Anda di halaman 1dari 16

PENGARUH FEMINISME ISLAM DUNIA

TERHADAP FEMINISME ISLAM DI INDONESIA

ULANGAN AKHIR SEMESTER


GERAKAN PEMIKIRAN ISLAM

KHALISHAFA QINTHARA NURJANNAH


2106743900

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ARAB
JAKARTA
2022
ABSTRAK

Nama : Khalishafa Qinthara Nurjannah


Program Studi : Sastra Arab
Judul : Pengaruh Feminisme Islam Dunia Terhadap Feminisme Islam di Indonesia
Pembimbing : Bapak Yon Machmudi, S.S., Ph.D.

Indonesia sebagai negara dengan populasi Islam terbanyak memunculkan isu kritis yaitu
kuatnya pengaruh pemikiran fundamentalisme, produk yang dihasilkan kelompok
fundamentalis salah satunya adalah patriarki. Gelombang feminisme yang masuk ke
Indonesia dirasa dapat menyelesaikan masalah tersebut. Kelompok feminis Muslim Indonesia
sangat memperjuangkan hak-hak perempuan dengan adil salah satunya dengan cara menulis
buku, membuat seminar, dan membuat pelatihan. Karya-karya yang dihasilkan oleh para
feminis Muslim Indonesia banyak yang mengutip feminis Muslim non-Indonesia, contohnya
Farima Merinssi, Riffat Hasan, Amina Wadud, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana feminis Muslim dunia mempengaruhi cara pandang feminis Muslim di Indonesia.

Kata kunci : Feminisme, Feminisme Islam, Feminisme di Indonesia.

i
DAFTAR ISI

ABSTRAK……………………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………ii

A. PENDAHULUAN………………………………………………………………………...1

B. PEMBAHASAN…………………………………………………………………………..2

1.Feminis Sekuler dan Muslim Indonesia………………………………….…………2

2. Pendidikan Perempuan Indonesia dan Berubahnya Sikap terhadap Pernikahan di

1970-an………………………………………………………………………………..4

3. Feminis Muslim Dunia………………………………………………….………….7

4. Pengaruh Feminisme Muslim Dunia Terhadap Feminisme Muslim Indonesia..…..8

5. Oposisi Terhadap Feminisme Muslim……………………………………………...9

C. KESIMPULAN…………………………………………………..………………………11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….13

ii
A. PENDAHULUAN

Feminisme adalah sebuah istilah yang mempunyai definisi yang beragam.


Karam mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran individual atau kolektif bahwa
perempuan telah dan terus ditindas dengan berbagai cara dan alasan yang beragam,
dan upaya menuju pembebasan dari penindasan ini melibatkan masyarakat yang lebih
adil dengan hubungan yang lebih baik antara perempuan dan laki-laki. (Azzam
Karam, 1998) Sementara itu, secara garis besar definisi Feminisme adalah kesadaran
akan adanya penindasan atau suborrdinasi perempuan karena jenis kelamin mereka
dan bekerja untuk menghilngkan penindasan atau subordinasi tersebut dan untuk
mencapai hubungan gender yang setara antara laki-laki dan perempuan. (Nina
Nurmila, 2009)

Feminisme adalah gerakan yang bergerak di seluruh dunia namun diadaptasi


secara berbeda di berbagai negara. Walaupun subordinasi perempuan merupakan
permasalahan yang sama di berbagai negara, bentuknya mungkin berbeda-beda
meskipun ada beberapa kesamaan di antara negara-negara tersebut. Contohnya adalah
permasalahan subordinasi perempuan biasanya marak terjadi dalam bentuk kekerasan
domestik dan diskriminasi di tempat kerja. Namun, permasalahan berbeda dihadapi
oleh perempuan-perempuan di Indonesia, yaitu perjuangan menolak poligami,
pernikahan di bawah umur dan tidak tercatat, sementara wanita Amerika mungkin
dapat menghindari pernikahan secara penuh.

