Anda di halaman 1dari 27

EVALUASI AKHIR SEMESTER

ANALISA KEBIJAKAN PUBLIK

Dosen:
DR. Joko Pramono, S.Sos, M.Si
PAPPER POLICY

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI BIDANG POLITIK

(BAGAIMANA MENINGKATKAN PARTISIPASI PEREMPUAN ? )

PUJI KUSMARTI
MAP ANGKATAN XXX
NPM ; 2142102
BAB I
PENDAHULUAN

Perempuan adalah warga negara dengan hak politik yang sama dengan

laki-laki. Melalui data dapat dilihat bahwa partisipasi dan keterwakilan

perempuan dalam politik masih kurang, terutama di legislatif. Ini terjadi

karena adanya diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan

ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, penting untuk

memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender di bidang politik, dengan

menggunakan prinsip "tindakan khusus sementara". Tindakan khusus ini

terimplementasi dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya

manusia (perempuan), peningkatan keterwakilan pada posisi otoritas

strategis, partisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan dan sinergi.

Negara demokrasi akan menyelenggarakan pemilihan umum yang bermutu

tinggi untuk mencapai prinsip kedaulatan rakyat untuk menghasilkan dan

memilih wakil-wakil rakyat yang akan bertugas di tingkat pusat (anggota DPR-

RI dan DPD) dan dalam badan-badan perwakilan di tingkat daerah (provinsi).

DPRD dan DPRD Kabupaten/Kota) Dewan Perwakilan Rakyat atau lembaga

legislatif, baik di pusat maupun di daerah idealnya dijabat oleh seseorang yang
dapat mewakili rakyat dan yang dapat mengkomunikasikan aspirasi rakyat,

termasuk aspirasi perempuan warga negara.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat

Statistik Tahun 2020, jumlah perempuan di Indonesia adalah 133.542018

orang, sekitar 49% dari total populasi Indonesia, dengan total 270.203.917

orang. Artinya, kondisi ideal keterwakilan perempuan Indonesia di lembaga

perwakilan atau legislatif harus sebanding dengan jumlah penduduk

perempuan Indonesia. Namun, hasil penyelenggaraan pemilu menunjukkan

bahwa mencapai angka kunci 30% keterwakilan perempuan yang ditetapkan

sebagai tindakan khusus sementara bukanlah tugas yang mudah dan

membutuhkan dukungan dari banyak pihak, selain dari pemerintah, LSM

dalam hal ini termasuk juga partai politik, akademisi dan tokoh agama.

Tentang partisan, politik seperti partisan dari upaya hukum di

memperjuangkan aspirasi politik, memiliki kewajiban hukum dan moral untuk

menyelenggarakan pendidikan politik warga negara. Pemberdayaan kader

perempuan dalam konteks minimnya partisipasi politik perempuan

merupakan fungsi penting partai politik dalam pendidikan politik bagi

masyarakat. Partai politik menjalankan fungsi pendidikan politik yang

bertujuan untuk membentuk kepribadian politik, kesadaran politik, dan


partisipasi politik (Ruslan, 2000). Muara pendidikan politik adalah kuatnya

partisipasi politik kader dalam proses politik yang sebenarnya.

Pendidikan politik oleh partai memainkan peran strategis dalam

membentuk warga negara, khususnya kader partai harus memiliki keberanian

politik, kesadaran politik dan kemampuan untuk berpartisipasi aktif ekstrim,

reaksioner karena kader adalah bagian dari politisi praktis berpartisipasi dalam

informasi aliran kekuasaan publik. Khusus bagi kader perempuan, pendidikan

politik melalui partai dapat menjadi batu loncatan untuk meningkatkan

partisipasi politik kader perempuan baik di dalam partai maupun di dalam

pemerintahan. Dengan latar belakang ini, partisipasi politik kader partai

perempuan di Indonesia masih relatif rendah. Salah satunya dapat dilihat dari

jumlah perempuan yang terwakili di legislatif. Hasil penelitian Pusat Kajian

Kebijakan Universitas Indonesia tahun 2014 menunjukkan bahwa persentase

keterwakilan perempuan di parlemen di Indonesia tidak pernah melebihi

angka tersebut.

