ISU GENDER
Isu gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan relasi sosial
antara laki-laki dan perempuan. Isu gender terjadi apabila terdapat ketimpangan atau
kesenjangan gender dalam berbagai segi kehidupan manusia. Saat ini isu kesetaraan gender
telah menjadi hal menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia tetapi di
Dunia. Pemaknaan terhadap istilah kesetaraan gender ini khususnya mengenai masalah
Mengapa isu itu muncul dan menjadi suatu perdebatan yang panjang? Hal itu disebabkan
karena budaya patriakhi yang tidak ramah terhadap perempuan, sehingga perempuan masih
memiliki kesempatan yang terbatas dibandingkan laki-laki untuk berperan aktif dalam
berbagai program pembangunan dan aktivitas lainnya dalam masyarakat. Misalnya dibidang
Media Massa, organisasi dalam kelembagaan dan militer. Keterbatasan ini berasal dari
berbagai nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang membatasi ruang
1. Isu gender dalam pedidikan yaitu tingginya ret buta aksara pada perempuan,
rendahnya proporsi muris perempuan disemua level pendidikan di banding laki-laki dan
2. Isu gender dalam kesehatan yaitu Gizi buruk dan stunting, KB, yaitu
3. Isu gender dalam ekonomi, yaitu rendahnya peluang kerja bagi perempuan,
rendahnya akses perempuan pada sumber daya ekonomi, tingginya perempuan yang
4. Isu gender dalam politik yaitu sedikitnya jumlah perempuan sebagai anggota
dan evaluasi sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan, dan materi hokum yang
It is time for women in the era of reform and democratization, to actively participate in politics and the decision -making process both as legislative members
and executives as regional heads through the recruitment function of political parties to fulfill at least 30% representation of women in parliament. Women's
participation in politics is closely related to aspects of power that have an impact on gender-responsive policy and budget changes in both the legislative and
A. Pendahuluan
Keterlibatan dan Keterwakilan Perempuan dalam Kancah Politik memasuki abad Kedua
Puluh Satu baik di Indonesia maupun Nusa Tenggara Timur khususnya, adalah sebuah
kenyataan yang tidak bisa dihindarkan lagi. Akses dan Partisipasi Politik Perempuan saat
ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai
kebijakan publik dan menggolkan instrument hukum yang sensitive gender yg terabaikan
pembangunan. Akses dan Partisipasi Politik Perempuan dalam setiap tingkatan pengambilan
keputusan adalah hak asasi perempuan yang paling mendasar, artinya apabila perempuan
dilibatkan dan terlibat dalam politik baik sebagai subjek yang terlibat langsung dan
menduduki posisi pada jabatan structural strategis di Partai Politik, Parlemen dan Birokrasi
atau melibatkan kepentingan perempuan dalam ideology dan program kerja Partai Politik,
Perempuan bisa lebih memahami kepentingan dan kebutuhan praktis dan strategis apa
keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu –isu dan persoalan-persoalan
perempuan
1
Staf Pengajar Prodi Sosiologi Fisip Undana Kupang
selalu menjadi agenda politik laki –laki, hal ini dilatarbelakangi bahwa dalam tradisi budaya
sebagai ranah public yang penuh pertarungan, keras dan memiliki konotasi negative “Politic is
dirty” . Pandangan ini memiliki pengaruh cukup kuat dalam masyarakat, yang menghambat
partisipasi perempuan dalam dunia politik. Oleh karena itu menurut penulis, pandangan ini
tidak boleh terinternalisasi dalam masyarakat sebagai ideology dan dilestarikan, karena itu
harus diubah dengan yang lebih humanis egaliter bahwa “ dunia politik bukan hanya milik
laki-laki tetapi milik perempuan juga” agar tercipta masyarakat yang setara dan adil gender,
sehingga baik laki-laki maupun perempuan secara penuh bisa memberikan kontribusi kepada
pembangunan politik, ekonomi,sosial, dan budaya. Dengan menerima pandangan dan gagasan
ini, maka semua agenda politik yang bias gender dan tidak memiliki keberpihakan kepada
perempuan sebagai kelompok yg termarginalkan terkena dampak dari kebijakan politik harus
ditolak.
Sudah saatnya di era reformasi dan demokratisasi saat ini, kaum perempuan
berpartisipasi aktif dalam dunia politik dan proses pengambilan keputusan , baik
sebagai Anggota Legislatif maupun Eksekutif sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, kalau tidak perempuan akan terus terpuruk dan perubahan yang menyangkut
kepentingan perempuan tidak akan pernah terjadi. Undang-Undang dan Kebijakan yang
menguntungkan perempuan harus dikawal oleh perempuan tidak bisa diwakili oleh laki-laki
dan harus diperjuangkan oleh kaum perempuan sendiri. Karena perempuan mempunyai
kepentingan dan kebutuhan khas yang hanya bisa dipahami oleh perempuan itu sendiri,
Kesehatan Reproduksi, Aborsi dan Pembuangan Orok Bayi, Perkosaan Terhadap Perempuan
dan Anak di Ruang Publik, Angka Kematian Ibu dan Anak, Gisi Buruk, Feminisasi
fungsi rekrutmen elit politik dalam Negara Demokratis, perempuan sebagai Warga Negara
untuk berpartisipasi baik sebagai anggota legislative, mau pun eksekutif sehingga potensi
perempuan harus diperhitungkan dan dikembangkan menjadi kekuatan baru dalam mencapai
30 persen sangat penting karena dengan jumlah tersebut dimungkinkan terjadi perubahan
Partai Politik merupakan wadah partisipasi politik dalam Negara Demokratis dan
berfungsi sebagai sarana perekrutan elit politik untuk jabatan politik dan pemerintahan.
Pentingnya keberadaan Partai Politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat dalam
mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia,
Ada beberapa alasan menurut penulis, perempuan perlu berpatisipasi dalam dunia
politik yaitu (1) Trend global peran perempuan yang semakin mengemuka di semua lini
kehidupan, (2) Peluang Era Demokrasi Reformasi dan Pemilihan Kepala Daerah maupun
Anggota Legislatif secara Langsung dan Terbuka dengan basis kompetensi untuk posisi-
pendidikan dan lembaga agama, lembaga keluarga mengambil keputusan. Politik berisikan
relasi sosial yang melibatkan kekuasaan dan wewenang dan mengacu pada suatu unit politik
dan pada metode dan taktik yang digunakan untuk memformulasi dan menerapkan kebijakan.
Oleh karena itu Politik dalam konteks sosiologis adalah suatu proses interaksi dan relasi
sosial antara bagaimana masyarakat mempengaruhi proses politik dan Politik mempengaruhi
Partisipasi Perempuan dalam politik selalu berkaitan dengan aspek kekuasaan Legislatif dan
Eksekutif. Peran perempuan akan berpengaruh pada perubahan kebijakan biasanya diawali dari
Legislative, jika Negara memiliki kekuasaan Eksekutif yang lebih kuat atau seimbang
Legislatif maupun Eksekutif agar program dan aturan pemerintah dapat berjalan efektif, karena
Rush dan Althoff (2003), memberikan batasan Partisipasi Politik sebagai “Keterlibatan
dalam aktivitas politik pada suatu sistem politik yaitu mencakup kekuasaan
Negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy),
Samuel P.Huntington dan Joan M, Nelson dalam bukunya No Easy Choice ; Political
atau kolektif,
terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal
atau
Warga Negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa
secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum
(M.Budiardjo,1998:2).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa Partisipasi Politik
Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat telah berkomitmen dan secara
tegas memberikan pengakuan yang sama bagi setiap warga negaranya, perempuan maupun laki-
laki akan berbagai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Hak-hak
politik perempuan ditetapkan melalui instrument hukum maupun dengan meratifikasi berbagai
dan sistem pengangkatan dibidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan
Hak-Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women). Ketentuan dalam
2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh
hokum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.
