Abstract
Drawing on the literature,this study aims to shed some light on women’s role
in the Indonesian political arena. The view that women have no room in politics is a
result of the patriarchal culture within the society even across the state,undermining
women, and legitimating the view that politics is an important public sphere, which
denies their participation. As a consequence,there remains a small portion of women
being able to compete with men, who have often been regarded superior over their
female counterparts. The interest of women to partake in the political arena has
indeed been exponential,yet the percentage remains low despite being legitimated by
theconstitutions.
Abstrak
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan,dan
kemudian bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana peran politik
perempuan dalam dinamika perpolitikan Indonesia selama ini. Kemudian pembahan
berawal dari budaya patriarki yang dominan dalam realitas masyarakat bahkan
negara, mengakibatkan tidak mudah mengubah pandangan bahwa politik adalah
wilayah publik yang penting dan bisa dimasuki oleh perempuan.Akibat
selanjutnya,jumlahperempuanberpotensi di bidang ini masih
sedikituntukmampuberkompetisidenganpara laki-laki yang selama ini dikonstruksikan
untuk lebih maju daripada perempuan. Animoperempuanuntukmemasuki wilayah
publik ini memang sudah meningkat,tetapi prosentasenyamasihrendahwalausudah
dijamin oleh ketentuan undang-undang.
PENDAHULUAN
Manusia menurut kodratnya diciptakan Allah dari diri yang satu, dan dari padanya
kemudian diciptakan pasangan seksnya, agar mereka dapat hidup saling berkasih
sayang. Kemudian dari kedua insan tersebut lahirlah umat manusia dari generasi ke
generasi hingga tibanya hari kiamat. Keberadaan manusia secara biologis yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan merupakan suatu keniscayaan universal, yang tidak lagi
dapat diragukan hakekat kebenarannya. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa laki-laki
tak akan menemukan esensi maskulinitasnya tanpa adanya perempuan, demikian pula
sebaliknya perempuan tidak akan dapat merefleksikan feminitasnya jika tak ada laki-
laki disisinya. Eksistensi hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks
peradabannya, laksana dua sisi dari satu mata uang yang sama. Fenomena persoalan
kemanusiaan mulai mengidentifikasikan dirinya dalam kehidupan sebagai makhluk
politik, ekonomi, dan budaya, tatkala mereka mulai dihinggapi penyakit tidak pernah
puas dengan prestasi dan citra dirinya. Pada saat itu manusia mulai menjadikan
kompetisi dan berusaha saling mendominasi di antara mereka. Ambisi untuk saling
menguasai inilah yang membuat manusia disibukkan mencari perbedaan antara
mereka, untuk dijadikan alasan agar dapat saling menaklukkan dan saling menguasai.
Faktor perbedaan gender merupakan alternatif pembeda yang paling mudah untuk
diidentifikasi, dan dapat dijadikan alasan sebagai pendorong bagi mereka untuk
melakukan manipulasi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga dengan mengeksploitasi
perbedaan posisi seks antara laki-laki dan perempuan, kepentingan untuk saling
mendominasi dan menguasai di antara mereka dapat terealisasi. Kondisi ini yang
kemudian menghantarkan manusia pada suatu peradaban jahiliyah penuh kebiadaban
dalam berbagai aspek multi kompleks dan multi dimensional. Pada satu sisi manusia
mampu menciptakan berbagai produk peradaban yang sangat mengagumkan dan
menakjubkan dirinya. Namun pada sisi lain timbul krisis kemanusiaan yang tidak
diinginkan dalam peradabannya. Berupa musibah kemanusiaan, karena tak terjalinnya
keseimbangan relasi kemanusiaan antara manusia yang termanifestasi dalam sikap
dan perilaku diskriminatif berupa ketidakadilan antara mereka dalam menyingkapi
perbedaan gender. Sebagaimana dikemukakan oleh Fakih (2003) bahwa ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak-adilan, baik bagi kaum laki-laki
dan terutama terhadap kaum perempuan. Sebagaimana dimaklumi bahwa sejarah telah
memberikan gambaran sangat jelas bagi kita tentang betapa kejamnya peradaban
jahiliyah, dimana relasi sosial pada masa itu menilai keberadaan seorang perempuan
di pandang sebagai aib terhadap keluarganya. Sehingga begitu dilahirkan langsung
dikubur hidup-hidup oleh ayahnya. Bahkan pada masa pra Islam nasib kaum
perempuan dalam relasi sosial budaya dipandang tidak memiliki peranan apapun.
