Anda di halaman 1dari 27

Peran Politik Perempuan Dalam Persfektif Gender Islam

Oleh: Fanny Fauziyyah, Nur Fatimah, Vinny Fitriani

Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan, Universitas Pendidikan Indonesia,


Fakultas Pendidikan Olah Raga Dan Kesehatan

Abstract
Drawing on the literature,this study aims to shed some light on women’s role
in the Indonesian political arena. The view that women have no room in politics is a
result of the patriarchal culture within the society even across the state,undermining
women, and legitimating the view that politics is an important public sphere, which
denies their participation. As a consequence,there remains a small portion of women
being able to compete with men, who have often been regarded superior over their
female counterparts. The interest of women to partake in the political arena has
indeed been exponential,yet the percentage remains low despite being legitimated by
theconstitutions.

Keywoards: Politics, Women, Gender

Abstrak
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan,dan
kemudian bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana peran politik
perempuan dalam dinamika perpolitikan Indonesia selama ini. Kemudian pembahan
berawal dari budaya patriarki yang dominan dalam realitas masyarakat bahkan
negara, mengakibatkan tidak mudah mengubah pandangan bahwa politik adalah
wilayah publik yang penting dan bisa dimasuki oleh perempuan.Akibat
selanjutnya,jumlahperempuanberpotensi di bidang ini masih
sedikituntukmampuberkompetisidenganpara laki-laki yang selama ini dikonstruksikan
untuk lebih maju daripada perempuan. Animoperempuanuntukmemasuki wilayah
publik ini memang sudah meningkat,tetapi prosentasenyamasihrendahwalausudah
dijamin oleh ketentuan undang-undang.

Kata Kunci: Politiki, Perempuan, Gender

Politea: Jurnal Politik Islam, Very Wahyudi StafpengajardiJurusan


PemikiranPolitikIslam,UINMataram Email:verywahyudi89@gmail.com

PENDAHULUAN
Manusia menurut kodratnya diciptakan Allah dari diri yang satu, dan dari padanya
kemudian diciptakan pasangan seksnya, agar mereka dapat hidup saling berkasih
sayang. Kemudian dari kedua insan tersebut lahirlah umat manusia dari generasi ke
generasi hingga tibanya hari kiamat. Keberadaan manusia secara biologis yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan merupakan suatu keniscayaan universal, yang tidak lagi
dapat diragukan hakekat kebenarannya. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa laki-laki
tak akan menemukan esensi maskulinitasnya tanpa adanya perempuan, demikian pula
sebaliknya perempuan tidak akan dapat merefleksikan feminitasnya jika tak ada laki-
laki disisinya. Eksistensi hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks
peradabannya, laksana dua sisi dari satu mata uang yang sama. Fenomena persoalan
kemanusiaan mulai mengidentifikasikan dirinya dalam kehidupan sebagai makhluk
politik, ekonomi, dan budaya, tatkala mereka mulai dihinggapi penyakit tidak pernah
puas dengan prestasi dan citra dirinya. Pada saat itu manusia mulai menjadikan
kompetisi dan berusaha saling mendominasi di antara mereka. Ambisi untuk saling
menguasai inilah yang membuat manusia disibukkan mencari perbedaan antara
mereka, untuk dijadikan alasan agar dapat saling menaklukkan dan saling menguasai.
Faktor perbedaan gender merupakan alternatif pembeda yang paling mudah untuk
diidentifikasi, dan dapat dijadikan alasan sebagai pendorong bagi mereka untuk
melakukan manipulasi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga dengan mengeksploitasi
perbedaan posisi seks antara laki-laki dan perempuan, kepentingan untuk saling
mendominasi dan menguasai di antara mereka dapat terealisasi. Kondisi ini yang
kemudian menghantarkan manusia pada suatu peradaban jahiliyah penuh kebiadaban
dalam berbagai aspek multi kompleks dan multi dimensional. Pada satu sisi manusia
mampu menciptakan berbagai produk peradaban yang sangat mengagumkan dan
menakjubkan dirinya. Namun pada sisi lain timbul krisis kemanusiaan yang tidak
diinginkan dalam peradabannya. Berupa musibah kemanusiaan, karena tak terjalinnya
keseimbangan relasi kemanusiaan antara manusia yang termanifestasi dalam sikap
dan perilaku diskriminatif berupa ketidakadilan antara mereka dalam menyingkapi
perbedaan gender. Sebagaimana dikemukakan oleh Fakih (2003) bahwa ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak-adilan, baik bagi kaum laki-laki
dan terutama terhadap kaum perempuan. Sebagaimana dimaklumi bahwa sejarah telah
memberikan gambaran sangat jelas bagi kita tentang betapa kejamnya peradaban
jahiliyah, dimana relasi sosial pada masa itu menilai keberadaan seorang perempuan
di pandang sebagai aib terhadap keluarganya. Sehingga begitu dilahirkan langsung
dikubur hidup-hidup oleh ayahnya. Bahkan pada masa pra Islam nasib kaum
perempuan dalam relasi sosial budaya dipandang tidak memiliki peranan apapun.
Dalam kondisi yang dimarginalkan secara kultural inilah kaum perempuan dirampas
haknya, diperjual belikan seperti budak, dan diwariskan, tetapi tidak mewarisi.
Bahkan sebagian bangsa melakukan hal itu terus menerus. Bahkan menganggap
perempuan tidak punya roh, hilang dengan kematiaanya (Ja’far, 2002). Sungguh
pengkhianatan terhadap harkat dan martabat perempuan, yang telah sangat berjasa
melahirkan dan membesarkan setiap laki-laki sampai akhir zaman, merupakan
pengalaman buruk dari lembaran hitam sejarah peradaban umat manusia.
Istilah Kesetaraan gender adalah istilah yang banyak diucapkan oleh para aktivis
sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan
gender secara praktis hampir selalu diartikan sebagai kondisi "ketidaksetaraan" yang
dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan
istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan
tidak adil dan semacamnya. Dengan kata lain, kesetaraan gender juga berarti adanya
kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Oleh karena, banyak
bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh beberapa LSM, untuk
memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa pelatihan tentang isu-isu
gender, pembangkitan kesadaran perempuan dan pemberdayaan perempuan dalam
segi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik. Pemerintah pun juga tidak tinggal diam
di dalam melakukan pencapaian hasil dari kesetaraan gender. Kita patut bangga dan
menghargai atas perjuangan kaum perempuan di legislatif, para aktivis perempuan
dan para feminis yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative
action dengan harapan agar ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan
dilembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pengambilan keputusan, sehingga
kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias jender tetapi justru akan
mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas. Berbicara tentang
perempuan dan politik, merupakan bahasan yang menarik. Sebab, peran politik
perempuan dari perspektif kalangan feminisme radikal adalah dimana terjadinya
transformasi total (kalau perlu, dengan sedikit pemaksaan) peran perempuan di ranah
domestik ke ranah publik. Atau dalam bahasa populernya, kesetaraan gender.
Dominasi budaya patriarkhi seolah memberi garisan tegas bahwa antara perempuan
dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu
dengan yang lainnya. Dunianya perempuan adalah di rumah yang meliputi wilayah
domestik, mengurus anak-anak dengan segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir
di luar rumah maka pekerjaan/karir bukanlah hal yang utama. Perempuan diharuskan
siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja. Sedangkan politik
adalah tempat yang cocok bagi laki-laki karena penuh dengan intrik-intrik berbahaya,
terlihat macho, penuh manuver serta identik dengan uang dan kekuasaan. Dengan
kondisi seperti ini, perempuan jelas tidak memiliki nilai tawar menawar. Terjun ke
dunia politik bagi perempuan bukan berarti harus menjadi anggota legislatif, bupati,
walikota atau presiden. Namun berperan aktif di ranah politik merupakan pembuktian
kemampuan intelegensia sekaligus aktualisasi diri bagi kaum Hawa. Keterlibatan
perempuan dengan politik berarti membukakan akses bagi perempuan untuk ikut
menentukan kebijakan publik. Sebab masalah yang dihadapi masyarakat selama ini
juga merupakan masalah perempuan. Sebaliknya, masalah perempuan juga persoalan
masyarakat. Untuk itulah perempuan wajib menentukan sikap dalam pengambilan
keputusan tersebut dan melakukan kontrol atas keputusan politik itu sendiri.
Keterwakilan perempuan di parlemen juga sangat penting dalam pengambilan
keputusan publik karena akan berimplikasi pada kualitas legislasi yang dihasilkan
lembaga Negara dan publik. Selain itu juga akan membawa perempuan pada cara
pandang yang berbeda dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan
publik karena perempuan akan lebih berpikir holistic dan beresponsif
gender.Signifikansi keberadaan perempuan di parlemen juga akan berdampak pada
perumusan kebijakan dan peraturan perundangundangan sebagai bagian dari agenda
nasional yang akan mempercepat implementasi Pengarusutamaan Gender. Gender
merupakan dimensi yang harus dimasukkan dalam semua kebijakan-kebijakan, serta
dalam perencanaan dan proses-proses pembangunan, sebab gender membantu
memahami lebih baik sikap-sikap, kebutuhan-kebutuhan, dan peran-peran perempuan
dan laki-laki dalam masyarakat menurut faktor-faktor sosial, dan permasalahan di atas
menunjukkan bahwa antara teks dan konteks beserta pemaknaan yang terjadi
sangatlah menunjukkan ketimpangan dan bahkan menggiring berbagai pihak untuk
melakukan multitafsir terhadap peran perempuan di pentas politik, sehingga akan
bermuara pada ketidakjelasan keterjaminan pemenuhan hak-hak perempuan. Hal ini
patut untuk dilakukan analisis kritis dan logis untuk memberikan pemaknaan yang
mendalam, baik secara yuridis, filosofis dan sosiologis terhadap adanya teks
keterwakilan perempuan di politik yang selama ini hanya dimaknai secara parsial dan
hanya dari kebutuhan para pihak saja. Pokok pikiran ketiga Pembukaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terkandung
bahwa NegaraRepublik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar
atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem negara
yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat
dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Berdasarkan paparan latar belakang
di atas maka dapat ditarik masalah tentang bagaimana peran politik perempuan dalam
presfektif gender?