3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan public dan menjalankan semua fungsi public,
diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada
diskriminasi.
Dasar hukum yang tidak kalah pentingnya adalah telah diamanatkan oleh konstitusi
kita Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 yang menyatakan “Segala Warga Negara
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini menegaskan tidak adanya
perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan
D Ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal ini
berarti baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya sama dihadapan hukum, berperan dalm
politik, dunia pendidikan, dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apapun demi kemajuan
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Lebih lanjut dalam Pasal 28 D Ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua mengamanatkan “ Setiap warga Negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Implementasi dari pasal ini,
Sejak tahun 2005, Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung , sebagaimana diatur
dalam UU No. 32/2004. Kemudian Pilkada dilaksanakan secara serentak sesuai dengan UU
No.8/2015. Pilkada telah memberikan dampak positif bagi masyarakat termasuk kaum
perempuan sebagai
salah satu elemen masyarakat yang telahberpartisipasi dalam momentum Pilkada
manajer, tokoh LSM, pejabat pemerintah, kepala daerah, menteri, anggota legislative bahkan
presiden. Tokoh Perempuan Pertama yang menjadi Presiden Indonesia adalah Ibu Megawati
Soekarnoputri. Menteri juga banyak dari kalangan perempuan, sebut saja Ibu Mufidah Hatta,
Ibu Nafsiah Mboy, Ibu Sri Mulyani, Ibu Susi Pujiastuti, Ibu Puan Maharani, ibu Yohana
Susana Yembise dan sebagainya. Terdapat juga tokoh-tokoh perempuan yang berhasil
menduduki jabatan wakil Bupati Kebumen dan wakill Gubernur Jawa Tengah, ibu
Rutriningsih, Ibu Tri Rismaharini Walikota Surabaya. Ibu Maria Geog, Wakil Bupati
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat (2) juga mengamanatkan bahwa “Setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dasar hukum yang tidak kalah
pentingnya adalah komitmen politik pemerintah tentang kesejahteraan gender dalam politik
yaitu Inpres No.9 Tahun 2000 tentang PUG (Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan).
Sebagai salah satu dasar hukum pada level internasional adalah dengan lahirnya
konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ( The
CEDAW) disahkan dengan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979 dan sampai
saat ini lebih dari 170 negara di dunia telah meratifikasi. Salah satu manka penting dari
kehadiran konvensi
tersebut adalah menjadikannya sebagai dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuandan
laki- laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di ranah politik dan kehidupan
public, termasuk hak untuk memberikan suara dan mencalonkan diri ( Bylesio dan Ballington,
2002). Peraturan dan UU diatas, menjadi dasar hukum bagi perempuan untuk mengambil
2016 : 29-30)
berbagai aspirasi dan kepentingan yang ada dalam masyarakat diangkat dan diperjuangkan oleh
partai-partai politik yang berkompetisi untuk menyuarakan berbagai aspirasi dan kepentingan
yang ada dalam masyarakat dan berupaya untuk memperoleh sebanyak mungkin suara rakyat
untuk mendukungnya dengan memberikan suara pada partai politik tersebut. Dalam kerangka
perpolitikan Demokrasi saat ini, maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam
lembaga politik formal hanya dapat dilakukan melalui dua jalur yakni, Partai Politik atau
Utusan Golongan. Dari dua kemungkinan jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur
yang paling efektif dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan
secara signifikan. Sebagai organisasi politik yang mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat
diharapkan partai politik juga dapat mengangkat aspirasi dan kepentingan perempuan. Selama
ini meskipun perempuan selalu ikut aktif memperjuangkan kepentingan dan aspirasi politik
secara umum, tapi mereka belum merepresentasikan aspirasi dan kepentingan politik
perempuan. Masih banyak kepentingan dan aspirasi perempuan yang belum dan tidak akan
pernah, terangkat secara formal jika tidak keras suara yang merepresentasikannya.
