Anda di halaman 1dari 5

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN

Menurut Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia (HAM) dapat
dijelaskan sebagai seperangkat prinsip yang melekat pada esensi dan eksistensi manusia sebagai
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan anugerah yang harus dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, pemerintah, serta setiap individu. Pasal 3 Undang-Undang
tersebut secara jelas menyatakan bahwa:

(1) Setiap individu lahir dengan hak dan martabat manusia yang sama dan setara, serta
dianugerahi akal dan hati nurani untuk hidup dalam masyarakat, bangsa, dan negara
dalam semangat persaudaraan.
(2) Semua orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan perlindungan, perlakuan hukum
yang adil, serta kepastian hukum dan perlakuan yang sama di mata hukum.
(3) Setiap individu memiliki hak untuk dilindungi dalam hak-hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia tanpa ada bentuk diskriminasi.

Kemunculan berbagai dokumen nasional dan internasional tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) mencerminkan perkembangan dan usaha-usaha untuk mencapai penegakan dan
perlindungan HAM, baik secara global maupun di dalam negeri. Undang-undang HAM
mengikuti prinsip-prinsip HAM yang pada dasarnya menjamin martabat dan hak seseorang,
tanpa memandang jenis kelamin, termasuk hak atas kebebasan pribadi, hak dalam konteks
keluarga, hak terhadap pekerjaan, kesejahteraan, hak-hak politik, hak-hak perempuan terkait
dengan reproduksi, hak partisipasi dalam pemerintahan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, serta
hak atas pendidikan.

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada individu karena mereka adalah
manusia, bukan karena pemberian masyarakat. Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak
bergantung pada hukum yang berlaku, tetapi muncul dari martabat manusia itu sendiri. Hak asasi
ini bersifat tak terhapuskan dan tidak bisa dicabut oleh negara.

Sejak memasuki era reformasi, isu-isu hak asasi manusia telah menjadi perhatian yang
semakin meningkat, terutama dalam menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa
lalu dengan penerapan sanksi hukum yang tegas. Untuk memaksimalkan penegakan HAM,
langkah-langkah strategis telah diambil, termasuk pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perempuan (KOMNAS HAM
Perempuan), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Anak (KOMNAS HAM Anak) untuk
melindungi warga dari pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan. Pertanyaan muncul
mengenai hak asasi manusia dengan perspektif gender. Idealnya, hak asasi manusia bersifat
netral secara gender, tetapi dalam kenyataan, perempuan tidak selalu dapat menikmati hak asasi
kebebasan dasar dengan kesetaraan yang sama seperti laki-laki. Ketidaksetaraan hak asasi
perempuan dapat diukur dan dibuktikan. Inilah yang mendorong lahirnya Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women), yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB
pada tahun 1979.

Memang terdapat pandangan umum yang mengasosiasikan hak asasi manusia dengan isu
penahanan dan penyiksaan dalam konteks aktivitas politik publik, kebebasan berpendapat, atau
asosiasi. Namun, penting untuk diingat bahwa Universal Declaration of Human Rights (1948)
jauh lebih inklusif dan ideal. Penafsiran yang lebih sempit merupakan indikasi dari "manipulasi,"
sengaja atau tidak, yang mengabaikan hak asasi perempuan yang melibatkan aspek ekonomi dan
sosial. Sejarahnya menunjukkan kecenderungan untuk memberikan penekanan pada hak-hak
sipil dan politik daripada hak-hak ekonomi dan sosial, yang mungkin mencerminkan bias Barat,
tetapi secara jelas mencerminkan bias gender. Subordinasi perempuan dianggap sebagai alasan
untuk menerapkan subordinasi ekonomi, di mana dinamika budaya yang memungkinkan
pelecehan fisik terhadap perempuan juga memungkinkan eksploitasi mereka di pasar tenaga
kerja. Peran negara dalam hal ini bisa memperburuk situasi secara pasif dengan mengabaikan
realitas ini, tetapi juga seringkali secara aktif dengan mengeksploitasi tenaga kerja perempuan,
seperti yang terjadi di Indonesia.