Langkah-langkah afirmatif politik yang bertujuan untuk meningkatkan

partisipasi perempuan dan sarana konkrit untuk mencapai kesetaraan gender

di bidang politik. Penegasan politik adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh


pemerintah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD. Sistem kuota merupakan

bentuk affirmative action yang harus dihormati oleh partai-partai saat

mengajukan calon anggota parlemen dan pimpinan partai. Namun, kuota

keterwakilan perempuan tidak akan efektif jika pengetahuan, pemahaman,

dan keterampilan politik perempuan tetap minim. tetapi memiliki potensi

untuk berperan dan mempengaruhi pembuatan kebijakan politik.


BAB II
AFIRMATIF DALAM INTERNAL PARTAI POLITIK

Jaminan hukum kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik bagi

perempuan sudah banyak diatur, namun partisipasi dan keterwakilan

perempuan di legislatif belum maksimal. Oleh sebab itu perlu dilakukan

berbagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di bidang

politik, antara lain:

1. Peningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, Sebagaimana

telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (jo. Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011), Partai Politik harus melakukan pendidikan

politik dan juga Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik

melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan

keadilan gender

2. Peningkatkan keterwakilan dalam posisi strategis pada kekuasaan.

Pelaksanaan Pemilu 2009 telah memberikan jaminan hukum bagi perempuan

berpartisipasi peserta pemilu yang secara independen yaitu melalui Dewan

Perwakilan Daerah. Hasil Pemilu 2009 itu telah memperlihatkan peningkatan

keterwakilan mencapai angka 29%. Hal ini memperlihatkan sudah mendekati

angka kritis TKS minimal 30%. Namun, peranan perempuan di DPD ini
kurang maksimal mengingat fungsi DPD itu sendiri berada di Parlemen.

Kendala yang dihadapi perempuan untuk meraih suara, antara lain masalah

dana dan peranan Parpol yang masih dominan memberikan kesempatan bagi

anggota legislatif laki-laki. Selain itu, setelah menjadi anggota legislatif,

anggota legislatif perempuan tidak menduduki posisi- posisi penting dan tidak

terwakili dalam proses pengambilan keputusan di MPR, DPR, DPRD, DPD

sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh sebab itu,

upaya penguatan tindakan khusus sementara pada Paket Pemilu sangat

penting. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, UU Penyelenggara Pemilu dan

UU Parpol telah memberikan akses dan kesempatan untuk perempuan

berkiprah di politik. Namun pelaksanannya akan kita lihat pada Pemilu 2014

nanti, apakah akan ada perubahan yang signifikan.

3. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi perempuan

dalam proses pengambilan keputusan di Legislatif sangatlah penting. Pasal 69

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, menyatakan bahwa fungsi DPR ada

3 (tiga) yaitu: legislasi, anggaran dan pengawasan yang dijalankan dalam

kerangka representasi rakyat. Karena partisipasi dan keterwakilan perempuan


masih minim, masih banyak produk legislasi, anggaran dan pengawasan

belum berperspektif Gender. Adanya partisipasi dan keterwakilan perempuan

baik secara kuantitatif (minimum 30%) dan kualitas yang baik tentu akan

menghasilkan parlemen yang memperlihatkan kesetaraan dan keadilan

gender.

Kesetaraan Dan Keadilan Gender Di BIdang Politik (tiga) hal yaitu:

kebijakan bercirikan peka terhadap dampak ketidakadilan gender yang ada di

tengah masyarakat; kepekaan dalam melihat perbedaan, pengalaman dan

kebutuhan antara laki-laki dan perempuan dalam menjawab suatu persoalan,

kebijakan yang netral gender, kebijakan yang spesifik gender, dan kebijakan

yang transformatif gender.