Rumusan masalah
Berdasarkan penjelasan di atas tentang peran politik perempuan dalam
persfektif gender islam, maka penulis tertarik untuk membahas dua rumusan masalah
antara lain :
a. Bagaimana peran politik perempuan dalam islam?
b. Apa permasalahan politik perempuan dalam persfektif gender islam?

Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana peran politik perempuan dalam islam
b. Untuk mengetahui permasalahan politik perempuan dalam persfektif gender
islam

Metode penelitian
Penelitian ini dengan metode pendekatan kualitatif dalam mengumpulkan data
yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu suatu proses dalam mengumpulkan data/
informasi mengenai suatu masalah dalam pembahasan yang sedang dikaji.kerangka
berpikir yang digunakan adalah kerangka operasional variabel yang diangkat oleh
peneliti berdasarkan konsep yang diteliti sesuai dengan pendapat sumber berdasarkan
fakta kemudian ditarik kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang ada.

Hasil
1. Evi Fatimatur Rusydiyah (UIN Sunan Ampel Surabaya), dalam jurnalnya yang
berjudul “Pendidikan Islam dan Kesetaraan Gender (Konsepsi Sosial tentang
Keadilan Berpendidikan dalam Keluarga)”. Hasil dari penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa Kesetaraan gender bermula untuk menghadapi berbagai aspek,
termasuk demokrasi, sosial kemasyarakatan, sekaligus membentuk kesetaraan di
antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan bermula dari keluarga, mungkin pendapat
ini baru kita dengar, akan tetapi bisa untuk penganalisaan lebih cermat bahwa segala
sesuatunya dimulai dari keluarga. Keluarga yang membentuk beberapa aspek sebagai
awal dari kepribadian.80 Relevansi penelitian yang dilakukan Evi Fatimatur
Rusydiyah dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu jenis penelitian kualitatif
dengan pembahasan mengenai konsep kesetaraan gender dalam pendidikan.
Perbedaan penelitian terletak pada pembahasan, pembahsan yang dilakukan penulis
adalah kesetaraan gender dalam pendidikan Islam secara umum yang dikhususkan
pada implementasinya di Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta sebagai
objek penelitian. Sedangkan dalam penelitian Evi Fatimatur Rusydiyah membahas
kesetaraan gender dalam pendidikan yang dkhususkan dalam lingkup keluarga.

2. Zainal Abidin (UIN Jakarta,2008), dalam jurnalnya yang berjudul “Kesadaran


Gender dan Emansipasi Perempuan Dalam Pendidikan Islam”. Hasil dari penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa kesetaraan gender dalam Islam sesbenarnya telah
diperjuangkan oleh para ulama untuk merealisasikan ajaran Islam berdasarkan
semangat al-Qur‟an dan Hadits. Perjuangan kesetaraan gender dalam bidang
pendidikan Islam juga telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW hingga pada
era modern. Walaupun begitu secara obyektif dalam konteks sejarahnya, gerakan
feminisme atau emansipasi perempuan menjadi trend yang menggejala dan bukan
hanya berkembang di Barat tetapi juga menggejala di kalangan aktifis muslim yang
konsens dengan gerakan gender, yang menuntuk persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam segala bidang. 81 Relevansi penelitian yang dilakukan Zainal
Abidin dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu jenis penelitian kualitatif
dengan pembahasan mengenai konsep kesetaraan gender dalam pendidikan Islam.
Perbedaan penelitian terletak pada metode penelitian, metode penelitian yang
dilakukan penulis adalah kualitatif lapangan yang memunculkan objek yaitu Pusat
Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta sehingga penulis membahas
implementasi konsep kesetaraan gender dalam pendidikan Islam yang tidak dibahas
dalam penelitian Zainal Abidin.

3. Nur Rohmah (UIN Yogyakarta,2014), dalam penelitiannya yang berjudul “Relasi


Gender dan Pendidikan Islam”. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
Kesetaraan gender dalam Islam sesbenarnya telah diperjuangkan oleh para ulama
untuk Konsepsi kesetaraan laki-laki dan perempuan yang ditawarkan oleh Barat tidak
mendapatkan tempat dikalangan masyarakat Islam, dan hal ini harus disikapi dengan
bijak melalui jalan membangun konsepsi yang sejenis namun sesuai dengan kaidah
dan aturan yang disepakati di dalam Islam. Selanjutnya salah satu tugas sosial yang
mesti dituntaskan oleh lembaga pendidikan adalah problematika yang muncul dalam
masyarakat, salah satunya adalah terdiskriminasinya perempuan oleh dua poros
kebudayaan hegemonik. Peran pendidikan dalam mentransformasikan teori kesetaraan
laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan Islam adalah dengan menciptakan
pendidikan yang adil gender. Relevansi penelitian Nur Rohmah dengan penelitian
yang dilakukan penulis yaitu jenis penelitian kualitatif dengan pembahasan mengenai
bagaimana seharusnya relasi gender dalam pendidikan Islam. Perbedaan penelitian
terletak pembahasan, pembahasan yang dilakukan penulis lebih luas karena penulis
membahas kesetaraan gender sampai pada implementasinya dalam pendidikan Islam.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi konsep


kesetaraan gender dalam Islam tidak menyetujui setiap konsep atau pandangan
feminis yang berasal dari Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai
lawan perempuan. Islam tetap berupaya untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan
perempuan dengan laki-laki, yang terabaikan di kalangan tradisional konservatif, yang
menganggap perempuan sebagai sub ordinat laki-laki. Laki-laki dan perempuan
keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang
berkualitas. Implementasi konsep kesetaraan gender dalam pendidikan Islam
menyerukan prinsip demokrasi, kebebasan, persamaan, dan kesempatan yang sama
untuk belajar tanpa danya diskriminasi. Konsep pendidikan Islam yang adil gender
sangat ideal, dimana pendidikan dalam berbagai dimensi baik perencanaan, kebijakan
dan pelaksanaan mempunyai wawasan dan kepekaan terhadap masalah gender. Yang
demikian dapat meluruskan pemahaman dan sikap yang tidak menimbulkan
ketimpangan gender.

Dari Hasil Penelitian Mahasiswa Upi Menjawab terkait Peran Politik


Perempuan Dalam Perspefektif Gender Islam :

Jawab 1 :
Apa yang anda ketahui tentang gender?
“konsep hubungan social yang membedakan kedudukan dan peran laki-lakidan
perempuan dalam masyarakat”

Apa yang menjadi persepektif gender dalam islam ?


“ kaum laki-laki dan perempuan sama dalam beberapa hal, contohnya: sebagai hamba
Allah,sebagai khalifah Allah”

Tentang isu gender saat ini?


“issue gender saat ini mengenai stigma masyarakat yg mengatakan bahwa perempuan
ini lebih baik dirumah saja , tidak harus berpendidikan tinggi, nah stigma ini masih
salah dikarenakan pedidikan itu bukan untuk Laki-laki saja”

Pendidikan islam berpengaruh penting untuk mengatasi problematika gender?


“ Ya, karena Pendidikan islammerujuk kepada nilai-nilai ajaranislam yang pada
keseuruhan aspeknya tercermin asas keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan mengjungjung tinggi persamaan hak Laki-laki dan Perempuan.”
Jawab 2:
Gender merupakan karakteristik yang berhubungan dengan maskulinitas dan
feminimitas.
Jawab 3:
Masih banyak kaum awam yang berespekulasi bahwa kesetaraan gender tidak terlalu
penting dan tidak sedikit pula yang masih mengaggap bahwa perempuan lebih rendah
disbanding laki-laki.

Jawab 4:
Tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan diMasyarakat.

Pembahasan
1. Pemberdayaan Politik Perempuan
Perempuan Indonesia lebih banyak bekerja disektor domestik rumah tangga.
Perempuan yang bekerja diranah publik pada umumnya masih harus mengurus rumah
tangga, walaupun perjuangan emansipasi wanita yang mengupayakan kesejajaran
perempuan dengan laki-laki. Secara umum perempuan yang bekerja diranah publik
masih pada posisi yang kurang menguntungkan, perempuan lebih cendrung terbatas
akses dan kesempatannya untuk mendapatkan jabatan, disamping sering dipandang
kurang kredibel dalam memegang pekerjaan-pekerjaan penting.Secara tradisi,
perempuan ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan yakni hanya
berpusat pada aktifitasrumah tangga. Bahkan ada semacam jargon orang tua yang
enggan untukmenyekolahkan anak perempuannya karena paling nanti hanya akan
diambil istri dan mengurusi rumah tangga saja Hal semacam ini terus-menerus
diturunkan padasetiap generasi sehingga menjadi sebuah nilai yang berlaku dalam
masyarakatyang menempatkan laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan perempuan. Secara umum ada dua persoalan yang melatar belakangi hal ini
terjadi yaitu, kultur dan pemaham tentang agama yang merupakan faktor klasik
keterbelakangan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dunia perempuan
adalah dunia yang berbeda dengan laki-laki, terlihat dari segi kebutuhan yaitu adanya
perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki, sehingga solusi dari setiap
permasalahan perempuanhanya bisa dijawab oleh perempuan karena laki-laki tidak
akan bisa memahami kebutuhan perempuan. Yang menjadi persoalan adalah
kelemahan perempuan dibidang politik, maka ketika perempuan mampu terjun ke
dunia politik dan mampu menunjukkan prestasinya maka salah satu persoalaan
perempuan telah terjawab. Karena perempuan lebih diposisikan di belakang laki-laki,
partisipasi perempuandalam dunia politik dinilai tidak lebih dari sekedar pemberian
hak pilih atau pemberian suara pada pemilu, hal ini juga lebih kepada peran untuk
berpartisipasi yang di mobilisasi (mobilized participation) daripada partisipasi yang
bersifat otonom (autonomous participation) yang mencerminkan hak politik kaum
perempuan dalam arti yang lebih luas. Kebijakan politik memang sangan diperlukan
dalam upaya pemberdayan perempuan karena melalui keputusan politik, segala
aktifitas kehidupan dapat ditentukan. Sehingga dengan adanya one gate policy atau
kebijakan satu pintu yang digagas Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk
mengkoordinir kegiatan yang sensitive gender patut didukung oleh seluruh jajaran
eksekutif dalam membuat kebijakan. Prospek positif bagi keterwakilan politik
perempuan harus diimbangi dengan tanggung jawab moral baik secara idealisme
maupun implementasinya. Semua tergantung dari seberapa kuat idealisme dan dan
konsistensi perjuangan kaum perempuan dalam panggung politik. Prospek
keterwakilan perempuan di parlemen sangat tergantung pada sejumlah korelasi kuat
antara system pemilu, partai politik, mekanisme pencalonan dan elemen teknis pemilu
seperti formula penentuan calon terpilih dan tata cara pemberian suara. Kebijakan
affirmative action yang memberi kemudahan pada perempuan untuk berpartisipasi
lebih luas bagi perempuan sejak tahun 2004, sistem ini memberikan peluang
munculnya wakil-wakil perempuan di parlemen. Aspek-aspek dalam sistem pemilu
perlu diperhatikan untuk melihat peluang keterwakilan perempuan adalah: batasan
daerah pemuli (DAPIL), mekanisme pencalonan, metode pemberian suara, pormula
penetapan calon terpilih. Di tingkat nasional, partisipasi perempuan dalam politik
dijamin sepenuhnya dalam Revisi Undang-Undang Politik. Dalam Undang-Undang
nomor 2 tahun 2008 tentangPartai Politik tersebut, pembentukan dankepengurusan
partai politik di tingkat pusat harus menyertakan 30% untuk keterwakilanperempuan
(pasal 2 tentang pembentukanpartai politik), serta ketentuan untuk memperhatikan
minimal 30% keterwakilanperempuan dalam kepengurusan di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota (pasal 20). Kemudian dengan adanya putusan MK yang menganulir
pasal 214 UU No.10/2008 dimana penentuan calon tidak lagi berdasarkan no urut
melainkan berdasarkan suara terbanyak dianggap telah mematisurikan keterwakilan
politk perempuan di DPR/DPRD, sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.
10/2008 pasal 56 menyatakan bahwa daftar calon yang diajukan parpol memuat
paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Sebagai tindak lanjut untuk
meningkatkan partisipasi politik perempuan perlu dilakukan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Memperkuat peran partisipasi perempuan dalam dunia politik
Salah satu peran penting dari manifestasi proses demokratisasi adalah
bagaimana peran partai politik dalam meletakkan dasardasar yang fundamental,
terutama peran parpol. Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam level manajemen
partai masih sangat rendah dan system ini masih belum dapat dilaksanakan.
b. Secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus dengan
affirmative action.
Artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan dalam
aktifitas politik. Dibeberapa Negara dalam proses pemilihan kandidat untuk anggota
parlemen masingmasing partai politik memberikan kuota kepada kandidat perempuan.
Seperti di Argentina yang memberikan kuota 30%, Brazil 20%, India 33%. Namun
untuk merealisasikan keduanya bukanlah sesuatu hal yang mudah karena proses
transisinya harus melibatkan seluruh kelompok masyarakat, bukan hanya elit politik.
Untuk itu apabila upaya pemberdayaan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat,
maka akan muncul system politik yang sensitive gender. Jika kita berbicara mengenai
pemberdayaan atau partisipasi politik perempuan, maka sedikitnya ada dua faktor
utama, sebagaimana diajukan oleh Center For Asia-Pasific Women In Folitics, yang
menjadi hambatan utama. Adapun dua faktor yang dimaksud adalah:
a. Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-laki dan
perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat partisipasi perempuan
dibidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan atau keputusan.
b. Kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses
perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar diberbagai kelembagaan sosial dan
politik. Partisipasi politik perempuan adalah stereotipe gender yang berkaitan dengan
masalah perempuan dan politik, khususunya dalam hal kepemimpinan politik, dimana
stereotipe ini memiliki dua kata gori yakitu:
a. Perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dalam dunia politik, dan yang lebih
khusus lagi duduk di dalam posisi kepemimpinan politik.
b. Tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan otoritas
harus mampu segalanya. Secara tradisi yang merupakan hasil konstruksi sosial atau
buatan manusia, ranah publik adalah ranahnya laki-laki dan ranah privat adalah
ranahnya perempuan. Selama ini pada umumnya diasarkan pada keyakinan bahwa
perempuan mengelola segala hal dalam rumah tangga, misalnya mengurus orang
tua/mertua, suami dan anak-anak. Sehingga kegiatan perempuan di yang bekerja di
luar seperti mencari nafkah baik uang maupun yang lainnya, aktif di dalam organisasi
atau komunitas, atau bahkan di dunia politik, selalu dilihat sebagai tanggung jawab
skunder. Selama semua itu tidak meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu
rumah tangga, istri, anak perempuan yang berada di ranah privat sehingga
aktivitasnya di ranah publik bisa diterima. Keadaan perempuan belakangan ini mulai
memperlihatkan perubahan, termasuk keterlibatan kaum perempuan dalam ranah
politik, tetapi yang menjadi persoalan bahwa seringkali aktivitas kaum perempuan di
bidang politik menjadi beban yang berat karena mereka tetap dituntut untuk
bertanggung jawab sepenuhnya di ranah privat yaitu menjalani kodrat sebagai
perempuan yaitu mengurus rumah tangga. Kita sudah bisa melihat perempuan duduk
memegang posisiposisi strategis diberbagai bidang baik itu sosial maupun politik
hingga ekonomi, tetapi persoalannya akan berbeda ketika ketika menyangkut dengan
perempuan. Harapan tuntutan masyarakat terhadap perempua sebagai sebagai
pemimpin memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan laki-laki, masyarakat
memandang pemipin perempuan dengan standar harapan dan tuntutan yang tinggi,
misalkan kalangan perempuan meskipun sukses menunjukkan kemampian di dalam
bidang kepemimpinan tetapi mereka harus tetap memiliki rasa tanggung jawab
terhadap rumah tangga dan keluarga mereka. Merekapun dituntut dengan kualifikasi
yang tinggi untuk diktan layak sebagai seorang pemimpin.
2. Gender dan Demokrasi
Stereotipe gender adalah kategori yang merefleksikan kesan dan keyakinan
tentang apa prilaku yang tepat untuk prilaku yang tepat terhadap pria dan wanita.
Contoh stereotipe dalam masyarakat:
Dimensi Kondisi Sifat Pemikiran
Identitas Gender Fisik
Feminim 1. Cantik 1. Penuh kasih 1. Imaginatif berdasarkan intuisi
2. Seksi sayang artistik
3. Menawan 2. Penuh rasa 2. Kreatif
4. Bersuara simpati 3. Penuh rasa cinta
lembut 3. Lembut
5. Manis 4. Sensitif
6. Kecil 5. Sentimentil
Mungil 6. Mudah
bersosialisasi
Maskulin 1. Atletis 1. Selalu ingin 1. Analis
2. Besar dan bersaing 2. Hebat dalam urusan angka
tegap 2. Kurang 3. Abstrak (tidak artistik)
3. Berotot sensitif 4. Pintar dalam memecahkan
4. Tinggi 3. Mendomina masalah secara logika/analitis
5. Bersuara si petualang 5. Pintar memberi alasan
tinggi 4. Agresif 6. Tidak berdasarkan intuisi
6. Kuat 5. Berani

3. Kesetaraan Gender Menurut Dimensi Islam


Hancurnya peradaban manusia sebagai konsekuensi logis dari kemaslahatan
hidup bagi kemanusiaan. Pada hakekatnya porakporandanya peradaban manusia
sebagai hasil dari tangan-tangan manusia itu sendiri. Disebabkan oleh ketidakadilan
dan ketidakmampuan mereka membangun relasi harmonis dalam peradaban manusia
sepanjang sejarahnya. Kehadiran peradaban Islam dengan mengusung risalah tauhid
dalam peradaban manusia, merupakan angin segar bagi munculnya tata dunia baru.
Sebagai terapi terhadap kesadaran komprehensif manusia yang dilanda patologi sosial
kronis yang mematikan citra kemanusiaan. Kenyataan itu tak dapat dipungkiri lagi,
karena Islam hadir dengan membawa sistem nilai keyakinan, politik, ekonomi, sosial
budaya dan hukum yang sempurna. Dimana Islam menjamin secara adil persamaan
hak, kewajiban dan tanggung jawab manusia secara proporsional, baik laki-laki dan
perempuan sesuai fitrahnya masing-masing. Manusia baik laki-laki maupun
perempuan selama mereka masih memiliki citra kemanusiaannya, akan tetap memiliki
kesadaran bahwa satu sama lainnya senantiasa saling membutuhkan dan tak dapat
dipisahkan melalui paradigma Islam manusia digiring untuk menyadarkan
eksistensinya dirinya sebagai makhluk yang terhingga di satu sisi. Sedangkan di sisi
lain pada saat bersama mereka berada dalam pembinaan Sang Khaliq yang tidak
terhingga. Kondisi demikian yang membuat keberadaan manusia menjadi makhluk
unik, dibandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya. Keunikan manusia sebenarnya
tercermin dari betapa pentingnya keberadaan relasi gender dalam kehidupan
peradaban mereka, yang hadir sebagai konsekuensi logis dari kesadaran kemanusiaan.
Dimana sesungguhnya hakekat keunikan itu terletak pada kesadaran manusia bahwa
”tak seorangpun mampu menyangkal bahwa ada manusia yang memiliki kemampuan
untuk hidup sendiri”. Eksistensi diri justru akan hilang manakala ia berkutat pada
kepentingan diri, dan eksistensi diri akan semakin jelas manakala ia dapat meretas
habis batas ruang hidupnya bagi orang lain (Zubair, 2002).
Keistimewaan manusia yang menakjubkan ini, baik laki-laki maupun
perempuan, karena dirinya mampu memahami dan membangun kesadaran tentang
depensinya. Kesadaran tersebut diposisikan sebagai kekuatan mental untuk
mengembangkan otonominya. Eksistensi demikian dikarenakan manusia yang
diciptakan berpasang-pasangan memerlukan kehadiran dan kerjasama satu sama lain.
Keterpaduan keduannya bukan berarti sama, namun mitra secara harmonis. Kemitraan
dan keharmonisan ini adalah prinsip dasar dari sesuatu yang diciptakan berpasangan.
Kompleksitas keberadaan kemanusiaan yang bersifat multi dimensional, menyadarkan
kita bahwa persoalan kesetaraan gender tidak sekedar bagaimana peradaban manusia
harus mengkonstruksi relasi sosial yang adil antara perempuan dan laki-laki, namun
faktor penting yang patut disadari oleh pasangan jenis tersebut, adalah bagaimana
mereka secara adil dan harmonis mengembangkan kesadaran penuh
mentransformasikan nilai ketuhanan tersebut kedalam sistem nilai kediriannya.
Manusia sebenarnya perlu memaklumi bahwa memulai pemahaman irfani (spiritual)
mengenai ajaran agama (Islam) secara representatif dari kedua insan tersebut akan
menyadarkan mereka mengenai eksistensi masing-masing dalam tatanan kehidupan
komprehensif. Sehingga tuntunan yang menyangkut rasa keadilan diantara keduanya
tidak hanya terbatas pada layar persepsi dan relasi-relasi yang bersifat fisik material
belaka. Sebagaimana tergambar dalam fenomena hubungan gender selama ini, yang
mengakibatkan relasi kemanusiaan dari pasangan jenis tersebut terpenjara dalam
naluri kebinatangan. Sehingga mengakibatkan mereka saling mengeksploitasi harkat
dan martabatnya masingmasing, dan keadaan seperti itu terbukti telah meruntuhkan
esensi kemanusiaan mereka sebagaimana yang dialami selama ini. Salah satu faham
manusia mengenai nilai-nilai ajaran agama sebagai penyebab ketidakadilan gender,
sebagaimana terungkap dalam relasi sejarah. Berupa adanya asumsi bahwa
perbedaanperbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya, dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural,
melalui ajaran keagamaan dan negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender
tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan bersifat biologis yang tidak bisa
diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-
laki dan kodrat perempuan (Fakih, 2003).
Pemahaman yang tidak bersifat konstruktif terhadap ajaran agama, khususnya
agama Islam dalam masyarakat tersebut, mengakibatkan manusia maklum, bahwa
permasalahan ketidakadilan gender disebabkan adanya legitimasi ajaran agama
terhadap sikap dan perilaku diskriminatif diantara mereka dalam relasi sosial.
Sebagaimana dimaklumi bahwa kehadiran Islam bagi umat manusia dimaksudkan
sebagai tuntunan yang mengatur hak dan kewajiban manusia agar mereka dapat saling
berlaku adil. Bahkan secara khusus al-Qur’an berbicara mengenai hak perempuan,
sebagaimana dinyatakan bahwa ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (baik)” (QS. Al-Baqarah: 228).

4. Peran Perempuan Muslim Dalam Bidang Politik Islam


Menurut Hazna Alifah, peran politik perempuan dalam Islam sangat berbeda
dengan politik dalam pandangan sekularisme. Tujuan berpolitik dalam Islam bukanlah
untuk meraih kekuasaan semata, tetapi adalah ria’yah asy-syu’un al- ummah
(mengatur urusan ummat) berarti menjamin seluruh permasalahan umat diselesaikan
dengan aturan Allah. Berpolitik menjadi hak dan kewajiban, termasuk seluruh umat
Islam, termasuk kaum perempuan Politik dalam Islam di kenal dengan as-siyasah
adalah segala aktifitas manusia yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai konflik
dan menciptakan keamanan bagi masyarakat. Sedangkan pemimpin seorang pribadi
yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/kelebihan di satu
bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Berangkat dari sini maka perempuan itu diperbolehkan menjadi pemimpin dalam
suatu organisasi, perusahaan dan bahkan negara dalam perspektif islam Menurut Abd.
Hamid Al-Anshori dalam bukunya yang berjudul al-Huquq al-Siyasah li almar`ah fi
al-Islam (tt: 294) menyatakan: “Sebagian ulama Islam Kontemporer berpandangan
bahwa agama Islam tidak menghalangi hak-hak berpolitik bagi perempuan secara
mutlak, persoalannya hanyalah pada masalah sosial politik, oleh sebab itu dalam
menganalisis masalah ini harus disesuaikan denngan konteks sosial, politik dan
ekonomi)”. Senada dengan pandangan di atas, Mustofa as-Siba`i dalam bukunya yang
berjudul al-Mar`ah Baina al-Fiqhi wa al-Qonun(1963: 40) berpendapat: “Terdapat
beberapa fatwa dari sebagian ulama yang memberikan ruang penuh kepada
perempuan untuk menjadi pemimpin Negara dan khilafah tanpa adanya batasan (sama
dengan laki-laki).”Politik merupakan arena dimana terjadinya distribusi dan alokasi
kekuasaan serta prosesproses pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dalam sebuah Negara.
Politik bukanlah sebuah proses yang kotor, jelek dan tabu, tetapi mengandung
aturan-aturan manin (etika dan hukum) yang harus ditaati oleh aktornya sehingga cita-
cita bersama dapat dicapai. Sayangnya dalam keseharian yang terjadi di lembaga
eksekuti, legislatik dan yudikatif menggambarkan masih rendahnya etika dan
moralitas politik. Masih terjadi pratek korup, tidak bertanggung jawab, prilaku tidak
terpuji seperti mengeluarkan kata-kata kasar, hidonis dan lain sebagainya. Islam tidak
meyakini satu jenis hak, satu jenis kewajiban dan satu jenis hukuman bagi lakilaki
maupun perempuan dalam segala hal. Islam mengambil sikap sama, dan mengambil
sikap berbeda (keadilan, kesetaraan dan kesederajatan dan santun).Sebagaimana Al-
Quran pada QS. Ali Imran ayat 19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. tiada berselisih orangorang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya. Menurut Syaikh Imad Zaki Al- Barudi (2007: 5-7) maksud ayat di
atas adalah kesamaan dalam Taklif (kewajiban Agama) dan Ganjaran. Kita meraskan
keheranan dengan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya adalah orang modern,
namun dalam kenyataan mereka masih ada tanda tanya, apakah wanita itu jenis
makhluk manusia atau bukan? Apakah sah ibadahnya atau tidak? Islam tidak
memandang identik atau persis sama antara hak laki- laki dan perempuan.
Dalam politik yang terpenting adalahmusyawarah, negosiasi, kepentingan
bersama, konsolidasi,dan lain-lain, sebagaimana QS. as- Syu‘ara(42): 38, Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Perhatikan
bagaimana tataran ideal contoh bai‘at (janji setia perempuan muslimah kepada Nabi
Muhammad SAW) antara lain adalah tidak mempersekutukan Allah, tidak mencuri,
tidak berzina, tidak membunuh anak mereka, tidak melakukan kebohongan besar,
tidak berbuat dusta. Menurut Rusnila (2013:4), perempuan dapat pula menuju derajat
“wali Allah”, yaitu bagi perempuan yang khusuk dalam ibadah, mendalam rasa takut
hanya kepada Allah (karamah). Hanya saja dalam tataran senyatanya bahwa
perempuan belum menyadari “kekuatan-kekuatan”, dengan demikian posisi
perempuan menjadi sekunder, subordinatif dan inferior terhadap laki-laki. Secara
nasional tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan disegala bidang
lapangan kerja baik sebagai politikus, PNS, buruh perusahaan termasuk petani, hingga
tahun 1998 mencapai 40,2 %. Kondisi ini dapat dimaklumi bahwa begitu besar andil
perempuan dalam pembangunan , diprediksi akan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Namun menurut WID (Women In Development Approach) dan USAID
(United States Agency for International Development) bahwa perempuan merupakan
SDM yang belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk memberikan sumbangan
ekonomi dan pembangunan, perempuan yang terjerumus dalam perbudakan fisik,
mental, emosi serta tersingkir dari kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi
kemanusian mereka, bahkan melakukan analisa terhadap pengalaman-pengalaman
personal mereka sebagai perempuan muslim. Disini perlu dipaparkan, bahwa
sementara angka bebas buta huruf di banyak negeri Islam rendah, angka bebas buta
huruf dikalangan perempuan Muslim,khususnya mereka yang tinggal di daerah
pedesaan, di mana sebagian besar penduduk tinggal, paling rendah di dunia. Menurut
Yusuf Qardhawy (1999: 76-77) bahwa para perempuan menghadiri tempattempat
berlajar bersama-sama dengan kaum laki, untuk mendapatkan pelajaran dari
Rasulullah SAW, Mereka dapat bertanya kepada beliau tentang masalah-masalah
agama. Aisyah memuji perempuan-perempuan dari golongan Anshar, bahwa mereka
tidak pernah malu dalam
memperdalam agama dan mereka, mereka menanyakan masalah-masalah yang
berkenaan dengan keperempuanan. Pada awal kejayaan Islam perempuan dan laki-
laki dapat memasuki pintu masjid sesuai dengan keinginan mereka. Maka sampai saat
ini dikenal dan diabadikan dengan Babun Nisa’ (pintu para perempuan) Al-Imam Abu
Hanifah memperbolehkan seorang perempuan untuk berkecimpung dalam masalah
peradilan dan politik. Sebagaimana dia juga memperbolehkan untuk memberikan
kesaksian dalam masalah peradilan, Namun tidak dalam masalah jinayat. Sedangkan
Al Imam AthThabari dan al-Imam Ibnu Hazm memperbolehkan kaum perempuan
untuk berkecimpung dalam masalah-masalah jinayat dan masalah-masalah lainnya.
Perempuan menjadi pemimpin dan pablik figur jika demi kemaslahatan tidak perlu
dipermasalahkan. Yang penting tanggung jawab dan kemaslahatan bagi dirinya,
keluarga dan masyarakat. Karena perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Allah berfirman, “sebagian kamu adalah dari sebagian yang
lain (Ali Imran: 195) Qardawi: 2009: 627).

