Hukum dan Kesetaraan Gender Dosen Pengampu : Siti Rofiah, M.H.,M.Si
1. Ketimpangan gender merupakan bentuk perlakuan atau perbedaan perlakuan
bertentangan karena alasan gender. Contoh dalam kehidipan nyata yaitu kecenderungan laki-laki diorientasikan kebidang publik dan wanita kebidang domestik telah memproduksi ketimpangan kekuasaan antara kedua jenis kelamin. Wanita lebih bertanggung jawab terhadap keluarga dan segala kegiatan yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti pengasuhan anak. Laki-laki terlibat langsung dalam bidang ekonomi dan politik (sebagai kegiatan publik) yang dianggap sebagai institusi utama dalam masyarakat modern. 2. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Kesetaraan gender menurut feminis liberal adalah kesamaan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan baik bidang pendidikan, hak politik, dalam keluarga, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Secara umum feminisme dan gender pada dasarnya adalah konsep yang sederhana dimana perempuan hanya ingin memperoleh keadilan dalam segala hal terutama pendidikan, bukan untuk melebihi pria dan kodratnya. 3. Gerakan feminisme muncul sejak zaman kolonial Belanda. Pada zaman ini, RA Kartini menjadi tokoh yang berpengaruh bagi perempuan di Indonesia kemudian disusul oleh Dewi Sartika. Sosok R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El- Joenesijjah merupakan salah satu tokoh perempuan yang mengadvokasi kebutuhan akan perubahan status sosial perempuan melalui pendidikan. Mereka menciptakan preseden bagaimana gerakan perempuan di Indonesia melawan kolonialisme – serta spirit nasionalisme dan reformisme Islam. R. A. Kartini mencatat bahwa androsentrisme laki-laki tumbuh melalui pengasuhan ibu mereka. Laki-laki kemudian mengontrol anggota perempuan di keluarganya sendiri. Setelah menikah, laki-laki terus memegang otoritas dan kontrol. Akibatnya, para perempuan menderita setiap hari. Dari sini R. A. Kartini berpendapat bahwa perempuan memiliki kebebasan berkehendak tetapi dikuasai oleh adat. Pada saat itu pendidikan perempuan diklaim berisiko merusak tatanan moral masyarakat. Selain itu, kaum tua khawatir bahwa pendidikan perempuan dapat mengganggu peran perempuan itu sendiri ketika menjadi istri. Sedangkan Dewi Sartika berpendapat orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, Dewi Sartika berusaha meyakinkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya agar terdidik. Perempuan yang terdidik akan menjadi ibu dan menjadi kunci penyebaran pengetahuan bagi anak-anaknya kelak. Ia juga menyuarakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari berbagai aspek karena menurutnya kemajuan perempuan sebagai syarat kemajuan negara. 4. Menurut saya dalam sistem hukum di Indonesia, masih terdapat beberapa aturan yang secara tidak langsung telah melanggar hak asasi perempuan. Seperti di negara patriarki lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka. Hal ini tampak misalnya pada sejumlah pasal dalam KUHPidana. Salah satunya adalah tentang perkosaan (pasal 285). Tentang perkosaan (pasal 285) disyarakatkan, bahwa korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk “hubungan seksual” yang dalam keputusan Hooge Raad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5 Pebruari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”. Dengan mengutip feminis Catherine MacKinnon, Nursyahbani Katjasungkana menganggap perumusan tersebut sebenarnya didasarkan pada cara pandang pria heteroseksual tentang hubungan seks, karena mensyaratkan terjadinya “penetrasi penis ke vagina”. Dengan kata lain, kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dalam bentuk “penetrasi penis ke vagina” tidak akan dianggap sebagai kejahatan terhadap HAM perempuan, mungkin hanya dianggap sebagai kejahatan biasa. 5. Feminst Legal Theory atau teori hukum feminis lahir untuk mendobrak tatanan hukum yang timpang karena dunia yang terlampau patriarki. Para feminis ini menyakini bahwa sejarah yang ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Hukum adalah instrument untuk mendistribusikan keadilan, sehingga didalamnya harus memuat realitas pengalaman subjek hukum dalam hal ini adalah perempuan. Bila pengalaman dan realitas perempuan tidak terakomodasi di dalam hukum, maka produk legislasi/produk hukum itu kurang lengkap dan mengucilkan perempuan. 6. Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan. Dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia.. Dalam melaksanakan HAM, hak perempuan sama dengan hak laki- laki, dan hak tersebut seperti yang telah disepakati dunia internasional dimasukkan dalam Konvensi CEDAW, seperti yang disebutkan diatas, yaitu : hak dalam keluarga (perkawinan), politik, ketenaga kerjaan, pendidikan, kesehatan, kewarganegaraan, ekonomi dan lain sebagainya. Dalam konstitusi, hak-hak atas rasa aman tersebut dijamin pada Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Hak-hak perempuan ini mengamanatkan pada negara untuk menjamin penikmatan hak tanpa adanya diskriminasi dan perbedaan gender.