Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
SEJARAH
2019
PENDAHULUAN
Pada pertengahan Agustus 1945 sampai akhir Desember 1949 telah terjadi
Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang tidak hanya melibatkan laki – laki saja, tetapi
perempuan juga ikut berperan di dalamnya. Perempuan sering dipandang lemah oleh
sebagian kalangan karena dianggap tidak dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar
yang membutuhkan tenaga dan fisik yang kuat. Padahal jika menengok kebelakang
dalam rentetan historis bangsa Indonesia, perempuan juga berperan cukup besar dalam
perjuangan bangsa Indonesia ini, seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, RA. Kartini,
dan masih banyak lagi. Sejarah juga telah mencatat bahwa sejak masa sebelum
kemerdekaan Indonesia, perempuan telah memiliki peran yang cukup besar dalam
gerakan sosial, budaya, dan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan
kemerdekaan dalam relasinya dengan kaum laki-laki. Bukti dari kenyataan tersebut
tampak ketika kongres perempuan pertama di Yogyakarta, mampu mempertemukan
sejumlah organisasi perempuan yang telah ada di berbagai wilayah Indonesia.1 Setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tahun 1945, banyak sekali lasykar-lasykar
atau organisasi yang terbentuk salah satunya gerakan wanita banyak berdiri karena
sebagian tentara Jepang belum meninggalkan Indonesia, kemudian ditambah lagi
datangnya pasukan Sekutu.
Salah satu kota di Jawa adalah Yogyakarta, dimana kota ini pada periode awal
hingga akhir revolusi kemerdekaan kondisinya tidak stabil dan dipenuhi berbagai
permasalahan. Yogyakarta menjadi kota yang tak bisa dipisahkan dari cerita perang
patriotik era Revolusi Kemerdekaan Indonesia karena pada perkembangannya sempat
menjadi Ibukota pemerintahan. Para perempuan juga ikut terjun dalam perjuangan baik
1
Wiyatmi, “Peran Perempuan di Sektor Publik Pada Masa Prakemerdekaan dalam Novel
Indonesia : Studi Kasus Novel Manusia Bebas dan Burung-burung Manyar”: Analisis Kritik Sastra
Feminis”, Hal 1
dalam garis depan maupun garis belakang. Perjuangan garis depan tergabung dalam
laskar putri Indonesia dan laskar wanita dan palang merah sedangkan perjuangan
digaris belakang berpartisipasi ke dapur umum. Hal tersebut dilakukan untuk
membantu perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta. Tujuan penulisan ini untuk
memberikan informasi mengenai bagaimana peranan perempuan dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia khususnya di wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya.
Rumusan Masalah :
Historiografi indonesia masa revolusi lebih banyak berfokus pada dominasi dari
kaum laki-laki. Kaum laki-laki dipandang sebagai kaum yang luar biasa. Menurut
Bambang Purwanto bahwa historiografi Indonesiasentris tidak dapat mampu
menghadirkan masa lalu secara optimal sehingga banyak orang baik individu maupun
kelompok tidak memiliki sejarah, walaupun mereka semua memiliki masa lalu,
sehingga muncul situasi atau ungkapan-ungkapan seperti rakyat tanpa sejarah, sejarah
tanpa rakyat, perempuan tanpa sejarah, atau sejarah tanpa perempuan.2 Kaum
perempuan memiliki andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan indonesia
tidak hanya berada di garis belakang. Kaum perempuan ini membentuk kelompok atau
gerakan perjuangan yang berada di garis depan.
2
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak, 2006),
hlm. xiv.
Banyak cara bagi kaum perempuan di Yogyakarta untuk mengekspresikan rasa
nasionalismenya. Pada masa revolusi keterlibatan perempuan di garis depan terbagi
menjadi beberapa bagian yakni : pertama, anggota laksmi yang bertugas membantu di
medan pertempuran. Kedua, intelijin atau mata-mata musuh yakni organisasi PTPWI.
Ketiga, mengirimkan senjata dan makanan ke garis depan. keempat, sebagai kurir
untuk mengatar berbagai kebutuhan, salah satu perempuan yang ditugaskan menjadi
kurir adalah ibu ruswo yang merupakan penanggung jawab dapur umum dan pengurus
dari BPKKP. Kelima, sebagai rantai emas, perempuan ini ditugaskan untuk menjadi
pemikat dan memikat tentara musuh untuk mendapatkan sebuah informasi.
Suara – suara perempuan dalam revolusi banyak dan beragam. Dalam esai
Angkatan 45, perempuan dalam usia remaja atau awal dua puluhan, dan belum
memiliki tugas mengurus anak. Sebaliknya, kebanyakan dari 11 perempuan yang
diwawancarai telah menikah sebelum atau pada awal pendudukan Jepang, mereka
masih mengurus anak kecil dalam masa revolusi. Seringkali mereka berpisah dengan
orangtuanya, hal yang tidak lumrah pada budaya Jawa yang biasanya pasangan pasutri
masih bergantung pada orangtua mereka. Para perempuan ini tidak dapat pergi menjadi
pejuang gerilya, bahkan jika mereka sangat menginginkannya.
Beberapa perempuan menjadi aktifis atau pemuda. Istilah ini, sangat berarti
dalam revolusi. Pemuda adalah orang – orang yang berjiwa muda yang dan
menyerahkan hidup mereka untuk perjuangan, kebalikan dari golongan tua yang lebih
berhati – hati, dan memasuki organisasi – organisasi, beberapa dikelola oleh
perempuan dan demi perempuan, untuk membantu dalam hal politik maupun
perjuangan militer melawan Belanda yang kembali. Organisasi – organisasi ini
kebanyakan berbasis di wilayah urban dan merekrut perempuan – perempuan yang
berpendidikan yang tinggal di wilayah kota – kota besar seperti Surakarta dan
Yogyakarta. Kebanyakan perempuan yang telah menikah tidak memiliki kesempatan
untuk masuk ke organisasi – organisasi ini, karena keluarga dan tanggung jawab rumah
tangga.
3
Devi Nur Fitria, Djurnarwan. Peranan gerakan wanita pada masa perang kemerdekaan I tahn
1945-1947. Hlm. 202-203.
perempuan Barisan Srikandi. Dia menghabiskan waktunya untuk menjaga stasiun dan
kereta, juga mencari kereta – kereta yang menuju Jakarta untuk menyita senjata dan
makanan NICA. Keterlibatan Nyimah pada peperangan, mengakibatkan bekas luka
bayonet. Sri Kushartini Sumardi dalam cerita berjudul “Dalam Barisan Pelajar”
menceritakan ketika dia bergabung dengan personel wanita dari Barisan Tentara
Pelajar Brigade 17, Batalion 300. Dalam hal ini, dia memasak, mencuci, dan mengurus
para pasukan laki – laki. Pada dasarnya dia adalah seorang pembantu.
Untuk perempuan yang miskin dan tidak mampu, baik yang belum menikah
maupun ditinggal pergi suaminya, salah satu kesempatan untuk pemasukan adalah
dengan menjual makanan dan minuman. Bu Fatimah biasanya menjual kopi dan
jajanan untuk para tentara Belanda. Dia sangat takut pada mereka, bila menolak dia
takut ditembak oleh mereka. Tentara – tentara ini tidak pernah ada niatan untuk
membayar dan Bu Fatimah juga tidak berani untuk meminta. Dia menjual berbagai
jajanan dari singkong di Malioboro, jalan utama Ibukota Yogyakarta saat itu.4
F: “Lha saya pengalaman minta kopi, minta dibikinin kopi. Saya takut ditembak
mati, di Yogya waktu itu belum berangkat ngungsi ke Solo. Ada waktu geger (Clash
kedua) ada sebulan, lantas ngungsi ke Solo selamanya sebulan. Belanda sering,
datangnya sore ke rumah itu, ke rumah yang tinggal itu dulu, namanya kampung
Panembahan. Enam orang, suka – suka lima, minta bikinin kopi. Kalau udah dibikinin
kopi, udah minum, udah berhenti, ‘terima kasih’, salaman, pergi. Saya takut’e, nek
nggak dikasih nanti takut ditembak, udah aja kasih, pergi kok.”
4
Lucas, Anton & Robert Cribb. “Women’s Roles in The Indonesian Revolution : Some
Historical Reflections”. The Heartbeat of Indonesian Revolution oleh Taufik Abdullah. Gramedia
Pustaka Utama,1997. Hlm.89.
F: “Nggak minta. Kemudian kita jualan, saya beli singkong lima kilo lalu
daleme taruhin gula sama kelapa, digonjang – ganjing terus masukin dalem digoreng,
dijual. Itu Belandane pada beli, seratus, seratusan satu di Malioboro. Bener, itu kita
nggak bohong.
Dalam periode revolusi antara 1945 -1949, para perempuan yang berpendidikan
mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan peranan – peranan baru dalam organisasi
perjuangan. Peranan ini cukup penting dan tidak hanya seperti memasak, mencuci, dan
bersih – bersih. Lebih sulit untuk para perempuan untuk bergabung bersama pasukan
– pasukan gerilyawan, perempuan diharapkan untuk berada di barisan belakang
membantu sebagai kurir, meneruskan yang dilakukan perempuan dalam perjuangan
melawan Jepang.
Dalam pasukan SWK 101 juga terdiri dari sukarelawan yang dijadikan sebagai
kurir pengantar, intelijen, serta mata-mata untuk mendapatkan informasi. Mayoritas
dari para sukarelawan tersebut adalah para pemuda atau pun para pelajar baik
perempuan maupun laki-laki.8 Wilayah Yogyakarta termasuk bagian yang cukup
banyak berdiri organisasi-organisasi perempuan dan badan perjuangan lainnya. Setelah
tentara sekutu mendarat mengganggu ketertiban dan keamanan di Jakarta. Hal ini
menyebabkan pemerintahan Republik yang baru merdeka memutuskan untuk
memindahkan pemerintahan ke kota Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Akibat dari
dipindahnya ibukota ke Yogyakarta juga menyebabkan kota Yogyakarta didatangi
banyak pengungsi dan pejuang dari berbagai daerah dalam kondisi panik.9
5
Alfianto,”Peranan Wanita Pada Masa Revolusi”,Makalah, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2013,
hlm. 2.
6
Djumarwan, Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah, 2010, hlm. 2.
Indi Prasetya Wati, “Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
7
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1948-1949, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 2.
8
Swastika Niken Pratiwi, “Peranan Sub Wehrkreise 101 Yogyakarta Dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia Kedua (1948-1949)”,Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2016, hlm. 12.
9
Terdapat faktor lain terbentuknya organisasi wanita di Yogyakarta yaitu
keadaan sosial Yogyakarta dan dukungan dari Presiden Soekarno serta Sultan
Hamengku Buwono IX. Faktor-faktor tersebut kemudian menggerakkan wanita di
Indonesia untuk membentuk suatu gerakan yang bertugas membantu pejuang Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di garis depan maupun di garis
belakang. Terdapat 21 organisasi wanita yang lahir dan berada di Yogyakarta pasca
kemerdekaan Indonesia.10 Beberapa organisasi tidak hanya turut membantu berjuang
di garis belakang melainkan juga terlibat gerakan di garis depan atau bisa disebut juga
angkat senjata melawan musuh didalam pertempuran. Diantara beberapa organisasi
perempuan yang terlibat perjuangan revolusi di Yogyakarta yang aktif dalam hal
kemiliteran yaitu Laskar Wanita Indonesia (Laswi) dan Laskar Putri Indonesia (LPI).
10
Devi Nur Fitia, “Peranan Gerakan Wanita Pada Masa Perang Kemerdekaan I Tahun 1945-
1947 Di Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2017, hlm. 198.
perjuangan revolusioner. Organisasi kelaskaran pertama yang dibentuk paska
kemerdekaan adalah Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober
tahun 1945 di Bandung oleh Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata. 11 Menurut
Sugiarta Sriwibawa Dalam buku Laskar Wanita Indonesia Ny. Sumarsih Yati Arudji
Kartawinata membentuk Laskar Wanita Bermula dari banyaknya bacaan yang dibaca
tentang kisah Siti Aisyah seorang istri Nabi Muhammad SAW yang pernah maju ke
medan perang. Dari sinilah, ia berfikir untuk berjuang bersama kaum laki-laki bersama
perempuan-perempuan lainnya.12 Laswi merekrut anggota dari beragam kalangan
mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga janda.13
Anggotanya berjumlah 100 orang yang rata-rata adalah pelajar. Persenjataan yang
dimiliki Laswi pada waktu itu berupa bambu runcing, pistol mouser, dan keris. Meskipun
dalam bidang persenjataan Laswi tertinggal jauh dibandingkan dengan senjata musuh,
namun semangat mereka tidak pernah surut. Kekurangan mereka dalam persenjataan dapat
disiasati dengan melakukan taktik gerilya serta mengadakan penyusupan secara diam-
diam.14 Laskar Wanita Indonesia merupakan kesatuan perjuangan yang berada dibawah
naungan Divisi Siliwangi di Bandung. Banyak anggota Laswi yang merupakan istri atau
keluarga dari pasukan-pasukan Siliwangi. Berkenaan dengan pembumihangusan Bandung
dan sewaktu pasukan Siliwangi diharuskan hijrah ke Yogyakarta sebagian anggota Laswi
juga turut hijrah bersama pasukan Siliwangi. Mereka yang tidak turut hijrah bersama
pasukan Siliwangi, tinggal di pengungsian dan melanjutkan perjuangan Laswi dalam
bidang social.15 Laskar Wanita Indonesia diterima oleh masyarakat luas bahkan
11
Indi Prasetya Wati, ”Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 4.
12
Siti Sadiah, “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2017, hlm. 25.
13
Indi Prasetya Wati, ”Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 4.
14
Ibid, hlm. 5.
15
Ibid, hlm. 8.
dibutuhkan oleh para pejuang pada saat itu, sehingga perkembangannya begitu cepat
tidak sedikit kaum perempuan yang ikut dalam Laskar wanita Indonesia. Bahkan saat
ibukota harus dipindahkan ke Yogyakarta, Laskar wanita Indonesia juga berkembang
disana dan membantu berjuang pada saat terjadinya revolusi fisik di Yogyakarta.16
Karena tenaga Laswi terkuras dan perlu pasukan cadangan, Yati Arudji pergi
ke Yogyakarta untuk membentuk Laswi Yogyakarta. Setelah dilatih selama tiga bulan,
20-30 anggota Laswi Yogyakarta dikirim ke garis depan di Jawa Barat sembari
membawa persediaan makanan. Tujuan pembentukan Laswi adalah untuk membantu
para pejuang laki-laki baik di garis depan maupun di garis belakang, maka dari itu,
sebelum terjun ke medan perang anggota Laswi yang sebagian besar pelajar putri
tersebut mendapat beberapa latihan. Latihan-latihan yang tersebut meliputi pembinaan
fisik dan mental, kemiliteran (baris-berbaris, penggunaan senjata, taktik gerilya),
palang merah, intel hal itu dilakukan untuk melilndungi diri dari serangan seketika dari
pihak musuh17.
16
Siti Sadiah, “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2017, hlm. 6.
17
Siti Sadiah, “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2017, hlm. 28.
Dalam sejarahnya
Laskar Putri merupakan
Revolusi fisik tahun 1945-
1949 di Indonesia telah
menguras tenaga seluruh
rakyat Indonesia, baik laki-
laki maupun wanita. Waktu
itu, rakyat merupakan
kekuatan utama dalam Laskar Puteri Indonesia Surakarta.
FOTO/vredeburg.id/kebudayaan.kemdikbud.go.id
menghadapi musuh. Pada
masa revolusi ini, tidak sedikit kaum wanita menunjukkan kemampuannya untuk ikut
berjuang bersama para gerilyawan Republik Indonesia. Revolusi fisik tersebut
mendorong lahirnya kelompok atau organisasi pejuang wanita, yang turut serta dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kesatuan dan Badan-
badan itu bertujuan untuk mendapatkan latihan-latihan Kemiliteran, Kepamongprajaan
dan Keterampilan lain sekaligus membentuk jiwa kepahlawanan/patriotisme putra-
putri Indonesia. Demikian juga di Solo beberapa kaum putri bertekad membentuk
kesatuan bersenjata Laskar Putri Surakarta dan berhasil dibentuk tanggal 11 Oktober
1945. Anggota Laskar Putri berjumlah sekitar 200 orang remaja putri, baik bekerja atau
masih sekolah. Tujuan didirikan Laskar Puteri Indonesia adalah membentuk pasukan
tempur wanita sebagai pasukan cadangan, membentuk pasukan bantuan untuk
melayani kepentingan pasukan garis depan maupun garis belakang.
Munculnya LPI berawal dari Ibu Srini sebagai paranormal wanita yang
memiliki ilmu kebatinan mendapat sebuah ilham dari mimpinya. Ilham tersebut berisi,
Indonesia akan merdeka apabila para wanitanya juga ikut berpartisipasi dalam
perjuangan, maka dari itulah Ibu Srini mendirikan sebuah laskar dengan anggota
pelajar wanita.18 Kegiatan LPI tidak hanya di wilayah Surakarta saja, lokasi perjuangan
LPI tersebar di beberapa wilayah yakni Boyolali, Salatiga, Mranggen, Demak, Malang,
Semarang, dan Yogyakarta. Perjuangan prajurit LPI sempat terhenti karena
pembubarannya oleh Kolonel Gatot Subroto, sehubungan dengan adanya RERA
(Rekonstruksi dan Rasionalisasi) di kalangan militer. LPI resmi dibubarkan pada
tanggal 27 Oktober 1948, namun meski dibubarkan sebagian anggota LPI tetap
berjuang di beberapa tempat.19
18
Indi Prasetya Wati, “Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta 1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 2.
19
Irna H. N dan Hadi Soewito, Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca.
Jakarta: Yayasan Wirawati Catur Panca, 1992, hlm. 42.
20
R. T. Condronagoro, Riwayat Laskar Putri Indonesia di Surakarta. Surakarta:Wirjowitono,
1976, hlm. 6.
21
Indi Prasetya Wati, “Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta 1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 2.
Peran Perempuan Dalam Pemenuhan Logistik Pada Masa Revolusi di
Jogjakarta.
Selain itu, di dapur umum lah para gerilyawan republiken menyimpan dan
memelihara persenjataan.Dapur umum juga menjadi tempat menyampaikan informasi
tentang waktu dan tempat mengadakan serangan, serta sebagai tempat istirahat yang
aman bagi pejuang.“Dapur umum pada masa revolusi merupakan salah satu partisipasi
masyarakat dalam rangka ikut mempertahankan kemerdekaan. Tentara jadi tak perlu
memikirkan logistik. Melalui dapur umum, para perempuan dan remaja merasa ikut
berjuang, meskipun di garis belakang,”
Peran Ibu Ruswo sebagai kurir juga terbantu oleh suami yang merupakan
pegawai di Kantor Pos. Pesan-pesan dari penjuang kerap disampaikan kepada Ibu
Ruswo melalui suaminya.Ketika itu Ibu Ruswo bersama suami aktif dalam
pengumpulan laporan dan informasi dengan komando TNI. Sedangkan Pak Ruswo,
dengan sepeda onthel aktif membawa pesan surat penting yang diberikan Jenderal
Sudirman kepada Letkol Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan WK
III.“Agar aman surat itu disimpan di dalam stang,” ungkapnya.Dia menuturkan, Ibu
Ruswo merupakan prajurit perempuan yang cukup menonjol di Kota Jogja. Saat agresi
militer, di sejumlah kabupaten yang ada di Jogjakarta, juga memiliki tokoh-tokoh
prajurit perempuan. “Ketika itu biasanya istri-istri kepala desa memiliki peran
membantu perjuangan,” jelasnya.Ibu Ruswo cukup aktif dalam perjuangan setelah
menikah pada 1921. Ketika itu, Ibu Ruswo aktif dalam berbagai organisasi kepanduan
dan perjuangan. Dituturkan, Ibu Ruswo, kerap kali hampir tertangkap oleh Belanda.22
“Ketika itu Pak Ruswo yang cukup ulet berkamuflase dalam perjuangan,
sehingga beliau lolos dari jerat Belanda,” katanya.Selain masa agresi militer, Ibu
Ruswo juga terbilang aktif dalam perjuangan sebelum kemerdekaan seperti
keterlibatannya dalam INPO (Indonesische Nationale Padvinders Organisate) di 1928.
Pada masa kedudukan Jepang, dia berjuang dalam Badan Pembantu Prajurit (BPP).
22
Merci Robbi Kurniawati, “Ibu Ruswo: Pejuang Perempuan Dalam Tiga Zaman (1928-
1949)”, skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2016.
Daftar Pustaka
Fitia, Devi Nur. 2017. “Peranan Gerakan Wanita Pada Masa Perang Kemerdekaan I Tahun
1945-1947 Di Yogyakarta”.Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY
Kurniawati, Merci Robbi. 2016. “Ibu Ruswo: Pejuang Perempuan Dalam Tiga Zaman (1928-
1949)”.skripsi. Fakultas Ilmu Sosial UNY
Lucas, Anton & Robert Cribb. 1997.“Women’s Roles in The Indonesian Revolution : Some
Historical Reflections”. The Heartbeat of Indonesian Revolution oleh Taufik Abdullah.
Gramedia Pustaka Utama.
Pratiwi, Swastika Niken. 2016. “Peranan Sub Wehrkreise 101 Yogyakarta Dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia Kedua (1948-1949)”,Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY\
Sadiah, Siti. 2017. “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949. Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas
Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Soewito, Hadi dan Irna H. N. 1992. Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca.
Jakarta: Yayasan Wirawati Catur Panca
Wati, Indi Prasetya. 2014.“Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta 1948-1949”. Skripsi.
Fakultas Ilmu Sosial UNY
Wiyatmi, “Peran Perempuan di Sektor Publik Pada Masa Prakemerdekaan dalam Novel
Indonesia : Studi Kasus Novel Manusia Bebas dan Burung-burung Manyar”: Analisis
Kritik Sastra Feminis”. Prosiding Seminar Nasional Kepemimpinan yang Berperspektif
Gender, PSW UGM.