Anda di halaman 1dari 20

PERTEMUAN KE XV (Tanggal : 4 Mei 2020)

ISU-ISU GENDER DALAM MASYARAKAT


Oleh
Hj. Dra. Balkis.Soraya Tanof, M.Hum

ISU GENDER

Isu gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan relasi sosial

antara laki-laki dan perempuan. Isu gender terjadi apabila terdapat ketimpangan atau

kesenjangan gender dalam berbagai segi kehidupan manusia. Saat ini isu kesetaraan gender

telah menjadi hal menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia tetapi di

Dunia. Pemaknaan terhadap istilah kesetaraan gender ini khususnya mengenai masalah

ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat.

Mengapa isu itu muncul dan menjadi suatu perdebatan yang panjang? Hal itu disebabkan

karena budaya patriakhi yang tidak ramah terhadap perempuan, sehingga perempuan masih

memiliki kesempatan yang terbatas dibandingkan laki-laki untuk berperan aktif dalam

berbagai program pembangunan dan aktivitas lainnya dalam masyarakat. Misalnya dibidang

ekonomi, sosial - budaya, pendidikan, kesehatan, politik, hukum , ketenagakerjaan,

Media Massa, organisasi dalam kelembagaan dan militer. Keterbatasan ini berasal dari

berbagai nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang membatasi ruang

gerak perempuan dibandingkan laki-laki.


Isu-isu gender yang terjadi di dalam masyarakat di Indonesia yaitu :

1. Isu gender dalam pedidikan yaitu tingginya ret buta aksara pada perempuan,

rendahnya proporsi muris perempuan disemua level pendidikan di banding laki-laki dan

rendahnya posisi perempuan dalam pengambilan keputusan

2. Isu gender dalam kesehatan yaitu Gizi buruk dan stunting, KB, yaitu

rendahnya keterlibatan dan tanggung jawab laki-laki dalam kesehatan keluarga,

rendahnya control perempuan dalam reproduksi termasuk dalam perencanaan KB

3. Isu gender dalam ekonomi, yaitu rendahnya peluang kerja bagi perempuan,

rendahnya akses perempuan pada sumber daya ekonomi, tingginya perempuan yang

bekerja sebagai TKW secara procedural ke Luar Negeri

4. Isu gender dalam politik yaitu sedikitnya jumlah perempuan sebagai anggota

legislative dan kepala daerah

5. Isu gender dalam kebijakan pembangunan, yaitu banyak kebijakan

pembangunan, program dan kegiatan yang masih bias gender

6. Isu gender dalam Hukum dan HAM

7. Isu gender dalam birokrasi yaitu rendahnya jumlah perempuan menduduki

jabatan strategis di birokrasi

8. Isu gender dalam pengelolaan sumberdaya dan pembangunan lingkungan hidup

yaitu rendahnya partisipasi perempuan dalam perencanaan, implementasi. Monitoring,

dan evaluasi sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan, dan materi hokum yang

diskriminatif, tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak.


Contoh Artikel :

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI NUSA TENGGARA TIMUR

TANTANGAN DAN HARAPAN


1
Dra. Hj. Balkis Soraya Tanof, M.Hum
Abstract

It is time for women in the era of reform and democratization, to actively participate in politics and the decision -making process both as legislative members

and executives as regional heads through the recruitment function of political parties to fulfill at least 30% representation of women in parliament. Women's

participation in politics is closely related to aspects of power that have an impact on gender-responsive policy and budget changes in both the legislative and

executive branches. Keywords: Women's political participation, hopes and challenges

A. Pendahuluan

Keterlibatan dan Keterwakilan Perempuan dalam Kancah Politik memasuki abad Kedua

Puluh Satu baik di Indonesia maupun Nusa Tenggara Timur khususnya, adalah sebuah

kenyataan yang tidak bisa dihindarkan lagi. Akses dan Partisipasi Politik Perempuan saat

ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai

kebijakan publik dan menggolkan instrument hukum yang sensitive gender yg terabaikan

dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sector kehidupan dan

pembangunan. Akses dan Partisipasi Politik Perempuan dalam setiap tingkatan pengambilan

keputusan adalah hak asasi perempuan yang paling mendasar, artinya apabila perempuan

dilibatkan dan terlibat dalam politik baik sebagai subjek yang terlibat langsung dan

menduduki posisi pada jabatan structural strategis di Partai Politik, Parlemen dan Birokrasi

atau melibatkan kepentingan perempuan dalam ideology dan program kerja Partai Politik,

