Anda di halaman 1dari 4

PEMUDA DAN DAKWAH

“Pemuda Hari Ini Adalah Penerus Masa Depan”


Oleh Chubbi Syauqi

Pemuda kini adalah agen penerus bangsa di masa depan. Ia juga sering disebut sebagai
generasi milenial. Ia lahir ketika zaman teknologi dan informasi tumbuh semakin pesat dan
pekat. Teknologi dan informasi menjadi bagian dari kehidupannya yang sulit dipisahkan. Tak
mengherankan bila media komunikasi pada akhirnya merembes pada aspek kognitif, afektif,
serta psikomotorik generasi milenial. Oleh sebab itu, generasi milenial memiliki ketergantungan
yang begitu pekat terhadap teknologi.

Di era globalisasi ini, generasi milenial diterpa tantangan yang kian kompleks. Dalam
mengarungi arus global, pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mempunyai ilmu dan
ketakwaan. Hal ini senada dengan ucapan Imam Syafii, “Jika ada pemuda yang tidak
memanfaatkan masa mudanya dengan baik, ia serupa pemuda yang tiada arti.” Eksistensi dari
seorang pemuda ialah dengan ilmu dan ketakwaan. Seandainya tidak ada keduanya, maka ia
bagaikan tiada jati diri.

Membincang generasi milenial seolah tiada habisnya. Mereka memiliki karakter unik
yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Sehingga dalam menghadapi mereka perlu memakai
strategi tersendiri. Salah satu buku yang mengulas tentang wajah Islam generasi milenial yakni
buku Muslim Milenial: Catatan dan Kisah Wow Generasi Milenial (2018). Karya bunga rampai
itu membahas seluk-beluk keislaman generasi milenial mulai dari social media, gaya hidup,
dakwah hingga isu perdamaian, fenomena mengaji online, hingga fashion muslimah.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa generasi milenial merupakan kelompok yang


rentan terhadap ajaran ekstremisme kekerasan. Mode gerak dari kaum ekstremis kerapkali
berlindung di balik agama, bahkan menyelinap dalam media sosial guna mendistribusikan
ajarannya. Kelompok ekstrem begitu memahami peluang ajarannya dapat diterima oleh generasi
milenial dengan medium media sosial. Akibatnya, ajaran dan paham ekstremisme begitu
menjamur di media sosial. Tentu kita dapat rasakan, imbas dari menjamurnya paham ekstrem
adalah banyak muncul ujaran kebencian, saling mengkafirkan dan saling menyalahkan.
Berkaca pada kehidupan pemuda Islam saat ini, ada dua nilai Islam yang mulai hilang.
Pertama, nilai pemahaman pemuda Islam pada konsep Islam. Yang kedua adalah memudarnya
nilai penerapan dan nilai-nilai yang diwariskan oleh pemuda Islam. Pemudaran nilai konsep
pemahaman Islam antara lain berkenaan dengan pemahaman teks-teks Islam berupa Al-Qur’an,
hadis Nabi, kitab-kitab klasik, serta penguasaan bahasa Arab yang lazim digunakan pada literatur
Islam sekaligus amaliyah sehari-hari, dan ditambah lagi menjamurnya konten-konten
pembelajaran Islam instan yang digawangi oleh kelompok-kelompok tak bertanggung jawab.

Tiga hal ini menjadi inti sengkarut atas hilangnya konsep pemahaman Islam yang rawan
menyeret Islam ke gerbang kehancuran. Sedangkan dalam penerapan nilai-nilai Islam,
ketidaksesuaian praktik ajaran Islam dalam realitas kehidupan menjadi masalah-masalah yang
masif terjadi saat ini. Sebagaimana yang dapat kita saksikan, mengenai menjamurnya konten-
konten yang diproduksi oleh pihak tak bertanggung jawab menelurkan pemuda Islam yang
berideologi ekstrem. Hal ini didukung oleh banyak survei yang mengungkapkan bahwa narasi-
narasi ekstremisme banyak menyasar kalangan milenial.

Kita tahu, di media sosial, tensi narasi tentang agama cenderung naik. Banyaknya konten
kajian keislaman telah menjadi tren yang menghiasi media sosial. Kendati demikian, tren
keagamaan di media sosial lebih tampak pada penyebaran isu-isu keagamaan ketimbang pesan
agama. Imbasnya, banyak pemuda yang terpapar oleh virus islamisme. Virus islamisme ini
sebagaimana yang diungkapkan Bassam Tibi dalam bukunya Islam dan Islamisme (Mizan,
2016). Menurut dia, Islam secara eksplisit berupaya memperluas ajarannya ke seluruh dunia.
Sedangkan islamisme berupaya mengubah universalisme Islam menjadi internasionalisme
politik. Kelompok ekstrem berkeinginan mengubah tatanan bentuk negara-negara berdaulat
dengan satu komando Islam berupa khilafah. Islamisme menawarkan ummah bentukan (invented
ummah). Dalam pandangan Bassam Tibi, Ummah islamisme tidak memberi tempat pada Islam
tradisional yang beriman, melainkan hanya sebuah gerakan politik yang mendukung
pemberlakuan hukum syariat (Tibi, 2016: 44).

