Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak runtuhnya masa Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia sudah tiga kali
melaksanakanpemilu demokratis, yakni Pemilu Tahun 1999, 2004, dan 2009.
Meskipun masih terjadi kecurangan di beberapa tempat mengenai persoalan
administrasi, intimidasi dan mobilisasi,serta politik uang, tetapi secara umum pemilu
Indonesia bisa dikatakan lancar.1
Terkait dengan hal tersebut, sejak tahun 2004, Indonesia telah menerapkan
affirmative action dalam sistem pemilunya, yakni dengan diterapkannya kuota
mengenai pencalonan perempuan sebesar (minimal 30%). Begitu pula pada Pemilu
2009, yang bahkan dibuat peraturan yanglebih rinci mengenai representasi perempuan
di ranah legislatif. Sedangkan saat terakhir kali pileg diadakan pada 2014 lalu, aturan
mengenai kuota perempuan sebesar (minimal 30%) tetap ada, dan diperkuat UU No.
68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-hak Politik Perempuan. Dengan
adanya aturan-aturan lain (PKPU) mengenai tata cara kampanye, penggunaan dana
kampanye, serta aturan pencalonan.
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah penentuan kuota 30% bagi calon anggota legislatif perempuan
merupakan sebuah bentuk diskriminasi?
2. Bagaimanakah desain pemilu yang tepat agar dapat meningkatkan
partisipasi perempuan dalam lembaga perwakilan?
1
Soetjipto, Ani Widyani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta : Penerbit Buku
Kompas. Hlm. 15
BAB II
PEMBAHASAN
Ketentuan kuota 30% dimulai sejak Pemilu 2004. Hasilnya, jumlah anggota
DPR perempuan bertambah dari 44 orang pada 1999 menjadi 61 orang atau
mengalami peningkatan dari 8,5% pada 1999 menjadi 11,6% pada 2004. Jumlah yang
masih jauh dari ideal, yaitu 30% perempuan di DPR atau sebanyak 168 perempuan
duduk di parlemen.
2
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/944-suatu-
kajian-atas-keterwakilan-perempuan-di-dprd-propinsi-sumatera-barat-article.html diakses November
2014)
3
Pusham UII, Hukum Hak Asasi Manusia, hlm. 39
Pemerintah pun telah mengeluarkan UU No. 8 Tahun 2012. Sama seperti
produk hukum sebelumnya, dalam UU ini, pemerintah juga mengatur mengenai
representasi perempuan sebesar (minimal 30%). Untuk mendukung UU ini, KPU juga
telah membuat peraturan (PKPU).
KESIMPULAN
Selain kuota, dalam UU ini juga diatur mengenai ketentuan nomor urut
dimana dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon, harus ada 1 (satu) nama perempuan.
Hasilnya, secara berturut-turut, dalam Pileg 2004 dan 2009, caleg perempuan terpilih
adalah sebanyak 65 orang (11% dari total anggota DPR), dan 103 orang (18% dari
total anggota DPR). Indonesia pun telah mengatur representasi perempuan melalui
UU Pemilu No. 8 Tahun 2012. Isi dari UU ini, hampir sama dengan UU Pemilu
sebelumnya. Selain itu, untuk mendukung penerapan UU, serta dalam rangka
meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, KPU membuat peraturan tertulis,
yakni PKPU No. 7 tahun 2013 (untuk aturan pencalonan), PKPU No. 15 tahun 2013
(pedoman kampanye), dan PKPU No. 17 tahun 2013.
Pusham UII, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Jogjakarta: 2010
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/944-
suatu-kajian-atas-keterwakilan-perempuan-di-dprd-propinsi-sumatera-barat-
article.html