Anda di halaman 1dari 19

LAPIS BARU STUDI ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Muh. Afifuddin, SHI*

Seorang kawan menulis dalam jejaring sosialnya, arep maju sitik kok di
gondeli..Susah memang bersikap progresif di tengah masyarakat tradisionalis,
modernitas dituduh merubah tamtanan. Ada hal yang sangat mengusik, jika kita
cermati dari apa yang disampaikan oleh kawan tersebut. Sebuah gambaran
bagaimana masyarakat melihat sesuatu yang baru hampir selalu dengan dengan
pandangan penuh kecurigaan. Lebih-lebih masyarakat muslim tradisional yang
masih menganggap tabu sebuah pembaharuan pemikiran.

Rupanya masyarakat muslim pada umumnya masih mengalami trauma masa lalu,
masa dimana masyarakat muslim di belahan dunia secara keseluruhan mengalami
kolonialisasi oleh barat selama beberapa abad.

Secara historis, kebudayaan Barat-Kristen mekar lebih dahulu selama 7 abad, baru
kemudian disusul oleh munculnya Islam. Namun dalam perjalanan sejarah
berikutnya, perkembangan saudara kandung yang baru lahir tersebut lebih cepat,
bahkan sampai dapat merontokkan imperium Romawi dan Persia yang telah
berjasa sebelumnya. Setelah 7 abad perkembangan Islam, saudara kandung yang
lebih tua umurnya tidak mau kalah. Runtuhnya kerajaan Islam Spanyol adalah
dimulainya babak rivalitas yang baru. Kemudian disusul dengan periode
imperalisme-kolonialisme. Abad kolonialisme-imperalisme berjalan hampir 4 atau
5 abad.1

Empat jawaban Islam atas kolonialisme membentuk fondasi dari apa yang banyak
kita lihat hari ini : perlawanan dan peperangan, penarikan diri dan non kooperasi,
sekularisasi dan westernisasi dan modernisasi Islam. 2 Kelompok yang melawan
berupaya mengikuti teladan Nabi saw, berhijrah dari wilayah yang tidak lagi

1
*Mahasiswa MSI UII Yogyakarta Konsentrasi Ekonomi Islam
Pengajar di PP Anwar Futuhiyyah Yogyakarta
Kepala Madrasah Ibtidaiyyah Terpadu Qurrota A’yun Sleman
Ketua Program Pendidikan Kesetaraan C Anwar Futuhiyyah
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta, Pustaka Pelajar ,
2004, hlm 199-200
2
John L. Esposito, Unholy War terror atas nama Islam. Yogyakarta, Ikon Teralitera 2003, hlm 94

1
dibawah aturan Islam dan berjihad guna membela agama dan negeri-negeri Islam.
Meskipun demikian, Melakukan hijrah dengan jumlah orang yang besar bukanlah
langkah yang praktis. Bagi kebanyakan pemimpin Islam langkah yang praktis
adalah menolak untuk bersepakat dengan tuan-tuan penjajah yang baru, menjauhi
perusahaan-perusahaan, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga mereka.

Yang lainnya berpikir keberlangsungan hidup mereka tergantung pada mengikuti


Eropa. Mereka beranggapan Islam adalah sumber kemunduran dan tidak
mempunyai kapasitas untuk memenuhi keperluan-keperluan kehidupan modern.
Dengan demikian mereka pun membela program modernisasi yang diambil
mentah-mentah dari model politik, social, dan perubahan hukum barat.

Respon keempat adalah modernisme Islam, berupaya menjembatai jurang


pemisah antara kelompok muslim tradisional dengan sekulerisme Barat.
Modernisme merupakan keberhasilan sekaligus kegagalan, menampilkan
ambivalensi. Membangunkan kembali kesadaran atas kejayaan masa silam,
berargumen bahwa ada kesesuaian antara Islam dengan reformasi modern, dan
membedakan antara gagasan-gagasan dan teknologi barat dengan imperialism
barat. Kaum reformis menawarkan sebuah alternatif islami baik menolak maupun
menyerap tanpa sikap kritis terhadap barat. Gerakan intelektual kaum modernis
tidak menghasilkan langkah lanjutnya guna mengembangkan dan
mengimplementasikan ide-ide mereka secara terus menerus. Pada tahun 1970an
dan 1980an, para sarjana muslim maupun non muslim yang menulis tentang Islam
dan modernitas atau reformasi Islam pada umumnya akan menunjuk Muhammad
Aduh yang wafat pada tahun 1905 dan Muhammad Iqbal yang wafat pada tahun
1938. Sementara peran dan warisan mereka penting, fakta bahwa mereka telah
wafat selama beberapa dasawarsa tampaknya sebagai uraian yang diucapkan
mengenai kegagalan modernisasi Islam dalam mengilhami para pemimpin baru
dan mencari sandaran di tengah-tengah komunitas yang lebih luas. Hari ini istilah
“salafi” yang dulunya digunakan untuk menunjuk gerakan modernis Islam

2
Muhammad Abduh dengan penekanannya pada modernisme rasional , malah
diterapkan pada beberapa kelompok anti barat yang paling ekstrim.3

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Kebenaran agama menurut keyakinan para pemeluknya adalah sesuatu yang


mutlak, sekalipun penafsiran terhadapnya adalah relatif. Sebab relativisme
merupakan sesuatu yang inheren dalam konstruksi fitri manusia. Adapun
kebenaran ilmu tidak pernah mencapai sesuatu yang mutlak, karena hal ini juga
bertaut rapat dengan relativisme manusia yang dikungkung oleh ruang dan waktu.
Ilmu hanyalah berusaha menjawab pertanyaan “apa” dan “bagaimana”, sementara
persoalan “apa yang seharusnya” berada di luar domain ilmu pengetahuan, bahkan
di luar domain filsafat. Untuk pertanyaan terakhir ini, etika, moral, dan terutama
agama menawarkan diri untuk memberi jawaban.4