Dalam upaya menghalau gerakan islamisme yang begitu santer akhir-akhir ini, upaya
yang dilakukan yakni dengan mendakwahkan Islam wasathiyah. Kata dakwah secara etimologi
terambil dari bahasa Arab da’a, yad’u, da’watan yang memiliki arti menyeru, memanggil,
mengajak. Sedangkan istilah lain dakwah juga bisa disebut dengan kata tabsyir yang memiliki
arti gembira (Fajar, 2002: 25).

Risalah dakwah Islam yakni berupa damai, santun, dan indah. Berkaitan dengan tugas
dakwah, sejatinya setiap muslim wajib berdakwah. Berkaitan dengan hal ini perlu kiranya kita
renungkan sabda Rasulullah SAW, “Sebarkanlah ilmu yang aku sampaikan, walaupun hanya
satu ayat.” Ini hadis yang terkenal namun tak banyak yang mampu mengamalkan. Kendati
demikian, alasan yang kerap digunakan untuk melegitimasi seseorang untuk enggan berdakwah
adalah tidak adanya kapasitas dan kesiapan. Sebagian orang menghindar dari aktivitas ini dengan
alasan tersebut. Alih-alih alasan seperti ini nampak sebagai sebuah kebenaran. Namun, semua itu
tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan dakwah. Hal yang perlu disadari oleh kita ,
bahwa dakwah tidak harus melalui mimbar-mimbar pengajian, dan bergelar ustadz maupun kiai.

Aktivitas mengajak teman untuk ke masjid juga bernilai dakwah. Terlebih di era 4.0 ini,
kita dapat memakai berbagai sarana untuk berdakwah. Karena itu, kita sebagai generasi muda
yang di pundak terpikul harapan-harapan penerus bangsa, harus bisa bersinergi dan mengisi
dakwah Islam yang santun, damai, penuh persaudaraan dan moderat. Dalam strategi dakwahnya,
milenial perlu mengenal istilah pribumisasi Islam yang dulu dicanangkan oleh Gus Dur.
Pribumisasi secara konsep yakni meleburkan Islam ke kebudayaan. Namun, dalam praktiknya
tidak mesti melulu dengan kearifan lokal daerah melainkan kearifan lokal zaman serta
pergerakan zaman. Konsep pribumisasi yang sesuai dengan situasi saat ini yakni melalui
teknologi. Melalui medium teknologi, kita dapat melakukan dakwah di ranah media sosial yang
selama ini menjadi lahan gerakan konservatisme maupun ekstremisme.

Melalui media sosial kita dapat membuat konten positif sebanyak-banyaknya. Dalam
konten tersebut kita dapat menampilkan misalnya tentang kebanggaan menjadi muslim
Indonesia. Ceritakanlah keanekaragaman yang ada di negeri ini yang sangat kaya. Perbedaan
merupakan sunnatullah alias keniscayaan.
Selama ini konten yang disukai oleh masyarakat adalah narasi-narasi yang berbau
perdebatan, kontroversi yang menelurkan makhluk bernama bullying. Miris melihat semakin
banyaknya konten-konten video yang merusak persatuan bangsa dan ukhuwah Islamiyah juga
banyak menjangkiti para pemuda. Lalu bagaimana masa depan pemuda Islam di Indonesia?

Dalam pada itu, saya teringat akan sebuah ungkapan mahfudhat yang sering diajarkan di
pesantren yakni, Syubbanul Yaum, Rijaalul Ghod (pemuda saat ini adalah pemimpin di masa
depan). Jika generasi muda baik, maka akan memberikan dampak yang baik pada agama, negara
dan bangsa. Dari hasil telaah di atas, digambarkan jelas betapa signifikansi peran pemuda dalam
berdakwah sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam hal sengkarutnya wajah Islam yang
banyak diwarnai oleh kaum ekstremisme, pemuda dapat menangkalnya dengan metodologi
pribumisasi teknologi yakni meleburkan Islam ke teknologi sebagai medan dakwah pemuda.

Anda mungkin juga menyukai