Perempuan bisa lebih memahami kepentingan dan kebutuhan praktis dan strategis apa

yang mereka butuhkan. Masalahnya selama ini, keterwakilan perempuan belum

memenuhi kuota 30 % di Parlemen, disamping itu segala

keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu –isu dan persoalan-persoalan
perempuan

1
Staf Pengajar Prodi Sosiologi Fisip Undana Kupang
selalu menjadi agenda politik laki –laki, hal ini dilatarbelakangi bahwa dalam tradisi budaya

mainstream Patriarkhi “Politik” di klaim sebagai dunianya laki-laki karena dianggap

sebagai ranah public yang penuh pertarungan, keras dan memiliki konotasi negative “Politic is

dirty” . Pandangan ini memiliki pengaruh cukup kuat dalam masyarakat, yang menghambat

partisipasi perempuan dalam dunia politik. Oleh karena itu menurut penulis, pandangan ini

tidak boleh terinternalisasi dalam masyarakat sebagai ideology dan dilestarikan, karena itu

harus diubah dengan yang lebih humanis egaliter bahwa “ dunia politik bukan hanya milik

laki-laki tetapi milik perempuan juga” agar tercipta masyarakat yang setara dan adil gender,

sehingga baik laki-laki maupun perempuan secara penuh bisa memberikan kontribusi kepada

pembangunan politik, ekonomi,sosial, dan budaya. Dengan menerima pandangan dan gagasan

ini, maka semua agenda politik yang bias gender dan tidak memiliki keberpihakan kepada

perempuan sebagai kelompok yg termarginalkan terkena dampak dari kebijakan politik harus

ditolak.

Sudah saatnya di era reformasi dan demokratisasi saat ini, kaum perempuan

berpartisipasi aktif dalam dunia politik dan proses pengambilan keputusan , baik

sebagai Anggota Legislatif maupun Eksekutif sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah, kalau tidak perempuan akan terus terpuruk dan perubahan yang menyangkut

kepentingan perempuan tidak akan pernah terjadi. Undang-Undang dan Kebijakan yang

menguntungkan perempuan harus dikawal oleh perempuan tidak bisa diwakili oleh laki-laki

dan harus diperjuangkan oleh kaum perempuan sendiri. Karena perempuan mempunyai

kepentingan dan kebutuhan khas yang hanya bisa dipahami oleh perempuan itu sendiri,

diantaranya masalah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Human Trafficking,

Kesehatan Reproduksi, Aborsi dan Pembuangan Orok Bayi, Perkosaan Terhadap Perempuan

dan Anak di Ruang Publik, Angka Kematian Ibu dan Anak, Gisi Buruk, Feminisasi

Kemiskinan , Pekerja Anak dan sebagainya.


Oleh karena itu, Partai Politik yang merupakan wadah partisipasi politik melalui

fungsi rekrutmen elit politik dalam Negara Demokratis, perempuan sebagai Warga Negara

harus menggunakan hak politikya berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan

untuk berpartisipasi baik sebagai anggota legislative, mau pun eksekutif sehingga potensi

perempuan harus diperhitungkan dan dikembangkan menjadi kekuatan baru dalam mencapai

pembangunan yg inklusif dan berkelanjutan. Keterwakilan perempuan di Legislatif sedikitnya

30 persen sangat penting karena dengan jumlah tersebut dimungkinkan terjadi perubahan

dalam pengambilan keputusan maupun dalam penetapan prioritas pengalokasian sumberdaya

dan dana dengan kebijakan publik.

B. Partisipasi Politik Perempuan

Partai Politik merupakan wadah partisipasi politik dalam Negara Demokratis dan

berfungsi sebagai sarana perekrutan elit politik untuk jabatan politik dan pemerintahan.

Pentingnya keberadaan Partai Politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat dalam

mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia,

termasuk didalamnya hak-hak politik bagi laki-laki dan perempuan.

Ada beberapa alasan menurut penulis, perempuan perlu berpatisipasi dalam dunia

politik yaitu (1) Trend global peran perempuan yang semakin mengemuka di semua lini

kehidupan, (2) Peluang Era Demokrasi Reformasi dan Pemilihan Kepala Daerah maupun

Anggota Legislatif secara Langsung dan Terbuka dengan basis kompetensi untuk posisi-

posisi strategis di public, (3) Komitmen Politik untuk sekurang-kurangnya 30 %

keterwakilan perempuan di Legislatif, (4) Gerakan Kaum Perempuan/Feminis yang

memperjuangkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) di Tingkat Nasional, dan

Internasional yang semakin bergemuruh untuk menciptakan masyarakat yang Androginy.


