Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Sastra Feminis


Sastra feminis terdiri dari dua kata yaitu sastra dan feminisme yang mana
masing-masning memiliki makna tersendiri. Dalam bahasa indonesia sastra secara
bahasa berasal dari bahasa sanksekerta yaitu sas yang berarti mengajar dan tra yang
artinya alat atau sarana. Dengan demikian secara bahasa sastra dapat diartikan sebagai
alat untuk mengajar. Secara istilah sastra adalah ungkapan perasaan dan pikiran
manusia yang diekspresikan dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan menggunakan
bahasa yang indah.1 Sedangkan feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut
adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
2
Dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan sastra
feminis adalah studi sastra yang memfokuskan kajiannya tentang wanita dan isu-isu
yang terkait dengannya.
B. Gerakan Emansipasi Wanita di Mesir
Emansipasi wanita di Mesir diawali dengan munculnya gagasan dan
pemikiran tentang gerakan feminisme yang dipelopori oleh Zainab al-Ghazali.
Gerakan feminismenya menuntut agar perempuan diberi kedudukan yang sama
dengan laki-laki dalam bidang sosial dan politik. Menurutnya perempuan juga
berkesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan sosial politik dan mengemukakan
pendapat. Selain itu ia juga menegaskan bahwa wanita bukanlah makhluk yang hina
dan dipandang sebelah mata. Syariat islam memerintahkan untuk menghormati dan
mengangkat derajat wanita. 3
Mrgon Badran seoarang pemerhati feminis dari Inggris membagi gerakan ini dalam 4
Fase.
a) Fase Pertama (Radical Liberal Feminism)
Pada tahun 1923 Huda Sya’rawi dan Saiza Nabarawi
mendirikan organisasi EFU (Egyptian Feminist Union). Tujuan dari
organisasi ini adalah mengurangi dominasi dan penguasaan patriarki
atas perempuan. Kegiatan utama mereka saat itu adalah membantu
peningkatan kesehatan wanita miskin dan anak-anak. Selain itu mereka
juga menyuarakan tentang permasalahan perempuan dengan cara
mendekati penguasa, orasi publik, dan menulis artikel di majalah.
1
Yoseph Yapitaum, “Pengantar Teori Sastra”, (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1997), hlm. 11-13
2
KBBI daring, dikutip pada tanggal 23 Oktober 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/feminisme
3
Muhammad Fahmi Ilmy, “Eksistensi Feminisme Mesir dan Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia”,
Jurnal al-Ma’iyyah, Vol. 13, No. 2, Desember 2020, hlm. 147-148
Dengan itu mereka berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang perempuan.4
Hal yang menjadi khas dari masa ini adalah bahwa jilbab
dianggap melanggar kebebasan wanita. Huda Sya’rawi dan Saiza
Nabarawi nekat membuka jilbab dan cadar di depan publik sebagai
bentuk protes atas aksi pengungkungan wanita tersebut. Hasil dari fase
pertama ini adalah perempuan sudah mulai diberikan sudah mulai
diberikan hak untuk bekerja dan memperoleh pendidikan. Namun hak-
hak wanita dalam bidang politik masih belum tercapai dan ekspoitasi
seksual terhadap wanita masih marak terjadi.5
b) Fase Kedua (Populist Feminism)
Fase ini bermula setelah berakhirnya perang dunia II, pada
masa Gamal Abdul Nasser. Pada fase ini penyuaraan hak-hak wanita
difokuskan pada bidang politik dan ekonomi. Terdapat 3 tokoh yang
menonjol dalam fase ini yaitu Fatma Ni’mat Rashid, Durriyya Shafiq,
dan Inji Aflatun. Mereka memberikan pencerahan kepada masyarakat
tentang wanita lewat tulisan-tulisan mereka. Mereka juga mendirikan
organisasi dan jurnal yang mengupas tentang masalah wanita.6
Fatma Ni’mat Rashid memfokuskan dirinya untuk
menyuarakan hak politik perempuan. Ia mendirikan “National
Feminist Party” untuk menyadarkan wanita akan partai politik. Fokus
yang sama juga dilakukan oleh Durriyya Shafiq. Ia menyusun agenda
feminis yang memberikan priorittas pada hak-hak politik perempuan
dan menyusun program sosial ekonomi yang lebih luas. Sedangkan Inji
Aflatun memfokuskan dirinya pada penyuaraan hak-hak ekonomi
wanita. Ia mengangkat persoalan sosial ekonomi buruh perempuan dan
petani yang didominasi patriarki pada sektor domestik maupun publik.
Pada 1956 mereka mendapatkan apa yang mereka suarakan. Di masa
ini juga perempuan mendapatkan peningkatan dalam bidang kesehatan
dan pendidikan. Mereka mulai mendapatkan kesempatan untuk belajar
4
Fandi Akhmad Nurdiansyah, “Menyingkap Pemikiran Feminisme dalam Novel Zuqa al-Midad Karya Naguib
Mahfouz”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008, hlm 49
5
Fandi Akhmad Nurdiansyah, “Menyingkap Pemikiran Feminisme dalam Novel Zuqa al-Midad Karya Naguib
Mahfouz”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008, hlm 50
6
Fandi Akhmad Nurdiansyah, “Menyingkap Pemikiran Feminisme dalam Novel Zuqa al-Midad Karya Naguib
Mahfouz”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008, hlm 50
di universitas secara gratis dan ketika lulus pun mereka dijamin
mendapatkan pekerjaan.7
c) Fase Ketiga (Sexual Feminism)
Fase ini terjadi pada masa pemerintahan Anwar Sadat pada
awal tahun 70-an. Tokoh yang menonjol dalam fase ini adalah Nawal
Sa’dawi. Fokus pembicaraan fase ini adalah tentang eksplotasi seksual
terhadap perempuan. Jika feminisme lama mengangkat isu tenntang
eksploitasi seksual perempuan miskin, maka pada fase ini
pembicaraannya adalah tentang eksplotasi seksual wanita di tingkat
keluarga. Ini merupakan topik baru yang dimunculkan oleh Sa’dawi.
Dia mengaitakan persoalan eksploitasi seksual ini dengan hal yang
lebih besar lagi yaitu bidang politik dan ekonomi negara.8
d) Fase Keempat (New Resurgent Feminism)
Di fase keempat ini muncul kelompok The Arab Women’s
Solidarity Assosiation. Organisasi ini tersebar di negara-negara Arab,
bahkan di dunia Barat di mana komunitas Arab berbeda. Organisasi
yang diketuai oleh Nawal Sa’adawi ini memproklamirkan bahwa
partisispasi aktif perempuan dalam segala bidang kehidupan di dunia
Arab menjadi penting dalam mewujudkan demokrasi di masyarakat
Arab. Pada tahun 1979 undang-undang memberikan perempuan
kebaikan yang lebih dalam kasus perceraian dan membuat mudah bagi
perempuan untuk mengambil sikap sendiri dalam hal perkawinan.9
C. Tokoh-Tokoh Feminis di Mesir