BAB III
PENGUATAN IMPLEMENTASI REGULASI DAN KEBIJAKAN

Apabila kita lihat bagaimana pelaksanaan hukum tentang pentingnya

partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik sebenarnya

diamanatkan oleh negara. Namun jaminan ini tidak memaksimalkan

partisipasi politik, partisipasi, keterwakilan perempuan, dengan kata lain

masih “setengah hati”, sebagaimana terlihat dari berbagai ketentuan di bawah

ini.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan

bahwa semua warga negara, “laki-laki dan perempuan”, mempunyai

kedudukan yang sama dan kesempatan yang sama dalam bidang politik. Hal

ini dinyatakan dalam Pasal 27 dan 28: 2.

2. Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan

perjanjian hak politik perempuan. Pada Konvensi Internasional Hak Politik

Perempuan telah diratifikasi pada tahun 1952 dan Indonesia telah

meratifikasinya melalui UU No. 68 Tahun 1958. Pada prinsipnya, perempuan

dan laki-laki memiliki hak untuk memilih dan dipilih untuk jabatan terpilih

tanpa diskriminasi.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan Undang-undang tersebut mengharuskan negara-negara

peserta untuk memberlakukan peraturan untuk menghapuskan diskriminasi

politik terhadap perempuan. Hal ini dapat dilihat pada klausa 2, 3, 4, 7 dan

8.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Indonesia telah memberlakukan UU No. 39 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

yang mengatur tentang hak-hak perempuan. Pasal 46 dan 49 mengatur hak-

hak politik perempuan.

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada pasal 3: Negara mendukung

pada konvensi ini dan bersedia menjamin persamaan hak bagi laki-laki dan

perempuan atas semua hak sipil dan politik yang diatur pada konvensi ini

Berbagai peraturan perundang-undangan di atas memperlihatkan

adanya jaminan hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik, akan tetapi

secara kuantitatif maupun kualitatif masih terjadi diskriminasi. Oleh sebab itu

untuk mengejar terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik


dan kehidupan publik di Indonesia perlu dilakukan berbagai langkah, antara

lain dengan tindakan khusus sementara (disingkat TKS) sebagai tindakan

affirmatif atau affirmative action. Tindakan Khusus Sementara yang dianut

oleh Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan

perempuan terutama di lembaga legislatif terlihat dari pencantuman angka

kritis minimun 30%. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-

undangan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum tentang Penyelenggaan Pemilihan Umum. Dalam uraian ini diatur

mengenai besaran angka keterwakilan perempuan, antara lai di dalam:

- Pasal 10 ayat 7 Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU

Kabupaten/ Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit

30% (tiga puluh persen).

- Pasal 51 ayat 3 Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan

perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

- Pasal 92 ayat 11 Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan

Panwaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling

sedikit 30% (tiga puluh persen) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011


Tentang Partai Politik menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik.Tindakan khusus Sementara dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, terdapat dalam:

- Pasal 2 ayat 2 Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan

perempuan.

- Pasal 2 ayat 5: Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana

dimaksud pada ayat 2 disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga

puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

- Pasal 29 ayat 1a : Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai AD dan ART

dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan.
BAB IV
PENDANAAN PARTAI POLITIK YANG AFIRMATIF

Peran uang dalam politik memang sangatlah krusial dan signifikan.

Sekalipun uang saja memang tidak cukup, tetapi uang sangat berarti bagi

keberhasilan kampanye karena kampanye memiliki pengaruh pada hasil

pemilu dan kampanye tidak akan berjalan tanpa adanya uang (Jacobson

1980: 33). Maka pertanyaanya, berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh

calon anggota legislatif perempuan untuk kampanye di pemilu? Dari mana

uang calon anggota legislatif perempuan memperoleh uang untuk memenuhi

kampanyenya? Untuk aktivitas kampanye apa saja uang itu digunakan.

