Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Tugas Resume AIK


Muhammadiyah sebagai Islam Berkemajuan
Dosen Rohmat Suprapto., S.Ag.MSI

Disusun oleh :
Vinolia Aini Eka M. (G2A222039)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2022/2023
1. Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan
Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) telah menyelanggarakan Muktamar dalam
waktu yang berdekatan, pada minggu pertama Agustus 2015. Tema yang di angkat sekilas
mirip Muhammadiyah “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan” dan NU
“Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Meski terlihat
bersinggungan, namun “Islam Berkemajuan” dan “Islam Nusantara” adalah respon yang
berbeda terhadap fenoma yang sama , yaitu globalisasi, terutama globalisasi kebudayaan, baik
dalam bentuk Arabisasi atau Westernisasi.
Globalisasi sering di pahami sebagai proses penyatuan dunia di mana waktu, jarak dan
tempat bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini terkait satu
sama lain. Ada 4 pergerakan utama dalam globalisasi yaitu barang dan layanan, informasi,
orangg dan modal. Perpindahan 4 hal tersebutdari satu Negara ke Negara lain memang telah
terjadi sejak dahulu kala. Namun perpidahan terjadi sangat cepathanya terjadi setelah revolusi
dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi pada beberapa decade balakangan ini. Akibat
dari revolusi itu dimensi jarak dan waktu semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang.
Dalam konteks Indonesia, globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses
informasi dari luar atau pun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global.
Ketika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhiafahan di bawah
Abu Bakar al-Baghdadi, kita di kejutkan dengan ada sejulah orang Indonesia yang bergabung
dengan mereka di Timur Tengah dan sebagian dari mereka merekrut amggota di Indonesia
serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ketika konflik Sunni dan
Syiah terjadi Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia dengan munculnyagerakan anti-
Syiah seperti dalam bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS).
Globalisasi juga menyebabkan Transnational Capitalist Network (TNC) masuk dalam
kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan yang mestiny diperuntukkan untuk
kesejahteraan rakyat. Bekerja sama dengan “komprador” para kapitalis global itumenciptakan
jurang yang begitu lebar antar mereka yang kaya atau miskin seperti terjadi di daerah
penambangan Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini yang
kuat akan mendominasi yang lemah. Maka dari itu dalam globalisasi budaya, salah satu
dampaknya homogenisasi. Ini misalnya terwujudnya dalam bentuk McWorld atau
McDonalsization. Contoh lainnya adalah memandang Islam secara homogen dengan
mengindentikkanya dengan Arab dan Arabisasi.
Islam Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respon balik
atauresistensi terhadaphomogenisasi ini di antaranya dalam bentuk indigenization. Islam
Nusantara di populerkan anak – anak NU dan menjadi tema Muktamar NU ke 33 di Jombang
pada 1-5 Agustus 2015 adalah satu bentuk respons terhadap globalisasi dengan melakukan
indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering di pakai untuk mengacu pada Islam ala
Indonesia yang autentik, langgamnya Nusantara tapi isi dan liriknya Islam, bajunya Indonesia
tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitam dengan gagasan “pribumisasi Islam”
yang pernah dipopulerkan almarhum K.H. Abdurrahman Wahid. Penggunaan resmi nama ini
di antaranya dalam jurnal Tashwirul Afkar Edisi No. 26 tahun 2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut sebagai
“paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH. Erikson (2007, 14), “Semakin orang mengglobal,
sering kali dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya asalnya”. Dalam kalimat
unik ilmuwan lain, “Ketika dunia semakin global, perbedaan – perbedaan kecil antara umat
manusia semakin ditonjolkan”. (Ang, 2014)
Dalam merespon terhadap globalisasi, terutama yang datang dari Barat, beberapa
kelompok agama jurstru mencari perlindungan dalam homogenitas dan eksklusivitas
kelompoknya. Seperti kedamaian itu bisa terjadi menolak keragaman atau sesuatu yang asing.
Di tengah globalisasi, banyak orang yang mencoba menutup diri dan menghalangi orang yang
berbeda yang hadir di tengah masyarakat. Fenomena kemunculan perumahan atau kluster
perumahan ekslusif untuk komunitas agama tertentu misal Kuburan/ pemakaman dan rumah
kos pun kadang dibuat untuk pengikut agama tertentu. Respon terhadap globalisasi yang lebih
buruk lagi tentu seperti dalam bentuk radikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa
menjadi respon yang baik terhadaptl globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokialisme dan
sektarianisme.
Islam Berkemajuan
Respon lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan
“Islam Berkemajuan”. Sebelum 2009, slogan ini jarang terdengar, bahkan di kalangan
Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam,
dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan dalan Catatan
Pribadi Kiai Syuja (2009). Buku yang ditulis murid langsung Kiai Dahlan ini di antaranya
menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah.
Istilah yang di pakai Muhammadiyah awal menyebut dirinya adalah “Islam
Berkemajuan”. Pada Muktamar di Yogyakarta 2010, istilah ini dipakai dan dipolerkan untuk
mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya dengan globalisasi,
Islam Berkemajuan itu sering dikenal sebagai “Islam Kosmopolitan”, yakni kesadaran
bahawa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga duni yang memiliki “rasa solidaritas
kemanusiaan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada sesama manusia tanpa
memandang perbedaan dan pemisah jarak yang bersifat primordial dan konvensional”.
(Tanfiz Muhammdiyah 2010,18)
Ringkasnya kelahiran dari slogan “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”
memliki kemiripan dengan yang terjadi pada 1920 – an. Ketika itu sebagai respon terhadap
berbagai peristiwa di Arab dan Turki (Comite Chilafat dan Comite Hijaz), lahirlah NU.
Sementara Muhammadiyah lahir sebagai reaksi terhadap penjajahan, misi Kristen, pemikiran
Abduh, dan budaya Jawa. Bias dikatakan bahawa apa yang terjadi saat ini adalah ancaman
dejavu.
2. Minority Complex dan Sekretarianisme di Tubuh Umat Islam Manusia
Beberapa kajian telah di lakukan untuk melihat mengapa umat Islam sepertinya selalu
kalah di Indonesia. Salah satu temuan dari kajian itu semisalnya menyebutkan bahwa umat
Islam Indonesia itu merupakan mayoritas dalam jumlah, tapi memiliki mentalitas sebagai
minoritas . istilah yang sering di pakai adalah minority complex. Penyakit minority complex
ini tentu biasanya di alami oleh kelompok minoritas. Ini terwujud misalnya ketika mereka
melihat sesuatu yang unique yang ada pada mereka sebagai suatu penyimpangan dan
keanehan. Mereka terlihat uniqueness sebagai kelemahan atau bahkan sebagai problem atau
masalah. Namun minority complex bias terjadi pada kelompok mayoritas seperti terjadi pada
umat Islam Indonesia yang secara kuantitas mencapai hamper 90 persen dari total
penduduknya. Penyakit inilah yang di antaranya menyebabkan sevagian umat Islam selalu
berpikir tentang ancaman dari kelompok minoritas, hidup dalam bayang – bayang ketakutan,
