Anda di halaman 1dari 10

Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri

Oleh: Ubaidillah

Pendahuluan

Sudah menjadi rahasia umum di kalangan sejarawan Islam di Nusantara bahwa


perkembangan ajaran Islam di Nusantara dibawa oleh para sufi pengembara yang marak pada
abad pertengahan hingga beradab-abad setelahnya. Ibnu Battuah menceritakan bahwa peran
para ulama pengembara sangat penting terhadap perkembangan Islam di Samudra Pasai
[CITATION Kal07 \l 1057 ]. Sehingga sangat wajar jika corak keislaman yang muncul kemudian
adalah ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa para sufi pengembara. Ajaran-ajaran yang dibawa
para sufi itu kemudian memicu munculnya para ulama lokal yang juga identik dengan
pemahaman tasawuf falsafi seperti walisongo, Syekh Yusuf Makassar, Syekh Abdussamad
al-Palimbani, Syekh Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf Al-Sinkili dan yang menjadi pem
pembahasan pada artikel ini, Hamzah Fansuri dari Kota Barus.

Kota Barus adalah kota yang berada di pantai barat pulau Sumatra. Kota Barus
dikenal sebagai kota produksi kamper yang sangat dibutuhkan untuk bahan pengawet.
Komoditas itu membuat kota Barus sangat terkenal di kalangan para pedagang saat itu. Di
sana berkumpul orang dari segala penjuru dunia baik itu muslim atau non-muslim. Data dari
arkelogi kota Barus menunjukkan bahwa kota itu pernah menjadi tempat berkumpul orang
dari berbagai daerah seperti orang Jawa, India Selatan, Persia hingga Arab pada abad 9
hingga abad 11 [ CITATION Kal07 \l 1057 ] . Bukti kongkrit kehadiran Islam di Barus ditemukan
pada makam yang diperkirakan berasal dari abad 14, 15 dan bisa jadi juga abad 16. Salah
satunya adalah makam Syekh Mahmud yang berasal pada abad ke-15. Sehingga ketika
Hamzah Fansuri hidup di Barus, ajaran Islam bukanlah sesuatu yang asing di Barus
[ CITATION Kal07 \l 1057 ].

Hamzah Fansuri identik dengan paham wahdatul wujud yang dipopulerkan oleh Ibn
Arabi. Bahkan Al Attas mengatakan bahwa dia adalah pelopor pemikiran wahdatul wujud di
Nusantara [ CITATION WMA95 \l 1057 ] . Pengaruh Hamzah Fansuri kemudian memicu
popularitas pemikiran wahdatul wujud di Nusantara, terutama di Aceh. Artikel ini berusah
untuk menyampaikan bagaimana pemikiran Hamzah Fansuri serta pengaruhnya di Nusantara.

Biografi Singkat Hamzah Fansuri


Hamzah Fansuri dipercaya hidup pada abad ke-16 hingga awal abad ke 17 dengan
asumsi dia wafat sekitar akhir abad 16 atau awal abad 17. Drewes mengira Hamzah Fansuri
wafat pada tahun 1590. Sedangkan Syed Naquib Alatas menyebutkan bahwa dia wafat pada
tahun 1607 [ CITATION Sya17 \l 1057 ]. Berbeda dengan kedua ahli di atas, Gulliot dan Kalus
menyatakan bahwa Hamzah Fansuri hidup sedikit lebih dulu daripada pandangan umum yang
mengatakan bahwa dia wafat di sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Dia mengutip
sebuah inskripsi yang ditulis pada batu nisan yang ada di pekuburan Ma’la, Mekah. Di dalam
inskripsi tersebut tertulis bahwa seorang syekh yang bernama Hamzah bin Abdullah Fansuri
telah wafat pada 9 Rajab 933 H/ 11 April 1527 [ CITATION Kal07 \l 1057 ].

Terlepas dari tahun wafatnya yang tidak pasti, Hamzah memiliki cukup bukti yang
menunjukkan bahwa dia lahir di kota Barus atau Syahru Nawi, sebuah daerah di Thailand.
Indikasi tersebut tertera di dalam syair-syair Hamzah yang sering merujuk dua tempat
tersebut:

Hamzah Syahru Nawi terlalu hapus

Serperti kayu sekalian hapus

Menjadi laut tiada berharus

Menjadi kapur di dalam Barus [CITATION Sye66 \l 1057 ].

Al attas mengatakan bahwa memang tidak cukup bukti yang menyebutkan bahwa
Hamzah Fansuri lahir di Barus. Tapi secara meyakinkan dia menyatakan bahwa Hamzah
Fansuri berasal dari Barus. Menurutnya mungkin saja dia lahir di Syahru Nawi, tetapi di
dalam syairnya Hamzah Fansuri secara gamblang menyebut dirinya berasal dari Barus, yang
berarti dia relatif merasa sebagai orang Barus dan memiliki nenek moyang dari Barus
[ CITATION Sye66 \l 1057 ] . Dalam sambutannya pada buku Hamzah Fansuri, Penyair Sufi
Aceh Hasmy malah mengatakan bahwa nenek moyang Hamzah berasal dari Parsi. Dia
menyebutkan bahwa sebelum Hamzah Fansuri lahir, nenek moyangnya mendapat
kepercayaan dari kerajaan untuk memimpin sebuah pusat pendidikan yang bernama Dayah
Blang Pria. Ulama itu dikenal dengan sebutan Syekh Fansuri sehingga keturunannya identik
dengan gelar fansuri di belakang namanya [ CITATION WMA95 \l 1057 ]. Syekh Fansuri
kemudian memiliki keturunan bernama Hamzah Fansuri dan Ali yang merupakan ayah dari
Syekh Abdurrauf Al-Sinkili. Mereka berdua mendirikan dayah di dua tempat. Ali yang
dikenal sebagai Syekh Ali Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan.
Sedangkan Hamzah Fansuri mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng [ CITATION
WMA95 \l 1057 ].

Hamzah Fansuri sering mengindikasikan bahwa dia adalah orang yang suka
mengembara untuk mencari ilmu dan spiritualitas. Di dalam syair-syairnya kita dapat
mengetahui nama beberapa tempat yang pernah ia kunjungi seperti syair berikut:

Hamzah Fansur di dalam Makkah


Mencari Tuhan di Baitul Kakbah
Di Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah [ CITATION Sya17 \l 1057 ].

Setidaknya dia sudah pernah pergi ke Pahang, Kedah, Jawa, dan Timur Tengah. Selama
mengembara itu dia mempelajari ilmu agama terlebih khusus yang berhubungan dengan sufi.
Dia terlihat akrab dengan karya-karya sufi Persia seperti Abu Yazid al-Bisthami (w. 874), al-
Hallaj (w. 922), Fariduddin Attar (w. 1221), al-Junaid al-Bagdadi (w. 910), Ahmad al-
Ghazali, Ibn Arabi (w. 1240), Jalaluddin Rumi (w. 1273), Mahmud Shabistari (w. 1340) dan
al-Iraqi (w. 1403) [ CITATION Sya17 \l 1057 ]. Memang tidak diketahui dia berguru kepada
siapa, tapi di dalam karya-karyanya terlihat jelas bahwa Hamzah Fansuri memiliki
pemahaman keislaman yang sangat mendalam. Kalau saja kita berasumsi bahwa inskripsi
yang ada di Mekah memang betul makan Hamzah Fansuri yang kita maksud, maka itu sudah
menjadi bukti yang cukup atas kealiman dan kemuliaannya. Karena tidak sembarang orang
yang dikuburkan di pemakaman Ma’la. Di sana terdapat makam Khadijah, para sahabat dan
para ulama besar. Selain itu dijelaskan pada inskripsi itu bahwa ia adalah syekh soleh yang
mengabdikan diri kepada Allah, zuhud lagi murabit (orang yang berjuang di perbatasan)
[ CITATION Kal07 \l 1057 ].
Selama masa hidupnya Hamzah Fansuri telah banyak menelurkan karya-karya berupa
syair-syair dan buku. Di antaranya adalah Araar al Arifin fi Ilmis Suluk wa At-Tauhid, Syarab
al-Asyiqin, al-Muntahi, Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syair Burung Unggas [ CITATION WMA95
\l 1057 ]. Selain itu ada beberapa karya syair yang dicurigai karya Hamzah Fansuri seperti
Syair Perahu. Namun, syair-syair itu diragukan keabsahannya karena tidak ada keterangan
pasti. Salah satu ahli yang meragukan Syair Perahu adana Drewes [ CITATION Kal07 \l 1057 ].
Pemikiran Hamzah Fansuri

a. Wahdatul wujud
Sebagaimana ulama Nusantara pada umumnya, dia berafiliasi kepada mazhab Syafi’i
dan tarekat Qadiriyah. Tetapi, nampaknya dia lebih menonjol di bidang tasawuf falsafi yang
berafiliasi dengan pemikiran Ibn Arabi. Ibn Arabi dikenal sebagai ulama sufi yang memiliki
pemikiran wahdatul wujud yaitu sebuah pemahaman di mana alam adalah manifestasi dari
Tuhan [ CITATION Mir13 \l 1057 ] sebagaimana terang adalah manifestasi daripada sumber
cahaya seperti lampu. Sehingga pada hakikatnya semua yang ada adalah Yang Satu (wahdah
al-wujud). Yang Satu di sini adalah Allah SWT.
Dalam penjelasan yang lebih lanjut paham ini bermula dari pemahaman bahwa Allah
ingin melihat dirinya dalam bentuk yang lain dengan cara menciptakan alam semesta yang
memiliki sifat-sifatnya. Tetapi dengan demikian tidak serta merta membuat Allah Yang Maha
Esa menjadi sesuatu yang berbilang. Umpama seseorang yang melihat dirinya di dalam
banyak cermin maka ia akan melihat dirinya menjadi banyak. Tetapi dengan begitu tidak
membuat seseorang itu menjadi banyak, melainkan tetap satu. Dengan kata lain alam dan
segala yang ada ini hanyalah banyan dari Allah SWT [ CITATION Abd10 \l 1057 ].
Lebih jauh Ibn Arabi mengatakan bahwa pada pasarnya wujud adalah satu yaitu
wujud Allah yang mutlak. Lalu wujud Allah menampakkan dirinya dalam bentuk tiga
martabat.
1. Martabat Ahadiyah
Martabat Ahadiyah adalah di mana wujud Allah merupakan zat mutlak tanpa ada hubungan
dengan masa, tempat bahkan sesuatu yang melekat padanya seperti nama. Yang ada hanyalah
Zat semata.
2. Martabat Wahidiyah
Adalah di mana Zat itu menampakkan dirinya dengan nama dan sifat-sifat ketuhanan.
3. Martabat Tajalli Syuhudi
Yaitu di mana Allah mengunggkap dirinya serta sifat-sifatnya dalam bentuk yang
empiris [ CITATION Abd10 \l 1057 ].
Kemudian tiga martabat ini dikembangkan oleh Muhammad Fadlullah al-Burhanfuri
(w. 1620) menjadi tujuh yang biasa disebut martabat tujuh. Ketujuh martabat itu adalah
Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam dan Alam Insan
[ CITATION Suh19 \l 1057 ]. Banyak yang mengira Hamzah Fansuri terpengaruh dengan faham
ini. Tetapi perlu dicatat bahwa faham ini belum muncul di Sumatra pada masa Hamzah
Fansuri. Sehingga sulit rasanya jika Hamzah Fansuri memiliki pandangan tentang martabat
tujuh [ CITATION Kik18 \l 1057 ]. Adapun orang yang terpengaruh pandangan ini adalah
Syamsuddin Samatrani (w. 1630), orang yang dipercaya banyak ahli sebagai murid langsung
Hamzah Fansuri. Meski begitu bukan berarti tidak memiliki pemahaman yang mendalam
terhadap pemikiran Ibn Arabi [ CITATION Sya17 \l 1057 ].
Sebelum mendalami lebih jauh pemikiran Hamzah Fansuri tentang wahdatul wujud
perlu dicatat bahwa dia bukanlah seorang ulama yang merasa boleh meninggalkan kewajiban
syariat bagi setiap muslim yang memiliki pemahaman tersebut. Baginya kewajiban syariat itu
adalah jalan dan pintu menuju makrifat. Karena sejatinya manusia yang bisa mencapai
makrifat hanya manusia yang sempurna, insan kamil [ CITATION Mis15 \l 1057 ].
Selanjutnya, Hamzah Fansuri menjelaskan wahdatul wujud dengan menggunakan
perumpamaan agar memudahkan bagi orang awam memahaminya. Hal serupa yang
dilakukan oleh Ibn Arabi. Sebagian perumpamaan yang digunakan oleh Hamzah Fansuri
diambil dari permumpaan yang dibuat oleh Ibn Arabi seperti laut dan cahaya. Akan tetapi,
Hamzah Fansuri juga mengembangkan perumpamaan yang dibuatnya sendiri, yaitu tanah dan
benang.
Menurut Hamzah Fansuri, hakikat Allah dan alam ini layaknya tanah dan segala jenis
olahannya. Tanah bisa saja menjadi keramik, piring, cangkir dan sebagainya. Tetapi,
meskipun keramik, piring, cangkir dan sebagainya adalah suatu yang berbeda pada
hakikatnya semua itu adalah tanah. Sama halnya dengan benang. Meskipun setiap jenis
olahan kain seperti baju dan celana adalah dua benda yang berbeda, keduanya ada benang.
Ketentuan ini tidak merubah eksistensi Allah sebagai Zat Yang Maha Esa. Oleh karenanya
wahdatul wujud adalah ajaran yang mengakui ketunggalan sekaligus keberanekaragaman
[ CITATION Mis15 \l 1057 ].
b. Maqamat Kesufian
Sederhananya maqam itu adalah kedudukan seorang hamba dalam menjalankan
agamanya. Istilah ini sering muncul di dalam buku-buku karya sufi, baik itu falsafi maupun
akhlaqi. Al Qusyairi menjelaskan bahwa ada 46 maqamat di dalam ajaran sufi. Di antaranya
adalah maqam taubah, mujahadah, uzlah, khulwah dan takwa. Maqam-maqam itu serupa
syarat yang harus dilalui bagi seseorang yang ingin berjalan di jalan sufi [CITATION Moh16 \l
1057 ].
Dari syair-syairnya setidaknya ada sembilan maqam yang ditonjolkan Hamzah Fansuri.
Adapun maqamat tersebut adalah:
1. Taubat
Pesan taubat Hamzah Fansuri dapat di lihat dari beberapa syairnya seperti:
Dalil ini bahawasanya min Allah
Ya ’ayyuhā al-lazīna ’āmanū tūbū ’ila Allah
Jika engkau dā’im mengatakan Rabbi Allah
Mangkanya dapat menafikan mā siwa Allah
Qāla Allah Ta‘āla pada sekalian muslimin
Yokya kau taubat dari dosa mu ajma‘īn
Hafaz-kan ’inna Allah yuhibbu al-tawwābīn
Supaya masuk ke dalam ma‘na mutaţahhirīn
Taubat syari‘at dari dosa lalu
Akan hakikat tiada ia kafi
Jika belum dari adamu kau lari
Manakan wāşil dengan tuhan yang bāqi
Ketahui inna Allah arsala ‘abdahu
Menyuruh berkata pada sekelian ummatahu
’Al-tā’ibu min al-zanbi ka-man lā zanba lahu
Inilah perbuatan yang dikasih Rabbahu [CITATION Moh16 \l 1057 ]
2. Zuhud
Maqam zuhud dapat dilihat dalam syair-syairnya seperti:
Hadis masyhur terlalu bayyinah
Mengatakan dunyā kesudahan sayyi’ah
Hubb al-dunyā ra’s khāti’ah
Tark al-dunyā ra’s kull al-‘ibādah
Jika hendak jangan berbahaya
Tinggalkan bangsa dan kaya
Jangan wāqif di pulau cahaya
Supaya hampir dengan Mulia Raya [ CITATION Moh16 \l 1057 ].

