Anda di halaman 1dari 54

BAB III

HAK POLITIK KAUM PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA

A. Sejarah gerakan perempuan Dunia

Di dataran Eropa khususnya perancis, Revolusi perancis yang

meletus tahun 1789 merupakan simbolis bagi perlawanan berbagai

golongan dalm masyarakat yang menghendaki perubahan dari

pemerintahan kerjaan menjadi republik dengan semboyan liberte, egalite,

fraternite ( kebebasan dari penindasan hak dan persaudaraan). Dilihat oleh

semboyan revolusi itu perempuan ikut perjuang tetapi mendapat kan

perlakuan yang tidak sesuai dengan cita-cita dari tokoh pria. Fenomena itu

mendorong timbulnya gerakan wanita, meskipun pada awalnya

organisasinya masih lemah setelah melaui tahapan yang sulit, gerakan

perempuan di perancis menjadi solid dan kuat pada 1870.1

Sedangkan di Inggris, gerakan perampuan mulai tumbuh sejak

disadari bahwa hak-hak perempuan inggris cukup terpasung. Hal itu di

tandai denagn belum diperbolehkan perempuan untuk memilih dalm

pemilihan umum. Seperti diketahui pada abad- ke-19 masyarakat Inggris

juga mengalami banyak perubahan dipidang politik, sosial, dan ekonomi.

Industrilisasi makin berkembang dan hak pilih diperluas ke golongan

menengah da kebawah namun masih terbatas untuk golongan buruh.

Sayangnya banyak hak piilih yang di anggap sebagai kunci untuk dapat

ikut menentukan jalannya kebijakan dalam masyarakat tdak belaku untuk


1
Dr. Riant Nugroho. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia. Hlm 45

83
84

perempuan. Realita itu neyulut perlawanan di tandai dengan munculnya

gerakan perempuan meskipun mendapat hambatan dari pemerintah Inggris

pada masa itu. Perjuangan perempuan Inggris meskipun berliku tetapi

mendapatkan hasilnya saat berakhirnya perang Dunia I, dimana diman

perempuan mendapatkan hak pilih.2

Di Amerika Serikat, gerakn permpuan mulai menggema setalah

Amerika membebaskan diri sebagai koloni Inggris pada abad ke-19, saat

itu berkembang keinginan unyuk melakukan upaya-upaya meningkakan

kemanisian, termasuk penghapus perbudakan. Banyak perampuan yang

berjasa dalm hal ini meskipun akhirnya mereka kurang mendapat

pengakuan dari pihak pria. Perlakuan tidak adil itu menimbulkan gerakn

perampuan secara formal dalm pertemuan bersejarah di Seneca Falls pada

tanggal 19-20 Juli 1848. Dalm pertemuan itulah, pertama kali terwujud

konkretisasi dari pergerakan perempuan untunk mengaplikasikan doktrin

HAM pada perampuan. Hasil konkret itu di tuangkan dalam bentuk

deklarasi yang di kenal dengan sebutan Declaration of Sentiments, yang

dihadiri oleh 100 orang, yanh sebagian besar adalh protes mengenai nasib

wanita, ini mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan

suami sebagai kepala keluarga, masalah hak Perempuan kepemilikan

propeti , hingga masalah politik dan sosial, seperti partisipasi perempuan

dibidang kedokteran, teologi da hukum.3

2
Ibid.hlm 46
3
Ibid.hlm 47
85

Keadan juga serupa terjadi di Jepang, gerakan perempuan juga

timbul dalam abad ke-19 dalm suasana gerakan rakyat yang menghendaki

perubahan posotif dalam masyarakat. Gerakan perempuan pada masa itu

menuntut permasalah pria dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat,

peningkatan pendidikan bagi perempuan, penghapusan sistem selir dan

penghapusan perizinan pelacuran.

Ada benang merah yang tampak pada awal timbulnya gerakan

perempuan di negara-neraga yang pernah mengalami pejajahan asing di

benua Asia dan Afrika. Gerakan permpuan timbul sering gengan gerakn

kemerdekaan. Dalam masyarakat yang dijajah, rakyat menolak penindasan

ekonomi dan kultur oleh bangsa asing. Permpuan ikut serta dalam

perjuangan ini bahkan didorong ikut berpartisipasi serta memperkuat

gerakn kemerdekaan bangsa di india, gerakan perempuan timbul pada

akhir abad ke-19. Mereka ikut perjuan dalam bidang politik untuk

melepaskan diri dari penjajahan. Di samping itu perjuangan di bidang

sosial tampak dalm bnetuk perlawanan perlakuan terhadap perempusan

yang bertentangan dengan perikemanusian seperti wife-burning, peristiwa

yang banyak terjadi di mana istri sengaja dibakar jika kurang memenuhi

pembayran mas kawin yang dituntut oleh pihak suami serta pelecehan lain

terhadap perempuan.4

Pada intinya gerakan perempuan di di wilayah Asia dan Afrika

merupakan respon perlawana terhadap kolonialisme dan adat istiadat yang

4
Ibid.hlm 47
86

diraakan bertentangan dengan prikemanusiaan. Dapat disimpulkan bahwa

gerakn perempuan yang sejak tahun 1960-an disebut gerakan feminis

dapa intinya mempunyai tujuan memperoloeh perlakua yang lebih baik,

meningkat kedudukan dan peranan perempuan untuk membentuk

masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Sedamgkan di berbagai negara

Amerika Latin, gerakn perempuan muncul dalm rangka untuk Melawan

perlakuan yang diskriminatif terhadap permpuan.5

1. Sejarah pergerakan perempuan di Indonesia

Di Indonesia, gerakan perempuan Indonesia ibarat sebuah

perjalanan, sudah menempuh jarak yang cukup jauh dan panjang.

Mengalami masa pasang, dan terjebak dalam kesurutan. Tenggelam atau

ditenggelamkan. Aktor-aktornya, pupus dan tumbuh lagi. Keberhasilan

gerakan demokratik 1998 telah memberikan sumbangan yang luar biasa

bagi meluasnya organisasi perempuan. Namun, tantangan baru mulai

tumbuh, yaitu meluasnya organisasi namun tidak diikuti dengan

meluasnya gerakan (politik) perempuan. Situasi ini berkonsekuensi pada

lemahnya posisi politik perempuan di hadapan negara, sehingga sangat

gampang dikooptasi oleh alat-alat politik (khususnya partai politik) lama

yang tidak benar-benar memperjuangkan pembebasan perempuan. Hanya

”menyajikan” perempuan di dalam struktur kepengurusannya sebagai

sarana penambahan suara saja. Oleh sebab itulah, pembangunan dan

5
Ibid.hlm 87
87

perluasan gerakan perempuan menjadi faktor kunci dalam melakukan

perubahan. Tidak ada perubahan bagi perempuan tanpa suatu gerakan.6

Gerakan perempuan Indonesia memang telah mewarnai perjalanan

sejarah bangsa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa tokoh

perempuan berada di garis depan perjuangan melawan penjajah. Pada

masa mempertahankan kemerdekaan tokoh-tokoh perempuan

berpartisipasi dan menyebar di berbagai bidang. Masa Orde Baru

pergerakan perempuan menyelusup diantara instansi-intansi dan

mewarnainya dengan isu-isu keperempuanan. Pada masa reformasi hingga

saat ini, pergerakan perempuan justru semakin nyata di dunia politik. Dan

bentuk gerakannya semakin beraneka ragam dan meluas. Gerakan

perempuan di Indonesia telah menorehkan sejarah yang khusus bagi

Indonesia, Asia, bahkan dunia. Gerakan perempuan Indonesia dapat

ditelusuri bahkan jauh sebelum Indonesia terbentuk, yaitu sejak jaman

Kartini, kolonial, dan dilanjutkan pada masa pascakolonial (sekitar jaman

Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi). Kehidupan

perempuan Indonesia masa kini,khususnya dalam bidang politik dan

hukum, dapat ditelusuri benang merahnya dari sejarah masa lalu.7

2. Perkembagan Organisasi Perempuan pada masa Prakemerdekaan

6
Ibid.hlm 88
7
https://mubarok01.wordpress.com/2013/06/06/sejarah-pergerakan-perempuan-indonesia/
88

Berdirinya Budi Utomo th 1908 menjadi cikal bakal berdirinya

organisasi perempuan Poetri Mardika (1915) yang menuntut agar

perempuan dan laki – laki di perlakukan sama di mata hokum, organisasi

lain muncul setelahnya seperti Purborini (1917), Wanito Susilo (Pemalang,

1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poetri Boedi Sejati (Surabaya, 1919),

Wanito Oetomo dan Wanito Moelyo (Yogyakarta 1920) Wanito Katholik

(Yogyakarta 1924) dan Nurdiana th 2008.8

Pada umumnya organisai tersebut di atas bergerak dalam bidang

social keagamaan dan oendidikan perempuan meskipun masih sebatas

perbaikan kecakapan domestic. Tujuanya adalah social dan cultural,

memperjuankan nilai – nilai kehidupan keluarga dan masyarakat,

memperjuangkan eksitensi kebudayaan asil local dari gempuran budaya

barat.9

Gerakan nasionalisme juga berkobar, di tandai dengan Kongres

Perempuan Indonesia 1 di Yogyakarta, merupakan tonggak awal

mempersatukan cita –cita memajukan perempuan. Hasilnya terbentulah

federasi atau gabungan perkumpulan perempuan yang bernama

Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dan pada tahun 1929 berubah

menjadi Perserikatan Perhimpunan istri Indonesia (PPII) dan 

menghasilakan dua agenda utama: pertama, meningkatkan harkat

perempuan; dan kedua, ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.10

8
Ibid
9
ibid
10
ibid
89

Tahun 1935 di Jakarta diadakan Kongres Perempuan Indonesia II

yang membicarakan tentang perburuhan perempuan, pembatasan buta

huruf dan perkawinan, juga terlibat aktif dalam perjuangan

kemerdekaan.Tanggal 23-28 Juli 1938 diadakan Kongres Perempuan

Indonesia III memutuskan diperingatinya hari IBU pada tanggal 22

Desember, dimaksutkan agar menambah kesadaran kaum perempuan akan

kewajibannya sebagai ibu bangsa, dan juga membahasa maslah politik

(hak perempuan).

3. Perkembangan Organisasi Perempuan Indonesia Pada masa Pasca

Kemerdekaan

Partisipasi nyata dan dijaminya hak – hak politik perempuan

tercemin pada pemilu th 1955 di mana perempuan Indonesia berhak dipilih

dan berhak memilih. Mereka juga tidak dibedakan dalam penggajian dan

terpilihnya Maria Ulfa menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II

(1946) dan S.K Trimurti menjadi perburuhan pada cabinet amir

SJarifuddin (1947-1948).11

4. Perkembagan Organisasi Perempuan Indonesia Pada masa Orde

Baru

11
ibid
90

Agenda yang penting yaitu pemberlakuan kebijakan politik dan

ekonomi yang berorientasi pada pembangunan ideology dan Politik. Hal

ini terlihat dalam GHBN th 1973-1998 menetapkan bahwa : “perempuan

memiliki hak, kewajiban, kesempatan yang sama dengan laki – laki untuk

ikut serta dalam kegiatan pembangunan”.

Dalam orde baru di bentuk kementrian  khusus urusan perempuan

merupakan penciptaan pondasi untuk politik gender yang secara mendasar

mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan – kegiatan politik,

dan sudah temanifes dalam dokumen – dokumen Negara, yaitu GBHN,

Undang – undang perkawinan No .1 tahun 1974 dan panca Dharma

Wanita.12

Di era 1990 an, perspektif feminism berkembang di kalangan para

aktivis perempuan yang Berbasis LSM, dengan jargon “GENDER” yang

membicarakan masalah gender, namun masalah ini dalam undang –

undang masih terkesar buta gender, tidak mampu mengantisisapsi adanya

berbagai fenomena yang muncul dalam hubungan kerja yang berimplikasi

pada hancurnya kehidupan pekerja. Mitos yang salah perlu diluruskan

sehingga dapat tercipta hubungan kerja yang saling menghargai dan

menghormati atara sesame pekerja dan antara perempuan dengan laki –

laki.

5. Perkembagan Organisasi Perempuan Indonesia pada masa Reformasi


12
ibid
91

Tahun 2000 terjadi perubahan yang fundamental adanya koalisi

dan analisi gerakan perempuan berkembangan berkembang di mana –

mana dengan agenda bersama dengan apa yang disebut “affirmative

actions”. Akses perempuan untuk menduduki jabatan strategis dihambat

oleh alasan – alasan peran reproduksi perempuan yang tidak masuk akal.

Untuk menjadi Negara yang berdemokrasi, hak politik perempuan dan laki

– laki mutlak di akui keberadaanya.

Gerakan perempuan yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi

untuk demokrasi ditandai dengan terpilihnya presiden Perempuan Pertama

Megawati Soekarno Putri ditetapkan UU No 12 th 2003 yang menetapkan

kuota 30% keterwakilan perempuan pada lembaga legislative (pasal 65

ayat 1) dengan syarat yang sama dengan laki – laki. Keputusan tersebut

menjadikan langkah besar bagi perempuan untuk sejajar dengan laki – laki

dalam proses politik.13

B. Kontribusi PBB dalam sejarah gerakan Perempaun dunia

Respon atas fenomena penindasan perempuan dalam wujud

terbentuknya pergerakan permpuan tersebut terus mengalir dan akhirnya

terkristal menjadi suatu gerakan lintas negara yang pada dasarnya

bertujuan mewujudkan masyarakat yang lebih adil, sejahtera dan damai.

Aktualisai dari keinginan tersebut kemudian diakomodir oleh organisasi

internasional PBB. Dalam kiprahnya, PBB telah menyelenggarakan

beberapa konferensi internasional yang membahas mengenai isu


13
ibid
92

perempuan. Konferensi internaasinonal tentang perempuan pertama kali di

selenggarakan paa 1975 dengan dicanangkannya tahun Wanita

Internasional di Mexico City, yang kemudian diikuti dengan konferensi

perempuan kedua di Copenhagen 1980, lalu konferensi internasional

Nairobi tahun 1985 dan terakhir di Beijing 1995.14

Seperti kita ketahui bahwan negara sekutu yang memenagkan

perang Dunia II mendirikan PBB dalam rangka untuk menciptakan

perdamaian dunia mencegah terjadinya perang Dunia. Dalam hal ini

mereka juga berkepentingan atas kemajuan ekonomi dan sosial serta

perlindunagn HAM tanpa diskriminasi ras, jenis kelamin, kebangsaan dan

agam. Hampir pada saat yang bersamaan itu perempuan juga muncul pada

agenda PBB. Para perempuan yang sejak awal aktif terlibat pada

pembentukan PBB mempunyai tujuan serupa dengan para pendiri PBB

lainnya, yaitu mencegah terjadi perang serta memperjuangkan perdamian

dan keamanan. Selain itu, mereka juga sangat berkepentingan untuk

memajukan ekonomi, melindungi HAM dari individu, dn tidak

membedakan ras jenis kelamim, kebangsaa dan agama.15

Seiring dengan perkembanganny maka dalm kerngka tujuan

perlindungan HAM, “para pejuang perempuan tersebut” memasukan juga

HAM perempuan. Para Aktivis itu berketetapan untuk menciptakan

United National Commisioan on teh status of Women (CWS) pada sesi

pertama persidangan Economic and Sosial Council tahun 1946. Komisi

14
Dr. Riant Nugroho. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia.hlm48
15
Ibid.hlm 49
93

itu yang anggotanya di tunjuk oleh PBB pertugas untuk membuat

rekomendasi kepada ECOSOC, bagi perbaikan kondisi politis, ekonomi,

sosial serta status sipil Bagi Permpuan. ECOSOC akan mengusul

rekomendasi dari CWS kepada mejelis umum PBB sebagai “women

committee” karena pendekatan mereka pada isu peremuan dan karena

lebih banyak peremouan terwakili di badan itu dari pada di komisi lainnya

dalam PBB.CSW itulah yang mengusulkan kepada BPP untuk

mencanagkan Internasional Women Year pada tahun 1975 dan

menyelenggarakan konverensi PBB pertmana tentang perempuan di

Mexico City Tahun 1975. Konferensi keduan berlangsung pada 1980 di

Conpenhagen. Koverensi ketiga di Nairobi pada 1985 serta yang keempay

di Beijing pada 1995.16

Sejak awal pendirian pada 1946,CSW tlah mendikusikan berbagai

Persoalan seperti kesamaan di bindang hukum, hak untuk memilih bagi

perempuan, hak untuk dipilih pada jabatan publik, hak untuk mendapat

kan upah yang sama untuk jenis pekerja yang sama bagi permpuan.17

Pada tahun 60-an peran perempuan di bidang ekonomi dan sosial

menjadi perhatian utama dari banyak kegitan CWS. Pada tahun 70-an dan

80-an fokus perhatian bergeser pada persoalan perdamian dan keamanan.

Pencapian yang paling komprehensif dalam kerangka kesetaraan di

bindang hukum (legal equalitiy) adalah adanya The Convention on the

elimination of all form of diskrimination against women. Konvensi ini

16
Idid.h;lm 50
17
Ibid.hlm 50
94

merepukan perjanjian internasional pertama yang sangat komprehensif

menganai hak-hak perempuan yang mensyaratkan kewajiban hukum ( leg

obligation) bagi pemerintah yang mendatanganinya untuk meretifikasinya

dan menginkorporsasikannya dalm hukun nasional setempat.

C. Hak Asasi Manusia di Indonesia

Hak asasi di indonesia telah megalami pasang surut. Sesudh dua

periode represi (rezim Soekarno dan rezim Soeharto), reformasi berusaha

lebih memajukan hak asasi. Akan tetapi dalm kenyataannya harus

menghadapi tidak hanya pelanggaran hak secara vertical, tetapi juga

horisontal. Pelaksanaan hak poltik mengalami kemajuan, tetapi pelaksana

hak ekonomi masih pelum dilaksanakan secara baik.

1. Masa Demokrasi Parlement

Seperti juga di negara negra berkembang lain, hak asasi menjadi

topik pemmbicarran indonesia diskusi dilakukan menjalankan

diirumskannya undang-undang Dasar 1945, 1949, 1950, pada sidang

kontituante (1959-1959), pada masa penegakan Orde baru menjelang

sidang MPRS 1968, dan pada masa Reformasi (sejak 1998)

Hak asasi yang tercantum dalam undang-undang Dasar 1945 tidak

termut dalm suat piagam terpis.

2. Masa Demokrasi Terpimpin


95

Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya

hak asasi kembali terbatas jumlahnya. Di bawah Presiden Soekarno

beberapa hak asasi,seperti hak mengeluarkan pendapat, secara

berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat dibreidel, seperti

Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa paitai di bubarkan, seperti

Masyumi dan PSI dan Pemimpinnya Moh Natsir dan Siahrir, ditahan.

Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali diabaikan

tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro perancangan

negara yang telah menyusun rencana pembangunan Lima Tahun 1956-

1961 dan melaksanakannya selam satu tahun yang tidak pernah

dilaksanakan. Perrkonomian Indoneia mencapai titik terendah.

Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan

3. Demokrasi Pancasila atu Orde Baru.

Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan di mulai suatu

proses demokratisai banyak kaum cendekiawan menggelar berbagai

seminar untuk mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi.

Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung aman, karena

sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil

alih pemimpin.

