Anda di halaman 1dari 19

PEREMPUAN DAN REVOLUSI DI YOGYAKARTA 1945 – 1949

Dosen Pengampu :

Dr. Putri Agus Wijayati, M.Hum.

Disusun Oleh:

Latifah Dwi Larasati (3111417005)

Oktario Bagas Kurniawan (3111417014)

Ega Arkananta Bhagaskara (3111417021)

Ahmad Kamaludin (3111417026)

Reza Andika Rakhim (3111417044)

SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
PENDAHULUAN

Pada pertengahan Agustus 1945 sampai akhir Desember 1949 telah terjadi
Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang tidak hanya melibatkan laki – laki saja, tetapi
perempuan juga ikut berperan di dalamnya. Perempuan sering dipandang lemah oleh
sebagian kalangan karena dianggap tidak dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar
yang membutuhkan tenaga dan fisik yang kuat. Padahal jika menengok kebelakang
dalam rentetan historis bangsa Indonesia, perempuan juga berperan cukup besar dalam
perjuangan bangsa Indonesia ini, seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, RA. Kartini,
dan masih banyak lagi. Sejarah juga telah mencatat bahwa sejak masa sebelum
kemerdekaan Indonesia, perempuan telah memiliki peran yang cukup besar dalam
gerakan sosial, budaya, dan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan
kemerdekaan dalam relasinya dengan kaum laki-laki. Bukti dari kenyataan tersebut
tampak ketika kongres perempuan pertama di Yogyakarta, mampu mempertemukan
sejumlah organisasi perempuan yang telah ada di berbagai wilayah Indonesia.1 Setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tahun 1945, banyak sekali lasykar-lasykar
atau organisasi yang terbentuk salah satunya gerakan wanita banyak berdiri karena
sebagian tentara Jepang belum meninggalkan Indonesia, kemudian ditambah lagi
datangnya pasukan Sekutu.

Salah satu kota di Jawa adalah Yogyakarta, dimana kota ini pada periode awal
hingga akhir revolusi kemerdekaan kondisinya tidak stabil dan dipenuhi berbagai
permasalahan. Yogyakarta menjadi kota yang tak bisa dipisahkan dari cerita perang
patriotik era Revolusi Kemerdekaan Indonesia karena pada perkembangannya sempat
menjadi Ibukota pemerintahan. Para perempuan juga ikut terjun dalam perjuangan baik

1
Wiyatmi, “Peran Perempuan di Sektor Publik Pada Masa Prakemerdekaan dalam Novel
Indonesia : Studi Kasus Novel Manusia Bebas dan Burung-burung Manyar”: Analisis Kritik Sastra
Feminis”, Hal 1
dalam garis depan maupun garis belakang. Perjuangan garis depan tergabung dalam
laskar putri Indonesia dan laskar wanita dan palang merah sedangkan perjuangan
digaris belakang berpartisipasi ke dapur umum. Hal tersebut dilakukan untuk
membantu perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta. Tujuan penulisan ini untuk
memberikan informasi mengenai bagaimana peranan perempuan dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia khususnya di wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya.

Rumusan Masalah :

1) Bagaimana kehidupan perempuan di Yogyakarta?


2) Bagaimana perempuan terlibat dalam gerakan militer pada masa revolusi di
Yogyakarta?
3) Bagaimana peran perempuan dalam pemenuhan logistik pada masa revolusi di
Yogyakarta?

Kehidupan Wanita di Yogyakarta

Masa revolusi merupakan masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia


tahun 1945-1950. Datangnya kembali Belanda ke Indonesia setelah kemerdekaan
membuat terjadinya kegaduhan di Jakarta, sehingga tanggal 4 Januari 1946 ibukota
Republik Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal itu menyebabkan
berbagai aspek kehidupan yang ada di Jakarta berpindah. Tidak hanya itu, para
pemimpin, pegawai-pegawai serta sebagian masyarakat ikut berpindah. Sehingga,
terjadi penambahan penduduk di kota Yogyakarta. Perpindahan ini juga diikuti oleh
kaum-kaum republiken yang masih ingin melanjutkan perjuangan. Perpindahan
ibukota ke Yogyakarta membawa dan mempengaruhi rasa semangat perjuangan
masyarakat indonesia khususnya masyarakat Yogyakarta. Sehingga kota Yogyakarta
diberi julukan sebagai kota perjuangan atau kota revolusi. Segala aspek kehidupan pada
tahun 1945-1949 di Yogyakarta mengalami kekacauan sebagai akibat dari masuknya
lagi Belanda ke Indonesia.

Historiografi indonesia masa revolusi lebih banyak berfokus pada dominasi dari
kaum laki-laki. Kaum laki-laki dipandang sebagai kaum yang luar biasa. Menurut
Bambang Purwanto bahwa historiografi Indonesiasentris tidak dapat mampu
menghadirkan masa lalu secara optimal sehingga banyak orang baik individu maupun
kelompok tidak memiliki sejarah, walaupun mereka semua memiliki masa lalu,
sehingga muncul situasi atau ungkapan-ungkapan seperti rakyat tanpa sejarah, sejarah
tanpa rakyat, perempuan tanpa sejarah, atau sejarah tanpa perempuan.2 Kaum
perempuan memiliki andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan indonesia
tidak hanya berada di garis belakang. Kaum perempuan ini membentuk kelompok atau
gerakan perjuangan yang berada di garis depan.

Menurut Vreede de Stuers (2008) bahwa kelompok-kelompok perempuan pada


awalnya menciptakan gerakan untuk kemajuan literasi perempuan dan mereformasi
aturan legal yang mengatur perempuan dalam hal akad nikah, talak-cerai, perkawinan
muda dan poligami yang membelenggu perempuan. Gerakan ini telah berhasil
menumbuhkan lapisan sosial perempuan baru yang kelak menjadi agensi.

Sukanti Suryochondro (1984) yang menilai bahwa agenda gerakan perempuan


dalam Revolusi Indonesia adalah membangun gerakan sosial untuk menegakkan nilai
persatuan (Indonesia), emansipasi perempuan berdasarkan perikemanusiaan dan
kebangsaan. Lalu pada saat perang mempertahankan kemerdekaan 1945-1950, mereka
menjalankan tugas di garis belakang untuk membantu mereka yang berperang dan ada
juga yang ikut berperang.

2
Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak, 2006),
hlm. xiv.
Banyak cara bagi kaum perempuan di Yogyakarta untuk mengekspresikan rasa
nasionalismenya. Pada masa revolusi keterlibatan perempuan di garis depan terbagi
menjadi beberapa bagian yakni : pertama, anggota laksmi yang bertugas membantu di
medan pertempuran. Kedua, intelijin atau mata-mata musuh yakni organisasi PTPWI.
Ketiga, mengirimkan senjata dan makanan ke garis depan. keempat, sebagai kurir
untuk mengatar berbagai kebutuhan, salah satu perempuan yang ditugaskan menjadi
kurir adalah ibu ruswo yang merupakan penanggung jawab dapur umum dan pengurus
dari BPKKP. Kelima, sebagai rantai emas, perempuan ini ditugaskan untuk menjadi
pemikat dan memikat tentara musuh untuk mendapatkan sebuah informasi.

Keterlibatan perempuan pada masa revolusi juga terdapat di garis belakang.


Dapur umum merupakan tempat yang digunakan untuk menyediakan makanan untuk
umum. Perempuan yogyakarta memanfaatkan dapur umum sebagai sarana untuk
membantu pejuang di garis belakang. Selain untu mengolah makanan yang nantinya
akan di berikan untuk pejuang, dapur umum juga digunakan untuk berbagai hal.
Pertama, keterlibatan dalam palang merah, tidak hanya membantu masalah pengobatan
namun palang merah juga mencarikan dana untuk dapur umum, urusan bekas pekerja
dan para pengungsi. Kedua, mencari dana melalui pengadaan lelangan dan pasar yang
dilakukan oleh Perwani di kementren paku alaman. Ketiga, mengadakan hubungan luar
negeri, Kowani berhasi menghadiri konferensi di luar negeri yaitu Interasian Relations
Cenference di New Delhi dan All Indian Women Conference di Madras. Keempat,
memberikan penerangan yakni bahwa mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dalam perang mempertahankan kemerdekaan dan juga mereka meluruskan kabar-kabar
yang simpang siur kebenarannya. Keenam, memberikan pakaaiaan kepada pejuang
yang pakaiannya sudaj tidak layak dipakai akibat dari peperangan. Ketujuh,
memberikan hiburan bagi pejuang melalui organisasi wanita seperti Kowani ke garis
depan yaitu majalah, makanan dan melalui siaran di radio.3

Suara – suara perempuan dalam revolusi banyak dan beragam. Dalam esai
Angkatan 45, perempuan dalam usia remaja atau awal dua puluhan, dan belum
memiliki tugas mengurus anak. Sebaliknya, kebanyakan dari 11 perempuan yang
diwawancarai telah menikah sebelum atau pada awal pendudukan Jepang, mereka
masih mengurus anak kecil dalam masa revolusi. Seringkali mereka berpisah dengan
orangtuanya, hal yang tidak lumrah pada budaya Jawa yang biasanya pasangan pasutri
masih bergantung pada orangtua mereka. Para perempuan ini tidak dapat pergi menjadi
pejuang gerilya, bahkan jika mereka sangat menginginkannya.

Beberapa perempuan menjadi aktifis atau pemuda. Istilah ini, sangat berarti
dalam revolusi. Pemuda adalah orang – orang yang berjiwa muda yang dan
menyerahkan hidup mereka untuk perjuangan, kebalikan dari golongan tua yang lebih
berhati – hati, dan memasuki organisasi – organisasi, beberapa dikelola oleh
perempuan dan demi perempuan, untuk membantu dalam hal politik maupun
perjuangan militer melawan Belanda yang kembali. Organisasi – organisasi ini
kebanyakan berbasis di wilayah urban dan merekrut perempuan – perempuan yang
berpendidikan yang tinggal di wilayah kota – kota besar seperti Surakarta dan
Yogyakarta. Kebanyakan perempuan yang telah menikah tidak memiliki kesempatan
untuk masuk ke organisasi – organisasi ini, karena keluarga dan tanggung jawab rumah
tangga.

Walaupun banyak perempuan yang masuk kedalam kelompok – kelompok


perjuangan, hanya beberapa yang ikut ke medan perang. Dalam cerita Angkatan 45
yang berjudul “Nyimah Srikandi Buta Huruf dari Patok Besi”, Titik Pamudjo bercerita
bagaimana Nyimah tetangganya yang buta huruf bergabung pada kelompok perjuangan

3
Devi Nur Fitria, Djurnarwan. Peranan gerakan wanita pada masa perang kemerdekaan I tahn
1945-1947. Hlm. 202-203.
perempuan Barisan Srikandi. Dia menghabiskan waktunya untuk menjaga stasiun dan
kereta, juga mencari kereta – kereta yang menuju Jakarta untuk menyita senjata dan
makanan NICA. Keterlibatan Nyimah pada peperangan, mengakibatkan bekas luka
bayonet. Sri Kushartini Sumardi dalam cerita berjudul “Dalam Barisan Pelajar”
menceritakan ketika dia bergabung dengan personel wanita dari Barisan Tentara
Pelajar Brigade 17, Batalion 300. Dalam hal ini, dia memasak, mencuci, dan mengurus
para pasukan laki – laki. Pada dasarnya dia adalah seorang pembantu.

Untuk perempuan yang miskin dan tidak mampu, baik yang belum menikah
maupun ditinggal pergi suaminya, salah satu kesempatan untuk pemasukan adalah
dengan menjual makanan dan minuman. Bu Fatimah biasanya menjual kopi dan
jajanan untuk para tentara Belanda. Dia sangat takut pada mereka, bila menolak dia
takut ditembak oleh mereka. Tentara – tentara ini tidak pernah ada niatan untuk
membayar dan Bu Fatimah juga tidak berani untuk meminta. Dia menjual berbagai
jajanan dari singkong di Malioboro, jalan utama Ibukota Yogyakarta saat itu.4

F: “Lha saya pengalaman minta kopi, minta dibikinin kopi. Saya takut ditembak
mati, di Yogya waktu itu belum berangkat ngungsi ke Solo. Ada waktu geger (Clash
kedua) ada sebulan, lantas ngungsi ke Solo selamanya sebulan. Belanda sering,
datangnya sore ke rumah itu, ke rumah yang tinggal itu dulu, namanya kampung
Panembahan. Enam orang, suka – suka lima, minta bikinin kopi. Kalau udah dibikinin
kopi, udah minum, udah berhenti, ‘terima kasih’, salaman, pergi. Saya takut’e, nek
nggak dikasih nanti takut ditembak, udah aja kasih, pergi kok.”

P: “Nggak bayar mereka ?”

4
Lucas, Anton & Robert Cribb. “Women’s Roles in The Indonesian Revolution : Some
Historical Reflections”. The Heartbeat of Indonesian Revolution oleh Taufik Abdullah. Gramedia
Pustaka Utama,1997. Hlm.89.
F: “Nggak minta. Kemudian kita jualan, saya beli singkong lima kilo lalu
daleme taruhin gula sama kelapa, digonjang – ganjing terus masukin dalem digoreng,
dijual. Itu Belandane pada beli, seratus, seratusan satu di Malioboro. Bener, itu kita
nggak bohong.

Selama revolusi, mungkin hanya sedikit perempuan yang memiliki pilihan.


Beberapa mendapatkan pengalaman pertama memilih pilihan mereka sendiri untuk
pertama kali, bahkan bila mayoritas hanya menjadi pengikut dari pilihan para laki –
laki. Baik diterima atau tidak dari sisi kebiasaan untuk bergabung dalam kelompok
gerilyawan dengan para laki – laki, kebanyakan perempuan tidak dapat menghidupi
dirinya sendiri dan keluarganya. Ini berarti mereka harus hidup dengan situasi yang
baru, mereka menjual barang – barang miliknya untuk hidup dan bagi mereka yang
tidak memiliki barang berharga, mereka pergi dan bekerja dengan teman dan saudara
jauh, mengerjakan pekerjaan – pekerjaan seadanya. Mereka juga harus menaggung
beban untuk harus bolak balik ke pasar dimana uang Republik dan NICA beredar.

Mereka yang memilih, atau terpaksa, untuk meninggalkan rumah mereka di


wilayah – wilayah yang diduduki pasukan militer Belanda harus terbiasa untuk hidup
di kondisi yang sulit, termasuk dengan berharap belas kasihan penduduk – penduduk
desa yang mereka singgahi, dan bersedih mengenang keluarga yang meninggal dan
rumah yang ditinggalkan.

Perempuan – perempuan lainnya (mungkin mayoritas) tidak menganggap


dirinya adalah bagian dari perjuangan revolusi, untuk alasan gender atau karena para
perempuan merasa tidak berguna dalam revolusi. Peran yang ada dalam budaya Jawa
menempatkan perempuan pada posisi yang seperti itu. Untuk perempuan – perempuan
ini, hidup sudah cukup susah bahkan tanpa mencoba menjadi pemuda.

Dalam periode revolusi antara 1945 -1949, para perempuan yang berpendidikan
mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan peranan – peranan baru dalam organisasi
perjuangan. Peranan ini cukup penting dan tidak hanya seperti memasak, mencuci, dan
bersih – bersih. Lebih sulit untuk para perempuan untuk bergabung bersama pasukan
– pasukan gerilyawan, perempuan diharapkan untuk berada di barisan belakang
membantu sebagai kurir, meneruskan yang dilakukan perempuan dalam perjuangan
melawan Jepang.

Dengan adanya perlawanan dari kaum perempuan di Yogyakarta munculnya


tokoh-tokoh perempuan yang salah satunya yakni Ibu Ruswo lahir pada 1905 di
Yogyakarta. Beliau dikenal dengan pahlawan tiga zaman, pertama zaman perjuangan
kemerdekaan dari Belanda, kedua pada masa pendudukan jepang, ketiga zaman
revolusi. Warga hidup berkekurangan dan harus menjual barang-barang berharganya
untuk sekadar meladeni urusan perut. Kebutuhan logistik para prajurit di medan gerilya
harus dipasok dari kota dan keraton. Pada masa sulit inilah muncul Ibu Ruswo, seorang
perempuan tangguh, yang menjadi ibu bagi para prajurit. Ibu Ruswo ini mempelopori
dan menggerakkan ibu-ibu lainnya untuk memberikan makanan yang tahan lama bagi
para prajurit geriliyawan.

Perempuan Mengangkat Senjata

Periode revolusi kemerdekaan kota-kota besar di Indonesia melakukan


tindakan heroik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai cara
yaitu diplomasi dan konfrontasi. Semangat nasionalisme seluruh masyarakat Indonesia
seketika berkobar karena mereka tidak mau lagi merasakan penjajahan yang begitu
menyengsarakan terulang lagi. Masyarakat dengan senang hatinya ikut bergabung
kedalam Laskar-laskar untuk mencurahkan tenaga dan pikirannya demi membela
martabat bangsa. Dalam masa revolusi Indonesia perempuan juga ikut serta dalam
perjuangan, organisasi-organisasi wanita pada umumnya di waktu itu mengutamakan
usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum dan
pos-pos Palang Merah, maupun di garis depan dengan nama suatu badan perjuangan
maupun tergabung dalam organisasi-organisasi perjuangan yang lain. Timbul laskar-
laskar wanita; tugas-tugas mereka sangat luas: di garis depan, di medan pertempuran,
melakukan kegiatan intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan ke garis
depan, membawa kaum pengungsi, memberi penerangan.5

Pada bidang kemiliteran kemudian banyak berdiri kelaskaran-kelaskaran


wanita, sebagian besar anggotanya adalah pemudi. Diantara laskar-laskar wanita di
Indonesia terdapat Laskar Wanita Indonesia Bandung, Laskar Pocut Baren Aceh,
Laskar Muslimat Palembang, dan Laskar Putri Indonesia Surakarta. 6 Penempaan
mental mereka sebagai perempuan tidak kalah dengan laki-laki, sehingga
menggambarkan bahwa perjuangan kaum wanita pada waktu itu bersifat internal untuk
memperbaiki diri dan bersifat egaliter sebagai pembuktian bahwa perempuan itu juga
berjuang layaknya kaum Adam.7

Dalam pasukan SWK 101 juga terdiri dari sukarelawan yang dijadikan sebagai
kurir pengantar, intelijen, serta mata-mata untuk mendapatkan informasi. Mayoritas
dari para sukarelawan tersebut adalah para pemuda atau pun para pelajar baik
perempuan maupun laki-laki.8 Wilayah Yogyakarta termasuk bagian yang cukup
banyak berdiri organisasi-organisasi perempuan dan badan perjuangan lainnya. Setelah
tentara sekutu mendarat mengganggu ketertiban dan keamanan di Jakarta. Hal ini
menyebabkan pemerintahan Republik yang baru merdeka memutuskan untuk
memindahkan pemerintahan ke kota Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Akibat dari
dipindahnya ibukota ke Yogyakarta juga menyebabkan kota Yogyakarta didatangi
banyak pengungsi dan pejuang dari berbagai daerah dalam kondisi panik.9

5
Alfianto,”Peranan Wanita Pada Masa Revolusi”,Makalah, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2013,
hlm. 2.
6
Djumarwan, Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah, 2010, hlm. 2.
Indi Prasetya Wati, “Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
7

Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1948-1949, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 2.
8
Swastika Niken Pratiwi, “Peranan Sub Wehrkreise 101 Yogyakarta Dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia Kedua (1948-1949)”,Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2016, hlm. 12.
9
Terdapat faktor lain terbentuknya organisasi wanita di Yogyakarta yaitu
keadaan sosial Yogyakarta dan dukungan dari Presiden Soekarno serta Sultan
Hamengku Buwono IX. Faktor-faktor tersebut kemudian menggerakkan wanita di
Indonesia untuk membentuk suatu gerakan yang bertugas membantu pejuang Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di garis depan maupun di garis
belakang. Terdapat 21 organisasi wanita yang lahir dan berada di Yogyakarta pasca
kemerdekaan Indonesia.10 Beberapa organisasi tidak hanya turut membantu berjuang
di garis belakang melainkan juga terlibat gerakan di garis depan atau bisa disebut juga
angkat senjata melawan musuh didalam pertempuran. Diantara beberapa organisasi
perempuan yang terlibat perjuangan revolusi di Yogyakarta yang aktif dalam hal
kemiliteran yaitu Laskar Wanita Indonesia (Laswi) dan Laskar Putri Indonesia (LPI).

Laskar Wanita Indonesia (Laswi)

Laskar Wanita Indonesia (LASWI), tahun 1946.


FOTO/Museum Benteng Vredeburg
Keikutsertaan kaum perempuan dalam organisasi kelaskaran ditunjukkan
ketika perempuan ikut tampil aktif di barisan depan melawan penjajah dalam

10
Devi Nur Fitia, “Peranan Gerakan Wanita Pada Masa Perang Kemerdekaan I Tahun 1945-
1947 Di Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2017, hlm. 198.
perjuangan revolusioner. Organisasi kelaskaran pertama yang dibentuk paska
kemerdekaan adalah Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober
tahun 1945 di Bandung oleh Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata. 11 Menurut
Sugiarta Sriwibawa Dalam buku Laskar Wanita Indonesia Ny. Sumarsih Yati Arudji
Kartawinata membentuk Laskar Wanita Bermula dari banyaknya bacaan yang dibaca
tentang kisah Siti Aisyah seorang istri Nabi Muhammad SAW yang pernah maju ke
medan perang. Dari sinilah, ia berfikir untuk berjuang bersama kaum laki-laki bersama
perempuan-perempuan lainnya.12 Laswi merekrut anggota dari beragam kalangan
mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga janda.13

Anggotanya berjumlah 100 orang yang rata-rata adalah pelajar. Persenjataan yang
dimiliki Laswi pada waktu itu berupa bambu runcing, pistol mouser, dan keris. Meskipun
dalam bidang persenjataan Laswi tertinggal jauh dibandingkan dengan senjata musuh,
namun semangat mereka tidak pernah surut. Kekurangan mereka dalam persenjataan dapat
disiasati dengan melakukan taktik gerilya serta mengadakan penyusupan secara diam-
diam.14 Laskar Wanita Indonesia merupakan kesatuan perjuangan yang berada dibawah
naungan Divisi Siliwangi di Bandung. Banyak anggota Laswi yang merupakan istri atau
keluarga dari pasukan-pasukan Siliwangi. Berkenaan dengan pembumihangusan Bandung
dan sewaktu pasukan Siliwangi diharuskan hijrah ke Yogyakarta sebagian anggota Laswi
juga turut hijrah bersama pasukan Siliwangi. Mereka yang tidak turut hijrah bersama
pasukan Siliwangi, tinggal di pengungsian dan melanjutkan perjuangan Laswi dalam
bidang social.15 Laskar Wanita Indonesia diterima oleh masyarakat luas bahkan

11
Indi Prasetya Wati, ”Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 4.
12
Siti Sadiah, “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2017, hlm. 25.
13
Indi Prasetya Wati, ”Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 4.
14
Ibid, hlm. 5.
15
Ibid, hlm. 8.
dibutuhkan oleh para pejuang pada saat itu, sehingga perkembangannya begitu cepat
tidak sedikit kaum perempuan yang ikut dalam Laskar wanita Indonesia. Bahkan saat
ibukota harus dipindahkan ke Yogyakarta, Laskar wanita Indonesia juga berkembang
disana dan membantu berjuang pada saat terjadinya revolusi fisik di Yogyakarta.16