dan sulit berfikir sebagai bangsa atau umat yang besar. Orang yang menderita minority
complex ini biasanya akan merasa perlu bantuan kekuasaan untuk bisa memperoleh tanpa
melalui bantuan kekuasaan.
Fenomena ini juga bisa diliat dengan kajian postkolonialisme, bahwa mentalitas atau
minority complex sebagai warisan dari colonial. Dalam persektif ini apa yang terjadi di
Indonesia biasa dijelaskan dengan melihat fenomena beberapa Negara bekas jajahan negara
lain. Meski penjajah teah meninggalkan negera jajahannya, sixfat dan mentalitas sebagai
bangsa jajahan masih melekat pada sebagian rakyat dan kebetulan mereka yang menjadi
penguasa juga ingin berperilaku seperti penjajah.
Adakah persoalan lain yang membuat kita ketinggalan selain isu minority complex?
Temtu ada di antaranya adalah ketidakmampuan kita berfikir luas, keluar dari bingkai
kelompok agama. Kasus yang terjadi di Mesir dan Tunisia menunjukkan bahwa ketika umat
Islam mendapat kesempatan memimpin atau mendapat kekuasaan, maka yang pertama kali
diurus atau diperhatikan sering kali adalah urusan kelompok agama saja. Pasca Arab Spiring,
Ikhwanul Muslimin memengkan pemilu di Mesir dengan mendapat suara terbanyak dan
kemudian Mohamed Morsi terpilih Presiden. Namun baru 1 tahun memimpin banyak rakyat
Mesir yang merasa dikecewakan. Rasa kecewa itu kemudian member kesempatan kepada
militer untuk melakukan kudeta dengan menggunakan kekuatan rakyat. Demikian pula halnya
yang terjadi di Tunisia dengan Partai Ennahda. Nasibnya memnag tak seburuk Ikhwan
Muslimin di Mesir. Partai ini juga lebih terbuka terhadap perbedaan dan pluralitas di
masyarakat dengan berusaha merangkul beragam kelompok dan menjembatani berbagai
perbedaan. Bahkan banyak yang melihat partai ini jauh lebih baik dari AKP (Adalaet ve
Kalkinma Partisi) di Turki. Namun pemerintahan transisi yang di pimpin oleh Moncef
Marzuki dari Ennahda Party, akhirnya kalam dalam pemilu yang diadakan tiga tahun setelah
Arab Spiring. Mereka dianggap tak bias melakukan harapan berbegai kelompok kepentingan
dimasyarakat.
Untuk di Indonesia, hal serupa terjadi dengan partai – partai Islam seperti PKS (Partai
Keadilan Sejahtera). Ketika orang dari partai ini mendapatkan mandate menjadi menteri di
kementerian tertentu, isu yang berkembang adalah bahwa kementerian itu hanya menjadi sapi
perahan. Penjabat dan staff di kementrian itu diganti dengan partai atai di – PKS – kan. Benar
atau tidaknya isu ini tentu masih perlu dibuktikan. Tapi mencuatnya “skandal sapi”
menunjukkan bahwa apa yang selama ini di tuduhkan kepada PKS mendapat semacam
pembenaran. Tentu saja tidak hanya terjadi di PKS, tapi juga partai – partai lain yang
berbasiskan Islam semisal PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat
Nasional). Jika itu terjadi pada partai yang tak membawa label agama, maka ada sedikit
maklum meski tetap saja tak bisa diterima. Namun jika itu terjadi pada partai yang membawa
bendera Islam, maka sepertinya dosanya lebih besar.
Cara berpikir sektarian hanya untuk partai atau kelompok agamanya, ini diantaranya
yang membuat Islam kalah atau orang tak percaya dengan partai Islam lagi. Umat Islam ini
masih sulit berfikir atau berjuang dengan melepaskan belenggu kelompok. Meminjam bahasa
Buya Ahmad Syafii Maarif, mestinya kita sudah membalikkan cara berpikir kita “ke
muhammadiyahan, keindonesiaan, dan kemanusiaan” menuju “kemanusiaan, kebangsaan, dan
ke – Muhammadiyahan”. Namun yang terjadi tetap pada pola yang pertama. Ringkasnya
paling tidak ada dua persoalan yang sering membuat umat Islam kalah, pertama adalah
“minority complex” dan yang kedua adalah cara berfikir sektarian atau kekelompokan.