5. Kondisi Peran Politik Perempuan Indonesia


Sejak reformasi digulirkan di Indonesia, partisipasi politik perempuan
khususnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi agenda
penting bagi banyak kalangan, termasuk pemerintah. Berbagai terobosan kebijakan
afirmasi dan penguatan peran perempuan dalam politik terus diupayakan. Salah
satunya tertuang dalam Undang-undang Pemilu yang mensyaratkan keterlibatan
minimal 30 persen perempuan sebagai calon legislatif (caleg) yang diusung oleh
partai politik dalam pemilu 2014 yang lalu. Kebijakan tersebut diterjemahkan secara
tegas oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam peraturan KPU Nomor 7/2013
yang menyebutkan bahwa parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan 30 persen
keterwakilan perempuan dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar calon
pada daerah pemilihan bersangkutan. Peraturan KPU ini mendorong partai politik
untuk memenuhi syarat administratif pendaftaran tersebut, meski dalam prakteknya
masih terkesan setengah hati. Hal ini terbukti dengan banyaknya partai politik yang
kesulitan memenuhi prasyarat tersebut di berbagai daerah pemilihan, terutama di
wilayah Kabupaten/Kota. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemilu, baik nasional
maupun di daerah. Secara nasional, hasil pemilu 2014 yang dilaporkan oleh KPU RI
menunjukkan data tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,11% dengan lebih separoh
pemilih mencoblos nama caleg (70%), sedangkan yang mencoblos partai sebanyak
30%. Dari pemilih yang memberikan suara untuk caleg, sekitar 76,69% memilih caleg
laki-laki, sementara untuk caleg perempuan sebesar 23,31%. Jumlah caleg perempuan
yang terpilih hanya 14% (79 orang) dari total jumlah 560 kursi nasional yang
diperebutkan.
Presentase perolehan suara dan kursi caleg perempuan ini masih jauh dari
presentase pencalonan perempuan yang mencapai rata-rata 37 persen secara nasional.
Dalam pasal 8 ayat (1) butir d, UU No 10 Tahun 2008, disebutkan penyertaan
sekurangkurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol
Keterwakilan Perempuan di Parlemen 242 tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan
parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu, dan pasal 53 UU itu mengatakan bahwa
daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan
perempuan. Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seorang atau suatu
kelompok orang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak
atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota dewan perwakilan
rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan
perwakilan yang bersifat politik (political representation). Proporsi keterwakilan
dalam demokrasi perwakilan partai untuk menghadirkan suatu kandidat untuk dipilih,
serta secara sadar mengurangi perbedaan antara pembagian partai. Sistem daftar
Proporsional adalah tipe umum dari sistem pemilihan representasi proporsional yang
dibentuk oleh representasi proporsional dalam kursi representasi proposional.
Digunakan untuk mengkompensasi berbagai ketidaksepadanan yang di hasilkan kursi.
Aturan ini menjelaskan bahwa sistem pemilu yang ada saat ini memberikan ruang dan
dorongan terhadap keterwakilan perempuan di parlemen. Keterwakilan perempuan
sebesar 30% sudah diakomodasi dalam UU Pemilu. Jika dirunut ke belakang, terlihat
jelas bahwa keterlibatan perempuan dalam politik formal di Indonesia sudah mulai
memperoleh ruang sejak dikeluarkannya Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003,
dalam UU ini menegasakan pentingkan aksi affirmasi bagi partisipasi politik
perempuan dengan menempatkan jumlah 30% dari seluruh calon partai pada
parlemen, baik di tingkat Nasional maupun lokal. Keterwakilan perempuan secara
Nasional mengalami kenaikan dari pemilihan umum 1999 sebesar 9%. UU ini
semakin diperkuat dengan disahkannya Undangundangkan No.2 Tahun 2008 yang
mengatur tentang keterwakilan perempuan didalam partai politik, berbagai hal diatur
didalam undang-undang ini. Kemudian dukungan pemerintah terhadap partisipasi
keterwakilan perempuan ini semakin diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 8 Tahun
2012 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD dan UU No 2
tahun 2011 tentang partai politik. Pada pasal 55 UU Nomor 8 Tahun 2012 ini
menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat minimal 30%
keterwakilan perempuan. Aturan-aturan formal mengenai keterwakilan perempuan di
parlemen ini
mengindikasikan perhatian serius dari pemerintah dalam memposisikan keterlibatan
perempuan dalam kancah politik. Akan tetapi walaupun dasar hukumnya sudah ada,
realita pada pemilu 2009, menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan sebesar 30%
belum berhasil diwujudkan. Pada pemilu 2009, keterwakilan perempaun di parlemen
baru mencapai 18% atau 103 anggota legislatif perempuan dari 560 anggota dewan.
Menurut wakil ketua MPR Melani Leimena Suharli, keterwakilan perempuan di
parlemen pada pemilu 2009 sudah mengalami kemajuan dibanding pada pemilu 2004.
Pada pemilu 2004, jumlah anggota dewan perempuan hanya 11%. Bahkan pada
pemilu 1999, hanya 9% anggota legislatif perempuan. Jika dilihat dari hasil pemilu
pada dua periode di atas, terlihat perkembangan jumlah keterwakilan perempuan
diparlemen walaupun pada dasarnya belum mencapai kuota yang ditetapkan yaitu
30%. Keterlibatan perempuan di parlemen ini kemudian diakomodir dalam UU
Nomor 8 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan
DPRD dan UU No 2 tahun 2011 tentang partai politik. Pada pasal 55 UU Nomor 8
Tahun 2012 ini menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat
paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Bahkan pasal 56 ayat 2 menyebutkan
bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang
perempuan. Poin-poin tersebut dikuatkan dengan peraturan Komisi pemilihan Umum
(KPU) Nomor 7 Tahun 2013 pada pasal 11b, 11d, 24 ayat 1c-d, dan ayat 2. Lebih
jauh aturan ini memuat sanksi terhadap parpol yang tidak mampu memenuhi kuota
30% caleg perempuan. Dalam pasal 27 ayat 2 huruf b.
PKPU Nomor 7 Tahun 2013 menyatakan bahwa apabila parpol tidak berhasil
memenuhi kuota 30% caleg perempuan maka akan ditolak dan dihapus dari dapil
terkait. Keterwakilan Perempuan di Parlemen 244 Adanya sanksi dalam peraturan
KPU tersebut tidak lepas dari peran Kementerian Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan Anak (KPPPA) dalam rangka penguatan kelembagaan pengarusutamaan
Gender (PUG) di bidang politik dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama
KPU pada Juli 2012. Nota tersebut dianggap telah sejalan dengan upaya KPPPA
ketika menghadiri sesi persidangan Committee on Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) di markas besar PBB, New York, pada 11
Juli 2012, yang mengangkat “Partisipasi Perempuan dalam Politik” sebagai topik
utamanya.Bagi kalangan feminisme, peningkatan representasi dalam politik menjadi
sangat penting, karena representasi perempuan dalam parlemen membuka peluang
terjadinya keadilan sosial dan juga ekonomi. Keterwakilan perempuan di legislatif
sangat diperlukan untuk mendorong kebijakan yang mempunyai nuansa perspektif
gender. Hal ini terbukti dengan lahirnya berbagai produk perundangan yang memiliki
perspektif gender seperti UU penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU
Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Sejumlah UU ini lahir dari inisiatif dan dorongan perempuan. Dengan diakomodirnya
keterlibatan perempuan tersebut, maka untuk bisa meningkatnya persentasi
keterwakilan perempuan di parlemen pada pemilu 2014, maka harus ada kesadaran
dari kaum perempuan bahwa peran perempuan sudah diakomodir dan keterlibatan
perempuan diparlemen sangat diharapkan membawa pengaruh terhadap sistem
perpolitikan ke depan. Menurut wakil ketua komisi Nasional perempuan dalam
seminar tentang “Peningkatan keterwakilan Perempuan di Parlemen” menegaskan
bahwa salah satu cara untuk memastikan keterwakilan 30% perempuan di legislatif
benar-benar terpenuhi yaitu dengan cara menempatkan calon legislatif perempaun di
nomor urut teratas. “Nomor urut 1 dan 2 diisi oleh bakal calon dengan jenis kelamin
yang berbeda. Menempatkan calon legislatif perempuan dalam nomor urut 1 dan 2 ini
dikenal dengan sistem zipper. Sistem ini juga mengatur agar jumlah perempuan yang
Jurnal Ilmiah Kajian Gender 245 dicalonkan lebih banyak di setiap daerah pemilihan
dan ditempatkan pada nomor urut yang potensial. Posisi perempuan harus
diperjuangkan dalam dua ranah yaitu ranah UU Pemilu dan ranah internal Partai
politik. Di tingkat Asia, Indonesia adalah negara yang paling progresif dalam
kebijakan affirmative action kuota 30% perempuan di parlemen. Namun demikian
jika kebijakan ini tidak diikuti dengan komitmen partai politik akan menjadi sia-sia.
Regulasi saja tidaklah cukup tanpa dukungan unsur partai politik demi terwujudnya
secara riil kuota 30% keterwakilan perempuan pada pemilu 2014 yang akan datang.
Sejak dikeluarkannya kuota keterwakilan perempuan pada tahun 2003, ternyata partai
politik belum mampu menghasilkan kader-kader perempuan yang handal dan
progresif. Dari rendahnya statistik presentase perolehan suara caleg perempuan dan
kursi pada pemilu 2009 dan 2014, ternyata masih didominasi oleh representasi dari
basis jaringan kekerabatan elit politik dan ekonomi.
6. Islam Perempuan Dan Politik
Islam adalah sebuah Diin yang memiliki seperangkat system kehidupan yang
lengkap. Islam mengatur seluruh bidang kehidupan, termasuk persoalan politik.
Politik bukan diartikan sekedar kekuasaan dan lesgilasi semata, Politik juga bukanlah
sebatas keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi lebih dari itu politik dalam
konsep Islam adalah pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar
negeri, baik menyangkut aspek negara maupun umat. Dalam hal ini negara bertindak
secara langsung mengatur dan memelihara umat, sedangkan umat bertindak sebagai
pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara. Ketika kaum
muslimin berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan
permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.
Perempuan, selain sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang
suami, serta anak dari orangtuanya, adalah bagian dari masyarakat sebagaimana
halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh, karena
keduanya bertanggung jawab mengantarkan kaum Muslim untuk menjadi umat
terbaik di dunia ini. Ini merupakan salah satu aktivitas politik yang harus
dilaksanakan baik oleh lakilaki maupun perempuan secara bersama-sama dan
berkesinambungan. Sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang bangun di pagi hari dan
tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia tidak termasuk golongan mereka”. (HR
al-Hakim dan al-Khatib). Seruan hadits di atas bersifat umum, baik laki-laki maupun
perempuan, artinya melakukan aktivitas politik bukanlah dominasi kaum laki-laki
tetapi ia juga merupakan tanggung jawab kaum perempuan. Pandangan Islam tentang
wanita sangat jelas, Islam meletakkan wanita itu sejajar dengan pria, sesuai dengan
kodratnya masing-masing. Baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban
yang sama secara universal.
Politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan
mengenai pemerintahan negara atau negara lain. Politik juga berarti kebijakan dan
cara bertindak dalam menghadapi dan menangani satu masalah, malah yang berkaitan
dengan masyarakat maupun selainnya. Salah satu pembicaraan hangat di kalangan
sakian banyak anggota masyarakat. Islam adalah keterlibatan perempuan dalam
politik, yakni yang berkaitan dengan urusan negara dan masyarakat. Banyak dalih
yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan penafsiran ayat
Al-Quran dan hadits Nabi saw. Maupun dengan menunjuk beberapa hal yang
berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi
mereka menyandang hak tersebut. Mereka, misalnya, merunjuk kepada ayat: “Lelaki
adalah pemimpin-pemimpin perempuan” (QS. An-Nisa [4]: 34). Mereka
memahaminya bersifat umum, padahal memahami penggalan ayat di atas dalalm arti
khusus-yakni kehidupan rumah tangga-justru lebih sesuai dengan konteks uraian ayat,
apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab kepemimpinan itu, yakni antara lain
karena lelaki berkewajiban menanggung biaya hidup istri/keluarga mereka masing-
masing. Alhasil, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi larangan tersebut. Justru
sebaliknya ditemukan sekian banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar
untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang
dapat dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. At-Taubah ayat 71: “Orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah aulia bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu
akan dirahmati Allah sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana”.
Pengertian kata aulia disini mencangkup kerja sama, bantuan, dan penguasaan,
sedangkan pengertian menyuruh yang ma’ruf mencangkup segala segi kebaikan atau
perbaikan kehidupan, termasuk member nasihat atau kritik kepada penguasa. Dengan
demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mengikuti perkembangan
masyarakatnya agar masing-masing mampu melihat dan member saran atau nasihat
dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik. Al-Quran
menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi Muhammad saw dan
ajaran Islam. Permintaan ini terlaksana sebagai mana disebutkan dalam QS. Al-
Mumtahanah ayat 12. Diterimanya baiat para perempuan dapat menjadi bukti tentang
hak mereka untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan
kehidupan serta kebebasan mereka untuk berbeda dengan kelompok yang lain dalam
masyarakat, bahkan berbeda dengan pandangan suami atau ayah mereka sendiri.
Kenyataan sejarah juga menunjukkan segian banyak perempuan yang terlibat dalam
soal-soal politik praktis.
Di tengah perkembangan peradaban manusia muncul fenomena kebebasan
wanita serta kiprahnya dalam kehidupan sosial dan politik. Sebenarnya, fenomena
seperti ini sudah ada pada zaman Rasulullah. Sekarang ini di Indonesia telah terjadi
tuntunan untuk emansipasi wanita termasuk dalam kepemimpinan di dalam bidang
politik dan kenegaraan. Ketika berbicara tentang peran politik wanita dalam Islam
berarti berbicara tentang peran wanita sebagai bagian bari masyarakat. Islam
memandang bahwa wanita sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban yang
sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri wanita sendiri
maupun masyarakat secara umum. Dalam Islam tidak menjadi masalah apakah posisi
seseorang sebagai penguasa ataupun rakyat biasa. Keduanya bertanggung jawab
dalam mengurusi umat, yaitu penguasa sebagai pihak yang menerapkan aturan untuk
mengurusi umat secara langsung dan umat akan mengawasi pelaksanaan
pengaturannya. Keduannya berkewajiban memajukan umat dan memiliki tanggung
jawab yang sama untuk menyelesaikan problematika umat baik problem laki-laki
maupun wanita, karena problem ini dipandang sebagai problem yang satu yaitu
problem manusia. Ketika kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) berupaya
menfungsikan segenap potensinya untuk mengurusi dan menyelesaikan problematika
umat, berarti telah melakukan peran politik. Oleh karena itu, wanita dapat melakukan
peran politik meskipun tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan). Seruan Allah
dalam hal aktivitas perempuan di dunia politik secara umum mempunyai implikasi
pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu
manusia, islam menetapkan hukum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah
kewajiban berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), kewajiban menuntut ilmu serta
kewajiban menunaikan ibadah-ibadah ritual (mahdhah).