Politik adalah proses dimana sekelompok orang, pemerintah, corporate, lembaga

pendidikan dan lembaga agama, lembaga keluarga mengambil keputusan. Politik berisikan

relasi sosial yang melibatkan kekuasaan dan wewenang dan mengacu pada suatu unit politik

dan pada metode dan taktik yang digunakan untuk memformulasi dan menerapkan kebijakan.

Oleh karena itu Politik dalam konteks sosiologis adalah suatu proses interaksi dan relasi

sosial antara bagaimana masyarakat mempengaruhi proses politik dan Politik mempengaruhi

masyarakat. (Tanof, 2012 : 123-124)

Partisipasi Perempuan dalam politik selalu berkaitan dengan aspek kekuasaan Legislatif dan

Eksekutif. Peran perempuan akan berpengaruh pada perubahan kebijakan biasanya diawali dari

Legislative, jika Negara memiliki kekuasaan Eksekutif yang lebih kuat atau seimbang

seperti yang terjadi di Indonesia. Diperlukan keseimbangan peran kekuatan perempuan di

Legislatif maupun Eksekutif agar program dan aturan pemerintah dapat berjalan efektif, karena

kedua lembaga tersebut saling mendukung.

Rush dan Althoff (2003), memberikan batasan Partisipasi Politik sebagai “Keterlibatan

dalam aktivitas politik pada suatu sistem politik yaitu mencakup kekuasaan

(power), kewenangan (authority), kehidupan public (public life), pemerintahan (government),

Negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict dan conflict resolution), kebijakan (policy),

pengambilan keputusan (decision making).

Samuel P.Huntington dan Joan M, Nelson dalam bukunya No Easy Choice ; Political

Participation in Developing Countries membuat batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan

warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk

mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individu

atau kolektif,
terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal
atau

ilegal, efektif atau tidak efektif.” ( Damsar , 2012 : 180-


181)

Selanjutnya partisipasi politik menurut H.M.Closky merupakan kegiatan sukarela dari

Warga Negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa

secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum

(M.Budiardjo,1998:2).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa Partisipasi Politik

Perempuan adalah keterlibatan perempuan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan usaha

penyelenggara Negara dan Pemerintahan dan memiliki akses dalam pengambilan

keputusan Lokal maupun Nasional.

Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat telah berkomitmen dan secara

tegas memberikan pengakuan yang sama bagi setiap warga negaranya, perempuan maupun laki-

laki akan berbagai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Hak-hak

politik perempuan ditetapkan melalui instrument hukum maupun dengan meratifikasi berbagai

konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut.

Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46

menyebutkan system pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif

dan sistem pengangkatan dibidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan

perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi

Hak-Hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women). Ketentuan dalam

konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan menjelaskan sebagai berikut :


1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-

syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa suatu diskriminasi.

2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh

hokum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.

3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan public dan menjalankan semua fungsi public,

diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada

diskriminasi.

Dasar hukum yang tidak kalah pentingnya adalah telah diamanatkan oleh konstitusi

kita Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 yang menyatakan “Segala Warga Negara

bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini menegaskan tidak adanya

perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan

turut terlibat dalam mempengaruhi keputusan-keputusan politik. Selanjutnya Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 28

D Ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hal ini

berarti baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya sama dihadapan hukum, berperan dalm

politik, dunia pendidikan, dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apapun demi kemajuan

dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Lebih lanjut dalam Pasal 28 D Ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua mengamanatkan “ Setiap warga Negara berhak

memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Implementasi dari pasal ini,

Sejak tahun 2005, Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung , sebagaimana diatur

dalam UU No. 32/2004. Kemudian Pilkada dilaksanakan secara serentak sesuai dengan UU

No.8/2015. Pilkada telah memberikan dampak positif bagi masyarakat termasuk kaum

perempuan sebagai
salah satu elemen masyarakat yang telahberpartisipasi dalam momentum Pilkada

untuk memperluas perannya dalam politik lokal.

Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia, secara kualitatif maupun kuantitatif,

cukup banyak yang berkedudukan sebagai pemimpin, baik sebagai admimistrator/

manajer, tokoh LSM, pejabat pemerintah, kepala daerah, menteri, anggota legislative bahkan

presiden. Tokoh Perempuan Pertama yang menjadi Presiden Indonesia adalah Ibu Megawati

Soekarnoputri. Menteri juga banyak dari kalangan perempuan, sebut saja Ibu Mufidah Hatta,

Ibu Nafsiah Mboy, Ibu Sri Mulyani, Ibu Susi Pujiastuti, Ibu Puan Maharani, ibu Yohana

Susana Yembise dan sebagainya. Terdapat juga tokoh-tokoh perempuan yang berhasil

menduduki jabatan wakil Bupati Kebumen dan wakill Gubernur Jawa Tengah, ibu

Rutriningsih, Ibu Tri Rismaharini Walikota Surabaya. Ibu Maria Geog, Wakil Bupati

Perempuan Pertama di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H Ayat (2) juga mengamanatkan bahwa “Setiap

orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dasar hukum yang tidak kalah

pentingnya adalah komitmen politik pemerintah tentang kesejahteraan gender dalam politik

yaitu Inpres No.9 Tahun 2000 tentang PUG (Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan).

Sebagai salah satu dasar hukum pada level internasional adalah dengan lahirnya

konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan ( The

UN Convention on the Elimination of all Form of Discrimination against Women-

CEDAW) disahkan dengan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979 dan sampai

saat ini lebih dari 170 negara di dunia telah meratifikasi. Salah satu manka penting dari

kehadiran konvensi
tersebut adalah menjadikannya sebagai dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuandan

laki- laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di ranah politik dan kehidupan

public, termasuk hak untuk memberikan suara dan mencalonkan diri ( Bylesio dan Ballington,

2002). Peraturan dan UU diatas, menjadi dasar hukum bagi perempuan untuk mengambil

bagian dalam bidang politik di Indonesia. ( Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI,

2016 : 29-30)

C. Keterwakilan Perempuan di Parlemen : Dikotomi Seks dan


Gender

Pemilihan Umum merupakan sebuah mekanisme absah dalam perpolitikan di mana

berbagai aspirasi dan kepentingan yang ada dalam masyarakat diangkat dan diperjuangkan oleh

partai-partai politik yang berkompetisi untuk menyuarakan berbagai aspirasi dan kepentingan

yang ada dalam masyarakat dan berupaya untuk memperoleh sebanyak mungkin suara rakyat

untuk mendukungnya dengan memberikan suara pada partai politik tersebut. Dalam kerangka

perpolitikan Demokrasi saat ini, maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam

lembaga politik formal hanya dapat dilakukan melalui dua jalur yakni, Partai Politik atau

Utusan Golongan. Dari dua kemungkinan jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur

yang paling efektif dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan

secara signifikan. Sebagai organisasi politik yang mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat

diharapkan partai politik juga dapat mengangkat aspirasi dan kepentingan perempuan. Selama

ini meskipun perempuan selalu ikut aktif memperjuangkan kepentingan dan aspirasi politik

secara umum, tapi mereka belum merepresentasikan aspirasi dan kepentingan politik

perempuan. Masih banyak kepentingan dan aspirasi perempuan yang belum dan tidak akan

pernah, terangkat secara formal jika tidak keras suara yang merepresentasikannya.
Aspirasi dan kepentingan perempuan akan terus terkalahkan oleh berbagai aspirasi dan

kepentingan umum lain yang lebih keras disuarakan karena 2 kemungkinan : (1) Aspirasi dan

kepentingan khas perempuan tidak dikenali atau tidak diketahui oleh partai-partai yang sangat

didominasi oleh laki-laki yang berkompetisi dalam arena politik. Oleh karena itu wajar saja

jika tidak ada yang menyuarakannya, (2) Perempuan yang berkiprah dalam arena politik tidak

dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan khas dari kelompok mereka sendiri karena

jumlah perempuan yang minoritas dalam perpolitikan. ( Soetjipto Widyani Ani , 2005 : 62)

Masyarakat Indonesia sampai dengan sekarang telah melaksanakan Pemilu sebanyak

12 kali, yaitu pada Orde Lama (tahun 1955) 1 kali, Orde Baru (tahun 1971, 1977, 1982,

1987,

1992, dan 1997), serta 4 kali pada era Reformasi (tahun 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019).