Untuk meneliti posisi ilmu pengetahuan dalam Islam, kita harus menelusurinya
dalam Al Quran dan Sunnah Nabi sebagai sumber autentik agama terakhir ini.
Tentang kedudukan ilmu dalam Islam, artikel Fazlurrahman “ Islamization of
knowledge : a response” pada tahun 1988, terdapat beberapa butir yang relevan
untuk disimak. Bahwa ilmu teramat penting bagi manusia, pada saat tuhan
menciptakan Adam, tuhan memberinya ilmu. Ilmu sama pentingnya dengan
eksistensi manusia itu sendiri. Sekiranya manusia memiliki eksistensi tanpa ilmu,
keberadaanya tidak banyak artinya, tidak akan berbeda dengan mahluk yang lain.
Ada dimensi lain yang dari manusia yang perlu dilihat, karena kapasitasnya yang
diberi ilmu (‘aql) manusia melalui kreativitasnya dapat menemukan ilmu
pengetahuan. Proses ini telah berlangsung selama berabad-abad.5

William J. Goode dan Paul K. Hatt, guru besar pada jurusan sosiologi dari
Columbia university dan Northwestern University, mendefinisikan ilmu sebagai

3
Ibid, hlm 94-97
4
Syafii Maarif, Mencari autentisitas dalam kegalauan, Jakarta, PSAP, 2004, hlm 12
5
Ibid, hlm 13-14

3
kumpulan pengetahuan yang terorganisir secara sistematik. William J. Goode dan
Paul K. Hatt melanjutkan, definisi demikian dapat dikatakan memadai hanya
kalau kata-kata “pengetahuan” dan “sistematik” didefinisikan secara benar. Sebab
kalau tidak demikian “pengetahuan teologis” yang disusun secara sistematis,
dapat dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Padahal
pengetahuan-pengetahuan teologis betapapun sistematiknya, tetap deduktif dan
bersumber dari aksioma-aksioma kewahyuan, sedangkan ilmu pengetahuan alam
bersifat induktif dan bersumber dari pengalaman empirik.6

Ilmu memang bertujuan untuk menemukan sesuatu, ilmu adalah usaha untuk,
melelui observasi, dan penalaran yang didasarkan atasnya, menemukan, pertama,
fakta-fakta tertentu tentang dunia, kemudian tentang hokum-hukum yang
menghubungkan fakta satu dengan yang lain dan memungkinkanya untuk
meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang.7

Islam seringkali diartikan sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 8
Islam dapat dipahami dari beberapa sudut pandang, definisi di atas lebih
menjelaskan Islam sebagai sebuah agama. Apakah definisi agama? Agama
diartikan sebagai kepercayaan kepada tuhan atau dewa serta dengan ajaran dan
kewajiban yang bertalian dengan itu. Atau juga diartikan percaya pada suatu
kekuatan atau kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan manusia untuk ditaati
dan di sembah sembagai sang pencipta dan penguasa alam semesta, ekspresi
kepercayaan ini dalam perbuatan dan ritual. Percaya pada satu tuhan adalah
monoteis, percaya pada banyak tuhan adalah politeis. Fenomena monoteis dan
politeis telah ada sejak ribuan tahun yang lalu.9

6
Atho Mudzhar DR. H. M, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007, hlm 34
7
Syafii maarif, Perjumpaan Ilmu, Agama dan Kebudayaan, dalam Mencari autentisitas dalam
kegalauan, hlm 24
8
Atho Mudzhar, hlm 19
9
Syafii Maarif, Perjumpaan Ilmu, Agama dan Kebudayaan, dalam Mencari autentisitas dalam
kegalauan, hlm 25 lihat juga Karen Amstrong The Great Transformation, Awal sejarah Tuhan,
Yuliani liputo (terj), Jakarta, Mizan 2007

4
Agama memang mengikat manusia agar tidak melangkahi moral transendetal
yang dapat menjerumuskannya ke dalam malapetaka moral atau fiskal. Agama
menjadi wasit dalam mengawasi perangai manusia, baik dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.10

Menurut sejarah, agama muncul lebih awal dan ilmu berkembang dari agama,
ilmu tidak pernah menghapuskan agama. Namun dalam masalah-masalah praksis
sosial, ekonomi, politik, dan budaya agama memerlukan ilmu. Tanpa bantuan
ilmu dan aplikasinya berupa teknologi, pesan-pesan kemanusiaan agama sulit
dibumikan.11

ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI DAN PENELITIAN

Sebagaimana telah disebutkan diatas, agama bagi pemeluknya merupakan sesuatu


yang mutlak, yang berasal dari wahyu. Mungkinkah kita meneliti agama, apalagi
Islam, oleh orang Islam? Tentu saja, agama dapat dan boleh diteliti.

Menurut pengamatan Prof. M. Arkoun, guru besar Islamic tought di Sorbon


Perancis, sejak abad ke 12 sampai abad ke 19, bahkan sampai sekarang terjadi
proses apa yang ia namakan dengan “taqdis al afkar al diniy” (Pensakralan
pemikiran keagamaan), sehingga pemikiran keagamaan muslim seolah-olah taken
for granted dan ghairu qabilin li al niqash serta immune untuk dikaji secara kritis
historis ilmiyyah.12

Istilah “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan”, sampai sekarang masih


belum diberi batas yang jelas. Yang pertama lebih menekankan pada materi
agama, sehingga sasarannya pada ketiga elemen pokok yaitu : ritus, mitos, dan
magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau sistem
keagamaan. Atau sebagaimana yang dikemukakan Middleton, sasaran penelitian
agama adalah “agama sebagai doktrin”, sedangkan sasaran “penelitian
keagamaan” adalah “agama sebagai gejala sosial” dan lebih bersifat budaya.13
10
Ibid, hlm 26
11
Ibid, hlm 27
12
Amin Abdullah, DR. M, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004, hlm 108
13
Atho Mudzhar DR. H. M, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2007, hlm 35-36

5
Terdapat lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan. Pertama, scripture,
naskah-naskah sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut
atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para
penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti
shalat, haji, puasa perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid,
gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan
tempat para penganut agama berkumpul seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, Gereja Katolik, dan lain-lain.

Pembedaan “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan” diperlukan karena


terkait dengan metode penelitian yang dilakukan. Untuk “penelitian agama”
sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu pengembangan metodologi
penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah pernah dirintis. Adanya ilmu
Ushul Fikih sebagai metode mengistimbatkan hokum dalam agama Islam, dan
ilmu Mustholah Hadits sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan
sabda-sabda Nabi Muhammad saw, merupakan bukti untuk mengembangkan
metodologi penelitian sendiri, meskipun ada perdebatan di kalangan para ahli
tentang setuju atau tidaknya terhadap materi ilmu tersebut. Persoalannya apakah
kita hendak menyempurnakannya? Atau meniadakannya sama sekali? Ataukah
tidak mengganti sama sekali dan membiarkannya.14

Untuk “penelitian keagamaan’ yang sasarannya adalah agama sebagai gejala


sosial, tidak perlulah membuat metodologi penelitian tersendiri. Penelitian ini
cukup meminjam penelitian yang sudah ada. Memang kemungkinan lahirnya
suatu ilmu tidak pernah tertutup, tetapi tujuan peniadaanya agar sesuatu ilmu
jangan dibuat artificial karena semangat yang berlebihan. Namun, meletakkan
agama sebagai sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang diteliti itu
adalah hasil kreasi manusia, sebagian agama tetap diyakini sebagai wahyu dari
tuhan. Yang dimaksudkan, bahwa pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
penilitian yang lazim dilakukan dalam penelitian budaya.15

14
Ibid, hlm 37
15
Ibid, hlm 38-39

6
Islam adalah agama yang komplek dan luas. Islam tidak hanya persoalan fikih,
tapi juga persoalan ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, pemikiran, ekonomi,
politik, pendidikan dan lainnya. Itu sebabnya upaya untuk memahami Islam tidak
bisa hanya dilakukan dari satu aspek saja. Setiap aspek perlu dikaji dengan
metode yang tepat. Mempelajari Islam dalam konteks kehidupan modern bagaikan
melihat benda dalam ruangan gelap. Keempat sisi ruangan masing-masing
memiliki pintu. Masing-masing pintu memiliki lubang kunci. Penglihatan
seseorang tentang islam sesungguhnya merupakan hasil intipan dari salah satu
lubang kunci. Bisa dipastikan hasil pandangan satu orang dengan orang yang lain
berbeda, tergantung dari lubang kunci sebelah mana dia melihat.16

METODE VS METODOLOGI

Sering terdengar pertanyaan, apa sesungguhnya perbedaan antara metodologi dan


metode. Keduanya memang berbeda, metodologi berasal dari tiga kata yunani,
meta, hetodos, dan logos. Meta berarti menuju, melalui, dan megikuti. Hetodos
berarti jalan atau cara. Maka kata methodos berarti jalan atau cara yang harus
dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praktis dan
sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah tidak dipertanyakan lagi
karena sudah bersifat aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa
mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena
itu sudah tidak diperdebatkan lagi, karena sudah disepakati oleh komunitas
ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut.17

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti
“studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu metodologi tidak lagi hanya
sekumpulan cara yang sudah diterima tetapi berupa kajian tentang metode.18

Bila demikian, terkait dengan studi Islam, mana yang benar? Metode atau
metodologi? Kedua-duanya benar, tergantung maksud dan tujuan penggunaan itu.
Istilah Metodologi Studi Islam digunakan ketika seseorang ingin membahas

16
Muhyar Fanani, DR. Metode Studi Islam, aplikasi sosiologi pengetahuan sebagai cara pandang,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm xviii-xix
17
Ibid, viii-ix
18
Ibid, hlm ix

7
kajian-kajian seputar ragam metode yang bisa digunakan dalam dalam studi
Islam.19

Selain pertanyaan sekitar metode dan metodologi, terdapat pertanyaan seputar


perbedaan antara metode dan pendekatan. Metode merupakan cara mengerjakan
sesuatu sedangkan pendekatan merupakan cara memperlakukan sesuatu.
Perbedaan antara keduanya hanya terbatas pada cara memperlakukan objek.
Metode cenderung menganggap sebuah objek adalah sebuah entitas yang pasif.
Sedangkan pendekatan cenderung menganggap objek sebagai sesuatu yang aktif.
20

Terdapat satu hal lagi yang penting tatkala seseorang mempelajari Islam, yaitu
kajian pada agama Islam, tidak boleh didasarkan atas praanggapan. Rasa simpati
bahkan empati seseorang akan Islam sangat dibutuhkan agar hasil kajian valid.
Pendekatan yang sinis dan antipati akan menghasilkan produk yang tidak valid.
Memang atas nama kebebasan akademik, sebagian pakar keberatan bila simpati
dan empati dimasukkan dalam studi droktriner karena hanya akan mengganggu
objektifitas ilmiah. Namun kajian-kajian kontemporer atas ilmu-ilmu sosial
menunjukkan bahwa untuk menguak rasa, suasana batin sebauh agama, maka
simpati dan empati mutlak dilakukan.21

STUDI ISLAM DALAM LINTASAM SEJARAH

Secara historis faktual, umat Islam pernah ada di Spanyol selama 7 abad. Sejarah
juga mencatat bahwa umat Islam pernah menggeser dominasi kekuatan imperium
Persia maupun Romawi. Bahkan kerajaan Turki Utsmani pernah pula masuk ke
pintu gerbang Wina dan dipukul mundur pada tahun 1683.

Cukup beralasan, jika kemudian dunia Barat memendam rasa ingin tahu, mengapa
saudara kandung yang lebih muda usianya 7 abad dapat memperoleh simpati
masyarakat dunia dalam tempo yang cukup relatif singkat. Sebelum wilayah Islam
merambah ke wilayah yang begitu luas, umat sebenarnya pernah secara intensif

19
Ibid, hlm ix-x
20
Ibid, hlm xxiii
21
Ibid, hlm xx

8
berhubungan dengan Barat. Gerakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan
Yunani pernah dilakukan umat Islam secara besar-besaran. Pendeknya,
kebudayaan Islam saat itu sekaligus bertindak sebagai perantara antara
kebudayaan Yunani kuno dan peradaban ilmu pengetahuan modern. Namun justru
fungsi inilah yang hendak dilupakan oleh sejarah, lantaran kesalahfahaman orang
kan makna literatur Yunani ikut memberi andil yang cukup besar dalam
pembentukan peradaban baru Islam dalam era kerajaan Abbasiah.22

Sejarah kolonialisme-imperalisme, yang dimulai abad 16 hingga pertengahan


abad 20, telah merubah peta umat Islam secara drastis. Sudah tentu, kekuasaan
dan dominasi Barat atas dunia Islam bukannya tidak diawali dengan keringat.
Sejak usainya perang salib, Barat secara terus menerus mempelajari peta kekuatan
umat Islam, terutama dalam keunggulan dan kelemahannya dalam segala aspek
kehidupan.23

Sistem-sistem pengetahuan Barat24 pada masa-masa ini memang digunakan


sebagai alat analisis untuk kepentingan kolonialisme dan imperalisme. Akan tetapi
ketika kolonialisme yang memayungi lenyap, justru sistem pengetahuan barat
semakin terlembaga. Dengan otoritas akademis dan literatur yang berwibawa
sistem pengetahuan barat menjadi suatu “objektifitas ilmiah” dalam melihat
Islam.25

Tetapi terlepas dari objektivitas yang diklaim oleh para Orientalis tersebut,
orientalisme memang sempat menyudutkan umat Islam dari berbagai aspek. Dan
lagi-lagi lantaran ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, maka mereka pun dalam
kajian orientalisme ini mempunyai kepentingan. Untuk motif-motif menjaga
status quo budaya Barat yang lagi menguasai dunia, mereka membikin publik
opini bahwa kebudayaan yang paling unggul adalah kebudayaan barat (termasuk
ilmu pengetahuannya). Mereka menganggap bahwa budaya timur begitu

22
Amin Abdullah, hlm 201
23
Ibid, hlm 203
24
Atau yang biasa disebut dengan orientalisme
25
http://abahmarasakti.wordpress.com/2010/01/11/pendekatan-studi-wilayah-dalam-studi-islam/
lihat juga Muhaimin Prof. DR., dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, hlm 2

9
rendahnya sehingga tidak dapat diperhitungkan sama sekali dari percaturan sosial
budaya yang ada.26

Hingga sekarang, barat dalam strategi neoimperalismenya, selalu melihat dan


memandang Islam modern hanya lewat sudut pandang politik saja. Mereka tidak
begitu peduli dengan kenyataan empiris bahwa umat Islam memiliki pengalaman
serta sistem kehidupan yang mapan sejak 1400 tahun yang lalu. Dalam goncangan
model budaya apapun umat Islam masih mempunyai way of life yang secara
relative masih kokoh seperti semula. Umat Islam masih memiliki kesadaran
kolektif yang tinggi, matang dan falasafah hidup yang mantap.27

STUDI ISLAM DI INDONESIA

Sangat menarik jika kita mengamati perkembangan studi agama (khususnya


Islam) di Indonesia. Berbagai jurnal, banyak diantaranya memang tidak di tujukan
untuk “studi agama” ikut memuat dan mengangkat isu keagamaan. Fenomena ini
sangat positif, paling tidak untuk mengimbangi warna pemikiran keagamaan yang
bersifat teologis-partikularistik.28

Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagamaan,


yang antara lain disebabkan oleh transparansi sekat-sekat budaya sebagai akibat
luapan arus informasi dalam era ilmu dan teknologi, masyarakat Indonesia pada
khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, membutuhkan masukan dari
kajian-kajian yang segar dan tidak lagi melulu bersifat “teologis-normatif”, tetapi
juga menginginkan masukan-masukan dari kajian yang bersifat kritis historis.29

Saat ini umat Islam masih berada dalam posisi pinggiran (marginal), dan lemah
dalam segala bidang kehidupan sosial agama. Dalam kondisi ini, umat Islam harus
bisa melakukan gerakan pemikiran yang dapat menghasilkan konsep pemikiran
yang cemerlang dan operasional untuk mengantisipasi perkembangan dan
kemajuan tersebut. Umat Islam jangan sampai terjebak dalam romantisme, dalam
arti menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu sebagaimana
26
Amin Abdullah, hlm 207-208
27
Ibid, hlm 208
28
Ibid, hlm 3
29
Ibid, hlm 4