4. Masa Reformasi
96

Pemerintahan Habibie Mei 1998-Oktober 1999 pada awal masa

reformasi mencanangkan Rencana Aski Nasional Hak Asasi Manusia

1998- 2003, yang sayangnya sampai sekarang belum banyak

dilaksanakan. Dalam masa Reformasi pula Indonesia meretifikasi dua

Konvensi Hak Asasi yang penting yaitu Konvensi Menentang atau

Meredahkan dan Konvensi International lain yang kejam Tidak

Manusiawi atau merendahkan, dan Konvensi International Penghapus

Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Tahun- tahun pertaama Reformasi ditandai oleh Konflik

horisontal,ataran lain Ambon, poso dan kalimantan, di mana

pelanggaran hak asasi dilakukan oleh kelompok- kelompok

masyarakat sendiri. Aparat penegak hukum nampaknya tidak mampu

atau tidak bersedia menangani berbagi sengketa ini. Mungkin juga ada

rasa engga kerena tuntutan masyarakat agar semua pelanggaran hak

asasi ditindakan menimbulkan keraguan di kalangan prajurit san polisi

di lapangan mengenai tindakan mana yang dibolehkan dan mana yang

dilarang.

5. Hak Asasi Perempuan


97

Hak Asasi Perempun cukup menonojol. Menurut UUD 1945

Secara formal tidak dapat ada perbedaan antara lak-laki dan

perempuan. Pasal 27 UUD 1945 misal nya dengan tegas mengatakan

bahwa semua orang sama kedudukannyas di hadapat hukum. Akan

tetapi dalam praktiknya perempuan masih banyak mengalami

diskriminasi. Dengan kata lain kedudukan perempuan secra de Jure

jauh berbeda dengan kedudukannya secra de facto.

Sebenearnya kedudukan perempuan di Indonesia secara formal cukup

kuat sebab banyak ketentuan dalam berbagai undang-undang serta

peraturan lain yang memberi perlindunganan yuridis padanya. Selain

itu, indonesia pun telah meretifikasi dau perjanjian, yaitu perjanjian

mengenai hak politik perempuan dan perjanjian mengenai penghapus

Diskriminasi terhapad perempuan, akhirnya undang-undang pemilu

2004 dibuka kesempatan agar perempuan dipertimbankan menduduki

30% kursi parlemen.

D. Berbagai persoalan politik perempuan Indonesia

Berbagai persoalan politik perempuan di Indonesia terjadi karena

proses politik yang kurang sehat . partai politik, pemerintah, dan lembaga

perwakilan rayak sangat didominasi oleh kamum laki-laki, sehingga nilai,

kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik

terlalu mendominasi proses politik dan kebijakan public yang dihasilkan.

Padahal perempuan memiliki nilai, kepentingan, kebutuhan dan aspirasi


98

yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini sangat penting untuk dapat

terwakili dalam lembaga politik, hal diatas sangantlah penting bagi

perempuan karena apa yang dimaui perempuan bisa terwakilkan jika

dalam proses politik ada kedemokrasian di dalamnya.18

Persoalan perempuan disebabkan kendala nilai social budaya yang

tidak memberikan akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di

lembaga – lembaga elite, kendati dari aspek kemampuan intelegensia,

manajerial, dan kepemimpinan, perempuan memiliki kualitas yang

memadai, namun sering tidak dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi

dan jabatan strategis lainnya.

Lemahnya penguasaan sumber – sumber kekuasaan oleh kaum

perempuan (pendidikan, informasi, teknologi, ekonomi dan politik)

menghalangi berkembangnya kemampuan kaum perempuan untuk

memperjuangkan agenda perubahan secara efektif. Tragis memang

penilaian terhadap seseorang masih ditentukan berdasarkan “gender”

semata bukan karena kemampuan/kualitas intelektual dan kepribadianya.

Masih ada harapan melalui semangat reformasi, demokrasi dan

menjunjung tinggi hak – hak perempuan berpartisipasi pada lembaga

politik formal sama dengan laki – laki telah memunculkan kepemimpinan

perempuan di negeri ini. 50% lebih pemilih perempuan menggantungkan

harapan pada perempuan yang duduk di badan legislative, esekutiv

18
https://mubarok01.wordpress.com/2013/06/06/sejarah-pergerakan-perempuan-indonesia. di
akses pada tanggal 23 April 2015
99

maupun birokasi lainya sehingga dapat menyumbangkan pemikiran –

pemikirannya yang strategis bagi perbaikan perempuan Indonesia.19

1. Partisipasi perempuan dalam politik Indonesia

Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran

serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip

persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik,

terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform Aksi

Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of

Discrimination Against

Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah

di dunia agar memberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat

sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-

jabatan appointif (berdasarkan penunjukan/pengangkatan) maupun elektif

(berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan

nasional. Pengkajian tentang negara-negara yang memiliki Masa kritis

kaum perempuan (30 persen) di parlemen, dewan-dewan legislatif dan

birokrasi tingkat lokal, membuktikan adanya pemberlakuan sistem kuota

itu, baik yang diterapkan secara sukarela oleh partai-partai politik maupun

yang digariskan oleh undang-undang.20

 Beberapa waktu terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi hal

menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi


19
Ibid
20
Sanit, Arbi.191s85. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
100

juga di dunia internasional. Kita tentu memahami bahwa selama ini

perempuan secara sosial terpinggirkan. Budaya partriarkis yang tidak

ramah pada perempuan.

Ada konstruksi sosial yang menempatkan perempuan seolah-olah

hanya boleh mengurus soal-soal domestik saja. Tak ada hak untuk

merambah area yang lain.Kenyataan menunjukkan bahwa keyakinan itu

masih tertanam kuat. Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting

manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat

perempuan tidak secara proporsional terlibat dalam pengambilan

keputusan. Padahal jumlah perempuan di Indonesia menurut data statistik

lebih banyak ketimbang laki-laki.21

Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan menjadi begitu

penting dalam memberikan keadilan bagi perempuan atas hak politiknya,

dengan cara menghasilkan kebijakan yang melindungi hak politik

perempuan. Indikator yang ditetapkan Millenium Development Goals atau

MDGs bagi kesetaraan gender adalah jumlah keterwakilan perempuan

dalam parlemen.

 Sejarah tentang representasi perempuan di parlemen Indonesia

merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di

wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928,

yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di

kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam

meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi


21
Ibid.hlm
101

dalam pembangunan, termasuk dalam politik. Dalam pemilihan umum

pertama pada tahun 1955, 6,5 persen dari anggota parlemen adalah

perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen

mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0

persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 persen

dari seluruh anggota perwakilan terpilih.22

Sejak perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mulai tahun 1999 hingga 2001 terjadi

perubahan substantif pada institusi ketatanegaraan di Indonesia. Salah

satunya diwujudkan dengan adopsi parlemen dua kamar (bikameral

terbatas) yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan

Perwakilan Daerah). Perubahan tersebut merupakan hasil tuntutan

reformasi politik yang menghendaki adanya penguatan terhadap lembaga

legislatif sebagai institusi strategis pengemban perwakilan

rakyat.Perubahan signifikan terhadap peran dan kewenangan DPR sebagai

lembaga legislatif memiliki dua tujuan strategis. Yaitu untuk membangun

mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) di

antara lembaga tinggi negara, juga mendorong lahirnya produk lembaga

legislatif (khususnya undang-undang dan anggaran) yang berpihak pada

kepentingan rakyat secara umum.

Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur

perempuan selalu terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR), persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan.


22
102

Kongres Wanita Indonesia pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak

sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya memperluas peran publik

mereka, khususnya dalam politik. Dalam forum ini organisasi-organisasi

perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan.

Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan

peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti

meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan

mengembangkan jaringan. Organisasi dan gerakan wanita ini

meningkatkan posisi tawar perempuan, dalam pemerintah dan institusi

lainnya.

2. Perempuan Dalam Politik

 Bersama dengan institusi-institusi lain, MPR memiliki

tanggungjawab untuk membuat dan memperbarui Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) untuk pedoman pelaksanaan pemerintahan dan

berbagai kebijakan nasional. Sejak tahun 1988, GBHN telah mengandung

ketetapan-ketetapan mengenai peranan perempuan, selain keberadaan

Menteri Muda Urusan Perempuan dalam kabinet. Posisi ini terus

dipertahankan, sekalipun dengan nama serta visi dan misi yang berubah.

Isu-isu perempuan dan, yang berkembang menjadi, isu gender tertuang

dalam GBHN tahun 1993, 1998 dan 1999. Dalam GBHN tahun 1999,

dinyatakan bahwa pemberdayaan perempuan  dilaksanakan melalui upaya:

pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh


103

lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan

keadilan gender, kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian

organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan

kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam

melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga

dan masyarakat.Keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi

sebuah hal yang patut diwujudkan.

Berbeda dengan GBHN pada umumnya yang ditujukan bagi pihak

eksekutif, GBHN tahun 1999 merupakan pedoman untuk diberlakukan dan

mengikat bagi seluruh institusi kenegaraan seperti eksekutif (Presiden)

yudikatif (Mahkamah Agung), legislatif (DPR/MPR), dan lembaga

pemeriksa keuangan (BPK), khususnya pernyataan tentang peningkatan

kedudukan dan peran peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

3. Penting perempuan dalam politik

Affirmative action ini telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak

Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002

yang mengatur keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik

dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya

penerapan kuota telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009 belum

menunjukkan angka keberhasilan yang signifi kan karena baru mencapai

18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara keterwakilan perempuan di


104

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132

orang anggota).