Sejak Reformasi, pelbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan representasi politik

perempuan, misalnya dengan penerapan kuota 30% caleg perempuan, diadopsi lewat UU

No.31/2002 tentang Partai Politik dan UU No.12/2003 untuk Pemilu 2004, serta UU

No.2/2008 tentang Partai Politik dan UU No.10/2008 serta pemberlakuan “zipper

system” untuk daftar kandidat pemilihan legislative tahun 2019. Dengan “zipper system” ini

parpol harus memasukan paling tidak satu perempuan dari tiga kandidat agar peluang terpilih

menjadi lebih besar. Sayangnya, efektifitas ketentuan-ketentuan ini jauh berkurang sesudah

Mahkamah Konstitusi mengubah system pemilu Indonesia dari representasi proporsional

menjadi sepenuhnya terbuka (openlist system) pada pemilu tahun 2014. Dampak kebijakan itu

adalah semakin meningkatnya jumlah calon anggota legislative perempuan dari pemilu tahun

2004 dan pemilu tahun 2009 ( Tabel 2)


Perbandingan Calon Anggota DPR Perempuan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009
Keterangan Pemilu 2004 Pemilu 2009
Jumlah Calon Anggota DPR Perempuan 2.507 3.910
Persentase Calon Anggota DPR Perempuan 33% 34,7%
Jumlah Calon Anggota DPR Perempuan Terpilih 61 103
Persentase Calon Anggota DPR Perempuan Terpilih 11.09% 17.86%
Sumber. Puskapol FISIP UI, 2007

Fakta Politik Keterwakilan Perempuan Parlemen di Nusa Tenggara Timur, khususnya

di Kota Kupang secara kuantitas jumlah Anggota Legislatif Perempuan pada Pemilu 2014

mengalami peningkatan yakni sebesar 12,5% (5 kursi dari 40 kursi) dibandingkan dengan

pemilu pada tahun 2004 dan 2009 yang hanya mencapai 3,33% ( 1 kursi dari 30 kursi)

yang di perebutkan. Perempuan dalam lembaga politik formal di Nusa Tenggara Timur

walaupun mengalamipeningkatan secara kuantitas , tetapi tidak pernah mencapai angka

strategis keterwakilan perempuan memenuhi kuota 30 % di Parlemen, oleh karena itu, suara

perempuan kurang diperhitungkan,didengar dalam pengambilan keputusan atau kebijakan

politik.

Minimnya keterwakilan perempuan dalam Lembaga Legislatif di Nusa Tenggara Timur, dan

perbandingannya dengan laki-laki, Hasil Pemilihan Umum Tahun 2014- 2019, dapat dilihat

dalam table berikut ini:

Tabel 2 : Anggota DPRD Provinsi & Kabupaten/Kota Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014-2019
NO Prov / Kab/Kota Anggota DPRD Kab/Kota

L P L+P
1 Provinsi NTT 59 6 65
2 Kota Kupang 34 6 40
3 Kabupaten Kupang 31 4 35
4 Timor Tengah Selatan 32 8 40
5 Timor Tengah Utara 27 3 30
6 Belu 26 4 30
7 Malaka 19 6 25
8 Alor 29 1 30
9 Lembata 25 0 25
10 Flores Timur 30 0 30
11 Sikka 33 2 35
12 Ende 29 1 30
13 Nagekeo 25 0 25
14 Ngada 20 5 25
15 Manggarai Timur 29 1 30
16 Manggarai 31 4 35
17 Manggarai Barat 29 1 30
18 Sumba Barat Daya 35 0 35
19 Sumba Barat 21 4 25
20 Sumba Tengah 20 0 20
21 Sumba Timur 28 2 30
22 Sabu Raijua 18 2 20
23 Rote Ndao 21 4 25
Jumlah 651 64 715
Sumber : Profil Gender dan Anak Provinsi NTT, Tahun 2015

Jika dilihat dari data Tabel -2, berarti masih ada peminggiran politik terhadap

perempuan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen terjadi ketimpangan yang sangat

mencolok itu tidak dapat dilepaskan dari isu gender dan seks yang sering di persepsikan dan

dikonstruksikan secara salah dan rancu oleh masyarakat. Hal ini berimbas pada berbagai bidang

kehidupan masyarakat, termasuk bidang politik. Ketimpangan kedudukan perempuan

dibanding laki-laki selama ini disebabkan oleh nilai-nilai yang dikonstruksi masyarakat yang

menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Pola pikir yang membakukan citra

perempuan seperti ini disebabkan karena interpretasi yang keliru dari masyarakat tentang

gender dan seks (jenis kelamin) yang sering dicampur adukan. Gender secara umum digunakan

untuk mengidentifikasi perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara

itu, seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan

dari segi anatomi biologis. Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologis

seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik,

reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak

berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.

