Anda di halaman 1dari 3

Nama: Irawati

Nim: 2002056095
Kelas: IH-B6

Ujian Tengah Semester


Hukum dan Kesetaraan Gender
Dosen Pengampu : Siti Rofiah, M.H.,M.Si

1. Ketimpangan gender merupakan bentuk perlakuan atau perbedaan perlakuan


bertentangan karena alasan gender. Contoh dalam kehidipan nyata yaitu
kecenderungan laki-laki diorientasikan kebidang publik dan wanita kebidang
domestik telah memproduksi ketimpangan kekuasaan antara kedua jenis kelamin.
Wanita lebih bertanggung jawab terhadap keluarga dan segala kegiatan yang berkaitan
dengan rumah tangga, seperti pengasuhan anak. Laki-laki terlibat langsung dalam
bidang ekonomi dan politik (sebagai kegiatan publik) yang dianggap sebagai institusi
utama dalam masyarakat modern.
2. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau
kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Kesetaraan gender menurut feminis liberal
adalah kesamaan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan baik bidang
pendidikan, hak politik, dalam keluarga, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya.
Secara umum feminisme dan gender pada dasarnya adalah konsep yang sederhana
dimana perempuan hanya ingin memperoleh keadilan dalam segala hal terutama
pendidikan, bukan untuk melebihi pria dan kodratnya.
3. Gerakan feminisme muncul sejak zaman kolonial Belanda. Pada zaman ini, RA
Kartini menjadi tokoh yang berpengaruh bagi perempuan di Indonesia kemudian
disusul oleh Dewi Sartika. Sosok R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El-
Joenesijjah merupakan salah satu tokoh perempuan yang mengadvokasi kebutuhan
akan perubahan status sosial perempuan melalui pendidikan. Mereka menciptakan
preseden bagaimana gerakan perempuan di Indonesia melawan kolonialisme – serta
spirit nasionalisme dan reformisme Islam. R. A. Kartini mencatat bahwa
androsentrisme laki-laki tumbuh melalui pengasuhan ibu mereka. Laki-laki kemudian
mengontrol anggota perempuan di keluarganya sendiri. Setelah menikah, laki-laki
terus memegang otoritas dan kontrol. Akibatnya, para perempuan menderita setiap
hari.
Dari sini R. A. Kartini berpendapat bahwa perempuan memiliki kebebasan
berkehendak tetapi dikuasai oleh adat. Pada saat itu pendidikan perempuan diklaim
berisiko merusak tatanan moral masyarakat. Selain itu, kaum tua khawatir bahwa
pendidikan perempuan dapat mengganggu peran perempuan itu sendiri ketika menjadi
istri.
Sedangkan Dewi Sartika berpendapat orang tua hanya menginginkan yang terbaik
untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, Dewi Sartika berusaha meyakinkan orang tua
untuk menyekolahkan anaknya agar terdidik. Perempuan yang terdidik akan menjadi
ibu dan menjadi kunci penyebaran pengetahuan bagi anak-anaknya kelak. Ia juga
menyuarakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari berbagai aspek karena
menurutnya kemajuan perempuan sebagai syarat kemajuan negara.
4. Menurut saya dalam sistem hukum di Indonesia, masih terdapat beberapa aturan yang
secara tidak langsung telah melanggar hak asasi perempuan. Seperti di negara
patriarki lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai
manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria.
Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka. Hal
ini tampak misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah
tentang perkosaan (pasal 285). Tentang perkosaan (pasal 285) disyarakatkan, bahwa
korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk “hubungan seksual”
yang dalam keputusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5
Pebruari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”. Dengan mengutip
feminis Catherine MacKinnon, Nursyahbani Katjasungkana menganggap perumusan
tersebut sebenarnya didasarkan pada cara pandang pria heteroseksual tentang
hubungan seks, karena mensyaratkan terjadinya “penetrasi penis ke vagina”. Dengan
kata lain, kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dalam bentuk “penetrasi
penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan,
mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa.
5. Feminst Legal Theory atau teori hukum feminis lahir untuk mendobrak tatanan
hukum yang timpang karena dunia yang terlampau patriarki. Para feminis
ini menyakini bahwa sejarah yang ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama
sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan dalam pembuatan dan
penyusunan sejarah. Hukum adalah instrument untuk mendistribusikan keadilan,
sehingga didalamnya harus memuat realitas pengalaman subjek hukum dalam hal ini
adalah perempuan. Bila pengalaman dan realitas perempuan tidak terakomodasi di
dalam hukum, maka produk legislasi/produk hukum itu kurang lengkap dan
mengucilkan perempuan.
6. Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena
ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan. Dalam khasanah hukum hak
asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak
asasi manusia.. Dalam melaksanakan HAM, hak perempuan sama dengan hak laki-
laki, dan hak tersebut seperti yang telah disepakati dunia internasional dimasukkan
dalam Konvensi CEDAW, seperti yang disebutkan diatas, yaitu : hak dalam keluarga
(perkawinan), politik, ketenaga kerjaan, pendidikan, kesehatan, kewarganegaraan,
ekonomi dan lain sebagainya. Dalam konstitusi, hak-hak atas rasa aman tersebut
dijamin pada Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Hak-hak perempuan ini mengamanatkan
pada negara untuk menjamin penikmatan hak tanpa adanya diskriminasi dan
perbedaan gender.

Anda mungkin juga menyukai