Anda di halaman 1dari 7

A.

Teori Masuknya Islam ke Indonesia

Proses masuknya Islam ke Indonesia bisa dibilang agak unik bila dibandingkan dengan
proses masuknya agama Islam ke daerah-daerah lain. Keunikan tersebut dapat dilihat pada
proses masuknya Islam itu sendiri yang umumnya berbeda dengan daerah lain. Dimana
Islam masuk ke Indonesia secara damai, melalui para pedagang dan mubaligh. Sedangkan
Islam yang masuk ke daerah lain, pada umumnya banyak melalui penaklukan-penaklukan
yang dilakukan, seperti masuknya Islam ke Irak, Iran, Mesir, Afrika Utara sampai ke
Andalusia.

Masuknya Islam ke Indonesia yang diduga atau diyakini dibawa oleh para pedagang-
pedagang atau mubaligh dari luar ini, menimbulkan berbagai macam pendapat yang
tentunya berbeda-beda. Terutama mengenai kapan waktu awal datangnya agama Islam,
dan negeri asal agama Islam yang datang ke Indonesia tersebut. Sehingga untuk menjawab
persoalan ini munculah berbagai teori yang didasari atas temuan-temuan dan penelitian
yang dilakukan oleh beberapa ahli atau tokoh tertentu. Teori-teori tersebut ialah:

1. Teori India

Teori ini diyakini dan diakui oleh salah satu tokoh yang bernama Pijnappel. Ia
adalah seorang Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dimana
dalam teori ini ia mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia bukan berasal dari
Arab atau Persia secara langsung, melainkan berasal dari India, tepatnya dari pantai
bagian barat yaitu Gujarat. Hal ini didasari akan pendapatnya bahwa, sebelum Islam
masuk ke Nusantara, banyak orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan
menetap di wilyah India. Sehingga dari sana, barulah Islam menyebar ke Nusantara.

Teori yang dikemukakan oleh Pijnappel ini, kemudian direvisi oleh C. Snouck
Hurgronje. Dimana ia berpendapat bahwa Islam yang tersebar di Indonesia, berasal
dari wilayah Malabar dan Coromandel, yang merupakan kota-kota pelabuhan di India
selatan. Menurutnya, penduduk yang berasal dari Deccan (suatu kawasan dataran
tinggi di India bagian selatan) bekerja sebagai perantara dagang antara negeri-negeri
Islam dan penduduk di Indonesia. Sehingga, orang-orang dari Deccan dengan jumlah
yang cukup besar menetap di kota-kota pelabuhan di kepulauan Indonesia, sembari
menyebarkan benih-benih agama Islam tersebut. Barulah setelah itu, datang orang-
orang Arab yang menyebut diri mereka sayyid atau syarif selaku keturunan Nabi
Muhammad yang melanjutkan Islamisasi di Nusantara. Orang-orang ini yang
kemudian mendapatkan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian oragnisasinya
sehingga mereka banyak menjadi ulama, penguasa-penguasa agama, dan sultan yang
sering bertindak sebagai penegak pembentukan negeri-negeri baru. Alasan lain Snouck
Hurgronje yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Deccan ialah karena adanya
kesamaan tentang paham Syafi’iyah yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel
dengan pengaruh mazhab Syafi’i yang meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan
Sumatra, yang dulunya mempunyai pengaruh kuat sebagaimana yang berlaku di India.
Ia juga mengatakan bahwa abad ke 12 sebagai periode yang paling awal penyebaran
Islam di Nusantara.

Pendapat yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak Benua
India juga didukung oleh J.P. Mouquette. Ia mempunyai kesimpulan bahwa tempat
asal Islam di Indonesia ialah Gujarat, India. Hal ini didasari dari pengamatannya
terhadap bentuk batu nisan di Pasai dan bentuk batu nisan pada makam Maulana Malik
Ibrahim di Gresik, Jawa Timur. Yang ternyata kedua bentuk batu tersebut memiliki
kesamaan dengan batu nisan di Gujarat yang bukan hanya dihasilkan untuk pasar lokal,
tetapi juga untuk ekspor ke kawasan lain, termasuk Jawa dan Sumatra. Hubungan
bisnis inilah yang menurutnya memungkinkan orang-orang Indonesia mengambil
Islam dari Gujarat. Namun, pendapat Mouquette tersebut dibantah oleh S.Q Fatimi
yang sama-sama menggunakan “teori batu nisan”. Dimana menurut Fatimi, batu nisan
Malik al-Shalih di Pasai berbeda jauh dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan
batu-batu nisan lain di Indonesia. Fatimi berpendapat bahwa bentuk dan gaya batu
nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal (sekarang
Bangladesh). Hal ini didasari oleh batu nisan yang terdapat di makam Siti Fatimah
binti Maimun (475 H./1082) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur. Sehingga atas
dasar itu, ia menyimpulkan bahwa semua batu nisan itu berasal dari Bengal. Ini yang
menjadi alasan Fatimi menyatakan bahwa asal usul Islam di Indonesia berasal dari
Bengal (Bangladesh), bukan dari India.