Gender menjadi istilah simpul untuk menyebut kefemiminan (keperempuanan) dan

kemaskulinan (kelelakian) yang dibentuk secara sosial, yang berbeda dari satu kurun waktu ke

kurun waktu lainnya, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda dengan seks, perilaku

gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan sesuatu yang

berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tidak bisa dipengaruhi oleh

manusia. Seks merupakan perbedaan jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan,

seks telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga merupakan suatu kodrat oleh karena itu tidak

dapat diubah.
Perbedaan laki-laki dan perempuan secara gender masih menjadi masalah yang mengundang

keprihatinan kaum perempuan. Perbedaan anatomi biologis antara perempuan dan laki-

laki cukup jelas, namun efek yang timbul akibat dari perbedaan itu menimbulkan perdebatan,

karena ternyata perbedaan jenis kelamin seks melahirkan seperangkat konsep budaya.

Allan G.Jonhson, penulis buku Patriarki, dalam Tanof ( 2012 ; 120), mengemukakan

beberapa stereotip yang sangat umum tentang perempuan dan laki-laki. Stereotip laki-

laki memiliki “kekuatan efisiensi, berdaya saing, tangguh”.Adapun stereotip perempuan

seperti “ inefisiensi, berbagi kasih sayang, kepedulian, emosional”. Jonhson menyatakan

sesuatu yang sangat menarik, “ Kekuatan menjadikan laki-laki tampak seksi, bukan pada

perempuan”. Stereotip efisien untuk laki-laki dan inefisien bagi perempuan memberikan arti

ganda karena perempuan tidak efisien, dengan kata lain tidak terampil dibandingkan denngan

laki-laki. Pendapat masyarakat (stereotip) tentan gender menjelaskan bahwa laki-laki harus

memiliki kekuatan. Pandangan masyarakat ini adalah salah satu hal yang berkontribusi terhadap

konstruksi gender dengan membuat laki-laki tampak seperti memiliki lebih banyak

kekuasaan dan hak istimewa atas perempuan.

Diskursus akan hal tersebut akan tetap ada sepanjang zaman meskipun laki-laki

dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik,

namun hak yang sama itu seringkali tidak dibarengi dengan kesempatan yang sama, sehingga

keterwakilan perempuan diparlemen menjadi sangat timpang. Hal itu disebabkan oleh beberapa

factor antara lain ; (1) Nilai sosial budaya Patriarki lebih mengutamakan laki-laki, (2)

Citra perempuan sebagai kaum yang lemah lembut dimana citra ini bertentangan dengan citra

politik yang keras, kejam, dan cenderung menghalalkan segala cara, sehingga politik dianggap

bukan dunia yang cocok untuk kaum perempuan, (3) Ajaran agama yang ditafsirkan secara

sempit dan parsial, (4)


Kurangnya political will pemerintah, (5) Kekurangan dalam kualitas individu perempuan dan

kaderisasi politik. (6) Minimnya dukungan dana operasional dan kampanye dari Partai Politik.

Oleh karena itu berbagai factor yang menjadi kendala diatas harus di eliminir agar terwujudnya

kesetaraan dan keadilan gender antara perempuan dengan laki-laki dalam bidang politik.

D. Prospek Keterwakilan Perempuan di Parlemen : Tantangan dan


Harapan
Menjelang Pilkada serentak tahun 2017 dibeberapa daerah di Indonesia juga Nusa

Tenggara Timur akan melaksanakan pesta Demokrasi yaitu Pemilihan Walikota dan Wakil

Walikota Kupang , Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Flores Timur, Pemilihan Bupati dan

Wakil Bupati di Lembata, Periode 2017-2022. Pada tahun 2018, masyarakat Nusa Tenggara

Timur secara demokratis juga akan menggunakan hak politiknya untuk dipilih maupun

memilih putra-putri terbaik yang akan berkompetisi memperebutkan kursi Calon Gubernur

maupun calon Wakil Gubernur Periode 2018-2023 . Selanjutnya di Indonesia pada tahun

2019, akan melaksana PEMILU secara serentak untuk memilih calon Presiden dan calon

Wakil Presiden serta calon Anggota Legislatif Periode 2019-2024.

Tema-tema tentang keterwakilan perempuan semakin mengemuka diberbagai

Forum Seminar, Diskusi, Work Shop, FGD juga di Media Massa dan Media Sosial.

Keterwakilan perempuan memang suatu peristiwa yang sangat penting, dimana perempuan di

harapkan dapat terlibat dalam pengambilan keputusan pada tingkat Eksekutif dan Legislatif.

Dengan keterlibatan perempuan dalam politik, diharapkan pula aspirasi dan kepentingan

perempuan terakomodasi dalam membangun bangsa ini secara komprehensif menuju

masyarakat yang demokratis dan berkeadilan jender.