Selama satu dekade terakhir ada kecenderungan peningkatan peran

dan partisipasi perempuan. Di satu sisi kaum perempuan tidak memilik

cukup kepercayaan diri untuk terlibat dalam politik sementara kaum

pemilih merasa sanksi Akan kemampuan mereka. Pada sisi lain, terdapat

banyak kaum perempuan yang tidak aktif di dunia politik namum gigih

berjuang di garis depan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik

yang penting.Terbukanya peluang memperbaiki representasi perempuan

seharusnya tidak terlalu ditekankan pada sisi kuantitasnya saja. Tentu akan

percuma bila kesempatan itu tidak diikuti oleh penyiapan kader yang baik.

sesungguhnya, yang paling penting adalah meningkatkan kapasitas dalam

aktualisasi politik kaum perempuan, dan lebih jauh lagi mendorong

keterlibatan perempuan untuk duduk di posisi-posisi penentu kebijakan

publik.

Tabel 3

Jawabn Laki-laki Perempuan Total


Saangat setuju 1% 4% 5%
Setuju 26% 32% 58%
Tidak setuju 15% 7% 22%
Sangat tidak 1% 1% 2%
105

setuju
Tidak menjawab 7% 6% 13%
Total 50% 50% 100%
WOMEN RESEARCH
INTITUTION 2014

Jumlah Perempuan di DPR-RI untuk Kepentingan Perempuan

Kesempatan dalam kiprah politik dan peran kepemimpinan bagi

perempuan, penting untuk terus ditingkatkan tidak hanya untuk

mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, tetapi juga agar

perempuan dapat membangun sistem dan etika politik yang semakin baik.

Ini terkait dengan kapasitas perempuan sebagai pemilih, pemimpin partai

politik, legislator atau pejabat pemerintah supaya semakin banyak

kebijakan publik yang merefleksikan kekhawatiran dan perspektif

perempuan serta diiiringi derajat sensitifitas yang makin tinggi pada

berbagai persoalan di tanah air. Hasil penelitian di beberapa negara di

dunia menunjukkan bahwa efektifitas peran perempuan dalam mendorong

kesejahteraan lebih kuat pengaruhnya melalui peran dalam legislatif

ketimbang eksekutif.

Merujuk pada kondisi saat ini, mayoritas parlemen di dunia masih

didominasi oleh anggota laki-laki. Representasi perempuan di parlemen

rata-rata masih rendah, belum mencapai 30%. Kondisi ini

mengindikasikan bahwa aturan main atau regulasi atau norma, bangunan

struktur, proses kerja maupun penilaian atas kinerja anggota parlemen

masih ditentukan melalui ukuran-ukuran dan kriteria yang dibuat para


106

aktor pembuat kebijakan yang sebagian besar terdiri dari laki-laki. Ketika

kaum perempuan mulai ikut berpartisipasi di lembaga perwakilan ini,

dengan representasi yang terus meningkat, dirasakan bahwa aturan main,

regulasi, bangunan struktur kelembagaan di parlemen, norma,proses kerja

maupun penilaian atas kinerja dan produk yang dihasilkan belum bisa

mengakomodasi kepentingan mereka dan bahkan cenderung bias serta

diskriminatif.

Parlemen yang sensitif gender merupakan agenda strategis yang

sedang didorong secara internasional. Ide dasarnya adalah

pengarusutamaan gender dalam institusi pengambil kebijakan. Tujuan

utamanya adalah mengintegrasikan perspektif gender dalam semua produk

kebijakan sehingga menjadikan parlemen akuntabel, responsif,

representatif, adil dan berkesetaraan.Gagasan tentang pengarusutamaan

gender (PUG) menjadi strategi politik, gerakan serta ideologi yang

disuarakan untuk mengatasi dan merespons persoalan tersebut. Gagasan

tentang pengarusutamaan gender (PUG) adalah konsep yang

dikembangkan oleh gerakan perempuan, diadopsi secara internasional dan

dicetuskan sejak 1995 (Beijing Declaration).

Secara sederhana PUG dimaknai sebagai strategi untuk

mengintegrasikan prinsip keadilan gender sebagai pusat dari keseluruhan

mekanisme pembuatan dan pengambilan kebijakan.Pembaharuan institusi

pengambilan kebijakan di tingkat nasional dan lokal melalui

pembentukangender focal point serta alokasi sumber lewat pengenalan


107

konsep gender responsif budget.Intinya adalah agar prioritas dan

perspektif perempuan menjadi bagian integral dari struktur pengambilan

keputusan.

Tujuannya untuk pencapaian keadilan gender dan penghapusan

diskriminasi gender di semua level.Di arena politik, PUG memiliki

beberapa tujuan, yaitu (1) untuk menghapus kesenjangan gender dan

peningkatan representasi; (2) agar lembaga politik pengambilan keputusan

termasuk parlemen bisa menjadi institusi yang memberi keadilan dan

kesetaraan bagi anggota laki-laki dan perempuan; (3) produk kebijakan

yang sensitif dan peka pada perbedaan laki-laki dan perempuan serta; (4)

aturan main di dalamnya tidak bias dan mendiskriminasi salah satu jenis

kelamin.

Pemaknaan PUG bukan hanya dimaknai sebagai ‘policy framework’

yang kaku dan secara umum sering dilakukan melalui analisa

dokumen,check list data terpilah berdasarkan gender dan analisa kebijakan

yang dibuat partai/ fraksi, yang dihasilkan DPR dan DPD dengan

menggunakan perspektif gender.Model seperti itu jika tidak dilengkapi

dengan analisis kritis konteks politik Indonesia terkini dan gerakan

perempuan, maka tidak akan memadai untuk menjawab tantangan

menjadikan perempuan di parlemen sebagai agen perubahan untuk

transformatif politik.
108

Hal lain yang juga harus diperhitungkan sangat serius dalam upaya

membuat parlemen yang responsif gender adalah medan pertarungan

politik yang tersedia dan apakah memang medan pertarungan (political

opportunity structure) menjadi ruang yang kondusif untuk transformasi

politik kaum perempuan di parlemen.

Berda sarkan latar belakang tersebut pengarusutamaan gender di DPD

dan DPR dengan demikian tidak hanya menganalisa dokumen regulasi,

komposisi keanggotaan, aturan main DPR/DPD selama 2004- 2009 yang

dilengkapi dengan data terpilah yang dikumpulkan. Tapi lebih jauh dari

itu, studi ini juga dilengkapi dengan analisis konteks politik, analisis aktor

dominan dan gerakan perempuan Indonesia di arena politik yang dianggap

akan lebih tajam menjawab tantangan pengarusutamaan gender di

parlemen serta rekomendasi untuk membangun parlemen yang responsif

gender ke depan.

4. Strategi Meningkatkan Representasi Perempuan dalam politik

 Untuk mendongkrak peranan perempuan dalam politik sebagai

implementasi pelaksanaan kesetaraan gender, maka ada beberapa

kebijakan yang mungkin bisa dilakukan:

a. Membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi

perempuan

Di Indonesia, saat ini ada beberapa asosiasi besar organisasi

perempuan.Misalnya, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) adalah

federasi dari 78 organisasi wanita, yang bekerjasama dengan perempuan


109

dari berbagai agama, etnis, dan organisasi profesi berbeda. Badan

Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) adalah

sebuah federasi dari sekitar 28 organisasi wanita Muslim. Pusat

Pemberdayaan Politik Perempuan adalah sebuah jaringan organisasi yang

mengabaikan kepartaian, agama, dan profesi dan meliputi kira-kira 26

organisasi. Semua jaringan ini memiliki potensi penting untuk mendukung

peningkatan representasi perempuan di parlemen, baik dari segi jumlah

maupun kualitas jika mereka dan organisasi anggota mereka bekerjasama

menciptakan sebuah sinergi usaha.Pengembangan jaringan-jaringan

organisasi wanita, dan penciptaan sebuah sinergi usaha, penting sekali

untuk mendukung perempuan di parlemen, dan mereka yang tengah

berjuang agar terpilih masuk ke parlemen.

a. Meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi partai-partai

politik:

Mengupayakan untuk menduduki posisi-poisisi strategis dalam

partai, seperti jabatan ketua dan sekretaris, karena posisi ini berperan

dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan partai.

b. Melakukan advokasi para pemimpin partai-partai politik:

Ini perlu dalam upaya menciptakan kesadaran tentang pentingnya

mengakomodasi perempuan di parlemen, terutama mengingat kenyataan

bahwa mayoritas pemilih di Indonesia adalah wanita.

c. Membangun akses ke media:


110

Hal ini perlu mengingat media cetak dan elektronik sangat

mempengaruhi opini para pembuat kebijakan partai dan masyarakat

umum.

d. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran perempuan melalui

pendidikan dan pelatihan:

Ini perlu untuk meningkatkan rasa percaya diri perempuan pada

kemampuan mereka sendiri untuk bersaing dengan laki-laki dalam upaya

menjadi anggota parlemen.Pada saat yang sama, juga perlu

disosialisasikan konsep bahwa arena politik terbuka bagi semua

warganegara, dan bahwa politik bukan arena yang penuh konflik dan dan

intrik yang menakutkan.

e. Meningkatkan kualitas perempuan:

Keterwakilan perempuan di parlemen menuntut suatu kapasitas

yang kualitatif, mengingat bahwa proses rekrutmen politik sepatutnya

dilakukan atas dasar merit sistem. Peningkatan kualitas perempuan

dapat dilakukan, antara lain, dengan meningkatkan akses terhadap

fasilitas ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

f. Memberikan kuota untuk meningkatkan jumlah anggota parlemen

perempuan:

Saat ini sedang dibahas rancangan undang-undang politik, yang di

dalamnya diharapkan dapat dicantumkan secara eksplisit besarnya kuota

untuk menjamin suatu jumlah minimum bagi anggota parlemen

perempuan.
111

Selain itu, memperlancar segala perencanaan serta realisasi dari

konsepsi pengarusutamaan gender (PGU) adalah merupakan suatu

keseharusan dalam upaya meningkatkan representasi perempuan.Ada

beberapa faktor yang berperan dalam pengarusutamaan gender yakni:

Ada tidaknya peluang politik (ruang politik yang tersedia) untuk

pengarusutamaan gender di parlemen.Peran gerakan perempuan dan

gerakan masyarakat sipil dalam mendesakkan dan mengadvokasi

pengarusutamaan gender di parlemen.Di sisi lain, adanya permasalahan

alam mewujudkan parlemen yang sensitif gender, membuat kebijakan

kesetaraan gender harus memperhatikan beberapa faktor:

pertama Dukungan dari partai politik mayoritas di parlemen.

kedua Mekanisme kerja dalam komisi-komisi di parlemen, termasuk

komisi yang khusus mengurusi kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan. Ketiga Eksistensi kaukus perempuan parlemen yang

merupakan jaringan perempuan antarpartai politik dan saluran ke

organisasi masyarakat sipil. Keempat Aturan main yang dibentuk untuk

memfungsikan parlemen.