10
terwujud dalam sejarah Islam, sementara umat Islam saat ini masih silau dalam
mengahadapi masa depannya.30

Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah menghadapi krisis yang
akut. Banyak problem kemanusiaan yang tidak mampu disentuh oleh-oleh ilmu
keislaman akibat terlalu banyaknya anomaly-anomali yang dimilikinya. Sebut saja
kasus korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai kasus pembunuhan sadis yang
merupakan bukti atas ketidak berdayaan ilmu akhlak dan ilmu fikih dalam
memandu masyarakat agar berperilaku taat terhadap norma susila dan norma
hukum. Dengan kata lain, bagaimana agar ketentuan hukum yang mulia itu
mampu diperlakukan secara bijak dalam masyarakat dengan tetap mengikuti
aturan main konstitusi modern yang diterima oleh seluruh masyarakat masih
merupakan problem yang belum teratasi.31

Jika dalam posisi problematis ini, umat Islam hanya berpegang teguh pada ajaran-
ajaran Islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang merupakan warisan doktriner
turun-temurun dan dianggapnya sebagai ajaran yang sudah mapan, sempurna, dan
sudah paten, serta tidak ada keberanian untuk memikirkan ulang, maka berarti
mereka mengalami kemandekan intelektual yang pada gilirannya akan
menghadapi masa depan yang suram.32

Secara umum, sebagian muslim dalam mengahadapi modernisme 33 dapat


dikelompokkan dalam kedalam dua ide besar modernisasi yaitu “modernisasi
Islam” dan yang kedua “Islamisasi modernitas”.34
30
Muhaimin, Prof. DR. dkk, Kawasan dan wawasan studi Islam, Jakarta, Prenada Media, 2007,
hlm 3-4
31
Muhyar Fanani, hlm 1-2, sebagaimana contoh yang dikemukan oleh DR. Atho Mudzhar tentang
permasalahan adanya usul agar pabrik beroprasi selama 24 jam tanpa henti. Sementara shalat
jum’at yang konvensional dikerjakan di satu tempat hanya satu kali. Kalau pabrik harus berhenti
selama shalat jum’at akan menimbulkan kerugian atau mengurangi produktifitas. Pertanyaannya
bagaimana kalau shalat jum’at dilakukan secara bergiliran. Misalnya ada karyawan yang shalat
jam 12.00 WIB dan ada yang jam 12.30 WIB. Dengan demikian pabrik akan terus beroprasi terus
menerus. Kalau shalat jum’at tersebut kita jawab tidak boleh, kita berarti berpendapat islam tidak
mengakomodir industri. (lihat Atho Mudzhar, hlm 17).
32
Muhaimin, Prof. DR. dkk, Kawasan dan wawasan studi Islam, Jakarta, Prenada Media, 2007,
hlm 4
33
Baik modernisme pemikiran maupun modernisme simbolik dalam perilaku atau sosial (yang
menimbulkan ambivalensi)
34
Yudi Latif, Dialektika Islam, Tafsir sosiologis atas sosiologi dan Islamisasi di Indonesia,
Yogyakarta, Jalasutra, 2007, hlm xvii arus utama muslim Indonesia umumnya sepakat bahwa

11
Yang manakah diantara pendukung pemikiran tersebut yang akan menang dalam
arus sejarah Indonesia? Intinya bukanlah pada menang atau kalah diantara dua
pemikiran tersebut. Yudi Latif lebih mengasumsikan tentang adanya titik lebur
bagi lapis baru dari dua pemikiran tersebut, yang akan menghasilkan generasi
baru Islam yang bisa keluar dari pengkotakan tradisionalis-modernis.35

Indonesia, sebagai sebuah Negara dengan prosentase penduduk mayoritas muslim


terbesar di dunia,36 seharus berada pada posisi terdepan dalam studi Islam.
Keanekaragaman agama di Indonesia, termasuk didalamnya keanekaragaman
paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah
merupakan kenyataan historis yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. 37

Islam buakanlah agama yang terakhir masuk ke wilayah Nusantara. Ketika


kepulauan Nusantara memasuki era penjajahan Eropa, terutama penjajahan
Belanda, agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katolik juga ikut menyebar
secara luas.38

Posisi mayoritas umat Islam di Indonesia, dalam hubungannya dengan pluralitas


agama memang sangat unik. Umat Islam di Negara Timur Tengah juga
merupakan mayoritas, namun mereka tidak mempunyai pengalaman pluralitas
agama seperti yang dialami oleh umat Islam Indonesia. Salah satu keunikan yang
yang membedakan kesadaran adanya pluralitas agama di Indonesia dengan umat
Islam Timur Tengah adalah keberadaan agama Hindu dan Budha. Baik ditinjau
dari telaah sosiologis, psikologis, maupun cultural, hal demikian sudah cukup
membedakan “muatan” pengalaman penghayatan kehidupan pluralitas agama.39

tafsir dan penerapan Islam harus dikontekstualisasikan dengan realitas sosio-kultural. Namun
mereka tidak sepakat dengan bentuk ideal masyarakat masa depan yang dibayangkan sebagai basis
kontekstualiasasi keagamaan mereka. Di satu sisi, pendukung pemikiran “Islamisasi modernitas”
cenderung mengidealkan masyarakat neo-religius, identitas Islam mendominasi budaya politik
masyarakat dan Negara. Di sisi lain pendukung “modernisasi Islam” lebih terbuka dengan
masyarakat pluralis-sekular, Islam ditegaskan sebagai prinsip etika yang bisa berbagi dengan etika
agama lain atau bahkan dengan humanism-sekular.
35
Ibid, hal xviii
36
http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita-Dunia/10-negara-dengan-penduduk-muslim-terbesar-
di-dunia
37
Amin Abdullah, Studi Agama, normativitas atau historisitas?, hlm 5
38
Ibid, hlm 5
39
Ibid, hlm 5- 6