Agenda besar bagi perempuan untuk memantapkan langkahnya berpartisipasi dan turut

serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik yaitu dengan disepakatinya

Kuota
minimal 30 % untuk perempuan, dimana ketentuan tersebut harus dipenuhi oleh partai politik

(parpol) dengan menempatkan caleg perempuan secara zipper, namun tidak mudah bagi

perempuan dan semua parpol dapat memenuhi kuota minimal 30 % sebagai Caleg. Tidak hanya

partai-partai baru yang miskin kader perempuan, bahkan beberapa partai politik besar

yang sudah lolos electoral /parlementary threshold pun mengalami kesulitan mencari

perempuan potensial yang memilki kemauan dan kemampuan menjadi Caleg walaupun

mungkin memiliki banyak kader perempuan yang mempunyai kemauan tetapi belum tentu

memiliki kemampuan yang bisa diandalkan dan layak dijual kepada para pemilih. Minimnya

kader-kade r perempuan yang berkualitas sebagai Caleg, hal ini berhulu kendala pada persepsi

dan konstruksi sosial yang telah mensubordinasi perempuan posisinya dibawah laki-laki yang

pada akhirnya akan menghambat kaderisasi perempuan di dalam tubuh parpol. Tidak jarang,

banyak parpol yang setengah hati mengajukan caleng perempuan karena adanya persepsi dan

konstruksi sosial yang keliru tersebut. Kalaupun ada parpol yang mengajukan, namun disertai

dengan keterpaksaan karena adanya tuntutan undang-undang .Oleh karena itu, selama

pengambilan keputusan pada partai politik tidak memiliki sensitivitas gender dan masih ada

mahar politik bagi calon kepala daerah, maka saya pesimis keterwakilan perempuan asal

NTT di DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun Kota Kupang periode 2019-2024 nanti akan

meningkat secara signifikan. Tantangan ini juga akan dihadapi oleh perempuan potensial yang

memiliki kemauan dan kemampuan akan maju pada Pilkada tidak akan jauh berbeda dengan

tantangan ataupun kendala yang dihadapi oleh perempuan ketika Pileg.

Menyikapi realitas politik seperti itu, maka para aktivis perempuan sebaiknya

memandang Kuota 30% perempuan dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik.

Ke depan, terutama untuk lima tahun kedepan, rencana dan program diarahkan untuk

melakukan
Pendidikan Politik baik kepada Partai Politik, Calon Legislatif ataupun Calon Kepala Daerah,

juga kepada Pemilih. Pendidikan Politik ini tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis dalam

proses Pemilihan Umum,seperti memberikan informasi kepada pemilih, siapa yang berhak

memilih, mekanisme pemilihan, tempat, tanggal dan waktu pemilihan dan syarat-syarat

registrasi. Akan tetapi juuga berkaitan dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakekat

ssPemilu, antara lain apa itu Pemilu dan mengapa Pemilu diadakan. Pemilu diadakan tidak

sekedar sebagai ritual demokrasi, tetapi menyangkut hubungan antara basic human rights

dan hak memilih. Bahwa setiap warga Negara memiliki peran, tanggung jawab, dan hak-

hak memilih. Harus dijelakan, Pemilu punya implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan

Negara dan terciptanya Good Governance di masa yang akan datang. Yang diharapkan dengan

adanya Pendidikan Politik adalah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk

berpartisipasi penuh dalam proses Pemilu.

Selain itu, dalam Pendidikan Politik ini juga dijelaskan bagaimana menentukan Pilihan

Partai dan Wakil Legislatif maupun calon Kepala Daerah. Dalam proses menentukan pilihan

ini perlu ada semacamgambaran jelas tentang Profil Partai dan Calon Anggota Legislatif

ataupun Calon kepala Daerah yang di ajukan Partai Politik. Harus ada track record calon yang

akan dipilih, terutama dalam hal yang berkaitan dengan persoalan korupsi dan keberpihakan

kepada rakyat. Dalam hal ini perlu di tekannkan agar dalam memilih untuk menentukan

pilihan politik, masyarakat pemilih harus menggunakan pertimbangan Rasional bukan

Emosional karena Ikatan Primordial ataupun Politik Uang. Di samping itu harus ada

pertimbangan yang matang dengan menggunakan Hati Nurani, mengapa memilih partai

tersebut dan Calon Anggota Legislatif ataupun Calon Kepala Daerah, termasuk dalam hal ini

memilih caleg Perempuan. Jangan karena


alasan agar Kuota 30% perempuan terpenuhi, kita asal memilih Caleg Perempuan. Yang

terpenting adalah proses Pendidikan Politik harus Sensitive Gender.