Dalam kondisi yang dimarginalkan secara kultural inilah kaum perempuan dirampas
haknya, diperjual belikan seperti budak, dan diwariskan, tetapi tidak mewarisi.
Bahkan sebagian bangsa melakukan hal itu terus menerus. Bahkan menganggap
perempuan tidak punya roh, hilang dengan kematiaanya (Ja’far, 2002). Sungguh
pengkhianatan terhadap harkat dan martabat perempuan, yang telah sangat berjasa
melahirkan dan membesarkan setiap laki-laki sampai akhir zaman, merupakan
pengalaman buruk dari lembaran hitam sejarah peradaban umat manusia.
Istilah Kesetaraan gender adalah istilah yang banyak diucapkan oleh para aktivis
sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan
gender secara praktis hampir selalu diartikan sebagai kondisi "ketidaksetaraan" yang
dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan
istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan
tidak adil dan semacamnya. Dengan kata lain, kesetaraan gender juga berarti adanya
kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Oleh karena, banyak
bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh beberapa LSM, untuk
memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa pelatihan tentang isu-isu
gender, pembangkitan kesadaran perempuan dan pemberdayaan perempuan dalam
segi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Pemerintah pun juga tidak tinggal diam
di dalam melakukan pencapaian hasil dari kesetaraan gender. Kita patut bangga dan
menghargai atas perjuangan kaum perempuan di legislatif, para aktivis perempuan
dan para feminis yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative
action dengan harapan agar ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan
dilembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pengambilan keputusan, sehingga
kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias jender tetapi justru akan
mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas. Berbicara tentang
perempuan dan politik, merupakan bahasan yang menarik. Sebab, peran politik
perempuan dari perspektif kalangan feminisme radikal adalah dimana terjadinya
transformasi total (kalau perlu, dengan sedikit pemaksaan) peran perempuan di ranah
domestik ke ranah publik. Atau dalam bahasa populernya, kesetaraan gender.
Dominasi budaya patriarkhi seolah memberi garisan tegas bahwa antara perempuan
dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu
dengan yang lainnya. Dunianya perempuan adalah di rumah yang meliputi wilayah
domestik, mengurus anak-anak dengan segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir
di luar rumah maka pekerjaan/karir bukanlah hal yang utama. Perempuan diharuskan
siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan politik
adalah tempat yang cocok bagi laki-laki karena penuh dengan intrik-intrik berbahaya,
terlihat macho, penuh manuver serta identik dengan uang dan kekuasaan. Dengan
kondisi seperti ini, perempuan jelas tidak memiliki nilai tawar menawar. Terjun ke
dunia politik bagi perempuan bukan berarti harus menjadi anggota legislatif, bupati,
walikota atau presiden. Namun berperan aktif di ranah politik merupakan pembuktian
kemampuan intelegensia sekaligus aktualisasi diri bagi kaum Hawa. Keterlibatan
perempuan dengan politik berarti membukakan akses bagi perempuan untuk ikut
menentukan kebijakan publik. Sebab masalah yang dihadapi masyarakat selama ini
juga merupakan masalah perempuan. Sebaliknya, masalah perempuan juga persoalan
masyarakat. Untuk itulah perempuan wajib menentukan sikap dalam pengambilan
keputusan tersebut dan melakukan kontrol atas keputusan politik itu sendiri.