3. Puritan, Salafis, Progresif di Muhammadiyah


Secara umum terjadi pergeseran pola keberagaman di Indonesia antara awal abad ke –
20 dan awal abad ke – 21, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah adalah kolonialisme,
animisme, mistik dan hukum adat. Tantangan saat ini adalah Westernisasi, aliran – aliran
keberagaman ekstrem, dan global atau transnasional Islam. Beragama tantangan itulah di
antaranya yang membentuk pola keberagaman di Muhammadiyah. Proses yang disebut
Arabisasi adalah satu contoh respon terhadap beragam tantangan yang muncul belakangan ini.
Muhammadiyah sebagai Islam Moderat?
Selama ini pengamat dan juga sebagian warga Muhammadiyah sering memasukkan
organisasi ini dalam kategori “Islam Moderat”. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apa
maksa moderat disini? Sebagai “konsep relasi” istilah “Islam Moderat” memiliki dua sifat,
afirmatif dan negative. Sifat pertama mengindetifikasikan adanya dua peradaban yang
berbeda, Islam dan Barat. Menjadi moderat dalm konteks ini berarti tetap menjadi Muslim
sejati dan pada satt bersamaan mengadopsi nilai dan ide dari Barat. Masuk dalam kategori
afirmatif adanya anggapan tentang dua jaman, dulu dan sekarang. Bersikap moderat berrati
menjaga sikap baik dari Islam jaman dulu (di Arab dan Indonesia) dan mengadopsi nilai baru
yang lebih baik. Sementara sifat kedua dari moderat mengindikasi penolakan terhadap dua
ekstrim, liberal dan radikal. Seorang Muslim moderat bukanlah teroris.
Penggunaan sebutan Muslim moderat untuk Muhammadiyah sebetulnya sangat
problematik. Istilah ini sebetulnya lebih kental dengan aroma politik, daripada pendasaran
yang bersifat teologis dan sosiclogis. Istilah ini dipopulerkan oleh George W. Bush dan Paul
Wolfowit: dalam rangka waronterror. Mereka yang berpihak kepada Bush akan disebut Islam
Moderat, sementara lawannya dianggap teroris. Istilah inijuga memperkokoh pandangan
tentang clashofcivilization antara Islam dan Barat yang didengungkan oleh Samuel
Huntington, Islam adalah oposisi biner dari Barat.
Dengan menghindari penggunaan istilah Muslim moderat yang kontroversial itu, saya
menawarkan penggunaan kategori baru dalam membaca Muhammadiyah yang lebih
berdasarkan pendekatan teologis, yaitu: puritan, salafis, dan progresif. Meski secara
sosiologis Muhammadiyah sering disebut Islam Modernis, klasifikasi baru ini akan
menghindarkan esensialisasi organisasi ini dalam satu jenis keberagamaan tertentu dalam hal
teologi dengan melupakan adanya dinamika internal ketika berhadapan dengan tantangan
eksternal,
Puritan, Salafis, dan Progresif
Orang puritan di Muhammadiyah memiliki model keberagamaan yang unik. Mereka
adalah orang yang konservatif dalam hal beragama, namun orientasinya bersifat duniawi.
Meminjam istilah Max Weber, orang puritan menekankan pada worldlyasceticism.
Keberhasilan dalam beragama itu diukur dari seberapa banyak kita beramal sosial:
membangun sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit. Keselamatan (salvation) bagi kelompok
lebih terletak pada aktivitas sosial daripada keimanan.
Dalam hal keberagamaan, kelompok puritan beranggapan bahwa perempuan harus
aktif di publik, tapi tempat mereka harus dipisahkan dari laki-laki. Jilbab bagi perempuan
bukanlah sesuatu yang wajib tapi dianjurkan oleh agama. Negara Islam dan syariat Islam
bukanlah Sesuatu yang perlu diperjuangkan ketika umat Islam tak mendapat halangan apa
pun dari negara ketika menjalankan ajaran agama.
Kelompok kedua adalah salafis. Mereka sangat peduli terhadap kode dan ritual
keberagamaan, Orientasi keberagamaan kelompok ini adalah otherworldiy atau semata - mata
akhirat dan keselamatan itu terletak lebih pada keimanan (faith) daripada aktivitas sosial.
Orang salafis tidak tertarik perdebatan teologis, karena bagi mereka terlalu banyak
intelektualisme justru mengacaukan keimanan. Orang Salafi percaya bahwa tempat ideal
perempuan adalah di rumah. Kalau terpaksa mereka harus ke luar rumah, seperti sekolah,
maka perempuan harus dipisahkan dag laki laki, Konsekuensi lain dari pandangan ini, hukum
pemakaian jilbab, adalah wajib, Bagi kelompok Ini, gagasan tentang pelaksanaan syaria,
Islam harus didukung dan negara Islam akan lebih baik daripada sistem secular
Berhadapan dengan salafi adalah kalangan progresif yang percaya terhadap
kompatibilitas Islam dengan Barat dan berusaha mengadopsi nilai dan ilmu dari Barat.
Kelompok ini sangat peduli dengan teologi dan menjadikan Intelektualisme sebagai jalan
pembebasan dan keselamatan. Mereka adalah penentang terhadap penerapan syariat Islam,
penganjur agar perempuan aktif di publik dengan tanpa ada pemisahan dari laki-laki,
menganggap jilbab sebagai bagian dari budaya Arab yang tidak wajib ditiru, dan percaya
bahwa pemerintahan sekular adalah sistem terbaik bagi umat Islam.
Dinamika Internal
Istilah "Islam Modernis' bagi Muhammadiyah dengan mendasarkan pada pendekatan
sosiologis mungkin akhir-akhir ini kurang begitu tajam. NU yang dulu dianggap tradisionalis
bergerak cepat mengeyar keter tinggalannya. Menyebut Muhammadiyah sebagai “Islam
Moderat' akan membawa organisasi ini dalam ranah kepentingan politik global. Maka
barangkali yang lebih pas, Muhammadiyah sedang mengalami dinamika internal untuk
mendefinisikan dirinya tiga model keberagamaan di atas sedang kan identitas teologis
organisasi ini. kat dari sinilah kita bisa mem dalam beragam aspek kehidupan
4. For Culture and Humanity atau For Morality and Humanity
Banyak orang yang telah berjasa bagi keberadaan maarif institute selama satu decade,
yaitu Buya Ahmad Safii Maarif dan Kang Moeslim Abdurrahman. Untuk Buya Safii, selain
Namanya dipakai untuk nama institusi, yang lebih lagi adalah visi perjuangannya yang
dipakai untuk moto dari Maarif institute, yaitu “For Culture and Humanity”. Akan tetapi
motto ini agak terlalu lebar dan umum untuk menggambarkan visi hidup dan perjuangan buya
syafii. Motto yang lebih pas bagi Maarif institute sepertinya bukan ‘For Culture and
Humanity, tapi ‘For Morality and Humanity’. Motto tersebut adalah dua kata kunci untuk
membaca dab mempelajari sosok Ahmad Syafii Maarif. Moralitas yang menjadi perhatian
Buya Safii dapat dikategorikan tiga kelompok : 1) moralitas bernegara, 2) Moralitas dalam
pergaulan antar umat beragama atau antar umat yang memiliki keyakinan dan identitas
berbeda, dan 3) Moralitas dalam pergauilan yang memiliki agama dan keyakinan yang sama.
Untuk moralitas bernegara, Buya syafii kritis terhadap ketimpangan moralitas para
pengusaha yaitu seperti budaya korupsi dan perlombaan untuk hidup mewah bagi sebagaian
pejabat. Budaya korupsi ini memiliki visi yang pendek, tidak melihat jauh kedepan dan
membawa bangsa ini kearah yang jelas.
Untuk moralitas antar agama, Buya Syafii menekankan visi agama adalah untuk
rahmatan lil’alamin. Prinsip moral dalam pergaulan dengan orang yang berbeda agama yaitu
saling menyayangi dan belomba dalam kebaikan. Buya Syafii menganggap non muslim yang
berjuang demi keadilan dan kemanusiaan lebih sebagai saudara daripada sesama muslim yang
menindas umat manusia.
Untuk moralitas sesama muslim, Buya Safii menekankan prinsip ukhuwah dan
tawaduk dalam bergaul antar sesama umat islam bahwa masing-masing kelompok tidak boleh
dengan mudah menuduh umat islam lain sebagai kafir, murtad, dan musyrik. Bagi Buya
Syafii moralitas bukan semata persoalan cara berpakaian dan pornografi, akan tetapi moral
yang lebih besar, yaitu bagaimana hidup bernegara, beragama dan masyarakat.
Untuk prinsip ‘humanity’, Buya Syafii tidak memaknai humanity dalam kontek charity, akan
tetapi lebih sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial.Buya Syafii
juga menjelaskan perbedaan antara tauhid dan politeisme terletak pada persoalan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tauhid harus dibuktikan sebagai alat perlawanan
terhadap eksploitasi. Semua tindakan buruk bagi Buya Syafii adalah wujud dari kemusyrikan
kepada Tuhan.
Sedangkan, Kang Moeslim Ketika memimpin Maarif Institute lebih ditekankan pada
upaya mengejawantahkan prinsip ‘humanity. Namun terdapat perbedaan pola Buya Syafii dan
Kang Moeslim dalam mengimplementasikan prinsip ‘humanity’ atau ‘al-Ma’un. Kang
Moeslim cenderung ke arah Marxist dan menerapkan strategi LSM dalam melawan
penindasan. Untuk melawanya Kang Moeslim perlu membentuk jaringan, menciptakan
discourse, dan mencoba mengubah atau menguasai struktur. Itulah salah satu alasan
mendirikan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) pada tahun 2003.Peran Buya
Syafii pada proyek ini yang diharapkan Kang Moeslim adalah sebagai teolog dan ideologi al-
Ma’un karena beliau pemikir dan ulama daripada sebagai orang lapangan.
Jika dilihat dari kontek sejarah yang direncanakan oleh Buya Syafii dan Kang
Moeslim adalah suatu strategi baru dalam penerjemah dan pengalaman al-Ma’un. Terdapat
dua pola penerapan al-Ma’un dalam sejarah Muhammadiyah yaitu gaya Ahmad Dahlan yang
mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, sedangkan yang kedua adalah pola yang
diterapkan oleh Mukti Ali dengan masuk ke pemerintah dan bergabung dengan proyek
developmentalism atau pembangunan pada tahun 1970-an. Dalam kedua pola ini
pemberantasan kemiskinan dilakukanya dengan proyek KB (Keluarga Berencana) dan
memaknai agama yang bisa mendukung perkembangan ekonomi. Berbeda dari kedua pola
tersebut, yang dilakukan Kang Moeslim kepada mereka yang terpinggirkan secara sosial atau
people of subordination dengan tiga metode tersebut.
5. Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Din
Syamsuddin pada 17 Juli 2005 memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun dalam
susunan kepengurusan periode 2005- 2010. Kondisi tersebut bagi Muhammadiyah merupakan
satu kemunduran besar. Keputusan tersebut hanya menjadi potret mini dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) 3 – 8 2005. Selama
berlangsungnya muktamar resistensi warga Muhammadiyah baik tingkat pusat maupun
daerah terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah. M Abduh Hisyam dari 35 PDM
(Pimpinan Daerah Muhammadiyah ). Hanya 8 PDM yang mengikutsertakan perempuan
dalam Muktamar di Malang. Organisasi Islam Modernis mewajibkan untuk mengikutsertakan
satu orang perempuan sebagai peserta mukhtamar, ini merupakan cerminan keenggaan kaum
bapak dimuhamadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih nyata
ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010, tak ada
satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno, mantan Ketua Umum
Asytyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) yang sekarang kembali terpilih untuk
memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia menempati urutan ke 40 dan hanya
berselisih satu suara dari Prol Syafri Sairin dari Yogyakarta yang menempati urutan ke-39.
Terpentalnya nama Chamamah ini, mungkin, merupakan konsekuensi logis dari minimnya
utusan perempuan dalam Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam
Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus untuk
berpartisipasi dalam Muktamar, Namun, yang paling menarik bagi saya bukanlah jumlah
perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang menjadi perwakilan dari
PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang diambil oleh orang-orang
Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa kepemimpinan
Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah satu
pimpinan Muhammadiyah dibuka Jebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota khusus jika
ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13 pimpinan eksekutif
organisasi terbesar kedua di Indonesia ini, Sayangnya, dalam sidang di Komisi C (AD/ART
Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan perempuan menjadi salah satu pimpinan
Muhammadiyah periode mendatang mendapat penolakan sangat keras dari para peserta
sidang. Bahkan dalam sidang pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini
diberi kuota untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya
mereka akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan
tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki
dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Seusai
sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang juga rektor UIN (Universitas Islam
Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan - keputusan Muhammadiyah pada tahun
1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada perempuan untuk menduduki jabatan
ketua. Amin Abdullah melanjutkan bahwa dirinya bahkan sudah menunjukkan buku hasil
Muktamar tahun - tahun lampau itu kepada orang-orang yang menentang perempuan menjadi
ketua, Namun, tetap saja pandangan mereka tak berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus. Kasus
lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap para perempuan yang
mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,” teror kata-kata atau
ungkap. an tidak sopan sering kali muncul ketika seorang perempuan mencoba
menyampaikan pandangannya dalam beberapa sidang pleno. Memang, banyak diduga bahwa
orang-orang yang tidak santun itu adalah para nyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan
menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah. Namun, dugaan ini agak sulit dibuktikan
karena keanggotaan organisasi ini sangat lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari
dua organisasi kemasyarakatan, menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis organisasi
garis keras.

