Anda di halaman 1dari 9

1.

PENDAHULUAN
Gender. Secara mendasar gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Gender adalah
seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau
maskulin. Menurut Oakley (1972) Istilah gender berarti perbedaan atau jenis kelamin
yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987)
menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan
cultural. Gender menentukan berbagai pengalaman hidup yang akan kita alami, gender
pula dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, pekerjaan, alat-alat dan sumber
daya yang akan diperlukan untuk industri dan keterampilan.
Mendasari pengertian diatas, konsep gender menyebabkan terjadinya perbedaan
peran, posisi, dan nilai yang diberikan terhadap perempuan dan laki-laki yang terkadang
menimbulkan ketidakadilan. Dan perempuan adalah kelompok yang paling menderita
dari ketidakadilan tersebut. Di seluruh dunia, sedikit banyak perempuan mengalami
tindak kekerasan, pemerkosaan, pemukulan, perusakan atau pemotongan organ intim,
maupun pembuatan pornografi. Hubungannya adalah karena perempuan dilihat sebagai
objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu
dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. Bentuk ketidakadilan lainnya terhadap
perempuan tampak dengan keutamaan laki-laki dalam hal mandapatkan pendidikan dan
ruang lingkup pekerjaan yang lebih luas. Peran perempuan-pun dibatasi dan
dinormorduakan oleh laki-laki. Kesetaraan perempuan dan laki-laki dimulai dengan
dikumandangkannya 'emansipasi' di tahun 1950-1960-an. Setelah itu tahun 1963 muncul
gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi
sosial PBB. Kesetaraan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang
dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, dengan tema Women In
Development (WID) yang memprioritaskan pembangunan bagi perempuan yang
dikembangkan dengan mengintegrasi perempuan dalam pembangunan.
Di Indonesia perlu adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman mengenai
gender yang harus didukung dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam
lembaga-lembaga negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Munculnya Konsep Hak
Asasi Perempuan (HAP), yang sedikitnya memiliki dua makna yang terkandung
didalamnya. Yang pertama, Hak Asasi Perempuan hanya dimaknai sekedar berdasarkan
akal sehat. Logika yang dipakai adalah pengakuan bahwa perempuan adalah manusia,
dan karenanya sudah sewajarnya mereka juga memiliki hak asasi. Makna yang kedua,
dibalik istilah Hak Asasi Perempuan terkandung visi dan maksud transformasi relasi
sosial melalui perubahan relasi kekuasaan yang berbasis gender. Makna Hak Asasi
Perempuan yang kedua ini memang lebih revolusioner karena adanya pengintegrasian
Hak Asasi Perempuan kedalam standar Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi perempuan
di Indonesia cukup menonjol. Menurut UUD 1945 secara formal tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 27 UUD 1945 misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa semua orang
sama kedudukannya dihadapan hukum. Akan tetapi, dalam praktiknya perempuan masih
banyak mengalami diskriminasi. Dengan kata lain, kedudukan perempuan secara de jure
jauh berbeda dengan kedudukan secara de facto. Sebenarnya, kedudukan perempuan di
Indonesia secara formal cukup kuat sebab banyak ketentuan dalam berbagai undang-
undang serta peraturan lain yang memberikan perlindungan yuridis padanya. Selain itu,
Indonesia pun telah meratifikasi dua perjanjian, yaitu Perjanjian mengenai Hak Politik
Perempuan (Convention on Political Rights of Women) dan Perjanjian mengenai
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Political Elimination
of All Forms of Discrimination againts Women) atau CEDAW. Kemudian pada 1993,
Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan
perempuan. Pasal 1, 18 menyatakan dengan tegas bahwa “Hak asasi perempuan serta
anak adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral, dan
tidak dapat dipisahkan (indivisible).”
Ada tiga isu utama yang berkaitan dengan hak perempuan di Indonesia, yakni
kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga,
kewarganegaraan, dan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak. Dari isu utama
itulah memunculkan tiga UU, antara lain : UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI; UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO).
Hak Perempuan Dalam Naskah
1. 1945 : Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27
2. 1958 : Undang-Undang No.68 Tahun 1958, Konvensi Hak
Politik Perempuan
3. 1984 : Undang-Undang No.7 Tahun 1984, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita (CEDAW)
4. 1966/1976 : Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 3 (Belum diratifikasi
Indonesia)
5. 1993 : Deklarasi Wina, Pasal I /18
6. 1998 : S.K. Presiden No.181, Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) didirikan
7. 2002 : Protocol dari CEDAW ditandatangani
8. 2003 : Undang-Undang No.12, Pemilihan Umum, Pasal 65

Mendasari dari ketiga isu utama yang telah dipaparkan diatas, kami mencoba
menganilisis dari sebuah survei yang dilakukan oleh My World 2015 Analytics, yang
merupakan salah satu program survei global dari PBB (United Nation) kepada warga
dunia. Kami mengambil sampel Negara Indonesia kemudian fokus pada jenis kelamin
perempuan dan kisaran usia antara 16-30 tahun yang telah menyelesaikan jenjang
pendidikan ditingkat sekolah menengah atas. Terdapat 1.583 responder perempuan
(29/04), tersebut menyatakan bahwa ada lima harapan besar dari perempuan mengenai
kehidupan mereka selanjutnya, antara lain :
1. A good education
2. An honest and responsive government
3. Better Healthcare
4. Better job opportunities
5. Protection against crime and violence
Dari kelima harapan inilah kita mampu mengamati bahwasanya kualitas
pendidikan yang baik diharapan oleh kaum perempuan sebagai pemecah batu dari
berbagai permasalahan yang terus melanda kaum perempuan. Dengan harapan saat
seorang perempuan mempunyai pendidikan yang memadai sesuai dengan bidang yang ia
tekuni maka ia akan mampu berkontribusi dalam pembangunan nasional, seperti misalnya
saja ikut terlibat dalam ranah politik, kegiatan kelembagaan perempuan, dan pembuat
kebijakan publik di negeri ini.
Di Indonesia sendiri eksistensi dan peranan kaum perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara telah diakui sejak lama. Sejarah mencatat nama R.A. Kartini
sebagai tokoh emansipasi wanita dan pahlawan nasional. Ia merupakan seorang
perempuan yang memiliki pemikiran jauh melampaui zamannya kedepan. Sejarah juga
mencatat pahlawan nasional perempuan lainny, yaitu Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, Tjut
Meutia, Nyi Akhmad Dahlan, Nyi Ageng Serang, Hj. Rasuna Said, Fatmawati Soekarno,
dan Siti Hartinah Soeharto.
2. PEMBAHASAN/ANALISIS
Keterlibatan perempuan dalam partai politik dan pemerintahan merupakan suatu
anugerah bagi keberlanjutan suatu negara. Ibarat negara sebuah rumah tangga, maka
perempuan-lah yang memiliki peran untuk mengurus rumah serta mengatur hajat hidup
seluruh penghuni rumah tersebut. Maka, dapat dipastikan bahwasanya perempuan
memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walaupun demikian, bagi negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih
dimarginalkan. Hal ini terlihat dari total partisipasi perempuan dalam parlemen yang
dibatasi hanya sebesar 30% semata.
Hingga saat ini, peran perempuan dan representasi politiknya di parlemen serta
pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih sangat rendah dan
memprihatinkan. Rendahnya partisipasi perempuan tersebut bisa jadi disebabkan oleh
berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya di
negara-negara berkembang dan terbelakang, selain itu tidak adanya pelatihan dan
penguatan keterampilan politik perempuan untuk memperkuat keterampilan politiknya,
kurang adanya kesadaran perempuan untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan
politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga
legislatif dan partai politik, serta masih adanya sistem perundang-undangan politik yang
membatasi aksesibilitas dan partisipasi perempuan dalam pemilu, parlemen dan dalam
pemerintahan. Pada dasarnya, peranan perempuan merupakan jawaban dalam menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain perempuan
yang berkontribusi dalam legislatif dapat menyuarakan kepentingan perempuan dan
aspirasi masyarakat.
Di Indonesia sendiri hak untuk memilih dan dipilih yang setara antara laki laki
dan perempuan sudah berlaku sejak pemilu 1995 sampai sekarang. Namun dalam
relalitasnya partisipasi perempuan dalam menjadi calon legislatif masih belum memenuhi
harapan. UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum Anggota, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 53 menegaskan bahwa daftar calon
anggota legislatif memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, namun usaha
meningkatkan status dan peran perempuan sama sekali belum maksimal jika
dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan wakil rakyat di DPRD secara kuantitas belum
sesuai UU.
Berikut ini adalah kursi DPR yang dimiliki perempuan dan periode waktu seperti
dikutip dari laporan IPU (Inter-Parliamentary Union) :
 Pemilu tahun 1955 : 5,9% (Data dari UNDP, 2010)
 Pemilu tahun 1971 : 7,17% (33 perempuan dari total 460)
 Pemilu tahun 1977 : 7,39% (34 perempuan dari total 460)
 Pemilu tahun 1982 : 8,26% (38 perempuan dari total 460)
 Pemilu tahun 1987 : 11,4% (57 perempuan dari total 500)
 Pemilu tahun 1992 : 12,2% (61 perempuan dari total 500)
 Pemilu tahun 1997 : 11,4% (57 perempuan dari total 500)
 Pemilu tahun 1999 : 8% (40 perempuan dari total 500)
 Pemilu tahun 2004 : 11,2% (62 perempuan dari total 550)
 Pemilu tahun 2009 : 18,6% (104 perempuan dari total 560)
Di DPRD Kota Yogayakarta misalnya, pada pemilu tahun 2009, meskipun jumlah
kursi perempuan naik 6 kursi namun kenaikannya baru mencapai 20%. Secara kuantitas
jumlah tersebut tentu tidak terpenuhi. Lalu secara kualitas, perempuan yang duduk
menjadi anggota dewan terkadang memiliki banyak hambatan dalam mengembangkan
potensinya, keluarga, sekolah, partai politik dan lingkungan sosial lainnya. Namun tahun
di 2014, jumlah partisipasi calon legislatif Perempuan mengalami peningkatan dibanding
tahun 2009 lalu. Jika dipresentase caleg perempuan naik sebanyak 7%, dengan begitu
tahun ini caleg perempuan mencapai 37% yang dulunya hanya 30%. Dari 6.607 caleg
2.467 diantaranya adalah Caleg Perempuan.
Pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai acuan memaksimalkan potensi
perempuan dalam pembangunan. Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang
keluarga, kaum perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas
generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan sehingga mau tidak
mau kaum perempuan harus meningkatkan kualitas pribadi masing-masing. Tidak
mungkin akan terbentuk keluarga yang berkualitas tanpa meningkatkan kualitas
perempuan.
Kualitas pendidikan perempuan merupakan aspek yang sangat penting bagi
pembangunan bangsa. Kaum perempuan harus berusaha meraih jenjang pendidikan
setinggi mungkin. Peningkatan derajat kesehatan perempuan juga seiring dengan upaya
peningkatan akses pendidikan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana dan
pelayanan kesehatan. Terlepas dari semua kekurangan dan keterbatasan perempuan
Indonesia, saat ini perempuan Indonesia berbeda dengan perempuan Indonesia masa lalu.
Bila dulu perempuan Indonesia beraktivitas hanya di sekitaran keluarga dan rumah
tangga, kini bisa disaksikan bagaimana perempuan Indonesia berperan hampir dalam
setiap bidang pekerjaan dan profesi. Bahkan, salah seorang presiden Indonesia adalah
perempuan. Tidak sedikit pula yang berprofesi sebagai pimpinan dalam perusahaan atau
lembaga. Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas perempuan Indonesia, sesungguhnya
tidak kalah dari kaum laki-laki. Optimisme akan pembangunan nasional dan daerah yang
bertumpu pada semua pihak akan terselenggara dengan baik. Dukungan semua pihak
tetap diperlukan, agar keseimbangan yang telah terjadi selama ini, dapat terus
disempurnakan, saling mengisi dan memberikan kontribusi pada pembangunan daerah
dan nasional.
Perempuan yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah
satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam memperjuangkan
kaum perempuan, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat pemilu.
Oleh karena itu, peranan perempuan merupakan merupakan jawaban dalam
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dominasi gender
adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan
bangsa.
3. KESIMPULAN
Perempuan seyogyanya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang mendapat
anugerah berlimpah. Karena jika ia mendapatkan fasilitas pendidikan dan pelatihan
keterampilan yang sama dengan kaum laki-laki. Kami percaya bahwa perempuan akan
mampu berjalan setara dengan laki-laki dalam membangun Indonesia yang lebih maju
dan jaya.
Selain itu, peran dunia internasional maupun organisasi internasional yang
sedikit banyak telah ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan bagi perempuan untuk lebih
terlindungi, terjamin hak asasinya, dan serta mendapat peluang yang sama dalam
pendidikan, pekerjaan, maupun hak perempuan dalam politik negaranya. Perlu kiranya,
kita apresiasi karena dengan demikian kaum perempuan yang semula mendapat ketidak
adilan serta ketidak seimbangan gender mulai hilang dan bertranformasi mengarah pada
keterwakilan dan peran perempuan dalam pembangunan nasional maupun internasional.
Menurut Plato, seorang Filosof era Yunani, ia percaya bahwa kaum wanita bisa
memerintah sama efektifnya dengan kaum pria karena alasan sederhana, yaitu bahwa
para pemimpin mengatur negara berdasarkan akal mereka. Kaum wanita menurut Plato
mempunyai kemampuan penalaran yang sama persis dengan kaum pria, asalkan mereka
mendapatkan pelatihan yang sama dan dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan
mengurusi rumah tangga. Dalam kitab Hukum yang ditulis Plato yang menggambarkan
“negara konstitusional” sebagai negara terbaik kedua setelah negara ideal. Plato
menegaskan bahwa :
“... sebuah negara yang tidak mendidik dan melatih kaum wanita itu seperti
orang yang hanya melatih tangan kanannya...”
Akhirnya, dapat kita katakan bahwa seorang Filosof Plato mempunyai
pandangan positif tentang kaum wanita. Penguatan peranan perempuan dalam bidang
politik dimasa ini dan masa mendatang perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Satriyani, 2009. Gender and Politic. Yogyakarta : Tiara Wacana

Harun Rochajat dan Sumarno, 2006. Komunikasi Politik Sebagai Suatu


Pengantar. Bandung : Penerbit Mandar Maju

Julia Cleves Mosse, 1993. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Prof. Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama

David Graddol dan Joan Swann, 1989. GENDER VOICES, Telaah Kritis Relasi
Bahasa-Jender. Pasuruan: Pedati

_______ Perempuan Politisi Jurnal Perempuan Vol, 19 No. 2 Mei 2014

_______ My World 2015 Analytics http://data.myworld2015.org

Anda mungkin juga menyukai