Indonesia sebagai negara dengan populasi Islam terbanyak memunculkan isu kritis yaitu
kuatnya pengaruh pemikiran fundamentalisme, produk yang dihasilkan kelompok
fundamentalis salah satunya adalah patriarki. Gelombang feminisme yang masuk ke
Indonesia dirasa dapat menyelesaikan masalah tersebut. Kelompok feminis Muslim Indonesia
sangat memperjuangkan hak-hak perempuan dengan adil salah satunya dengan cara menulis
buku, membuat seminar, dan membuat pelatihan. Karya-karya yang dihasilkan oleh para
feminis Muslim Indonesia banyak yang mengutip feminis Muslim non-Indonesia, contohnya
Farima Merinssi, Riffat Hasan, Amina Wadud, dan lain-lain. Dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana feminis Muslim dunia mempengaruhi cara pandang feminis Muslim di Indonesia.
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………ii
A. PENDAHULUAN………………………………………………………………………...1
B. PEMBAHASAN…………………………………………………………………………..2
1970-an………………………………………………………………………………..4
C. KESIMPULAN…………………………………………………..………………………11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….13
ii
A. PENDAHULUAN
1
Gelombang Feminisme Dunia mulai menjamur di Indonesia dan banyak
diadaptasi nilai-nilainya pasca era Orde Baru. Banyak penulis dan aktivis Feminis
yang mulai vokal dengan visi Feminisme yang mereka perjuangkan. Alasan gerakan
Feminis muncul salah satunya untuk melepaskan perempuan dari belenggu budaya
patriarki yang dilahirkan oleh politik Islam. Namun, di lain sisi, budaya tersebut
sudah sangat dinormalisasi dan hidup beriringan dengan kehidupan perempuan
Indonesia. Permasalahan ini melahirkan paradoks tentang Islam dan Feminisme di
Indonesia.
B. PEMBAHASAN
2
berada di kelas menengah-keatas tetapi tanpa ada pengalaman pendidikan di
sekolah Islam.
Feminisme Muslim dunia sudah dipeluk oleh para Muslim Indonesia karena
datangnya yang sangat tepat waktu, di tahun 1990-am, saat banyak Muslim
Indonesia yang sudah mendapatkan pendidikan dengan baik. Pengaruh tersebut
dibuktikan dengan bagaimana sikap perempuan dalam menghadapi pernikahan.
Secara umum, Muslim Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan
respon mereka terhadap feminisme Muslim: (1) menerima dan mengadopsi
feminisme Muslim untuk akademik mereka dan aktivisme feminis (Muslim
feminis), dan (2) menolak dan menyerang publikasi feminis Muslim dengan
publikasi Islami (feminis Islami). Dengan kategorisasi yang dibuat oleh Karam,
feminis Islam tidak suka dilabelisasi sebagai feminis karena menurut mereka
istilah feminis datang dari Barat. Mereka mendukung peran yang saling
melengkapi antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan adalah ibu rumah
tangga dan seorang ibu yang bertugas untuk melayani suami dan mengurus anak-
anaknya. Sementara itu, laki-laki adalah pencari nafkah keluarga. Bagi mereka,
perempuan dapat berpartisipasi di lapisan masyarakat selama mereka tidak
melupakan kewajiban mereka terhadap keluarga yang disebut sebagai kodrat. Di
3
Indonesia, feminis Islam ini dibanding yang lain adalah aktivis perempuan dari
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (Muslimah HTI) atau anggota dari Partai
Keadilan Sejahtera/PKS yang berdebat melawan kesetaraan gender.
Situasi berubah sejak tahun 1970-an. Pada masa ini, Indonesia memulai
kemajuan. Era pemerintahan Orde Baru sudah mengembangkan jalan dan
transportasi dan membangun banyak sekolah di seluruh penjuru Indonesia,
khususnya Jawa, dengan Sekolah Dasar di setiap desa, Sekolah Menengah
Pertama di setiap kecamatan, dan Sekolah Menengah Atas di setiap kelurahan. Ini
membuat perempuan lebih mudah mendatangi sekolah yang dekat dengan rumah.
Feminisme dapat hadir dimana saja dan dengan bentuk yang beragam dari
seluruh penjuruh dunia. Feminisme tidak hanya dipelopori oleh Barat. Contohnya,
di Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan Qasim Amin (1863- 1908) yang
menentang melawan poligami yang sewenang-wenang dan menunjukan
kekhawatiran mereka terhadap pendidikan perempuan. Seperti Qasim Amin yang
tidak setuju dengan perempuan yang menutup wajah mereka, Huda Sha`rawi
(1879- 1947) juga salah satu feminis Muslim awal di Mesir yang menentang hijab.
Di Maroko, Farima Mernissi sudah menulis banyak sekali karya feminis sejak
tahun 1970-an. Di India, Ashgar Ali Engineer bukan hanya berjuang untuk hak
perempuan namun menenentang komunalisme. Di Amerika, banyak feminis
Muslim seperti Amina Wadud, dan beberapa dari mereka memang berasal dari
negara yang bermayoritas Muslim seperti Riffat Hassan dan Asma Barlas yang
berasal dari Pakistan. Di Inggris, banyak juga feminis Muslim yang berasal dari
negara mayoritas Muslim seperti Ziba Hossaini dan Haleh Afshar dari Iran. Tentu
masih banyak feminisme Muslim lainnya baik perempuan maupun laki-laki yang
tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Namun, karya-karya mereka
memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pergerakan feminisme Muslim di
Indonesia.
7
Banyak karya tokoh tokoh feminisme Muslim yang disebutkan diatas
sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak awal tahun 1990-an, seperti karya-
karya Qasim Amin, Nawal Saadawi, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Asghar Ali
Engineer, Amina Wadud, dan Asma Barlas. Beberapa orang Indonesia yang sudah
berpendidikan di tahun 1990-an menanggapi karya ini dengan cara
menyelenggarakan seminar dan konferensi untuk mendiskusikan feminisme
Muslim atau dengan melakukan penelitian lebih lanjut tentang feminisme Muslim.
Beberapa sarjana yang mendalami penelitian lebih jauh, publikasi, dan pelatihan
tentang feminisme adalah Lies Marcos, Masdar F Mas`udi, Lily Zakiah Munir,
Nasaruddin Umar, Zaitunah Subhan, Nurjannah Ismail, Maria Ulfah Anshor,
Badriyah Fayumi, Siti Musdah Mulia, Abidah Al-Khalieqy, KH Husein
Muhammad, dan Faqihuddin Abdul Kodir. Secara umum, mereka berdebat
tentang menggunakan agama untuk menjustifikasi subordinasi terhadap
perempuan dengan menginterpretasi al-Qur’an dari prespektif gender yang setara.
Lies Marcos adalah salah satu pendukung hak-hak perempuan yang paling
awal dalam Islam di Indonesia. Ia tumbuh besar di kota kecil di Jawa Barat dan
melanjutkan studinya di IAIN Jakarta. Selama aktivitasnya di Perhimpunan
Pengembangan Pesantren/P3M, dia mencerahkan banyak kiayi, termasuk KH
Muhammad, istri mereka dan guru agama di pesantren Nahdatul Ulama/NU
dengan menggunakan Pelatihan Fiqh Al-Nisa’ untuk Penguatan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan di 6 wilayah di seluruh Jawa dan Madura. Dalam
pelatihan ini, Lies meningkatkan kesadaran tentang ketidaksetaraan antara
perempuan dan laki laki, yang dibenarkan dengan interpretasi yang bias terhadap
laki-laki. Ia menggunakan bahasa Arab dan cenderung lebih diterima oleh
komunitas NU dibanding bahasa Inggris. Lies dengan feminis Muslim lainnya
didukung oleh NU, menyebarkan edukasi dan informasi mengenai hak-hak
perempuan kemanapun. Lies lebih aktivis yang menyebarkan pemahamannya
untuk meningkatkan kesadaran tentang gender melalui pelatihan dibandingkan
dengan menulis buku.
Masdar F Mas’udi adalah direktur dari P3M. Ia menulis Islam dan Hak-
Hak Reproduksi Perempuan yang diterbitkan oleh Mizan di 1997. Buku ini ditulis
atas permintaan dari peserta di pelatihan Fiqh al-Nisa’ untuk menjelaskan hak
8
reproduksi perempuan dalam Islam. Buku ini menyajikan pendekatan yang
berbeda ke Islam yaitu dengan konstektual dan progresif. Buku ini
mengkategorikan ayat al-Qur’an kedalam fundamental dan instrumental. Buku
Mas’udi ini juga menyerang fiqih mainstream yang cenderung mendukung bahwa
perempuan kodratnya adalah melayani suami. Berbanding terbalik, buku ini
menerangkan bahwa perempuan mempunyai hak atas reproduksi nya, hak dalam
mempunyai anak, untuk menikmati relasi seksual, untuk menentukan kapan harus
mengandung, dan untuk merawat anak-anaknya. Dalam buku ini terdapat
pengaruh feminis Muslim non-Indonesia contohnya dilihat dari mengutip dua
karya dari Mernisi.
Contoh terakhir dari penolakan pemikiran feminis adalah sebuah novel yang
berjudul Kemi karya Adian Husaini, ketua dari Dewan Dakwah Islam. Novel ini
tidak secara langsung mengkritik namun tajam terhadap liberalisme dan
feminisme. Pemeran protagonis dari novel ini digambarkan menjual agama Islam
demi pemikiran liberal dan projek gender, yang mana biasanya dibiayai oleh
sponsor Barat. Akhir dari novel tersebut menjelaskan bahwa pemeran utamanya,
Kemi, berakhir menjadi gila, kiayi yang terkenal di Jawa Barat, menggambarkan
sebagai seorang pemikir liberal tetapi meninggal di ruang seminar, dan Siti,
aktivis liberal berakhir kembali kepada orang tua nya yang memiliki pesantren.
Sehingga, dalam novel ini, pemikiran liberal dan kesetaraan gender dianggap
sebagai ideologi yang diimpor dari Barat, yang mana ideologi tersebut adalah
ideologi yang keliru dan membahayakan untuk Muslim laki-laki dan perempuan.
C. KESIMPULAN
Cara Muslimah HTI, Adian Husaini, Najmah Saidah dan Husnul Khatimah
melihat Islam dan feminis dianggap cocok dengan karakterisitk umum fundamentalis
menurut Moghissi, yaitu anti moderenisasi, anti demokrasi, dan anti feminisme.
Namun, mereka tidak menentang gaya hidup modern sebegitunya melihat mereka
juga menggunakan teknologi canggih seperti komputer dan internet. Fundamentalis,
menurut Munir, percaya doktrin agama yang membatasi perempuan. Mereka
membatasi perempuan dalam lapisan domestik sehari-hari seperti syari’at dan kodrat.
Banyak fundamentalis yang mengikuti pendapat dari Hasan al-Bana, ideologi yang
tidak terlalu radikal dari Mesir, bahwa “tempat perempuan adalah rumah, dan peran
utama mereka adalah ibu, istri dan mengurus rumah” dan Abul A’la al Mawdudi yang
berpendapat bahwa untuk menjaga kesucian perempuan, yang Ia percayai adalah hak
asasi manusia, perempuan seharusnya berada di rumah dan mengenakan cadar.
Penerapan nyata dari dampak feminisme adalah ada beberapa perempuan yang
mendukung fundamentalisme dan mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap
pandangan fundamentalis, menjadi ibu rumah tangga, seorang istri dan mengurus
suami di rumah. Berpikir bahwa segala urusan akan dituntun, diarahkan, dan
diajarkan oleh laki-laki. Namun, setelah menikah, mereka menemukan banyak
pemikiran fundamentalisme yang terlalu bersifat utopis, tidak realistis, dan
problematik yang akhirnya mengarahkan para perempuan itu untuk memikirkan ulang
secara kritis dan bahkan menganggap pemikiran ini sebagai tantangan. Proses dalam
merubah cara dalam melihat Islam, dari fundamentalis ke feminis, bagaimanapun,
membutuhkan waktu dan usaha yang lebih karena waktu dibutuhkan untuk menerima
11
pemikiran baru apalagi yang berhubungan dengan isu tentang perempuan. Membaca
dan berinteraksi dengan diskursi feminisme Muslim adalah salah satu cara untuk
mengerti ide baru dari femins Muslim. Posisi ini yang membuat perempuan akhirnya
setuju dengan banyak feminis Muslim Indonesia dan non-Indonesia, seperti Riffat
Hassan, Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan lainnya, yang percaya bahwa Islam itu
sebuah agama yang progresif yang menaikan posisi perempuan namun dengan
interpretasi patriarki dari al-Qur’an, mengembalikan perempuan ke tradisi di masa
Arab sebelum Islam.
12
DAFTAR PUSTAKA
Azza Karam, Women, Islamism and the State: Contemporary Feminisms in Egypt. New
York, St Martin’s Press, 1998
Nina Nurmila, Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia.
London, Routledge, 2009
Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. USA, The Free
Press of Glencoe, 1961
Rosemary Firth, Housekeeping Among Malay Peasants. New York, Humanities Press, 1966
Diane L. Wolf, Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural
Industrialization in Java. Berkeley, University of California Press, 1992
Terence H. Hull, Fertility decline in the New Order period: The evolution of population
policy 1965–1990’, in Hal Hill (ed.), Indonesia’s New Order: The Dinamics of Socio-
economic Transformation, NSW: Allen & Unwin, 1994
Stacey, Judith. The New Conservative Feminism : Feminist Studies Journal, Vol. 9, No. 3,
1983
Kathryn Robinson, Islamic Influences on Indonesian Feminism : The Journal of
Anthropology, Vol. 50, No. 1, 2006
Nafsiyatul Luthfiyah, Feminisme Islam Di Indonesia : Jurnal Esensia, Vol. 16, No. 1, April
2015
13