Karakteristik Indonesia sebagai negara dengan popoulasi Muslim terbanyak di


dunia rupanya menimbulkan isu kritis. Pengaruh Islam Timur Tengah yang terus
meningkat di Indonesia dibuktikan dengan pendanaan untuk organisasi, terjemahan
publikasi, dan peningkatan retorika Islam, telah menimbulkan kekhawatiran di antara
banyak pengamat. Kekhawatiran ini mengacu pada stereotipe Timur Tengah sebagai
sumber dari semua yang ‘buruk’ tentang Islam. Pandangan Islam Timur Tengah yang
menyamaratakan dianggap gagal untuk mengakui perdebatan dalam Islam dan
keragaman dalam praktik Islam di seluruh Nusantara. Lahirnya aturan-aturan yang
membatasi ruang gerak wanita seperti budaya patriarki yang kuat dan mengakar
disebut-sebut akibat dari pengaruh Islam dari Timur Tengah.

1
Gelombang Feminisme Dunia mulai menjamur di Indonesia dan banyak
diadaptasi nilai-nilainya pasca era Orde Baru. Banyak penulis dan aktivis Feminis
yang mulai vokal dengan visi Feminisme yang mereka perjuangkan. Alasan gerakan
Feminis muncul salah satunya untuk melepaskan perempuan dari belenggu budaya
patriarki yang dilahirkan oleh politik Islam. Namun, di lain sisi, budaya tersebut
sudah sangat dinormalisasi dan hidup beriringan dengan kehidupan perempuan
Indonesia. Permasalahan ini melahirkan paradoks tentang Islam dan Feminisme di
Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Feminis Sekuler dan Muslim Indonesia

Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia terpengaruh dan dipengaruhi


juga oleh masyarakat global. Hal itu, dibuktikan dengan Feminisme yang telah
dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama yang pernah belajar di
negara-negara Barat. Setelah kembali ke Indonesia, para perempuan ini
menggunakan pengetahuannya untuk merubah posisi perempuan di masyarakat.
Beberapa tokoh feminis awal dalam paruh kedua abad ke-20, post-independent
period, seperti Debra Yatim, Myra Diarsi, Ratna Saptari, Sita Aripurnami dan
Syarifah Saboruddin mendirikan Organisasi Non Pemerintah seperti Kalyanamitra
pada 1985 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak
perempuan. Masih banyak feminis Indonesia di periode setelah kemerdekaan,
seperti Julia Suryakusuma, Saparinah Sadeli, Kamala Chandrakirana, dan Tati
Krisnawaty. Menggunakan kategorisasi yang dibuat oleh Azza Karam tentang
feminisme di Mesir, feminis ini dapat dikategorikan sebagai feminis sekular
karena walaupun mereka kebanyakan Muslim, mereka tidak merasa perlu
mengetahui banyak mengenai cara ajaran Islam melainkan mereka menggunakan
hukum sekular dan konvensional, baik nasional dan internasional, seperti
CEDAW dibanding Islam dalam perjuangan mereka mengenai kesetaraan gender.
Mereka kebanyakan menempuh pendidikan di institusi sekuler seperti di
Universitas Indonesia atau pendidikan Barat di luar negeri, dan secara ekonomi

2
berada di kelas menengah-keatas tetapi tanpa ada pengalaman pendidikan di
sekolah Islam.

Beterbalikan dengan feminis sekuler, feminis Muslim menggunakan Qur’an


dan Hadist sebagai sumber mereka dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Rata-rata mereka menempuh pendidikan berbasis Islam dengan latar belakang
pesantren dan secara ekonomi datang dari kelas bawah ke menengah. Contoh
feminis Muslim, antara lain Siti Musdah Mulia, Nasaruddin Umar, Zaitunah
Subhan, Nurjannah Ismail, Kiayi Husein Muhammad, dan masih banyak lagi.
Seperti yang dikategorikan Azza Karam, feminis Muslim percaya bahwa Qur’an
membebaskan perempuan. Bagaimanapun juga, Qu’ran kebanyakan
dinterpretasikan untuk menjustifikasi subordinasi perempuan dan untuk
membebaskan perempuan adalah dengan cara menginterpretasikan ulang Al-
Qur’an dari prespektif gender yang setara. Tidak seperti pengaruh dari feminisme
sekular yang dimulai di Indonesia pada awal 1980-an, pengaruh feminisme
Muslim baru terjadi pada tahun 1990-an saat banyak calon feminis Muslim
Indonesia mendapatkan sarjana pertama mereka.

Feminisme Muslim dunia sudah dipeluk oleh para Muslim Indonesia karena
datangnya yang sangat tepat waktu, di tahun 1990-am, saat banyak Muslim
Indonesia yang sudah mendapatkan pendidikan dengan baik. Pengaruh tersebut
dibuktikan dengan bagaimana sikap perempuan dalam menghadapi pernikahan.
Secara umum, Muslim Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan
respon mereka terhadap feminisme Muslim: (1) menerima dan mengadopsi
feminisme Muslim untuk akademik mereka dan aktivisme feminis (Muslim
feminis), dan (2) menolak dan menyerang publikasi feminis Muslim dengan
publikasi Islami (feminis Islami). Dengan kategorisasi yang dibuat oleh Karam,
feminis Islam tidak suka dilabelisasi sebagai feminis karena menurut mereka
istilah feminis datang dari Barat. Mereka mendukung peran yang saling
melengkapi antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan adalah ibu rumah
tangga dan seorang ibu yang bertugas untuk melayani suami dan mengurus anak-
anaknya. Sementara itu, laki-laki adalah pencari nafkah keluarga. Bagi mereka,
perempuan dapat berpartisipasi di lapisan masyarakat selama mereka tidak
melupakan kewajiban mereka terhadap keluarga yang disebut sebagai kodrat. Di
3
Indonesia, feminis Islam ini dibanding yang lain adalah aktivis perempuan dari
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (Muslimah HTI) atau anggota dari Partai
Keadilan Sejahtera/PKS yang berdebat melawan kesetaraan gender.

2. Pendidikan Perempuan Indonesia dan Berubahnya Sikap terhadap


Pernikahan di 1970-an

Pendidikan perempuan berhubungan dengan sikap terhadap pernikihan. Untuk


menjelaskannya, sejarah Indonesia dibagi menjadi dua periode: (1) mulai dari
tahun 1950-an sampai dengan 1970-an dan (2) dari tahun 1970-an hingga
sekarang. Selama periode pertama, perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa,
menikah di umur 17 tahun (Hildred Geertz, 1961). Fenomena ini terjadi karena
kemiskinan dan rendahnya pendidikan pada masa itu. Pernikahan dianggap
menjadi penentu status sosial seorang perempuan dan juga orang tua mereka. Jika
perempuan tidak kunjung menikah, mereka akan dilabeli sebagai ‘perawan tua’
dan dianggap mempermalukan kedua orang tuanya. Untuk menghindari rasa malu
tersebut, orang tua mencarikan pria untuk dinikahkan kepada anak perempuannya
untuk sementara, lalu setelah itu menceraikannya. Setelah perceraian tersebut
akan lebih susah bagi perempuan untuk menemukan pria yang tidak malu untuk
menikahi nya.

Pernikahan dianggap sebagai urusan orang tua, bukanlah keputusan pribadi.


Orang tua memiliki banyak ketertarikan atas pernikahan anaknya. Banyak orang
tua yang menjadikan pernikahan setelah anak perempuannya pubertas sebagai
upaya untuk menjauhkan anaknya dari kehamilan di luar nikah. Faktor lainnya
adalah beberapa orang tua melihat pernikahan sebagai sebuah keuntungan
material karena mereka akan menerima hadiah selama pernikahan serta pesta yang
diselenggarakan selama pernikahan juga menjadi penentu status sosial orang tua
dalam komunitas mereka. Perjodohan ini dianggap sebagai rituaal penting bagi
orang tua untuk anak mereka namun masih memberikan pilihan untuk tetap
mempertahankan atau meninggalkan pernikahan. Orang tua bertanggung jawab
atas perjodohan ini, jika anak mereka tidak bahagia maka orang tua mungkin akan
menyusun ulang perjodohan dengan persetujuan anak mereka. (Rosemary Firth,
1961)
4
Pada tahun 1950-an, tingkat perceraian di Jawa adalah tingkat perceraian
tertinggi di dunia dengan hampir setengah dari pernikahan berakhir dengan
perceraian. Pada masa tersebut tidak ada stigma negatif yang diberikan kepada
orang orang yang mengalami perceraian karena dianggap sesuatu yang wajar.
Namun, menurut data, perceraian justru dianggap salah dan memalukan secara
moral oleh para santri dan priayi (Diane L. Wolf, 1992). Jadi, perempuan dengan
kelas menengah keatas cenderung menghindari perceraian untuk melindungi
kemandirian ekonomi mereka dari suaminya.

