Disusun Oleh :
Dini
Euis Mila Syarifatul Asma 20922277
Bagas
Jesika
Sinta
Syifa
Pergerakan ha perempuan di mulai dari perjuangan individu yang berawal dari dalam
keluarga adanya ketertindasan dan ketidak adilan yang dialami kaum perempuan pertama
kali di dalam keluarga, sehingga mereka ingin melawan sistem yang menindas diri karena
sebagai perempuan.
Gerakan perempuan di Indonesia tumbuh pada awal abad 20 ketika sekolah modem
didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan organisasi modem didirikan oleh "kaoem
bumiputera". Hingga saat ini, hampir satu abad lamanya, perjuangan itu mengalami pasang
surut. Bahkan apa yang disebut capaian tentang "Hak Perempuar saat ini, pada prinsipnya
belum dapat menjawab problem penindasan yang dialarni kaum perempuan itu sendiri.
Selanjutnya, gerakan hak perempuan berkembang menjadi gerakan yang lebih luas,
meliputi berbagai isu seperti hak pendidikan, hak pekerjaan, hak reproduksi, dan
perlindungan terhadap kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini berjuang untuk
menghapus diskriminasi gender dan memastikan bahwa perempuan memiliki kesempatan
yang sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan.
Gerakan perempuan internasional ini menuntut kesetaraan gender dalam berbagai bidang
seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Perempuan Indonesia juga terinspirasi
oleh gerakan perempuan internasional ini melalui media massa, literatur, pertemuan-
pertemuan regional dan global.
Selama beberapa dekade terakhir, gerakan hak perempuan terus berkembang dan
beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik. Gerakan ini telah memperjuangkan isu-isu
seperti kesetaraan upah, perlindungan terhadap kekerasan seksual, akses terhadap perawatan
kesehatan reproduksi, dan partisipasi politik perempuan. Tetapi saat ini gerakan perempuan
di Indonesia menghadapi masalah da tantangan yang komplek, baik dalam aspek keagamaan
ekonomi, politik maupun social.
B. SEJARAH PERGERAKAN HAK PEREMPUAN
Hak perempuan adalah hak dan peran yang diklaim untuk perempuan dan pemudi di
seluruh dunia, dan membentuk dasar gerakan hak perempuan pada abad kesembilan belas dan
gerakan feminis pada abad ke-20. Di beberapa negara, hak-hak tersebut diatur atau didukung
oleh hukum, adat, dan perilaku, sementara di wilayah lainnya, hak-hak tersebut dihiraukan
dan ditekan. Hak perempuan berbeda dari pengartian yang lebih luas dari hak asasi manusia
melalui klaim-klaim bias tradisional dan sejarah inheren melawan keinginan hak oleh
perempuan dan pemudi, alih-alih pria dan pemuda.
Sebelum Kemerdekaan
Sebelum kemunculan Kartini pada akhir abad 19, sudah ada para perempuan di kalangan
bangsawan yang giat berusaha memajukan hak perempuan, tetapi masih terbatas pada
lingkungan kecil mereka. Sukanti Suryochondro dalam bukunya, Potret Pergerakan Wanita di
Indonesia mengungkapkan bahwa emansipasi perempuan di kalangan raja Jawa misalnya,
mula-mulanya tampak di lingkungan Keraton Pakualaman di Yogyakarta.
Kartini mencoba membuka akses pendidikan bagi perempuan dengan membuka sekolah
di rumahnya sendiri. Di tempat lain dengan semangat yang sama, ada Dewi Sartika yang pada
tahun 1904 mengepalai sekolah di Bandung, dan Maria Walanda Maramis yang pada tahun
1918 mendirikan sekolah rumah tangga Indonesia pertama di Manado.
Atas prakarsa Boedi Oetomo pada tahun 1912, didirikanlah organisasi perempuan
pertama di Jakarta bernama Poetri Mardika. Dalam upaya pemberdayaan perempuan dan
memperjuangkan hak-hak perempuan, organisasi ini melakukan kampanye dengan
menerbitkan surat kabar Poetri Mardika pada tahun 1914 oleh Nyai Ahmad Dahlan (istri
pendiri Muhammadiyah), Nyai Haji Siti Walidah (istri pendiri Nahdlatul Ulama), Nyai Haji
Siti Aisyah (istri pendiri Persatuan Islam), Nyai Haji Siti Fatimah (istri pendiri Sarekat Islam),
dan dua perempuan lainnya. Organisasi ini bertujuan untuk membimbing perempuan pribumi
dalam menempuh pendidikan, meningkatkan kesejahteraan hidup, dan memperjuangkan hak-
hak perempuan. Organisasi ini juga terlibat dalam gerakan nasional melalui kerjasama dengan
organisasi-organisasi laki-laki seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama..
Media ini melakukan banyak kampanye pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan
pengajaran.
Kelahiran Poetri Mardika dan gerakan perempuan di Indo- nesia memang tidak bisa
dipisahkan dari gerakan nasional bahkan internasional yang memperjuangkan emansipasi,
nasionalisme dan kebebasan dari kolonialisme (Suryochondro, 2000). Setelah itu muncullah
berbagai organisasi perempuan yang merupakan bagian dari organisasi/gerakan nasionalis
seperti Jong Java Meiskering, Young Javanese Girls Circle, Wanita Oetomo, Aisyiah, Poetri
Indonesia, Wanita Katolik, Wanito Muljo, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Pada masa
kolonial dapat dipahami apabila perempuan puan dan gerakan perempuan secara bersama-
sama dengan gerakan nasionalis membasmi ketidakadilan dari sistem kolonial sekaligus
memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesejajaran.
Tonggak sejarah yang terpenting adalah bersatunya gerakan perempuan Indonesia dalam
Kongres Perempuan I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta yang
memunculkan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang kelak berubah
menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Agenda pembicaraan kongres ke-1
PPII meliputi pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan
anak-anak, reformasi undang-undang perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri
perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Sementara pada konges ke-2 PPII tahun 1930,
persoalan yang diangkat meliputi perdagangan perempuan, hak suara perempuan, perlunya
Kantor Penerangan Tenaga Kerja untuk perempuan, dan penelitian keadaan sanitasi di
kampung serta tingginya angka kematian bayi. Walaupun sudah tiga perempat abad berlalu
tampak bahwa tema-tema tersebut masih relevan dengan situasi perempuan Indonesia saat ini.
Pada Kongres Oemoem ke- 3 KPI (Kongres Perempoean Indonesia, era kongres baru
setelah pembubaran PPII), masalah hak suara menghangat. Walaupun usaha organisasi
perempuan untuk mendudukan Maria Ulfah sebagai perwakilan perempuan Indonesia di
Volksraad ternyata gagal, wacana hak pilih pasif (dipilih) dan memilih terus berkembang.
Pada era itu pula telah ada empat perempuan Indonesia yang terpilih menjadi anggota Dewan
Kota. Pengakuan atas hak perempuan sebagai warga negara menjadi makin jelas ketika
Rasuna Said terpilih menjadi anggota Volksraad dan SK Trimurti menjadi anggota BPUPKI
sementara pada tahun 1955 perempuan Indonesia baru dapat memperoleh hak pilihnya secara
penuh dalam Pemilihan Umum Pertama tanggal 29 September 1955, dan bahkan dapat
mendudukkan beberapa politisi perempuan sebagai anggota parlemen.
Setelah era kolonialisme Belanda, Pada saat masa penjajahan Jepang abad ke-21 semakin
berkembangnnya kajian tentang peremuan yang dilakukan oleh pakar ilmu sosial baik didalam
maupun luar akademisi. Menjadi pusat perhatian dalam kajian peran perempuan, persamaan
hak adan juga emansipasi wanita. Awal peran perempuan di mulai dilihat dari naskah Cina
kuno, Jepang yang disebut "Nagari Ratu" yang didedikasikan bahwa pada saat itu banyak
negara-negara kecil yang memiliki pemimpin seorang perempuan. Pada saat pendudukan
Jepang keberadaan peremuan memiliki kedudukan yang tinggi yang memiliki banyak
kebebasan kehidupann dan banyak menguasai literatur.
Pada masa ini Jepang tercatat kemunculan berbagai organisasi perempuan yang dibentuk
oleh Jepang, yaitu Barisan Poeteri Asia Raja yang merupakan bagian dari Gerakan Tiga A,
Barisan Pekerdja Perempoean Poetera yang merupakan bagian dari Poesat Tenaga Rakjat
(Poetera) dan Fujinkai. Saat itu pula Jepang menyatakan bubar bagi semua organisasi
perempuan yang ada dan memberi satu wadah bagi perempuan untuk berorganisasi yaitu
Fujinkai Jawa Hokokai yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, tempat tentara Jepang
berada. Pada era ini perempuan memperoleh kesempatan untuk melakukan tempaan men- tal
dan fisik di bawah tekanan Jepang sambil tetap terus berupaya menggalang persatuan dengan
sesama pejuang perempuan secara sembunyi-sembunyi karena wadah/ organisasi pemersatu
mereka sudah diberangus oleh Jepang. Setelah kemerdekaan diperoleh, di samping
kemunculan kembali organisasi perempuan yang pernah ada, muncul pula organisasi
perempuan baru yang pada akhirnya membentuk federasi dengan nama Kowani pada tahun
1946 di Solo.