E. Partisipasi perempuan dalam parlemen Indonesia

Indonesia dibandingkan dengan negara lain

memberikan affirmative action terhadap perempuan di parlemen. Di dalam

konstitusi UUD 1945, tidak ada larangan untuk memberikan kuota

perempuan di parlemen sebagaimana terdapat dalam Pasal 28H ayat (2)


112

UUD 1945. Pengaturan ini dipertegas dalam UU Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yaitu dalam Pasal 45 dan Pasal 46 yang

mengatur bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota

badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif,

harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Di dalam partai politik pun juga sudah diatur bahwa setiap partai politik

harus memperhatikan keterwakilan perempuan sebanyak 30%. Namun,

tidak ada sanksi yang tegas terhadap partai yang melanggar seperti yang

diatur di Argentina. Ley de Cupos mengatur adanya penolakan terhadap

partai yang tidak memenuhi kuota perempuan untuk ikut dalam pemilu.23

Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010,

terdapat 118.010.413 atau sekitar 49,65% jumlah perempuan dari total

penduduk Indonesia, tetapi hanya 8% hingga 10% saja yang terpilih dalam

setiap pemilu. Sementara itu, DPRD hanya diwakili oleh 44 orang atau

9,1% perempuan. Data ini didukung fakta bahwa 30 provinsi di Indonesia,

tidak satupun terdapat perempuan yang memimpin, sedangkan dari 336

kabupaten  hanya 6 daerah yang dipimpin oleh perempuan.

Untuk memberikan kesempatan kepada perempuan dalam

partisipasinya di parlemen, dibutuhkan pengaturan mengenai partisipasi

perempuan di parlemen. Hal ini terlihat dari disahkannya Undang-Undang

Pemilu yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 ayat (1)

23
Ibid.
113

Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur 

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Pada tahun 2008 dilakukan perubahan terhadap undang-undang

tersebut yaitu dengan menambah pasal 214 yang mengatur

mengenai zyper system. Namun, pada Selasa 23 Desember 2008

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan yang membatalkan Pasal

214 karena bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945. MK berpendapat bahwa ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf

c, huruf d, dan huruf e UU 10 Tahun 2008 adalah inkonstitusional karena

bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat.

Jika melihat dari negara-negara lain, seperti di Negara Perancis,

amandemen Konstitusi 1999 Perancis mengukuhkan akses yang setara

bagi perempuan dan laki-laki yang efektif dimana 50% dari calon-calon

yang ada dalam daftar yang diajukan untuk pemilihan haruslah

perempuan. Partai-partai politik menghadapi sanksi keuangan jika mereka

tidak mematuhi ketetapan tersebut sebagaimana diatur di dalam Parity

Law pada tahun 1999. Negara Mesir mengatur  beberapa mekanisme yang

telah digunakan untuk memudahkan masuknya perempuan ke dalam

parlemen Mesir, salah satunya adalah alokasi 30 kursi dicadangkan untuk

perempuan di parlemen sesuai dengan dekrit presiden tahun 1979. Negara-

negara tersebut memberikan hak kepada perempuannya dengan berbagai

alternatif kebijakan yang dapat memudahkan sehingga keterwakilan bagi

perempuan di parlemen dapat terpenuhi.


114

Keberadaan perempuan di DPR seharusnya tidak hanya dilihat dari

segi kuantitas saja tetapi dilihat dari kemampuan masing-masing individu,

artinya kesetaraan dalam hal ini adalah bagaimana negara memberikan

kesempatan yang sama terhadap perempuan maupun laki-laki dalam

mendapatkan posisi dengan kemampuan masing-masing. Dengan

kemampuan dan diiringi kualifikasi yang baik yaitu intelligencce,

character, dan goodwill, seorang wakil rakyat mendapatkan kredibilitas

dari rakyatnya sebagai pihak yang diwakili. Hans Kelsenmenyebutkan

bahwa, “untuk membuktikan hubungan yang sesungguhnya dari

perwakilan, tidaklah cukup bahwa wakil diangkat atau dipilih oleh yang

diwakili. Wakil perlu diwajibkan secara hukum untuk melaksanakan

kehendak dan orang-orang yang diwakilinya, dan pemenuhan kewajiban

ini harus dijamin oleh hukum.  Artinya, perempuan berusaha untuk dapat

duduk di kursi DPR dengan segala kemampuannya sehingga rakyat

memberikan simpati dan mempercayakan kepentingan mereka kepada

perempuan terutama perempuan itu sendiri.

Pengaturan kuota selain sebagai bentuk upaya langsung dari

peningkatan jumlah perempuan di DPR juga menjadi faktor pendukung

dari prinsip perwakilan yang dianut di Indonesia. Berdasarkan teori Hanna

Fenitchel Pitkin tentang perwakilan deskriptif, maka apabila dalam suatu

negara terdapat 30% perempuan, perwakilan perempuan di parlemennya

seharusnya juga 30%. Dapat disimpulkan, jika perbandingan perempuan


115

dan laki-laki di Indonesia 49%:51%, maka jumlah perwakilannya pun

sesuai dengan persentase tersebut.

Bentuk perwakilan deskriptif ini sangat dibutuhkan di Indonesia

karena Indonesia terdiri dari berbagai macam masyarakat. Dengan adanya

seorang perwakilan yang memang mewakili secara deskriptif diharapkan

partisipasi masing-masing anggota kelompok tersebut meningkat. Teori ini

telah digunakan di Amerika dan berhasil meningkatkan kepercayaan

konstituen terhadap wakil-wakilnya sehingga berdampak pada

meningkatnya presentase pemilih di pemilihan umum berikutnya.

Kesiapan Partai Politik dalam Merespon Kuota 30 % Perempuan dalam

Pemilihan Umum.

Berkenaan dengan kesiapan Partai politik dalam merespon kuota 30 %,

penulis mengambil sampling beberapa partai politik seperti Partai Amanat

Nasional, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.24

a. Respon Partai Amanat Nasional

Partai Amanat Nasional, dalam mengusung keterwakilan

perempuan di parlemen dalam platformnya menyatakan bahwa persamaan

hak perempuan mesti diwujudkan secara hukum, sosial, ekonomi dan

politik. Kesempatan yang sama mesti diberikan kepada perempuan untuk

berkecimpung di segala lapangan kehidupan, dan meyakini perlunya

keadilan gender, serta memperjuangkan peningkatan keterwakilan

perempuan di segala lapangan kehidupan. Menurut Partai Amanat


24
116

Nasional, partai politik saat ini belum memainkan komunikasi politik

mereka secara jelas kepada publik mengenai program-program mereka,

terutama mengenai keterwakilan perempuan di parlemen. Lemahnya

komunikasi politik menjadi barometer eksistensi partai politik di tengah

masyarakat pemilihnya, demikian pula para aktivis perempuan belum

mampu mendorong wacana-wacana mereka ke dalam tahap implementasi

dan advokasi secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah

sinergi antara partai politik dan para aktivis perempuan, untuk secara

bersama mengusung agenda-agenda perempuan di masa depan, terutama

akses mereka di parlemen. Partai politik tidak boleh berdiri sendiri, dia

harus merupakan muara dari pelbagai usaha-usaha publik yang mendorong

transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Dengan demikian, partai

politik wajib mempromosikan kader-kader perempuan dalam internal

partai politik itu sendiri, maupun kader perempuan baik dari dalam

internal partai politik itu sendiri, maupun kader perempuan yang tumbuh

di masyarakat untuk menempati posisi strategis baik di legislatif maupun

eksekutif. Selanjutnya menurut Partai Amanat Nasional Publik harus

mendorong para kader perempuan untuk masuk mengambil kesempatan

berpolitik. Arus utama jender (gender mainstream) hampir tidak memiliki

strategi dalam mengusung agenda mereka secara jelas, siapa yang maju

dan apa yang akan diusung atau dititipkan kepada partai politik. Hal ini

terjadi karena tidak adanya komunikasi politik yang bagus baik dari para

aktivis perempuan itu sendiri. Untuk itu, perempuan bisa menitipkan


117

agenda-agenda mereka kepada partai politik, dengan stategi meningkatkan

posisi tawar yang cukup.

 Kematangan berpolitik perempuan

Pada dasarnya perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk

meraih posisi strategis di parlemen maupun sebagai eksekutif, namun

iklim yang ada kurang kondusif untuk saat ini. Masih terdapat waktu yang

cukup untuk mempersiapkan diri bagi perempuan agar “lebih matang”

memasuki dunia politik. Biasanya para aktivis perempuan segera mundur

dari kancah politi, ketika hati nurani mereka tidak bisa memahami intrik

internal partai politik yang cenderung tajam, sehingga pada dasarnya

menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat mereka, dan cenderung

menjauh dari kegiatan politik praktis.