Sebelum tahun 1970-an, perempuan Indonesia sangat rentan dengan perlakuan


kekerasan. Perempuan jarang diberi pilihan untuk menikah berdasarkan cinta, atau
saat mereka menikah muda, mereka rentan diceraikan atau dipoligami dan
diperlakukan tidak adil. Perempuan tidak memiliki hak yang jelas karena tidak ada
hukum yang terkodifikasi di Indonesia mengenai hubungan rumah tangga.

Situasi berubah sejak tahun 1970-an. Pada masa ini, Indonesia memulai
kemajuan. Era pemerintahan Orde Baru sudah mengembangkan jalan dan
transportasi dan membangun banyak sekolah di seluruh penjuru Indonesia,
khususnya Jawa, dengan Sekolah Dasar di setiap desa, Sekolah Menengah
Pertama di setiap kecamatan, dan Sekolah Menengah Atas di setiap kelurahan. Ini
membuat perempuan lebih mudah mendatangi sekolah yang dekat dengan rumah.

Sebagai hasilnya, sudah terhitung banyak perempuan yang menyelesaikan 9


tahun pertama pendidikannya. Akses pendidikan yang dirasa sudah dapat
dijangkau pada masa itu merubah pola pikir beberapa orang tua dan merasa
pendidikan adalah hal yang peting. Orang tua cenderung berusaha agar anaknya
mendapatkan pendidikan yang tinggi dibanding menyuruh mereka untuk menikah.
Stigma tahun 1950-an yang melihat perempuan muda belum menikah justru kini
berbalik keadannya, perempuan yang menikah muda cenderung akan dipandang
remeh, terlebih jika menikah karena hamil.

Secara umum, terjadi kenaikan umur pernikahan semenjak tahun 1970-an


seiring dengan naiknya pula angka pendidikan. Tidak hanya di Indonesia tetapi
5
juga di Asia Tenggara. Kesempatan untuk menempuh pendidikan bagi perempuan
merupakan faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Selain itu, penetapan hukum
usia minimum untuk menikah juga menaikan angka umur pasangan yang
melaksanakan pernikahan. Menurut Hull, di Indonesia, rata-rata umur pernikahan
meningkat hingga ke umur 20 keatas di tahun 1985 (Terence H. Hull, 1994).
Bahkan, semenjak tahun 1990-an, melihat laki-laki dan perempuan di umur 30
tahun ke atas belum menikah adalah suatu hal yang biasa.

Kesempatan perempuan untuk menempuh pendidikan juga membuka peluang


perempuan untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya, sehingga mereka dapat
menentukan pilihan mereka sendiri bukan melalui perjodohan orang tua nya
seperti yang terjadi di masa lalu. Pendidikan tinggi membuat perempuan dan laki-
laki mempunyai kesempatan yang sama untuk menempuh karir dan mandiri secara
finansial, sehingga angka perceraian karena kemiskinan pun menurun. Faktor lain
yang menurunkan angka penceraian adalah umur yang matang dan dewasa untuk
melaksanakan pernikahan setelah selesai menempuh pendidikan. Hukum tentang
perceraian juga semakin ketat dan sulit sehingga para pasangan suami istri yang
mau bercerai lebih sulit untuk mengurus perceraian.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, kebanyakan feminis Muslim mulanya


datang dari area pedesaan. Perempuan yang lahir pada tahun 1960-an dapat
mengambil kesempatan untuk merubah sikapnya terhadap pernikahan dan
pendidikan perempuan. Di tahun 1990-an, saat karya-karya Muslim feminis non-
Indonesia datang ke Indonesia, kebanyakan para Muslim feminis Indonesia
mendapatkan setidaknya sarjana S1 mereka di Perguruan Tinggi atau Institusi
Islam. Beberapa dari mereka yang mengerti bahasa Inggris dan Arab dapat
membaca banyak karya feminis di bahasa asli mereka, disaat yang lainnya
bertumpu pada buku-buku terjemahan yang diterbitkan di Indonesia.

3. Feminis Muslim Dunia

Jika kita mendifinisikan feminisme sebagai “sebuah kesadaran atas


keberadaannya penindasan atau subordinasi terhadap perempuan karena jenis
kelaminnya dan sebagai usaha untuk mengeliminasi penindasan atau subordinasi
6
dan untuk mencapai kesetaraan relasi gender di antara laki-laki dan perempuan”
maka feminisme tidak hanya untuk wanita, karena penindasan dan subordinasi
tersebut terjadi bukan hanya karena faktor biologis melainkan kultural. Banyak
perempuan yang ikut serta dalam budaya patriarki dan banyak juga laki-laki yang
berargumen tentang kebebasan perempuan. Jika kita mendefinisikan feminisme
demikian, maka Nabi Muhammad dapat dikategorikan sebagai feminis. Pada
zaman munculnya Islam, kebencian dan penindasan terjadi sangat kejam untuk
perempuan, bahkan anak perempuan dikubur hidup-hidup. Nabi Muhammad
memperjuangkan hak asasi perempuan dengan agama Islam yang dibawanya.
Nabi Muhammad memperlakukan perempuan dengan lembut dan merespon
dengan positif keingintahuan mereka.

Feminisme dapat hadir dimana saja dan dengan bentuk yang beragam dari
seluruh penjuruh dunia. Feminisme tidak hanya dipelopori oleh Barat. Contohnya,
di Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan Qasim Amin (1863- 1908) yang
menentang melawan poligami yang sewenang-wenang dan menunjukan
kekhawatiran mereka terhadap pendidikan perempuan. Seperti Qasim Amin yang
tidak setuju dengan perempuan yang menutup wajah mereka, Huda Sha`rawi
(1879- 1947) juga salah satu feminis Muslim awal di Mesir yang menentang hijab.
Di Maroko, Farima Mernissi sudah menulis banyak sekali karya feminis sejak
tahun 1970-an. Di India, Ashgar Ali Engineer bukan hanya berjuang untuk hak
perempuan namun menenentang komunalisme. Di Amerika, banyak feminis
Muslim seperti Amina Wadud, dan beberapa dari mereka memang berasal dari
negara yang bermayoritas Muslim seperti Riffat Hassan dan Asma Barlas yang
berasal dari Pakistan. Di Inggris, banyak juga feminis Muslim yang berasal dari
negara mayoritas Muslim seperti Ziba Hossaini dan Haleh Afshar dari Iran. Tentu
masih banyak feminisme Muslim lainnya baik perempuan maupun laki-laki yang
tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Namun, karya-karya mereka
memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pergerakan feminisme Muslim di
Indonesia.

4. Pengaruh Feminisme Muslim Dunia Terhadap Feminisme Muslim Indonesia

7
Banyak karya tokoh tokoh feminisme Muslim yang disebutkan diatas
sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak awal tahun 1990-an, seperti karya-
karya Qasim Amin, Nawal Saadawi, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali
Engineer, Amina Wadud, dan Asma Barlas. Beberapa orang Indonesia yang sudah
berpendidikan di tahun 1990-an menanggapi karya ini dengan cara
menyelenggarakan seminar dan konferensi untuk mendiskusikan feminisme
Muslim atau dengan melakukan penelitian lebih lanjut tentang feminisme Muslim.
Beberapa sarjana yang mendalami penelitian lebih jauh, publikasi, dan pelatihan
tentang feminisme adalah Lies Marcos, Masdar F Mas`udi, Lily Zakiah Munir,
Nasaruddin Umar, Zaitunah Subhan, Nurjannah Ismail, Maria Ulfah Anshor,
Badriyah Fayumi, Siti Musdah Mulia, Abidah Al-Khalieqy, KH Husein
Muhammad, dan Faqihuddin Abdul Kodir. Secara umum, mereka berdebat
tentang menggunakan agama untuk menjustifikasi subordinasi terhadap
perempuan dengan menginterpretasi al-Qur’an dari prespektif gender yang setara.

