tidak biasa atau masih
belum menerima atau mengikuti arus perkembangan tersebut. Mayoritas masyarakat saat ini,
setidaknya tidak terkejut akan perkembangan teknologi-teknolgi tersebut. Dalam
perkembangan teknologi ini, banyak aspek dari kehidupan yang telah berhasil dikembangkan
dan kemungkinan akan terus berkembang pesat kedepannya. Adapun aspek-aspek tersebut
antara lain: komunikasi, pendidikan, ekonomi, kesehatan, tarnsportasi, hingga pada sektor
industri.

Kemudian, dalam perkembangan teknologi tersebut. Sarana komunikasi dan informassi


merupakan titk vital dalam hal penyampaian, atau penyebaran pesan, hingga berita, dan
pengetahuan secara global dengan waktu yang relatif singkat. Yang mana, hal ini tidak dapat
disangkal lagi, bahwa apa yang ada, dan masuk ke Intenet dapat menyebar dengan cepat dan
menjangkau bebagai tempat. Demikian, hal tersebut sesuai dengan karakteristik media sosial,
menurut Gamble, Teri, dan Michael dalam communication Works yang dikutip dari
Wikipedia (dalam Sunarto Andang, 2017:128) menyebutkan karakteristik media sosial
sebagai, berikut:

a. Pesan, ataupun informasi disebarkan kepada banyak orang, tak hanya untuk seorang.

b. Pesan tidak harus selalu melalui gatekeeper, yang mana pesan menjadi tidak tersaring.
c. Durasi penyampaian pesan lebih singkat untuk menjangkau banyak orang dibanding
dengan media Koran, majalah, atau selebaran.

Sebab inilah yang membuat masyarakat lebih bergantung pada teknologi komunikasi,
seperti aplikasi-aplikasi media sosial, maupun sumber-sumber yang tersebar pada internet.
Tak dapat dipungkiri, pola konsumsi pengetahuan masyarakat yang dulunya menjadikan
buku sebagai alat pemenuh kebutuhan yang haus akan pengetahuan, hingga pengetahuan
perihal agama, kini telah bergeser ke sumber-sumber yang berada di Internet. Apalagi,
dengan anak-anak muda generasi millennial yang lebih menyukai penyajian secara instan.
(Fanindy dan Mupida, 2021:210)

Hal ini juga yang menjadikan radikalisme ikut bergeser ke Internet. Mengikuti perubahan
arus zaman juga penting, agar tetap tercapainya apa yang mereka inginkan. Apalagi dengan
karakteristik-karakteristik media sosial yang telah penulis sebutkan di atas, menunjukkan
bahwa sebenarnya dunia Internet lebih rentan akan pengaruh radikalisme dibandingkan
dengan buku-buku atau selebaran yang dulu sering digunakan. Banyaknya penemuan situs-
situs yang bermuatan negatif atau berpaham radikalisme yang tersebar semakin memperkuat
alasan yang menjadikan Internet sebagai salah satu wadah pembantu penyaluran paham
radikal. Adapun situs-situs yang penulis maksud, adalah seperti situs-situs yang telah
ditemukan oleh Fanindy dan Mupida dalam artikel mereka (2021:211), antara lain, yaitu:

Hidayatullah.com, salam-online.com, kiblat.net, muslimdaily.net, VOA-Islam.com,


dakwatuna.com, annajah.net, dan arrahmah.com. Hal ini didasarkan pada konten-konten yang
berada dalam situs yang memuat ide yang mengarahkan para pembaca kepada radikalisme,
tak hanya pesan-pesan yang terkandung radikalisme, potensi tersebut juga diperkuat dengan
adanya cara merakit bom (bahan peledak).

Dengan ini, maka semakin jelas. Tak dapat dipungkiri bahwa modernisasi, dan
perkembangan teknologi menajadi lading baru pusat radikalisme, terutama bagi generasi
millennial yang setiap harinya tidak dapat terpisahkan dari media sosial. Sekarang,
propaganda yang dulunya disebarkan melalui buku, selebaran, atau majalah,Koran, dsb kini
dengan seiring berkembangya zaman, ternyata tren tersebut juga merambah pada media
sosial.
Sikap masyarakat seharusnya

Tersebar luasnya berbagai macam pengetahuan, juga tentang agama dalam internet,
membuat kita seharusnya lebih bijak, dan berhati-hati dalam menyerap berbagai macam
informassi tersebut. Literasi harus kembali ditingkatkan, seraya menyelami informasi di
Internet, dikarenakan suatu karya tak mungkin disusun secara sembarangan, apalagi hingga
berhasil diterbitkan. Namun, juga harus disesuaikan dengan balutan yang diminati anak-anak
muda generasi millennial saat ini agar mereka dapat tertarik lagi membaca buku-buku ini.
Kumpulan ceramah-ceramah atau dawuh dari tokoh-tokoh Islam, seperti Ustadz Abdul
Shomad, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Felix Siaw, ataupun Gus Miftah yang saat ini sangat
terkenal di kalangan millennial jika dibukukan mungkin juga akan kembali menarik minat
generai anak-anak muda untuk kembali membaca.

