Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Budaya Patriarki Dan Keterwakilan Perempuan


Dalam Politik
Di susun dalam rangka memenuhi tugas individu pada mata kuliah Dasar-Dasar Komputer

Disusun oleh :
Iwan Karnawan Laode
"Nim : 2021031044027"
Kelas : Reguler 1

Dosen Pembimbing :
Dr. Renida J. Toroby, s.Sos.,M.Si

ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS IMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS CENDRAWASIH
2021
Abstrak

Sistem demokrasi menganut prinsip kebebasan, siapa saja bisa menjadi


pemimpin dan berada di lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif. Selagi
memiliki suara rakyat, tanpa melihat laki-laki atau perempuan, maka bisa
menjadi pemimpin dan duduk di parlemen.

Banyak perempuan yang enggan maju dalam kontestasi politik di Indonesia.


Ketika jumlahnya dalam legislatif sedikit, maka keterwakilan dan pemikiran dari
perspektif perempuan justru akan hilang. Ketika laki-laki mendominasi di dalam
legislatif, maka kemungkinan besar akan timbul sebuah sistem sosial yang
disebut patriarki.

Kata-kata Kunci

Perempuan, Patriarki , Politik, legislatif, parlemen.

PENDAHULUAN
Sistem patriarki dalam dunia politik bisa saja terbentuk. Pasalnya, dalam sistem
demokrasi rakyat lah yang menjadi penentu. Oleh sebab itu, perlu mengutamakan
demokrasi dalam setiap mengambil keputusan.

1.1 ARGUMENTASI

Menurut saya sangat perlu adanya peranan perempuan di Indonesia sebagai salah satu
negara demokrasi. Bahwasanya Indonesia dalam menjalankan sistem pemerintahannya
sebagai negara demokrasi maka harus melibatkan dan menyerap aspirasi dari seluruh aspek
masyarakat. Sebab pada dasarnya, aspirasi yang disampaikan merupakan sebuah kebutuhan
yang diharapkan rakyat kepada pemerintah, demi kebaikan serta kemajuan bersama.
Namun di Indonesia tidak terlepas dari budaya patriarki dan hanya kalangan pihak Laki-
laki yang lebih mendominasi dalam peranan menjalankan pemerintahan atau menjalankan
kekuasaan politik.
Sistem demokrasi menganut prinsip kebebasan, siapa saja bisa menjadi pemimpin
dan berada di lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif. Selagi memiliki suara
rakyat, tanpa melihat laki-laki atau perempuan, maka bisa menjadi pemimpin dan
duduk di parlemen.

Namun, terkadang perempuan enggan maju dalam kontestasi politik di Indonesia.


Ketika jumlahnya dalam legislatif sedikit, maka keterwakilan dan pemikiran dari
perspektif perempuan justru akan hilang. Ketika laki-laki mendominasi di dalam
legislatif, maka kemungkinan besar akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut
patriarki.

Di dalam buku Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017). "Menyoroti
Budaya Patriarki di Indonesia", disebutkan bahwa Patriarki berasal dari kata
patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa
tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Sementara dalam buku Bressler, Charles E, "Literary Criticism: An Introduction


to Theory and Practice 4th-ed" juga disebutkan bahwasannya patriarki adalah
sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan
utama dan mendominas dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak
sosial dan penguasaan properti.
Sistem patriarki dalam dunia politik bisa saja terbentuk. Pasalnya, dalam sistem
demokrasi rakyat lah yang menjadi penentu. Oleh sebab itu, perlu mengutamakan
demokrasi dalam setiap mengambil keputusan.
Dalam menjalakan sistem pemerintahan di suatu negara demokrasi, maka harus
mewakilkan keterlibatan perempuan dan menyerap aspirasi dari seluruh aspek
masyarakat. Sebab pada dasarnya, aspirasi yang disampaikan merupakan sebuah
kebutuhan yang diharapkan rakyat kepada pemerintah, demi kebaikan serta
kemajuan bersama.

Pemerintah sebagai pengambil keputusan negara harus memperhatikan berbagai


aspek masyarakat dan tidak boleh memihak. Di dalam sistem demokrasi
Indonesia, suara rakyat diwakilkan oleh anggota legislatif atau anggota DPR.
Jika di dalam anggota legislatif keterlibatan perempuan masih kurang, maka
bagaimana bisa suara dari kaum wanita bisa terwakilkan. Jika terjadi hal itu. maka
sistem patriarki akan terbentuk.
Budaya patriarki ini harus dihilangkan dalam kehidupan masyarakat, terutama
dalam dunia politik. Sebab pada dasarnya, semua orang berhak untuk
mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik, tanpa adanya
legitimasi bahwasannya yang berhak untuk hal tersebut hanyalah laki-laki.
Sistem demokrasi menganut prinsip kebebasan, siapa saja bisa menjadi pemimpin
dan berada di lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif. Selagi memiliki suara
rakyat, tanpa melihat laki-laki atau perempuan, maka bisa menjadi pemimpin dan
duduk di parlemen.