Lies Marcos adalah salah satu pendukung hak-hak perempuan yang paling
awal dalam Islam di Indonesia. Ia tumbuh besar di kota kecil di Jawa Barat dan
melanjutkan studinya di IAIN Jakarta. Selama aktivitasnya di Perhimpunan
Pengembangan Pesantren/P3M, dia mencerahkan banyak kiayi, termasuk KH
Muhammad, istri mereka dan guru agama di pesantren Nahdatul Ulama/NU
dengan menggunakan Pelatihan Fiqh Al-Nisa’ untuk Penguatan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan di 6 wilayah di seluruh Jawa dan Madura. Dalam
pelatihan ini, Lies meningkatkan kesadaran tentang ketidaksetaraan antara
perempuan dan laki laki, yang dibenarkan dengan interpretasi yang bias terhadap
laki-laki. Ia menggunakan bahasa Arab dan cenderung lebih diterima oleh
komunitas NU dibanding bahasa Inggris. Lies dengan feminis Muslim lainnya
didukung oleh NU, menyebarkan edukasi dan informasi mengenai hak-hak
perempuan kemanapun. Lies lebih aktivis yang menyebarkan pemahamannya
untuk meningkatkan kesadaran tentang gender melalui pelatihan dibandingkan
dengan menulis buku.

Masdar F Mas’udi adalah direktur dari P3M. Ia menulis Islam dan Hak-
Hak Reproduksi Perempuan yang diterbitkan oleh Mizan di 1997. Buku ini ditulis
atas permintaan dari peserta di pelatihan Fiqh al-Nisa’ untuk menjelaskan hak
8
reproduksi perempuan dalam Islam. Buku ini menyajikan pendekatan yang
berbeda ke Islam yaitu dengan konstektual dan progresif. Buku ini
mengkategorikan ayat al-Qur’an kedalam fundamental dan instrumental. Buku
Mas’udi ini juga menyerang fiqih mainstream yang cenderung mendukung bahwa
perempuan kodratnya adalah melayani suami. Berbanding terbalik, buku ini
menerangkan bahwa perempuan mempunyai hak atas reproduksi nya, hak dalam
mempunyai anak, untuk menikmati relasi seksual, untuk menentukan kapan harus
mengandung, dan untuk merawat anak-anaknya. Dalam buku ini terdapat
pengaruh feminis Muslim non-Indonesia contohnya dilihat dari mengutip dua
karya dari Mernisi.

Sementara feminis Muslim Indonesia dipengaruhi oleh feminis Muslim


non-Indonesia, yang pertama tidak menyalin karya yang terakhir, melainkan
mensintesis karya mereka dan memproduksi sesuatu yang baru dan belum
didiskusikan oleh feminis Muslim non-Indonesia manapun. Contohnya adalah
karya Nasaruddin Umar. Ia menulis buku berjudul Argumen Kesetaraan Jender:
Perspektif Al-Qur’an pada tahun 1999, disamping buku ini yang mengutip dari
feminis Muslim non-Indonesia seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina
Wadud dan Leila Ahmed, buku ini menyajikan hal baru yaitu mengidentifikasi
istilah gender yang digunakan dalam al-Qur’an. Menurutnya orang dapat lahir
dengan gender biologis laki-laki atau perempuan sebagai sebuah kodrat, tetapi
mereka dapat memilih untuk menjadi feminim atau maskulin.