3. Meninggalkan Syahwat
Perihal meninggalkan syahwat Hamzah Fansuri bersyair seperti ini:
Perbuatan ma‘siat dā’im kau cari
Tiada kau takut akan jadi ‘āsi
Rizqi mu haram lagi kau zani
Manakan sampai kau pada ilahi
Aho segala kita yang menyembah hawa
Kerjamu itu terlalu ghawa
Mencari dunia berkawan-kawan
Oleh nafsu kamu tertawan
Mafsu itu yogya kau lawan
Mangkanya supaya engkau bangsawan
Dengarkan hai anak dagang
Jangan gila mencari larang
Buang diri di tengah padang
Supaya cepat lekas kau datang
Dengarkan firman dari habīb
Eloknya dunyā terlalu ‘ajīb
Barang siapa kepadanya qarib
Wa-mā-lahu fi al-’ākhirah min naşīb [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
4. Tawakal
T entang tawakal Hamzah Fansuri bersyair sebagai berikut:
Rizqimu mawjūd di dalam ma‘lumat
Lagi belum lahir al-ard wa al-samawāt
Jika lagi engkau muhtāj ke rumah makhlūqāt
Manakan dapat beroleh ‘āli al-darajāt
Dalil ini dibawa imam al-muttaqīn
Ya‘ni fatawakkalū ’in kuntum mu’minīn
Jika tawakalmu kepada Arhama al-Rahimīn
Mangkanya dapat ke dalam qawm al-şābirīn [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
5. Ubudiyah dan istiqamah
Adapun syair yang berkaitan dengan ini:
Shahadat dan salat amal yang ‘azim
Puasa dan zakat hajj bi-al-ta‘zim
Inilah fardu pada sekelian salim
Supaya dapat ke dalam jannat al-na‘im
Siang hari hendak kau sa’im
Malamnya yogya kau qa’im
Kurangkan makan lagi dan na‘im
Nafi dan isbat kerjakan da’im
Pada lima waktu tatkala qa’im
Malam dan siang kurangkan na’im
Mangka dapat mahbub-mu da’im
Kerjakan salat lagi sa’im
Itulah makna bernama qa’im
Pada segala malam kurangkan na’im
Menafikan ‘alam kerjakan da’im [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
6. Murah hati
Hal ini tergambarkan dalam syairnya:
Barang siapa sampai kepada sifatnya sakhi
Beroleh warith dari baginda „Ali
Mereka itu yang balhilnya qawi
Manakan dapat menjadi wali
Sabda rasul al-sakhi habib Allah
Yakni yang sakhi itu wali Allah
Barang siapa bakhil da‘im ba‘id Allah
Al-Sakhi habib Allah wa-law kana fasiqan
Al-Bakhil aduww Allah wa-law kana zahidan
Barang siapa sakhi kariman kamilin
Ialah sampai kepada amalan salihin [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
7. Khusuk dan Tawadhu
Tergambarkan dalam syairnya:
Takabbur dan ghurur kerja syaitani
Yaitu jauh dari rahmani
Emas dan perak alat nafsani
Di manakan sampai kepada rabbani
Hamzah gharib terlalu hina
Dimanakan dapat sampai kepada Rabb al-‘alamin
Hamzah miskin orang ‘uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukannya ‘Ajami lagi ‘Arabi
Hamzah Fansuri sungguhpun da‘if
Haqiqat hampir kepada Zat al-Syarif [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
8. Ahkam Safar
Tergambarkan dalam syairnya:
Hadis ini dari Nabi al-habib
Qala: kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunya qarib
Manakan dapat menjadi habib
Anak mu‘allim tahu akan jalan
Da’im belayar dilaut nyaman
Markab-mu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
Kenali dirimu hai anak dagang
Jadikan markab tempat berulang
Kemudi tinggal jangan goyang
Supaya dapat hampir kau pulang [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
9. Makrifat Allah
Tergambarkan dalam syairnya:
Kenal dirimu hai anak jamu
Jangan lupa akan diri kamu
Ilmu hakikat yogya kau ramu
Supaya terkenal ‘ali adamu
Man ‘arafa nafsah sabda Baginda Rasul
Fa-qad ‘arafa rabbah tiada dengan hulul
Wahid-kan olehmu fa‘il dan maf‘ul
Jangan di-takhsis-kan maqam tempat nuzul [ CITATION Moh16 \l 1057 ].
Pengaruh Hamzah Fansuri
Meskipun Hamzah Fansuri sangat dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki
pemahaman wahdatul wujud, justru pengaruh terbesarnya adalah dunia kususastraan melayu.
Syed Naquib Al Attas mengatakan bahwa dia adalah pujangga melayu terbesar pada masa itu.
lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang
menciptakan bentuk pantun Melayu. Dengan demikian pengaruh kesusastraannya masih
terasa hingga kini [ CITATION WMA95 \l 1057 ].
Syair-syair Hamzah Fansuri kemudian diikuti dan dikaji oleh para pengikutnya seperi
Syekh Syamsuddin Samatrani, Hasan Fansuri dan Abdul Jamal. Ketiga ulama tersebut adalah
ulama-ulama yang secara terbuka mengagumi karya-karya Hamzah Fansuri. Syekh
Syamsuddin Samatrani misalnya, dia banyak mengutip serta mengomentari syair-syair
Hamzah Fansuri [ CITATION Kal07 \l 1057 ]. Pengaruh pemikiran Hamzah Fansuri tersebar
hingga ke pulau Jawa dan Sulawesi. Di Jawa ditemukan naskah Syarab al-‘asyiqin dan al-
Muntahi, karya Hamza Fansuri yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Sedangkan di
Buton juga ditemukan dua naskah tersebut [ CITATION Sya17 \l 1057 ].
Di sisi lain, pemikiran Hamzah Fansuri memicu muncul karya lain untuk membantah
pemirikiran Hamzah Fansuri seperti yang dilakukan oleh Nururddin Ar-Raniri. Ar-Raniri
secara khusus menulis sebuah buku Ma’al Hayat li ahl Ma’at, sebuah kitab untuk membantah
pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri [CITATION Edw96 \l 1057 ].