Beririmgan dengan munculnya aliran-aliran baru dalam Islam, dan kita juga sebagai
warga Negara Indonesia yang hidup berdampingan dengan berbagai macam agama lainnya,
harusnya membuat kita lebih mengenal apa itu toleransi. Menurut Lely Nivilyah (dalam Fuad
J A, 2018: 566), sikap menghargai prinsip orang lain tanpa mengorbankan apa yang
diyakininya, namun harus dapat mencerminkan sikap yang kuat dalam memegang
kepercayaan tersebut, itulah yang dinamakan toleransi. Hal ini dapat terlaksanakan, apabila
kita menjalankan prinsip-prinsip toleransi, adapun sebagai berikut: pertama, tidak ada
paksaan dalam memeluk sebuah agama, kedua, setiap orang berhak memilih dan beribadah
sesuai dengan apa yang diyakini dan sesuai dengan agama yang dianut, ketiga, tidak ada
gunanya sama sekali dalam pemaksaan seseorang untuk memeluk suatu agama, karena iman
seseorang berasal dari hati, keempat, Tuhan Yang Maha Esa sekalipun tidak pernah
melarang kita sebagai umat manusia untuk hidup bermasyarkat dengan golongan yang tidak
sepaham, atau berbeda agama, dengan ini diharapkan kita sebagai sesama umat manusia tidak
saling bermusuhan antar kaum umat beragama, atau berbeda golongan.

Bersamaan dengan toleransi, pluralisme juga harus ditegakkan, mengingat Negara kita
terdiri dari berbagai macam suku, etnis,hingga agama. Menurut Ahmad Nur (dalam Laisa
Emma, 2014: 12) pluralisme atau paham kemajemukan adalah bentuk toleransi terhadap
keragaman suku, budaya, etnik, atau kelompok-kelompok kultural lainnya dalam masyarakat
didalam suatu Negara. Yang mana dalam hal ini, seseorang membutuhkan sikap tulus,
mengakui, dan menerima keragaman yang ada sebagai rahmat dari Allah SWT.
Kemudian menurut Laisa Emma (2014: 14-15) dalam artikelnya disebutkan beberapa hal
yang bisa dilakukan dalam mengaplikasikan toleransi, antara lain: pertama, kita harus dapat
memegang prinsip kalimatun sawa’ (common platform) dimana sebagai seama umat
beragama titik persamaan kita terletak pada kebutuhan kita dalam mencintai tuhan, mencintai
antar sesame makhluk, dan mengakui hati nurani, kedua, meningkatkan dasar pemahan kita
terhadap agam yang lebih intregatif, egaliter, inklusif, dan plural dengan penelitian atau
kajian-kajian Islam, ketiga, melestarikan tradisi musyawarah dan diskusi. Dengan tradisi ini
artinya kita menjunjung toleransi dan mengakui keberagaman pemikiran serta sikap dari
orang lain. Dengan fokus tujuan untuk mencapai kebaikan bersama dan kebenaran. Dalam hal
ini, kebenaran bisa datang dari siapa saja, dengan kita tidak mengedepankan klaim dari
golongan tertentu saja, keempat, jaminan terhadap tepenuhinya lima hak dasar manusia,
yaitu: jaminan keyakinan agama masing-masing, jaminan terhadap keselamatan jiwa,
jaminan pada setiap bentuk pemikiran, baik bersifat intelektual maupun budaya dan seni,
jaminan keselamatan keturunan dan keluarga dengan cerminan akhlak yang kuat, dan kelima,
jaminan harta benda serta hak kepemilikan. Dengan demikian bukan tidak mungkin untuk
menciptakan kehidupan yang aman, nyaman, dan tentram.

Kesimpulan

Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, banyak
sekali manfaat yang dapat kita rasakan, kemudahan akses informasi dan bertukar pesan
dimana saja dan kapan saja sudah menjadi suatu hal yang umum yang dilakukan oleh
masyarakat millennial dalam era modern saat ini. Namun dibalik itu semua, golongan
berpaham radikalis ekstrimis juga tidak mau tinggal diam. Mereka juga mengikuti tren
perkembangan teknologi komunikasi, yang mana media sosial sekarang menjadi lebih rentan
akan propaganda-propaganda terselebung yang diselipkan pada informai-informasi
keagamaan yang tersebar di Internet.

Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat yang hidup dijaman yang serba modern ini, kita
harusnya lebih memperhatikan informasi-informasi yang kita dapatkan, validasi menjadi
diperlukan sebelum menyebarkan ke teman dan keluarga kita. Tak hanya cukup sampai
disitu, rasa toleransi dalam menerima semua keragaman harus selalu diamalkan, agar kita
tidak mudah terpancing provokasi belaka, serta menghindarkan kita dari ego yang terkadang
buta.
DAFTAR PUSTAKA

KBBI Daring. (2021). Retrieved Mei 2021, from https://kbbi.kemdikbud.go.id:


https://kbbi.kemdikbud.go.id

Andang Sunarto, P. (2017). DAMPAK MEDIA SOSIAL TERHADAP PAHAM


RADIKALISME. Nuansa, X, 126-132.

Fuad, A. (2018, April). PEMBELAJARAN TOLERANSI. 561-571.

Laisa, E. (2014, Juni). ISLAM DAN RADIKALISME. Islamuna, 1, 1-18.

M. Nanda Fanindy, S. M. (2021, Februari). Pergeseran Literasi pada Generasi Milenial


Akibat Penyebaran Radikalisme di Media Sosial. Millah: Jurnal Studi Agama, 20,
195-221.

Munip, A. (2012). MENANGKAL RADIKALISME AGAMA DI SEKOLAH. Jurnal


Pendidikan Islam, 1.

Sun Choirul Ummah, M. (2012). AKAR RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA.


Humanika, 112-124.

Anda mungkin juga menyukai