Anda di halaman 1dari 2

PEMENUHAN AFFIRMATIVE ACTION KUOTA 30% PEREMPUAN DI

LEGISLATIVE

oleh Nur Anjani (1203050122)

Kebijakan Affirmative action terhadap perempuan di legislative ada setelah amandemen


tahun 1945 yang mana mulai disahkannya UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPD DPRD.1 Dalam Pasal 28H(2) UUD “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”, artinya setiap orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak
dan kesempatan yang sama termasuk memiliki kedudukan di legislative. Penetapan kuota 30%
keterwakilan perempuan di DPR mulai ditetapkan dan diundangkan sejak 11 Maret 2003, sejak
peraturan ini diundangkan keterwakilan perempuan dinilai terus meningkat walaupun belum
mencapai angka 30%. Namun perlu disayangkan bahwa terjadinya peningkatan jumlah
perempuan di legislative tidak di iringi dengan kinerja yang optimal, yang mana mengakibatkan
perjuangan mengenai pemenuhan hak-hak asasi perempuan masih terkendala. Kualitas
keikutsertaan perempuan di legislative banyak yang masih dibawah standart. Minim pengalaman,
daya jelajah dapil, komunikasi dan training yang masih sangat terbatas merupakan salah satu
alasannya. Adapun alasan lain mengenai masih lemahnya kemampuan para anggota perempuan
di legislative yakni karena sebagian besar mereka berasal dari kalangan yang elit dan sama sekali
tidak memiliki interest untuk terjun di dunia politik.

Sehingga hadirnya perempuan di legislative dinilai belumlah dapat membawa perubahan


yang nyata dalam masyarakat. Bahkan, untuk memajukan pendidikan kinerja anggota perempuan
di legislative masih dinilai kurang memuaskan. Seperti halnya, masih tingginya kasus yang
menimpa perempuan yakni KDRT dan angka kematian ibu (AKI), perlindungan buruh migran
menunjukkan keterwakilan perempuan di parlemen tidak efektif dari segi substansi, sehingga
tidak optimal. Keterwakilan mereka tidak dapat mengubah citra dan efektivitas parlemen serta
tidak dapat mengedepankan aspek gender dalam proses pembuatan undang-undang. Hal itu salah
satunya dapat terlihat dalam amandemen UU Kewarganegaraan caleg perempuan didalam
Panitia khusus terdapat sembilan orang perempuan, namun hanya sebagian saja yang
memperhatikan isu gender, dan hanya satu yang sungguh-sungguh secara konsisten membawa
isu tersebut yakni Nursyahbani Katjasungkana.

Perlu kita ketahui bersama antara kualitas dan kuantitas, kedua-duanya memiliki nilai
yang penting, namun dalam konteks ini yang perlu diutamakan terlebih dahulu adalah kualitas
karena dengan adanya kualitas yang baik daripada anggota parlemen perempuan akan membawa
dampak signifikan yang baik pula bagi kesejahteraan perempuan. Sehingga akan lebih baik,
kiranya jika pemerintah menurunkan angka 30% perempuan di legislative.

1
Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel RUU Pemilu
Peluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai
Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Secara sosiologis, Konflik patriarki yang kental menjadi salah satu faktor yang
menghambat keterwakilan perempuan di ranah politik, khususnya di kursi parlemen. Pandangan
budaya Indonesia masih bias laki-laki, hanya saja politisi perempuan dipandang sebagai
sampingan dari politik karena dalam budaya Indonesia, perempuan dianggap sukses jika
mengurus kebutuhan keluarganya. Dalam menghilangkan budaya patriarki yang sudah melekat
dan bahkan mendarah daging dikalangan masyarakat Indonesia tentu bukanlah suatu hal yang
mudah, patriarki tidak dapat hilang dengan adanya satu regulasi yang langsung mengharuskan
patriarki itu hilang. Namun, diperlukan tahapan-tahapan dalam mereduksi pandangan masyarakat
tersebut. Salah satu langkah konkrit yang penting dilakukan adalah dengan menurunkan angka
30% keterwakilan perempuan di DPR, karena dengan penurunan angka tersebut akan berdampak
pada kualitas parpol dalam perekrutan perempuan untuk ikut serta dan terjun di dunia politik.
Sehingga pada nantinya focus partai politik dalam menggaet perempuan bukan lagi pada
pemenuhan kuota 30% (kuantitas), namun fokus parta politik sudah beralih ke kualitas dari
perempuan itu sendiri, yang mana nantinya hal itu akan memberikan dampak yang signifikan
dalam kinerja perempuan di parlemen sehingga kesejahteraan bagi perempuan dapat tercapai.

Selain daripada itu, dalam mereduksi budaya patriarki keterwakilan perempuan juga
harus dapat menularkan semangat dan menunjukkan kepada masyarakat bahwasanya suara
perempuan di parlemen itu begitu penting. Hal tersebut dapat dilakukan dengan framing yang
membuka jalan dan merubah pola pikir masyarakat pada keterwakilan perempuan di parlemen.

Hal ini juga selaras dengan teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto, menurutnya
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh (lima) faktor, yaitu:2 hukum itu sendiri
(aturan), faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat atau menerapkan hukum.
hukum, sarana atau fasilitas yang menunjang hukum, unsur masyarakat yaitu lingkungan di mana
hukum itu diterapkan atau ditegakkan. Maka, dengan apa yang tadi telah penulis sampaikan
diatas bahwasanya akan jauh lebih efektiv apabila pemerintah memperhatikan kualitas daripada
kuantitas pada keterwakilan perempuan di parlemen.

Sehingga untuk dapat merealisasikan hal tersebut maka dari itu solusi yang penulis
tawarkan adalah, pertama peningkatan kualitas caleg perempuan oleh parpol dengan melakukan
pendidikan politik. Sehingga perempuan dapat dengan optimal menjalankan tugasnya, yang
mana pada nantinya akan terbentuk suatu framing yang dapat mengubah pola pikir/pandang
masyarakat terhadap keterwakilan perempuan. Kedua penuruanan angka 30%, sebagi bentuk
penyelarasan secara bertahap antara kualitas dan kuantitas. Dimana penyelarasan ini akan
berdampak baik bagi kinerja perempuan di parlemen.

2
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), hlm. 8.

Anda mungkin juga menyukai