Kesimpulan

Islam hadir dengan membawa sistem nilai keyakinan, politik, ekonomi, sosial budaya
dan hukum yang sempurna. Dimana Islam menjamin secara adil persamaan hak,
kewajiban dan tanggung jawab manusia secara proporsional, baik laki-laki dan
perempuan sesuai fitrahnya masing-masing. Manusia baik laki-laki maupun
perempuan selama mereka masih memiliki citra kemanusiaannya, akan tetap memiliki
kesadaran bahwa satu sama lainnya senantiasa saling membutuhkan dan tak dapat
dipisahkan. Bahkan secara khusus al-Qur’an berbicara mengenai hak perempuan,
sebagaimana dinyatakan bahwa ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (baik)” (QS. Al-Baqarah: 228).

Sejatinya, perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam politik
dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi
turut mewarnai) di negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang dan perjuangan
yang kuat untuk dibuktikan, karena inimenyangkut kapabilitas yang bisa
dipertanggungjawabkan untuk bersaing dan mampu berkontribusi dalam politik
praktis secara signifikan..

Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai makhluk lemah
dan agak sensitif, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna mengonstruksi isu
representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang setara dan partisipatif
dan wacana gender dalam frame pluralism demokratis (non-patriarkis) sebagai
prioritas kebijakan ke depan agar tatanan masyarakat demokratis yang berkeadilan
jender bisa sungguh-sungguh terwujud di negeri ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam peraturan KPU Nomor 7/2013 yang
menyebutkan bahwa parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan 30 persen
keterwakilan perempuan dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar calon
pada daerah pemilihan bersangkutan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam
peraturan KPU Nomor 7/2013 yang menyebutkan bahwa parpol yang tidak dapat
memenuhi ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan dinyatakan tidak memenuhi
syarat pengajuan daftar calon pada daerah pemilihan bersangkutan. PKPU Nomor 7
Tahun 2013 menyatakan bahwa apabila parpol tidak berhasil memenuhi kuota 30%
caleg perempuan maka akan ditolak dan dihapus dari dapil terkait. menempatkan
calon legislatif perempaun di nomor urut teratas. “Nomor urut 1 dan 2 diisi oleh bakal
calon dengan jenis kelamin yang berbeda. Menempatkan calon legislatif perempuan
dalam nomor urut 1 dan 2 ini dikenal dengan sistem zipper.

Politik diartikan antara lain sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai
pemerintahan negara atau negara lain. Politik juga berarti kebijakan dan cara
bertindak dalam menghadapi dan menangani satu masalah, malah yang berkaitan
dengan masyarakat maupun selainnya. Ketika kaum muslimin berupaya
memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat,
maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.

Perempuan, selain sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang
suami, serta anak dari orangtuanya, adalah bagian dari masyarakat sebagaimana
halnya laki-laki. Oleh karena itu, wanita dapat melakukan peran politik meskipun
tidak menjadi penguasa (penentu kebijakan). Islam menetapkan hukum yang sama
antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma’ruf nahi
munkar), kewajiban menuntut ilmu serta kewajiban menunaikan ibadah-ibadah ritual
(mahdhah).
DAFTAR PUSTAKA

http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/2009/05/peran-politik-perempuan-dalam-
pandangan.html
very wahyudi, peran politik
jurnal fikroh vol 4 no.2 Januari 2011
islamic politic, political women
Aisyah, Andri, Astuti, jurnal studi gender dan anak 1 Juni 2021
Abidin, Zainal. Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuan Dalam Pendidikan
Islam. Journal of TARBAWIYAH. Vol. 12 No 1, 2015.
Abu Syuqqah, Abdul Halim. Kebebasan Perempuan, Terj. Tahrirul Mar‟ah Fi
„Ashir Risalah oleh Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press. 2001.
al-Abrasyi, M. Athiyah. Beberapa pemikiran Pendidikan Islam, Terj. dari Ruh Al-
Islam, mathba‟ah Lajnah Al-bayan Al-„Arabi oleh Syamsuddin Astrofi. Achmad
Warid Khan dan Nizar Ali. Jakarta: Bulan Bintang. 1969.
al-Abrasyi, M. Athiyah. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. dari
Attarbiyatul Islamiyah oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S. Jakarta:
Bulan Bintang. 1969.
al-Allawi, Muhammad Ali. The Great Women; Mengapa Perempuan Harus Merasa
Tidak Lebih Mulia, Terj Uluwwul Himmah „Inda An-Nisa oleh El- Hadi
Muhammad. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006.
al- Bukhari Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Beriut: Dar Thauq An-Najah,
1422 H. Jilid VII.
al-faruqi, Lamya. „Ailah, Masa Depan Kaum Perempuan. Surabaya: Pustaka
Progressif. 1997.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011.
Muhammad Ali Al-Bar. Perempuan Karir Dalam Timbangan Islam: Kodrat
Keperempuanan. Emansipasi dan Pelecahan Seksual. Terj Amal Al-Mar‟ah Fi Al-
Mizan oleh Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta: Pustaka Azzam. 1998.

Anda mungkin juga menyukai