5. Oposisi Terhadap Feminisme Muslim

Bagaimanapun juga, tidak semua Muslim Indonesia setuju dengan diskursi


feminisme. Diantara yang paling menentang feminisme adalah Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Mereka berpendapatbahwa feminisme adalah produk Barat yang
sebenarnya tidak dibutuhkan oleh kaum Muslim. Mereka menerbitkan publikasi
yang secara gamblang menentang diskursi feminis, sebagai contoh Revisi Politik
Perempuan yang ditulis oleh dua perempuan Muslim yang masih muda, Najmah
Sa`idah dan Husnul Khatimah, mereka baru saja mendapatkan gelar sarjana dari
Institut Pertanian Bogor dan Universitas Padjadjaran (2003. Buku ini mengktisi
karya karya feminis Muslim seperti Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, Fatima
9
Mernissi, Nawaal Saadawi dan Riffat Hassan yang mencoba menginterpretasi al-
Qur’an. Mereka berpendapat bahwa para aktivis feminis ini sudah dipengaruhi
oleh sekularisme dan liberalisme Barat. Mereka sangat menentang apapun yang
berbau Barat, seperti kapitalisme, demokrasi, dan libelarisme. Contoh lain dapat
dilihat dari tulisan yang diterbitkan di Majalah Muslimah HTI, Al-Wa`ie no. 124
Tahun XI, 1-31 Desember 2010. Dalam majalah tersebut, Iffah Rochmah
berpendapat bahwa hanya Islam lah yang memuliakan perempuan. Ia berpendapat
bahwa ekonomi kapitalis yang membuat Indonesia menjadi mementikan
kepentingan personal dan beberapa pihak dan mengabaikan pihak lainnya,
termasuk perempuan. Kapitalisme ini yang melahirkan kemiskinan struktural.
Menurut Iffah Rochmah, pemikiran kesetaraan gender justru yang melahirkan
permasalahan kesetaraan gender itu sendiri. Perempuan jadi ingin terlibat di
semua faktor dan merusak kodrat laki-laki dan perempuan yang sudah dituliskan.
Perempuan jadi memandang kehidupan seorang Ibu yang mengurus anak sebagai
perbudakan. Hal ini berpengaruh pada tingkat pendidikan anak dan bagaimana
seorang Ibu mengurus anaknya dengan tanggung jawab atau tidak.

Contoh terakhir dari penolakan pemikiran feminis adalah sebuah novel yang
berjudul Kemi karya Adian Husaini, ketua dari Dewan Dakwah Islam. Novel ini
tidak secara langsung mengkritik namun tajam terhadap liberalisme dan
feminisme. Pemeran protagonis dari novel ini digambarkan menjual agama Islam
demi pemikiran liberal dan projek gender, yang mana biasanya dibiayai oleh
sponsor Barat. Akhir dari novel tersebut menjelaskan bahwa pemeran utamanya,
Kemi, berakhir menjadi gila, kiayi yang terkenal di Jawa Barat, menggambarkan
sebagai seorang pemikir liberal tetapi meninggal di ruang seminar, dan Siti,
aktivis liberal berakhir kembali kepada orang tua nya yang memiliki pesantren.
Sehingga, dalam novel ini, pemikiran liberal dan kesetaraan gender dianggap
sebagai ideologi yang diimpor dari Barat, yang mana ideologi tersebut adalah
ideologi yang keliru dan membahayakan untuk Muslim laki-laki dan perempuan.

C. KESIMPULAN

Perbedaan adalah sebuah berkah yang harus disyukuri. Dengan adanya


pengaruh feminis Muslim dunia, feminis Indonesia menjadi lebih terbuka dengan isu-
10
isu yang ada dan menjadi punya cara pandang baru dalam melihat Islam dan bersikap
dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Islam sudah terlalu terbiasa melihat
bahwa memang sudah pada dasarnya laki-laki lebih superior dibanding perempuan,
feminisme menawarkan pandangan alternatif dengan memberikan cara pandang
bahwa perempuan juga bisa melakukan hal-hal yang sama seperti yang dilakukan
laki-laki. Bagaimanapun juga, tidak mudah untuk menerima pemikiran baru, apalagi
ketika istilah ‘feminisme’ ini asalnya dari Barat. Tidak hanya Islam, namun negara-
negara Timur mempunyai sentimen yang buruk terhadap Barat pasca kolonialisasi dan
monopoli ekonomi di negara Timur, sehingga negara Timur sangat anti dengan
cetusan yang berasal dari Barat seperti yang dilakukan oleh Muslimah HTI.

Cara Muslimah HTI, Adian Husaini, Najmah Saidah dan Husnul Khatimah
melihat Islam dan feminis dianggap cocok dengan karakterisitk umum fundamentalis
menurut Moghissi, yaitu anti moderenisasi, anti demokrasi, dan anti feminisme.
Namun, mereka tidak menentang gaya hidup modern sebegitunya melihat mereka
juga menggunakan teknologi canggih seperti komputer dan internet. Fundamentalis,
menurut Munir, percaya doktrin agama yang membatasi perempuan. Mereka
membatasi perempuan dalam lapisan domestik sehari-hari seperti syari’at dan kodrat.
Banyak fundamentalis yang mengikuti pendapat dari Hasan al-Bana, ideologi yang
tidak terlalu radikal dari Mesir, bahwa “tempat perempuan adalah rumah, dan peran
utama mereka adalah ibu, istri dan mengurus rumah” dan Abul A’la al Mawdudi yang
berpendapat bahwa untuk menjaga kesucian perempuan, yang Ia percayai adalah hak
asasi manusia, perempuan seharusnya berada di rumah dan mengenakan cadar.