Afirmasi dana kampanye dapat dilakukan pada dua level: Regulasi

(undang-undang pemilu) dan internal partai politik. Pada level regulasi,

sepanjang memberi dorongan agar terwujudnya ketentuan afirmasi

perempuan tidak hanya berhenti tahapan pada persyaratan agar lolos

kepesertaan pemilu dimana setiap partai politik wajib menyertakan 30%

perempuan pada kepengurusan juga tahapan pencalonan. Dimana setiap

partai politik mempunyai kewajiban menyertakan minimal 30% calon

perempuan di setiap daerah pemilihan. Sedangkan dalam pelaksanaan

tahapan tidak ada pengaturan yang menjamin afirmasi ini.


Seharusnya ada pemberian in-kind public funding dengan cara

memberikan waktu kampanye bagi calon anggota legislatif perempuan setiap

partai politik di media cetak/elektronik, merupakan salah satu bentuk afirmasi

dalam tahapan kampanye. Media kampanye lainnya juga perlu diberlakukan

ketentuan afirmasi agar mampu memfasilitasi dan memberi ruang kampanye

bagi perempuanyang lebih luas. Sebagai contoh, alat peraga berupa baliho

yang difasilitasi oleh negara sebanyak 30% di setiap daerah pemilihan

diberlakukan untuk calon anggota legisalatif perempuan.

Sedangkan pada waktu di luar tahapan pemilu, dana negara untuk

partai politik (political party finance) yang diberikan rutin setiap tahunnya

dapat diatur atau dibuat kebijkan untuk kepentingan implementasi afirmasi.

Meskipun tidak berhubungan langsung dengan tahapan pemilu, kebijakan

afirmasi dari dana negara untuk partai politik ini dapat mendorong partai

politik untuk mengakomodir dan membantu kegiatan-kegiatan kampanye

perempuan guna memperoleh insentif dana negara. Berdasarkan studi IDEA

dana negara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dapat diatur

kedalam empat bentuk diantaranya sebagai berikut:


1. Disinsentif berupa pengurangan jumlah dana negara bagi partai yang

tidak memenuhi syarat kuota kandidat perempuan minimal yang diatur dalam

undang-undang pemilu;

2. Penarikan subsidi dana negara bagi partai yang tidak mengusung kandidat

perempuan dalam jumlah tertentu

3. Insentif berupa pendambahan dana negara bagi partai yang memenuhi

persyaratan jumlah kandidat perempuan yang harus diusung

4. Insentif berupa tambahan subsidi dana negara bagi partai yang berhasil

memenangkan sejumlah kandidat perempuan (Flaguera et.al 2014: 343).

Pada level internal partai politik, maksimalisasi peran partai politik

untuk melakukan penggalangan dana publik khusus untuk membantu

pendanaan kampanye perempuan. Mekanismi ini bisadilakukan secara

internal oleh partai politik melalui organisasi sayap perempuan ataupun

melalui inisiasi bersama antar calon anggota legislatif perempuan melalui

kaukus lintas partai dan kolaborasi dengan masyarakat sipil. Praktek ini sudah

umum dilakukan dibanyak negara. Berikut beberapa contoh inisiatif

penggalangan dana yang dilakukan khusus untuk mendukung aktivitas

kampanye calon perempuan:


