Anda di halaman 1dari 3

“Pemberlakuan Ambang Batas 30% Bakal Calon Perempuan untuk Menjamin

Keterwakilan Perempuan di Legislatif”

Ubi jus ibi remedium


Dimana ada hak, disana ada kemungkinan menuntut memperolehnya atau memperbaikinya
apabila hak tersebut dilanggar.
Assalamualaikum wr wb, shalom om suasiastu namo budaya salam kebajikan untuk kita
semua. Saya selaku pembicara ke 2 dari tim pro akan membangun kerangka berfikir kami
yang berlandaskan pendalaman yuridis dan empiris.
TEORITIS
Dewan juri yang terhormat pertama-tama izinkanlah saya untuk memberikan
penalaran urgensitas pemberian ambang batas kuota 30% pada calon legislative
perempuan.
Berdasarkan Teori representative legislative yang dikemukakan Edmund Burke
dalam bukunya "Reflections on the Revolution " mengemukakan bahwa sistem politik harus
mampu merefleksikan kepentingan, dan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Artinya, perwakilan
harus mampu mewakili kepentingan semua kelompok termasuk kelompok perempuan.
Sedangkan dewan juri yang terhormat kenyataannya di legislative di Indonesia
belum merefleksikan dan belum mengakomodasi adanya hak-hak perempuan di Indonesia.
Faktanya hanya ada 20,3% perempuan dan hampir 80% masih dikuasai oleh laki-
laki. Hal ini berbanding terbalik dengan data BPS pada tahun 2019 yang menunjukan bahwa
perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan Wanita adalah 52 persen berbanding 48%
berdasarkan persentase tersebut maka angka ambang batas 30% merupakan standar yang
paling minimal afar tercapainya keseimbangan yang bersifat representative di parlemen.
Adanya ketidakseimbangan gender pada anggota legislative berimplikasi pada
pengambilan kebijakan yang kurang mempertimbangkan kepentingan perempuan, dan
masih banyaknya isu-isu gender yang masih membayang-bayangi kelompok perempuan,
contohnya

- Kesetaraan gender di tempat kerja: Masih banyak perusahaan di Indonesia yang


tidak memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk berkembang dan
memperoleh posisi yang sama dengan laki-laki.
- Pendidikan: Masih banyak perempuan di Indonesia yang tidak memperoleh akses
yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan.
- Hak reproduksi dan kesehatan reproduksi: masih banyak perempuan yang tidak
memperoleh akses yang sama dengan laki-laki dalam hal pelayanan kesehatan
reproduksi-
dan satu pertanyaan dasar yang menjadi urgensitas dewan juri, kenapa peraturan
saat ini belum bisa mengakomodasi permasalahan-permasalahan perempuan?
jelas ini karena kurangnya pertisipasi perempuan yang masih dibawah 30% di
legislative, sehingga peraturan yang dimuatpun kurang merefleksikan adanya kesetaraan
gender. maka berdasarkan teori refresentative legislative sudah saatnya indoensia
memberikan penjaminan 30% ambang batas agar menjadi standar bagi wanita dalam
meningkatkan partisipasinya di parlemen. Adanya ambang batas ini juga telah dijustifikasi
oleh pendapat Prof. Jimly yang menyatakan bahwa kuota 30% perempuan di parlemen
adalah hal yang penting untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan
memastikan partisipasi politik yang merata. Menurutnya, pemberian kuota ini juga dapat
meningkatkan kualitas legislasi karena perempuan dapat memberikan pandangan dan solusi
yang berbeda dalam masalah sosial dan politik.
YURIDIS
Dewan juri yang terhormat Pemberlakuan Ambang Batas 30% Bakal Calon
Perempuan merupakan cita-cita hukum yang telah diamanahkan oleh sistem yuridis di
Indonesia untuk menjamin keterwakilan perempuan di legislative
Berdasarkan perpektif UUD 1945 penegakan kesetaraan gender dalam berpolitik
merupakan suatu hak asasi manusia yang harus diteggakan.
Karena sejatinya dalam Undang-Undang Dasar Pasal 28I Ayat (2) dan (3) setiap
orang wajib memajukan hak asasi manusia dan setiap orang memiliki hak untuk mendapat
perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintah serta wajib menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
Memajukan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam
suara politik merupakan suatu Amanah UUD untuk memberikan jaminan terhadap adanya
perlindungan kesetaraan gender dalam legislative, hal ini dilakukan agar legislative menjadi
representasi penjungjungan hak asasi manusia dengan memberikan ruang bagi adanya
kesetaraan gender. Sebab dewan juri yang terhormat, status quo dari legislative saat ini
jelas tidak menunjukan adanya penjaminan hak asasi manusia terkait dengan penjaminan
keterwakilan perempuan, faktanya saat ini 79,7% anggota legislative adalah laki-laki dan
hanya ada 20,3% saja perempuan yang duduk di kursi legislative. Fakta tersebut
memberikan dampak yang signifikan terhadap kebijakan public yang kurang memperhatikan
kepentingan perempuan, kurangnya pebahasan pada isu-isu gender. Sehingga dewan juri
yang terhormat untuk menjungjung tinggi hak-hak perempuan dalam berpolitik diperlukan
adanya penegakan hak-hak asasi dalam kesetaraan gender yang telah jelas-jelas tertuang
dalam Pasal 28I
Maka dari itu hadirnya ambang batas 30% merupakan refleksi dari pewujudan
semangat kesetaraan gender yang telah tertuang dalam UUD 1945
Selanjutnya dewan juri yang terhormat, Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yaitu pada konvensi
(CEDAW): Pasal 7 CEDAW menyatakan bahwa negara-negara peserta harus mengambil
tindakan yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam
kehidupan politik dan publik.
Pasal ini menegaskan hak perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembuatan keputusan di tingkat nasional, regional, dan internasional, termasuk hak untuk
memilih dan dipilih dalam pemilihan umum dan dalam organisasi masyarakat.
Pasal 7 CEDAW juga menuntut negara-negara peserta untuk memberikan hak yang
sama bagi perempuan dan laki-laki untuk mengorganisir dan bergabung dalam partai politik
dan organisasi masyarakat, serta mendukung kampanye dan program yang bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi politik perempuan.
Pasal ini menunjukkan komitmen global untuk memastikan bahwa perempuan
memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan politik dan publik
dan bahwa diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan.
Komitmen pada Pasal 7 CEDAW ini haruslah menjadi dasar dari adanya peraturan
pemilu di Indonesia yang sepatutnya mempertimbangkan partisipasi politik perempuan yang
seimbang di legislative.
Lantas dengan cara apa agar partisipasi perempuan dapat tercapai?
Tentunya dengan mengimplemtasikan Pasal 7 konvensi CEDAW dengan
memberikan perbaikan struktur hukum pada UU pemilu di Indonesia dengan cara
penjaminan partisipasi perempuan dengan kuota 30% di legislative.

EMPIRIS
ADAPUN BERDASARKAN STUDI EMPIRIS DALAM Women in Politics: Gender,
Power and Development" oleh Mariz Tadros DAN Women in National Parliaments" oleh
Inter-Parliamentary Union (2021)
JIKA AMBANG BATAS 30% TERSEBUT DIIMPLEMNTASIKAN MAKA AKAN
TERJADI PERUBAHAN POSITIF PADA SUATU NEGARA, YAITU:
Peningkatan kualitas kebijakan: Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan
perempuan di dalam lembaga legislatif dapat meningkatkan kualitas kebijakan.
Peningkatan representasi: Dengan adanya perempuan yang lebih banyak duduk di
kursi legislatif, maka keterwakilan perempuan dalam pembuatan kebijakan akan lebih
terjamin dan merata. Hal ini juga dapat memperkuat hak-hak perempuan dan meningkatkan
kesetaraan gender.
PEMBERIAN AMBANG BATAS 30% DAPAT menjadi contoh dan motivasi bagi
perempuan lainnya untuk terlibat dalam politik dan berpartisipasi aktif dalam pembuatan
kebijakan publik.
Sehingga dewan juri berdasarkan rangkaian argumentasi tersebut kami berdiri teguh
untuk menyetujui mosi dengan memberikan mekanisme solusi dengan mengembalikan
pasal 65 ayat (2) pada uu pemilu yang lebih lanjut akan dielaborasi oleh pembicara ke-3
kami
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai