Anda di halaman 1dari 4

Nama : Hardianti Nursyahfitriani

NIM : 20210410534
Jurusan : Manajemen
Kelas : L
Mata Kuliah : Manajemen Sumber Daya Manusia
Tugas

Dinamika Lembaga/Organisasi Perempuan dan Kontribusinya


Perempuan telah memiliki peran yang cukup besar dalam mencapai kemerdekaan
Indonesia.Salah satu bukti bangkitnya perempuan Indonesia adalah ketika Kongres
Perempuan pertama kali diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928.Kesempatan
perempuan untuk menjajaki ranah publik sebenarnya semakin terbuka lebar akibat
munculnya semangat untuk mendorong kesetaraan gender dari organisasi internasional dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB).Hal tersebut ditegaskan dalam Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau CEDAW yang ditetapkan pada 18
Desember 1979.Selanjutnya,Indonesia meratifikasi konvensi tersebut kedalam Undang-
Undang No.7 tahun 1984 sebagai penegasan agar terwujudnya persamaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan di Indonesia dengan menghapus praktek diskriminasi yang
menghambat kemajuan perempuan.
Gerakan sosial sejak sebelum reformasi hingga kini tidak dapat melepaskan peran besar
gerakan perempuan. Apa yang disebut “people power” atau kekuatan rakyat pada waktu itu
tidak hanya narasi yang menggambarkan tentang “massa yang berkumpul”, melainkan
masyarakat baik kelompok, individu, akademisi, aktivis, ikut mengambil peran. Kelompok
perempuan pada waktu itu menjadi bagian penting dalam Gerakan Sosial dalam narasi besar
tentang “people power” tersebut. Baik dalam hal menyuarakan kepentingan perempuan
dalam krisis ekonomi dan politik, maupun dalam gagasan tentang reformasi yang penting
untuk melibatkan perempuan. Selain Suara Ibu Peduli, sebenarnya terdapat gerakan-gerakan
yang tak tampak diliput oleh media, diantaranya pembentukan Women Crisis di berbagai
daerah, terutama sejak terjadinya perkosaan massal dalam Tragedi Mei ‘98. Gerakan Sosial
diantaranya pembentukan Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga diperankan oleh para
perempuan, termasuk dalam Tim Gabungan Pencari Fakta, dalam tiga tragedi bangsa pada
waktu itu, yaitu kerusuhan Mei ‘98, penculikan dan penghilangan paksa, serta penembakan
mahasiswa Trisakti dan Semanggi.
Dalam diskusi-diskusi tentang reformasi kita jarang menemukan nama-nama perempuan
yang menjadi narasumber, dalam ide dan gagasan, dalam analisis dalam sejarah perubahan.
Diskusi ini adalah salah satu upaya untuk mengintegrasikan narasi perempuan di dalam narasi
sosial maupun kebangsaan. Oleh karena itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) terpanggil untuk mengadakan forum diskusi para aktivis
perempuan, tentang peta gerakan masyarakat sipil yang di dalamnya terdapat gerakan
perempuan, dalam kerangka HAM dan Demokrasi, serta kondisi masyarakat sipil, sepanjang
20 tahun reformasi, serta masalah-masalah apa saja yang kita hadapi dalam rentang dua
dasawarsa tersebut. Tidak jarang di dalamnya kita akan menemukan masalah kekerasan
terhadap perempuan, yang bertumpang tindih dalam situasi politik dan ekonomi.
Problem tersebut perlu direntangkan, dibuat pemetaan, untuk menjawab masalah-masalah di
masa depan, untuk memberikan kontribusi positif bagi bangsa ini, siapapun
kepemimpinannya nanti. Melalui pemetaan tersebut, Komnas Perempuan sebagai Lembaga
Negara Hak Asasi Manusia yang lahir dari masyarakat sipil perempuan yang menuntut
pemerintah untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta dalam kasus perkosaan, dalam
problem-problem dan kendala yang terjadi, menetapkan diri dalam menjalankan mandatnya,
untuk menentukan peran apa yang perlu dilakukan di masa depan.
Komnas Perempuan dari hasil forum diskusi tersebut menetapkan tiga peneliti, aktivis
sekaligus penulis dalam pemetaan ini, yaitu Ruth Indiah Rahayu, Sri Palupi dan Iswanti. Ruth
Indiah Rahayu dan Sri Palupi adalah dua aktivis serta peneliti yang pernah menjadi bagian
dari asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta, yang memiliki pengalaman langsung dengan
Tragedi Mei ‘98. Ruth Indiah Rahayu akan bicara tentang agenda politik, konsolidasi serta
peta gerakan perempuan, sementara Sri Palupi dari segi kondisi ekonomi, budaya, dan
kebijakan pembangunan baik negara maupun masyarakat sipil dalam kerangka Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi. Sementara Iswanti, adalah juga peneliti dan aktivis yang telah lama
mendalami seluk-beluk lembaga donor serta kepentingannya, akan membagi pengalaman
peta politik donor dan posisi mereka terhadap negara maupun masyarakat sipil. Politik donor
ini muncul dalam forum diskusi karena memiliki peran tersendiri dalam mempengaruhi
negara maupun masyarakat, termasuk dalam problem krisis yang terjadi di Indonesia.
Diskusi ini akan membawa “mau kemana gerakan sosial kita?” dan sejumlah refleksi-refleksi
yang perlu kita bagi dalam rangka peringatan Mei 98 tahun ini. Hasil diskusi ini adalah awal
dari rencana penerbitan buku “pemetaan gerakan masyarakat sipil dan peran Komnas
Perempuan” yang akan diluncurkan ke depan sebagai dokumen penting Komnas Perempuan
di tahun 2019 ini, untuk menentukan sikap secara jernih kepada pemerintahan apapun dan
siapapun yang akan memimpin bangsa yang kita cintai ini.

• Lembaga Komnas Perempuan


- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah lembaga negara
yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia.
Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998,
pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2005.
- Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum
perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam
menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan
tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh
perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di
Indonesia.
- Komnas Perempuan tumbuh menjadi salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi
Manusia (LNHAM), sesuai dengan kriteria-kriteria umum yang dikembangkan
dalam The Paris Principles. Kiprah aktif Komnas Perempuan menjadikan
lembaga ini contoh berbagai pihak dalam mengembangkan dan meneguhkan
mekanisme HAM untuk pemajuan upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan baik di tingkat lokal, nasional, kawasan, maupun internasional

• TUJUAN KOMNAS PEREMPUAN:


- Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan
di Indonesia;
- Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan

.
• PERAN KOMNAS PEREMPUAN:
- Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi
pemenuhan hak perempuan korban;
- Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan;
- Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan;
- Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan
komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada
pemenuhan tanggung jawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada
pemulihan hak-hak korban;
- Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional,
regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas
penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dinamika Organisasi Aisyiyah Surakarta Dalam Pemberdayaan Perempuan


Tahun 1923-1945

Sebagai organisasi perempuan Islam yang pertama kali dibentuk di wilayah Surakarta,
Aisyiyah memiliki tujuan untuk memajukan prempuan baik itu dari segi keagamaan,
pendidikan, maupun perekonomian. Pada masa awal pergerakan Aisyiyiya kerap mengajak
istri-istri dan gadis- gadis Jawa untuk mempelajari Islam, hal ini dibuktikan dengan
pembangunan musholla perempuan yang terletak di Keprabon. Dibangunnya musholla ini
bertujuan agar perempun merasa nyaman dalam belajar mengenai keagamaan, tidak hanya itu
Aisyyah pun sering mengadakan pengajian- pengajian.

Salah satu usaha Aisyiyah yang membuahkan hasil adalah perlahan-lahan mereka mulai
mengenakan kerudung sederhana. Model kerudung ini yakni kain panjang yang kemudian
disampirkan kepala dan setiap ujungnya ataupun salah satu ujung kerudungnya di sampirkan
ke atas pundak.

Ketika Kolonialisme Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Jepang Tahun 1942, Jepang
mulai mebentuk sebuah organisasi yang diberi nama Fujinkai. Organisasi ini bertujuan untuk
mempermudah pengawasan dan pergerakan perempuan dengan cara menjadikan satu seluruh
organisasi perempuan di Hindia Belanda, tak terkecuali Aisyiyah cabang Surakarta.Ketika itu
organisasi dilarang melakukan kegiatannya, keadaan ini berlangsung selama kurang lebih 3
setengah tahun sampai hengkangnya Jepang tahun 1945. Aisyiyah Surakarta selama kurun
waktu penjajahan Jepang terpaksa tidak bisa melakukan kegiatan-kegiatan maupun program-
program pemberdayaan perempuan karena pelarangan ini. Bahkan, sekolah Nasyiatul
Aisyiyah School sempat di pindah ketika Jepang masuk yang semula berada di Kauman utara
Masjid Agung kemudian dipindah ke rumah H. Muslih.
Kesimpulan

Bahwa pemberdayaan perempuan yang diusahakan oleh Aisyiyah tidak hanya bagi kalangan
anggota Aisyiyah dan Muhammadiyah saja, melainkan menyeluruh kesegala lapisan
masyarakat di Surakarta. Program pemberdayaan perempuan yang dikerjakan organisasi
Aisyiyah Surakarta ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan mampu
mengembangkan potensi pada diri masing-masing.

Organisasi Aisyiyah mengusung semangat pemberdayaan perempuan sesuai dengan kondisi


perempuan pada waktu itu. ibu-ibu dan gadis-gadis Jawa di Surakarta, dilarang menempuh
sekolah. Pelarang ini berakibat mayoritas perempuan Surakarta mengalami buta huruf.
Sedangkan, di bidang ekonomi perempuan desa terpaksa harus bekerja di sawah guna
membantu perekonomian keluarga.

Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Islam tertua di Surakarta, memberikan banyak


kontribusi penting bagi perempuan Surakarta, program-program meliputi gerakan
pemberantasanbuta huruf, pendirian kursus-kursus, pendirian sekolah-sekolah, pembentukan
fasilitas ibadah, dan kegiatan-kegiatan lainya. Gerakan tersebut muncul atas kepedulian
sesama perempuan Islam atas kondisi dan situasi yang tengah dialami bersama, pembatasan-
pembatasan yang diberikan oleh Patriarkhi, colonial Belanda, maupun peraturan-peraturan
Jawa, membuat perempuan hanya berperan di sektor domestik. Perempuan sendiri yang harus
bangkit dan menolong sesamanya., oleh karena itu Aisyiyah merupakan bukti nyata
bagaimana perempuan menolong sesama kaumnya.

Keberadaan organisasi Aisyiyah cabang Surakarta, dirasakan telah membawa dampah positif
bagi kemaslahatan umat. Berdasarkan uraian diatas, sudah cukup jelas menegaskan bahwa
Aisyiyah Surakarta mempunyai peranan dan sumbangsih yang penting bagi pemberdayaan
perempuan di Surakarta tahun 1923-1945.

Anda mungkin juga menyukai