Anda di halaman 1dari 8

Kelas : B4

NIM : 155120500111039

No Absen : 15

Mata Kuliah : Politik dan Gender

Tugas UTS

Politik dan Gender

Soal

1. Membuat Outline Skripsi.


2. Membuat rekayasa sistem pemilu yang dapat meningkatkan tidak hanya
kuantitas tetapi juga kualitas keterwakilan perempuan di parlemen.

Jawaban
Keterlibatan Perempuan dalam PengambilanKeputusan
Pada Perencanaan Pembangunan di Bandung Jawa Barat
BAB I

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Model pembangunan di Indonesia mulai dari pembangunan yang top down


kepada pembangunan dari bawah ke atas (bottom up). Pembangunan tidak hanya
bersifat linier dan tidak hanya melibatkan aparatur pemerintahan saja. Paradigma
pembangunan menjadi Pembangunan Partisipatif. Hal ini dilandasi oleh UU
No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan daerah.
Pada gilirannya peran pemerintah dalam pembangunan yang pada awalnya
sebagai penyedia/pemberi, pada perkembangan selanjutnya menjadi yaitu sebagai
pendorong atau pemfasilitasi. Selanjutnya pembangunan yang menggunakan
pendekatan top down dimana pemerintah sebagai pelayan sering disebut sebagai
orthodox paradigm,sementara pembangunan dengan pendekatan bottom up
dimana pemerintah bertindak sebagai pendorong atau sebagai pemfasilitasi
dikenal dengan istilah the alternatif paradigm.1
Dalam pembangunan yang menggunakan pendekatan bottom up (partisipatif)
tersebut masyarakat menjadi ujung tombak dari sebuah pembangunan. Oleh
karena itu masyarakat diharapkan dapat secara aktif berperan serta dalam
menentukan arah membangunan. Partisipatif dalam pembangunan tidak hanya
terbatas dalam pengertian ikut serta secara fisik, melainkan keterlibatan yang
memungkinkan melaksanakan identifikasi masalah sendiri, mengorganisasikan
masalah, mencari akar masalah dan menentukan perencanaan program
pembangunan.
Dari 6,1 miliar penduduk dunia setengahnya adalah perempuan. Dengan
jumlah yang banyak ini seharusnya perempuan mempunyai andil besar dalam
1 Rini Rinawati ddk. Kajian Gender mengenai Partisipasi Wanita dalam
Pembangunan Partisipatif melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal.
Vol. 23. No.2 April-Juni 2007 . Hal 158
setiap bidang kehidupan yang sama besarnya dengan laki-laki. Kenyataannya
berdasarkan data dari Human Development Report (HDR)UNDP 2002 dalam
pengambilan keputusan strategis, presentase perempuan Indonesia hanya 8,0%
dalam legislatif dan 5,9% dalam eksekutif. Artinya adalah begitu banyak
keputusan atau kebijakan itu diambil oleh sebagian besar laki-laki. Dengan
demikian, bisa jadi sebuah pembangunan yang ditujukan kepada perempuan-pun
pengambil kebijakannya adalah laki-laki.2
Oleh karenanya melalui Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(Gender Mainstream) Dalam Pembangunan Nasional, diharapkan partisipasi
perempuan dalam pembangunan dapat optimal. Selain itu di dalam Rencana Kerja
Pemerintah tahun 2005 disebutkan bahwa strategi pengarus utamaan gender
diterapkan ke dalam proses dan tahapan pembangunan.

1.2 PERTANYAAN PENELITIAN


Dari kajian permasalahan yang telah diuraikan, maka menarik untuk
melakukan penelitian mengenai: Bagaimana partisipasi perempuan dalam
Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kabu paten Bandung?. Dan
Bagaimana upaya mendorong perempuan agar secara suka rela ikut serta dalam
pembangunan partisipatif di Bandung Jawa Barat ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1. Untuk mengetahui partisipasi perempuan dalam Perencanaan
Pembangunan Partisipatif di Bandung Jawa Barat
2. Untuk mengetahui upaya mendorong perempuan agar secara suka rela ikut
serta dalam pembangunan partisipatif di Bandung Jawa Barat.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Bertitik tolak pada tujuan penelitian yang telah dipaparkan diatas maka
hasil penelitian diharapkan membrikan kontribusi positif dalam mengupayakan

