Anda di halaman 1dari 14

THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 1

Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740


No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

FEMINISME DAN KESETARAAN GENDER DALAM TIMBANGAN


WORLDVIEW OF ISLAM

Dr. Dinar Dewi Kania


Direktur The Center for Gender Studies (CGS)
Email : dinar.insists@gmail.com

A. PENDAHULUAN

Pada tahun 2011 lalu telah beredar draft Rancangan Undang-Undang


Kesetaraan dan Keadilan Gender di masyarakat. Menurut wakil Komisi VIII
DPR saat itu, Chairu Nisa, draf tersebut adalah karya Deputi Bidang
Perundang-Undangan Sekretaris Jenderal DPR. Apabila RUU ini akan
dijadikan hak inisiatif secara resmi oleh DPR maka akan dibahas RUU-nya di
Badan Legislasi sebelum disahkan dan diresmikan sebagai RUU inisitiatif DPR.
Setelah itu, baru RUU KKG akan dibahas oleh DPR bersama dengan
Pemerintah.

Menteri PP pada rapat kerja DPR dengan Kementrian Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak pada tanggal 16 Februari 2011,
menyatakan bahwa prioritas program kerja di bidang pemberdayaan
perempuan adalah penyusunan Rancangan Undang-Undang kesetaraan
Gender. Penyusunan RUU ini menurutnya merupakan suatu upaya untuk
lebih mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di semua bidang
pembangunan dan pada tahun 2011 rancangan undang-undang tersebut
sudah dimasukkan ke dalam Prolegnas, sebagai inisiatif DPR.

Saat ini, RUU Kesetaraan Gender Usul Inisiatif Komisi VIII tersebut telah
disetujui dalam rapat pleno Baleg DPR pada tanggal 3 September 2014 lalu
yang ditolak oleh Fraksi PKS dan Gerinda dan belum diterima oleh Fraksi
PAN.

Draft Naskah Akademik tentang RUU KKG pada tahun 2011 menjelaskan
bahwa Rancangan Undang Undang Kesetaraan Gender perlu disusun karena
adanya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam
memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 2
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

laki-laki dan perempuan. Hal tersebut disebabkan kuatnya budaya patriarki


sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. RUU KKG
ini sekilas tampak menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang
dihadapi kaum perempuan Indonesia. Masyarakat Indonesia yang mendukung
RUU ini berharap, hadirnya UU mengenai Keseteraan Gender dapat
melindungi Perempuan dari tindak kekerasan, deskriminasi serta semua
tindakan yang dapat menghilangkan hak-hak perempuan. Namun
kenyataannya RUU KKG menuai banyak kontroversi baik dari para pakar
hukum, akademisi, ulama dan masyarakat umum. Salah satu hal mendasar
yang perlu dikritisi dari draft RUU KKG tersebut adalah penggunaan konsep
“gender” dan “kesetaraan gender” yang diadopsi secara mutlak dari pemikiran
para Feminis yang tentunya banyak bertentangan dengan nilai-nilai agama
dan budaya masyarakat Indonesia.

Para aktivis Feminis, disadari atau tanpa disadari, telah berusaha


mempengaruhi pemerintah Indonesia dalam masalah kebijakan sampai teknis
operasional dengan mengatas namakan Hak Asasi Manusia (HAM). Usaha
mereka akhirnya menampakkan hasil dengan diratifikasinya isi CEDAW
sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Pemerintah kemudian
mengesahkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT
(Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan UU Perlindungan Anak.
Kaum Feminis juga terus berupaya melakukan legalisasi aborsi melalui
amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada dibelakang
keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan sebanyak
30 persen.

B. LATAR BELAKANG HISTORIS

Gerakan feminis pada mulanya adalah gerak sekelompok aktivis perempuan


barat, yang kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di
universitas-universitas, termasuk negara-negara Islam, melalui program
”woman studies”. Gerakan perempuan telah mendapat “restu” dari
Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women).
Negara dan lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung
gerakan-gerakan perempuan.
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 3
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

Gerak kaum feminis di dunia Islam justru menunjukan tingkat agresivitas


yang mengkhawatirkan. Dalam dua dekade terakhir ini perempuan pakistan
telah menjadi target gerakan feminis. Pada tahun 1975 pemerintah Pakistan
mendorong perempuan untuk mengikuti pemikiran feminisme, walaupun pada
tahun 1977 ketika proses islamisasi dan militerisasi telah berhasil
membendung pemikiran ini, tetapi pada tahun 1980, gerakan feminis kembali
bermunculan di Pakistan secara signifikan. Indonesia mengalami nasib
serupa dengan Pakistan. kesetaran Gender disosialisasikan dengan gencar
dan sistematis ke seluruh dunia melalui media, ormas, LSM, lembaga
pendidikan formal dan non formal. Wilayah gerakan kaum feminis begitu luas,
dari tingkat internasional sampai menjangkau institusi masyarakat yang
terkecil, yaitu rumah tangga (RT).