12
Dengan memperhatikan kondosi objektif masyarakat Indonesia yang begitu
majemuk keberagamaannya serta membandingkan dengan berbagai situasi dan
kondisi politik luar negeri, studi agama di Indonesia terasa sangat urgen dan
mendesak untuk dikembangkan. Studi dan pendekatan yang bersifat
komprehensif, multidisipliner, interdisipliner adalah pilihan yang tepat bagi
masyarakat Indonesia.40

Studi Islam menjadikan Islam selain sebagai agama juga sebagai sebagai disiplin
ilmu yang mandiri. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Islam tidak lagi terbatas hanya
pada kajian doktriner saja, tetapi juga merambah kepada bidang-bidang non
droktiner seperti studi atas keadaan sosial masyarakat muslim, studi kawasan,
studi alam pikiran muslim, dan antropologi muslim. Dan tentu saja wilayah-
wilayah baru ini tidak dapat dikaji dengan menggunakan metode droktiner.
Sebaliknya menggunakan metode-metode yang sudah lazim dalam masing-
masing bidang kajian tersebut.41

Beberapa decade terakhir Indonesia mengalami reformasi sosial yang sedemikian


hebat. Setelah selama 32 tahun berada dalam rezim kekuasaan orde baru, yang
hampir menguasai semua aspek kehidupan sosial masyarakat. Dengan terbukanya
kran reformasi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim menjadi begitu silau
dengan kebebasan, sehingga terjadilah perubahan iklim sosial kemasyarakatan
yang susah untuk diprediksi.

Diantara bentuk ekspresi muslim Indonesia adalah munculnya begitu banyak


partai politik yang menggunakan agama sebagai simbol. Banyaknya ormas yang
melakukan tindakan anarki dengan mengatas namakan Islam. Tentunya beberapa
hal tersebut jika dikaji dengan pendekatan normatif tidak akan menemukan titik
temu. Hal tersebut lebih dikarenakan karena beberapa kejadian tersebut
merupakan gejala sosial. Dan sangat-sangat tidak adil, jika harus dipaksakan
dengan menggunakan pendekatan normatif.

40
Ibid, hlm 7
41
Muhyar Fanani, hlm xii

13
Belum lagi kejadian 11 september, yang begitu membuka mata dunia terhadap
Islam. Muncul tudingan-tudingan miring terhadap Islam, Islam teroris, Islam
Fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri dan masih banyak lagi tudingan-tudingan
yang sangat-sangat merugikan Islam sebagai sebuah agama.

Beberapa hal tersebut yang menjadi tugas dari studi Islam, bagaimana menjadikan
Islam sebagai sebuah entitas agama bisa dipahami bukan hanya oleh pemeluknya
(insider) tapi juga orang di luar Islam (outsider). Bila insider tidak merumuskan
pemahaman yang bisa dimengerti oleh outsider, maka kecelakaan-pemahaman
akan terus terjadi.42

Memang bukan sebuah perkara yang mudah untuk mencapai pemahaman


mendasar tentang Islam oleh orang lain karena terdapat dua kendala (1) Bagi
outsider agar bisa memahami rasa-agama insider membutuhkan simpati bahkan
empati yang tulus. Ini membutuhkan perjuangan yang tersendiri, karena kerak-
kerak distorsi informasi tentang Islam begitu tebal terutama dikalangan media
Barat.43 (2) Di kalangan insider sendiri ternyata tidak dijumpai gambaran yang
tunggal tentang Islam. Ini tentunya menyulitkan outsider untuk mencari rujukan
yang valid tentang Islam.44

STUDI ISLAM LANJUTAN SEBUAH METODOLOGI LANJUTAN

Setelah jatuhnya imperalisme dan kolonialisme di Indonesia, tidak serta merta


Indonesia—khususnya muslim Indonesia—bisa terlepas dari jeratan imperalisme
kolonialisme. Muncul neoimperalisme yang menyebabkan ketergantungan
muslim Indonesia terhadap Barat seolah tidak beranjak dari tempatnya dulu.

Yang dulunya studi Islam dianggap sebagai kepanjangan tangan dari


kolonialisme, bahkan ada yang menuduh bahwa studi Islam merupakan revisi-

42
Muhyar Fanani, hlm xiii
43
Hanya terdapat beberapa komunitas kecil outsider yang bisa memahami fakta-fakta kejadian
yang terjadi belakangan hanya sebagai sebuah fakta sosial dikarenakan pemahaman terhadap islam
yang berbeda dengan pemahaman umum muslim di belahan dunia. Diantara yang bisa disebutkan
adalah Jhon L. Esposito. Dalam Islam sendiri, khusunya Indonesia telah banyak pemikir-pemikir
yang berusaha memberikan gambaran-gambaran tentang Islam yang sejalan dengan nilai-nilai,
norma-norma modern. Seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, Abdurrahman Wahid dan masih
banyak lagi.
44
Ibid, Muhyar Fanani

14
subversif atas ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu-ilmu seputar Al quran, ilmu-ilmu
seputar hadits dan ilmu-ilmu seputar fikih.45

Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit anggapan atau bahkan tuduhan
tersebut mulai terkikis dalam benak kebanyakan muslim Indonesia. Kemudian
mulai muncul kajian-kajian keislaman dengan menggunakan ilmu-ilmu dan
metode-metode barat, seperti kajian keislaman dengan menggunakan ilmu-ilmu
humaniora yang menurut klaim Barat berasal dari sana. Kemudian perguruan-
perguruan tinggi Islam, mulai membuka diri dengan membuka fakultas-fakultas
dan jurusan-jurusan yang tidak khusus mempelajari Islam.46

Hal ini merupakan suatu hal yang positif secara keilmuan, bahwa umat Islam
sudah mulai terbuka dan menyadari akan kebutuhan ilmu-ilmu pengetahuan yang
lain. Namun muncul hal baru yang tidak kalah bahayanya, adalah jika kemudian
umat Islam begitu matek aji47 terhadap segala sesuatu yang berasal dari Barat,
dengan anggapan bahwa metode barat lebih objektif dan lebih mapan. Hal ini
patut menjadi perhatian, karena jika hal ini dibiarkan terus berlanjut,
neoimperalisme dan kolonialisme tidak akan hilang dari ranah keilmuan umat
Islam.

Diantaranya, Islamic Studies mengadiluhungkan Islam sebagai “universal”.


Menyakini Islam sebagai agama yang didakwahkan untuk segenap umat manusia,
tanpa mengenal tempat dan waktu, adalah berbeda dengan mengkaji Islam sebagai
sesuatu yang “universal”. Yang pertama adalah sebuah keyakinan religius, dan
dimanapun penganut agama akan meyakininya demikian. Sedangkan mengkaji
Islam artinya menempatkan Islam sebagai agama, sejarah, peradaban, kebenaran,
dan seterusnya, dalam standar-standar keilmuan tertentu, yang layak
diobyektifikasi dan diverifikasi, sehingga menjadi sebuah displin keilmuan
tersendiri.48

45
Lihat Muhyar Fanani, hlm xi
46
Lihat Atho Mudzhar. DR, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan Praktek, hlm 24-29
47
Meminjam bahasa Yudian Wahyudi dalam bukunya Ushul Fikih Versus Hermentika
48
Ahmad Baso, Nu Studies Vis-À-Vis Islamic Studies Perspektif Dan Metodologi Dari Oleh Dan
Untuk Islam Indonesia Pasca 11 September.

15
Tentu banyak sudah kajian tentang Islamic Studies sebagai sebuah disiplin
keilmuan. Tapi yang kurang ditelaah kemudian adalah soal “universalisme”-nya
ini. Seorang alumnus pascasarjana UIN Jakarta misalnya menulis tentang “NU
liberal”, dan ketika diterbitkan sebagai sebuah buku, judulnya menjadi “NU
Liberal, dari Partikularisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam” (Mizan, 2003).
Dan dimana pun, dalam kampus dan ruang-ruang akademik, Islam universal
sudah menjadi bagian dari dogma, yang sudah dianggap bagian dari ajaran
keagamaan. Mohammed Arkoun melacak akar-akar “universalisme” itu ke dalam
nalar hegemonik, ke model nalar Eropa abad 19 yang ekspansionis ke negara-
negara jajahan atas nama “misi pemberadaban” (civilizing mission).49

Mengapa disebut nalar hegemonik? Arkoun menyebutnya berpretensi obyektif,


dan standar bakunya dianggap normatif. Dengan kata lain, standarisasi dan
obyektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Menurut Edward Said, the
universal is always achieved at the expense of the native (yang universal selalu
dicapai atas kerugian penduduk pribumi) – merujuk kepada apa yang pernah
dikatakan oleh Fanon, “for the native, objectivity is always directed against him”.
Dalam pandangan universalis dan obyektifis ini, selalu ada kemungkinan untuk
melakukan aplikasi umum dan dimanapun (general application), dimana tidak ada
lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokus tertentu. Berbicara tentang
Islam sebagai obyek kajian yang dipakemkan di Eropa, diyakini bisa juga berlaku
di negeri-negeri jajahan – terlepas dari soal apakah Islam yang ada di negeri-
negeri jajahan itu berbeda secara praktis dan pengalaman dari yang dipakemkan di
seberang sana.50

Maka, berbicara tentang nalar hegemoni dalam Islamic Studies adalah juga berarti
berbicara tentang positivisasi Islamic Studies. Kalau Islam Timur Tengah di
belahan Afrika bisa berlaku sama, maka, dalam logika positivisasi-universalisasi
ini, hal serupa juga bisa muncul di Asia Selatan, dan juga di Asia Tenggara.
Esensi maupun substansinya tetap dianggap sama, tak berubah. Misalnya doktrin
H.A.R. Gibb bahwa Islam adalah “satu kesatuan antara doktrin dan peradaban”.
49
Ibid
50
Ibid

16
Sehingga positivisasi selalu mengandaikan segalanya serba “Islami”, mulai dari
“Islamic society”, “Islamic art”, “Islamic bank”, “Islamic economy”, hingga
“Islamic food and parfum”!51

Oleh karena itu, baik Arkoun maupun Edward Said kemudian menekankan
pentingnya “local knowledge” yang membawa Anda untuk kritis terhadap sebuah
teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya
kepada konteks, situasi atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori
manapun, menurut Said, muncul dari lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya.
Ketika bermigrasi keluar, ia kehilangan elastisitasnya; kekuatan dan maknanya
jadi melemah. Dalam bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa
metode-metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh sejumlah
adaptasi, konstruksi baru, intervensi, negosiasi, atau resistensi di luar dari
lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya mengambil alih posisi pemikiran awal
yang dicetuskan. Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal “teori
traveling” atau “kritik sekuler”.52

Jadi, ada dua pengertian tentang “local knowledge” ini dalam konsep “traveling
theory”-nya Said ini: pertama, “local knowledge” sebagai asumsi primer bahwa
semua pengetahuan dan teori terbentuk dan terbatas dalam lingkupnya masing-
masing. Kedua, “local knowledge” bisa juga berarti pisau analisis-epistemik,
sebagai instrumen untuk merangsamg metodologi baru, sebuah “analisis
situasional”.53

Kalau misalnya menggabungkan kedua unsur “local knowledge” ini dan


berasumsi bahwa Bill Liddle, seorang “Indonesianis” asal Amerika, bukanlah
intelektual universalis, tapi “intelektual” lokal dengan segenap keterbatasannya
(unsur “local knowledge” pertama), maka sebetulnya sudah menempatkan
pemikiran Liddle dalam konteks dimana ia dibatasi oleh segenap konstruk
pengetahuan dan kuasa yang ada di sekitarnya. Sehingga pemikirannya tidak
berlaku untuk kita sebagai orang Indonesia, karena kita sudah punya tradisi

51
Ibid
52
Ibid
53
Ibid

17
berpikir sendiri tentang politik dan kultur bangsa kita yang kemudian dari sana
kita dialogkan, kita adaptasikan, dan juga kita pakai untuk melakukan intervensi,
negosiasi maupun resistensi terhadap pikiran-pikiran Liddle. Ini adalah “local
knowledge” unsur kedua. “Saya menyadari betul betapa kuat pengaruh
pengalaman pribadi saya sebagai warga negara Amerika dan warga kota
Pittsburgh”, tulis Liddle, “Ketika itu, guru-guru saya dihantui oleh ketakutan
bahwa nilai-nilai serta kehadiran Amerika di dunia ini akan dimusnahkan oleh
kekuatan asing yang totaliter. Kemudian ini diteruskan di universitas ketika saya
dikuliahi oleh dosen-dosen ilmu politik yang melarikan diri dari negara fasis,
komunis atau kedua-duanya”.54

Kalau “local knowledge” ini dipertajam ke dalam Islamic Studies, maka krisis
tersebut akan tampak dengan jelas dalam konteks ini. “local knowledge”
menggarisbawahi dan mencoret universalisme pada saat bersamaan. Kalau ada
sesuatu yang dikatakan universal, maka tentu ada yang dianggap “tidak-universal”
yang mengganggu pembakuan universalitas itu: “tradisional”, “lokal”, dan juga
yang berbau “etnik” dan “komunal”. Seperti halnya studi-studi tentang transisi
demokrasi di Indonesia yang begitu gagap membaca faktor etnisitas dan
kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan “kedaerahan”, wacana studi-studi
Islam juga mengalami kebingungan membaca faktor-faktor lokal tersebut. Bahkan
terkadang analisisnya sangat miskin dalam membaca persoalan-persoalan
identitas etnik serta hubungannya dengan militansi agama. Biasanya yang dibaca
adalah soal potensi konflik dan disintegrasi identitas kesukuan dan kedaerahan itu.
Dan kebingungan itu adalah refleksi dari sebuah krisis. Yakni, ketika solusi
konflik bernuansa agama itu ditemukan melalui “local wisdom”, yakni kembali ke
identitas budaya dan lokalitas, seperti pela gandong, baku-bae, dsb. Dan bukan
malah melalui wacana “agama universal” atau “Islam universal”. Dengan kata
lain, Islamic Studies dengan “Islam universal”-nya tidak lagi punya arti dalam
konteks kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan persilangan identitas

54
Ibid

18
agama dan etnik; “Islam universal” hanya bermakna terbatas dalam ruang kelas,
dalam teks-teks akademik.55

Tapi justru di sinilah masalahnya. Ini adalah gambaran dari konstruk tentang
Islam seperti yang di Barat, yang ingin dipahami oleh Barat, dan juga sesuatu
yang diinginkan oleh Barat agar Islam seperti itu. Ini pada gilirannya memberi
kesan kepada umat Islam bahwa Islam seperti itulah yang mesti ditampilkan, yang
dipanggungkan, dalam konteks kemodernannya. Jadi, seperti itulah konstruk
Islamic Studies tentang Islam, yang menurut Arkoun adalah kelanjutan dari nalar
hegemonik Eropa abad 19.56

Hal merupakan sebuah upaya neoimperalisme barat terhadap Islam. Namun


memang tidak mudah menanggulangi ketergantungan tersebut, jika umat Islam
tidak berdaya dalam wilayah sumber daya manusia (SDM). Tatanan dunia baru
era post neoimperalisme barangkali terletak pada kekuatan dunia ketiga dan dunia
Islam dalam menguasai ilmu pengetahuan secara umum dan IPTEK secara
khusus. Namun penguasaan penguasaan IPTEK ini akan segera berulang seperti
yang dilakukan Barat sekarang jika tidak disertai dengan moral-spiritual yang
kokoh. Memang tidak mudah mencari gugusan pemikiran baru yang dapat
member alternative untuk pemecahan masalah global universal. Menyatunya
semangat keilmuan—baik dalam aspek teknologi maupun humaniora—dengan
landasan moral spiritual keagamaan Islam yang belum pernah sirna dari benak
umat Islam adalah tumpuan harapan banyak pihak pada era post
neoimperalisme.57

Akan tetapi keyakinan pasti selalu ada, bahwa dengan banyak terjadinya
pertemuan dan dialog antara disiplin ilmu akan muncul generasi baru Islam yang
yang menghasilkan “lapis baru” pemikiran Islam. Semoga. Wallahu a’lam.

55
Ibid
56
Ibid
57
Amin Abdullah, hlm 209

19

Anda mungkin juga menyukai