Namun, terkadang perempuan enggan maju dalam kontestasi politik di Indonesia.


Ketika jumlahnya dalam legislatif sedikit, maka keterwakilan dan pemikiran dari
perspektif perempuan justru akan hilang. Ketika laki-laki mendominasi di dalam
legislatif, maka kemungkinan besar akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut
patriarki.
properti. Sistem patriarki dalam dunia politik bisa saja terbentuk. Pasalnya, dalam
sistem demokrasi rakyat lah yang menjadi penentu. Oleh sebab itu, perlu
mengutamakan demokrasi dalam setiap mengambil keputusan.
Dalam menjalakan sistem pemerintahan di suatu negara demokrasi, maka harus
mewakilkan keterlibatan perempuan dan menyerap aspirasi dari seluruh aspek
masyarakat. Sebab pada dasarnya, aspirasi yang disampaikan merupakan sebuah
kebutuhan yang diharapkan rakyat kepada pemerintah, demi kebaikan serta
kemajuan bersama.
Pemerintah sebagai pengambil keputusan negara harus memperhatikan berbagai
aspek masyarakat dan tidak boleh memihak. Di dalam sistem demokrasi
Indonesia, suara rakyat diwakilkan oleh anggota legislatif atau anggota DPR.

Jika di dalam anggota legislatif keterlibatan perempuan masih kurang, maka


bagaimana bisa suara dari kaum wanita bisa terwakilkan. Jika terjadi hal itu. maka
sistem patriarki akan terbentuk.
Budaya patriarki ini harus dihilangkan dalam kehidupan masyarakat, terutama
dalam dunia politik. Sebab pada dasarnya, semua orang berhak untuk
mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik, tanpa adanya
legitimasi bahwasannya yang berhak untuk hal tersebut hanyalah laki-laki.
Keterlibatan perempuan dalam bidang politik harus diperjuangkan, agar nantinya
mampu mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki dalam bidang politik.
Tujuannya agar nantinya terbentuk keseteraan gender dalam demokrasi.
Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi
Konvensi Hak Politik Perempuan. Tepatnya dalam UU No. 68 Tahun 1958. UU
tersebut mengatur terkait perwujudan kesamaan kedudukan atau non diskriminasi
jaminan, persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam
perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan
jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.
Landasan yang kuat juga ada dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 H Ayat (2) yang
menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”.
Ketentuan dalam UU maupun dalam UUD tersebut menjadi sebuah landasan yang
kuat bagi semua kalangan dan golongan, baik laki-laki maupun perempuan, bebas
dari segala diskriminasi, serta memiliki kesempatan yang sama baik dari segi
aspek sosial, kehidupan, maupun politik.
Jika dilihat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD menyatakan: Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah
Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30%”.

Juga di dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, mengatur


agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan
minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa: Komposisi
keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)”.
Namun pada faktanya, jika dilihat data di Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan
hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional
atau DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan
dari 575 anggota DPR RI. Artinya amanat dari UU tersebut belum juga terpenuhi.
Keterwakilan perempuan di DPR harus diiringi dengan sebuah pengawalan dan
perjuangan, berporos pada gender yang bisa berkelanjutan sama proses politik.
Kurangnya kepercayaan dalam diri perempuan untuk bisa maju dan berpartisipasi
dalam dunia politik, karena masih dipengaruhi oleh norma budaya dan masih
melekatnya sistem budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat.

Meskipun negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga
negaranya melalui amanat Undang-Undang, tetapi kaum perempuan merasa
adanya sebuah diskriminasi secara tidak langsung yang mempengaruhinya.
Mereka juga masih kurang dipercayai untuk bisa ikut ambil dalam kontestasi
politik, sehingga menyebabkan keterlibatan perempuan masih rendah.

Kaum perempuan diharapkan bisa dipercaya dan diberi kesempatan untuk bisa
duduk di legislatif, sehingga nantinya bisa tercipta sebuah sistem yang seimbang.
Perempuan yang memiliki sifat lemah lembut harus diberi kesempatan yang sama
dalam politik dan diberi kesempatan untuk menjabat serta menduduki posisi
strategis di dalam bidang politik.
Hal itu agar nantinya bisa mengeksplorasi dan mengimplementasikan kemampuan
maupun karakter dari perempuan itu sendiri. Dengan begitu, nantinya melalui
kepemimpinan, perempuan bisa mensejahterahkan masyarakat melalui caranya.
DAFTAR PUSTAKA

Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017).


Bressler, Charles E, "Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed"

Anda mungkin juga menyukai