Anda di halaman 1dari 4

 Reformasi politik

membangun masyarakat sipil berarti memperjuangkan ruang public yg didalamnya mencakup


seluruh warga negara baik laki2 maupun perempuan tanpa adanya pengecualian. Dalam sistem
politik kita selama ini, kebijakan berlaku menempatkan perempuan hanya sebagai second
person. Rendahnya partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik mengakibatkan
berbagai kepentingan perempuan kurang terakomodasi dalam sejumlah keputusan politik,
karena sejumlah keputusan politik yang dibuat cendrung berwatak maskulin dan kurang
bersfektif gender, sementara sebagian besar keputusan politik yang dibuat selalu melibatkan
perempuan sebagai sasarannya.

Pengaturan tentang kuota 30% keterwakilan perempuan yang bertujuan untuk


meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif telah diatur dalam
beberapa undang-undang yang terkait dengan pemilu, bahkan bila dibandingkan dengan
beberapa pemilu sebelumnya. Meskipun demikian, jumlah perempuan yang pada akhirnya
menjadi Anggota DPR RI periode 2014-2019 justru menurun dari 101 orang atau 17,86%
menjadi hanya 79 orang atau 14% dari total 560 anggota terpilih.

Hal ini terlihat bahwa Perempuan dan laki-laki mempunyai tempatnya masing-masing
di dalam kehidupan kemasyarakatan. Dan antara laki2 dan pr tersebut dapat menempati
tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang hak-sama, karena fikiran, kecerdasan,
menentukan nilai yang setara antara laki-laki dan wanita.

Reformasi politik ini di Indonesia sebenarnya memberikan harapan yang besar bagi
perempuan yang selama ini hak politiknya masih terpasung. Gerakan-gerakan muncul
dengan berbagai usaha pemberdayaan hak perempuan khususnya hak politik yang
destruktif. Namun era reformasi ini tidak bisa menghilangkan apatisme dan ketidak
berdayaan perempuan yang selama puluhan tahun dijebloskan oleh sistem politik
hegemonik dan represif tidak serta merta dihilangkan. Pada peta demografis juga
menunjukkan, jumlah penduduk perempuan di Indonesia lebih banyak dari laki-laki,
demikian pula jumlah pemilih perempuan. Namun, dalam proses politik jumlah itu
bukanlah jaminan terhadap keterwakilan perempuan secara signifikan. Dimulai sejak
Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 tentang kuota perempuan sekurang-kurangnya 30% baik yang
duduk sebagai pengurus partai politik, sebagai calon anggota KPU maupun sebagai
calon anggota DPR/DPRD. Sejak saat itulah perempuan Indonesia yang selama ini tidak
sadar kalau sudah terkena getar gender (genderquake) mulai bangkit untuk memperjuangkan
kebijakan affirmative action. Pada pemilu 2014, kaum perempuan kembali mendapat
kesempatan lagi bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi syarat untuk menyertakan
sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat
pusat (UU No.8/2012, pasal 15 huruf d) dan pencalonan anggota DPR/D (UU No 8/2012
pasal 55).

 Peran dan posisi perempuan dalam politik

Dalam konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan sangat kentara mengalami
diskriminasi. Namun ironisnya, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami
tentang hak-hak mereka, khususnya di bidang politik. Kaum perempuan di Indonesia
(sebagai mayoritas) masih banyak yang buta terhadap wacana politik. Peran dan posisi
mereka di wilayah pengambilan kebijakan masih sangat minim. Bahkan, masih terdapat
stigma yang menempatkan peran dan posisi kaum perempuan amat disepelekan.

 Faktor keluarga
Wanita berkeluarga sering mengalami hambatan-hambatan tertentu, khususnya persoalan izin dari
pasangan mereka. Banyak suami cenderung menolak pandangan-pandangan mereka dan aktifitas
tambahan mereka diluar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan
yang tinggi dan penyediaan waktu dan uang yang besar, dan banyak perempuan sering memegang
jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secara finansial. Pengecualian terjadi ketika kaum
perempuan mendapat jabatan-jabatan yang dianggap menguntungkan secara finansial, seperti terpilih
menjadi anggota legislatif.

 Budaya patriarki vs perempuan dan politik

Berbicara tentang perempuan dan politik, merupakan bahasan yang menarik. Sebab,
peran politik perempuan dari perspektif kalangan feminisme radikal adalah dimana
terjadinya transformasi total (kalau perlu, dengan sedikit pemaksaan) peran
perempuan di ranah domestik ke ranah publik. Atau dalam Bahasanya yaitu
kesetaraan gender. Dominasi budaya patriarki seolah memberi garisan tegas bahwa
antara perempuan dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat
bersinergi satu dengan yang lainnya. Dunianya perempuan adalah di rumah yang
meliputi wilayah domestik, mengurus anak-anak dengan berbagai hal lainnya dan
kalaupun berkarir di luar rumah maka pekerjaan/karir bukanlah hal yang utama.
Perempuan diharuskan siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan
bekerja. Sedangkan politik adalah tempat yang cocok bagi laki-laki karena penuh
dengan intrik-intrik berbahaya, terlihat macho, penuh manuver serta identik dengan
uang dan kekuasaan.

dengan kondisi seperti ini, perempuan jelas tidak memiliki nilai tawar menawar.
Terjun ke dunia politik bagi perempuan bukan berarti harus menjadi anggota
legislatif, bupati, walikota atau presiden. Namun berperan aktif di ranah politik
merupakan pembuktian kemampuan intelegensia sekaligus aktualisasi diri bagi
kaum peempuan. Keterlibatan perempuan dengan politik berarti membukakan akses
bagi perempuan untuk ikut menentukan kebijakan publik. Sebab masalah yang
dihadapi masyarakat selama ini juga merupakan masalah perempuan. Sebaliknya,
masalah perempuan juga persoalan masyarakat. Untuk itulah perempuan wajib
menentukan sikap dalam pengambilan keputusan tersebut dan melakukan kontrol
atas keputusan politik itu sendiri.

