Anda di halaman 1dari 2

NAMA : Muhammad Ihsan Rafly

NIM : 1603619021
Ilmu Keolahragaan
Mata Kuliah : AGAMA ISLAM

Upaya menghadapi Islamofobia di tengah masyarakat


multikultur, dan peran dakwah melalui sosial media dalam
menyebarkam ajaran Islam yang moderat

Phobia dianggap sebagai bentuk khusus ketakutan. Kecemasan dalam phobia dialami apabila
seseorang menghadapi objek atau situasi yang ditakuti atau dalam antisipasi akan menghadapi kondisi
tersebut. Sebagai tanggapannya, orang menunjukkan tingkah laku penghindaran yang merupakan ciri
utama semua phobia (De Clerq, 1994).
Sekelompok ahli hubungan antar ras atau suku bangsa di Inggris mulai membentuk sebuah
komisi khusus dan mempelajari serta menganalisis Islamophobia mulai tahun 1995. Komisi yang
meneliti tentang muslim di Inggris dan Islamophobia melaporkan bahwa Islam dipersepsikan sebagai
sebuah ancaman, baik di dunia maupun secara khusus di Inggris. Islam disebut sebagai pengganti
kekuatan Nazi maupun komunis yang mengandung gambaran tentang invasi dan infiltrasi. Hal ini
mengacu pada ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan berlanjut pada ketakutan serta rasa tidak
suka kepada sebagian besar orang-orang Islam. Kebencian dan rasa tidak suka ini berlangsung di
beberapa negara barat dan sebagian budaya di beberapa negara. Dua puluh tahun terakhir ini rasa tidak
suka tersebut makin ditampakkan, lebih ekstrim dan lebih berbahaya (Runnymede Trust, 1997).
Istilah Islamophobia muncul karena ada fenomena baru yang membutuhkan penamaan.
Prasangka anti muslim berkembang begitu cepat pada beberapa tahun terakhir ini sehingga
membutuhkan kosa kata baru untuk mengidentifikasikan. Penggunaan istilah baru yaitu Islamophobia
tidak akan menimbulkan konflik namun dipercaya akan lebih memainkan peranan dalam usaha untuk
mengoreksi persepsi dan membangun hubungan yang lebih baik (Young European Muslims, 2002).
Islamophobia tidak dapat dipisahkan dari problema prasangka terhadap orang muslim dan
orang yang dipersepsi sebagai muslim. Prasangka anti muslim didasarkan pada sebuah klaim bahwa
Islam adalah agama “inferior” dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai yang dominan pada sebuah
masyarakat (Abdel-Hady, 2004).
Islamophobia memiliki beberapa karakteristik. Untuk memahami karakteristik ini dalam
laporan Runnymede menjelaskan sebuah kunci untuk memahami perbedaan tersebut, yaitu pandangan
yang terbuka dan pandangan yang tertutup terhadap Islam (open and closed views of Islam). Phobia
dan ketakutan terhadap Islam yang terjadi merupakan karakteristik dari pandangan yang tertutup
terhadap Islam (closed views), sementara ketidaksetujuan yang logis dan kritik serta apresiasi maupun
pernghormatan merupakan pandangan yang terbuka terhadap Islam (open views).
Dari beberapa deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa Islamophobia adalah bentuk
ketakutan berupa kecemasan yang dialami seseorang maupun kelompok sosial terhadap Islam dan
orang-orang Muslim yang bersumber dari pandangan yang tertutup tentang Islam serta disertai
prasangka bahwa Islam sebagai agama yang “inferior” tidak pantas untuk berpengaruh terhadap nilai-
nilai yang telah ada di masyarakat.
Di Indonesia, yang memiliki penduduk mayoritas muslim, fenomena terjadinya Islamophobia
menjadi suatu hal yang menarik karena dalam komunitas Islam juga terjadi ketakutan terhadap Islam
tersebut. Budaya Indonesia yang relatif condong pada kolektivitas, interdependensi antar individu, serta
menjaga keharmonisan, umumnya menghindari konflik yang terbuka. Dengan demikian, konflik yang
laten antar kelompok dapat menjadi suatu potensi masalah yang berbahaya, seperti halnya kasus di
Ambon dan Poso. Implikasi lain juga akan muncul pada bidang politik, keamanan, dan kesempatan
kerja. Kilas balik sejarah menggambarkan bahwa ketika Nabi Muhammad datang pertama kali
membawa Islam ketakutan muncul di kalangan orang-orang Quraisy di Mekah. Mereka
mengkhawatirkan akan datangnya suatu kekuatan baru yang akan berkuasa, sehingga orang-orang
Quraisy menentang dan menghalangi penyebaran agama Islam. Peristiwa ini hampir mirip dengan
fenomena Islamophobia ketika terjadi ketakutan bahwa Islam akan menjadi kekuatan nilai baru yang
menggantikan nilai- nilai lama dalam masyarakat. Inti kedatangan Islam adalah menyempurnakan
pendekatan etik (kasih sayang) dengan pendekatan penegakan hukum atau aturan, sehingga hubungan
antar manusia pun ada aturan yang melindungi agar tidak terjadi ketidakadilan.
Sebuah strategi perlu difikirkan dan dirancang ketika muncul fenomena sosial seperti
Islamophobia. Ketika umat Islam memiliki harga diri, memang ia tidak perlu khawatir dengan ketakutan
fihak lain terhadap Islam. Namun umat Islam akan lebih bermartabat bila yang muncul adalah rasa
segan dan hormat karena Islam dipersepsikan membawa manfaat dalam kehidupan insan manusia.
Fenomena Islamophobia dapat disikapi sebagai wujud yang natural dari proses prasangka
dalam sebuah komunitas masyarakat, namun beberapa hal perlu ditindaklanjuti agar prasangka antar
kelompok tersebut tidak makin meruncing dan menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan serta
merugikan bagi suatu komunitas masyarakat. Pemahaman yang benar dan positif, keterbukaan
pandangan serta kejernihan sikap hidup dan kualitas mental dalam menerima keberadaan kelompok lain
akan membantu masing-masing kelompok dalam komunitas masyarakat di dunia ini untuk berkompetisi
secara sehat dan menunjukkan keunggulan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dakwah memiliki tujuan utama untuk mengubah tingkah laku manusia dari tingkah laku negatif
ke tingkah laku positif. Enun Asmaya menyatakan bahwa pencapaian tujuan dakwah ini diperlukan
media dakwah yang dapat menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Kegiatan dakwah menjadi hal yang sangat mendasar dalam Islam. Bagaimana tidak, tanpa
dakwah maka ajaran Islam tidak akan sampai dan dipahami oleh umat manusia. Selain alasan tersebut,
Islam juga senantisa mendorong umatnya untuk berbuat kebaikan sekaligus mengajak orang lain agar
menjadi insan yang baik, berakhlak dan berpengetahuan. Maka sangat relevan jika Islam disebut
sebagai agama dakwah. Dengan demikian, antara Islam dan dakwah merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Islam butuh dakwah agar ajarannya tersampaikan, dan dakwah butuh Islam sebagai
pijakannya.
Kemajuan teknologi dan informasi sangat berpengaruh dalam pola dan gaya hidup masyarakat
sehari-hari. Salah satu pengaruhnya menjadikan seseorang malas untuk keluar rumah karena mereka
merasa sudah mampu menjangkau semuanya. Di sini terdapat celah dakwah bahwa dalam
menyampaikan pesan-pesan agama, juru dakwah tidak harus bertatap muka langsung dengan
masyarakat.
Dakwah dapat disampaikan melalui berbagai cara dan berbagai media. Salah satu di antaranya
adalah melalui media sosial. Di zaman sekarang, media sosial telah menjadi fenomena yang semakin
mengglobal dan mengakar. Seperti diketahui bersama, bahwa aplikasi-aplikasi media sosial sudah
menjadi bagian tidak terpisahkan dari alat komunikasi yang “dibenamkan” di dalam smartphone, tablet,
laptop, dan PC. Kini, dengan semakin luas, cepat dan lebarnya koneksi internet, konsumen semakin
dimudahkan dalam mengakses aplikasi media sosial.
Banyak cara untuk berdakwah. Para da’i menggunakan media sosial sebagai media dakwah
dengan cara aktif berbagi tulisan karya-karya mereka. Para da’i telah menyuguhkan pesan-pesan moral
yang dapat diterima oleh objek dakwah. Pesan da’i di media sisial berbentuk kisah, puisi, kata mutiara
dan essai. Materi dakwah mereka berkaitan tentang akidah, syariah, dan akhlak sebagai dasar hubungan
vertikal dan horisontal. Jika da’i memang terpaksa menggunakan istilah yang sulit dipahami, maka
harus disertai penjelasan-penjelasan agar pembaca tidak salah pengertian. Respon balik atas komentar
pembaca perlu mendapat perhatian lagi, sebab terkadang pertanyaan yang disampaikan muncul karena
ketidakpahaman dari pesan da’i.

Anda mungkin juga menyukai