Aspirasi dan kepentingan perempuan akan terus terkalahkan oleh berbagai aspirasi dan
kepentingan umum lain yang lebih keras disuarakan karena 2 kemungkinan : (1) Aspirasi dan
kepentingan khas perempuan tidak dikenali atau tidak diketahui oleh partai-partai yang sangat
didominasi oleh laki-laki yang berkompetisi dalam arena politik. Oleh karena itu wajar saja
jika tidak ada yang menyuarakannya, (2) Perempuan yang berkiprah dalam arena politik tidak
dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan khas dari kelompok mereka sendiri karena
jumlah perempuan yang minoritas dalam perpolitikan. ( Soetjipto Widyani Ani , 2005 : 62)
12 kali, yaitu pada Orde Lama (tahun 1955) 1 kali, Orde Baru (tahun 1971, 1977, 1982,
1987,
1992, dan 1997), serta 4 kali pada era Reformasi (tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019).
Sejak Reformasi, pelbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan representasi politik
perempuan, misalnya dengan penerapan kuota 30% caleg perempuan, diadopsi lewat UU
No.31/2002 tentang Partai Politik dan UU No.12/2003 untuk Pemilu 2004, serta UU
system” untuk daftar kandidat pemilihan legislative tahun 2019. Dengan “zipper system” ini
parpol harus memasukan paling tidak satu perempuan dari tiga kandidat agar peluang terpilih
menjadi lebih besar. Sayangnya, efektifitas ketentuan-ketentuan ini jauh berkurang sesudah
menjadi sepenuhnya terbuka (openlist system) pada pemilu tahun 2014. Dampak kebijakan itu
adalah semakin meningkatnya jumlah calon anggota legislative perempuan dari pemilu tahun
di Kota Kupang secara kuantitas jumlah Anggota Legislatif Perempuan pada Pemilu 2014
mengalami peningkatan yakni sebesar 12,5% (5 kursi dari 40 kursi) dibandingkan dengan
pemilu pada tahun 2004 dan 2009 yang hanya mencapai 3,33% ( 1 kursi dari 30 kursi)
yang di perebutkan. Perempuan dalam lembaga politik formal di Nusa Tenggara Timur
strategis keterwakilan perempuan memenuhi kuota 30 % di Parlemen, oleh karena itu, suara
politik.
Minimnya keterwakilan perempuan dalam Lembaga Legislatif di Nusa Tenggara Timur, dan
perbandingannya dengan laki-laki, Hasil Pemilihan Umum Tahun 2014- 2019, dapat dilihat
Tabel 2 : Anggota DPRD Provinsi & Kabupaten/Kota Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014-2019
NO Prov / Kab/Kota Anggota DPRD Kab/Kota
L P L+P
1 Provinsi NTT 59 6 65
2 Kota Kupang 34 6 40
3 Kabupaten Kupang 31 4 35
4 Timor Tengah Selatan 32 8 40
5 Timor Tengah Utara 27 3 30
6 Belu 26 4 30
7 Malaka 19 6 25
8 Alor 29 1 30
9 Lembata 25 0 25
10 Flores Timur 30 0 30
11 Sikka 33 2 35
12 Ende 29 1 30
13 Nagekeo 25 0 25
14 Ngada 20 5 25
15 Manggarai Timur 29 1 30
16 Manggarai 31 4 35
17 Manggarai Barat 29 1 30
18 Sumba Barat Daya 35 0 35
19 Sumba Barat 21 4 25
20 Sumba Tengah 20 0 20
21 Sumba Timur 28 2 30
22 Sabu Raijua 18 2 20
23 Rote Ndao 21 4 25
Jumlah 651 64 715
Sumber : Profil Gender dan Anak Provinsi NTT, Tahun 2015
Jika dilihat dari data Tabel -2, berarti masih ada peminggiran politik terhadap
mencolok itu tidak dapat dilepaskan dari isu gender dan seks yang sering di persepsikan dan
dikonstruksikan secara salah dan rancu oleh masyarakat. Hal ini berimbas pada berbagai bidang
dibanding laki-laki selama ini disebabkan oleh nilai-nilai yang dikonstruksi masyarakat yang
menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Pola pikir yang membakukan citra
perempuan seperti ini disebabkan karena interpretasi yang keliru dari masyarakat tentang
gender dan seks (jenis kelamin) yang sering dicampur adukan. Gender secara umum digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara
itu, seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi anatomi biologis. Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologis
seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik,
reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak
berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
kemaskulinan (kelelakian) yang dibentuk secara sosial, yang berbeda dari satu kurun waktu ke
kurun waktu lainnya, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan seks, perilaku
gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan sesuatu yang
berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tidak bisa dipengaruhi oleh
manusia. Seks merupakan perbedaan jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan,
seks telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga merupakan suatu kodrat oleh karena itu tidak
dapat diubah.