 Partisipasi politik perempuan

Secara tradisi, perempuan ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan yakni
hanya berpusat pada aktifitas rumah tangga. Bahkan ada semacam perkataan dari orang tua
yang enggan untuk menyekolahkan anak perempuannya karena paling nanti hanya akan
didapur ataumengurusi rumah tangga saja Hal semacam ini terus-menerus diturunkan
pada setiap generasi sehingga menjadi sebuah nilai yang berlaku dalam masyarakatyang
menempatkan laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan.
Dunia perempuan adalah dunia yang berbeda dengan laki-laki, terlihat dari segi kebutuhan
yaitu adanya perbedaan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki, sehingga solusi dari
setiap permasalahan perempuanhanya bisa dijawab oleh perempuan karena laki-laki tidak
akan bisa memahami kebutuhan perempuan. Yang menjadi persoalan adalah kelemahan
perempuan dibidang politik, maka ketika perempuan mampu terjun ke dunia politik dan
mampu menunjukkan prestasinya maka salah satu persoalaan perempuan telah terjawab.
Karena perempuan lebih diposisikan di belakang laki-laki, partisipasi perempuan dalam
dunia politik dinilai tidak lebih dari sekedar pemberian hak pilih atau pemberian suara
pada pemilu, hal ini juga lebih kepada peran untuk berpartisipasi yang di mobilisasi
(mobilized participation) daripada partisipasi yang bersifat otonom (autonomous participation)
yang mencerminkan hak politik kaum perempuan dalam arti yang lebih luas.
Seperti stereotipe gender yang berkaitan perempuan & politik

1. Perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dalam dunia politik, lebih khusus lagi,
duduk di dalam posisi kepemimpinan politik

2. Tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan otoritas
harus mampu segalanya

Perubahan kapitalisme global dalam pembeggian kerja berdasarkan gender selama paruh kedua
abad ke-20 telah mengubah posisi politik perempuan. Hal ini berdampak pada perkembangan
bidang gender dan politik. Adanya sebuah perubahan yang terjadi seperti sebelum perang dunia ke
2, di sebagai besar dunia industri dengan beberapa pengecualian sprti manufaktur industry yang
pencari nafkahnya seorang laki-laki. Perempuannya bekerja untuk mendapatkan upah sebgai
pembantu rumah tangga, pengasuh anak, perawat. Kaya perempuan -perempuan dijaman sblm pd 2
ini melakukan pekerjaanya tidak dibayar atau dirumah membesarkan anak2nya, merawat orang
sakit/lansia. ini memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai kelompok terpisah yang ditentukan
oleh hukum dan adat untuk memiliki tanggung jawab dan peran yang berbeda. Sejauh perempuan
diizinkan bekerja dalam ekonomi upahan, mereka ditujukan dalam pekerjaan yang bergaji rendah. Di
negara-negara industri dan semi-industri, beberapa bekerja di pekerjaan manufaktur bergaji rendah
seperti menjahit, tekstil, pembuatan rokok. Di negara-negara non-industri, perempuan bekerja di
pertanian, di pasar, dan/atau di rumah, biasanya dibatasi oleh hukum dan adat untuk peran
subordinat di bawah pengawasan dan kendali laki-laki.

Kemudian, perubahan yang dibawa pada perang dunia 2 di Amerika Serikat dimana perempuan
dibawa ke dalam Angkatan kerja upahan. Banyak para perempuan yang diperbolehkan bekerja
dibawah mode produksi fordis (seperti diupah selayaknya, pekejaan berbasis kerajinan, pekerjaan
yang stabil). Pada tahun 1989, seorang tokoh bernama Standing menulis sebuah artikel yang
terkenal berjudul “Global Feminization through Flexible Labour” yang menunjukkan bahwa feminisasi tenaga
kerja adalah fenomena global. Seperti yang dinyatakan oleh Standing, istilahnya, “feminisasi angkatan
kerja,” merujuk tidak hanya pada peningkatan jumlah perempuan dalam angkatan kerja upahan
global, tetapi juga pada perubahan dalam struktur pekerjaan yang tersedia.
Pada tahun 1989-an, banyak Wanita di negara berkembang berpenghasilan menengah pindah dari pertanian
dan beralih ke pekerjaan kerah putih. Goldin telah menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pergeseran
perempuan keluar dari rumah dan ke dalam angkatan kerja yang diupah terjadi secara bertahap
mulai akhir abad kesembilan belas dan berkembang melalui fase evolusioner ke fase revolusioner
yang dimulai tahun 1970an. Fase awal proses melihat wanita lajang muda memasuki angkatan kerja.
Sebagai industrialisasi berkembang dan lebih banyak pekerjaan kerah putih menjadi tersedia dan
perempuan memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi, Fase revolusioner ditandai bukan oleh
peningkatan dramatis dalam jumlah perempuan dalam angkatan kerja, melainkan oleh kumpulan
tenaga kerja perempuan yang lebih berpendidikan. Dan akhirnya, pasca fordisme ini menunjukan
bahwa perempuan dapat menjadi tenaga kerja utama dan tidak menjadi tenaga sampingan yg digaji
rendah.

Anda mungkin juga menyukai