Penerapan nyata dari dampak feminisme adalah ada beberapa perempuan yang
mendukung fundamentalisme dan mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap
pandangan fundamentalis, menjadi ibu rumah tangga, seorang istri dan mengurus
suami di rumah. Berpikir bahwa segala urusan akan dituntun, diarahkan, dan
diajarkan oleh laki-laki. Namun, setelah menikah, mereka menemukan banyak
pemikiran fundamentalisme yang terlalu bersifat utopis, tidak realistis, dan
problematik yang akhirnya mengarahkan para perempuan itu untuk memikirkan ulang
secara kritis dan bahkan menganggap pemikiran ini sebagai tantangan. Proses dalam
merubah cara dalam melihat Islam, dari fundamentalis ke feminis, bagaimanapun,
membutuhkan waktu dan usaha yang lebih karena waktu dibutuhkan untuk menerima
11
pemikiran baru apalagi yang berhubungan dengan isu tentang perempuan. Membaca
dan berinteraksi dengan diskursi feminisme Muslim adalah salah satu cara untuk
mengerti ide baru dari femins Muslim. Posisi ini yang membuat perempuan akhirnya
setuju dengan banyak feminis Muslim Indonesia dan non-Indonesia, seperti Riffat
Hassan, Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan lainnya, yang percaya bahwa Islam itu
sebuah agama yang progresif yang menaikan posisi perempuan namun dengan
interpretasi patriarki dari al-Qur’an, mengembalikan perempuan ke tradisi di masa
Arab sebelum Islam.

Maka dari itu, untuk mengembalikan ssemangat Islam mengenai kebebasan


gender dan kesetaraannya, Qur’an secara berlanjut terus di re-interpretasi-kan dari
prespektif gender yang setara. Masa pemerintahan Orde Baru mempunyai banyak
kekuarangan, tetapi juga di era ini derajat perempuan dinaikkan ke dalam posisi yang
lebih layak dan memberikan hukum pernikahan yang sudah terkodifikasi, fasilitas
pendidikan baik untuk laki-laki dan perempuan. Secara ideal, pemerintahan kini dapat
meneruskan usaha sebelumnya dalam menaikan perempuan Indonesia kedalam posisi
yang lebih baik. Contohnya, mereka dapat menjawab seruan kaum feminis Indonesia
untuk mengamandemen UU Perkawinan 1974, khususnya tentang penghapusan
poligami dan mengubah peran laki-laki dan perempuan yang dipaksakan secara kaku,
sehingga alih-alih berdasarkan jenis kelamin justru berdasarkan profesionalisme,
situasi dan konteks.

12
DAFTAR PUSTAKA

Azza Karam, Women, Islamism and the State: Contemporary Feminisms in Egypt. New
York, St Martin’s Press, 1998
Nina Nurmila, Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia.
London, Routledge, 2009
Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. USA, The Free
Press of Glencoe, 1961
Rosemary Firth, Housekeeping Among Malay Peasants. New York, Humanities Press, 1966
Diane L. Wolf, Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural
Industrialization in Java. Berkeley, University of California Press, 1992
Terence H. Hull, Fertility decline in the New Order period: The evolution of population
policy 1965–1990’, in Hal Hill (ed.), Indonesia’s New Order: The Dinamics of Socio-
economic Transformation, NSW: Allen & Unwin, 1994
Stacey, Judith. The New Conservative Feminism : Feminist Studies Journal, Vol. 9, No. 3,
1983
Kathryn Robinson, Islamic Influences on Indonesian Feminism : The Journal of
Anthropology, Vol. 50, No. 1, 2006
Nafsiyatul Luthfiyah, Feminisme Islam Di Indonesia : Jurnal Esensia, Vol. 16, No. 1, April
2015

13

Anda mungkin juga menyukai