Perbedaan laki-laki dan perempuan secara gender masih menjadi masalah yang mengundang
keprihatinan kaum perempuan. Perbedaan anatomi biologis antara perempuan dan laki-
laki cukup jelas, namun efek yang timbul akibat dari perbedaan itu menimbulkan perdebatan,
karena ternyata perbedaan jenis kelamin seks melahirkan seperangkat konsep budaya.
Allan G.Jonhson, penulis buku Patriarki, dalam Tanof ( 2012 ; 120), mengemukakan
beberapa stereotip yang sangat umum tentang perempuan dan laki-laki. Stereotip laki-
sesuatu yang sangat menarik, “ Kekuatan menjadikan laki-laki tampak seksi, bukan pada
perempuan”. Stereotip efisien untuk laki-laki dan inefisien bagi perempuan memberikan arti
ganda karena perempuan tidak efisien, dengan kata lain tidak terampil dibandingkan denngan
laki-laki. Pendapat masyarakat (stereotip) tentan gender menjelaskan bahwa laki-laki harus
memiliki kekuatan. Pandangan masyarakat ini adalah salah satu hal yang berkontribusi terhadap
konstruksi gender dengan membuat laki-laki tampak seperti memiliki lebih banyak
Diskursus akan hal tersebut akan tetap ada sepanjang zaman meskipun laki-laki
dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik,
namun hak yang sama itu seringkali tidak dibarengi dengan kesempatan yang sama, sehingga
keterwakilan perempuan diparlemen menjadi sangat timpang. Hal itu disebabkan oleh beberapa
factor antara lain ; (1) Nilai sosial budaya Patriarki lebih mengutamakan laki-laki, (2)
Citra perempuan sebagai kaum yang lemah lembut dimana citra ini bertentangan dengan citra
politik yang keras, kejam, dan cenderung menghalalkan segala cara, sehingga politik dianggap
bukan dunia yang cocok untuk kaum perempuan, (3) Ajaran agama yang ditafsirkan secara
kaderisasi politik. (6) Minimnya dukungan dana operasional dan kampanye dari Partai Politik.
Oleh karena itu berbagai factor yang menjadi kendala diatas harus di eliminir agar terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender antara perempuan dengan laki-laki dalam bidang politik.
Tenggara Timur akan melaksanakan pesta Demokrasi yaitu Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Kupang , Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Flores Timur, Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati di Lembata, Periode 2017-2022. Pada tahun 2018, masyarakat Nusa Tenggara
Timur secara demokratis juga akan menggunakan hak politiknya untuk dipilih maupun
memilih putra-putri terbaik yang akan berkompetisi memperebutkan kursi Calon Gubernur
maupun calon Wakil Gubernur Periode 2018-2023 . Selanjutnya di Indonesia pada tahun
2019, akan melaksana PEMILU secara serentak untuk memilih calon Presiden dan calon
Forum Seminar, Diskusi, Work Shop, FGD juga di Media Massa dan Media Sosial.
Keterwakilan perempuan memang suatu peristiwa yang sangat penting, dimana perempuan di
harapkan dapat terlibat dalam pengambilan keputusan pada tingkat Eksekutif dan Legislatif.
Dengan keterlibatan perempuan dalam politik, diharapkan pula aspirasi dan kepentingan
Agenda besar bagi perempuan untuk memantapkan langkahnya berpartisipasi dan turut
serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik yaitu dengan disepakatinya
Kuota
minimal 30 % untuk perempuan, dimana ketentuan tersebut harus dipenuhi oleh partai politik
(parpol) dengan menempatkan caleg perempuan secara zipper, namun tidak mudah bagi
perempuan dan semua parpol dapat memenuhi kuota minimal 30 % sebagai Caleg. Tidak hanya
partai-partai baru yang miskin kader perempuan, bahkan beberapa partai politik besar
yang sudah lolos electoral /parlementary threshold pun mengalami kesulitan mencari
perempuan potensial yang memilki kemauan dan kemampuan menjadi Caleg walaupun
mungkin memiliki banyak kader perempuan yang mempunyai kemauan tetapi belum tentu
memiliki kemampuan yang bisa diandalkan dan layak dijual kepada para pemilih. Minimnya
kader-kade r perempuan yang berkualitas sebagai Caleg, hal ini berhulu kendala pada persepsi
dan konstruksi sosial yang telah mensubordinasi perempuan posisinya dibawah laki-laki yang
pada akhirnya akan menghambat kaderisasi perempuan di dalam tubuh parpol. Tidak jarang,
banyak parpol yang setengah hati mengajukan caleng perempuan karena adanya persepsi dan
konstruksi sosial yang keliru tersebut. Kalaupun ada parpol yang mengajukan, namun disertai
dengan keterpaksaan karena adanya tuntutan undang-undang .Oleh karena itu, selama
pengambilan keputusan pada partai politik tidak memiliki sensitivitas gender dan masih ada
mahar politik bagi calon kepala daerah, maka saya pesimis keterwakilan perempuan asal
NTT di DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun Kota Kupang periode 2019-2024 nanti akan
meningkat secara signifikan. Tantangan ini juga akan dihadapi oleh perempuan potensial yang
memiliki kemauan dan kemampuan akan maju pada Pilkada tidak akan jauh berbeda dengan
Menyikapi realitas politik seperti itu, maka para aktivis perempuan sebaiknya
memandang Kuota 30% perempuan dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik.
Ke depan, terutama untuk lima tahun kedepan, rencana dan program diarahkan untuk
melakukan
Pendidikan Politik baik kepada Partai Politik, Calon Legislatif ataupun Calon Kepala Daerah,
juga kepada Pemilih. Pendidikan Politik ini tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis dalam
proses Pemilihan Umum,seperti memberikan informasi kepada pemilih, siapa yang berhak
memilih, mekanisme pemilihan, tempat, tanggal dan waktu pemilihan dan syarat-syarat
registrasi. Akan tetapi juuga berkaitan dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakekat
ssPemilu, antara lain apa itu Pemilu dan mengapa Pemilu diadakan. Pemilu diadakan tidak
sekedar sebagai ritual demokrasi, tetapi menyangkut hubungan antara basic human rights
dan hak memilih. Bahwa setiap warga Negara memiliki peran, tanggung jawab, dan hak-
hak memilih. Harus dijelakan, Pemilu punya implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan
Negara dan terciptanya Good Governance di masa yang akan datang. Yang diharapkan dengan
adanya Pendidikan Politik adalah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk
Selain itu, dalam Pendidikan Politik ini juga dijelaskan bagaimana menentukan Pilihan
Partai dan Wakil Legislatif maupun calon Kepala Daerah. Dalam proses menentukan pilihan
ini perlu ada semacamgambaran jelas tentang Profil Partai dan Calon Anggota Legislatif
ataupun Calon kepala Daerah yang di ajukan Partai Politik. Harus ada track record calon yang
akan dipilih, terutama dalam hal yang berkaitan dengan persoalan korupsi dan keberpihakan