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekannya pada tanggal 17 Agustus 1945 tak lama dari
situ Indonesia kedatangan tentara sekutu yang 'di boncengi belanda yang menginginkan untuk
menguasai Indonesia kembali. Dari kedatangan belanda kembali kemudian dibentuk
organisasi perempuan yaitu Wanita Republik Indonesia (WANI) yang mejadai dapur umum
yang menanmpung korban kebakaran yang tempatnya dibakar oleh NICA. Tak hanya pada
saat masa penjajahan pada saat kemerdekaan pun oraganisasi perempuan dibuat kembali
dengan membentuk federasi yang diberi nama Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada
tahun 1946 di Solo. Kemudian dilaksanakan kembali Kongres Wanita Indonesia yang ke-5 di
Madiun. Karena pemeritah telah mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi blokade
ekonomi dan politik Barat dengan mengadakan hubungan luar negeri yang menyebabkan
Kowani menjadi anggota WIDF (Women's International Democratic Federation) yang
menjalin kerjasama dalam mendukung pergerakn perjuangan perempuan
1. Elizabeth Cady Stanton adalah salah satu tokoh utama dalam pergerakan hak
perempuan di Amerika Serikat. la merupakan salah satu penandatangan Declaration
of Sentiments pada tahun 1848. Deklarasi ini merupakan dokumen penting yang
menyerukan kesetaraan hak antara pria dan wanita. Elizabeth Cady Stanton juga
merupakan salah satu pendiri National Woman Suffrage Association (NWSA),
organisasi yang berjuang untuk mendapatkan hak pilih bagi perempuan.
2. Susan B. Anthony juga merupakan tokoh penting dalam pergerakan hak perempuan
di Amerika Serikat. la adalah salah satu pendiri NWSA bersama Elizabeth Cady
Stanton. Susan B. Anthony aktif dalam kampanye hak pilih perempuan dan menjadi
salah satu juru bicara utama gerakan ini. Ia juga terlibat dalam penyusunan
Amendment ke-19 Konstitusi Amerika Serikat yang memberikan hak pilih kepada
perempuan.
3. R.A Kartini . Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini.
Peringatan tersebut membawa semangat perjuangan perempuan dalam mendapatkan
pendidikan yang setara. Melalui surat-suratnya, Kartini berhasil menyuarakan
harapan perempuan akan kebebasan yang pada saat itu terkungkung oleh tradisi, la
menggambarkan penderitaan fperempuan Jawa yang terbelenggu ole tradisi, dilarang
sekolah, dipingit, hingga harus siap menikah dengan laki-laki yanı tidak mereka
kenal. Oleh karena itu, bagi Kartini, pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat
derajat perempuan Indonesia.
Era Kartini dapat dimasukkan dalam periodisasi kemunculan gelombang feminisme
pertama di Indonesia. Meskipun sebagian besar menganggap merupakan konsep dari
Barat, feminisme dimanifestasikan oleh seluruh dunia dan diwakili berbagai lembaga
yang berkomitmen untuk melakukan aktivitas atas nama hak dan kepentingan
perempuan -termasuk di Indonesia. Kata "feminis" merujuk pada seseorang yang
mencoba untuk memahami dan membongkar hierarki jender dalam dunia intelektual
dan pribadi mereka. Dengan kata lain, feminis adalah seseorang yang menganut
feminisme. Dengan pemahaman tersebut, Kartini dapat sebut sebagai seorang
feminis, feminis nasional pertama Indonesia.
Julukan tersebut berasal dari kesamaan D waktu atau masa perjuangan Kartini dengan
gelombang pertama munculnya konsep feminisme Barat, yaitu pada abad ke-19
hingga awal abad ke-20. Dalam periodisasi feminisme, gerakan feminis gelombang
pertama dicirikan dengan perjuangan kesetaraan hukum perempuan, khususnya
terkait masalah hak pilih, pendidikan, kondisi kerja yang baik, serta penghapusan
standar ganda jender.