Keterwakilan perempuan di parlemen juga sangat penting dalam pengambilan
keputusan publik karena akan berimplikasi pada kualitas legislasi yang dihasilkan
lembaga Negara dan publik. Selain itu juga akan membawa perempuan pada cara
pandang yang berbeda dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan
publik karena perempuan akan lebih berpikir holistic dan beresponsif
gender.Signifikansi keberadaan perempuan di parlemen juga akan berdampak pada
perumusan kebijakan dan peraturan perundangundangan sebagai bagian dari agenda
nasional yang akan mempercepat implementasi Pengarusutamaan Gender. Gender
merupakan dimensi yang harus dimasukkan dalam semua kebijakan-kebijakan, serta
dalam perencanaan dan proses-proses pembangunan, sebab gender membantu
memahami lebih baik sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan, dan peran-peran perempuan
dan laki-laki dalam masyarakat menurut faktor-faktor sosial, dan permasalahan di atas
menunjukkan bahwa antara teks dan konteks beserta pemaknaan yang terjadi
sangatlah menunjukkan ketimpangan dan bahkan menggiring berbagai pihak untuk
melakukan multitafsir terhadap peran perempuan di pentas politik, sehingga akan
bermuara pada ketidakjelasan keterjaminan pemenuhan hak-hak perempuan. Hal ini
patut untuk dilakukan analisis kritis dan logis untuk memberikan pemaknaan yang
mendalam, baik secara yuridis, filosofis dan sosiologis terhadap adanya teks
keterwakilan perempuan di politik yang selama ini hanya dimaknai secara parsial dan
hanya dari kebutuhan para pihak saja. Pokok pikiran ketiga Pembukaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terkandung
bahwa NegaraRepublik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar
atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara
yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat
dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Berdasarkan paparan latar belakang
di atas maka dapat ditarik masalah tentang bagaimana peran politik perempuan dalam
presfektif gender?
Rumusan masalah
Berdasarkan penjelasan di atas tentang peran politik perempuan dalam
persfektif gender islam, maka penulis tertarik untuk membahas dua rumusan masalah
antara lain :
a. Bagaimana peran politik perempuan dalam islam?
b. Apa permasalahan politik perempuan dalam persfektif gender islam?
Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana peran politik perempuan dalam islam
b. Untuk mengetahui permasalahan politik perempuan dalam persfektif gender
islam
Metode penelitian
Penelitian ini dengan metode pendekatan kualitatif dalam mengumpulkan data
yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu suatu proses dalam mengumpulkan data/
informasi mengenai suatu masalah dalam pembahasan yang sedang dikaji.kerangka
berpikir yang digunakan adalah kerangka operasional variabel yang diangkat oleh
peneliti berdasarkan konsep yang diteliti sesuai dengan pendapat sumber berdasarkan
fakta kemudian ditarik kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang ada.
Hasil
1. Evi Fatimatur Rusydiyah (UIN Sunan Ampel Surabaya), dalam jurnalnya yang
berjudul “Pendidikan Islam dan Kesetaraan Gender (Konsepsi Sosial tentang
Keadilan Berpendidikan dalam Keluarga)”. Hasil dari penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa Kesetaraan gender bermula untuk menghadapi berbagai aspek,
termasuk demokrasi, sosial kemasyarakatan, sekaligus membentuk kesetaraan di
antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan bermula dari keluarga, mungkin pendapat
ini baru kita dengar, akan tetapi bisa untuk penganalisaan lebih cermat bahwa segala
sesuatunya dimulai dari keluarga. Keluarga yang membentuk beberapa aspek sebagai
awal dari kepribadian.80 Relevansi penelitian yang dilakukan Evi Fatimatur
Rusydiyah dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu jenis penelitian kualitatif
dengan pembahasan mengenai konsep kesetaraan gender dalam pendidikan.