Akan tetapi, teori Gujarat yang dikemukakan oleh Mouquette ini, bisa dikatakan
masih terlalu kuat untuk dipatahkan oleh Teori Bengal yang dikemukakan oleh Fatimi.
Sebab, banyak sarjana-sarjana lain yang nyatanya lebih mendukung teori Gujarat
tersebut karena berbagai hal atau alasan, seperti R.A. Kern, R.O. Winstedt, G.H.
Bosqurt, B.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O. Schrieke, dan D.G.E. Hall. Namun seiring
berjalannya waktu, teori Gujarat ini dinilai mempunyai kelemahan oleh salah satu
tokoh yang bernama Morisson. Ia mempunyai alasan bahwa walaupun batu nisan
tersebut berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam berasal dari sana. Sebab,
ketika Islamisasi samudera Pasai atau ketika raja pertama Samudera Pasai tersebut
wafat pada 698 H./ 1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setelah satu
tahun setelahnya, Cambay (Gujarat) ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Sehingga,
jika Islam Indonesia disebarkan oleh orang-orang Gujarat, pastilah Islam telah menjadi
agama yang mapan sebelum 698 H./1297 (sebelum kematian Malik al-Shalih). Karena
dasar itulah Morisson menyimpulkan bahwa Islam Indonesia bukan berasal dari
Gujarat, melainkan dari pantai Coromandel yang dibawa oleh para pendakwah Muslim
pada akhir abad ke 13.

Sehingga, tanpa disadari secara langsung pendapat yang dikemukakan oleh


Morisson ini, mendukung pendapat yang dipegang atau dianut oleh Thomas W.
Arnold, yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Coromandel dan
Malabar, yang didasari pada argumen mengenai adanya persamaan mazhab fiqih di
kedua wilayah tersebut. Yaitu Mazhab Syafi’i yang mayoritasnya diikuti oleh
masyarakat Muslim Indonesia, yang juga merupakan mazhab dominan di wilayah
Coromandel dan Malabar. Dan mempunyai peran penting dalam perdagangan antara
India dan Nusantara. Selain itu, kehadiran sejumlah pedagang-pedagang tersebut,
bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga menyebarkan Islam kepada penduduk
lokal Indonesia.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam teori India ini menyatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia berasal dari India. Yang mana dalam teori ini, terjadi berbagai
pendapat yang saling bertentangan mengenai dari wilayah India mana, Islam Indonesia
itu berasal. Ada yang berpendapat dari Cambay (Gujarat) dan ada juga yang
berpendapat dari Malabar dan Coromandel. Selain itu juga, terjadi perbedaan pendapat
dalam teori ini, mengenai kapan awal masuknya Islam ke Indonesia. Baik itu dari para
tokoh-tokoh ataupun sumber-sumber yang telah dibaca. Ada yang berpendapat pada
abad ke 12 M dan ada juga pendapat yang menyatakan pada abad ke 13 M. Sehingga
mungkin dapat disimpulkan bahwa dalam teori ini, Islam masuk pertama kali ke
Indonesia pada abad ke 12 sampai 13 M.

2. Teori Arab

Teori ini menekankan dan menjelaskan bahwa Islam di Indonesia itu dibawa oleh
para pedagang dari Arab langsung. Para pedagang tersebut terlibat aktif dalam
penyebaran Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak awal
abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Hal ini didasarkan pada sumber-sumber Cina yang
menyebutkan bahwa menjelang perempatan abad ke-7, seorang pedagang Arab telah
menjadi pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatra. Bahkan,
beberapa orang Arab tersebut telah melakukan kawin campur dengan penduduk
pribumi yang kemudian membentuk sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya
telah memeluk Islam.

Teori Arab tersebut, pada awalnya dikemukakan oleh Crawfurd yang mengatakan
bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Indonesia langsung dari Tanah Arab,
walaupun ia sendiri juga meyakini bahwa, hubungan antara bangsa Melayu-Indonesia
dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting masuknya
Islam ke Indonesia. Namun, ia lebih meyakini bahwa proses awal masuknya Islam ke
Indonesia itu berasal dari Arab langsung.

Teori Arab ini juga didukung oleh Keyzer, yang didasari pada persamaan Mazhab
Syafi’i yang dominan di Indonesia dengan masyarakat yang berasal dari Mesir. Hal
tersebut kemudian direvisi oleh Niemann dan de Hollander yang lebih menyatakan
bahwa Islam di Indonesia itu berasal dari Hadramaut (sebuah lembah di negeri
Yaman). Sementara itu, ada suatu tokoh yang bernama P.J. Veth yang mempunyai
pandangan bahwa sejatinya orang-orang Arab yang ada di Indonesia, melakukan
kawin campur dengan penduduk pribumi yang membuat peranannya dalam
penyebaran Islam di Indonesia.

Sejumlah ahli Indonesia dan beberapa ahli Malaysia pun mendukung teori Arab
tersebut dengan mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di
Medan tahun 1963 (Sunanto, 2010: 8-9). Dimana dalam seminar tersebut, Prof. Hamka
dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad
pertama Hijriyah (± abad ke-7 sampai ke-8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-
13 (sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti
T’ang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Bani Umayyah di Asia
Barat. Hal yang dikemukakan oleh Prof. Hamka tersebut persis atau mirip dengan apa
yang dikemukakan oleh pakar sejarah dan Arkeolog Islam, Uka Tjandrasasmita.

Adapun tokoh lain yang mendukung teori Arab ialah Syed Muhammad Naquib
al-Attas. Ia merupakan pakar kesusastraan Melayu di Universitas Kebangsaan
Malaysia yang merupakan orang kelahiran Indonesia. Dimana ia mempunyai
pandangan bahwa bukti paling penting yang dapat dipelajari ketika mendiskusikan
kedatangan Islam di kepulauan Melayu-Indonesia ialah dengan melihat karakteristik
internal Islam itu sendiri di kawasan tersebut.

3. Teori Persia

Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Persia,
bukan dari India ataupun Arab. Teori ini didasari dari beberapa unsur kebudayaan
Persia yang terdapat di Indonesia, Seperti Syi’ah yang ada dalam kebudayaan Islam di
Indonesia. Tokoh yang mengemukakan atau mendukung teori ini ialah P.A. Hoesein
Djajadiningrat. Dimana ia meyakini bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13
M dari Persia. Ia juga mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap
beberapa ajaran mistik Islam (sufisme) Indonesia. Seperti ajaran maunggaling kawula
gusti Syaikh Siti Jenar yang merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-
Hallaj dari Persia.

Penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem pengejaan huruf Arab, terutama
untuk tanda-tanda bunyi harekat dalam pengajaran Al-Qur’an, juga menjadi suatu
alasan lain yang mendukung teori Persia ini. Sebab, cara pengajaran pengejaan huruf
Arab tersebut juga dilakukan di beberapa pesantren dan lembaga pengajian Al-Qur’an
di Indonesia, tepatnya di kawasan pedalaman Banten.
Selain itu, alasan lain yang mendukung teori Persia ini didasari dengan adanya
peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah,
yaitu hari wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib di Padang Karbala. Sebagaimana
hal ini juga dilakukan di Jawa dengan adanya peringatan pembuatan bubur Asyura
pada hari tersebut. Atau di Minangkabau dengan mengatakan bahwa bulan Muharram
disebut dengan istilah bulan Hasan-Husain. Bahkan di Sumatra Tengah sebelah Barat
sendiri, ada suatu upacara yang bernama upacara tabut. Dimana tabut sendiri berasal
dari bahasa Arab yang berarti keranda. Jadi, upacara tabut ialah upacara yang ditandai
dengan peristiwa mengarak “keranda Husain” untuk dilemparkan ke dalam sungai atau
perairan lainnya.

4. Teori Cina

Teori ini didasarkan pada banyaknya unsur-unsur kebudayaan Cina yang


terdapat pada kebudayaan-kebudayaan Islam Indonesia. Adapun tokoh yang
mendukung teori ini ialah H.J. de Graf, dimana ia sendiri telah menyunting beberapa
literatur Jawa klasik (Catatan Tahunan Melayu) yang memperlihatkan peranan orang-
orang Cina dalam pengembangan Islam di Indonesia. Hal itu dibuktikan dalam tulisan
tersebut yang menyebutkan bahwa, tokoh-tokoh besar semacam Sunan Ampel (Raden
Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) yang ternyata
merupakan orang-orang dari keturunan Cina. Pandangan ini juga didukung oleh salah
seorang sejarawan Indonesia, Slamet Muljana, dalam bukunya yang kontroversial
dengan judul Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam
di Nusantara. Selain itu, tokoh yang bernama Denys Lombard juga memperlihatkan
tentang betapa besarnya pengaruh Cina dalam berbagai aspek kehidupan bangsa
Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya. Dalam
bukunya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya yang terdiri dari tiga jilid.

Teori ini juga didasari bahwa, pada abad ke-9 M. Banyak orang muslim Cina di
Kanton yang mengungsi ke Jawa, Kedah dan Sumatra, yang dikarenakan pada masa
pemerintahan Huan Chou tersebut, terjadi penumpasan penduduk Kanton dan wilayah
Cina selatan lainnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sehinga banyak
dari mereka yang mengungsi bahkan menetap di suatu wilayah, salah satunya ialah
Indonesia. Dimana nantinya orang-orang tersebut mempengaruhi kebudayaan-
kebudayaan masyarakat pribumi dengan corak-corak kebudayaan yang mereka miliki.
Seperti yang dibuktikan dengan adanya unsur-unsur Cina dalam beberapa masjid kuno
di Jawa.

Daftar Pustaka

Al-Quturby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.


Djajadiningrat, Hoesein. 1963. Islam di Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan.
Huda, Nor. 2007. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Sunanto, Musyrifah. 2010. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai