Anda di halaman 1dari 46

Sarasehan Perempuan dan Politik

MENUMBUHKAN KESADARAN
KRITIS PEREMPUAN DALAM
PROSES DEMOKRASI

Oleh Damairia Pakpahan,


Magelang, 17 Juni 2008
Kesadaran/berpikir Kritis =
Pencerdasan
• Memahami dan menganalisa persoalan
yang ada serta mampu mengambil
tindakan penanganannya (aksi).
Perempuan (Orang dewasa) menjadi
subyek aktif (bukan obyek/target) dengan
kebebasan penuh mengambil keputusan
bagi dirinya. Kesadaran kritis ini berbeda
dengan kesadaran naif dan magis.
BIAS GENDER
• APAKAH KONSEP-KONSEP POLITIK
SEPERTI DEMOKRASI,
KEWARGANEGARAAN, dan
NASIONALISME KONSEP YANG
NETRAL???
• Konsep-konsep itu sangatlah bias gender.
• Hak-hak politik perempuan merupakan
hak asasi yang paling mendasar.
• Hak asasi manusia adalah bagian integral
dari demokrasi.
• Keterlibatan perempuan dan laki-laki
dalam proses pengambilan keputusan
adalah sebuah sine qua non (syarat
mutlak) di dalam demokrasi.
Perempuan: Hukum & Konvensi
• Hak perempuan Indonesia tertulis dengan jelas dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Bab X, Ayat 27
menyatakan bahwa “Semua warganegara adalah sama
di hadapan hukum dan pemerintah”
• Indonesia juga telah meratifikasi beberapa dokumen
internasional berkaitan dengan perempuan seperti
Konvensi ILO tentang Upah No. 100 (1951/Law
No.80/57) mengenai upah yang sama untuk pekerjaan
yang sama, Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik
Perempuan (Law No.68/1968), CEDAW (Law
No.7/1984), Konvensi PBB Menghilangkan Diskriminasi
terhadap Perempuan (1990).
Perempuan dan Kursi DPR RI 1999
& 2004
16 parpol yang berhasil meraih kursi DPR.
• Partai Golkar menghasilkan legislator perempuan
terbanyak -17 orang dari128 kursi yang diraih th 2004.
Angka itu meningkat 2% dibanding pemilu 1999 lalu
yaitu16 orang, atau 16,6% dari 120 kursi.
• PAN , Pemilu 1999 – 34 kursi – perempuan 1 (2,9%).
Pemilu 2004 - 53 kursi – perempuan 6 (11,3%)
• PPP, jumlah dan persentase perempuan tetap stabil
seperti pada Pemilu 1999 lalu.
• PKB, Pemilu 1999 – 51 kursi – perempuan 3 (5,9%).
Pemilu 2004 - 52 kursi, - perempuan 7 (13,5%)
• PDI Perjuangan, Pemilu 1999 - 153 kursi – perempuan 16
(10,5%). Pemilu 2004 -109 kursi- perempuan 13 (11,9%).
• PKS, Pemilu 1999 – 7 kursi - perempuan 1 (14,35).
Pemilu 2004 - 45 kursi - perempuan 3 (6,7%).
• PDS mendapat 3 legislator perempuan atau 23,1% dari
13 kursi yang diraihnya.
• Pemilu 2004 ini ada masih ada tujuh partai yang belum
menghasilkan anggota DPR perempuan: PBB, Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK); PNI
Marhaenisme, Partai Pelopor; Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI); Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB) pimpinan R Hartono; dan Partai Penegak
Demokrasi Indonesia (PPDI).
Sejarah Perempuan dan Politik
• Dalam sejarah Nusantara (untunglah kita memiliki
bahasa yang netral gender tidak seperti bahasa Inggris
yang bias gender – sejarah adalah history karenanya
kaum feminis menggantinya menjadi herstory – kisah
perempuan), telah muncul para ratu pemimpin kerajaan
mulai dari jaman Hindu seperti Ratu Shima, Tribuana
Tungga Dewi juga para Sultanat Aceh dan kemudian
pahlawan perempuan yang mengangkat senjata
melawan Belanda mulai dari Cut Nyak Dien, Cut Meuthia
dari Aceh, Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah, Kristina
Martha Tiahahu dari Ambon. Penting untuk dicermati
bahwa para perempuan ini adalah elit pada komunitas
mereka yang diperoleh karena keturunan/darah, dan
perkawinan, mereka bukan rakyat biasa.
Kartini, Dewi Sartika, Maria
Walanda, Roehana
• Pada periode modern, kita tahu muncul Kartini,
dan juga ada Dewi Sartika di Jawa Barat, ada
Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara yang
bahkan lebih mendahului Kartini soal pendidikan
perempuan, dan di Sumatera Barat ada
Roehana Koeddoes yang aktif mendirian
sekolah untuk anak perempuan dan seorang
jurnalis handal dan mendirikan koran Soenting
Melajoe. (Fitriyanti 2001, 95-98).
Organisasi Perempuan Modern
Sejarah telah mencatat bahwa organisasi modern perempuan pertama
adalah Poetri Mahardhika yang berdiri tahun 1912 dan juga
kemudian adanya Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta
pada tahun 1928 yang kemudian dijadikan hari Ibu yang bagi
sebagian aktivis perempuan lebih memilih untuk mengatakannya
sebagai hari gerakan perempuan Indonesia.
Menurut Saskia Wieringa (1995, 58) pada dekade 1920an untuk
pertama kalinyalah perempuan Indonesia memobilisasi seputar
kepentingan gender. Mereka mengangkat isu-isu sosial-budaya dan
mengorganisir diri dalam basis agama atau wilayah serta di dalam
berbagai gerakan politik. Sekolah untuk perempuan dan penerbitan
dipublikasikan serta aksi-aksi atas nama buruh perempuan dan
perempuan yang dilacurkan dilakukan.
Diluar organisasi perempuan, ada juga ribuan perempuan yang aktif di
gerakan sosialis-komunis, Sarekat Rakyat – sayap merah dari
Sarekat Islam seperti Raden Sukesih dan Munapsiah yang pernah
dibuang sampai ke Boven Digul (Wieringa 1995, 61
Dinamika Kongres Perempuan dan
Isteri Sedar
• Kongres perempuan pertama ini diilhami oleh kongres pemuda
kedua (Ohorella et.al. 1992, 19), akan tetapi kongres ini tidak
menyebutkan dengan tegas sikap nasionalisme Indonesia.
• Karena hal ini, Sukarno muda yang ketika itu sudah menjadi ketua
Partai Nasionalis Indonesia, kecewa dan mengkritik Kongres
Perempuan I. Dalam suatu rapat dengan para perempuan
nasionalis di Bandung tahun 1929 - yang diketuai oleh Suwarni
Pringgodigdo kemudian menjadi Djojoseputro, setahun kemudian ia
mendirikan Isteri Sedar – “Sukarno muda” dengan sesumbar
mengatakan sikapnya yang anti poligami dan menyerukan agar
para perempuan menyokong perjuangan nasional. (Wieringa 1999,
123). Organisasi Isteri Sedar dianggap sebagai organisasi
perempuan yang paling nasionalis dan pejuang yang gigih dan
radikal dalam melawan poligami sebelum tahun 1942. Organisasi ini
mengikuti garis non-kooperasi dalam berhubungan dengan
pemerintah kolonial (Wieringa 1995, 74).
Mardi Wanita – SK Trimurti
• Mardi Wanita (1933) adalah organisasi perempuan
lainnya yang punya sikap tegas bahkan dianggap paling
radikal dalam sikap yang berkaitan dengan nasionalisme
Indonesia. Organisasi ini punya kaitan erat dengan
Partindo. Mereka terkena larangan mengadakan rapat.
Ketuanya Sri Panggihan pernah dipenjara selama 50
hari karena menyelenggarakan rapat di sawah. Demikian
pula SK Trimurti, aktivis Mardi Wanita lainnya pun
pernah dipenjarakan. Pemerintah kolonial membubarkan
Mardi Wanita dan Partindo pada tahun 1936. (Wieringa
1995, 74).
Kongres Perempuan Indonesia dan
Hak Pilih
• Dalam Kongres di Semarang tahun 1941,
sebagai kongres terakhir sebelum pendudukan
Jepang. Kongres mendeklarasikan mendukung
penuh tuntutan GAPI: Indonesia membutuhkan
parlemennya sendiri dan hak untuk menyiapkan
diri secara militer akan datangnya perang.
Perempuan Indonesia harus memiliki hak pilih
penuh dan bahasa Indonesia harus diajarkan di
sekolah menengah (Wieringa 1995, 83).
Masa Kemerdekaan – Perempuan
adalah Founders dari Republik
Indonesia
• Kita tahu bahwa dalam kemerdekaan Indonesia
perempuan terlibat aktif sebagai founders (jangan sebut
lagi founding fathers yang sangat bias gender namun
gantilah menjadi founders karena ada SK Trimurti, Maria
Ulfah Soebadio yang memberikan diri mereka untuk
proklamasi).
• Setelah kemerdekaan pun perempuan terlibat aktif dalam
mengisi kemerdekaan melalui berbagai organisasi
perempuan dan juga bidang pekerjaan lainnya. Sejarah
mencatat bahwa ketika Sukarno mempraktikkan
poligami, terjadi konflik antara Sukarno dengan gerakan
perempuan dan di dalam gerakan perempuan sendiri.
Dan kemudian ketika terjadi pergantian rejim, salah satu
organisasi perempuan terbesar dalam sejarah Gerwani
dihancurkan oleh rejim militer.
Sejarah Perempuan Berpolitik di
Ruang Publik – Masa Soekarno
• Pada pemilihan umum tahun 1955, pada masa
Orde Lama, jumlah perempuan di DPR
mencapai 17 orang, empat diantaranya dari
organisasi Gerwani dan lima dari Muslimat NU.
• Pemilihan umum pertama dinilai sebagai
demokratis, dengan partisipasi perempuan
dalam politik didasarkan pada kemampuan
mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang
ada dalam organisasi-organisasi partai.
Masa Soeharto
• Masa Orde Baru (era Soeharto) terjadi pemilihan
umum dari tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997 (6 kali) dengan konsep partai
mayoritas tunggal, representasi perempuan
dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-
institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para
pemimpin partai di tingkat pusat, sejumlah
tertentu elit.
• Akibatnya, sebagian perempuan yang
menempati posisi penting memiliki hubungan
keluarga/ kekerabatan dengan para pejabat dan
pemegang kekuasaan di tingkat pusat.
KETIDAKADILAN
GENDER
Bentuk, posisi, kondisi, atau sifat
yang memperlakukan pola hubungan
yang tidak adil atau diskriminatif
berdasarkan jenis kelamin yang sering
kali terkait dengan kelas sosial,
agama/kepercayaan, kelompok
budaya, aliran politik, bentuk tubuh,
usia dan suku bangsa.
BENTUK-BENTUK
KETIDAKADILAN GENDER
SUBORDINASI
Sebuah posisi atau peran yang merendahkan nilai peran yang
lain

Contoh:
• Masih sedikitnya perempuan yang bekerja dalam peran
pengambil keputusan dan menduduki peran penentu
kebijakan
• Adanya status perempuan sebagai jenis kelamin
yang lebih rendah dibandingkan laki-laki
• Pekerjaan reproduktif hanya merupakan tanggung
jawab perempuan
• Kontribusi perempuan, yang umumnya melakukan
pekerjaan domestik, pengasuhan anak, pekerjaan
rumah tangga, pertanian subsisten, pekerjaan
pengelolaan komunitas dan pekerjaan-pekerjaan
sektor informal dianggap rendah sehingga tidak
diperhitungkan dalam penghitungan Produk
Domestik Bruto
MARJINALISASI
Peminggiran peran ekonomi dan politik perempuan (dan
laki-laki) yang mengakibatkan proses pemiskinan
terhadap mereka
Contoh:
• Kerja perempuan dalam rumah tangga tidak
dinilai/diperhitungkan
• Perempuan tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber
daya ekonomi dan politik. Kalaupun memiliki akses, perempuan
tidak memiliki kontrol terhadap sumber daya tersebut
• Untuk pekerjaan yang sama perempuan mendapatkan upah yang
lebih rendah dari laki-laki.
• Perempuan tidak memiliki kesempatan yang luas dalam
mengembangkan karir karena keterbatasan waktu maupun
kurang mendapatkan dukungan dari suami
• Perempuan tidak mendapatkan dorongan atau setidaknya
kebebasan kultural dan politik untuk memilih kariernya dan
mendapatkan sanksi sosial jika dianggap kurang dalam
melakukan pekerjaan domestik
• Perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama masuk
ke lapangan pekerjaan apapun dan dimanapun karena
dibatasi oleh kemampuan reproduksinya
• Laki-laki miskin – kulit hitam disubordinasi
oleh perempuan kaya –kulit putih – kasus
di Afrika Selatan ketika masa apartheid
• Perempuan tidak setara dengan laki-laki di
depan hukum dalam hal memperoleh
waris, harta gono gini dan pengajuan cerai
apabila mendapat perlakuan tidak adil dari
suami
Feminisasi Kemiskinan
• Proses memiskinkan perempuan baik secara
politik, sosial maupun ekonomi. Feminisasi
kemiskinan berkaitan erat dengan proses
marjinalisasi (peminggiran) karena proses-
proses pembangunan yang tidak berpihak pada
rakyat miskin khususnya perempuan.

• Misalnya perempuan tidak mendapatkan akses


pekerjaan yang layak sehingga perempuan
rentan menjadi korban trafficking atau penipuan
kerja di dalam maupun di luar negeri.
BEBAN GANDA
Masuknya perempuan di sektor publik tidak senantiasa
diiringi dengan berkurangnya beban mereka di dalam
rumah tangga.

Contoh:
• Walau perempuan bekerja mencari nafkah tetapi peran dan
tanggung jawab reproduksi dan domestik berupa pemeliharaan
dan pengasuhan anak serta pekerjaan rumah tangga lainnya
tetap ditangan perempuan
• Di tempat kerja menjalankan peran produksi/publik dirumah
menjalankan peran reproduksi/domestik
• Di komunitas menjalankan peran pengelolaan komunitas
• Laki-laki di Aceh setelah tsunami mengalami
perubahan peran gender karena kehilangan istri.
Mereka harus melakukan kerja-kerja domestik
selain kerja produktif dan komunitas.
• Laki-laki yang berperan sebagai orangtua
tunggal (walaupun kebanyakan dapat
mengalihkan tanggung jawab pada keluarga
perempuan atau saudara perempuan mereka).
KEKERASAN BERBASIS GENDER

• Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan


laki-laki. Pembedaan karakter sering memunculkan tindakan
kekerasan. Bentuk kekerasan antara lain berupa tindakan
kekerasan fisik, kekerasan psikologis (emosional), kekerasan
seksual, pengabaian ekonomi atau kekerasan lainnya.

• Pelaku kekerasan bukan hanya individu, tetapi juga dilakukan


oleh institusi keluarga, masyarakat bahkan negara.
Kekerasan terhadap perempuan dalam pembangunan
seringkali berwujud pengabaian hak-hak mereka yang
disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan yang bias gender
• Penculikan anak laki-laki untuk dijadikan
tentara (kasus Rwanda).
• Perkosaan/kekerasan seksual yang
dilakukan oleh tentara laki-laki Amerika di
Guantanamo terhadap tahanan laki-laki
yang diduga teroris.
STERIOTIPE/PELABELAN
Pemberian label atau cap yang dikenakan kepada seseorang
sehingga menimbulkan anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam hubungan sosial dan
seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan sebuah
tindakan dari satu kelompok ke kelompok lainnya atau didasari
pada perbedaan kelas, ras, suku budaya, suku bangsa maupun
jenis kelamin.

Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kuasa yang tidak


seimbang. Pada umumnya pihak yang lebih kuat atau dominan
dapat lebih punya daya dalam membangun steriotipe pihak
lainnya
Contoh:
• Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dibayar sebagai
pekerja lajang dengan anggapan setiap perempuan adalah
pencari nafkah tambahan meskipun secara de facto harus
menafkahi keluarga
• Perempuan sebagai pekerja reproduktif dan pengelolaan
komunitas
• Sempitnya kesempatan kerja dimanapun dan kapanpun, karena
anggapan bahwa perempuan lemah dan tidak berdaya sehingga
banyak halangan dalam bekerja.
• Anggapan bahwa perempuan penurut, tidak berani protes
sehingga diminati sebagai pekerja menjadi buruh karena pasti
mau dibayar lebih murah.
• Laki-laki tidak boleh menangis dan dianggap
cengeng seperti perempuan bila menangis
• Karena dianggap sebagai pencari nafkah utama,
laki-laki yang berperan dalam kerja domestik
atau bekerja di rumah dianggap bukan laki-laki
yang bertanggungjawab dan sering gunjingan
tetangga
• Belis (mahar) sering membebani keluarga laki-
laki
Trafiking (perdagangan orang)
• Sasaran utama trafiking adalah perempuan dan
anak-anak. Hal ini didasarkan pada stereotipe
perempuan yang lemah, penurut, tidak banyak
menuntut, dan anggapan bahwa memang tugas
perempuan untuk melayani laki-laki (menjadi
orang/anak yang dilacurkan). Dalam konteks
trafiking, perempuan dan anak-anak
dipekerjakan di dalam keluarga sebagai pekerja
rumah tangga, penjaga toko, di pabrik-pabrik
sebagai buruh dan bahkan sebagai orang/anak
yang dilacurkan.
Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi
Busuk/GNTPPB (2004-2008)
• Ada kriteria-kriteria lainnya, namun dalam konteks ini dipilih tentang
Kekerasan Terhadap Perempuan yang ditentang oleh kelompok-
kelompok konservatif.

Kriteria Operasional
• Mereka yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
atau mendukung, membiarkan berlangsungnya KDRT. Seperti
menganiaya isteri, anak, atau pekerja rumah tangga/PRT
(kekerasan fisik) menelantarkan isteri dan anak-anak (kekerasan
ekonomi), memaksa berhubungan seks tanpa kehendak isteri
(kekerasan seksual). Termasuk KDRT adalah melakukan
kekerasan dalam bentuk poligami.
• Melakukan tindak kekerasan seksual atau mendukung, membiarkan
atau bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan, seperti
perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan bentuk-bentuk
tindakan lainnya yang menyerang integritas tubuh dan seksual
perempuan.
• Melakukan kekerasan ekonomi terhadap perempuan seperti
menggusur rumah/lahan pekerjaan perempuan, tidak membayar
upah yang layak sesuai kerja mereka, PHK sewenang-wenang dan
tindakan lainnya yang meminggirkan perempuan secara ekonomi
yang berdampak pada kemiskinan terhadap perempuan atau
menghilangkan sama sekali akses dan kontrol mereka terhadap
sumber-sumber ekonomi.
• Melakukan, mendukung, membiarkan, bertanggung jawab atau
menarik keuntungan dari perdagangan perempuan dan anak.
Seperti membuat perempuan dan anak terjerat ke dalam pelacuran
atau kerja eksploitatif/perbudakan di pabrik, menjadikan perempuan
dan anak sebagai TKW tanpa perlindungan kerja serta bentuk-
bentuk tindakan lainnya, mulai dari merekrut, menampung,
mengirim, dan memulangkan ke daerah asalnya.
• GNTPPB belum memasukkan dengan jelas tentang:
– pengabaian hak ekonomi terhadap Pekerja Rumah Tangga
(bagaimana para caleg dalam mempekerjakan PRT)
– kekerasan terhadap perempuan oleh negara (state violence) –
seperti yang pernah/sedang terjadi di Timor Leste, Aceh, Papua,
Mei 1998.
– Perlu ditracking, politisi yang punya sejarah mendiskriminasi
orang karena suku, agama dan kepercayaan, ras/warna kulit,
pandangan/ideologi politik, orang dengan kemampuan berbeda
(diffable). Soal ini bisa dikaitkan dengan pelanggaran ham,
bukankah mendiskriminasi merupakan pelanggaran ham?
Perempuan Pilih Perempuan yang
Bagaimana?
• Tindakan affirmative yang dipraktikkan dengan kuota
30% penting dan memang harus diperjuangkan.
• Namun motto perempuan memilih politisi perempuan
jelas dipakai juga oleh prostatus-quo. Dalam konteks
2004, Golkar dengan Nurul Arifin, Tutut dengan Partai
Karya Peduli Bangsa, para pejabat lama yang berjuang
muncul dalam pemilihan DPD. Seolah-olah perempuan
sama dan satu, tidak ada perbedaan. Ini mengaburkan
adanya perbedaan dalam kelas sosial, sejarah politik
termasuk kepentingan politik yang berbeda: yang satu
prostatus-quo yang menginginkan Indonesia kembali ke
masa represif-militeristik yang komunistophobi,
homophobi, yang Ibuisme negara dengan Panca
Dharma Wanita dan PKK yang tidak demokratis/egaliter.
Agenda Reformasi 1998: Kerangka
Politik Indonesia Baru
Menurut Fadjroel Rachman (Kompas, Selasa 13 Mei 2008)
bahwa agenda reformasi telah gagal secara sistemik
(1) Mengadili KKN Soeharto, keluarga, dan kroni (paling
hanya mampu menyeret Tommy Soeharto dan Bob
Hasan ke Nusa Kambangan pada masa pemerintahan
Gus Dur);
(2) Mengadili pelanggaran HAM berat dari mulai peristiwa
1965, Timor TImur, Aceh, Papua, Tanjung Priok,
Talangsari, 27 Juli 1996, hingga Trisakti, 13-14 Mei,
Semanggi I dan II (kita tahu Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi gagal dibentuk – ini adalah cermin masih
kuatnya Orbaisme – juga misalnya sudah sepuluh tahun
berlalu tapi jaksa belum menyidik kerusuhan Mei 1998
bahkan sebagian berkas pencari fakta lenyap!);
(3) Mencabut dwi fungsi ABRI dan praktiknya di
politik, bisnis dan territorial;
(4) Membubarkan atau menegakkan hukum
lustrasi terhadap lembaga Negara dan individu
dari partai politik Orba antidemokrasi (kita tahu
Golkar masih kuat bercokol bersama kelompok
Islam garis keras setiap tahun
mengkampanyekan anti komunis baik dengan
cara memasang spanduk maupun dengan cara
kekerasan);
(5) Amandemen total dan progresif dari UUD 1945
menjadi konstitusi demokratis.
Reformasi Separuh Hati