Kesimpulan
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi Melayu pertama yang dicatat oleh sejarah,
yaitu pada paruh kedua abad ke-15 hingga awal abad 16. Pemikiran tentang tasawuf
mengikut paham yang dikembangkan oleh Ibn Arabi tentang wahdatul wujud, yaitu sebuah
pemahaman tentang kesatuan antara alam dan Allah. Hamzah Fansuri menganalogikan
pemahamannya layaknya tanah dan kreasi-kreasinya seperti piring dan gelas yangmana
meskipun keduanya benda yang berbeda namun tetaplah tanah. Pemikiran ini kemudian
tersebar ke kawasan Nusantara seperti Jawa dan Buton. Selain pengaruh pemikirannya,
Hamzah Fansuri juga memengaruhi pola syair Melayu, bahkan Al Attas menyebutkan dia lah
pencetus pertama pantun Melayu.
Works Cited
Attas, Syed Muhammad Naguib Al, The Misticism of Hamzah Fansuri. London, University of London,
School of Oriental and African Studies, 1996.

Djamaris, E., & Prijanto, S. Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri. Direktoran Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.

Fauziah, M. Pemikiran Tasauf Hamzah Fansuri. Subtantia, Vol. 15 No.2, 2 Oktober 2013.

Guillot, C., & Kalus, Ludvik, Batu Nisan Hamzah Fansuri. Jakarta, Departemen Kebudayaan dan
Parisiwata Ecole francaise d'Extreme-Orient Forum Jakarta - Paris, 2007.

Hakiki, K. M., TASAWUF WUJŪDIYYAT: Tinjauan Ulang Polemik Penyesatan Hamzah Fansūrī oleh
Shaykh Nūr al-Dīn al-Ranīrī. Theologia, Vol.29, No.1, Juni 2018.

Miswari, Pesan Syair Hamzah Fansuri. Aceh, The Nusantara Institute, 2015.

Mohamad, A. H., & Husin, O. H., Maqamat Kesufian Dalam Syair Hamzah Fansuri. Al-Anwar,
Persatuan Bekas Mahasiswa Islam Timur, Vol.2, No. 2, Desember 2016.

Ni'am, S., HAMZAH FANSURI: PELOPOR TASAWUF WUJUDIYAH DAN PENGARUHNYA HINGGA KINI DI
NUSANTARA . Episteme, Vol.1, No1, Juni 2017.

Rofi'i, A. H., Wahdatul wujud dalam Pemikiran Ibn Arabi. Ulul Albab, Vol. 13, No.2, 2010.

Suherman, Perkembangan Tasawuf dan Kontribusinya di Indonesia. Ilmiah Reearch Sains, Vol. 5,
No.1, 2019.

W.M., Abdul Hadi, & Ara, L, Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh. Jakarta, Lotkala, 1984.

Anda mungkin juga menyukai