Perempuan bukan berarti tidak memahami kegiatan politik, namun

kematangan yang dimaksud disini adalah baru dalam kapasitas

keterwakilan formal saja, belum merupakan representasi wajah perempuan

sesunguhnya. Dengan demikian dimulai dari isu-isu strategis sampai

dengan program-program yang mengikat dalam sebuah sinergi

memperjuangkan masalah-masalah yang dihadapi perempuan dan akses

mereka pada pengambilan keputusan di semua tingkat.

Partai Amanat Nasional menyediakan dirinya untuk

menggabungkan dengan pada elemen-elemen perjuangan isu-isu

perempuan dan representasi perempuan di parlemen, dan membuka diri


118

untuk memperoleh masukan-masukan dair masyarakat khususnya berupa

agenda politik perempuan untuk diperjuangkan bersama di parlemen.

b. Respon Partai Demokrat

Sebagai kontestan pemilihan umum tahun 2004, Partai Demokrat

telah melakukan sosialisasi pada seluruh jajaran partai mengenai undang-

undang nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Hasil sosialisasi

ini secara nyata telah menumbuhkan pemahaman yang cukup baik

terhadap pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum. Dengan berbedanya system pemilihan umum tahun

2004 dengan system pemilihan umum tahun 1999, maka pola operasional,

srategi intem partai dalam rangka pemenangan pemilu serta rekrutmen

politik tidak terlepas dari kaidah-kaidah dan norma standar yang secara

implisit terkandung di dalam undang-undang pemilihan umum. Dalam hal

rekrutmen politik, sebagai partai politik yang bersiftat terbuka (inklusif),

Partai Demokrat membuka diri dan memberi kesempatan yang sama

kepada seluruh komponen bangsa dengan dengan tidak membeda-bedakan

antara laki-laki dan perempuan, dengan tetap menerapkan kebijakan intern

partai untuk mendapatkan calon-calon anggota legislatif yang berkualitas,

sehingga dapat berkiprah dengan baik dalam tatanan politik praktis,

khususnya di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyuarakan kepentingan

rakyat, tetap berpihak kepada rakyat sesuai tugas dan fungsinya.

Sebagai partai terbuka, Partai Demokrat memperhatikan ketentuan

perundangan yang berlaku dan seperti telah dikemukakan diatas untuk


119

tetap berpegang pada ketentuan tersebut diawali dengan pemahaman yang

baik bagi setiap kader partai. Dengan demikian dalam merespon

ketemtuan pasal 65 Ayat (1) bahwa setiap partai politik peserta pemilu

dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD

Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan

keterwakilan sekurang-kurangnya 30%, Partai Demokrat telah melakukan

langkah-langkah positif untuk memenuhi tuntutan ketentuan tersebut, baik

pada tingkatan Dewan Pimpinan Daerah Propinsi Jawa Barat maupun pada

tingkatan Dewan Pimpinan Cabang Kabupaten dan Kota. Dengan sifat

keterbukaan Partai Demokrat mendorong para perempuan dari berbagai

profesi untuk turut serta menjadi calon anggota legislatif. Ini berarti bahwa

animo perempuan untuk menjadi anggota legislatif cukup baik dan

direspons oleh partai untuk terlibat mengikuti tahapan-tahapan seleksi

pemahaman, motivasi dan psikologi sehingga dihasilkan kualitas yang

baik sesuai dengan misi partai kader. Dari gambaran tersebut, Partai

Demokrat Propinsi Jawa Barat tetap konsisten dengan ketentuan pasal 65

ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum

dan menyambut baik keseteraan gender dalam upaya reformasi struktur

social politik dengan tidak mengabaikan aspek kualitas dan moral.

Bertitik tolak dari doktrin Partai Demokrat diatas, terutama dengan

sifat partai yang terbuka berupaya memenuhi kuota 30% perempuan bagi

calon anggota legislatif. Partai Demokrat dengan terfokus mengirim calon-

calon anggota legislatif perempuan untuk Dewan Perwakilan Daerah


120

Propinsi Jawa Barat sesuai dengan ketentuan dengan tidak mengabaikan

aspek kualitas dan moral, kemudian mengenai penempatan nomor urut

dilakukan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan kebijakan intern

partai secara objektif karena yang akan dihadapi bukanlah masalah kecil

tetapi masalah bagi kelangsungan berbangsa, berpemerintah dan bernegara

di masa yang akan datang.

c. Respon Partai Keadilan Sejahtera

Dengan disahkannya UU pemilu yang menyertakan aspirasi kaum

perempuan pada pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003,

tercantum “setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota

DPR,DPRI) propinsi, dan DPRI) Kabupaten/kota untuk setiap daerah

Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-

kurangnya 30%”. Banyak kalangan yang optimis dan bersemangat.

Sebagaimana juga banyak yang pesimis dan bahkan justru merasa ini

adalah sebuah perlakuan diskriminatif.

Mereka yang optimis memandang bahwa ini adalah salah satu

bentuk affirmative polici untuk mendukung peningkatan partisipasi politik

perempuan. Sedangkan pandangan diskriminatif berawal dari penolakan

pandangan bahwa perempuan hanya dinilai dari sekedar jumlah

(kuantitatif) dan maka dari itu berhak memperoleh kuota. Mereka juga

menegaskan agar perempuan dinilai dari sudut pandang kualitas, bukan

kuantitas. PK sejahtera dalam hal ini meyakini bahwa kedudukan laki-laki

dan perempuan adalah setara, dengan tentu sajamemperhatikan fitrahnya


121

masing-masing Keduanya mengemban amanah ibadah dan juga amanah

khilafah. Maka diharapkan keduanya bekerjasama dengan solid untuk

saling melengkapi, karena keduanya memiliki kelebihan dan dan

kekurangan masing-masing. PK Sejahtera juga mendorong kader-kader

wanitanya untuk berkiprah di dunia politik, karena kewajiban menunaikan

amar ma’ruf nahi munkar diembankan pada kedua belah pihak, laki-laki

dan perempuan. PK Sejahtera tidak menafikan kebijakan kuota politik

30% kaum perempuan karena merupakan kebijakan yang dirancang,

dirumuskan, diputuskan dan disahkan oleh para wakil rakyat yang duduk

di legislatif. PK Sejahtera juga mendukung kebijakan tersebut demi

meningkatkan kepekaan warga negara Indonesia khususnya perempuan

terhadap problematika umat. Namun, PK Sejahtera menyadari, bahwa

amanah menjadi anggota lagislatif itu tidaklah ringan, baik bagi laki-laki

maupun perempuan. Diharapkan siapapun yang menjadi caleg lageslatif

dan kedepannya menjadi anggota lagislatif, benar-benar memperjuangkan

aspirasi kaum perempuan dan berkontribusi nyata dalam mengawal proses

reformasi di Indonesia bukan justru terjbak dalam kepentingan

pribadi/golongan/partai, pembusukan politik dan beralih wujud menjadi

politikus amoral sebagaimana yang telah lama ditunjukan oleh wajah

perpolitikan Indonesia.

Oleh karena itu, bagi PK Sejahtera, perempuan (dan tentu saja laki-

laki) yang akan terjun di dunia potik tersebut hendaklah memenuhi

kualifikasi sebagai berikut:


122

Kekuatan ruhiyah. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa tujuan

dari politik itu sendiri adalah dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar

dimana semua aktivitas yang dilaksanakan harus didasarkan niat yang

tulus ikhlas untuk mencari ridho Allah.

Kekuatan Fikriyah. Politik adalah seni mengelola umat atau

masyarakat dan negara, yang bermuara pada keputusan politik di bidang

agama. Pendidikan, ekonomi, pertahanan, keamanan, teknologi, seni dan

budaya, dan lain-lain. Oleh karena itu seorang akrivits politik haruslah

orang yang memiliki kamampuan fikriyah di atas rata-rata yang ditandai

dengan kecerdasan intelektual serta keluasan ilmu dan pengetahuan.

· Kekuatan manajerial. Seorang tidak akan bisa mengelola umat

dengan baik apabila ternyata dia tidak mampu mengelola dirinya sendiri.

Oleh karena itu, cerdas dan shaleh tidaklah cukup, namun harus disertai

dengan sikap profesional,

Kekuatan khuluqiyyah (akhlak); Seorang aktivis politik harus

mampu memberikan keteladanan dalam segala perilakunya, karena ia

adalah sosok publik yang hadir ditengah masyarakat.

Kekuatan jasmani; Seorang anggota lagislatif perlu terus

memelihara kebugaran dan kesehatan jasmaninya, karena aktivitas politik

akan sangat melelahkan. PK Sejahtera tidak hanya terpaku pada gerakan

kuota bagi calon legislatif perempuan, tapi telah mewujudkannya secara

demokratis dalam pemilihan umum internal partai untuk menentukan para

calon legislatif. Bahkan PK Sejahtera melampaui kuota dengan


123

menempatkan 37,8% caleg perempuannya untuk DPR pada Pemilu 2004

perlu diingat bahwa sistem Pemilu 2004 berbeda dengan sistem pemilu

sebelumnya, di mana rakyat Indonesia memilih langsung anggota legislatif

yang dipercayai. Sehingga, yang berada pada urutan atas (1 atau 2)

belumlah tentu menjadi caleg jadi. Daerah pemilihan Jabar dapat menjadi

bahan kasus yang menarik jabar terdiri dari sebelas daeah pemilihan.pada

DPRD Jabar, PK Sejahtera menempatkan 6 (enam) kader perempuannya

di urutan 1 dan 2. Enam kader ini tersebar di tujuh daerah pemilihan yang

berbeda. Yakni Jabar 1 (Kota Bandung dan Kota Cimahi). Jabar 2

(Kabupaten bandung),Jabar 5 (Kuota Depok), Jabar 6 (Kabupaten Bekasi

dan Kota bekasi), dan Jabar 11(Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalay,

dan Kota Tasikmalaya). Maka 6 kader. diantara 22 “caleg

jadimenunjukkan angka 27,3 %. Hal ini menunjukan keseriusan PK

Sejahtera dalam mendukung peningkatan partisifasi politik perempuan di

legislatif

F. Representasi perempuan dalam Parlemen

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan di

atas, persentase representasi perempuan di parlemen mengalami

peningkatan secara jumlah, dibandingkan periode sebelumnya.