Karena tenaga Laswi terkuras dan perlu pasukan cadangan, Yati Arudji pergi
ke Yogyakarta untuk membentuk Laswi Yogyakarta. Setelah dilatih selama tiga bulan,
20-30 anggota Laswi Yogyakarta dikirim ke garis depan di Jawa Barat sembari
membawa persediaan makanan. Tujuan pembentukan Laswi adalah untuk membantu
para pejuang laki-laki baik di garis depan maupun di garis belakang, maka dari itu,
sebelum terjun ke medan perang anggota Laswi yang sebagian besar pelajar putri
tersebut mendapat beberapa latihan. Latihan-latihan yang tersebut meliputi pembinaan
fisik dan mental, kemiliteran (baris-berbaris, penggunaan senjata, taktik gerilya),
palang merah, intel hal itu dilakukan untuk melilndungi diri dari serangan seketika dari
pihak musuh17.

Laskar Putri Indonesia

16
Siti Sadiah, “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2017, hlm. 6.
17
Siti Sadiah, “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2017, hlm. 28.
Dalam sejarahnya
Laskar Putri merupakan
Revolusi fisik tahun 1945-
1949 di Indonesia telah
menguras tenaga seluruh
rakyat Indonesia, baik laki-
laki maupun wanita. Waktu
itu, rakyat merupakan
kekuatan utama dalam Laskar Puteri Indonesia Surakarta.
FOTO/vredeburg.id/kebudayaan.kemdikbud.go.id
menghadapi musuh. Pada
masa revolusi ini, tidak sedikit kaum wanita menunjukkan kemampuannya untuk ikut
berjuang bersama para gerilyawan Republik Indonesia. Revolusi fisik tersebut
mendorong lahirnya kelompok atau organisasi pejuang wanita, yang turut serta dalam
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kesatuan dan Badan-
badan itu bertujuan untuk mendapatkan latihan-latihan Kemiliteran, Kepamongprajaan
dan Keterampilan lain sekaligus membentuk jiwa kepahlawanan/patriotisme putra-
putri Indonesia. Demikian juga di Solo beberapa kaum putri bertekad membentuk
kesatuan bersenjata Laskar Putri Surakarta dan berhasil dibentuk tanggal 11 Oktober
1945. Anggota Laskar Putri berjumlah sekitar 200 orang remaja putri, baik bekerja atau
masih sekolah. Tujuan didirikan Laskar Puteri Indonesia adalah membentuk pasukan
tempur wanita sebagai pasukan cadangan, membentuk pasukan bantuan untuk
melayani kepentingan pasukan garis depan maupun garis belakang.

Munculnya LPI berawal dari Ibu Srini sebagai paranormal wanita yang
memiliki ilmu kebatinan mendapat sebuah ilham dari mimpinya. Ilham tersebut berisi,
Indonesia akan merdeka apabila para wanitanya juga ikut berpartisipasi dalam
perjuangan, maka dari itulah Ibu Srini mendirikan sebuah laskar dengan anggota
pelajar wanita.18 Kegiatan LPI tidak hanya di wilayah Surakarta saja, lokasi perjuangan
LPI tersebar di beberapa wilayah yakni Boyolali, Salatiga, Mranggen, Demak, Malang,
Semarang, dan Yogyakarta. Perjuangan prajurit LPI sempat terhenti karena
pembubarannya oleh Kolonel Gatot Subroto, sehubungan dengan adanya RERA
(Rekonstruksi dan Rasionalisasi) di kalangan militer. LPI resmi dibubarkan pada
tanggal 27 Oktober 1948, namun meski dibubarkan sebagian anggota LPI tetap
berjuang di beberapa tempat.19

Pembubaran LPI dikarenakan terjadi penggabungan 2 organisasi kemiliteran


perempuan yaitu LPI itu sendiri dan Laswi. Laswi diwakili oleh Ny. Arudji
Kartawinata (Ketua Laswi) sedangkan LPI diwakili oleh Sri Kanah Kumpul (sesepuh
LPI) dan Sdr. Prasasti (Wakil Ketua LPI), maka bergabunglah LPI dengan Laswi
menjadi Laswi. Nama LPI dihilangkan, karena LPI telah menjadi satu dengan Laswi.20
Meskipun telah dibubarkan namun saat Belanda menduduki ibukota Yogyakarta pada
19 Desember 1948, ketika itu LPI sudah dibubarkan oleh TNI. Namun karena semangat
perjuangan yang tinggi, mereka kembali lagi dalam perjuangan. Anggota LPI dibawah
pimpinan Srini turut bergerilya menuju Yogyakarta dan bergabung dengan badan
perjuangan lainnya. Anggota LPI yang turut ke Yogyakarta bergabung dengan Sub
Wehrkreise 102 dan 105, mereka mengampu tugas sebagai koordinator dapur umum,
pembantu di PMI, kurir, mata-mata, pers, perkabaran, sampai dengan bekerja merakit
senjata di pabrik persenjataan Negara.21 Semangat perjuangan para mantan anggota
LPI tidak pernah surut untuk mengabdi pada negara apapun itu hal yang terjadi.

18
Indi Prasetya Wati, “Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta 1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 2.
19
Irna H. N dan Hadi Soewito, Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca.
Jakarta: Yayasan Wirawati Catur Panca, 1992, hlm. 42.
20
R. T. Condronagoro, Riwayat Laskar Putri Indonesia di Surakarta. Surakarta:Wirjowitono,
1976, hlm. 6.
21
Indi Prasetya Wati, “Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta 1948-1949”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Sosial UNY, 2014, hlm. 2.
Peran Perempuan Dalam Pemenuhan Logistik Pada Masa Revolusi di
Jogjakarta.

Berbicara perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi tentu


tidak lepas dari peran masyarakat Indonesia yang telah berjuang mati-matian untuk
memperjuangkan kemerdekaan. Selain perjuangan yang dilakukan oleh kaum laki-laki
, perjuangan pada masa revolusi juga tidak terlepas dari peran perempuan. Republik
Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari berbagai ancaman setelah mendeklarasikan
kemerdekaannya. Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan harus tetap
dilakukan untuk menjaga eksistensi Republik ini.Tidak hanya Tentara Nasional
Indonesia saja yang berjuang, perempuan-perempuan yang hidup di masa revolusi juga
terpanggil untuk ikut ambil bagian.Membahas perempuan di masa revolusi merupakan
topik yang menarik karena narasi perempuan biasanya identik dengan medan perang
dan laskar, dapur umum dan palang merah. Selebihnya keterlibatan mereka di berbagai
aspek lain dalam masa revolusi jarang terungkap," kata Galuh Ambarsasi, salah satu
penulis buku Gelora di Tanah Raja : Yogyakarta Pada Masa Revolusi 1945-1949

Peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia


pada masa revolusi lebih banyak bekerja dibalik layar , tempat perjuangan perempuan
di Jogjakarta pada masa revolusi salah satunya adalah Dapur Umum. Dapur
umummum pada masa revolusi merupakan salah satu partisipasi masyarakat dalam
rangka ikut mempertahankan kemerdekaan. Tentara jadi tak perlu memikirkan logistik.
Melalui dapur umum, para wanita dan remaja merasa ikut berjuang, meskipun di garis
belakang," ucap Sri. Ia menambahkan, pada waktu Belanda menduduki Kota Jogja,
keberadaan dapur umum tidak banyak ditemukan dan sering berpindah-pindah. Selain
untuk menghindari kecurigaan dari Belanda, hal itu dilakukan demi meringankan
beban masyarakat.Antara dapur umum di kota dan luar kota tidak saling berhubungan.
Namun demikian pasukan yang berada di luar kota seringkali mendapat kiriman
makanan dari kota yang dibawa kurir.
Semasa perang revolusi di tahun 1945-1949, dapur umum di Kota Jogja
memiliki peranan yang cukup penting.Dapur umum tak hanya berfungsi menyediakan
makanan bagi para serdadu, tapi juga sebagai tempat bertukar informasi, merawat
peralatan perang dan merencanakan serangan.Menurut Sri, dapur umum pada masa
yang bergejolak itu memiliki beragam fungsi, antara lain, sebagai tempat komunikasi
antara pejuang untuk mengetahui posisi Belanda.

Selain itu, di dapur umum lah para gerilyawan republiken menyimpan dan
memelihara persenjataan.Dapur umum juga menjadi tempat menyampaikan informasi
tentang waktu dan tempat mengadakan serangan, serta sebagai tempat istirahat yang
aman bagi pejuang.“Dapur umum pada masa revolusi merupakan salah satu partisipasi
masyarakat dalam rangka ikut mempertahankan kemerdekaan. Tentara jadi tak perlu
memikirkan logistik. Melalui dapur umum, para perempuan dan remaja merasa ikut
berjuang, meskipun di garis belakang,”

Dalam pemenuhan logistik , perempuan menjadikan dapur umum menjadi


tempat utama dalam menyediakan logistik perang melawan penjajah. Mulai dari
pemenuhan makanan dan minuman untuk para pejuang yang mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia di sediakan oleh perempuan agar bisa tahan lama
untuk dimakan. Selain menyediakan pasokan makanan, perempuan pada masa revolusi
juga mempunyai tugas untuk merawat dan menyimpan senjata-senjata tentara
Republik Indonesia.

Ibu Ruswo yang merupakan pelopor dan penggerak perempuan-perempuan di


jogjakarta pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
ini berperan besar dalam pemenuhan logistik bagi tentara Republik Indonesia. Peranan
Ibu Ruswo dengan Dapur Umum saling berkaitan dimana pada masa Revolusi ibu
Ruswo mengajak tetangga – tetangga nya untuk membantu membuatkan makanan
logistik untuk suami dan pejuang – pejuang yang melawan penjajahan yang ada di
Yogyakarta yang pada saat itu ibu ruswo mengajak tetangga – tetangga nya memiliki
rasa kesadar atau motivasi sehingga beliau mengajak tetangga nya untuk membuat
makanan logistik dan juga dapur umum di jadikan sebagai tempat pertukan
informasi.Pada agresi militer Belanda II, termasuk peristiwa Serangan Oemoem (SO)
1 Maret 1949, Ibu Ruswo memiliki peran penting dalam mengordinasi dapur umum
dan bertindak sebagai kurir. Ketika itu, kediamannya dijadikan Pos Komando SWK 01
sekaligus dapur umum.

Peran Ibu Ruswo sebagai kurir juga terbantu oleh suami yang merupakan
pegawai di Kantor Pos. Pesan-pesan dari penjuang kerap disampaikan kepada Ibu
Ruswo melalui suaminya.Ketika itu Ibu Ruswo bersama suami aktif dalam
pengumpulan laporan dan informasi dengan komando TNI. Sedangkan Pak Ruswo,
dengan sepeda onthel aktif membawa pesan surat penting yang diberikan Jenderal
Sudirman kepada Letkol Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Komandan WK
III.“Agar aman surat itu disimpan di dalam stang,” ungkapnya.Dia menuturkan, Ibu
Ruswo merupakan prajurit perempuan yang cukup menonjol di Kota Jogja. Saat agresi
militer, di sejumlah kabupaten yang ada di Jogjakarta, juga memiliki tokoh-tokoh
prajurit perempuan. “Ketika itu biasanya istri-istri kepala desa memiliki peran
membantu perjuangan,” jelasnya.Ibu Ruswo cukup aktif dalam perjuangan setelah
menikah pada 1921. Ketika itu, Ibu Ruswo aktif dalam berbagai organisasi kepanduan
dan perjuangan. Dituturkan, Ibu Ruswo, kerap kali hampir tertangkap oleh Belanda.22

“Ketika itu Pak Ruswo yang cukup ulet berkamuflase dalam perjuangan,
sehingga beliau lolos dari jerat Belanda,” katanya.Selain masa agresi militer, Ibu
Ruswo juga terbilang aktif dalam perjuangan sebelum kemerdekaan seperti
keterlibatannya dalam INPO (Indonesische Nationale Padvinders Organisate) di 1928.
Pada masa kedudukan Jepang, dia berjuang dalam Badan Pembantu Prajurit (BPP).

22
Merci Robbi Kurniawati, “Ibu Ruswo: Pejuang Perempuan Dalam Tiga Zaman (1928-
1949)”, skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY, 2016.
Daftar Pustaka

Djumarwan. 2010. Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah

Fitia, Devi Nur. 2017. “Peranan Gerakan Wanita Pada Masa Perang Kemerdekaan I Tahun
1945-1947 Di Yogyakarta”.Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY

Kurniawati, Merci Robbi. 2016. “Ibu Ruswo: Pejuang Perempuan Dalam Tiga Zaman (1928-
1949)”.skripsi. Fakultas Ilmu Sosial UNY

Lucas, Anton & Robert Cribb. 1997.“Women’s Roles in The Indonesian Revolution : Some
Historical Reflections”. The Heartbeat of Indonesian Revolution oleh Taufik Abdullah.
Gramedia Pustaka Utama.

Pratiwi, Swastika Niken. 2016. “Peranan Sub Wehrkreise 101 Yogyakarta Dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia Kedua (1948-1949)”,Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial UNY\

R. T. Condronagoro. 1976. Riwayat Laskar Putri Indonesia di Surakarta.


Surakarta:Wirjowitono,

Purwanto, Bambang. 2006.Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!?. Yogyakarta: Ombak

Sadiah, Siti. 2017. “ Peranan Ny. Sumarsih Yati Arudji Kartawinata Dalam Laskar Wanita
Indonesia (Laswi) Tahun 1945-1949. Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Adab Universitas
Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Soewito, Hadi dan Irna H. N. 1992. Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca.
Jakarta: Yayasan Wirawati Catur Panca

Wati, Indi Prasetya. 2014.“Laskar Putri Indonesia: Penggabungan Dengan Laskar Wanita
Indonesia Dan Peranannya Dalam Revolusi Fisik Di Yogyakarta 1948-1949”. Skripsi.
Fakultas Ilmu Sosial UNY

Wiyatmi, “Peran Perempuan di Sektor Publik Pada Masa Prakemerdekaan dalam Novel
Indonesia : Studi Kasus Novel Manusia Bebas dan Burung-burung Manyar”: Analisis
Kritik Sastra Feminis”. Prosiding Seminar Nasional Kepemimpinan yang Berperspektif
Gender, PSW UGM.

Anda mungkin juga menyukai