Perbedaan penelitian terletak pada pembahasan, pembahsan yang dilakukan penulis
adalah kesetaraan gender dalam pendidikan Islam secara umum yang dikhususkan
pada implementasinya di Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta sebagai
objek penelitian. Sedangkan dalam penelitian Evi Fatimatur Rusydiyah membahas
kesetaraan gender dalam pendidikan yang dkhususkan dalam lingkup keluarga.
Jawab 1 :
Apa yang anda ketahui tentang gender?
“konsep hubungan social yang membedakan kedudukan dan peran laki-lakidan
perempuan dalam masyarakat”
Jawab 4:
Tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan diMasyarakat.
Pembahasan
1. Pemberdayaan Politik Perempuan
Perempuan Indonesia lebih banyak bekerja disektor domestik rumah tangga.
Perempuan yang bekerja diranah publik pada umumnya masih harus mengurus rumah
tangga, walaupun perjuangan emansipasi wanita yang mengupayakan kesejajaran
perempuan dengan laki-laki. Secara umum perempuan yang bekerja diranah publik
masih pada posisi yang kurang menguntungkan, perempuan lebih cendrung terbatas
akses dan kesempatannya untuk mendapatkan jabatan, disamping sering dipandang
kurang kredibel dalam memegang pekerjaan-pekerjaan penting.Secara tradisi,
perempuan ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan yakni hanya
berpusat pada aktifitasrumah tangga. Bahkan ada semacam jargon orang tua yang
enggan untukmenyekolahkan anak perempuannya karena paling nanti hanya akan
diambil istri dan mengurusi rumah tangga saja Hal semacam ini terus-menerus
diturunkan padasetiap generasi sehingga menjadi sebuah nilai yang berlaku dalam
masyarakatyang menempatkan laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan perempuan. Secara umum ada dua persoalan yang melatar belakangi hal ini
terjadi yaitu, kultur dan pemaham tentang agama yang merupakan faktor klasik
keterbelakangan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dunia perempuan
adalah dunia yang berbeda dengan laki-laki, terlihat dari segi kebutuhan yaitu adanya
perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki, sehingga solusi dari setiap
permasalahan perempuanhanya bisa dijawab oleh perempuan karena laki-laki tidak
akan bisa memahami kebutuhan perempuan. Yang menjadi persoalan adalah
kelemahan perempuan dibidang politik, maka ketika perempuan mampu terjun ke
dunia politik dan mampu menunjukkan prestasinya maka salah satu persoalaan
perempuan telah terjawab. Karena perempuan lebih diposisikan di belakang laki-laki,
partisipasi perempuandalam dunia politik dinilai tidak lebih dari sekedar pemberian
hak pilih atau pemberian suara pada pemilu, hal ini juga lebih kepada peran untuk
berpartisipasi yang di mobilisasi (mobilized participation) daripada partisipasi yang
bersifat otonom (autonomous participation) yang mencerminkan hak politik kaum
perempuan dalam arti yang lebih luas. Kebijakan politik memang sangan diperlukan
dalam upaya pemberdayan perempuan karena melalui keputusan politik, segala
aktifitas kehidupan dapat ditentukan. Sehingga dengan adanya one gate policy atau
kebijakan satu pintu yang digagas Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk
mengkoordinir kegiatan yang sensitive gender patut didukung oleh seluruh jajaran
eksekutif dalam membuat kebijakan. Prospek positif bagi keterwakilan politik
perempuan harus diimbangi dengan tanggung jawab moral baik secara idealisme
maupun implementasinya. Semua tergantung dari seberapa kuat idealisme dan dan
konsistensi perjuangan kaum perempuan dalam panggung politik. Prospek
keterwakilan perempuan di parlemen sangat tergantung pada sejumlah korelasi kuat