Penutup

Perempuan di Indonesia maupun Nusa Tenggara Timur, secara hukum mempunyai hak,

kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki berpartisipasi di bidang politik. Namun,

karena alasan nilai-nilai cultural yang berkembang di masyarakat dan kendala structural, hanya

sedikit jumlah perempuan yang tampil di panggung politik. Untuk mengejar

ketertinggalan tersebut telah diupayakan affirmative action dengan menempatkan caleg

perempuan secara zipper yaitu dari tiga orang caleg, satu diantaranya adalah perempuan

sebagai solusi alternative yang memberi akses keterwakilan perempuan di Parlemen melalui

pelaksanaan Kuota sebesar

30% sebagai momentum dan sekaligus sebagai proses pendidikan politik yang berharga

bagi perempuan untuk mengejar ketertinggalan di dunia politik. Dengan demikian, hal ini

diharapkan dapat dicapai pada Pemilu tahun 2019, karena hasil Pemilu Legislatif tahun 2009,

perempuan yang lolos ke parlemen sebagai anggota DPRD Provinsi baru mencapai 8,9%. Hal

ini disebabkan karena adanya persepsi dan konstruksi sosial budaya yang menutup akses

kaum perempuan untuk lebih banyak berkiprah dalam bidang politik. Sebagai persoalan

gender, keterwakilan perempuan di parlemen dapat diubah dan ditingkatkan, meskipun

perlu proses yang cukup panjang.

Peningkatan Keterwakilan perempuan di parlemen juga tidak otomatis menjamin

aspirasi kaum perempuan akan terakomodasi dengan baik, karena suara di parlemen adalah

bukan suara individu perempuan tetapi suara parpol dan fraksi. Oleh karena itu, semua

anggota parlemen, baik laki-laki maupun perempuan, harus memilki komitmen yang kuat

untuk memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan gender disemua bidang, karena merekalah yang melahirkan berbagai

produk undang-undang. Selain itu, perlu advokasi yang lebih intensif dan kontiyu mengenai

kesetaraan dan keadilan gender. Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan harus memiliki

komitmen dan political will yang kuat, sehingga pengarusutamaan gender serta pemberdayaan

perempuan bukan hanya jargon untuk sekedar menyenangkan kaum perempuan.

Pemilu Legislatif ataupun Kepala Daerah harus dijadikan momentum bagi masyarakat

bahwa pemilihan wakil rakyat ataupun pemimpin membawa konsekuensi yang hasilnya akan

berdampak jangka panjang. Sekali masyarakat salah memilih wakil rakyat ataupun pemimpin

yang korup, tidak memiliki etika dan nurani, tidak memiliki konsep terhadap perubahan dan

penegakan keadilan dan punya komitmen terhadap penderitaan rakyat, maka akibat yang harus

dibayar sangat mahal, tidak sekedar materi, tetapi juga nilai-nilai dan ideology pancasila

dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi.

Perlu terus dilakukan kajian-kajian dan mengidentifikasi permasalahan yang

memarginalisasi dan terisolasinya perempuan dari dunia politik, terutama perempuan di tingkat

local yang masih memiliki keterbatasan terhadap akses pendidikan politik. Lembaga-lembaga

nonpemerintah seperti LSM memberi kontribusi yang cukup berarti selama ini dalam

memperjuangkan agenda politik perempuan dan merupakan kelompok yang bekerja di

luar lingkaran lembaga-lembaga politik formal dengan fungsi kontrol, merupakan modal sosial

dan kekuatan yang bermanfaat dan mesti dipertahankan.


Daftar Pustaka

Aziz, Abdul. 2016, Panduan Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Potensial Calon Kepala
Daerah Jilid I, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia, Jakarta

Budiardjo, Mariam. 1998, Partisipasi dan Partai Politik ; Sebuah Bunga Rampai. Yayasan
Obor
Indonesia, Jakarta

Damsar. 2010, Pengantar Sosiologi Politik. Kencana, Jakarta

Soetjipto W. Ani. 2005, Politik Perempuan Bukan Gerhana.Kompas Media Nusantara, Jakarta

Tanof S. Balkis. 2012, Sosiologi Dalam Keberagaman ; Berbagai Realitas Sosial Dalam
Pemikiran Sosiologi dan Gender. Fisip Undana Press, Kupang

Laporan :

Badan Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT. 2015, Profil Gender dan Anak
NTT, Kupang

Puskapol Fisip UI. 2007, Laporan Kajian : Revisi Undang-undang Pemilu dan Partai Politik serta
Implikasinya bagi Keterwakilan Perempuan, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai