MENUMBUHKAN KESADARAN
KRITIS PEREMPUAN DALAM
PROSES DEMOKRASI
Contoh:
• Masih sedikitnya perempuan yang bekerja dalam peran
pengambil keputusan dan menduduki peran penentu
kebijakan
• Adanya status perempuan sebagai jenis kelamin
yang lebih rendah dibandingkan laki-laki
• Pekerjaan reproduktif hanya merupakan tanggung
jawab perempuan
• Kontribusi perempuan, yang umumnya melakukan
pekerjaan domestik, pengasuhan anak, pekerjaan
rumah tangga, pertanian subsisten, pekerjaan
pengelolaan komunitas dan pekerjaan-pekerjaan
sektor informal dianggap rendah sehingga tidak
diperhitungkan dalam penghitungan Produk
Domestik Bruto
MARJINALISASI
Peminggiran peran ekonomi dan politik perempuan (dan
laki-laki) yang mengakibatkan proses pemiskinan
terhadap mereka
Contoh:
• Kerja perempuan dalam rumah tangga tidak
dinilai/diperhitungkan
• Perempuan tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber
daya ekonomi dan politik. Kalaupun memiliki akses, perempuan
tidak memiliki kontrol terhadap sumber daya tersebut
• Untuk pekerjaan yang sama perempuan mendapatkan upah yang
lebih rendah dari laki-laki.
• Perempuan tidak memiliki kesempatan yang luas dalam
mengembangkan karir karena keterbatasan waktu maupun
kurang mendapatkan dukungan dari suami
• Perempuan tidak mendapatkan dorongan atau setidaknya
kebebasan kultural dan politik untuk memilih kariernya dan
mendapatkan sanksi sosial jika dianggap kurang dalam
melakukan pekerjaan domestik
• Perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama masuk
ke lapangan pekerjaan apapun dan dimanapun karena
dibatasi oleh kemampuan reproduksinya
• Laki-laki miskin – kulit hitam disubordinasi
oleh perempuan kaya –kulit putih – kasus
di Afrika Selatan ketika masa apartheid
• Perempuan tidak setara dengan laki-laki di
depan hukum dalam hal memperoleh
waris, harta gono gini dan pengajuan cerai
apabila mendapat perlakuan tidak adil dari
suami
Feminisasi Kemiskinan
• Proses memiskinkan perempuan baik secara
politik, sosial maupun ekonomi. Feminisasi
kemiskinan berkaitan erat dengan proses
marjinalisasi (peminggiran) karena proses-
proses pembangunan yang tidak berpihak pada
rakyat miskin khususnya perempuan.
Contoh:
• Walau perempuan bekerja mencari nafkah tetapi peran dan
tanggung jawab reproduksi dan domestik berupa pemeliharaan
dan pengasuhan anak serta pekerjaan rumah tangga lainnya
tetap ditangan perempuan
• Di tempat kerja menjalankan peran produksi/publik dirumah
menjalankan peran reproduksi/domestik
• Di komunitas menjalankan peran pengelolaan komunitas
• Laki-laki di Aceh setelah tsunami mengalami
perubahan peran gender karena kehilangan istri.
Mereka harus melakukan kerja-kerja domestik
selain kerja produktif dan komunitas.
• Laki-laki yang berperan sebagai orangtua
tunggal (walaupun kebanyakan dapat
mengalihkan tanggung jawab pada keluarga
perempuan atau saudara perempuan mereka).
KEKERASAN BERBASIS GENDER
Kriteria Operasional
• Mereka yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
atau mendukung, membiarkan berlangsungnya KDRT. Seperti
menganiaya isteri, anak, atau pekerja rumah tangga/PRT
(kekerasan fisik) menelantarkan isteri dan anak-anak (kekerasan
ekonomi), memaksa berhubungan seks tanpa kehendak isteri
(kekerasan seksual). Termasuk KDRT adalah melakukan
kekerasan dalam bentuk poligami.
• Melakukan tindak kekerasan seksual atau mendukung, membiarkan
atau bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan, seperti
perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, dan bentuk-bentuk
tindakan lainnya yang menyerang integritas tubuh dan seksual
perempuan.
• Melakukan kekerasan ekonomi terhadap perempuan seperti
menggusur rumah/lahan pekerjaan perempuan, tidak membayar
upah yang layak sesuai kerja mereka, PHK sewenang-wenang dan
tindakan lainnya yang meminggirkan perempuan secara ekonomi
yang berdampak pada kemiskinan terhadap perempuan atau
menghilangkan sama sekali akses dan kontrol mereka terhadap
sumber-sumber ekonomi.
• Melakukan, mendukung, membiarkan, bertanggung jawab atau
menarik keuntungan dari perdagangan perempuan dan anak.
Seperti membuat perempuan dan anak terjerat ke dalam pelacuran
atau kerja eksploitatif/perbudakan di pabrik, menjadikan perempuan
dan anak sebagai TKW tanpa perlindungan kerja serta bentuk-
bentuk tindakan lainnya, mulai dari merekrut, menampung,
mengirim, dan memulangkan ke daerah asalnya.
• GNTPPB belum memasukkan dengan jelas tentang:
– pengabaian hak ekonomi terhadap Pekerja Rumah Tangga
(bagaimana para caleg dalam mempekerjakan PRT)
– kekerasan terhadap perempuan oleh negara (state violence) –
seperti yang pernah/sedang terjadi di Timor Leste, Aceh, Papua,
Mei 1998.
– Perlu ditracking, politisi yang punya sejarah mendiskriminasi
orang karena suku, agama dan kepercayaan, ras/warna kulit,
pandangan/ideologi politik, orang dengan kemampuan berbeda
(diffable). Soal ini bisa dikaitkan dengan pelanggaran ham,
bukankah mendiskriminasi merupakan pelanggaran ham?
Perempuan Pilih Perempuan yang
Bagaimana?
• Tindakan affirmative yang dipraktikkan dengan kuota
30% penting dan memang harus diperjuangkan.
• Namun motto perempuan memilih politisi perempuan
jelas dipakai juga oleh prostatus-quo. Dalam konteks
2004, Golkar dengan Nurul Arifin, Tutut dengan Partai
Karya Peduli Bangsa, para pejabat lama yang berjuang
muncul dalam pemilihan DPD. Seolah-olah perempuan
sama dan satu, tidak ada perbedaan. Ini mengaburkan
adanya perbedaan dalam kelas sosial, sejarah politik
termasuk kepentingan politik yang berbeda: yang satu
prostatus-quo yang menginginkan Indonesia kembali ke
masa represif-militeristik yang komunistophobi,
homophobi, yang Ibuisme negara dengan Panca
Dharma Wanita dan PKK yang tidak demokratis/egaliter.
Agenda Reformasi 1998: Kerangka
Politik Indonesia Baru
Menurut Fadjroel Rachman (Kompas, Selasa 13 Mei 2008)
bahwa agenda reformasi telah gagal secara sistemik
(1) Mengadili KKN Soeharto, keluarga, dan kroni (paling
hanya mampu menyeret Tommy Soeharto dan Bob
Hasan ke Nusa Kambangan pada masa pemerintahan
Gus Dur);
(2) Mengadili pelanggaran HAM berat dari mulai peristiwa
1965, Timor TImur, Aceh, Papua, Tanjung Priok,
Talangsari, 27 Juli 1996, hingga Trisakti, 13-14 Mei,
Semanggi I dan II (kita tahu Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi gagal dibentuk – ini adalah cermin masih
kuatnya Orbaisme – juga misalnya sudah sepuluh tahun
berlalu tapi jaksa belum menyidik kerusuhan Mei 1998
bahkan sebagian berkas pencari fakta lenyap!);
(3) Mencabut dwi fungsi ABRI dan praktiknya di
politik, bisnis dan territorial;
(4) Membubarkan atau menegakkan hukum
lustrasi terhadap lembaga Negara dan individu
dari partai politik Orba antidemokrasi (kita tahu
Golkar masih kuat bercokol bersama kelompok
Islam garis keras setiap tahun
mengkampanyekan anti komunis baik dengan
cara memasang spanduk maupun dengan cara
kekerasan);
(5) Amandemen total dan progresif dari UUD 1945
menjadi konstitusi demokratis.
Reformasi Separuh Hati