Akar-Akar Ketimpangan Gender

Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhamdiyah (PM)


dan Nasyiatul Aisyiyah (NA)—juga antara Pemuda Ansor Fatayat NU—adalah bagian dari
segregasi laki-laki dan perempuan mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Pembedaan anisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-laki
dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam mestik dan pendidikan, sementara
laki-laki memiliki kawasan luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar ijak
dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality, bahwa wilayah laki-
laki dan perempuan tidaklah sama hal dan karena itu harus dipisahkan. Segregasi organisasi
ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.

Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya perempuan tidak hanya mengurus
perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling jika
landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran  keaetaraan gender.
Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki masuk dalam organisasi perempuan dan
sebaliknya perempuan masuk dalam organisasi laki laki.

Bagi kelompak konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai


Sisterorganization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan penolakan
mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Mereka
berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka langkah
pertama yang harus mereka ambil adalah membubarkan dulu organisea Aisyiah-nya, baru
setelah itu bersama-sama berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.

Kekalahan Kubu Liberal


Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian
tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis ini.
Kekalahan ini akan semakin komplet jka nanti Muhammadiyah betul-betul mendukung
penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan perempuan untuk
duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah akan sangat mungkin menjadi
terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak terjadi dalam kasus penerapan syariat
Islam, perempuan lebih 'ering menjadi korban daripada mendapatkan manfaat dari gerakan
ini.

Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan
suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomena Muktamar ini benar-benar
menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Selain masalah
perempuan. Muktakar kali ini juga melahirkan keputusan-keputusan yang berseberangan
dengan gagasan liberalisme.

Komisi A (umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majelis Tarjih yang ketika
dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan katakata “dan Pengembangan Pemikiran
Islam” pun kini digugat. Tambahan empat kata tersebut dituntut untuk dibuang. Selanjutnya,
Majeli, dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majelis Tarjih" saja. ma dengan itu,
Komisi D juga memunculkan gejala-gejala peman terhadap gagasan-gagasan liberalisme.
Salah satu peserta di komisi menginginkan agar Pimpinan Pusat Muhammadiyahmembu
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (YIMM), atau paling ti menghilangkan huruf “M”
(Muhammadiyah) dari namanya.

Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagu neraka bagi kaum
konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orang-orang
garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs (profesor dari
Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini, Muhammadiyah
sepertinya akan mengalami the real split. Kini, para pengamat dan peneliti tentang Indonesia
harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa
dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk
menilai nasib Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun, setidaknya fenomena Muktamar
ke-45 bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah.
Wallahua'lam.

6. Muhammadiyah Perlu Ijtihad Baru


Satu abad perjalanan Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan serius.
Bukan lagi persoalan takhayul, bid'ah dan churafat (baca: TBC) sebagai lawan utama dakwah
ke depan, melainkan kejuMudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi dua problem besar
yang Menyumbat gerak laju Persyarikatan. Upaya menggagas ijtihad gerakan adalah Satu dari
sekian wacana yang muncul dalam Kongres Penelitian al mengenai Muhammadiyah
(International ResearchCongMuhammadiyah/IRCM) di Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) 9 November - 2 Desember 2012. Kongres yang dihadiri 40 peneliti dari nasional
maupun internasional ini mengupas tuntas kontestasi Persyarikatan selama satu abad berlalu.
Kongres juga memberikan gagasan-gagasan yang mencerdaskan sebagai modal melewati 100
tahun mendatang. Dari itu, berbagai autokritik bermunculan di antaranya mengenai jumlah
keanggotaan yang tidak jelas, cara pandang konservatif yang dilestarikan, dan sejumlah
alasan kenapa para peneliti asing tidak lagi tertarik meneliti Muhammadiyah.
Pada penyelenggaraan IRCM, ada beberapa masukan baru bagi Muhammadiyah.
Banyak hal baru yang ditemukan dalam IRCM, misalnya apa yang disampaikan M. Amin
Abdullah dalam refleksinya. Amin Abdullah menekankan supaya Muhammadiyah melakukan
ijtihad yang benar-benar baru, bukan sekadar recycling ijtihad seperti yang selama ini
diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya menemukan satu bentuk identitas dan wawasan
baru sebagai modal melangkah 100 tahun ke depan. Selain itu juga ditemukan fakta yang
mengagetkan dari data survei yang disodorkan beberapa panelis seperti Robin Bush, Hattori
Mina (Nagoya University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural UniverSity, Jepang).
Mereka menunjukkan bahwa jumiah keanggotaan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama
(NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta seperti selama ini dipahami. Umumnya orang
mengatakan, jika NU mengklaim punya 40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta. Kalau
NU beranggotakan 30 juta, maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata, warga Muhammadiyah
tidak ada separuhnya warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen dari jumlah keseluruhan
warga Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9 persen.