Dalam lingkup keluarga dan sebagian besar masyarakat, perempuan seringkali


kehilangan identitas independen karena sering diidentifikasi dalam kerangka hukum sebagai
bagian dari identitas suami mereka. Akibatnya, perkawinan tidak selalu dianggap sebagai
kemitraan yang setara. Pemakaian konsep keluarga oleh para pemimpin politik, ekonomi, dan
sosial telah menjadi salah satu faktor yang secara tersirat menghambat partisipasi perempuan
dalam politik. Terlalu sering, keluarga dianggap sebagai tempat di mana "inferioritas perempuan"
dan "superioritas laki-laki" diinstitusionalisasikan, karena tradisionalnya, peran kepala keluarga
dipegang oleh laki-laki. Struktur keluarga yang konvensional mengakibatkan pembagian hak,
kewajiban, waktu, dan nilai yang berbeda di antara anggota keluarga, dengan laki-laki
menduduki posisi teratas. Terdapat kesenjangan yang jelas antara kerangka hukum dan
kenyataan sehari-hari yang seringkali menghasilkan tindakan kekerasan terhadap perempuan
yang disalahartikan sebagai masalah domestik atau pribadi yang sering diabaikan dari segi
hukum. Padahal, sepanjang sejarah hingga saat ini, diskriminasi dan perlakuan merendahkan
terhadap perempuan masih seringkali mengambil bentuk yang sama, termasuk berbagai bentuk
kekerasan, pelecehan, pemaksaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan perdagangan perempuan
oleh keluarga-keluarga miskin, serta perlakuan tidak adil lainnya.

Berbagai model akumulasi modal, orientasi ekspor, dan pertumbuhan mengandalkan hak-
hak ekonomi perempuan, terutama melalui implementasi yang kurang kuat dalam hal hak-hak
sipil dan politik mereka, serta karena status sosial dan budaya yang kurang menguntungkan.
Perlu juga dicatat bahwa peran ganda perempuan, di mana mereka sering kali melakukan
pekerjaan domestik yang tidak dibayar, meskipun sangat penting bagi kelangsungan industri dan
kehidupan. Bagi perempuan miskin yang harus mengatasi pekerjaan berupah rendah sambil
menangani pekerjaan rumah, ini merupakan sebuah beban yang berat. Status perkawinan juga
menciptakan masalah, karena sering digunakan sebagai dasar untuk diskriminasi. Status
perkawinan bisa memungkinkan akumulasi kekayaan, tetapi sering kali disertai dengan
kebijakan sosial yang tidak memerlukan perbaikan dalam hubungan gender yang tidak seimbang.

Dalam sektor ekonomi, perempuan rentan terhadap eksploitasi, dan masalah ini umum
terjadi secara universal. Baik pada tingkat individu maupun dalam skala yang lebih luas,
perempuan seringkali dieksploitasi oleh perusahaan yang sering kali didukung oleh negara. Pada
saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada industrialisasi, beban ini
banyak ditanggung oleh buruh perempuan, bahkan ketika hak-hak dasar mereka tidak terpenuhi.

ingkat kemiskinan yang meluas di antara perempuan memiliki dampak serius dalam hal
aspek sosial-ekonomi dan juga berdampak pada hak-hak asasi perempuan yang lain, seperti hak
pendidikan, hak memiliki properti, dan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik atau
budaya. Situasi ini menciptakan sebuah lingkaran setan di mana perempuan kesulitan untuk
memperbaiki nasib mereka, dan pelembagaan perempuan sebagai kelompok yang terpinggirkan
terus berlanjut.

Ketika melihat pelanggaran hak asasi perempuan, perlu kita periksa dan identifikasi
hukum mana yang mendukung prinsip keadilan dan hak asasi perempuan, serta hukum mana
yang tidak sejalan dengan itu. Hal ini sangat penting untuk memahami sejauh mana kita telah
mempersiapkan perkembangan hukum yang akan menjamin penghormatan dan pengakuan yang
tinggi terhadap hak-hak asasi perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Asworth, G. (1999). Women and Human Rights, . Institut of Cultural Action (IDAC).
Suseno, F. M. (1998). Etika Politik. Jakarta: PT Gramedia.
Syafaat, R. (2000). Buruh Perempuan, Perlindungan Hukum dan Hak-hak Azasi Manusia.
Malang: UM Press Malang.

Anda mungkin juga menyukai