• Kita juga tahu memang telah terjadi sebagian perubahan


seperti misalnya adanya pemilihan langsung untuk
bupati, gubernur dan presiden. Masyarakat boleh
mendirikan partai baru bahkan dapat mendirikan partai
lokal. Ada perempuan-perempuan yang menjadi Bupati
(seperti Rustriningsih yang menjadi Bupati perempuan
pertama di Indonesia tahun 2000 di Kebumen dan Bupati
perempuan lainnya yang sayangnya masih orang
Golkar) dan sudah ada yang menjadi Gubernur di
Banten yaitu Ratu Atut Chosiyah.
Ada perubahan
• Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga
mulai dikikis dengan dihapusnya kebijakan
seperti Instruksi Presiden Nomor 14/1967
yang melarang orang Cina melaksanakan
ibadah dan adat istiadatnya di muka
umum oleh Gus Dur. Sudah ada Bupati
etnis Tionghoa yaitu Basuki Tjahaja
Purnama yang terpilih sebagai Bupati
Belitung Timur pada tahun 2005.
Media Relatif Bebas
• Pemberangusan media boleh dibilang menurun
drastis. Media massa menjamur baik cetak
maupun elektronik. Walau kita juga tahu ketika
Soeharto meninggal, kita melihat bahwa media
elektronik masih memuja-mujanya sebagai
pahlawan. Seniman memang sekarang bebas
berekspresi namun kita juga tahu bahwa politik
identitas menguat dan formalisasi agama juga
berhadapan dengan kebebasan berpikir dan
berekspresi (Undang-Undang Anti Pornografi
dan Pornoaksi).
Soal PKI? Dan Komisi-Komisi
• Memang Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal
60 huruf g Undang-Undang Nomor 12/2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
sehingga bekas anggota Partai Komunis Indonesia dan
keturunannya dapat mencalonkan dan dipilih, contohnya
Ribka Tjiptaning Proletariyati, putri seorang aktivis PKI di
Solo menjadi anggota DPR RI.
• Reformasi juga melahirkan 64 komisi dibawah eksekutif
dan 12 komisi independen seperti Komisi Yudisial,
Komisi Hukum Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi
Kepolisian Negara. Komisi ini sebagian dibentuk untuk
pengawasan internal lembaga tertentu tapi banyak pihak
menilai belum efektif dan sering membuat ruwet
pengelolaan birokrasi.
Otonomi Daerah
• Otonomi daerah dan Desentralisasi juga telah membuat
anggaran pendapatan dan belanja daerah bisa
membengkak menjadi tiga atau empat kali lipat namun
anggaran besar ini tidak serta merta mengangkat
kesejahteraan rakyat. Selain kita melihat juga perda-
perda yang dihasilkan selain untuk menaikkan
pendapatan daerah juga perda-perda yang bertentangan
dengan Konstitusi dan Konvensi Anti Diskriminasi
Terhadap Perempuan (CEDAW) yaitu perda-perda
formalisasi agama seperti pengharusan perempuan
dengan dress-code tertentu dan juga pemberlakuan jam
malam buat perempuan.
• Dan tentu saja, Soeharto gagal disidangkan secara
pidana karena keburu meninggal bulan Januari lalu.
Soeharto seolah dibiarkan lolos dengan berlalunya
waktu. Pihak Kejaksaaan Agung memang masih ada
upaya untuk mengadilinya dalam perkara perdata. Kita
juga tahu dalam soal kebebasan beragama, pihak garis
keras lenggang kangkung, bisa membakari kelompok
minoritas seperti Ahmadiyah atau beberapa waktu lalu
dan beberapa kali pernah melarang orang Kristen
beribadat atau mengusirnya dari kampung dan menutup
jalan. Mereka baru ditangkap pasca 1 Juni setelah terjadi
pembiaran selama bertahun-tahun atas aksi kekerasan
yang dilakukan.
• Selain kasus pelanggaran hak asasi manusia di atas,
kasus Munir masih menjadi dark number case, dan
memang militerisme masih kuat di Indonesia. Komnas Ham
memanggil para petinggi militer dianggap tidak sopan dan
arogan. Padahal para petinggi militer inilah yang
memegang kendali kuasa ketika masa itu. Merekalah
musuh dari demokrasi.
• Yang kita hadapi sekarang juga adalah harga-harga bahan
pokok dan BBM yang naik, sudah tiga kali SBY-JK
menaikkan harga BBM selama masa pemerintahan
mereka. Situasi ini menimbulkan kerinduan akan masa Pak
Harto yang harganya stabil dan lebih gampang hidup. Ini
seperti orang tua yang ingin kembali ke jaman normal atau
kolonial. Sikap yang ingin mengembalikan statusquo, asal
kenyang dan enak, diinjak atau ditindas pun tidak apa-apa.
Penutup - Refleksi
• Dengan berkaca secara kritis pada situasi maka
kita harus menatap masa depan (memilih –
menggunakan hak politik) dengan cerdas-kritis
dan berhitung cermat dan praktis seperti siapa
atau partai mana yang memastikan anggaran
pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan
ekonomi kerakyatan (anti hutang –anti
kapitalisme) yang jelas dan besar alokasi
anggarannya untuk kepentingan rakyat kecil
(dan pro perempuan).
• Juga dengan memegang prinsip-prinsip keadilan
(anti KKN), kesetaraan, demokrasi (bukan
semata yang prosedural), penegakan hukum
(bukan hanya formalitasnya tapi hukum yang
substantif dan menjadi bagian dari penegakan
hak asasi manusia dan sesuai dengan
Konstitusi), berkomitmen pada lingkungan hidup
yang hijau, nir kekerasan serta non-diskriminatif
untuk menciptakan Indonesia yang setara-adil,
makmur-sejahtera, damai-berbeda dan
beragam/pluralis.

Anda mungkin juga menyukai