Kiprah perempuan Indonesia tidak berhenti pada tingkatan nasional saja. Setiati Surasto,
seorang aktifis buruh dan anggota Konstituante dari Partai Komunis Indonesia bergerak
dari akar rumput hingga ke tingkat internasional untuk membicarakan kondisi buruh
perempuan. Pada tahun 1946 ia mendesak didirikannya Barisan Buruh Wanita (BBW).
BBW kemudian melebur dibawah SBSI (Sentra Organisasi Buruh Indonesia) pada
kongres SOBSI ke IV tahun 1947 dimana ia terpilih sebagai wakil ketua II Dewan
Nasional SOBSI.
Pada tahun 1956, Setiati dipilih menjadi ketua delegasi buruh perempuan Indonesia pada
konferensi buruh Asia Afrika dan mendesak untuk memperluas Konvensi ILO No. 100
Tahun 1951 agar memasukkan persamaan upah antara buruh lelaki dan perempuan dengan
pekerjaan yang sama serta menghapus segala bentuk diskriminasi. Usulannya diterima
oleh Gabungan Serikat Buruh Sedunia yang berpusat di Praha. Ia kemudian menjadi
bagian dari drafter perluasan Konvensi ILO NO. 100 Tahun 1951 khusus untuk persamaan
upah dan anti diskriminasi. Setiati juga bergabung dalam Gerakan Pembebasan Nasional
dan Internasionalisme bersamaan dengan organisasi Gerwani, Setiati menjadi anggota
delegasi di konferensi WIDF (Women’s International Democratic Federation) pada tahun
1953 di Copenhagen Denmark. Ia juga mengikuti Sidang Biro Gabungan Wanita
Demokratis Sedunia di Jakarta pada tahun 1960. Ia juga dilibatkan dalam Manifesto
Politik Republik Indonesia dalam Kongres Pemuda Indonesia di Bandung sebagai anjuran
presiden Soekarno pada 14-21 Februari 1960.
Setiati juga menjadi anggota delegasi Gerwani. Ia pun ikut dalam demonstrasi
buruh kulit hitam di Afrika Selatan tahun 1956/1957 dengan menggunakan semangat
Bandung untuk melawan apartheid. Setiati Surasto yang lahir di Banyuwangi pada tanggal
23 Februari 1920, meninggal di Stockholm, Swedia pada tanggal 20 November 2006.
Selain Setiati, ada R.A. Hidayat yang juga ikut dalam pertemuan Kopenhagen
karena ia melihat pentingnya kemajuan dan hak-hak kaum perempuan di seluruh Asia-
Afrika. Hal ini berkaitan erat dengan kemerdekaan nasional yang dilandasi dengan
persahabatan internasional dan perdamaian dunia.
a) Diskriminasi gender yang masih terjadi dalam berbagai aspek kehidupan seperti
hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Beberapa contoh dari diskriminasi
gender tersebut adalah: ketimpangan akses dan kualitas pendidikan antara laki-laki dan
perempuan; ketidakadilan hukum perkawinan yang tidak memberikan perlindungan
bagi perempuan; kesenjangan partisipasi politik antara laki-laki dan perempuan;
ketidaksetaraan ekonomi antara laki-laki dan perempuan dalam hal penghasilan,
pekerjaan, kepemilikan aset, dan kredit; kekerasan terhadap perempuan yang meliputi
kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, budaya, dan agama; serta stereotip dan
norma sosial yang membatasi peran dan potensi perempuan.
b) Perlawanan dan rintangan. Masih ada perlawanan dan rintangan dalam mengubah
pandangan social dan buadaya yang partriarkis. Budaya patriarki merupakan budaya
yang langgeng, khususnya di Indonesia. Budaya yang mempercayai laki-laki sebagai
pemegang kuasa dominan pada berbagai bidang di masyarakat ini menghasilkan
anggapan-anggapan tertentu mengenai perempuan yang berpengaruh pada pembatasan
hak dan kebebasan perempuan. Pembatasan-pembatasan ini melahirkan isu
ketidaksetaraan gender yang menimbulkan wujud-wujud diskriminasi pada perempuan.
c) Stereotip Gender. Pola pikir dan stereotip gender yang persisten sering menghalangi
langkah-langkah menuju kesetaraan gender.
d) Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah
serius yang masih ada di berbagai negara dan budaya, dan menjadi tantangan dalam
perjuangan hak perempuan.
Perlindungan hak perempuan dan keadilan gender, secara resmi pemerintah telah
menganut dan secara resmi pula menetapkan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27: "Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Ketentuan ini sebagai dasar untuk
memberikan. akses, partisipasi dan kontrol bagi perempuan dan laki- laki dalam bidang
ekonomi, sosial dan politik. Dalam konsiderannya undang-undang ini menyatakan dengan
tegas bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945.
Secara konstitutif jaminan Hak Asasi Mmanusia termasuk hak-hak perempuan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang tercantum dalam Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28 A samapai 28 J, ini memberikan kepastian Juridis
normatif bahwa pada kalimat "setiap orang berhak....." kalimat ini semakin menguatkan
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama secara konstitusional. Kalimat
tersebut menyiratkan penghormatan dan perlindungan HAM, termasuk hak perempuan.
jender terus dijalankan, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan instruksi presiden No. 9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional, hal ini
memberikan semangat bagi aktualisasi kepentingan perempuan dalam konteks
kebijakanpembangunan, baik level pusat maupun daerah.
H. KESIMPULAN
Pergerakan hak perempuan adalah gerakan sosial yang berjuang untuk kesetaraan
gender dan hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan. Sebelum abad ke 20
perempuan telah memperjuangkan haknya yang tidak didapat dan juga yang tidak memiliki
kesamaaan dengan laki-laki. Pada awalnnya mereka tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkan apa yang menjadi keinginan mereka. Seiring dengan berkembangnnya
zaman perempuan di Indonesia mulai mengyuarakan apa yang manjadi haknya melalui
beberapa tokoh perempuan yang memperjuangkan hak perempuan pada bidangnnya masing
masing.
Perjuangan perempuan Indoenesia ada salah satu tokoh yang sangat terkenal yaitu RA
Kartini yang memperjuangkan perempuan dalam bidang pendidikan. Karena pada saat itu
perempuan tidak memilikihak untuk besekolah kecuali merupakan keluarga dari darah biru.
Gerakan ini berkembang menjadi gerakan yang lebih luas, meliputi berbagai isu seperti hak
pendidikan, hak pekerjaan, hak reproduksi, dan perlindungan terhadap kekerasan terhadap
perempuan. Gerakan ini berjuang untuk diskriminasi gender dan memastikan bahwa
perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki- laki dalam segala aspek
kehidupan.
F. REFERENSI
Arif Ambulan Prajaitan, C. S. (2018). Tantangan yang dihadapi perempuan di Indonesia.
journal.fhupb.ac.id, 70-95.
Bas, F. (2020, Desember 30). Sejarah Gerakan Perempuan di Kancah Internasional.
Retrieved from Perempuan Mahardika: https://mahardhika.org/gerakan-perempuan-
indonesia-di-kancah-internasional/
Bruckbauer, A. (2023, September). Elizabeth Cady stanto & Hak-Hak Perempuan | Peran
dan Prestasi. Retrieved from Study.com: https://study.com/academy/lesson/elizabeth-
cady-stanton-womens-rights-facts-accomplishments.html
Fauzia, R. (2022, November 4). Sejarah Perjuangan Perempuan Indonesia Mengupayakan
Kesetaraan dalam Teori Feminisme. Journal of Comprehensive, 1(4), 861-881.
Haan, F. D. (n.d.). Survei Singkat Hak - Hak Perempuan. Retrieved from Kronik PBB:
https://www-un-org.translate.goog/en/chronicle/article/brief-survey-womens-rights?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
Kasmawati, A. (2017). Perlindungan Hak Perempuan dalam Perspektif Gender (Vol. 10).
Seminar Nasional LP2M UNM.
Pradita, S. M. (2020, November 16). Sejarah Pergerakan Perempuan Indoneia Abad 19-20 :
Tinjauan Histori Peran Perempuan dalam Pendidikan Bangsa. Chronologia, 2(1), 65-78.
doi:https://doi.org/10.22236/jhe.v2i2.6060
Sarah Apriliandra, H. K. (2021). Prilaku Diskriminatif pada Perempuan Akibat Kuatnya
Budaya Patriarki di Indoneia ditinjau dari Perspektif Konflik. jurnal Kolaborasi Resolusi
Konflik, 3(1), 1-13.
Yuniarto, T. (2021, April). Kartini dan Peminisme di Indonesia. Retrieved from Yayasan
Kesehatan Perempuan: http://or.id/kartini-dan-feminisme-di-indonesia/