Peningkatan ini cukup dipengaruhi oleh adanya Tindakan Khusus

Sementara kuota 30% dalam daftar caleg, sehingga perempuan lebih

memiliki dorongan untuk menjadi caleg. Partai politik pun memberikan


124

peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk memenuhi persyaratan

kuota 30% dalam daftar pencalonan dari parpolnya. . 25

Tabel 4
Perbandingan Jumlah Anggota DPR-RI.

Pemilu Jumlah Anggota DPR-RI


Perempuan Laki-Laki
1999 44 (8,8%) 455 (91,2%)
2004 65 (11%) 485 (89%)
2009 103 (18%) 457 (82%)

Apabila dicermati situasi peningkatan representasi kuantitas

perempuan di DPR-RI pada periode 2009-2014 ini secara tidak langsung

dipengaruhi oleh terjadinya peningkatan suara Partai Demokrat.

Perempuan dari Partai Demokrat menjadi mayoritas jika dibandingkan

dengan keseluruhan jumlah perempuan dari berbagai partai politik.

Perempuan terpilih dari Partai Demokrat di DPR-RI mencapai 36 orang

atau 35,64% dari jumlah perempuan secara keseluruhan sebanyak 101

orang. Jumlah perempuan dari Partai Golkar mencapai 17,82% atau

sebanyak 18 dari 101 orang dan jumlah perempuan26 dari Partai Demokrasi

Indonesia-Perjuangan (PDI-P) mencapai 16,83% atau 17 dari 101 orang


25
Dina Martiany, SH, Msi. Signifikasi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia.hlm 7
26
Ibid.lhm 8
125

perempuan. Tetapi, apabila dilihat berdasarkan persentase perempuan

terhadap jumlah keseluruhan anggota dari partai politik, maka jumlah

perempuan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tertinggi.

Perempuan PKB mencapai 25% atau sebanyak 7 orang dari 28 orang total

jumlah Anggota DPR-RI dari PKB pada periode 2009-2014.27Lebih lanjut,

berdasarkan pengalaman di legislatif, sebanyak 29% perempuan pernah

menjadi anggota legislatif (DPR-RI, DPD-RI, DPRD, dan MPR).

Sementara mayoritas perempuan adalah orang baru di legislatif atau belum

pernah menjadi anggota legislatif. Dari sisi latar belakang keluarga dan

keterkaitan dengan tokoh politik (petinggi partai dan pejabat pemerintah),

sebanyak 26% perempuan Anggota DPR-RI memiliki hubungan keluarga

dengan tokoh politik tertentu. Hal ini menggambarkan bahwa representasi

politik perempuan di parlemen tidak sepenuhnya berdasarkan pengaruh

hubungan dengan pihak yang berkuasa, tetapi memang merupakan hasil

perjuangan perempuan itu sendiri. Adapun tujuan representasi perempuan

di parlemen, salah satunya akan dapat terwujud melalui kerja politik

perempuan pada alat kelengkapan. Perempuan hendaknya mampu

memberikan dampak yang signifikan dalam proses politik di dalamnya.

Perempuan harus tersebar di berbagai alat kelengkapan yang ada, terutama

di komisi strategis, yang terkait berbagai bidang bukan hanya bidang

pemberdayaan perempuan. Berikut ini gambaran pembagian tugas

perempuan di komisi DPR-RI.28

27
Ibid.hlm 9
28
Ibid.hlm 10
126

Tabel 5

Jumlah Perempuan Anggota DPR-RIPeriode 2009-2014


BerdasarkanFraksi

No. Fraksi Jumlah Jumlah Persentas Persentas


Anggota Perempu e e
an (%) dibandin
g seluruh
perempu
an di
DPR-RI
1. F-PD 148 36 24,32% 35,64%
2. F-PG 106 18 16,98% 17,82%
3. F-PDIP 94 17 18,08% 16,83%
4. F-PKS 57 3 5,26% 2,97%
5. F-PAN 46 7 15,21% 6,93%
6. F-PPP 38 5 13,15% 4,95%
7. F-KB 28 7 25% 6,93%
8. F-Partai 26 5 19,23% 4,95%
GERIND
RA
9. F-Partai 17 3 17,64% 2,97%
HANUR
A
JUMLAH 560 101 8,03% 100,00%

persentase perempuan paling banyak (42,55%) berada di Komisi

IX yang menangani urusan tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan,


127

kesehatan dan agensi makanan serta obat-obatan. Selanjutnya, sebanyak

26% di komisi X (pendidikan nasional, pemuda dan olahraga, pariwisata,

kesenian dan budaya, serta perpustakaan nasional. Sebanyak, 25,45%

berada di Komisi Dalam Negeri, Otda, Aparatur Negara & Reformasi

Birokrasi, Pemilu, Pertanahan & Reformasi Agraria. Komisi VIII DPR-RI

yang memperoleh peringkat keempat yaitu sebanyak 22,92%, dengan

bidang tugas mencakup Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak. Hal ini menunjukkan bidang tugas yang diminati oleh

perempuan atau dianggap pantas oleh partai untuk diisi oleh kader

perempuannya, mayoritas adalah komisi yang terkait isu sosial,

pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan pemberdayaan perempuan.

Merupakan isu yang khas perempuan karena dianggap lebih dekat dengan

kehidupan dan perjuangan perempuan. Meskipun demikian, persebaran

perempuan terlihat mulai luas ke area kerja lain,seperti politik dalam

negeri dan otonomi daerah. Selain itu, masih menjadi tantangan yang

harus ditingkatkan adalah peranan perempuan di dalam komisi.

Perempuan dituntut dapat memberikan dampak yang signifikan bagi

perjuangan kepentingan perempuan melalui komisi. Output lain yang

menggambarkan indikator adanya representasi gender di parlemen adalah

dengan lahirnya kebijakan atau undang-undang yang memiliki sensitivitas

dan perlindungan terhadap perempuan. Bagaimana seharusnya perempuan

parlemen dapat terlibat aktif dan memberikan perspektif gender di dalam

proses pembentukkan dan pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang


128

(RUU). Sangat dibutuhkan perspektif gender yang kuat, kemampuan

substantif terhadap suatu isu, dan kemampuan lobby, untuk dapat

mempengaruhi suatu proses penyusunan RUU.29

Tabel 6

Persentase Jumlah Perempuan di Komisi DPR-RI

komisi Bidang Kerja Persentase


Perempuan
I Pertahanan & Intelijen, Luar Negeri, 15,56%
Komunikasi & Informasi, Telekomunikasi
II Dalam Negeri, Otda, Aparatur Negara & 25,45%
Reformasi Birokrasi, Pemilu, Pertanahan &
Reformasi Agraria
III Legislasi & Hukum/Undang-undang, HAM 7,27%
dan Keamanan
IV Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, 10,91%
Kelautan, Perikanan dan Pangan 12,00%
V Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan 10,91%
Rakyat, Pembangunan Pedesaan & Kawasan 12,00%2,%
Tertinggal
VI Industri, Perdagangan, Investasi, Koperasi, 12,012,00%
UKM &BUMN, Kompetisi Bisnis,
Standarisasi nasional
VII Energi sumber daya mineral, riset & 9,09%
teknologi, lingkungan hidup
VIII Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan & 22,92%
Perlindungan Anak
IX Tenaga Kerja & Transmigrasi, 42,55%
Kependudukan, Kesehatan & Agensi
Makanan dan Obat-obatan

29
Ibid.hlm 11
129

Memperhatikan daftar RUU yang perlu dikawal oleh perempuan

parlemen, banyak yang merupakan pengaturan yang netral gender, namun

dapat menjadi pintu masuk untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Pengawalan ini bukan suatu proses yang mudah, karena seringkali anggota

peremp uan tidak memahami isu yang harus diperjuangkan, dikarenakan

minimnya pemahaman tentang gender. Disinilah diperlukan kerjasama dan

sinergitas di antara seluruh perempuan parlemen. Termasuk membangun

berbagai jaringan kerja dengan perempuan yang berada di luar parlemen:

organisasi perempuan, lembaga donor, LSM, dan akademisi.30

1. Wadah kaukus Perempuan Parlemen Indoesia

Sebagaimana yang kita ketahui, seluruh perempuan parlemen yang

berada di DPR-RI dan DPD-RI bergabung dalam satu wadah Kaukus

Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI). KPPRI dibentuk sejak

tanggal 19 Juli 2001, oleh beberapa perempuan DPR-RI pada periode

1999-2004. Sejak periode 2004-2009, perempuan DPD-RI bergabung

menjadi anggotanya. Begitu pula dengan periode 2009-2014 ini, anggota

KPPRI berasal dari perempuan DPR-RI sebanyak 101 orang dan dari

DPD-RI sebanyak 35 orang. KPPRI 12 Signifikasi Representasi

Perempuan di Parlemen Indonesia merupakan wadah perjuangan

perempuan parlemen lintas partai politik. Saat ini, KPPRI dipimpin oleh

Ir. Hj. Andi Timo Pangerang dari Partai Demokrat. KPPRI merupakan

30
Ibid.hlm 12
130

gambaran representasi perempuan di parlemen, terutama di DPR-RI. Sejak

awal kepengurusan yang saat ini sedang berjalan, KPPRI telah melakukan

berbagai kegiatan, yang bersifat internal maupun eksternal. KPPRI

berupaya untuk memahami dan memperjuangkan isu perempuan dan

gender melalui parlemen. Salah satu kegiatan KPPRI adalah menerima

audiensi dan perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat yang

menyampaikan beragam isu perempuan dan gender.

kusi, dan pelatihan untuk memahami suatu isu yang sedang

berkembang.Beberapa isu itu antara lain: Millenium Development Goals

(MDGs), kesehatan reproduksi perempuan, anti tembakau, dan isu

perempuan politik. Selain itu, KPPRI cukup membangun jaringan dan

bekerjasama dengan berbagai kelompok di luar parlemen, antara lain

dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), dengan National

Democratic Institute (NDI), United Nation on Development Programme

(UNDP), iKnow Politics, Indonesian Forum of Parliamentarians on

Population and Development (IFFPD) dan Kemitraan (Partnership).

