LEGISLATIVE
Perlu kita ketahui bersama antara kualitas dan kuantitas, kedua-duanya memiliki nilai
yang penting, namun dalam konteks ini yang perlu diutamakan terlebih dahulu adalah kualitas
karena dengan adanya kualitas yang baik daripada anggota parlemen perempuan akan membawa
dampak signifikan yang baik pula bagi kesejahteraan perempuan. Sehingga akan lebih baik,
kiranya jika pemerintah menurunkan angka 30% perempuan di legislative.
1
Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel RUU Pemilu
Peluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai
Demokrat di Hotel Crown, Jakarta, 2010, hlm. 1.
Secara sosiologis, Konflik patriarki yang kental menjadi salah satu faktor yang
menghambat keterwakilan perempuan di ranah politik, khususnya di kursi parlemen. Pandangan
budaya Indonesia masih bias laki-laki, hanya saja politisi perempuan dipandang sebagai
sampingan dari politik karena dalam budaya Indonesia, perempuan dianggap sukses jika
mengurus kebutuhan keluarganya. Dalam menghilangkan budaya patriarki yang sudah melekat
dan bahkan mendarah daging dikalangan masyarakat Indonesia tentu bukanlah suatu hal yang
mudah, patriarki tidak dapat hilang dengan adanya satu regulasi yang langsung mengharuskan
patriarki itu hilang. Namun, diperlukan tahapan-tahapan dalam mereduksi pandangan masyarakat
tersebut. Salah satu langkah konkrit yang penting dilakukan adalah dengan menurunkan angka
30% keterwakilan perempuan di DPR, karena dengan penurunan angka tersebut akan berdampak
pada kualitas parpol dalam perekrutan perempuan untuk ikut serta dan terjun di dunia politik.
Sehingga pada nantinya focus partai politik dalam menggaet perempuan bukan lagi pada
pemenuhan kuota 30% (kuantitas), namun fokus parta politik sudah beralih ke kualitas dari
perempuan itu sendiri, yang mana nantinya hal itu akan memberikan dampak yang signifikan
dalam kinerja perempuan di parlemen sehingga kesejahteraan bagi perempuan dapat tercapai.
Selain daripada itu, dalam mereduksi budaya patriarki keterwakilan perempuan juga
harus dapat menularkan semangat dan menunjukkan kepada masyarakat bahwasanya suara
perempuan di parlemen itu begitu penting. Hal tersebut dapat dilakukan dengan framing yang
membuka jalan dan merubah pola pikir masyarakat pada keterwakilan perempuan di parlemen.
Hal ini juga selaras dengan teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto, menurutnya
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh (lima) faktor, yaitu:2 hukum itu sendiri
(aturan), faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membuat atau menerapkan hukum.
hukum, sarana atau fasilitas yang menunjang hukum, unsur masyarakat yaitu lingkungan di mana
hukum itu diterapkan atau ditegakkan. Maka, dengan apa yang tadi telah penulis sampaikan
diatas bahwasanya akan jauh lebih efektiv apabila pemerintah memperhatikan kualitas daripada
kuantitas pada keterwakilan perempuan di parlemen.
Sehingga untuk dapat merealisasikan hal tersebut maka dari itu solusi yang penulis
tawarkan adalah, pertama peningkatan kualitas caleg perempuan oleh parpol dengan melakukan
pendidikan politik. Sehingga perempuan dapat dengan optimal menjalankan tugasnya, yang
mana pada nantinya akan terbentuk suatu framing yang dapat mengubah pola pikir/pandang
masyarakat terhadap keterwakilan perempuan. Kedua penuruanan angka 30%, sebagi bentuk
penyelarasan secara bertahap antara kualitas dan kuantitas. Dimana penyelarasan ini akan
berdampak baik bagi kinerja perempuan di parlemen.
2
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), hlm. 8.