Kelahiran feminisme sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam


masyarakat Barat pada abad pertengahan. Islam tidak pernah merampas hak
kaum perempuan sebagaimana gereja merampas hak-hak individu dan sipil
kaum perempuan selama ratusan tahun. Menurut McKay dalam bukunya a
History of Western Society terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan
bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada
tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan
perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan
(1983: 437 – 541). Doktrin dasar gereja menganggap wanita sebagai ibu dari
dosa yang berakar dari setan jahat. Wanita jualah yang menjerumuskan lelaki
ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunnya ke neraka. St John
Chrysostom (345M-407M) seorang bapak Gereja bangsa Yunani berkata:
“Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana
yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketika beruntungan
yang cantik” (Maududi, 1995: 23).

Kehidupan keras yang dialami oleh perempuan-perempuan pada saat gereja


memerintah Eropa tertuang dalam essai Francis Bacon pada tahun 1612
yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan
Sendiri), di mana disebutkan banyak laki-laki memilih untuk hidup lajang,
jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat
berkonsentrasi pada kehidupan publiknya. (Arivia, 2002 : 52) Mereka tidak
memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun, dan hak
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 4
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

tersebut baru mereka peroleh pada tahun 1792 M melalui perjuangan yang
berat. Perempuan Barat menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat
dari hampir seluruh aspek kehidupan. Kondisi tersebut sangat kontras dengan
kondisi perempuan di dunia Islam pada kurun waktu yang sama. Sejak jaman
Rasulullah, kaum perempuan telah meramaikan majelis-majelis ilmu,
berpartisipasi dalam kegiatan bisnis, bahkan beberapa di antara mereka telah
menorehkan tinta emas di medan peperangan, seperti Nusaibah di Perang
Uhud dan Khaulah pada perang melawan Imperium Bizantium. (Kania, 2010).

Pada awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk


mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang
menekankan pada keistimewaaan” dan perbedaan perempuan, dari pada
mencari kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak
hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan
sosial, seperti pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth
control). Dari sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan
bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian mereka menyebut diri mereka
sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis perempuan yang lain
menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya mengespresikan
secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan professional
(Rowbotham, 1992 : 9).

Kaum Feminis kemudian mengembangkan konsep gender pada tahun 1970


sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan
laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat
pada akhirnya berbeda-beda (Rowbotham, 1992 : 12). Kemudian wacana
gender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun
1977. Sejak itu para feminis mengusung konsep gender equality atau
kesetaraan gender sebagai mainstream gerakan mereka. Gender menurut
Unger adalah, “a term used to encompass the social expectations associated
with feminity and msculinity.“ Para feminis berpendapat gender merupakan
konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi
biologis. Gender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya, agama, dan hukum
yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Meskipun pada
mulanya para feminis menggunakan isu “hak“ dan “kesetaraan“ perempuan
sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 5
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

mengunakan istilah "penindasan" dan "kebebasan" yang kemudian feminisme


menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan”.

Di negara-negara Barat, kebebasan yang digaungkan feminisme kemudian


diterjemahkan sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang
membelenggu aktivitas perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di ranah
publik, baik ikatan agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai
memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa menjelang
akhir abad ke 19, begitu juga negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu
kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan bukan
merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki dan perempuan hidup
bersama tanpa ikatan perlahan-lahan memperoleh status legal sehingga
banyak perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan menganggap
pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan.

Kesetaraan gender juga menyuburkan praktek homoseksual dalam


masyarakat. Hillary Lips, seorang tokoh feminis Barat, dalam buku a New
Psychology of Women ;Gender, Culture, and Ethnicity, mengungkapkan bahwa
gender tidak terdiri dari dua jenis, yaitu feminin dan maskulin seperti
umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Beliau mengakui adanya gender
ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh
masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Gender ketiga ini
tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah
kaum homoseksual dan transvestite, seseorang yang senang berpakaian
gender lainnya ( 2003 : 6-7). Pengakuan terhadap adanya gender ke tiga
membuat kaum feminis terus memperjuangkan hak kaum lesbi atau
homoseksual di seluruh dunia dan menuntut negara mengesahkan
pernikahan mereka secara hukum. Bahkan dalam perspektif feminis radikal
, pasangan lesbi memiliki tempat yang “terhormat“ karena dalam hubungan
heteroseksual perempuan cendrung menjadi pihak yang tersubordinasi- di
mana pada pasangan lesbi, perempuan justru memiliki kontrol setara
sehingga tidak terjadi dominisasi dalam hubungan seksual di antara mereka.

And because radical feminism recommends putting women first,


making them the primary concern, this approach is accord lesbianism
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 6
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

“an honoured place’ as a form of ‘mutual recognition between women’


(Beasley,1999).

Isu kebebasan telah membuat para remaja putri di Barat tidak malu-malu
lagi mengeksploitasi tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki kontrol
penuh atas tubuh mereka sendiri. Perzinahan didukung oleh negara ketika
alat-alat kontrasepsi dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat
umum. Sementara para orang tua tidak ambil pusing jika anak mereka
melakukan hubungan sex di luar pernikahan, asal tidak terjadi kehamilan,
karena menurut mereka, mengasuh dan mendidik anak-anak merupakan
tanggung jawab moral yang tinggi. Tetapi jika kehamilan tidak dapat dihindari,
kebanyakan perempuan Barat akan melakukan aborsi tanpa rasa bersalah.
Gerakan perempuan di Barat telah berhasil melegalkan praktik aborsi dengan
dalilh perlindungan terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Bagi
perempuan yang masih memiliki hati nurani, mereka memilih menjadi single
parents walau konsekuensinya anak-anak itu terlahir dan tumbuh tanpa
mengenal sosok ayahnya. Saat ini, eksploitasi terhadap kaum perempuan dan
anak-anak semakin merajalela, yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan perempuan dari


kehangatan sebuah keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir
dan bersaing dengan laki-laki untuk membuktikan eksistensi mereka. Banyak
dari mereka kemudian mengalami alienasi, depresi dan masalah psikologis
lainnya, karena melawan naluri dan kodrat sebagai perempuan. Masyarakat
Barat kini banyak tersadar dari kekeliruannya dan gerakan feminis dituding
sebagai biang kerok atas kehancuran moral yang menimpa kaum perempuan
di Barat sehingga bermunculah banyak gerakan kembali ke keluarga yang
menghadang agenda para feminis ini.

C. FEMINISME DI DUNIA ISLAM

Wacana dan isu kesetaraan gender menggema dalam khazanah intelektual


muslim Indonesia dimulai pada tahun 1989, ketika jurnal Ulumul Qur’an (UQ)
memuat tulisan karya Jane I. Smith dan Yvonne Haddad. Isu yang sama
kemudian dimunculkan UQ setahun kemudian dengan menerbitkan tulisan
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 7
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

seorang feminis Muslim asal Pakistan, Riffat Hassan. Kedua artikel ini
memiliki corak yang sama yaitu berusaha membongkar pemikiran agama
Islam, yang menempatkan perempuan di bawah subordinasi laki-laki. Dari
situ kesetaraan gender mulai memikat hati sebagian tokoh muslimah,
terutama mereka mengenyam pendidikan Barat melalui program woman
study. Kehadiran lembaga donor internasional mempercepat perkembangan
wacana dan pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Lembaga-lembaga
donor tak segan-segan mengucurkan dana untuk program-program
pengembangan kesadaran gender di kalangan intelektual Islam maupun
masyarakat luas. LSM-LSM yang menggarap pesantren-pesantren tradisional
kemudian bermunculan, sebut saja FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning), Rahima
dan Puan Amal Hayati.

Konsep kesetaran gender yang diperjuangkan kaum feminis sebenarnya


merupakan konsep abstrak, bias dan absurd karena sampai saat ini para
feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa
yang diinginkan kaum perempuan. Terminologi ”Feminis” sendiri memiliki
beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya. (Beasley, 1999 : 27).

Apalagi sampai saat ini pemerintah Amerika Serikat sebagai negara yang
dianggap sebagai kiblat HAM, belum juga meratifikasi CEDAW karena
banyaknya gerakan Pro Family yang menghadang usaha para feminis di
parlemen Amerika. Timbul tanda tanya besar mengapa pihak Barat begitu
bersemangat mengkampanyekan kesetaran gender di dunia Islam, ketika
pada saat yang sama, isu tersebut mengalami stagnasi dan mulai ditinggalkan
masyarakat Barat. Sangat disayangkan jika banyak tokoh Islam menutup
mata terhadap bahaya pemikiran ini dan justru berperan sebagai agen dalam
mempropagandakan kepada masyarakat luas. Mereka beranggapan,
kesetaraan gender dapat menjadi solusi dari permasalahan kaum perempuan
di dunia Islam, semisal kekerasan rumah tangga (domestic violence) , women
trafficking, dan permasalahan sosial lainnya. Padahal kenyataannya, sampai
saat ini, negara-negara Barat tidak pernah bisa membuktikan bahwa mereka
berhasil mengatasi problematika sosial tersebut.

Beberapa feminis memang mengakui bahwa ajaran Islam lebih ramah


terhadap perempuan dibanding Kristen, tetapi hal itu tidak menyurutkan niat
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 8
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

mereka untuk terus mendekonstruksi ajaran Islam. Para feminis menuduh


bahwa fikih Islam dianggap paling bertanggung jawab terhadap pandangan-
pandangan yang bias perempuan karena para fuqaha dianggap telah
berkonspirasi untuk melestarikan hegemoni laki-laki atas perempuan. Nuansa
kecurigaan seperti ini adalah khas para feminis yang terpengaruh ideologi
Marxis, di mana perempuan ditempatkan sebagai kelas tertindas dan laki-laki
sebagai kelas penindas.

Dalam berbagai tulisan mengenai gender, para feminis berusaha mengkritisi


teks-teks yangmenjadi sumber hukum Islam kemudian merubahnya sesuai
dengan ide-ide feminisme. Terinspirasi dari pandangan Fatimah Mernissi,
Mazhar ul-Haq Khan, Asghar Ali Engineer, serta tokoh-tokoh liberal lainnya,
para feminis secara tendensius menggiring para muslimah untuk meyakini
bahwa interpretasi ajaran Islam yang ada saat ini didominasi bias gender dan
bias nilai-nilai patriakal, sehingga diperlukan pembacaan ulang dan
dekonstruksi penafsiran lama. Penafsiran baru yang dimaksudkan oleh para
feminis adalah tafsir hermeneutika feminis, yaitu metode historis-sosiologis
yang digunakan Barat untuk merombak ajaran agama Kristen yang
menyudutkan perempuan. Hasil penafsiran baru para feminis adalah produk
hukum yang menyimpang sebagaimana kita saksikan pada tanggal 18 Maret
2005, Aminah Wadud, seorang feminis, memimpin shalat Jumat di sebuah
Gereja di New York, yang diikuti sekitrar 100 jamaah, laki-laki dan
perempuan. Di indonesia, seorang guru besar institusi tinggi Islam bahkan
melegalkan homoseksual dan mempromosikannya pemikirannya tersebut atas
nama HAM dan kesetaraan gender.

D. KESETARAAN GENDER DALAM TIMBANGAN WOLRDVIEW OF ISLAM

Dari latar belakang historis dan perkembangan konsep kesetaraan gender,


kita dapat menilai bahwa Feminisme secara substansial sangat bertentangan
dengan pandangan hidup Islam (worldview of Islam) karena beberapa alasan.
Pertama; feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan
liberalisme dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam
peradaban Barat. Target mereka adalah meracuni pemikiran para muslimah
sehingga mereka dengan sukarela meninggalkan nilai-nilai luhur Islam dan
melepaskan simbol-simbol agama yang dianggap tidak sesuai lagi dengan
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 9
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

masyarakat modern. Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama


yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa benar atau salah, baik
atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung
pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. (Shalahuddin, 2007) Maka
tak heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai ”gerakan
pembebasan perempuan“.

Sebagaimana kaum feminis Barat, kelompok yang menamakan diri “feminis


muslim” juga menuding bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka
dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang
sangat didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal. Sehingga kaum
feminis beranggapan bahwa perlu dilakukan pembacaan ulang dan
dekonstruksi atas penafsiran lama yang dinilai memiliki kecenderungan
memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan
patriarki. Oleh karena itu, apabila konsep kesetaraan gender ini diterima,
maka para feminis yang notabene ‘anti otoritas’, akan merasa berhak
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa mengikuti metodologi ulama-ulama
terdahulu sehingga akan terjadi dekonstruksi syariat Islam secara besar-
besaran guna meloloskan kepentingan misi kaum liberal. Kesetaraan gender
memang produk feminisme, dan feminisme adalah anak kandung liberalisme
yang memusuhi agama sebagaimana agama Kristen yang tersapu oleh
gelombang liberalisme di Barat.

Kedua, definisi gender sendiri masih bermasalah dan mengundang kontroversi


karena gender dalam keilmuwan Barat dibangun berdasarkan konstruk sosial
sehingga dapat berubah-ubah terkandung kondisi sosial dan budaya
masyarakat dan berbeda dengan jenis kelamin yang merupakan identitas
biologis seseorang. RUU KKG yang diusulkan sangat jelas mengadopsi tanpa
kritik konsep gender Barat. Dalam Ketentuan Umum Bab I Pasal I RUU KKG
Gender didefinisikan sebagai berikut , “Gender adalah pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan
menurut waktu, tempat dan budaya terntentu dari satu jenis kelamin ke jenis
kelamin lainnya.”
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 10
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

Definisi yang relativistik dan terlepas dari wahyu ini sangat berpotensi
menyuburkan praktek homoseksual sebagaimana yang terjadi dalam
masyarakat Barat. Islam memandang bahwa gender sangat dipengaruhi
dengan jenis kelamin karena tersebut sesuai dengan fitrah manusia. Peran
perempuan dan pria dalam ranah keluarga, masyarakat ataupun negara telah
diatur oleh Allah swt melalui wahyu yang tertuang dalam kita suci al-Quran
dan dijelaskan serta dipraktekan oleh Rasulullah saw serta para sahabat yang
merupakan generasi terbaik yang pernah hadir di dunia ini. Islam memiliki
konsep keadilan yang tidak harus selalu bermakna “kesetaraan” atau
persamaan. Konsep persamaan dalam ayat ayat al-Quran selalu berkaitan
dengan persoalan ketakwaan dan ilmu serta tidak memandang perbedaan
jenis kelamin. Allah swt telah berfirman dalam di Surat al- Hujurât ayat 13,
” .... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ketiga, konsep kesetaraan gender dipandang akan menghancurkan tatanan


keluarga karena para feminis berusaha menggugat institusi pernikahan,
keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan
melakukan perubahan radikal dalam berbagai aspek kehidupan, baik
ditingkat individu maupun bernegara. Hal tersebut bahkan diakui sendiri oleh
pihak Barat bahwa feminisme merupakan “isme” yang paling berbahaya di
dunia saat ini.

Feminism attracts little serious opposition in the developed world,


which is extraordinary given that it’s systematically and progressively
assaulting men, women, marriage, the family, government, the legal
system, the media, academia, capitalism and much else. It’s killing
men in large numbers through depriving them of employment. It’s
killing women, albeit in lesser numbers, by forcing them to go against
their natural instincts and rely on the world of work for their economic
survival. It’s a leading cause of misery and mental health problems in
both men and women, but mostly in women. It’s arguably the most
dangerous ‘ism’ in the developed world today, following the
widespread defeat of fascism and communism in the 20th century.
(Buchanan, 2013: 3 )
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 11
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

Worldview of Islam memandang institusi keluarga sebagai arena jihad untuk


mencapai ridha Allah SWT, sehingga peran laki-laki dan perempuan dalam
keluarga diatur sedemikian rupa, sesuai dengan fitrahnya masing-masing.
Faktor keikhlasan dan ketundukan pada syariat memang menjadi landasan
utama dalam membangun sebuah keluarga yang Islami. Islam adalah agama
pertengahan yang mengharamkan sikap berlebih-lebihan dalam berbagai hal.
Islam sangat memuliakan wanita walaupun ajaran Islam mengkonfirmasi hak
laki-laki untuk memimpin keluarganya.

Al-Qurthubi menukil pendapat Ibnu Abbas tentang tafsir Al-Baqarah : 228


yang berbunyi bahwa “Akan tetapi para suami mempunya tingkatan kelebihan
daripada istrinya”, bahwa tingkatan ini merupakan isyarat adanya anjuran
kepada seorang pria untuk mempergauli istri secara baik dan melapangkan
bagi istri dalam pemberian nafkah dan perilaku (moral), artinya dia adalah
yang lebih utama, maka seharusnya ia menanggung semua beban itu atas
dirinya. Menurut sebagaian ahli tafsir bahwa derajat kaum laki-laki
dilebihkan satu tingkat atas kaum wanita, adalah dalam hal qawamah
(kepemimpinan) dan tanggung jawab mengenai rumah tangga. Dengan
tanggung jawab ini, kaum laki-laki memiliki lebih banyak kewajiban yang
harus dipenuhi dari kaum wanita. (al-Qaradhawi, 2002 : 274). Hal tersebut
sudah tentu tidak sejalan dengan ideologi feminis yang menginginkan
persamaan dan kebebasan di semua aspek kehidupan, termasuk
kepemimpinan dalam rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan para Feminis
hanya mengukur keadilan dan kesetaraan dari indikator ekonomi dan
kemanusiaan (HAM) semata, tanpa mengaitkan dan menghubungannya
dengan nilai-nilai agama.

E. KESIMPULAN

Kaum Muslim tidak sedang menolak semua konsep yang datang dari luar
Islam. Namun jika hendak digunakan, konsep-konsep tersebut haruslah
terlebih dahulu melalui proses Islamisasi agar sesuai dengan pandangan
alam Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Namun sepertinya yang terjadi
saat ini justru kebalikannya. Wahyu dipaksa tunduk pada konsep dan
metodologi yang dikembangkan kaum feminis liberal sehingga konsep
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 12
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

kesetaraan gender yang tidak sesuai dengan worldview of Islam justru


diajukan sebagai RUU untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Perspektif atau framework kesetaraan gender pun direkomendasikan oleh
Departemen Agama untuk digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian-
penelitian studi Islam yang dibiayai oleh Pemerintah, padahal seharusnya
konsep gender inilah yang harusnya diukur, dianalisis dan ditimbang
berdasarkan framework atau perspektif Islam, bukan justru sebaliknya.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, umat Islam seharusnya


lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi agenda-agenda feminisme yang sering
kali disusupkan melalui program pemberdayaan perempuan. Kemunduran
yang dialami umat Islam saat ini tidak dapat diselesaikan dengan mengadopsi
mentah-mentah pemikiran Barat, apalagi dengan memaksakan syariat Islam
agar tunduk kepada pemikiran tersebut. Gerakan yang diperlukan untuk
mengatasi permasalahan perempuan adalah dengan kembali meneladani para
muslimah di jaman keemasan Islam, bukan malah menjiplak pemikiran dan
gaya hidup perempuan Barat yang kebablasan. Kajian-kajian perempuan
harus difokuskan pada upaya menggali warisan khazanah pemikiran Islam di
masa lalu, ketika para muslimah pada masa itu berhasil menjadi madrasah
pencetak para ulama sekaligus ilmuwan besar yang memiliki keluruhan
akhlak dan kekuatan iman. Suatu keberhasilan yang tidak akan pernah
dicapai gerakan feminis walau kelahirannya sudah lebih dari dua abad
berselang.
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 13
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

DAFTAR PUSTAKA

Al Qardhawy, Yusuf, Pengantar Kajian Islam ; Studi Analistik Komprehensif


tentang Pilar-Pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam,
Pustaka Al-Kaustar, Jakarta, 2003.

Beasley, Chris, What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory, Sage


Publications, NSW, 1999.

Dinar Dewi Kania, Isu Gender : Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal Islamia
Vol 3 No. 5 tahun 2010.

Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat


berperspektif Feminis, Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Depok, 2002.

Lips, Hilary M, A New Psychology of Women;Gender, Culture, and Ethnicity,


Second Edition, McGrawHill, New York, 2003

Maududi, Abul A’la, Al-Hijab, Gema Risalah Press, Cetakan Kedelapan,


Bandung, 1995.

McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society,
Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983.

Mike Buchanan, Feminisme The Ugly Truth (Sample Books), LPS Publishing,
2012.

Rowbotham, Sheila, Women in Movement: Feminism and social action,


Rountledge, New York, 1992.

Suki, Ali, et all (ed), Global Feminist Politics ; Identities in Changing World,
Routledge, New York, 2000.
THE CENTER FOR GENDER STUDIES (CGS) 14
Alamat: Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
No telp/fak : +62 21 794 0381
Email : redaksi@thisisgender.com Website http://thisisgender.com

Risalah Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Mentri Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak di Ruang Rapat Komisi VIII DPR RI
Gedung Nusantara II Lantai I, tanggal 16 Februari 2011.

Draft Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadialan Gender (RUU


KKG), 2011

Draft Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan


Gender (RUU KKG), 2011

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fdf37c0a18c0/ahli-hukum-
kritik-ruu-kesetaraan-gender diunduh 24 Desember 2013

http://www.dpr.go.id/id/berita/baleg/2014/sep/03/8640/pleno-baleg-
setujui-ruu-kesetaraan-gender diunduh 10 September 2014

Anda mungkin juga menyukai