antara system pemilu, partai politik, mekanisme pencalonan dan elemen teknis pemilu
seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara. Kebijakan
affirmative action yang memberi kemudahan pada perempuan untuk berpartisipasi
lebih luas bagi perempuan sejak tahun 2004, sistem ini memberikan peluang
munculnya wakil-wakil perempuan di parlemen. Aspek-aspek dalam sistem pemilu
perlu diperhatikan untuk melihat peluang keterwakilan perempuan adalah: batasan
daerah pemuli (DAPIL), mekanisme pencalonan, metode pemberian suara, pormula
penetapan calon terpilih. Di tingkat nasional, partisipasi perempuan dalam politik
dijamin sepenuhnya dalam Revisi Undang-Undang Politik. Dalam Undang-Undang
nomor 2 tahun 2008 tentangPartai Politik tersebut, pembentukan dankepengurusan
partai politik di tingkat pusat harus menyertakan 30% untuk keterwakilanperempuan
(pasal 2 tentang pembentukanpartai politik), serta ketentuan untuk memperhatikan
minimal 30% keterwakilanperempuan dalam kepengurusan di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota (pasal 20). Kemudian dengan adanya putusan MK yang menganulir
pasal 214 UU No.10/2008 dimana penentuan calon tidak lagi berdasarkan no urut
melainkan berdasarkan suara terbanyak dianggap telah mematisurikan keterwakilan
politk perempuan di DPR/DPRD, sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.
10/2008 pasal 56 menyatakan bahwa daftar calon yang diajukan parpol memuat
paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Sebagai tindak lanjut untuk
meningkatkan partisipasi politik perempuan perlu dilakukan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Memperkuat peran partisipasi perempuan dalam dunia politik
Salah satu peran penting dari manifestasi proses demokratisasi adalah
bagaimana peran partai politik dalam meletakkan dasardasar yang fundamental,
terutama peran parpol. Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam level manajemen
partai masih sangat rendah dan system ini masih belum dapat dilaksanakan.
b. Secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus dengan
affirmative action.
Artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan dalam
aktifitas politik. Dibeberapa Negara dalam proses pemilihan kandidat untuk anggota
parlemen masingmasing partai politik memberikan kuota kepada kandidat perempuan.
Seperti di Argentina yang memberikan kuota 30%, Brazil 20%, India 33%. Namun
untuk merealisasikan keduanya bukanlah sesuatu hal yang mudah karena proses
transisinya harus melibatkan seluruh kelompok masyarakat, bukan hanya elit politik.
Untuk itu apabila upaya pemberdayaan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat,
maka akan muncul system politik yang sensitive gender. Jika kita berbicara mengenai
pemberdayaan atau partisipasi politik perempuan, maka sedikitnya ada dua faktor
utama, sebagaimana diajukan oleh Center For Asia-Pasific Women In Folitics, yang
menjadi hambatan utama. Adapun dua faktor yang dimaksud adalah:
a. Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan
perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan
dibidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan.
b. Kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses
perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar diberbagai kelembagaan sosial dan
politik. Partisipasi politik perempuan adalah stereotipe gender yang berkaitan dengan
masalah perempuan dan politik, khususunya dalam hal kepemimpinan politik, dimana
stereotipe ini memiliki dua kata gori yakitu:
a. Perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dalam dunia politik, dan yang lebih
khusus lagi duduk di dalam posisi kepemimpinan politik.
b. Tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan otoritas
harus mampu segalanya. Secara tradisi yang merupakan hasil konstruksi sosial atau
buatan manusia, ranah publik adalah ranahnya laki-laki dan ranah privat adalah
ranahnya perempuan. Selama ini pada umumnya diasarkan pada keyakinan bahwa
perempuan mengelola segala hal dalam rumah tangga, misalnya mengurus orang
tua/mertua, suami dan anak-anak. Sehingga kegiatan perempuan di yang bekerja di
luar seperti mencari nafkah baik uang maupun yang lainnya, aktif di dalam organisasi
atau komunitas, atau bahkan di dunia politik, selalu dilihat sebagai tanggung jawab
skunder. Selama semua itu tidak meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu
rumah tangga, istri, anak perempuan yang berada di ranah privat sehingga
aktivitasnya di ranah publik bisa diterima. Keadaan perempuan belakangan ini mulai
memperlihatkan perubahan, termasuk keterlibatan kaum perempuan dalam ranah
politik, tetapi yang menjadi persoalan bahwa seringkali aktivitas kaum perempuan di
bidang politik menjadi beban yang berat karena mereka tetap dituntut untuk
bertanggung jawab sepenuhnya di ranah privat yaitu menjalani kodrat sebagai
perempuan yaitu mengurus rumah tangga. Kita sudah bisa melihat perempuan duduk
memegang posisiposisi strategis diberbagai bidang baik itu sosial maupun politik
hingga ekonomi, tetapi persoalannya akan berbeda ketika ketika menyangkut dengan
perempuan. Harapan tuntutan masyarakat terhadap perempua sebagai sebagai
pemimpin memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan laki-laki, masyarakat
memandang pemipin perempuan dengan standar harapan dan tuntutan yang tinggi,
misalkan kalangan perempuan meskipun sukses menunjukkan kemampian di dalam
bidang kepemimpinan tetapi mereka harus tetap memiliki rasa tanggung jawab
terhadap rumah tangga dan keluarga mereka. Merekapun dituntut dengan kualifikasi
yang tinggi untuk diktan layak sebagai seorang pemimpin.
2. Gender dan Demokrasi
Stereotipe gender adalah kategori yang merefleksikan kesan dan keyakinan
tentang apa prilaku yang tepat untuk prilaku yang tepat terhadap pria dan wanita.
Contoh stereotipe dalam masyarakat:
Dimensi Kondisi Sifat Pemikiran
Identitas Gender Fisik
Feminim 1. Cantik 1. Penuh kasih 1. Imaginatif berdasarkan intuisi
2. Seksi sayang artistik
3. Menawan 2. Penuh rasa 2. Kreatif
4. Bersuara simpati 3. Penuh rasa cinta
lembut 3. Lembut
5. Manis 4. Sensitif
6. Kecil 5. Sentimentil
Mungil 6. Mudah
bersosialisasi
Maskulin 1. Atletis 1. Selalu ingin 1. Analis
2. Besar dan bersaing 2. Hebat dalam urusan angka
tegap 2. Kurang 3. Abstrak (tidak artistik)
3. Berotot sensitif 4. Pintar dalam memecahkan
4. Tinggi 3. Mendomina masalah secara logika/analitis
5. Bersuara si petualang 5. Pintar memberi alasan
tinggi 4. Agresif 6. Tidak berdasarkan intuisi
6. Kuat 5. Berani
Kesimpulan
Islam hadir dengan membawa sistem nilai keyakinan, politik, ekonomi, sosial budaya
dan hukum yang sempurna. Dimana Islam menjamin secara adil persamaan hak,
kewajiban dan tanggung jawab manusia secara proporsional, baik laki-laki dan
perempuan sesuai fitrahnya masing-masing. Manusia baik laki-laki maupun
perempuan selama mereka masih memiliki citra kemanusiaannya, akan tetap memiliki
kesadaran bahwa satu sama lainnya senantiasa saling membutuhkan dan tak dapat
dipisahkan. Bahkan secara khusus al-Qur’an berbicara mengenai hak perempuan,
sebagaimana dinyatakan bahwa ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (baik)” (QS. Al-Baqarah: 228).
Sejatinya, perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam politik
dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi
turut mewarnai) di negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang dan perjuangan
yang kuat untuk dibuktikan, karena inimenyangkut kapabilitas yang bisa
dipertanggungjawabkan untuk bersaing dan mampu berkontribusi dalam politik
praktis secara signifikan..
Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai makhluk lemah
dan agak sensitif, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna mengonstruksi isu
representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang setara dan partisipatif
dan wacana gender dalam frame pluralism demokratis (non-patriarkis) sebagai
prioritas kebijakan ke depan agar tatanan masyarakat demokratis yang berkeadilan
jender bisa sungguh-sungguh terwujud di negeri ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam peraturan KPU Nomor 7/2013 yang
menyebutkan bahwa parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan 30 persen
keterwakilan perempuan dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar calon
pada daerah pemilihan bersangkutan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam
peraturan KPU Nomor 7/2013 yang menyebutkan bahwa parpol yang tidak dapat
memenuhi ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan dinyatakan tidak memenuhi
syarat pengajuan daftar calon pada daerah pemilihan bersangkutan. PKPU Nomor 7
Tahun 2013 menyatakan bahwa apabila parpol tidak berhasil memenuhi kuota 30%
caleg perempuan maka akan ditolak dan dihapus dari dapil terkait. menempatkan
calon legislatif perempaun di nomor urut teratas. “Nomor urut 1 dan 2 diisi oleh bakal
calon dengan jenis kelamin yang berbeda. Menempatkan calon legislatif perempuan
dalam nomor urut 1 dan 2 ini dikenal dengan sistem zipper.
Politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai
pemerintahan negara atau negara lain. Politik juga berarti kebijakan dan cara
bertindak dalam menghadapi dan menangani satu masalah, malah yang berkaitan
dengan masyarakat maupun selainnya. Ketika kaum muslimin berupaya
memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat,
maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.
Perempuan, selain sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang
suami, serta anak dari orangtuanya, adalah bagian dari masyarakat sebagaimana
halnya laki-laki. Oleh karena itu, wanita dapat melakukan peran politik meskipun
tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan). Islam menetapkan hukum yang sama
antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma’ruf nahi
munkar), kewajiban menuntut ilmu serta kewajiban menunaikan ibadah-ibadah ritual
(mahdhah).
DAFTAR PUSTAKA
http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/2009/05/peran-politik-perempuan-dalam-
pandangan.html
very wahyudi, peran politik
jurnal fikroh vol 4 no.2 Januari 2011
islamic politic, political women
Aisyah, Andri, Astuti, jurnal studi gender dan anak 1 Juni 2021
Abidin, Zainal. Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuan Dalam Pendidikan
Islam. Journal of TARBAWIYAH. Vol. 12 No 1, 2015.
Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan Perempuan, Terj. Tahrirul Mar‟ah Fi
„Ashir Risalah oleh Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press. 2001.
al-Abrasyi, M. Athiyah. Beberapa pemikiran Pendidikan Islam, Terj. dari Ruh Al-
Islam, mathba‟ah Lajnah Al-bayan Al-„Arabi oleh Syamsuddin Astrofi. Achmad
Warid Khan dan Nizar Ali. Jakarta: Bulan Bintang. 1969.
al-Abrasyi, M. Athiyah. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. dari
Attarbiyatul Islamiyah oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S. Jakarta:
Bulan Bintang. 1969.
al-Allawi, Muhammad Ali. The Great Women; Mengapa Perempuan Harus Merasa
Tidak Lebih Mulia, Terj Uluwwul Himmah „Inda An-Nisa oleh El- Hadi
Muhammad. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006.
al- Bukhari Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Beriut: Dar Thauq An-Najah,
1422 H. Jilid VII.
al-faruqi, Lamya. „Ailah, Masa Depan Kaum Perempuan. Surabaya: Pustaka
Progressif. 1997.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011.
Muhammad Ali Al-Bar. Perempuan Karir Dalam Timbangan Islam: Kodrat
Keperempuanan. Emansipasi dan Pelecahan Seksual. Terj Amal Al-Mar‟ah Fi Al-
Mizan oleh Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta: Pustaka Azzam. 1998.