Anda di halaman 1dari 3

NAMA : ANDI NURKHAFIFAH

ASAL CABANG : Cabang Makassar Timur

Tema : Gender Dalam Ranah Politik

Apa Kabar Kuota 30% ?

Kesadaran perempuan dan masyarakat hari ini mengenai politik masih sangat
rendah. Hal ini terbukti dengan keterwakilan perempuan dalam ranah politik.
Kesadaran politik perempuan telah tumbuh sejak Kongres Perempuan Pertama 1928
di Yogyakarta. Lalu, pada 1955, tercermin dengan jelas mengenai hak untuk memilih
dan dipilih tidak hanya untuk laki-laki, melainkan juga perempuan. Berbagai aturan
dan kebijakan seperti UU RI no. 39 tahun 1999 juga menjadi bukti nyata kesempatan
perempuan untuk terjun dalam ranah politik. Namun, pada kenyataannya, politik dan
perempuan masih dua hal yang sulit dipersatukan.

Dewasa ini, peluang partisipasi perempuan dalam dunia politik semakin


diperluas dengan UU no 12 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa perempuan
memiliki kuota 30 % di lembaga legislatif. Kuota tersebut memperlihatkan kepada
kita betapa pentingnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik khususnya
lembaga keterwakilan legislatif. Perempuan dalam hal gender, tidak hanya berbicara
mengenai kesetaraan gender di beberapa bidang, tetapi juga berbicara mengenai
kesetaraan untuk mengakses politik seluas-luasnya.

Permasalah kesenjangan gender sangat terjelaskan melalui kurangnya dan


rendahnya perempuan yang mengisi struktur lambaga perwakilan di Indonesia.
Proporsi laki-laki masih sangat lebih besar daripada perempuan di lembaga legislatif.
Padahal sudah banyak aturan yang menegaskan mengenai partisipasi perempuan
dalam ranah politik, khususnya kuota 30%. Aturan mengenai kuota 30% ini diperjelas
lagi dengan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Namun, hingga pemilu 2014 terakhir
kali, ternyata pemenuhan kuota 30% masih hanya mimpi. Nyatanya, angka
keterwakilan masih jauh dibawah 30%. Tentunya, hal ini adalah ketimpangan nyata
mengenai gender itu sendiri.

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang masih dengan statusnya
sebagai negara berkembang. Beberapa negara berkembang sangat erat dengan budaya
patriarki, termasuk Indonesia. Budaya patriarki berbicara mengenai dominasi laki laki
diberbagai lini kehidupan, termasuk lini politik. Budaya yang masih terjadi hingga
saat ini membuat perempuan seringkali digambarkan pada posisi yang lebih rendah
daripada laki-laki. Budaya inilah yang membuat hal-hal seperti akses dan partisipasi
perempuan terhadap politik masih sangat rendah. Stigma seperti perempuan tidak
akan bisa bersaing dengan laki-laki di lembaga keterwakilan menjadi senjata tajam
yang mengancam eksistensi perempuan di ranah politik. Belum lagi stigma mengenai
perempuan mengandalkan perasaan dalam pengambilan keputusan menjadi alasan
kuat kuota 30% hingga pemilu terakhir belum terpenuhi.Ditambah lagi stigma bahwa
perempuan hanya ideal pada konsep domestik,tidak pantas mengambil peran dalam
ranah publik,apalagi sebagai aktor politik. Padahal,perempuan memiliki peran
penting untuk pembangunan, sama halnya seperti laki-laki.

Ketimpangan gender dalam ranah politik dewasa ini tergambar dengan jelas
pada kuota 30% yang tidak pernah tercapai. Padahal, kuota ini seharusnya minimal
terpenuhi untuk melihat dengan jelas partisipasi perempuan dalam ranah politik. Perlu
pemahaman yang kuat terhadap masyarakat bahwasanya perempuan tidak memiliki
perbedaan dengan laki-laki dalam ranah politik. Sudah banyak bukti keterlibatan aktif
perempuan dalam berpolitik. Misalnya saja, dari kaum muda kita mengenal Tsamara
Amany, yang terus menunjukkan eksistensi dirinya sebagai perempuan dan sebagai
bukti nyata partisipasi perempuan dalam ranah politik

Persoalan ini menjadi persoalan kita bersama. Hal ini menjadi tantangan
kepada kita semua,khususnya perempuan untuk menegakkan hak kita dalam ranah
politik. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama agar setidaknya kuota 30% di
lembaga keterwakilan dapat terpenuhi. Maka dari itu, perlu banyak usaha untuk
memahamkan kepada masyarakat mengenai stigma stigma yang terbangun

Berbagai persepsi mengenai perempuan tidak pantas untuk menjadi aktor


politik harus segera dibasmi. Persepsi dan stigma yang seperti itulah yang akan
menghancurkan peran perempuan dalam ranah politik. Padahal sudah jelas bahwa
perempuan dan laki-laki tidak memilki perbedaan dalam akses politik. Perempuan
dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk berperan penting dalam pembangunan
negara melalui politik.

Anda mungkin juga menyukai