Pertanyaannya, apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu Menurut
data survei yang dipaparkan Hattori Mina dan Ken Miichi, malah jumlahnya lebih kecil, 4,5
persen saja warga PerSyarikatan yang benar-benar mengaku kader Muhammadiyah. Tentu
Saja ini memunculkan pertanyaan mendalam, apakah data ini benar? Berkaitan dengan ini,
Rizal Sukma menjelaskan, perbedaan jumlah keanggotaan NU dan Muhammadiyah
disebabkan karena NU adalah Organisasi Islam yang lebih melekat pada tradisi, sementara
Muhammadiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam modernis. Orang mengakuNU hanya
dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya datang ke haul, Tetapi kalau Muhammadiyah
lebih terlihat pada kegiatan-kegiata dan keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi.
Bahkan, ada Orang yang mengatakan bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah it,
berbeda. Variabel ini yang kiranya perlu diperhatikan lagi ketika me lihat angka-angka
keanggotaan tersebut. Tetapi angka itu sendiri, yang 19 persen atau 45 persen itu lumayan
mengejutkan bagi warga Muhammadiyah.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi pada
awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak
pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi perpolitikan
nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak
akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak
terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut
Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muhammadiyah dalam pemerintahan akan
menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit
kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak eksram dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu
bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Paciran atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama
terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, atau
persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang: Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah
menjadikannya sebagai reflesi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan
pribadi, Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyahcenderung menganggap
Persyarikatan ini sudah ketinggalan seperti dalam tulisan MitsuoNakamura dan Martin Van
BruinesMorena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih
dikeraskan.Belakangan, ini kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari
Indonesia sendiri, yang kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun, alasan
ketertarikan mereka untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari alasan mereka
ketika mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu Muhammadiyah
dikenal memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist bekerja, beramal tanpa
pamrih, rame inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya kepada anak yatim. Nilai - nilai
puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada
semangat protestanetik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai mulai
puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi pada
awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak
pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi perpolitikan
nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak
akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak
terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut
Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muhammadiyah dalam pemerintahan akan
menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit
kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak ekstrim dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu
bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Pacitan atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama
terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, atau
persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang: Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah
menjadikannya sebagai reflesi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan
pribadi, Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyahcenderung menganggap
Persyarikatan ini sudah ketinggalan seperti dalam tulisan Mitsuo Nakamura dan Martin Van
Bruines Morena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih
dikeraskan.
Belakangan, ini kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari Indonesia
sendiri, yang kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun, alasan ketertarikan
mereka untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari alasan mereka ketika
mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu Muhammadiyah dikenal
memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist bekerja, beramal tanpa pamrih, rame
inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya kepada anak yatim. Nilai-nilai puritanisme ini
dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada semangat
protestanetik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilaimulai puritanisme
tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.
Hal ini menunjukkan semacam ada pergesaran nilai puritanisme dalam
Muhammadiyah. Terjadi kontestasi pemaknaan puritanisme disini diambil contoh, dulu tahun
1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puritan atau Dahlan dan Rasul, di
dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan protestanisme seperti
Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai negara. Tetapi pada 2002, Peacock
menulis fundamentalisme, sementara  yang dilihat berdasarkan konsep puritanisme
Muhammadiyah yang ditulisnya pada 1970-an. Dia berkisah tentang nilai yang tetapi punya
makna yang berbeda.
Selain autokritik terhadap Muhammadiyah, terdapat kelebihan Muhammadiyah yang
mendapat apresiasi dari para peneliti dalam IRCM. Pertama yang paling tampak, organisasi
ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia masih berpikir
tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda Muhammadiyah berpikir
untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global. Kepercayaan, meski secara geografis
Indonesia berada di pinggiran dunia Islam. Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan
Muhammadiyah adalah rencana menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Gulen
Movement dari Turki atau Nursi Movement dan antara organisasi-organisasi itu.
Kedua, minat studi kemuhammadiyahan yang dilakukan para sarjana lebih beragam.
Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga pada aspek
spiritualitas, filantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan perspektif yang dipakai,
mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian perspektif menuju Durkhemuan
perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak semata sebagai organisasi ortodok, tapi juga
organisasi yang berciri khas keindonesiaan.
Bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), ada refleksi dari kegiatan IRCM
terutama untuk pengembangan keilmuan. Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM
menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar doktor dari
luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttagin, Rahmawati Husein, Alimatul Oibtiyah,
Hilman Latief, Din Wahid, Pradana Boy, Mohammad Rokib, dan lain-lain. Meski duduk
dalam satu forum atau satu panel dengan begawan - begawan ahli Islam seperti M.C.
RickJefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward, Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura,
Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan Herman 1, Beck, mereka tak tampak minder atau
merasa inferior.

Anda mungkin juga menyukai