kepada rakyat. Dalam hal ini perlu di tekannkan agar dalam memilih untuk menentukan
Emosional karena Ikatan Primordial ataupun Politik Uang. Di samping itu harus ada
pertimbangan yang matang dengan menggunakan Hati Nurani, mengapa memilih partai
tersebut dan Calon Anggota Legislatif ataupun Calon Kepala Daerah, termasuk dalam hal ini
Penutup
Perempuan di Indonesia maupun Nusa Tenggara Timur, secara hukum mempunyai hak,
kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki berpartisipasi di bidang politik. Namun,
karena alasan nilai-nilai cultural yang berkembang di masyarakat dan kendala structural, hanya
perempuan secara zipper yaitu dari tiga orang caleg, satu diantaranya adalah perempuan
sebagai solusi alternative yang memberi akses keterwakilan perempuan di Parlemen melalui
30% sebagai momentum dan sekaligus sebagai proses pendidikan politik yang berharga
bagi perempuan untuk mengejar ketertinggalan di dunia politik. Dengan demikian, hal ini
diharapkan dapat dicapai pada Pemilu tahun 2019, karena hasil Pemilu Legislatif tahun 2009,
perempuan yang lolos ke parlemen sebagai anggota DPRD Provinsi baru mencapai 8,9%. Hal
ini disebabkan karena adanya persepsi dan konstruksi sosial budaya yang menutup akses
kaum perempuan untuk lebih banyak berkiprah dalam bidang politik. Sebagai persoalan
aspirasi kaum perempuan akan terakomodasi dengan baik, karena suara di parlemen adalah
bukan suara individu perempuan tetapi suara parpol dan fraksi. Oleh karena itu, semua
anggota parlemen, baik laki-laki maupun perempuan, harus memilki komitmen yang kuat
untuk memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan gender disemua bidang, karena merekalah yang melahirkan berbagai
produk undang-undang. Selain itu, perlu advokasi yang lebih intensif dan kontiyu mengenai
kesetaraan dan keadilan gender. Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan harus memiliki
komitmen dan political will yang kuat, sehingga pengarusutamaan gender serta pemberdayaan
Pemilu Legislatif ataupun Kepala Daerah harus dijadikan momentum bagi masyarakat
bahwa pemilihan wakil rakyat ataupun pemimpin membawa konsekuensi yang hasilnya akan
berdampak jangka panjang. Sekali masyarakat salah memilih wakil rakyat ataupun pemimpin
yang korup, tidak memiliki etika dan nurani, tidak memiliki konsep terhadap perubahan dan
penegakan keadilan dan punya komitmen terhadap penderitaan rakyat, maka akibat yang harus
dibayar sangat mahal, tidak sekedar materi, tetapi juga nilai-nilai dan ideology pancasila
memarginalisasi dan terisolasinya perempuan dari dunia politik, terutama perempuan di tingkat
local yang masih memiliki keterbatasan terhadap akses pendidikan politik. Lembaga-lembaga
nonpemerintah seperti LSM memberi kontribusi yang cukup berarti selama ini dalam
luar lingkaran lembaga-lembaga politik formal dengan fungsi kontrol, merupakan modal sosial
Aziz, Abdul. 2016, Panduan Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Potensial Calon Kepala
Daerah Jilid I, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia, Jakarta
Budiardjo, Mariam. 1998, Partisipasi dan Partai Politik ; Sebuah Bunga Rampai. Yayasan
Obor
Indonesia, Jakarta
Soetjipto W. Ani. 2005, Politik Perempuan Bukan Gerhana.Kompas Media Nusantara, Jakarta
Tanof S. Balkis. 2012, Sosiologi Dalam Keberagaman ; Berbagai Realitas Sosial Dalam
Pemikiran Sosiologi dan Gender. Fisip Undana Press, Kupang
Laporan :
Badan Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT. 2015, Profil Gender dan Anak
NTT, Kupang
Puskapol Fisip UI. 2007, Laporan Kajian : Revisi Undang-undang Pemilu dan Partai Politik serta
Implikasinya bagi Keterwakilan Perempuan, Jakarta