Disusun oleh :
Vinolia Aini Eka M. (G2A222039)
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya perempuan tidak hanya mengurus
perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling jika
landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran keaetaraan gender.
Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki masuk dalam organisasi perempuan dan
sebaliknya perempuan masuk dalam organisasi laki laki.
Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan
suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomena Muktamar ini benar-benar
menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Selain masalah
perempuan. Muktakar kali ini juga melahirkan keputusan-keputusan yang berseberangan
dengan gagasan liberalisme.
Komisi A (umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majelis Tarjih yang ketika
dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan katakata “dan Pengembangan Pemikiran
Islam” pun kini digugat. Tambahan empat kata tersebut dituntut untuk dibuang. Selanjutnya,
Majeli, dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majelis Tarjih" saja. ma dengan itu,
Komisi D juga memunculkan gejala-gejala peman terhadap gagasan-gagasan liberalisme.
Salah satu peserta di komisi menginginkan agar Pimpinan Pusat Muhammadiyahmembu
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (YIMM), atau paling ti menghilangkan huruf “M”
(Muhammadiyah) dari namanya.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagu neraka bagi kaum
konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi orang-orang
garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C. Ricklefs (profesor dari
Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang seabad ini, Muhammadiyah
sepertinya akan mengalami the real split. Kini, para pengamat dan peneliti tentang Indonesia
harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa
dikategorikan sebagai Islam yang menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk
menilai nasib Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun, setidaknya fenomena Muktamar
ke-45 bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah.
Wallahua'lam.
Pertanyaannya, apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu Menurut
data survei yang dipaparkan Hattori Mina dan Ken Miichi, malah jumlahnya lebih kecil, 4,5
persen saja warga PerSyarikatan yang benar-benar mengaku kader Muhammadiyah. Tentu
Saja ini memunculkan pertanyaan mendalam, apakah data ini benar? Berkaitan dengan ini,
Rizal Sukma menjelaskan, perbedaan jumlah keanggotaan NU dan Muhammadiyah
disebabkan karena NU adalah Organisasi Islam yang lebih melekat pada tradisi, sementara
Muhammadiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam modernis. Orang mengakuNU hanya
dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya datang ke haul, Tetapi kalau Muhammadiyah
lebih terlihat pada kegiatan-kegiata dan keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi.
Bahkan, ada Orang yang mengatakan bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah it,
berbeda. Variabel ini yang kiranya perlu diperhatikan lagi ketika me lihat angka-angka
keanggotaan tersebut. Tetapi angka itu sendiri, yang 19 persen atau 45 persen itu lumayan
mengejutkan bagi warga Muhammadiyah.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi pada
awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak
pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi perpolitikan
nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak
akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak
terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut
Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muhammadiyah dalam pemerintahan akan
menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit
kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak eksram dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu
bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Paciran atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama
terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, atau
persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang: Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah
menjadikannya sebagai reflesi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan
pribadi, Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyahcenderung menganggap
Persyarikatan ini sudah ketinggalan seperti dalam tulisan MitsuoNakamura dan Martin Van
BruinesMorena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih
dikeraskan.Belakangan, ini kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari
Indonesia sendiri, yang kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun, alasan
ketertarikan mereka untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari alasan mereka
ketika mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu Muhammadiyah
dikenal memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist bekerja, beramal tanpa
pamrih, rame inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya kepada anak yatim. Nilai - nilai
puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada
semangat protestanetik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai mulai
puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi pada
awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak
pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi perpolitikan
nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak
akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak
terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut
Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muhammadiyah dalam pemerintahan akan
menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit
kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak ekstrim dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu
bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Pacitan atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama
terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan, atau
persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang: Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah
menjadikannya sebagai reflesi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan
pribadi, Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyahcenderung menganggap
Persyarikatan ini sudah ketinggalan seperti dalam tulisan Mitsuo Nakamura dan Martin Van
Bruines Morena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih
dikeraskan.
Belakangan, ini kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari Indonesia
sendiri, yang kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun, alasan ketertarikan
mereka untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari alasan mereka ketika
mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu Muhammadiyah dikenal
memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist bekerja, beramal tanpa pamrih, rame
inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya kepada anak yatim. Nilai-nilai puritanisme ini
dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada semangat
protestanetik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilaimulai puritanisme
tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.
Hal ini menunjukkan semacam ada pergesaran nilai puritanisme dalam
Muhammadiyah. Terjadi kontestasi pemaknaan puritanisme disini diambil contoh, dulu tahun
1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puritan atau Dahlan dan Rasul, di
dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan protestanisme seperti
Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai negara. Tetapi pada 2002, Peacock
menulis fundamentalisme, sementara yang dilihat berdasarkan konsep puritanisme
Muhammadiyah yang ditulisnya pada 1970-an. Dia berkisah tentang nilai yang tetapi punya
makna yang berbeda.
Selain autokritik terhadap Muhammadiyah, terdapat kelebihan Muhammadiyah yang
mendapat apresiasi dari para peneliti dalam IRCM. Pertama yang paling tampak, organisasi
ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia masih berpikir
tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda Muhammadiyah berpikir
untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global. Kepercayaan, meski secara geografis
Indonesia berada di pinggiran dunia Islam. Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan
Muhammadiyah adalah rencana menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Gulen
Movement dari Turki atau Nursi Movement dan antara organisasi-organisasi itu.
Kedua, minat studi kemuhammadiyahan yang dilakukan para sarjana lebih beragam.
Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga pada aspek
spiritualitas, filantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan perspektif yang dipakai,
mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian perspektif menuju Durkhemuan
perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak semata sebagai organisasi ortodok, tapi juga
organisasi yang berciri khas keindonesiaan.
Bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), ada refleksi dari kegiatan IRCM
terutama untuk pengembangan keilmuan. Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM
menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar doktor dari
luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttagin, Rahmawati Husein, Alimatul Oibtiyah,
Hilman Latief, Din Wahid, Pradana Boy, Mohammad Rokib, dan lain-lain. Meski duduk
dalam satu forum atau satu panel dengan begawan - begawan ahli Islam seperti M.C.
RickJefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward, Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura,
Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan Herman 1, Beck, mereka tak tampak minder atau
merasa inferior.