KPPRI dapat dikatakan sangat aktif melakukan berbagai kegiatan.

Eksistensinya sebagai representasi perempuan parlemen terlihat nyata.

Meskipun demikian, representasi tersebut masih harus ditingkatkan

dengan melakukan kegiatan yang lebih strategis dan politis, untuk

memperjuangkan isu perempuan dan gender. Sejauh ini, kegiatan strategis

yang dilakukan oleh KPPRI masih terbatas pada merumuskan

rekomendasi terhadap revisi Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang


131

Pemilu. Rekomendasi yang terdiri dari lima poin itu terkait dengan upaya

penguatan ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam daftar

pencalonan oleh partai politik. KPPRI menyampaikan rekomendasi kepada

Ketua Badan Legislasi (Baleg), untuk dijadikan masukan oleh Pansus

revisi UU Pemilu. Seharusnya, KPPRI dapat melakukan upaya yang lebih

strategis dengan membentuk tim kerja yang akan melakukan

pendampingan selama pembahasan revisi UU Pemilu.

2. Signifikansi Representasi Perempuan di Parlemen

Secara angka representasi perempuan di parlemen memang

mengalami peningkatan tapi secara kualitas pemahaman mengenai tujuan

ideal representasi perempuan di parlemen masih sangat jauh dari harapan.

Idealnya representasi perempuan dapat menjadi lebih signifikan dalam

memperjuangkan isu perempuan dan gender. Lovenduski (2008)

menyebutkan bahwa representasi perempuan memiliki paras ganda, yaitu

sebagai representasi deskriptif dan substanstif. Pada representasi

deskriptif, diasumsikan bahwa hanya perempuan yang mampu mewakili

kepentingan perempuan, sehingga seharusnya apa yang direpresentasikan

atau diperjuangkan perempuan sebanding dengan jumlah perempuan yang

ada di parlemen. Sementara secara substantif, tidakmempermasalahkan

peningkatan kuantitas perempuan, tidak harus perempuan yang menjadi

perwakilan perempuan. Representasi substantif hanya fokus pada ide dan

tujuan isu perempuan.31

31
Ibid.hlm 13
132

Tujuan keberadaan perempuan dalam parlemen hendaknya dapat

mempengaruhi proses politik yang terjadi di dalam parlemen dengan

perspektif gender. Menurut Subono (2009:79) representasi politik

perempuan menjadi sesuatu yang sangat penting karena beberapa hal.

Pertama, dapat dikatakan bahwa tidak ada demokrasi sejati (no true

democracy) dan tidak ada partisipasi masyarakat yang sesungguhnya (no

true people’s participation) dalam pemerintahan dan pembangunan, tanpa

adanya partisipasi yang setara antara laki-laki danperempuan. Dengan

demikian untuk mewujudkan politik yang demokrastis, maka representasi

perempuan sangat diperlukan.32

Kedua, tujuan pembangunan tidak akan dapat dicapai tanpa adanya

partisipasi perempuan, bukan hanya dalam pembangunan tetapi juga

dalammenentukan tujuan dari pembangunan itu sendiri. Florence

Butegwa, seorang pengacara dari Uganda, dalam mengatakan bahwa

“partisipasi.33

politik perempuan bukanlah sebuah kemewahan tetapi suatu

kebutuhan” (women’s participation in politics is not a luxury, but a

necessity). Representasi politik perempuan adalah untuk menentukan

perspektif dan tujuan pembangunanyang berpihak pada kepentingan

perempuan. Ketiga, partisipasi perempuan akan membawa prioritas dan

perspektif baru yang lebih berpihak kepada masyarakat, terutama

perempuan dan anak. Hasil signifikan yang diharapkan dari representasi

32
Ibid.hlm.17
33
Ibid.hlm.18
133

perempuan adalah terwujudnya kesetaraan gender melalui parlemen. Hal

ini ditunjukkan antara lain dengan semakin banyaknya undangundang

yang sensitif gender dan Anggaran Responsif Gender (ARG). Ada

beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya, antara lain:

pertama, perempuan harus memahami secara mendalam mengenai

fungsidan wewenangnya sebagai anggota parlemen, agar dapat

memanfaatkannya untuk memperjuangakan agenda perempuan. Kedua,

perempuan harus memahami tujuan keterlibatannya di dalam parlemen,

bukan hanya sebagai perpanjangan tangan partai, tetapi karena berjenis

kelamin perempuansehingga diharapkan dapat menyuarakan kepentingan

kaumnya. Ketiga, perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas sebagai

perempuan dan pemahaman mengenai Pengarusutamaan Gender dalam

parlemen. Sesungguhnya, secara umum gambaran representasi perempuan

di parlemen saat ini belum dapat dikategorikan sebagai representasi

gender, yang secara signifikan mampu membuat perubahan keadaan.

Masih banyak isu perempuan dan gender, yang belum sepenuhnya

diperjuangkan dalam pembahasan suatu RUU. Menurut Squires (1999),

penggolongan representasi perempuan dibagi menjadi empat, yaitu:

pertama Representasi Fungsional (identity), kedua Representasi Sosial

(social) ketigaRepresentasi Ideologi (collective/party) keempat

Representasi Geografis (constituencies)

Representasi fungsional yaitu keterlibatan perempuan di legislatif,

semata-mata karena mereka berhasil memenangkan pemilu. Perempuan


134

memiliki identitas yang jelas untuk memperoleh dukungan dari

masyarakat. Tetapi, kelompok massa pendukungnya tidak berasal dari satu

golongan yang signifikan, melainkan berasal dari berbagai kalangan.

Representasi fungsional menurut Squires ini hampir sama dengan

representasi formal menurut Pitkin. Representasi sosial, dapat terjadi

disebabkan karena perempuan memiliki jaringan sosial (dengan kelompok

strategis perempuan) yang kuat sebelum mencalonkan diri, sehingga

jaringan sosial tersebut menjadi kelompok pendukung. Tujuan dan

kepentingan yang disuarakan perempuan di parlemen tergantung pada

kepentingan mereka sendiri yang dianggap baik pula untuk para

pendukungnya. Representasi Ideologi di sini menunjukkan bahwa

perempuan mencalonkan diri sebagai caleg, karena didukung oleh

kelompok ideologis tertentu. Isu dan kepentingan yang disampaikan

perempuan ketika kampanye merupakan isu yang sesuai dengan

ideologinya. Begitu pula dengan kepentingan dan perjuangan perempuan

ketika sudah berada di dalam parlemen. Ideologi antaraperempuan caleg

dengan kelompok pendukung, biasanya sejalan. Representasi geografis

maksudnya yaitu perempuan menjadi caleg dikarenakan didaulat untuk

menjadi wakil dari daerah tertentu. Pemenuhan representasi tersebut

diharapkan akan membawa pengaruhsebagaimana ekspektasi Phillips

dalam The Politic of Presence (1995), yaitu:34

34
Ibid.hlm 19
135

1. Belief atau keyakinan, yaitu perempuan yang menjadi perwakilan di

dalam parlemen akan mendorong perempuan lain bahwa mereka

mampu berada di parlemen;

2. Tercapainya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan melalui

parlemen;

3. Keberadaan perempuan di parlemen akan memperjuangkan

kepentingan perempuan dan isu gender, yang ditunjukkan dengan

kebijakan yangsensitif gender;

4. Perempuan di parlemen diharapkan dapat memberikan warna yang

berbeda dalam berpolitik, dengan kepedulian dan sensitivitas terhadap

isu perempuan/gender.

Oleh karena itu, representasi perempuan parlemen saat ini masih

termasuk dalam penggolongan Representasi Fungsional (identity) menurut

Squires dan Representasi Formal menurut Pitkin. Keberadaan perempuan

parlemen belum mampu memberikan dampak yang signifikan pada proses

politik yang ada. Bahkan masih banyak perempuan parlemen yang baru

mempelajari dan memahami isu perempuan dan gender, ketika berada di

dalam parlemen. Representasi perempuan parlemen masih terbatas pada

semata-mata karenamereka berhasil memenangkan pemilu dan bergabung

dengan KPPRI. Dari tingkatan ekspektasi seperti yang disebutkan oleh

Phillips di atas, representasi 20 Signifikasi Representasi Perempuan di

Parlemen Indonesia perempuan parlemen hanya memberikan inspirasi atau

keyakinan bagi perempuan lainnya, bahwa mereka pun memiliki


136

kesempatan dan kemampuan untuk terpilih menjadi perempuan parlemen.

Menjadi harapan berbagai pihak, agar dalam sisa waktu tiga tahun ke

depan, kerja keras perempuan anggota parlemen dapat menggeser

kategorisasi tersebut menjadi lebih substantive, strategis dan ideologis,

yaitu untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan kesetaraan

gender. Bagaimanapun peningkatan persentase secara angka perlu diikuti

dengan penguatan kapasitas perempuan parlemen secara teru menerus.35

35
Ibid.hlm 19

Anda mungkin juga menyukai