1. Pemberlakuan pembatasan sumbangan maksimal dana kampanye dari

calon dan partai politik, serta pemberlakuan batasan maksimal pengeluaran

dana kampanye guna menekan tingginya biaya kampanye dan menghadirkan

arena persaingan kampanye yang setara

2. Kebijakan afirmasi dalam pemilu tidak hanya berhenti pada level

pencalonan minimal 30% perempuan dari daftar calon yang diajukan oleh

partai politik. Afirmasi perlu hadir pada arena kampanye melalui bantuan

dana negara untuk memfasilitasi kampanye perempuan melalui iklan di media

massa cetak/elektronik dan alat peraga minimal 30% bagi calon anggota

legislatif perempuan untuk setiap partai politik di setiap daerah pemilihan

yang difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

3. Penggalangan dana publik atau sumbangan perseorangan dari anggota dan

non-anggota mulai perlu dilakukan oleh sayap perempuan partai politik,

kaukus, dan organisasi yang memiliki fokus perhatian pada keterwakilan

perempuan dalam rangka membentuk kerja-kerja politik perempuan dan

mendukung pendanaan perempuan di pemilu berikutnya

4. Dana negara untuk partai politik yang berhasil meraih kursi legislatif dan

diperoleh secara rutin setiap tahunnya, minimal 30% dialokasikan untuk


kegiatan pemberdayaan politik perempuan guna mempersiapkan calon-calon

anggota legislatif perempuan di pemilu. Bagi partai politik yang tidak

mengalokasikan anggaran dana negara 30% untuk pemberdayaan politik

perempuan, diberlakukan disinsentif berupa pengurangan dana negara untuk

partai politik tersebut pada tahun berikutnya.


BAB V
UPAYA MEWUJUDKAN KESETARAAAN DAN KEADILAN
GENDER DI BIDANG POLITIK

Indonesia berkomitmen untuk menjalankan prinsip kesetaraan gender melalui

berbagai komitmen nasional dan internasional. Undang-undang Dasar 1945

menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta pengarusutamaan

gender telah diadopsi menjadi sebuah kebijakan untuk mengintegrasikan

perspektif gender ke dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran.

Tindakan afirmatif (affirmative action) juga sudah diperkenalkan pada UU

No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum untuk memastikan setidaknya 30

persen perempuan dicalonkan dalam daftar calon anggota legislatif untuk

memberikan ruang keterwakilan perempuan dalam politik. Adapun partai

politik sebagai bagian dari upaya legal dalam memperjuangkan aspirasi

politik, memiliki kewajiban yuridis dan moral untuk melaksanakan pendidikan

politik bagi warga. Memberdayakan kader perempuan di tengah minimnya

partisipasi politik perempuan adalah merupakan fungsi penting bagi partai

politik dalam melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik

melaksanakan fungsi pendidikan politik, yang bertujuan untuk membentuk

kepribadian politik, kesadaran politik dan partisipasi politik (Ruslan, 2000).


Muara dari pendidikan politik adalah tingginya partisipasi politik kader dalam

proses politik praktis.

Pendidikan politik oleh partai memainkan peranan strategis

dalam membentuk warga negara terutama kader partai guna memiliki

kepribadian politik, kesadaran politik dan mampu berpartisipasi secara aktif

dan responsif sebab kader merupakan bagian dari aktor politik praktis yang

terlibat dalam sirkulasi kekuasaan publik. Utamanya terhadap kader

perempuan, pendidikan politik oleh partai dapat menjadi batu loncatan untuk

meningkatkan partisipasi politik kader perempuan baik di tataran internal

partai maupun di pemerintahan.

Dalam konteks ini, partisipasi politik kader perempuan partai di

Indonesia masih relatif rendah. Salah satunya dapat dilihat dari kuantitas

perempuan yang terwakili di lembaga legislatif. Hasil penelitian Pusat Kajian

Politik Universitas Indonesia tahun 2014 mengungkapkan bahwa keterwakilan

perempuan dalam parlemen di Indonesia tidak pernah melebihi angka 20%.

Jauh dari harapan kuota 30% keterwakilan perempuan sebagai salah

satu langkah afirmasi politik untuk meningkatkan partisipasi perempuan dan

cara khusus untuk mencapai kesetaraan gender dalam berpolitik. Afirmasi


politik merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pertama

kali melalui Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR,

DPD dan DPRD. Sistem kuota adalah bentuk tindakan afirmasi yang harus

dipenuhi partai dalam mengajukan calon anggota legislatif dan kepengurusan

partai. Namun, kuota keterwakilan perempuan tidak akan efektif jika

pengetahuan, pemahaman dan keterampilan politik perempuan masih minim.

tetapi mampu mengambil peran dan mempengaruhi pengambilan kebijakan

politik.

BAB VI
MENDORONG STRATEGI AFIRMASI LEBIH MAKSIMAL
Perempuan sebagai penduduk Republik Indonesia yang jumlahnya

hampir sama dengan laki - laki harus terwakili kebutuhan dan kepentingannya

di dalam proses pembuatan kebijakan . Selain jumlahnya yang besar, angka

partisipasi perempuan dalam Pemilihan Umum juga tinggi. Walaupun dalam

kenyataannya, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI yang

terpilih masih sedikit.

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan terhadap kehidupan politik

dan publik perempuan adalah sebagai berikut :

1. Mendorong keterbukaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat

perempuan dalam kehidupan publik dan politik, terutama di dalam proses

pemilihan umum legislatif. Partai politik sebagai peserta Pemilu merupakan

media inkubator potensial dalam menghasilkan para pemimpin perempuan.

Partai politik juga berperan dalam mensosialisasikan pendidikan politik yang

berperspektif gender pada masyarakat. Partai politik perlu menggunakan

momentum persiapan Pemilu 2014 untuk memberikan pendidikan politik bagi

pemilih perempuan. Dalam melakukan pendidikan politik yang berperspektif

gender bagi masyarakat, partai politik dapat bekerjasama dengan organisasi-

organisasi perempuan di tingkat akar rumput. Hal ini akan memberikan

manfaat bagi keduanya dalam pemetaan permasalahan dan rekomendasi


yang sesuai bagi masyarakat serta penjaringan kandidat perempuan potensial.

Dalam rangka mempersiapkan dan menghadapi Pemilu 2014, partai politik

perlu mewajibkan bagi calegnya untuk memasukkan perspektif gender di

dalam tiap materi kegiatan kampanye mereka.

2. Perlu adanya regulasi yang mengatur tentang keterwakilan perempuan

tidak hanya dalam pemilihan pimpinan akan tetapi dalam penetapan anggota

per komisi dan alat kelengkapan yang ada. Perempuan anggota DPR RI

sebagai role model perlu bekerjasama dengan kekuatan organisasi masyarakat

sipil , terutama organisasi perempuan akar rumput , agar terbangun kekuatan

sinergis dalam memaksimalkan fungsi representasi . Kerjasama ini dapat

dilakukan ketika melakukan penyerapan aspirasi atau reses di masing - masing

daerah pemilihan atau konstituens

3. Perlu adanya penganggaran keuangan yang ramah terhadap kegiatan

politik perempuan, selain untuk kampanye dapat juga untuk kegitan

pengembangan kapasitas.

Upaya mencapai kesetaraan dan kesetaraan gender di bidang kebijakan

utama didukung oleh partisipasi dan keterwakilan perempuan di DPR.

Jaminan hukum kesetaraan gender dan kesetaraan politik bagi perempuan

sebagian besar telah diatur, namun partisipasi dan keterwakilan perempuan di


lembaga legislatif belum maksimal. Oleh karena itu, diperlukan berbagai

upaya untuk mencapai kesetaraan dan kesetaraan gender di bidang politik,

antara lain:

1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, Karena itu

diatur dalam undang-undang nomor 2Tahun 2008 (bersama dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011), partai politik akan melakukan pendidikan

politik serta rekrutmen politik dalam proses pengangkatan jabatan politik

melalui mekanisme demokrasi dengan penekanan pada kesetaraan,

kesetaraan gender dan keadilan.