2 Minimnya Partisipasi Perempuan Artikel, Pikiran Rakyat, 5 Maret 2006 hal 17


ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/download/239/129
diakses pada tanggal 15 April 2017
peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat :
1. Dari aspek akademis merupakan salah satu acuan bagi peneliti lain yang
mempunyai kepedulian terhadap partisipasi perempuan dalam
pembangunan partisipatif dalam pemerintahan di sebuah daerah.
2. Dari aspek pengambilan kebijakan, sebagai bahan acuan dalam menyusun
kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk meningkatkan
keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan pada perencanaan
pembangunan.
3. Sebagai informasi bagi publik mengenal keterlibatan perempuan dalam
pengambilan keputusan pada perencanaan pembangunan di Bandung Jawa
Barat.

1.3 TINJAUAN PUSTAKA


1.3.1 Perempuan dan Politik
Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap
atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau
tidak efektif.3
Konvensi Hak Politik Perempuan, yang pada 1952 diterima PBB dan telah
diratifikasi oleh DPR melalui Undang-Undang nomor 68 tahun 1958, pada pasal 1
menetapkan bahwa; Perempuan berhak memberikan suara dalam semua
pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi (Women shall be
entitled to vote in all elections on equal terms with men without any
discrimination. Hak ini telah dilaksanakan dalam pemilu 1955.4

3 Miriam Bidiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka


Utama, 2010, hal. 3

4 Ibid. Hal 258


Partisipasi perempuan di bidang politik sangat dibutuhkan karena masyarakat
perlu memiliki pandangan-pandangan yang seimbangan diantara kebutuhan laki-
laki dan perempuan. Selain itu kebijakan publik yang dirumuskan juga harus
merepresentasikan kepentingan keduanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
Juree Vichit-Vadakan.5
Secara umum, partisipasi politik perempuan dapat diartikan sebagai keikutsertaan
perempuan untuk mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara
langsung dan tidak langsung ikut terlibat dalam proses pembentukan kebijakan
umum ataupun mempengaruhi pembuatan oleh pemerintah.

1.3.2 Teori Representasi


Hanna Fenichel Pitkin (1967) mengemukakan bahwa representasi
merupakan bentuk modern dalam demokrasi. Dalam konsepsi Pitkin, setidaknya
ada empat cara memandang representasi politik.6
Pitkin membagi representasi menjadi empat bentuk yang berbeda. Pertama,
representasi otoritas yaitu ketika representator secara legal diberi hak untuk
bertindak. Kedua, representasi deskriptif yaitu ketika representator membela
kelompok yang memiliki watak politik yang sama. Ketiga, representator simbolis
ketika representasi menghasilkan sebuah ide bersama. Keempat, representasi
substantif ketika representator membawa kepentingan "ide" represented ke dalam
area kebijakan publik( Pitkin:1967 ).
Pertama, perspektif otorisasi melihat bahwa representasi merupakan
pemberian dan pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai orang yang diberi
kewenangan untuk bertindak. Wakil memiliki hak untuk bertindak, yang
sebelumnya tidak dimilikinya. Sebaliknya terwakil yang memberikan beberapa
haknya, harus ikut bertanggungjawab atas konsekuensi tindakan yang dilakukan

5 Juree Vichit-vadakan, Under-Rebresentation of Wpmen in The Politics, 2004, Jurnal


Kebijakan Partai Politik dalam Merespon Pemberlakuan Kuota 30% Keterwakilan
Perempuan Anggota Legislatif pada Pemilu 2009, Hal. 16.