Mesir merupakan negara bagian timur pertama yang menggagas tentang ide
emansipasi wanita. Di antara tokoh pelopor gerakan emansipasi wanita mesir adalah
al-Thahthawi dan Qasim Amin. Mereka sama-sama putra Mesir dan hidup pada tahun
yang berbeda akan tetapi dalam zaman yang sama yaitu ketika Mesir di bawah
kekuasaan Kerajaan Turki Usmani dan campur tangan dunia barat. Untuk lebih

7
Fandi Akhmad Nurdiansyah, “Menyingkap Pemikiran Feminisme dalam Novel Zuqa al-Midad Karya Naguib
Mahfouz”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008, hlm 50-51.
8
Fandi Akhmad Nurdiansyah, “Menyingkap Pemikiran Feminisme dalam Novel Zuqa al-Midad Karya Naguib
Mahfouz”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008, hlm 51-52.
9
Fandi Akhmad Nurdiansyah, “Menyingkap Pemikiran Feminisme dalam Novel Zuqa al-Midad Karya Naguib
Mahfouz”, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008, hlm 52-53.
jelasnya tentang kedua tokoh ini beserta pemikirannya tentang emansipasi wanita
akan dijelaskan sebagaimana berikut.10

a) Al-Thahthawi
Nama lengkapnya adalah Rafi’at ibn al-Mahrun al-Sayyid
Badhawi Rafi’ Al-Thahthawi al-Huseini. Beliau lahir di Tahta provinsi
Suhag daerah dataran Tinggi Mesir pada tahun 1801 M dan wafat di
Kairo pada tahun 1873 M.11
Pada tahun 1817 ketika ia berumur 16 tahun, al-Thahthawi
pergi ke kairo untuk menempuh pendidikan di universitas al-Azhar.
Setelah lulus dari al-Azhar Thahtawi ditunjuk sebagai imam bagi
putra-putra mesir yang akan pergi ke Paris untuk menuntut ilmu. Al-
Thahtawi menguasai bahasa perancis dengan cepat dan penguasaan
yang baik. Hal ini mengantarkannya untuk membaca berbagai ilmu
pengetahuan seperti sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu umum lainnya. Tak
hanya itu, dia juga bisa membaca karya-karya ilmuwan perancis seperti
Montesqiue dan Rouseau.12
Setelah lima tahun menetap di Paris, al-Thahtawi pulang ke
Mesir. Pengalamannya selama di Paris banyak mempengaruhi
pemikirannya tentang pembaharuan di Mesir. Al-Thahtawi dikenal
sebagai tokoh pembaharu di Mesir dengan ide-idenya tentang
patriotisme, pintu ijtihad yang masih terbuka dan pendidikan
perempuan. Di Paris dia melihat bahwasannya laki-laki dan perempuan
mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Inilah bagian
yang membentuk/mempengaruhi watak, sikap, dan pemikiran/ide al-
Thahthawi tentang emansipasi wanita di Mesir. Baginya pendidikan
bagi perempuan sangat penting karena kelak mereka akan menjadi ibu
rumah tangga. Gagasan emansipasi wanita yang diusung al-Thahtawi
lebih fokus kepada pentingnya pendidikan bagi perempuan.13

10
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
204.
11
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
204.
12
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
204-205.
13
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
215.
b) Qasim Amin
Qasim Amin lahir pada bulan Desember tahun 1863 di
Iskandariah, Mesir, yang terkenal dengan nama Harrah sepuluh tahun
sebelum wafatnya al-Thahthawi. Qasim Amin wafat tahun 1908 M
pada usia yang masih muda, yaitu ketika berumur 45 tahun. Ayah
Qasim Amin bernama Muhammad Beik Amin, seorang keturunan
Turki dan seorang Komandan di Harrah pada masa pemerintahan
Khadiw Ismail. Ibunya seorang keturunan Mesir kelahiran al-Sha’id.14
Amin mengenyam pendidikan dasarnya di Madrasah Ra’su al-
Tin di Iskandariyah. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya
menengahnya di Madrasah al- Tajhiziyah di Hilmiyat. Setelah lulus
dari madrasah tersebut ia melanjutkan kembali pendidikannya di
Madrasah al Huquq al-Hudawiyah (Sekolah Tinggi Hukum) dan
memperoleh Lisance pada tahun 1881 M pada usia 18 tahun. Tidak
lama setelah itu, dia dikirim oleh pemerintah ke Paris untuk menekuni
studi hukum pada Universitas Montpellier dan selesai tahun 1885 M.
Selesai pendidikan di Paris, ketika Qasim Amin kembali ke Mesir, dan
dia mendapatkan pekerjaan di Niyabah al-Ammah (Kejaksaan Agung
dan Peradilan). Kemudian pada 1892 M dia diangkat menjadi Hakim
Agung di Mahkamah al-Isti’naf.15
Sebagai seorang intelektual, Qasim Amin telah menghasil
karya- karya yang sangat terkenal yaitu: Tahrir al Mar’ah (Emansipasi
Perempuan) terbit tahun 1899 M, dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan
Modern) 1906 M. kedua karyanya ini berisi tentang pemikirannya
tentang ide-ide brilian Qasim Amin tentang masalah wanita terutama
adalah masalah pendidikan bagi wanita, Hijab, dan perkawinan.16
Pemikiran Qasim Amin tentang pendidikan jika ditinjau dari
kondisi zamannya disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat
Mesir pada waktu itu tentang wanita tidak perlu diberikan pendidikan

14
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
210.
15
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
210-211.
16
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
212.
dan pengajaran. Pandangan lain yang familiar ketika itu bahwa wanita
cukup diberikan keterampilan menjahit dan memasak saja. Di samping
itu juga ada yang mempermasalahkan tentang belajar menulis dan
membaca bagi wanita apakah dibolehkan oleh syara’ atau diharamkan.
Berangkat dari kondisi inilah Qasim Amin mencetuskan idenya tentang
pentingnya pendidikan bagi wanita. Qasim Amin yakin berbekal
pengetahuan dasar wanita akan dapat memilih sesuatu yang sesuai
dengan perasaannya dan dapat berbuat dengan penuh keyakinan.
Pendidikan mental maupun intelektual akan dapat membentuk wanita
yang berakhlak baik, karena wanita yang berakhlak baik akan berguna
di kaumnya dari pada laki-laki yang berakhlak buruk.17
Sementara pendapatnya tentang perkawinan dipicu oleh
pandangan masyarakat ketika itu dan juga para fuqaha bahwa wanita
hanya sebagai objek. Harga wanita hanya pada alat vitalnya yang
mengindikasikan bahwa perkawinan hanya sebagai hubungan biologis,
bukan hubungan suami isteri. Pendapat masyarakat dan fuqaha yang
keliru inilah dicoba ditentang oleh Qasim Amin. Baginya, memilih
jodoh dan perceraian, wanita punya hak yang sama dengan laki-laki,
sehingga wanita tidak lagi menjadi korban dari laki-laki. Adapun
pandangannya tentang hijab bagi wanita juga tidak terlepas dari
kondisi sosial masyarakat ketika itu. Wanita tidak dapat melihat
tempat-tempat yang indah yang bisa memicu munculnya imajinasi
mereka.18
D. Peran Sastra Feminis terhadap Emansipasi Wanita Mesir
Jika berbicara tentang sastra dan emansipasi wanita di Mesir maka tidak bisa
dilepaskan dari sosok Nawal Sa’dawi. Nawal Sa’dawi adalah seorang pejuang feminis
Mesir yang juga seorang dokter dan novelis. Melalui tulisan-tulisannya Sa’dawi
membongkar praktek patriarki di Mesir yang mana dengan sistem tersebut perempuan
menjadi makhluk yang dinomorduakan dalam segala aspek kehidupan. Diantara
karya-karyanya yang terkenal kontriversial adalah woman at point zero dan woman
and sex. Woman at point zero adalah sebuah novel yang menceritakan tentang budaya
17
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
215-216.
18
Erasiah, “Tokoh Emansipasi Islam di Mesir Pada Abad ke-19”, Jurnal Kafa’ah, Vol. 4, No. 2, Tahun 2014, hlm.
216.
patriarki dalam lingkup domestik (keluarga/rumah tangga). Melalui novel ini ia
menyampaikan aspirasinya bahwa pernikahan sebagai bentuk kekejaman terhadap
wanita. Hal ini karena dengan adanya ikatan pernikahan itu wanita menjadi terkekang
hidupnya. Dengan ikatan itu pula suami berhak melakukan apapun terhadap istri
termasuk menyiksanya. Pernikahan dalam novel ini dianggap sebagai sebuah
kejahatan struktural, bahkan Sa’dawi sampai mengatakan bahwsannya seorang
pelacur lebih terhormat daripada seorang istri karena dia memiliki kebebasan memilih
dalam hidup.19
Sedangkan woman and sex adalah sebuah buku non-fiksi yang berisi tentang
bentuk-bentuk pengecilan dan penyiksaan terhadap perempuan Mesir di pedesaan.
Buku ini bagai membuka rahasia gelap masyarakat arab yang selama ini
disembunyikan. Buku ini dilarang terbit oleh pemerintah Mesir saat itu dan juga
menyebabkan Sa’dawi diberhentikan dari jabatannya sebagai direktur pendidikan
kesehatan Mesir. 20Selain dua karya di atas ada banyak karya lain dari Sa’dawi yang
mana mayoritas membahas isu tentang wanita. Sejumlah karangannya, baik yang berupa
fiksi, semisal “God Dies by the Nile” dan “The Hidden Face of Eve”. Sementara karangan yang
non fiksi adalah sebagai berikut, “Women and Psychological Conflict” dan “Memoirs of
Women`s Prison”, syarat dengan gagasan yang radikal sehingga sering menggoyahkan
stabilitas masyarakat dan membuat gusar penguasa baik sekuler maupun agama. 21Melalui
tulisan tulisan inilah perempuan Mesir tersadar akan harga dirinya dan mulai
memperjuangkan hak-haknya yang telah dirampas.

19
Ummu Kulsum, “Nawal El-Sa’dawi: Membongkar Budaya Patriarkhi Melalui Sastra”, Jurnal Lentera, Vol. 3,
No. 1, Maret 2017, hlm.111.
20
Ummu Kulsum, “Nawal El-Sa’dawi: Membongkar Budaya Patriarkhi Melalui Sastra”, Jurnal Lentera, Vol. 3,
No. 1, Maret 2017, hlm.112.
21
Ummu Kulsum, “Nawal El-Sa’dawi: Membongkar Budaya Patriarkhi Melalui Sastra”, Jurnal Lentera, Vol. 3,
No. 1, Maret 2017, hlm.113.

Anda mungkin juga menyukai