2. Meningkatnya keterwakilan di posisi strategis dalam kekuasaan.

Penyelenggaraan pemilu 2019 memberikan jaminan hukum bagi perempuan

untuk mengikuti pemilu secara mandiri, termasuk melalui pengesahan Dewan

Perwakilan Daerah. Hasil pemilu 2019 menunjukkan peningkatan

keterwakilan menjadi 29%. Hal ini menunjukkan bahwa rasio kritis

mendekati minimal 30%. Namun, peran perempuan di DPD kurang optimal

karena fungsi DPD di DPR. Kendala yang dihadapi perempuan dalam

memperoleh suara antara lain masalah pendanaan dan peran partai politik

yang terus mendominasi dalam menciptakan peluang bagi legislator laki-laki.


Selain itu, setelah menjadi anggota legislatif, legislator perempuan tidak

menduduki jabatan penting dan tidak terwakili dalam proses pengambilan

keputusan di MPR, DPR, DPRD, DPD. Oleh karena itu, upaya penguatan

langkah-langkah khusus sementara dalam paket pemilu menjadi penting.

Sebagaimana dijelaskan di atas, undang-undang tentang penyelenggaraan

pemilu dan undang-undang tentang partai politik memberi perempuan akses

dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Namun, kita

sudah melihat implementasinya pada Pemilu 2019, jika ada perubahan yang

signifikan.

3. Berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi perempuan

dalam pengambilan keputusan di Hukum itu sangat penting. Pasal 69 UU No.

27 tahun 2009, menyatakan bahwa DPR memiliki tiga (tiga) fungsi, yaitu:

legislatif, penganggaran dan pengawasan yang dilakukan dalam kerangka

perwakilan rakyat. Karena partisipasi dan keterwakilan perempuan masih

rendah, masih banyak produk legislasi, penganggaran dan pengawasan yang

belum berperspektif gender. Partisipasi dan keterwakilan perempuan baik

secara kuantitas (minimal 30%) maupun kualitas yang baik tentunya akan

menciptakan parlemen yang menunjukkan kesetaraan dan kesetaraan gender


BAB VII
PENUTUP

1. Kesimpulan

Partisipasi dan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sangat

penting karena di parlemen perempuan berada pada posisi strategis untuk

berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait legislasi,

penganggaran dan pengawasan. Sehingga apapun kebijkan yang diambil

diharapkan strategis bagi kepentingan dan kesejahteraan perempuan itu

sendiri. Karena pada dasarnya kehidupan perempuan sangatlah unik dan

memiliki kompleksitas permasalahan, sehingga perlu kebijakan yang

mendorong agar perempuan mampu dan mengurai dan menyelesaikan

kompleksitas itu sendiri.

2. Saran

Sekarang ini, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum, peraturan dan regulasi Pemilu dan Partai Politik telah

tersedia. UU Pemilu diharapkan dapat mendukung langkah-langkah khusus

sementara yang ditetapkan dalam Pasal 53 dan 55, termasuk sistem hak pilih

universal, penentuan daerah pemilihan dan ambang batas parlemen untuk


mendorong partisipasi dan keterwakilan perempuan. UU Kepemiluan (baik

Pemilu dan Pemilihan) masih kurang menjamin kesetaraan dan keadilan

gender di bidang politik, karena tidak ada sanksi tegas terhadap partai yang

tidak patuh.

Pengawasan adalah proses akuntabilitas moral dan politik individu yang

dipilih oleh rakyat untuk mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan

politik. Dalam arti praktis, kekuasaan politik adalah proses perumusan

kebijakan publik yang dilaksanakan oleh sekelompok orang atas nama rakyat.

Prinsip pengawasan legislatif administratif adalah untuk menjamin

keberhasilan pemerintahan perwakilan yang akuntabel melalui sistem yang

melekat pada kedaulatan rakyat. Ada kesepakatan bahwa lembaga legislatif

bukanlah Badan Pemeriksa. Pengawasan legislatif sesuai dengan norma

profesional bahwa setiap orang yang memiliki otoritas, khususnya, harus

memenuhi atau bekerja dengan baik, melayani kepentingan publik, dan

melayani pemilih.

Anda mungkin juga menyukai