6 www. Journal Unair.ac.id, Dwi Windyastuti, Politik Representasi Perempuan, Diakses


pada tanggal 10 April 2017
oleh wakil. Pandangan otoritas ini memusatkan pada formalitas hubungan
keduanya atau yang disebut sebagai pandangan formalistik.
Kedua, representasi deskriptif yaitu seseorang dapat berpikir dalam kerangka
sebagai standing for segala sesuatu yang tidak ada. Wakil bisa berdiri demi
orang lain yang diawakili, menjadi substitusi untuk orang lain, atau mereka cukup
menyerupai orang lain. Representasi deskriptif menggambarkan bahwa wakil
mendeskripsikan konstituen, biasanya ditandai dengan karakteristik yang nampak
seperti warna kulit, gender, atau kelas sosial. Model ini dipahami sebagai
kesamaan deskriptif antara wakil dengan yang diwakili. Ciri pandangan ini
kebanyakan dikembangkan di antara yang membela representasi proporsional,
bahkan pandangan ini dianggap sebagai prinsip fundamental representasi
proporsional yang berupaya menjamin bahwa badan perwakilan mencerminkan
hitungan matematis more or less atas konstituenya. Proporsionalitas wakil ini
terkkait dengan komposisi komunitas, sebagai kondensasi dari keseluruhan.
Ketiga, representasi simbolik berarti merepresentasikan sesuatu yang
bukan merepresentasikan fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan
peta atau potret, tetapi dengan simbol, dengan disimbolkan atau diwakili secara
simbolik. Meskipun sebuah simbol merepresentasikan standing for segala
sesuatu, tetapi tidak menyerupai apa yang diwakili. Symbol memiliki ciri yang
membantu merasionalisasi signifikansi simboliknya, sehingga simbol
mensubstitusi yang diwakili dan simbol mensubstitusi apa yang disimbolkan.
Keempat, representasi substantif yaitu terepresentasinyaide dan
kepentingan perempuan dalam formulasi kebijakan, artinya representasi
substantif ketika representator membawa kepentingan "ide" represented ke dalam
area kebijakan publik.7

1.3 METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan
kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan
data tersebut berasal dari nasah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen resmi
7 Ibid
lainnya. Penelitian kualitatif fokus pada perolehan gambaran yang benar tentang
8
bagaimana masalah atau situasi yang dialami oleh mereka yang menjalaninya.
Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin
menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan
tuntas.
Selain itu teknik dan prosedur dari orientasi penelitian yang digunakan adalah
etnografi (Fetterman 1989), dan penelitian feminisme (Reinharz 1992).
Metodologi yang digunakan karena didukung oleh asumsi penelitin sebagai
berikut :9
1. penelitian feminis adalah tindakan dan perubahan orientasi,
2. Susunan pengetahuan adalah proses politik (Kirby & McKenna
1989)
3. Penelitian feminis berusaha untuk mewakili keragaman manusia
(Reinharz, 1992, hal.240)
4. penelitian feminis seringkali meliput peneliti sebagai obyek
(Reinharz, 1992, hal.240)
5. Hasil dari penelitian berasal dari pengalaman perempuan, persepsi
mereka tentang pengalaman, dan cerita kehidupan nyata (Rothe
1993)

8 Olena Hankivsky, Centre For Research on Violence Againts Women


and Children (Penelitian Kekerasan yang terjadi pada Perempuan dan
Anak-anak), Acollaborative venture of Fanshawe College, The London
Coordinating Committe to End Woman Abuse and The University of
Western Ontario, Kanada, 1999, Hal. 1-2

9 Susan Gadbois., Ibid, Hal 5


DAFTAR PUSTAKA
Rini Rinawati ddk. Kajian Gender mengenai Partisipasi Wanita dalam
Pembangunan Partisipatif melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal. Vol.
23. No.2 April-Juni 2007 . Hal 158

Minimnya Partisipasi Perempuan Artikel, Pikiran Rakyat, 5 Maret 2006 hal 17


ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/download/239/129

Miriam Bidiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,


2010, hal. 3

Juree Vichit-vadakan, Under-Rebresentation of Wpmen in The Politics, 2004,


Jurnal Kebijakan Partai Politik dalam Merespon Pemberlakuan Kuota
30% Keterwakilan Perempuan Anggota Legislatif pada Pemilu 2009,

Olena Hankivsky, Centre For Research on Violence Againts Women and Children
(Penelitian Kekerasan yang terjadi pada Perempuan dan Anak-anak),
Acollaborative venture of Fanshawe College, The London Coordinating
Committe to End Woman Abuse and The University of Western Ontario,
Kanada, 1999,

www.Journal.unair.ac.id, Dwi Windyastuti, Politik Representasi Perempuan,


Diakses pada tanggal 10 April 2017

Anda mungkin juga menyukai