Anda di halaman 1dari 199

Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM MANAJEMEN APARATUR


SIPIL NEGARA
(Suatu Kajian terhadap UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara)

Didik G. Suharto
Ilmu Administrasi Negara, FISIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Abstrak
Institusi pemerintahan atau birokrasi merupakan lembaga strategis dalam melayani dan
membangun masyarakat. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi kepada institusi birokrasi. Dalam konteks tersebut, eksistensi
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai motor birokrasi tidak terbantahkan lagi urgensinya.
ASN berperan penting untuk mewujudkan kinerja unggul birokrasi, termasuk dalam
mendorong pembangunan dan pelayanan publik responsif gender. Pembangunan dan
pelayanan publik yang responsif gender tersebut memerlukan aparatur sipil negara yang
berperspektif gender pula. Artikel ini pada prinsipnya menganalisis regulasi manajemen
aparatur sipil negara dengan mengidentifikasi terhadap UU Nomor 5 tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diamati dari sudut pandang kesetaraan dan keadilan
gender. Secara substansial dapat diidentifikasi beberapa temuan sebagai berikut: terdapat
prinsip sistem merit yang melandasi manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), penegasan
sistem merit dalam asas kebijakan dan manajemen ASN, perhatian terhadap keterbukaan dan
obyektivitas, adanya hak pegawai ASN yang nondiskriminatif, dan tidak ada perlakuan
berbeda dalam penegakan sanksi (punishment). Pada prinsipnya, tidak ada hambatan yuridis
bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam birokrasi. UU Nomor 5 tahun 2014
cenderung netral gender. Tidak ada diskriminasi terhadap laki-laki atau perempuan dalam
UU Nomor 5 tahun 2014. Demikian pula tidak ada perlakuan khusus (termasuk melalui
affirmative action) terhadap salah satu jenis kelamin. Meskipun dari sisi regulasi kaum
perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk terlibat dan menduduki
posisi/jabatan dalam birokrasi, namun realitasnya perempuan seringkali termarginalkan
terutama ketika bersaing memperebutkan jabatan struktural (eselon) tingkat atas. Selain
dimensi regulasi (kebijakan), persoalan keterlibatan perempuan dalam birokrasi juga
potensial dipengaruhi oleh faktor sosiokultural, psikologis, dan struktural.
Kata kunci: gender, kesetaraan dan keadilan, aparatur sipil negara

Pendahuluan
Persoalan gender sampai dengan sekarang masih menjadi tema menarik untuk
dikaji. Meskipun secara umum derajat pembangunan gender mengalami peningkatan, tetapi
realitas kesetaraan dan keadilan gender di beberapa sektor masih memperlihatkan
kesenjangan, khususnya terkait partisipasi perempuan dalam pemerintahan/pembangunan.
The 4th World Conference on Women di Beijing tahun 1995 mengidentifikasi
beberapa isu kritis gender yang merupakan bentuk keprihatinan dan perlu segera mendapat
penanganan, yakni antara lain terbatasnya keikutsertaan perempuan dalam pengambilan
keputusan dan terbatasnya lembaga-lembaga serta mekanisme yang dapat memperjuangkan
kaum perempuan baik dalam sektor pemerintah maupun non pemerintah (Nurhaeni,
2009:59).
Untuk menilai kesetaraan dan keadilan gender dapat diamati dari indikator Gender-
related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measures (GEM). GDI

268
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Indonesia meningkat dari 67,2 pada tahun 2010 menjadi 69,6 di tahun 2013, dan GEM
meningkat dari 68.2 pada tahun 2010 menjadi 70.5 tahun 2013 (Menneg PP, 2015).
GDI mengungkapkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam tiga
dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup (diukur dari harapan hidup saat
lahir), pengetahuan, tingkat pendidikan (diukur dari kombinasi antara angka melek huruf
pada penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah), dan suatu standar hidup yang layak
(diukur dari pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan / purchasing power parity). GEM
mengukur ketimpangan gender dalam hal apakah perempuan dapat mengambil peran aktif
dalam kehidupan ekonomi dan politik. GEM memfokuskan pada partisipasi, mengukur
ketimpangan gender pada bidang-bidang kunci dalam partisipasi ekonomi dan politik, serta
pengambilan keputusan (Nurhaeni, 2009:35).
Di sektor pemerintahan (birokrasi), isu-isu terkait gender tidak luput dari perhatian
publik. Bagaimanapun juga, birokrasi atau institusi pemerintahan adalah aktor penting dalam
kehidupan masyarakatnya. Apalagi di negara berkembang, termasuk Indonesia, birokrasi
menjadi stakeholder utama dalam pembangunan bangsa. Segenap kepentingan dan
kebutuhan warga seringkali sangat tergantung kepada keberadaan birokrasi.
Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer seperti dikutip Nugroho (2008:110)
mengatakan bahwa birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan
untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk
dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala besar.
Di dalam masyarakat modern hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawab banyak
urusan yang terus menerus dan ajeg.
Menghubungkan gender dengan birokrasi, Puskapol UI (2012) memberikan
penjelasan sebagai berikut:
―Sebuah birokrasi yang representatif lebih mungkin untuk mewadahi berbagai macam
permasalahan sosial. Keterwakilan gender, khususnya perempuan, diperlukan untuk
mengawasi regulasi nasional yang terkait dengan isu-isu perempuan dan ketaatan
penyelenggara pemerintahan dalam implementasinya. Perempuan perlu hadir di jantung
pemerintahan sehingga hal ini dapat menghapus diskriminasi dan mempromosikan
kedudukan perempuan dan mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan serta
meningkatkan keterlibatan perempuan.‖
Pendapat Noor (2014), Sukesi (dalam Tarjana dkk., 2011), dan Suparno (2005)
pada intinya senada. Pembangunan tanpa didukung oleh segenap unsur dan lapisan
masyarakat akan mengakibatkan tersendatnya atau bahkan gagalnya upaya untuk mencapai
masyarakat yang adil, sejahtera dan demokratis seperti yang dicita-citakan bersama (Noor,
2014). Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan
arena pengambil keputusan adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segala
level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak
dapat diartikulasikan (Suparno, 2005:4).
Sukesi (dalam Tarjana dkk., 2011:281) yang mengkaji masalah perempuan dan
kemiskinan menarik kesimpulan bahwa sebagai akibat perempuan jarang dilibatkan dalam
musyawarah di tingkat desa atau kelurahan maka perempuan miskin tidak dapat memperoleh
informasi, merasa tidak pantas hadir dalam pertemuan di tingkat desa/kelurahan, dan tidak
dapat menyuarakan kebutuhan mereka.
Nilai strategis kesetaraan dan keadilan gender seperti disampaikan sejumlah pihak
tersebut didukung ―arus global‖ sebagaimana pernyataan berikut:
―The Millennium Declaration resolves to promote gender equality and the empowerment of
women as basic human rights. Giving women their fair share is an important prerequisite to

269
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
achieving the other MDGs. Women play a critical role in national economic growth and
development. Their contributions have a lasting impact on households and communities as
they most directly influence family nutrition, health and the education of children, and
therefore affect not only the present but also the future. Giving women equal rights and
opportunities is a way to enhance their contributions and bring us close to the goal of
eliminating poverty, hunger and disease, and to stimulate development that is truly
sustainable‖ (United Nations, 2007:12).
Bagaimana dengan keterwakilan (fisik) perempuan dalam birokrasi? Dari sisi
kuantitas keseluruhan, jumlah dan persentase aparat birokrasi (Pegawai Negeri Sipil/PNS)
perempuan sebenarnya cukup signifikan. Perbandingan jumlah PNS menurut jenis kelamin
pada tahun 2013 tidak menunjukkan kesenjangan yang berarti. Mengacu data dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN), dari 4.362.805 PNS, sebanyak 2.102.197 atau 48,18%
diantaranya berjenis kelamin perempuan dan sisanya sebesar 2.260.608 (51,82%) laki-laki.
Kesenjangan tampak jelas saat mencermati komposisi pejabat struktural di institusi
birokrasi. Hasil penelitian Puskapol UI (2012) menunjukkan proporsi laki-laki dan
perempuan di jabatan struktural di 34 kementerian cenderung timpang. Hanya 22,38%
jabatan struktural yang diisi oleh perempuan. Proporsinya menjadi lebih timpang jika dilihat
berdasarkan jenjang jabatan struktural yang diduduki. Proporsi terbesar perempuan pejabat
struktural berada pada jenjang bawah, yaitu di eselon III dan IV. Sedangkan pada jenjang
atas rata-rata hanya ada 1 perempuan dari 10 pejabat eselon I. Padahal, pejabat struktural
pada jenjang tertinggi ini banyak terlibat dalam pembuatan kebijakan strategis di
pemerintahan.
Kecenderungan yang sama juga terjadi di daerah. Kajian mengenai pemetaan isu
gender di bidang politik di Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan hasil ―setali tiga uang‖.
Perempuan yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan secara keseluruhan jumlahnya lebih sedikit dari laki-laki. Dari segi
golongan, semakin tinggi golongan maka persentase perempuan semakin mengecil bahkan di
beberapa unit kerja tidak ada perempuan yang mencapai golongan IV. Perempuan mayoritas
hanya mencapai golongan III (Lidya, 2011:149).
Realitas di atas mengesankan adanya fenomena ―bias vertikal‖ dalam komposisi
jabatan struktural, dimana semakin tinggi tingkat eselon semakin mengecil jumlah persentase
perempuan. Bukan hanya ―bias vertikal‖, karakteristik penyebaran aparat birokrasi di setiap
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) juga ―bias horisontal‖. Bias horisontal partisipasi
perempuan dan laki-laki terlihat dari mengelompoknya (dominansi) perempuan/laki-laki di
SKPD-SKPD tertentu (misal bidang kesehatan untuk perempuan dan bidang pekerjaan
umum untuk laki-laki) atau di jabatan-jabatan fungsional.
Pola manajemen birokrasi yang berlaku mempengaruhi postur dan karakter
birokrasi. Salah satu hal yang mendasari aspek manajerial itu ialah persoalan regulasi
(peraturan perundang-undangan). Dalam perspektif tersebut, eksistensi UU Nomor 5 tahun
2014 mempunyai potensi pengaruh besar terhadap kesetaraan dan keadilan gender dalam
manajemen aparat birokrasi.

Tinjauan Pustaka
Merumuskan pengertian ―kesetaraan dan keadilan gender‖ bisa jadi tidak sesulit
mengimplementasikannya di lapangan. Tampaknya cukup mudah untuk menemukan definisi
yang relatif homogen tentang ―gender‖. Nugroho (2008:19) mengartikan gender sebagai
sebuah konstruksi sosial tentang relasi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh
sistem dimana keduanya berada. Pengertian tersebut tidak beda jauh dengan pendapat

270
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Nurhaeni (2009:19) yang mendefinisikan gender sebagai perbedaan peran, kedudukan dan
sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan melalui konstruksi secara
sosial maupun kultural. Lebih lanjut dijelaskan Nurhaeni, berbeda dengan seks sebagai
sesuatu yang ―given‖, maka gender lebih berhubungan dengan perbedaan antara perempuan
dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya maupun psikologis (2009:25).
Seks lebih berkonsentrasi pada biologi seseorang yang meliputi perbedaan
komposisi kimia hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis
lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya,
psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya (Fauzi dalam Tarjana dkk., 2011:71).
Batasan konsep kesetaraan dan keadilan gender menurut Fauzi yakni jika perbedaan kedua
jenis kelamin tersebut berada pada hubungan yang linier dan seimbang. Sebaliknya bila lebih
memihak kepada salah satu jenis kelamin (dalam hal ini lebih sering membela laki-laki
daripada perempuan) maka disebut bias gender.
Hal itu lebih dipertegas oleh Nurhaeni (2009:26) bahwa ketika masyarakat
memperlakukan perempuan dan laki-laki secara diskriminatif negatif bukan karena
kompetensinya, tetapi semata-mata karena jenis kelaminnya, maka bisa dikatakan telah
terjadi ketidak-keadilan gender. Pembedaan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki
tidaklah menjadi masalah selama hal tersebut dilakukan karena merespon perbedaan aspirasi,
kebutuhan dan kepentingan antar laki-laki dan perempuan.
Persoalan kesetaraan gender pada dasarnya adalah persoalan distribusi kekuasaan,
yaitu apakah ada sharing of power yang adil antara laki-laki dan perempuan ataukah yang
terjadi adalah situasi sebaliknya, yaitu adanya hegemoni kekuasaan dari satu pihak terhadap
pihak lainnya (Darwin, 2005:55).
Ringkasnya, UNESCO (sebagaimana dikutip Nurhaeni, 2008:25) mendefinisikan
kesetaraan dan keadilan gender sebagai berikut:
Kesetaraan gender (gender equality) merupakan konsep yang menyatakan bahwa semua
manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal
mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku
dan prasangka-prasangka. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu
sama, tetapi hak, tanggungjawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka
dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan keadilan gender adalah keadilan
dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai kebutuhan mereka. Hal ini mencakup
perlakuan yang setara atau perlakuan yang berbeda tetapi diperhitungkan ekuivalen dalam
hak, kewajiban, kepentingan dan kesempatannya.
Ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, sub-ordinasi,
kekerasan, stereotipe dan beban kerja telah terjadi di berbagai tingkatan di masyarakat
(Nugroho, 2008:26).
Darwin (2005:59) memaparkan terdapat tiga model strategi untuk mengatasi
ketimpangan gender, yaitu strategi perempuan dalam pembangunan (Women in Development
/ WID), strategi gender dan pembangunan (Gender and Development / GAD), dan strategi
pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming / GM).

Pembahasan
Pemerintah (negara) diakui atau tidak ikut berkontribusi atas implementasi
kesetaraan dan keadilan gender di negara tersebut. Seperti disampaikan Darwin (2005:90),
secara umum ada bukti empiris bahwa negara telah mengambil peran penting untuk
memajukan perempuan. Disebutkan terdapat landasan hukum yang menjamin kesetaraan dan
keadilan gender, yaitu UUD 1945 bab XA tentang hak asasi manusia pasal 28 C ayat (1), UU

271
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita, Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dan UU Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumahtangga.
Adanya amanat untuk memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kebijakan-kebijakan yang dibuat pada gilirannya memberikan dampak terhadap produk-
produk regulasi yang tidak bias gender. Selama ini, bisa dikatakan tidak ada hambatan
yuridis formal bagi keterlibatan perempuan di ranah publik. Undang-undang Dasar 1945
beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak mendiskriminasi salah satu jenis
kelamin untuk berpartisipasi di wilayah publik.
Nugroho (2008:213) yang meneliti tentang kualitas kesetaraan gender di dalam
administrasi publik Indonesia menyimpulkan bahwa dalam variabel kebijakan peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia sudah berada dalam tataran netral gender.
Dalam kajian ini, kesetaraan dan keadilan gender cukup relevan mengikuti batasan
dari Nugroho (2008:60). Dinyatakan bahwa, kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki sehingga antara perempuan dan
laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta
memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses berarti
memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya
tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan
atas penggunaan dan hasil sumber daya.
Untuk memudahkan analisis isi (content analysis) terhadap UU Nomor 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari perspektif kesetaraan dan keadilan gender,
maka identifikasi dilakukan terhadap pasal-pasal (ketentuan) yang bersentuhan dengan
persoalan gender. Berdasar penelusuran, dapat diidentifikasi beberapa ketentuan yang
memiliki perspektif gender.
Pertama, adanya prinsip sistem merit (merit system)yang melandasi manajemen
Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang, yang
dimaksud sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar
belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur,
atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS (Pegawai Negeri Sipil)
dan Manajemen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Dalam Pasal 55 ayat
(1) disebutkan bahwa manajemen PNS tersebut meliputi: penyusunan dan penetapan
kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karier, pola karier, promosi,
mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhentian,
jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan perlindungan. Sedangkan manajemen PPPK
meliputi: penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan,
pengembangan, kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan
perjanjian kerja, dan perlindungan (Pasal 93). Dengan demikian, pengelolaan ASN sejak dari
awal hingga akhir atau semua aspek manajemen kepegawaian dilakukan berdasar prinsip-
prinsip profesional, dan tidak diperkenankan terjadi diskriminasi terhadap salah satu jenis
kelamin.
Kedua, penegasan sistem merit dalam asas kebijakan dan manajemen ASN.
Disebutkan pada Pasal 2, kebijakan dan manajemen ASN diselenggarakan berdasar pada
asas: kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas,
akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan,

272
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
keadilan dan kesetaraan, dan kesejahteraan. Mencermati asas-asas tersebut mengandung arti
bahwa kebijakan dan manajemen ASN tidak membeda-bedakan (diskriminatif) terhadap
salah satu jenis kelamin. Secara eksplisit juga dinyatakan adanya asas nondiskriminatif dan
asas keadilan dan kesetaraan.―Asas nondiskriminatif‖ berarti dalam penyelenggaraan
manajemen ASN tidak membedakan perlakuan berdasarkan gender, suku, agama, ras, dan
golongan. Sedangkan ―asas keadilan dan kesetaraan‖ maksudnya pengaturan
penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh
kesempatan akan fungsi dan peran sebagai pegawai ASN.
Ketiga, perhatian terhadap keterbukaan dan obyektivitas. Keterbukaan dan
obyektivitas dalam manajemen ASN secara langsung atau tidak langsung akan mendorong
kompetisi yang fair. Pada hakekatnya, manajemen PNS dan manajemen PPPK -yang
keduanya merupakan bagian dari aparatur sipil negara- pengaturannya relatif sama. Misalnya
dalam rekrutmen aparatur sipil negara, prinsip yang berlaku pada manajemen PNS dan PPPK
tidak berbeda. Ketentuan yang berlaku ialah bahwa setiap warga negara Indonesia
mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS atau PPPK setelah
memenuhi persyaratan. Rekrutmen calon ASN melalui penilaian secara objektif berdasarkan
kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan.
Prinsip obyektivitas terlihat pula dalam hal pengembangan karier PNS.
Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja,
dan kebutuhan instansi pemerintah dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas
(Pasal 69 ayat (1) dan (2)). Sama halnya dengan pengaturan mengenai promosi PNS.
Promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan obyektif antara kompetensi, kualifikasi,
dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan,
kerja sama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada instansi
pemerintah, tanpa membedakan gender, suku, agama, ras, dan golongan. Kebijakan
nondiskriminatif itu lebih dipertegas dalam Pasal 72 ayat (2), bahwa setiap PNS yang
memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang
lebih tinggi.
Sejalan dengan obyektivitas dalam manajemen ASN, maka penilaian kinerja PNS
dan PPPK diarahkan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem
prestasi dan sistem karier dan menjamin objektivitas prestasi kerja PPPK yang sudah
disepakati berdasarkan perjanjian kerja antara Pejabat Pembina Kepegawaian dengan
pegawai yang bersangkutan. Penilaian kinerja PNS dan PPPK dilakukan secara objektif,
terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan. Kompetisi ―bebas‖ yang mengedepankan
prestasi dan tidak membeda-bedakan soal jenis kelamin di satu sisi menjadi angin segar bagi
perempuan karena ada kesempatan tapi di sisi lain kompetisi semacam itu akan sangat
―kejam‖ menggusur perempuan jika tidak mampu bersaing dengan laki-laki.
Keempat, adanya pemberian hak pegawai ASN yang nondiskriminatif. Berkaitan
dengan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), setiap pegawai mempunyai hak-hak yang
melekat padanya. Hak aparatur sipil negara tidak dibeda-bedakan antara laki-laki dan
perempuan. Disebutkan di Pasal 70, setiap pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan
untuk mengembangkan kompetensi, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan, seminar,
kursus, dan penataran. Perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan juga
menyangkut gaji ASN. Untuk PNS, gaji PNS diberikan sesuai dengan beban kerja,
tanggungjawab, dan resiko pekerjaan. Untuk PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja), pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PPPK berdasarkan
beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan. Selain itu, PNS dan PPPK yang
telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi

273
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kerja dalam melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan. Intinya, aspek/dimensi
jenis kelamin tidak menjadi variabel yang mempengaruhi hak pegawai ASN. Pengecualian-
pengecualian khusus terhadap hak salah satu jenis kelamin biasanya berkaitan dengan
persoalan kodrati, contoh cuti melahirkan.
Kelima, tidak ada perlakuan berbeda dalam penegakan sanksi (punishment).
Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak melihat aspek/dimensi jenis kelamin
sebagai ―alasan‖ untuk menghindar dari kewajiban atau sanksi. Pasal 86 dan Pasal 104
memberikan arah yang tegas bahwa untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam
kelancaran pelaksanaan tugas, PNS dan PPPK wajib mematuhi disiplin PNS. Pegawai yang
melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin. Artinya, semua pegawai –laki-
laki dan perempuan- terikat pada ketentuan yang sama. Tidak ada keistimewaan (privilege)
bagi jenis kelamin tertentu untuk mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Mengamati dari substansi-substansi di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada
prinsipnya, tidak ada hambatan yuridis formal bagi keterlibatan perempuan di birokrasi.
Klausul pasal-pasal dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
tidak memperlihatkan adanya diskriminasi atau bias gender. Undang-undang tersebut bisa
dikategorikan cenderung netral gender. Tidak ada keberpihakan atau kecondongan terhadap
salah satu jenis kelamin. Mengacu pandangan UNESCO, UU Nomor 5 tahun 2014 dapat
dikatakan memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan untuk bebas
mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi
oleh stereotype, peran gender yang kaku dan prasangka-prasangka. Undang-undang ini juga
memberikan keadilan gender, dalam arti memperlakukan perempuan dan laki-laki sesuai
kebutuhan mereka. Namun demikian, keadilan yang dimaksud adalah perlakuan yang setara
(baca: sama) antara laki-laki dan perempuan dalam manajemen aparatur sipil negara.

Kesimpulan
Kebijakan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang cenderung netral gender
tidak secara linier akan meningkatkan peran/eksistensi perempuan dalam birokrasi.
Ketentuan hitam di atas putih dalam regulasi hanya satu bagian variabel di tengah beragam
variabel pengaruh lain. Dengan perspektif yang hampir sama, pelajaran bisa dipetik dari
implementasi gender dalam politik. Peraturan atau kebijakan di bidang politik juga
nondiskriminasi. Regulasi tidak bias gender dan telah mengakomodir potensi laki-laki
maupun perempuan. Bahkan, dalam sistem politik kebijakan yang berlaku sudah responsif
gender, yakni melalui kebijakan affirmative action yang ditujukan untuk mendorong jumlah
anggota legislatif perempuan yang lebih representatif. Kebijakan affirmative action yang
dimaksud berkaitan dengan ketentuan pengajuan calon anggota (Caleg) yang harus memuat
paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, dan ketentuan mengenai zipper system (dalam
daftar caleg yang diajukan, setiap tiga calon harus memuat satu calon perempuan). Namun
pada realitasnya, kebijakan tersebut belum signifikan mendongkrak partisipasi perempuan
dalam legislatif. Sebagai gambaran, pada Pemilu 2009 terdapat 103 legislator perempuan
dari 560 kursi DPR. Sementara pada Pemilu 2014 legislator perempuan turun menjadi 97.
Padahal, jumlah Caleg perempuan naik dari 33,6% pada Pemilu 2009 menjadi 37% di
Pemilu 2014.
Sejumlah penelitian maupun kajian telah mengidentifikasi persoalan partisipasi
perempuan dalam politik. Sebagai misal UNDP (2010:21) yang memetakan isu/hambatan
partisipasi perempuan dalam bidang politik sebagai berikut:
a. Hambatan langsung (kurangnya kepercayaan perempuan terhadap sistem politik,
kurangnya keterampilan dan pendidikan politik, kurangnya pengetahuan akan sistem,

274
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kurangnya minat perempuan terhadap politik kurangnya sumber daya finansial, kurang
percaya diri, kurang mobilitas, tanggung jawab keluarga, kurangnya perempuan yang
aktif sebagai kader partai politik, kurangnya dukungan dari partai politik, dan persepsi
yang menganggap politik itu kotor).
b. Hambatan yang bersifat mendasar (budaya maskulin dan dominasi laki-laki, agenda
partai politik yang berorientasi terhadap laki-laki, kurangnya demokrasi di internal
partai politik, komersialisasi politik, sistem kepemiluan, nepotisme dan elitisme di
dalam partai politik, kekerasan politis, dan korupsi dalam politik).
c. Hambatan struktural (dikotomi diskursif ranah publik-privat, patriarki publik dan privat,
perilaku sosial yang patriarkis terhadap laki-laki dan perempuan, dan fundamentalisme
keagamaan).
Senada hal tersebut, United Nations (2007:13) menyatakan:
―The type of electoral system in place in a country, the role and discipline of political parties,
women‘s social and economic status, socio-cultural traditions and beliefs about women‘s
place in the family and society, and women‘s double burden of work and family
responsibilities can all have an impact on the number-and effectiveness-of women‘s
participation in the electoral process.‖
Mengadopsi faktor-faktor pengaruh keterlibatan perempuan dalam politik di atas,
persoalan kesetaraan dan keadilan gender dalam birokrasi secara garis besar juga potensial
dipengaruhi oleh faktor kebijakan, sosiokultural, psikologis, dan struktural. Faktor kebijakan
mempengaruhi kuat lemahnya landasan hukum keikutsertaan perempuan dalam birokrasi.
Faktor sosiokultural terutama masih kuatnya budaya patriarki dan stigma/stereotipe negatif
lain. Faktor psikologis menyangkut seberapa besar tingkat kepercayaan perempuan terhadap
dirinya sendiri. Dan faktor struktural, terutama berkenaan dengan kapasitas dan kompetensi
pihak penentu kebijakan (Baperjakat atau panitia rekrutmen pegawai) yang berperspektif adil
gender.
Sebagai penutup, tampaknya penting untuk direnungkan kembali bahwa kuantitas
perempuan yang aktif di lembaga birokrasi tidak memberikan makna dalam mendorong
pemenuhan kepentingan perempuan bila para aparat birokrasi tersebut tidak responsif gender
untuk memperjuangkan kebijakan yang berperspektif gender (Lidya, 2011:154). Dalam hal
ini, pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan yang responsif
gender merupakan tujuan strategis daripada sekedar memenuhi kuantitas perempuan dalam
birokrasi.

Daftar Pustaka:
Darwin, Muhadjir M., 2005, Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik,
Yogyakarta: Grha Guru dan Media Wacana
Fauzi, Moh., ―Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Islam‖, dalam Tarjana, Sri Samiati
dkk., 2011, Pergeseran Paradigma Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
menuju Pengarusutamaan Gender, Surakarta: CakraBooks dan P3G UNS
Lidya, Eva, ―Pemetaan Isu Gender di Bidang Politik di Provinsi Sumatera Selatan‖, dalam
Tarjana, Sri Samiati dkk., 2011, Pergeseran Paradigma Pembangunan
Pemberdayaan Perempuan menuju Pengarusutamaan Gender, Surakarta:
CakraBooks dan P3G UNS
Menneg PP, 2015, ―Statement by Mrs. Yohana Susana Yembise Minister for Women‟s
Empowerment and Child Protection of The Republic of Indonesia‖, dalam 59th
Session of the Commission on the Status of Women, New York, 9-20 March 2015

275
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Noor, Ida Ruwaida, 2014, ―Perempuan dan Pembangunan di Indonesia:Kebijakan
Keterwakilan Perempuan,‖ disampaikan pada: Dialog Kebijakan dan Pelatihan
Advokasi”, INFID, Yogyakarta, 12 Februari 2014.
Nugroho, Riant, 2008, Gender dan Administrasi Publik; Studi tentang Kualitas Kesetaraan
Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, 2009, Kebijakan Publik Pro Gender, Surakarta: UNS Press
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, 2008, Reformasi Kebijakan Pendidikan; Menuju Kesetaraan
dan Keadilan Gender, Surakarta: UNS Press
Puskapol UI, 2012, ―Ketimpangan Keterwakilan Perempuan dalam Birokrasi‖,
www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2014/04/factsheet-ketimpangan-
keterwakilan-perempuan-dalam-birokrasi.pdf
Suparno, Indriyati, Ismunandar, Kelik, dan Rochimah, Trihastuti Nur, 2005, Masih dalam
Posisi Pinggiran; Membaca Tingkat Partisipasi Politik Perempuan di Kota
Surakarta, Surakarta: SPEK-HAM, UCN, dan Pustaka Pelajar
Sukesi, Keppi, ―Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan‖, dalam
Tarjana, Sri Samiati dkk., 2011, Pergeseran Paradigma Pembangunan
Pemberdayaan Perempuan menuju Pengarusutamaan Gender, Surakarta:
CakraBooks dan P3G UNS
UNDP, 2010, ―Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan‖, Makalah Kebijakan,
Jakarta: UNDP Indonesia
United Nations, 2007, Governance for the Millenium Development Goals: Core Issues and
Good Practices, New York: United Nations

276
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
DISKRIMINASI GENDER SEBAGAI REFLEKSI KEKUASAAN
(Sebuah Studi Kasus Komunikasi Antar Budaya dalam Film Anna And The King)

Dyah Retno Pratiwi; Rahmat Wisudawanto


Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Surakarta
dyah.retno85@gmail.com; wisudawanto@gmail.com

Abstrak
Perkembangan teknologi yang pesat berperan serta dalam perkembangan
komunikasi antar budaya. Hadirnya teknologi yang semakin canggih mengakibatkan
komunikasi antar budaya tidak lagi mengalami hambatan jarak dan waktu. Namun demikian,
terjadinya komunikasi antar budaya menimbulkan masalah tersendiri. Hal ini dikarenakan
perbedaan latar belakang nilai, norma atau aturan yang dipunyai dan diyakini oleh kedua
belah pihak yang melakukan komunikasi. Disamping itu, perbedaan cara pandang yang
dipunyai oleh setiap budaya juga memberikan andil terhadap masalah komunikasi antar
budaya itu sendiri. Makalah ini berusaha untuk menganalisis bagaimana diskriminasi gender
sebagai refleksi kekuasaan sebagai salah satu hambatan komunikasi antar budaya yang
terjadi antara tokoh Anna yang berasal dari Inggris dan masyarakat Thailand dengan
menggunakan film Anna and The King sebagai objeknya. Makalah ini akan menggunakan
adegan-adegan dalam film tersebut sebagai data dan akan dianalisis dengan menggunakan
content analysis. Hasil analisis menunjukkan bahwa deskriminasi gender sebagai refleksi
kekuasaan dalam struktur sosial masyarakat Thailand ditunjukan melalui bentuk verbal dan
non verbal. Deskriminasi gender sebagai bentuk pencerminan kekuasaan dalam bentuk
verbal dapat diamati tidak hanya melalui sikap dan tindakan akan tetapi juga cara pandang
terhadap masalah kekuasaan. Adapun, bentuk non verbal yang muncul dapat diamati melalui
bahasa yang digunakan untuk menunjukkan kekuasaan yang ada dalam masyarakat Thailand.
Kata kunci: gender, kekuasaan, film, komunikasi antar budaya

Pendahuluan
Bahasa sebagai alat komunikasi yang utama memberikan kontribusi yang signifikan
dalam kegiatan berinteraksi pada masyarakat. Dengan semakin berkembangnya masyarakat
maka bahasa juga mengalami perkembangan. Dengan kata lain, perkembangan bahasa
sangat terkait dengan perkembangan masyarakatnya. Perkembangan masyarakat tentunya
tidak bisa dilepaskan dari peran perkembangan teknologi yang semakin pesat sehingga
mengakibatkan perkembangan komunikasi menjadi semakin luas. Dengan hadirnya
teknologi maka memungkinkan orang untuk melakukan komunikasi tanpa terhalang atau
terhambat jarak dan waktu.
Dalam era teknologi saat ini, keinginan seseorang untuk memanfaatkan media
sebagai alat komunikasi semakin besar. Hal ini dapat dilihat dari pola penggunaan media
sebagai alat berkomunikasi oleh masyarakat. Penggunaan media sebagai alat komunikasi
dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada media cetak saja tetapi juga penggunaan media
elektronik. Salah satu contoh pemanfaatan media elektronik sebagai media komunikasi ini
dapat diamati melalui penggunaan jejaring media sosial di masyarakat. Dengan hadirnya
jejaring media sosial dalam masyarakat, proses komunikasi sudah tidak terhambat oleh jarak
dan waktu lagi.
Komunikasi yang didukung oleh perkembangan teknologi tentunya akan turut serta
berperan dalam perkembangan komunikasi antar budaya. Dengan tidak adanya hambatan
waktu dan jarak dalam melakukan komunikasi maka komunikasi lintas negara ataupun benua

277
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
sangat mudah untuk dilakukan. Hal ini berarti bahwa dengan perkembangan teknologi,
komunikasi antara orang yang berbeda latar belakang budaya akan mudah terjadi. Oleh
karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa hadirnya teknologi perbengaruh pada
perkembangan komunikasi antar budaya.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan komunikasi antar budaya bukan tanpa masalah.
Masalah yang timbul dalam komunikasi antar budaya sangatlah beragam. Masalah yang
timbul dalam komunikasi antar budaya diantaranya adalah masalah kesopanan dalam
berkomunikasi. Hal ini terjadi karena dalam komunikasi antar budaya, orang-orang yang
melakukan komunikasi terkendala dengan latar belakang budaya yang dia miliki. Bahkan,
dengan perbedaan latar belakang budaya yang mana turut mempengaruhi keyakinan akan
nilai yang dianut seseorang akan menjadi kendala yang berarti dalam komunikasi antar
budaya. Oleh karena itu, hal ini dapat menyebabkan terhambatnya pertukaran pesan atau
komunikasi yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ting-Toomey (2005) menyatakan
dalam proses komunikasi antarbudaya, para partisipan komunikasi juga berada dalam situasi
tertentu pula yang juga mempengaruhi bagaimana mereka melakukan penyandian dan
penyandian balik pesan.
Tututan terjadinya komunikasi budaya dewasa ini salah satunya disebabkan karena
adanya globalisasi. Dalam pandangan globalisasi maka diperlukan pemahaman akan nilai
atau budaya yang lain sehingga komunikasi antar budaya dapat berlangsung dengan
harmonis. Hal ini disebabkan karena dalam keterampilan berkomunikasi seseorang dituntut
tidak hanya mempunyai pandangan mono kultural tetapi juga pandangan multi kultural. Oleh
karena itu, pandangan ini sesuai dengan salah satu tujuan komunikasi antar budaya yang di
sarankan oleh Litvin dalam Mulayana (2001) bahwa keterampilan-keterampilan komunikasi
yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang mono kultural
terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural. Dengan demikian, apabila seseorang
sudah mempunyai pandangan multi kultural maka dia akan dengan mudah melakukan
interaksi dengan penganut budaya yang lain dimana nilai yang dianut oleh orang tersebut
berbeda dengan nilai yang dia diyakini.
Dalam komunikasi antar budaya, pertukaran pesan dapat berlangsung dengan baik
apabila seseorang dapat saling memahami nilai yang dianut oleh masing-masing budaya
yang mereka miliki. Oleh sebab itu, kesalahan dalam memahami nilai dapat berakibat pada
ketidak keharmonisan dalam berkomunikasi. Nilai yang terkandung dalam budaya sangat
beragam bentuknya. Hal ini salah satunya dapat dilihat diskriminasi gender dan kekuasaan.
Setiap budaya tentunya akan menanggapi berbeda terkait dengan nilai gender dan kekuasaan
dalam budaya mereka. Isu tentang kesetaraan gender yang sudah merupakan hal yang tidak
dipermasalahkan dalam dunia barat ternyata masih menjadi bahan pembicaraan hangat di
dunia timur. Bahkan, masih banyak negara-negara yang menganut sistem pemerintahan
kerajaan yang sensitif akan masalah tersebut. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri karena
nilai yang berlaku di dunia barat berbeda dengan dunia timur. Masalah perbedaan gender
tersebut juga akan mempengaruhi bentuk kekuasaan dalam interaksi masyarakat. Dalam nilai
yang dianut oleh budaya timur kekakuasaan akan banyak disimbolkan oleh gender tertentu
sehingga profesi atau pekerjaan tertentu akan nampak terbedakan bagi gender-gender
tertentu. Fakta ini salah satunya dapat dilihat dari pola kepemimpinan masyarakat timur yang
mayoritas dipegang oleh gender tertentu.
Dengan demikian, makalah ini akan berusaha membahas tentang deskriminasi
gender sebagai refleksi kekuasaan dengan menggunakan film Anna and The King sebagai
objeknya. Pemilihan film sebagai objek dalam makalah ini didasarkan pada kenyataan
bahwa film yang merupakan sebuah media penyampai informasi yang mempunyai

278
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kedudukan penting dalam penyampaian budaya. Melalui film kita dapat belajar dengan
mudah budaya orang lain dengan biaya yang murah dan waktu yang tidak mengikat.
Disamping itu, film Anna and The King ini juga merupakan film yang mengisahkan adanya
interaksi budaya antara masayrakat barat yang diwakili oleh Anna dan masyarakat timur
yang direpresentasikan melalui masyarakat Thailand dan raja mereka yaitu King Moungkut.
Kajian pustaka
Komunikasi antar budaya
Terkait dengan komunikasi antar budaya sebagai bagian dari analisis pada makalah
ini maka definisi dan hambatan komunikasi antar budaya dalam makah ini akan dipaparkan
lebih lanjut. Terdapat berbagai macam definisi komunikasi antar budaya yang disampaikan
oleh para ahli. Namun demikian, kesemua definisi komunikasi antar budaya tersebut
mengacu pada satu hal yaitu terjadinya komunikasi antara satu orang dengan yang lainya
dimana latar belakang budaya orang yang melakukan komunikasi tersebut berbeda satu
dengan yang lainnya.
Definisi komunikasi antar budaya yang pertama dipaparkan dalam makalah ini
adalah definisi komunikasi antar budaya yang diungkapkan oleh Devito (2011: 535). Dalam
definisinya Devito menyatakan bahwa komunikasi antar budaya merupakan komunikasi
yang terjadi diantara orang-orang dari kultur yang berbeda, yakni antara orang-orang yang
memiliki kepercayaan, nilai dan cara berperilaku kultural yang berbeda. Devinisi Devito
tersebut diatas menjelaskan bahwa perbedaan kepercayaan, nilai dan cara berperilaku yang
berbeda merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komunikasi antar budaya.
Selanjutnya, Stewart dalam Mulyana (2001) mendefinisikan komunikasi antar budaya
sebagai komunkasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa,
norma, adat dan kebiasaan. Dari definisi-definisi diatas maka dapat dilihat keterkaitan bahwa
komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara satu pihak dengan pihak yang lainnya
dimana latar belakang sistem kepercayaan, norma dan nilainya berbeda. Karena adanya
perbedaan nilai, norma dan sistem kepercayaan yang melatarbelakangi komunikasi antar
budaya maka dalam komunikasi antar budaya akan timbul berbagai macam hambatan-
hambatan komunikasi antar budaya.
Hambatan komunikasi antar budaya
Novinger (2001) menyatakan bahwa dalam komunikasi antarbudaya, reaksi negatif
dan evaluatif individu terhadap sebuah budaya dapat menciptakan hambatan komunikasi.
Dalam hal ini reaksi individu yang bersifat evaluatif menyebabkan hadirnya hambatan
komnikasi. Pada kasus ini yang menjadi fokus adalah reaksi individu yang merupakan
hambatan yang muncul ketika komunikasi antar budaya tersebut terjadi. Dengan demikian,
ketika seseorang menilai negatif sebuah budaya maka dia akan mengalami hambatan dalam
komunikasinya. Selanjutnya, Tracy Novinger juga menambahkan bahwa hambatan
komunikasi antar budaya dapat dibagi dalam tiga jenis, yakni hambatan persepsi, hambatan
verbal dan hambatan nonverbal.
Hambatan presepsi komunikasi antar budaya
Dalam penjelasannya Tracy Novinger menyatakan bahwa hambatan persepsi
meliputi wajah (face), nilai (values), dan pandangan dunia (worldview). Wajah (face)
merupakan nilai atau pertahanan seseorang terhadap pandangan di depan orang lain. Dengan
kata lain, wajah lebih merujuk kepada harga diri sehingga seseorang akan dapat menjaga
harga dirinya manakala seseorang itu dapat mempertahankan pandangan positif didepan
orang lain. Sejalan dengan pernyataan tersebut Samovar, Porter & McDaniel (2010: 259).
Menyatakan bahwa dalam hal ini wajah sebagai salah satu hambatan presepsi lebih banyak
terkait dengan bagaimana seseorang ingin orang lain melihat terhadap dirinya, yang

279
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
dipengaruhi dari interaksi sosial, dan lain sebagainya, sehingga hal ini bisa diperoleh atau
bisa hilang.
Selain wajah (face) hambatan presepsi dalam komunikasi antar budaya juga
disebabkan oleh adanya perbedaan sikap. Terkait dengan sikap sebagai salah satu hambatan
presepsi, Novinger (2001: 42) menyatakan bahwa sikap merupakan ranah psikologis yang
secara jelas memengaruhi perilaku dan menyimpangkan persepsi. Oleh karena itu, perilaku
yang dilakukan oleh seseorang atau bahkan penyimpangan presepsi yang ada pada diri
seseorang adalah pengaruh dari sikap yang dimiliki orang tersebut. Lebih lanjut, Ting-
Toomey (2005) mengklasifikasikan sikap dalam dua aspek yaitu kognitif dan afektif. Aspek
kognitif merujuk pada keinginan untuk menahan pendapat yang bersifat etnosentris dan
kesiapan untuk mempelajari mengenai isu perbedaan lintas budaya dengan pandangan
terbuka. Adapun aspek afektif merujuk pada komitmen emosional untuk terlibat dalam
partisipasi perspektif kultural, dan pengembangan rasa empati dalam memahami perbedaan
kelompok kultural.
Faktor hambatan presepsi yang terakhir dalam komunikasi lintas budaya di
pengaruhi oleh adanya perbedaan nilai. Salah satu nilai yang ada dalam masyarakat dapat
diamati melalui agama atau sistem kepercayaan yang dianut atau berlaku dalam masyarakat.
Nilai agama yang ada dalam masyarakat muncul dalam bentuk pola dan pandangan hidup.
Bahkan, Ferraro dalam Samovar, Porter & McDaniel (2010) menambahkan bahwa pengaruh
agama dapat dilihat dari jalinan semua budaya, karena hal ini bersifat dasar. Dengan
demikian, Nilai agama ini juga berpengaruh pada cara pandang (worldview) yang meliputi
bagaimana orientasi budaya terhadap Tuhan, alam, kehidupan, kematian dan alam semesta,
arti kehidupan dan keberadaan.
Kekuasaan
Kekuasaan dapat dimaknai dalam berbagai perspektif. Perspektif yang muncul terhadap
difinisi kekuasaan banyak yang mengacu pada kontrol atas orang lain. Dengan kata lain, kontrol
orang lain terhadap diri kita adalah sebagai sebuah simbol kekuasaan. Namun demikian,
perspektif akan kekuasaan sebagai sebuah kontrol terhadap orang lain tidak sepenuhnya benar.
Dalam beberapa definisi kekuasaan yang dikemukakan oleh para ahli tidak sepenuhnya setuju
akan definisi kekuasaan sebagai kontrol terhadap orang lain. Salah satunya adalah Foucault
dalam Mudhoffir (2013) yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak dipahami dalam
konteks pemilikan oleh suatu kelompok institusional sebagai suatu mekanisme yang
memastikan ketundukan warga negara terhadap negara tetapi kekuasaan juga bukan
mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang
mendominasi dengan yang didominasi atau yang powerful dengan powerless. Dengan kata
lain, kekuasaan bukan mengacu pada istilah siapa yang mendominasi dan siapa yang
terdominasi akan tetapi kekuasaan harus dipahami sebagai bentuk dukungan yang
berhubungan dengan berbagai macam hal yang tetap ada di dalam wilayah aturan
sebuah kelompok. Hal ini sejalan dengan kutipan yang diungkapkan oleh Foucault dalam (ibid,
79): ―...power must be understood in the first instance as the multiplicity of force
relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own
organization”.
Lebih lanjut, Foucault dalam (ibid, 80) menunjukkan ada lima proposisi mengenai
apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan, yakni:
1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu
yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi kekuasaan dijalankan
dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.

280
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
2. Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengandaikan ada
yang menguasai dan yang dikuasai.
3. Kekuasaan itu datang dari bawah yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi distingsi
binary opositions karena kekuasaan itu mencakup dalam keduanya.
4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
5. Di mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan resistensi
tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada
satu jalan pun untuk keluar darinya.

Metode Penelitian
Makalah ini berusaha mendeskripsikan deskriminasi gender sebagai refleksi
kekuasaan dengan menggunakan film Anna and The King sebagai objeknya. Makalah ini
menggunakan teknik content analysis dalam memperoleh datanya. Dalam pengumpulan
datanya, semua adegan-adegan dalam film akan diamati kemudian akan diambil adegan-
adegan film yang relevan dengan analisis yang akan dilakukan. Data yang akan digunakan
sebagai bahan analisis adalah adegan-adegan dalam film tersebut yang menunjukkan
tindakan atau perkataan diskriminasi gender yang terkait dengan kekuasaan. Adapun adegan-
adegan yang tidak mengandung nilai-nilai atau unsur-unsur diskriminasi gender yang terkait
dengan kekuasaan akan direduksi. Oleh karena itu, data yang disajikan benar-benar data
yang berupa adegan dalam film yang terkait dengan deskriminasi gender sebagai refleksi
kekuasaan.

Pembahasan
Hasil analisis dari adegan-adegan yang terdapat dalam film tersebut menunjukkan
bahwa terdapat adegan yang berupa verbal dan non verbal yang menunjukkan diskriminasi
gender yang terkait dengan kekuasaan. Data-data dari adegan tersebut selanjutnya akan
disajikan dan dibahas sebagai berikut.
Data verbal yang pertama akan disajikan dan dipaparkan dalam analisis berikut
adalah adegan dimana Louis sedang bertengkar dengan pangeran Chulalangkorn yang
kemudian ditegur oleh Anna. Dalam adegan ini, Louis berusaha mengucapkan ucapan
permohonan maaf kepada Anna tetapi hal tersebut direspon dengan ucapan pangeran
Chulalangkorn yang mengatakan bahwa ―Di negaraku, pria tak pernah meminta maaf pada
wanita‖.

281
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Dalam adegan diatas dapat dilihat bahwa Louis yang merupakan anak laki-laki Anna
meminta maaf kepada ibunya terkait dengan kesalahan yang dia lakukan tetapi pangeran
Chulalangkorn tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Louis. Dalam budaya
masyarakat barat adalah hal yang wajar manakala seseorang melakukan kesalahan maka ia
akan meminta maaf. Permintaan maaf yang masyarakat barat lakukan sama sekali tidak
terpengaruh oleh perbedaan gender yang ada. Hal ini tentunya sesuai dangan sistem nilai
yang mereka anut dan yakini. Ucapan permintaan maaf yang dikemukakan oleh Louis
merupakan bagian dari presepsi mereka dalam menghargai orang lain. Dalam meminta maaf,
masyarakat Inggris bisa melakukan permintaan maaf kepada orang yang lebih muda atau
lebih tua. Bahkan, dalam masyarakat Inggris juga berlaku perwujudan sikap meminta maaf
baik dari laki-laki ke perempuan ataupun perempuan ke laki-laki. Akan tetapi, sikap
meminta maaf ini nampaknya berbeda dengan presepsi masyarakat Thailand tempat dimana
pangeran Chulalangkorn tinggal. Perwujudan sikap meminta maaf dalam budaya Thailand
hanya berlaku bagi kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Nilai ini berangkat bahwa
permohonan maaf hanya dilakukan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya terhadap
orang yang tinggi kedudukannya sehingga raja Thailand yang adalah laki-laki tidak akan
pernah meminta maaf pada masyarakatnya. Dengan kata lain, dalam masyarakat Thailand
raja selalu dianggap benar. Hal ini dikarenakan raja mempunyai kedudukan yang paling
tinggi di masyarakat sehingga raja tidak pernah merasa punya salah dan meminta maaf
kepada masyarakat. Disamping itu, berangkat dari nilai yang tertanam dalam masyarakat
Thailand dimana kaum laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada kaum
perempuan dalam status sosial masyarakatnya maka wujud permintaan maaf hanya berlaku
bagi orang perempuan terhadap orang laki-laki dan tidak sebaliknya. Dengan demikian,
ucapan permintaan maaf yang mempunyai perbedaan presepsi ini berangkat dari proposisi
kekuasaan bahwa relasi kekuasaan bersifat intensional sehingga hal ini memungkinkan
adanya perbedaan presepsi yang terjadi antara nilai yang dianut oleh setiap budaya. Dari
kasus diatas dapat diamati bahwa adanya diskriminasi gender dalam kekuasaan. Raja yang
adalah kaum laki-laki mempunyai strata sosial yang berbeda dengan kaum perempuan.
Terlebih lagi, raja selalu dianggap benar dan tidak pernah meminta maaf. Hal ini tentunya
akan berakibat bahwa kaum laki-laki adalah layaknya raja yang tidak pernah mempunyai
kesalahan atas kaum perempuan.
Selanjutnya, data verbal yang terkait dengan deskriminasi gender sebagai refleksi
kekuasaan muncul dalam adegan dimana ketika Anna menghadap perdana menteri Thailand
disapa dengan sapaan ‖Sir‖ atau ―tuan‖.

282
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Dalam adegan adegan diatas nampak bahwa ketika Anna bertemu dengan perdana
menteri Thiland, Anna disapa dengan kata ‖Sir‖ atau ―tuan‖. Dalam interaksi masyarakat
Thailand mengharuskan bahwa hanya kaum laki-lakilah yang diperkenankan untuk beremu
raja atau para pejabat pemerintahan. Oleh karena itu, kedudukan seorang raja dalam
masyarakat Thailand mempunyai kehormatan yang tinggi. Melalui ucapan perdana menteri
Thiland yang menyapa Anna dengan kata ‖Sir‖ atau ―tuan‖ secara tidak langsung
mengimplikasikan bahwa hanya kaum laki-lakilah yang diperkenankan untuk bertemu raja.
Dengan kata lain, ada diskriminasi gender dalam hak bertemu raja bagi masyarakat Thailand.
Lebih dari itu, melalui pembatasan kaum yang boleh bertemu raja secara langsung
mengindikasikan bahwa seorang raja di masyarakat Thailand menginginkan penghormatan
yang sangat tinggi dalam pelaksanaan interaksi sosialnya. Hal ini tentunya sesuai dengan
proposisi kekuasaan dimana Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau
dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi
kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak. Oleh karena itu,
perbedaan nilai sistem kekuasaan yang dianut antara budaya Inggris dan Thailand
mengakibatkan adanya perbedaan nilai yang mereka anut terkait dengan sistem
kekuasaan.
Adapun, data non verbal yang ditemukan dalam analisis pada film ini adalah adanya
sikap yang terpengaruh oleh nilai yang dianut oleh masyarakat Thailand dalam hal ini
khusunya King Mongkut. Dalam presepsi masyarakat Thailand untuk menjaga garis
keturunan maka seorang raja harus mempunyai banyak anak. Tentunya dengan menghendaki
anak yang banyak sebagai penerus garis keturunan dan simbol akan kekuasaan maka raja
Thailand mempunyai banyak istri.

283
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Cara pandang yang ditunjukkan melalui sikap bahwa laki-laki tidak hanya puas
dengan satu perempuan mengindikasikan bahwa ada hak untuk laki-laki mempunyai istri
lebih dari satu. Presepsi ini sekali lagi muncul dari nilai yang berlaku pada masyarakat
Thailand yang memandang bahwa untuk dapat meneruskan garis keturunan masyarakat
harus mempunyai anak yang banyak yang diwujudkan dengan memiliki banyak istri.
Sementara itu, hal ini tidak berlaku pada budaya masyarakat Inggris dimana Anna berasal.
Dalam nilai yang dianut oleh masyarakat Inggris dapat dilihat bahwa seseorang hanya
menikah dengan satu orang perempuan. Apabila seseorang tersebut akan menikah dengan
perempuan lain, maka dia akan meceraikan istrinya. Lebih lanjut, hal ini juga dapat diamati
dari penguasa Inggris yaitu Ratu Elisabeth yang mana ratu Inggris tersebut hanya
mempunyai satu suami. Hal ini muncul tentunya bukan tanpa alasan. Nilai equality yang
masyarakat inggris pegang teguh menjadi alasan utama yang mendasari masalah tersebut.
Dengan demikian, sekali lagi simbol kekuasaan muncul dalam deskriminasi gender.

Kesimpulan
Dari paparan analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa deskriminasi gender
sebagai refleski kekuasaan raja dan masyarakat Thailand muncul dalam beberapa hal.
Munculnya deskriminasi gender sebagai refleski kekuasaan raja dan masyarakat Thailand
dapat diamati melalui permintaan maaf yang hanya boleh dilakukan oleh kaum perempuan
terhadap laki-laki dan tidak berlaku untuk sebaliknya. Selanjutnya, terkait dengan
deskriminasi gender sebagai refleksi kekuasaan juga muncul dalam bentuk pembedaan
gender dalam bertemu raja atau orang yang berkuasa. Disini dapat dilihat bahwa sekali lagi
kaum perempuan mengalami deskriminasi sebagai bentuk dari simbol kekuasaan. Sementara
itu, bentuk deskriminasi yang terakhir dapat dilihat dari adanya hak laki-laki untuk menikah
dengan banyak wanita atas dasar untuk meneruskan garis keturunannya. Munculnya
deskriminasi gender yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari latar belakang budaya yang
berbeda. Dimana hal ini akan mengakibatkan adanya perbedaan sistem kepercayan, nilai
serta norma yang berlaku dalam masyarakat.

284
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Daftar Referensi
Devito, Joseph A. (2011). Komunikasi antar manusia. Tangerang: Kharisma Publishing
Group
Mudhoffir, A.M. (2013). Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi
Politik. Jurnal Sosiologi MASYARAKAT Vol. 18, No. 1, Januari 2013: 75-100
Mulyana, D. Rakhmat, J.(2001). Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya). Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Ting-Toomey, S. & Chung, L.C. (2005). Understanding intercultural communication. New
York: Oxford University Press
Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R. (2010). Komunikasi lintas budaya
(communication between cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.). Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika
Novinger, T. (2001). Intercultural communication: a practical guide. United States of
America: University of Texas Press

285
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PEREMPUAN DAN POLITIK: PENGALAMAN INDONESIA-JEPANG

Elly Malihah; Idrus Affandi; Diani Risda; Leni Anggraeni


Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
ellyms70@gmail.com; ellyms@upi.edu

Abstrak
Kebijakan setiap negara dalam memberdayakan, menempatkan dan memandang posisi
perempuan berbeda beda, meskipun hasil konferensi perempuan sedunia telah memberi
arahan yang jelas tentang bagaimana keharusan negara menempatkan perempuan dalam
posisi yang sejajar dengan pria.
Indonesia dan Jepang merupakan dua negara yang turut meratifikasi hasil konferensi
tersebut, namun dalam implementasi kebijakan pemerintahnya masih terdapat ketidakadilan
tentang kedudukan, fungsi dan peran perempuan terutama dalam mengakses bidang politik.
Makalah ini dilatarbelakangi dari hasil penelitian tim yang mengkaji tentang faktor sosial
budaya partisipasi politik perempuan dalam parlemen, baik di Indonesia maupun di Jepang.
Penelitian ini merupakan studi komparatif, pengambilan data dilakukan melalui studi
pustaka, observasi, wawancara dan diskusi terpumpun (focus group discussion).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di kedua negara masih terjadi ketidakseimbangan
peran perempuan terutama dalam bidang politik, dikotomi peran publik dan privat masih
ditemukan, kesempatan menduduki kursi politik masih terbatas. Hal tersebut dilatar
belakangi antara lain masih berkembangnya budaya patriarki dan faktor internal dari dalam
diri perempuan di kedua negara tersebut.
Kata Kunci : Perempuan, Politik, Indonesia, Jepang

Pendahuluan
Gerakan mendorong ikut sertanya masyarakat dalam proses pembangunan dan
pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak langsung terus dilakukan sejak masa
pemerintahan orde baru hingga reformasi. Upaya mengajak masyarakat untuk ikut serta
dalam proses politik tersebut menghasilkan dinamika yang menggembirakan, terbukti
ramainya setiap ajang pemilu/pemilukada dilaksanakan baik meningkatnya minat menjadi
kepala daerah, meningkatnya keinginan menjadi wakil rakyat untuk duduk di legislatif
maupun gerakan massa para pendukungnya untuk ikut serta dalam kampanye, dan lain-lain.
Namun demikian, gerakan tersebut tidak serta merta meningkatkan keterlibatan perempuan
dalam lembaga politik. Partisipasi perempuan umumnya sebatas sebagai pemilih (voters),
meskipun ada diantara mereka menjadi kepala daerah di tingkat Kabupaten/Kota dengan
memenangkan pilkada.
Perempuan Indonesia adalah kelompok yang heterogen jika ditinjau dari struktur
keluarga, pengalamannya, kedudukannya secara sosial ekonomi. Hal ini dapat dilihat antara
lain dari latar belakang sosial dan kultural dan kepribadian mereka. Dengan adanya
heterogenitas kaum perempuan ditinjau dari beberapa aspek, menyebabkan tuntutan dan
tantangan yang mereka hadapi juga tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan
besarnya partisipasi yang mereka emban dalam keluarga dan masyarakat. Namun berbeda
dengan perempuan Jepang, karena umumnya Jepang bersasal dari etnik yang hampir sama,
mereka cenderung homogen. Perbedaan faktor heterogenitas Indonesia dan homogenitas
Jepang secara sosial budaya menarik untuk dikaji terutama tentang keputusan perempuan
untuk menjadi anggota parlemen.

286
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia hingga kini masih terjadi. Kedudukan perempuan ditempatkan pada posisi yang
lebih rendah dari pria dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini karena adanya norma
masyarakat yang masih menganggap kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan
belum ada pengakuan secara operasional terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki
perempuan. Namun demikian, dewasa ini tampaknya telah dilakukan upaya untuk
memperbaiki kedudukan perempuan dalam masyarakat menurut lingkup hak dan kewajiban
yang sama dengan pria dalam setiap kehidupan masyarakat. Karena pada prinsipnya,
perempuan mempunyai hak, kewajiban dan peluang yang sama dengan laki-laki dalam
memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta
terlibat dalam proses pembangunan menyeluruh.
Dalam konteks itulah tulisan ini mengeksplorasi secara mendalam mengenai
bagaimana keikutsertaan perempuan dalam Parlemen di Indonesia dan Jepang? dan sejauh
mana faktor sosial budaya mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam parlemen di
Indonesia dan Jepang.
Keikutsertaan Perempuan dalam Parlemen di Indonesia dan Jepang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh informasi bahwa
perbandingan keterlibatan antara perempuan dan laki-laki dalam parlemen di kedua negara
(Indonesia dan Jepang) masih pada angka minimal, yakni masih didominasi oleh kaum laki-
laki. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar masih berpandangan bahwa perempuan
mempunyai keterbatasan dalam bergerak, tidak seperti laki-laki. Dunia politik masih
dimaknai sebagai bidang yang dikerjakan oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya
bertugas dan berkewajiban untuk mengurusi urusan rumah tangga.
Sekalipun pergeseran paradigma mengenai kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan sudah mengalami peningkatan, akan tetapi secara kuantitas perbandingan jumlah
anggota parlemen perempuan dan laki-laki masih jauh dari tataran ideal. Di Indonesia,
undang-undang yang mensyaratkan kuota perempuan adalah 30% belum berhasil secara
optimal untuk mendongkrak jumlah partisipasi perempuan di parlemen. Bahkan, pada
pemiliu 2014 terjadi penurunan jumlah perempuan di parlemen sebanyak 0.34 % dari tahun
2009. Padahal, keikutsertaan perempuan dalam parlemen secara yuridis diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Salah satu amanat yang tertuang dalam kedua
pasal tersebut adalah diharuskannya partai politik peserta pemilu untuk melibatkan
perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari daftar calon legislatif yang diusulkan.
Adanya ketimpangan jumlah perwakilan perempuan dalam parlemen dapat
berimplikasi munculnya ketimpangan gender dalam berbagai bidang, seperti kebijakan
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan bidang lainnya. Padahal jika telisik lebih
jauh, negara telah memberikan perlakukan khusus agar setiap warga negara (termasuk
perempuan) untuk memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai keadilan sebagaimana
termaktub dalam pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 3 dan pasal 28 H ayat 2.
Ikhwal utama yang menjadi faktor penghambat keterlibatan perempuan dalam
politik di parlemen adalah rendahnya motivasi personal dari perempuan untuk berlaga dalam
pemilihan karena terkungkung oleh nilai-nilai budaya yang berkembang. Sebagaimana
dijelaskan Prijono dan Sutyasie (1998: 256), bahwa kendala psikologi acap kali dilihat
sebagai hambatan internal perempuan untuk bergerak aktif dalam bidang-bidang lainnya,
termasuk politik. Pertama, horner efect atau fear of succes syndrome. Dimana berbagai
penelitian psikologi menunjukkan hasil bahwa perempuan banyak dihinggapi perasan
tersebut bila dihadapkan dengan kondisi berkompetisi dengan pria. Adanya fear of succes ini

287
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
menyebabkan prestasi kaum perempuan kurang dibandingakan potensi sesungguhnya yang
dimiliki. Kedua, cinderella complex dimana dalam diri perempuan terdapat sifat
ketergantungan akan perlindungan yang muncul berkat pola asuh yang diterimanya bahwa
perempuan akan selalu dilindungi selama hidupnya, dimulai dari orang tuanya, saudara laki-
lakinya maupun suaminya.
Keterlibatan perempuan dalam parlemen di rasa amat menunjang kemajuan
penghargaan terhadap perempuan sebagai individu yang mempunyai hak sama dalam
pemerintahan, utamanya dalam memposisikan perempuan pada posisi yang sama dengan
laki-laki. Urgensi keterlibatan perempuan dalam politik menurut penuturan salah seorang
narasumber adalah untuk menyeimbangkan dan menyalurkan berbagai aspirasi terkait
dengan peningkatan posisi, hak, tugas, wewenang dan tanggungjawab perempuan terhadap
bangsa dan negaranya.
Hal itu merupakan implementasi dari konsep demokrasi partisipatoris, dimana
pemberian kesempatan dari arus bawah merupakan sebuah keharusan yang mutlak. Melalui
penggunaan pendekatan secara bottom up, maka konsentrasi pengembangan masyarakat
haruslah menjadi agenda utama pemerintah, termasuk didalamnya pengembangan kapasitas
dan kompetensi perempuan. Karena itu, keterlibatan seluruh stakeholder dalam mengangkat
hak perempuan amat diperlukan untuk membangun kesetaraan gender dalam bidang politik.
Para penggiat kesetaraan gender memandang bahwa jumlah keterwakilan perempuan
yang memadai di lembaga pengambilan keputusan akan mampu memperbaiki masalah-
masalah yang menghambat kesejahteraan warga negara. Perempuan memiliki kebutuhan-
kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami oleh perempuan sendiri yang disebabkan oleh
pengalaman hidup dan kondisi biologisnya. Masruchah (2009: 115-116) mencontohkan
bahwa di Skandinavia, keterwakilan perempuan di parlemen yang melebihi 40 persen dari
jumlah kursi yang ada telah mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan karena
berimplikasi pada rendahnya tingkat korupsi, efisiensi perjalanan pemerintahan, serta
terciptanya transparansi dalam penegakkan hukum.
Minimnya jumlah perempuan dalam parlemen disebabkan oleh beberapa tindakan
diskriminasi terhadap gender. Para perempuan yang telah bergabung ke dalam partai politik
mengemukakan beberapa kesulitan terkait perlakuan partai, di antaranya adalah pencalonan
calon legislatif oleh partai yang lebih mengutamakan laki-laki tanpa menmpertimbangkan
kualitas calon legislatif dari perempuan. Untuk melengkapi persyaratan itu, para aktivis
partai politik banyak merekrut siapa saja asalkan berjenis kelamin perempuan untuk
didaftarkan sebagai Daftar Calon Sementara (DCS) ke KPU. Jika kondisi seperti ini terus
terjadi di Indonesia maka kerangka demokrasi nasional akan menjadi kerangka yang fana
dan minim partisipasi.
Dilihat dari sisi ini, maka keterwakilan yang dibangun hanya sebatas peningkatan
keterwakilan secara kuantitatif yang berpeluang tidak tersalurkannya harapan-harapan
konstituen (terutama perempuan) dengan baik. Sebaiknya, partai politik yang terkena aturan
mengenai perlunya melibatkan perempuan untuk maju dalam parlemen itu tidak semata
memenuhi tuntutan, melainkan dengan juga mempertimbangkan aspek kualitas para wakil
perempuan yang duduk di parlemen.
Berkait dengan hal keterwakilan tersebut, Pitkin dalam Soeseno (2014) menjelaskan
terdapat empat pandangan yang berbeda mengenai keterwakilan, yaitu: (1) keterwakilan
formal; (2) keterwakilan simbolis; (3) keterwakilan deskriptif; dan (4) keterwakilan
substantif. Keterwakilan formal merupakan keterwakilan yang terbentuk sebagai hasil
pengaturan institusional yang dilakukan sebelum keterwakilan ada. Keterwakilan deskriptif

288
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
merupakan sebuah bentuk keterwakilan yang berdasarkan pada persamaan atau kemiripan
antara wakil dan yang diwakili (konstituen atau pemilih).
Selanjtnya, Soeseno (2104) menjelaskan bahwa keterwakilan perempuan dalam
politik yang hanya dilihat dari 30% keberadaan perempuan dalam daftar caleg Pemilu 2014
menunjukkan jenis keterwakilan yang masih bersifat deskriptif. Sedangkan apabila
keterwakilan perempuan dalam parlemen tersebut sudah mencukupi kuota, maka jenis
keterwakilan tersebut secara ideal akan berubah kerah substantif. Sistem kepartaian yang ada
saat ini dan pilihan serta cara-cara rekruitmen kader perempuan oleh partai politik semakin
menguatkan pesimisme terhadap munculnya keterwakilan substantif dari kuota 30% untuk
perempuan.
Jika kita telisik lebih dalam, secara struktural memang sistem kepartaian di
Indonesia belum memberikan peluang secara terbuka bagi kaum perempuan untuk terlibat
dalam partainya. Ketika pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka didasarkan atas
urutan suara terbanyak, maka calon perempuan membutuhkan energi ekstra, tidak hanya
modal sosial berupa pengaruh, cara kampanye, popularitas, tetapi juga faktor modal materi,
baik uang maupun benda lainnya yang tidak kecil jumlahnya.
Keterlibatan perempuan dalam kancah politik akhirnya lebih mencerminkan sebuah
bentuk ―keterpaksaan‖ daripada ―kesadaran‖ yang pada akhirnya menjadikan perempuan
sebagai pihak yang rentan terhadap eksploitasi dari partai politik yang ingin ―memanfaatkan‖
perempuan dalam pemenuhan kuota yang dipersyaratkan. Aturan tersebut juga dapat memicu
tindakan diskriminasi terhadap kaum laki-laki yang memiliki kapabilitas, namun harus
tergusur oleh caleg perempuan yang mungkin kualitasnya jauh lebih rendah guna memenuhi
tuntutan kuota.
Sebagaimana dijelaskan Susiana (2014) bahwa sistem kepartaian yang ada saat ini
dan pilihan serta cara-cara rekrutmen caleg perempuan oleh parpol semakin menguatkan
pesimisme terhadap munculnya keterwakilan substantif dari kuota 30% untuk perempuan. Ia
menambahkan bahwa fakta dalam Pemilu 2014, perwakilan deskriptif masih menjadi fokus
perhatian ketika melihat keterwakilan perempuan di parlemen yang persentasenya menurun.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab hal itu adalah sistem pemilu yang tidak ramah
terhadap hadirnya keterwakilan perempuan. Ketika pemilu menggunakan sistem
proporsional terbuka didasarkan atas urutan suara terbanyak, maka calon perempuan
membutuhkan energi ekstra, tidak hanya modal sosial berupa pengaruh, cara kampanye,
popularitas, tetapi juga faktor modal materi, baik uang maupun benda lainnya yang tidak
kecil jumlahnya.
Dengan sistem suara terbanyak tersebut, kebijakan 30% dalam hal pencalonan
melalui aturan 1 di antara 3 calon harus perempuan tetap tidak cukup membantu keterpilihan
calon perempuan. Selain faktor tersebut, menurut Susiana (2014) yang harus diperhatikan
adalah bagaimana perempuan menghadapi persaingan secara kualitatif dengan calon laki-
laki. Hal itulah yang tidak mudah diwujudkan dan membutuhkan perhatian khusus dari
parpol serta lembaga nonpemerintah dalam mendorong perempuan agar mempunyai
keinginan untuk terjun ke dunia politik praktis disertai bekal pengetahuan dan energi yang
cukup. Dengan demikian ke depan akan terwujud cita-cita keterwakilan perempuan minimal
30% atau bahkan lebih di parlemen.
Belum berjalannya harapan-harapan terkait dengan efektivitas keterlibatan
perempuan dalam parlemen, bermunculanlah berbagai asosiasi dan organisasi perempuan
yang tidak lain bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam ranah politik
kenegaraan. Salah satu contoh misalnya Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan yang
merupakan sebuah jaringan organisasi yang memiliki potensi penting dalam mendukung

289
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
peningkatan representasi perempuan di parlemen, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Keberadaan organisasi-organisasi perempuan ini senantiasa berupaya untuk mengantarkan
perempuan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam partai, seperti jabatan ketua dan
sekretaris, karena posisi ini berperan dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan
partai.
Komitmen perempuan sebagai bagian dari sebuah komunitas untuk membangun
demokrasi memiliki keterkaitan erat dengan transformasi sosial. Bersamaan dengan hadirnya
komitmen gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak politik kaumnya, keterlibatan
seluruh stakeholder dalam mengangkat hak perempuan juga diperlukan. Karena itu,
diperlukan kesadaran dari berbagai lapisan masyarakat bahwa permasalahan keterwakilan
perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia bukan hanya persoalan perempuan
menginginkan kesetaraan. Namun, harus disadari penuh bahwa keterlibatan yang seimbang
serta kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam lembaga legislatif adalah
bentuk demokratisasi.
Sebagaimana dijelaskan Fleschenberg (Tersedia dalam
http://www.niaspress.dk/files/excerpts/Iwanaga-2extract.pdf tanggal 14 April 2013) bahwa
korelasi antara partisipasi perempuan dalam politik dan good governance adalah kebanyakan
tokoh politik perempuan yang hadir dalam situasi politik yang kacau atau pada saat-saat
transisi politik menuju kepemerintahan yang lebih baik, menghadirkan diri mereka sebagai
agen-agen transnasional dengan mengusung agenda politik untuk menata ulang rezim politik
yang ada, karenanya kehadiran tokoh perempuan dalam lembaga politik seringkali dilihat
sebagai "transformational leaders".
Rendahnya partisipasi perempuan dalam parlemen juga terjadi dalam politik
nasional di Jepang, dimana sebagai negara yang menganut paham patriarki, dominasi laki-
laki dalam kehidupan politik menjadi besar peranannya. Sekalipun dalam konstitusi pasca
perang Jepang memberikan hak dan peluang yang besar bagi perempuan untuk terlibat aktif
dalam kancah politik yang setara dengan laki-laki, namun dalam kenyataannya partisipasi
perempuan dalam politik di Jepang tidak lebih dari sekedar pemilih.
Perlunya kesamarataan posisi perempuan dan laki-laki terkait pemenuhan hak-hak
politiknya dijelaskan Kymlicka (1990: 238-239) sebagai ―dataran egalitarian‖, yakni
gagasan mengenai perlakuan yang sama dan setara bagi semua anggota masyarakat.
Sekalipun dalam faktanya dikedua negara (Indonesia dan Jepang) tersebut diskriminasi
terhadap gender masih menjadi permasalahan utama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Melalui pelibatan perempuan dalam parlemen, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
kondisi ideal dalam pembangunan demokratisasi di kedua negara. Analog dengan Held
(1993: 172) yang menjelaskan bahwa esensi dari demokratisasi ideal adalah keadaan yang
seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupan.
Tantangan terberat dalam peningkatan jumlah perempuan Indonesia di parlemen
adalah beragamnya budaya politik lokal, tingkatan keterkungkungan wanita dalam budaya
patriarki lokal, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat pemahaman dan kesadaran
akan pentingnya suara mereka terwakili dengan memadai, serta tingkat pandangan mengenai
politik itu sendiri. Karena itu, pemahaman makna dari politik berbasis gender harus di
pahami terlebih dahulu, yang menjadi platform bagi dirinya sendiri dalam memperjuangkan
perbaikan dan perubahan nasib perempuan. Keengganan perempuan mengajukan diri
sebagai calon legislatif juga disebabkan oleh kurangnya dukungan secara penuh dari partai
politik yang bersangkutan, menonjolnya tuntutan kualitas pada caleg perempuan,
meningkanya isu mengenai perilaku politik.

290
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Jika dikaji lebih jauh, keikutsertaan perempuan Jepang dalam dunia politik dalam
level menengah keatas, dalam arti kata kelas tertentu. Rendahnya ketertarikan perempuan
Jepang dalam dunia politik, selain disebabkan oleh kentalnya budaya patriarki, juga
merupakan dampak dari kekaisaran. Sistem sosial budaya Jepang yang tidak mendukung
untuk berkarier dalam dunia politik, dimana kenderungan wanita Jepang memilih
pengembangan anak-anaknya dikeluarga turut berkontribusi terhadap rendahnya partisipasi
perempuan di parlemen. Selain itu, dukungan pemerintah jepang juga tidak menciptakan
kuota untuk komponen perempuan, yakni mengalir dan berkembang sesuai dengan
kemampuan dan minat.

Faktor Sosial Budaya Keterlibatan Perempuan dalam Parlemen di Indonesia dan Jepang
Keterlibatan perempuan dalam politik, khususnya dalam parlemen amat dipengaruhi
oleh kondisi sosial budaya yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Ditinjau dari segi sosial kultural, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi
antara laki-laki dan perempuan untuk ikut serta terlibat dalam aktivitas di parlemen di
Indonesia dan Jepang. Di Indonesia, hal utama berkaitan dengan kondisi sosial budaya yang
turut berkontribusi terhadap besar kecilnya keterlibatan perempuan dalam parlemen terdiri
dari beberapa faktor.
Pertama, ditinjau dari konteks budaya yang berkembang di Indonesia dimana asas
patriarkal masih melekat kental dalam seluruh dimensi kehidupan. Terkait dengan
keterlibatan dalam parlemen, prinsip atau persepsi yang selalu dipegang adalah bahwa
kehidupan politik merupakan arena yang keras dan cenderung kelaki-lakian, karena itu
tidaklah cocok diikuti oleh wanita untuk menjadi anggota parlemen. Sekalipun demikian,
parlemen sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi sebuah negara memerlukan sentuhan
halus dari para perempuan. Karena itu, keberadaan perempuan dalam parlemen merupakan
suatu hal yang diniscayakan.
Secara umum laki-laki memegang kekuasaan di semua lembaga penting dalam
masyarakat patriarkal, tetapi ini tidak berarti bahwa perempuan sepenuhnya tidak berdaya
atau sepenuhnya tidak mempunyai hak, pengaruh, dan sumber daya di dalam patriarki.
Perempuan sebagai bagian dari sistem sosial (terutama keluarga) menghayati nilai-nilai yang
ada dalam tata kehidupan, karena itu ia tidak bebas dari ideologi patriarkal. Selama dalam
perlindungan seorang laki-laki, perempuan menikmati sebagian hak istimewa laki-laki. untuk
mendapatkan hak istimewa itu, perempuan terus menerus merundingkan kembali daya
tawar-menawarnya, yang kadang-kadang dengan mengorbankan perempuan lain (Kamla,
1996:19).
Budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai tokoh utama dalam keluarga dan
masyarakat. Budaya ini, mengabadikan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat yang
selanjutnya menghambat perempuan memasuki ranah politik. Sebaliknya, jika kita merujuk
pada gagasan Malinowski (dalam Ihromi (1984: 59) bahwa sebetulnya fungsi dari unsur
budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan
yang timbul dari kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder dari para warga masyarakat.
Misal, kebutuhan dasar terhadap pangan (makan, minum) menimbulkan kerja sama untuk
memproduksi bahan, mengadakan organisasi-organisasi politik dan pengawasan sosial guna
menjamin kelangsungan kerja sama.
Kedua, berkaitan dengan kondisi sosiologis perempuan yang selalu dinilai lemah
terutama dalam menghadapi pelbagai permasalahan yang melanda bangsa. Perempuan
seringkali dinilai lebih banyak menggunakan perasaan dibandingkan logika dan rasionalitas,
oleh karenanya tidaklah cocok jika keberlangsungan pemerintahan (parlemen) didasarkan

291
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
atas hati nurani semata melainkan harus didasarkan pada raninalitas antara kesesuaaian dan
ketidaksesuaian secara yuridis terlebih di Indonesia yang notabene merupakan rechstaat
(negara hukum).
Ketiga, terkait dengan proses seleksi yang berlangsung dalam partai politik yang
biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai yang didominasi
oleh kaum laki-laki. Rendahnya kesadaran terhadap kesetaraan gender dan keadilan di
Indonesia turut memberikan sumbangsih terhadap peran perempuan dalam parlemen.
Pemimpin laki-laki dari partai-partai politik umumnya mempunyai pengaruh yang tidak
proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak
memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya
didominasi oleh kaum laki-laki. Karena itu, amanat undang-undang partai politik dan
undang-undang pemilihan umum yang mensyaratkan keterlibatan perempuan dalam
parlemen sebanyak 30 persen sampai saat ini belum dapat tercapai secara maksimal dan
proporsional.
Ada kait-mengkait antara faktor ketiga (proses seleksi) dan faktor pertama (budaya),
dimana faktor determinan utama dari sistem pemilu itu sendiri dengan perwakilan dan proses
pemerintahan yang lebih kompetitif dari sistem pluralitas atau mayoritas, dan negosiasi yang
lebih konsenual berdasarkan proses yang di hasilkan, dari sistem proporsional representatif,
mencerminkan bagaimana masyarakat melihat mereka sendiri. Masyarakat dengan
pandangan kerja yang lebih terbuka dan berdasarkan negosiasi akan sering menambhakan
perilaku budaya lain-ke arah kesempatan pendidikan yang sama, pola kerja yang fleksibel,
disini gender yang tidak terlalu keras yang mendukung keterwakilan perempuan.
Keempat, masih rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan. Dimana dibeberapa
daerah yang ada di Indonesia, masih tetap berkembang adagium bahwa perempuan tidaklah
perlu menyenyam pendidikan sampai pada jenjang yang lebih tinggi. Karena setinggi apapun
tingkat pendidikan perempuan, larinya tetap ke dapur juga.rendahnya tingkat pendidikan
kaum perempuan, juga dirasakan partai politik yang terbebani dengan aturan perlunya
mengikutsertakan perempuan dalam partai. Sering dirasakan bahwa sulitnya merekrut
perempuan dengan kemampuan politik yang memungkinkan mereka bersaing dengan laki-
laki. Perempuan yang memiliki kapabilitas politik memadai lebih cenderung melibatkan diri
dalam usaha pembelaan atau memilih peran-peran non-partisan.
Kelima, faktor keluarga dimana wanita yang telah berkeluarga sering mengalami
hambatan-hambatan tertentu, khususnya terkait persoalan izin dari pasangan mereka. Banyak
kaum suami yang cenderung menolak keterlibatan pasangannya (istri) dalam aktivitas di luar
rumah, termasuk dalam parlemen. Kebanyakan suami memandang bahwa ketika istrinya
terlibat aktif dalam aktivitas di luar, maka kecenderungan menanggalkan kewajiban-
kewajiban, peran dan fungsi sebagai ibu rumah tangga mempunyai peluang lebih besar
dibandingkan jika perempuan berada di rumah. Sebagaimana kita ketahui bahwa kegiatan-
kegiatan politik biasanya membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi dan penyediaan
waktu dan uang yang besar.
Hal tersebut di atas melihat perspektif gender ke dalam wilayah publik dan privat.
Wilayah publik terdiri dari pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan media, dunia
bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama, dan kultur di hampir semua masyarakat di
dunia ini didominasi oleh laki-laki. Aksesibilitas perempuan terhadap kekuasaan senantiasa
lebih kecil dibandingkan laki-laki, sekalipun berangkat dari latar belakang yang sama. Hal
tersebut berdampak pada praktik pembangunan dan perencanaan pembangunan yang
memiliki kecenderungan untuk berat sebelah dan menguntungkan satu pihak saja. Pemilahan
antara ruang publik dan privat bagi perempuan, dijelaskan Cleves (1996: 106) cenderung

292
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
mengandung makna bahwa lingkup pengaruh perempuan adalah rumah. Tidak terwakilinya
perempuan dalam lingkup publik, mempunyai kecenderungan kurang mampunyai
perempuan menjalankan kekuasaan dan mempengaruhi kesejahteraan gendernya.
Sekalipun Indonesia telah merativikasi peraturan tentang pemilihan umum dan partai
politik yang salah satu poin pentingnya adalah memberikan formasi 30 persen perempuan
untuk terlibat aktif dalam parlemen, akan tetapi dalam praktiknya tidak serta merta
menjadikan masyarakat tunduk pada aturan tersebut. Hal tersebut terjadi apabila poin yang
dimandatkan bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta norma-norma
agama yang berlaku. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 28 (J) bahwa
pemenuhan hak-hak seseorang harus menghormati hak kebebasan orang lain dan memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum.
Banyak pandangan yang menyatakan bahwa aturan tentang kuota legislatif
perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai
ibu dan pendidik anak-anak di rumah dan menganggap lebih mulia dibandingkan perempuan
harus terlibat aktif dalam parlemen. Lebih jauh, pandangan ini melihat bahwa tugas dan
peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dapat dipandang sebelah mata.
Sebenarnya jika dilihat dari faktor sosial budaya, keterlibatan perempuan di
parlemen lebih dorongan kepada status sosial. Perempuan yang bergerak dalam bidang
politik di Jepang lebih menekankan pada minat diri yang bersifat minoritas. Meningkatnya
kepekaan sosial terhadap terpinggirnya kaum perempuan yang dianggap tidak mampu dalam
bidang politik, merupakan dorongan yang kuat bagi minoritas perempuan Jepang untuk
terlibat aktif dalam bidang politik. Analog dengan Prijono dan Sutyastie (1998: 256) yang
menyebutkan faktor penghamabat pemberdayaan perempuan dalam kaintanya partisipasi
pembangunan dapat berasal dari internal dan eksternal perempuan.
Faktor internal merujuk pada berbagai hasil penelitian psikologi yang menunjukkan
bahwa perempuan banyak dihinggapi perasan fear of succes bila dihadapkan dengan kondisi
berkompetisi dengan pria (horner efect atau fear of succes syndrome). Selain itu, dalam diri
perempuan terdapat sifat ketergantungan akan perlindungan yang muncul berkat pola asuh
yang diterimanya bahwa perempuan akan selalu dilindungi selama hidupnya, dimulai dari
orng tuanya, saudara laki-lakinya maupun suaminya (cinderella complex).
Faktor eksternal lebih ditekankan pada masih banyaknya ditemui nilai-nilai sosal
budaya yang kurang mendukung terhadap keterlibatan perempuan dalam bidang politik,
karena dianggap sebagai bidangnya kaum laki-laki yang sudah menjadi citra baku
masyarakat terhadap kaum perempuan. Selain itu, belum optimalnya stimulus yang diberikan
pemerintah dalam melaksankaan program dan kebijakan pembangunan partisipasi
perempuan menjadi salah satu penyebab masih rendahnya motivasi perempuan untuk terlibat
dalam segala aspek kehidupan, termasuk bidang politik di dalamnya. Keterlibatan
perempuan dalam pembangunan dan parlemen bukan berarti harus menggeser tugas, peran
dan fungsi perempuan dalam keluarga. Sekalipun, perempuan mempunyai hak, kewajiban
dan peluang yang sama dengan laki-laki dalam memanfaatkan, mengembangkan dan
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta terlibat dalam proses pembangunan
menyeluruh. Karena itu, penciptaan iklim sosial budaya yang mendukung partisipasi
perempuan dalam politik pembangunan perlu dilakukan terutama untuk menciptakan dan
melaksanakan cita-cita pembangunan berwawasan gender.

293
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap hasil temuan, tim peneliti dapat memberikan
kesimpulan terkait keterlibatan perempuan dalam parlemen di Indonesia dan Jepang. Dimana
keikutsertaan perempuan dalam parlemen di kedua negara masih minim partisipasi dimana
kuota perempuan masih menempati posisi paling rendah dibandingkan dengan kuota kursi
yang ada dalam parlemen. Hal tersebut terjadi salah satunya dipengaruhi oleh kondisi sosial
budaya yang berkembang di kedua negara, baik itu dilihat dari dimensi kultural, dimensi
sosiologis, proses seleksi dan rekruitmen partai politik, tingkat pendidikan, dan faktor
keluarga. Dilihat dari dimensi kultural, masih melekatnya budaya patriarki yang
menempatkan kedudukan perempuan di bawah laki-laki turut mempengaruhi keterlibatan
perempuan dalam parlemen di Indonesia dan Jepang. Dilihat dari dimensi sosiologis,
perempuan selalu dinilai lemah terutama dalam menghadapi pelbagai permasalahan yang
melanda bangsa.
Terkait dengan proses seleksi yang berlangsung dalam partai politik, rendahnya
kesadaran terhadap kesetaraan gender dan keadilan turut memberikan sumbangsih terhadap
peran perempuan dalam parlemen. Masih rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan
serta faktor keluarga yang memandang perempuan sebagai ―ahli‖ di rumah untuk mengurusi
anak dan rumah tangga turut menjadi pemicu rendahnya partisipasi perempuan dalam
parlemen di kedua negara. Keterwakilan perempuan di parlemen baru sebatas pada posisi
deskriptif yang hanya berpandangan ―asal terpenuhi kuota‖, belum mengarah pada posisi
substantif yang lebih memperhatikan aspek arti, makna dan tujuan daripada keterlibatan itu.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan partisipasi perempuan dapat berasal
dari aspek diskursif/ideologis, sosio-ekonomi, politis dan kelembagaan, serta hambatan yang
berasal dari aspek pribadi dan psikologis.

Daftar Pustaka
Cleves, JM. (1996). Jender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fleschenberg, A n.d., „Asia's Women Participation at The Top: Roaring Tigerness or Tame
Kittens?‟, Women's Political and Representation in Asia, tanggal 14 April 2013,
<http://www.niaspress.dk/files/excerpts/Iwanaga-2_extract.pdf>.
Held, D (1993). Prospect for Democracy. Stanford: Stanford University Press.
Ihromi (ed) (1984). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Kamla, B. (1996). Menggugat Patriarki, Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap
Kaum Perempuan (terjemahan). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Kymlicka, W. (1990). Contemporary Political Philosophy: An Introduction, Clarendon
Press. Oxford, pp.238-239.
Masruchah (2009). Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia. Jurnal Perempuan
vol.63 no. 1, pp.115-116.
Prijono, T & Sutyastie, S. (1998). Pemberdayaan Penduduk dan Peningkatan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: PT Cita Putra Bangsa
Soeseno, N. (2014). Perempuan Politisi dalam Partai Politik Pemilu 2014: Keterwakilan
Deskriptif vs Substantif. Dalam Jurnal Perempuan No. 81: Perempuan Politisi, Mei
2014. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Susiana, S. (2014). Penurunan Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu 2014. Info Sehat
Kesejahteraan Sosial Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

294
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN ZAKAT
(Suatu Tinjauan Terhadap UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat)

Faizatul Ansoriyah
Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.

Abstrak
Lahirnya Undang-undang No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat memberikan
harapan baru bagi maksimalnya peran zakat dalam pengentasan kemiskinan. Keberadaan
undang-undang ini pada dasarnya adalah untuk memberikan regulasi yang jelas terhadap
peran pemerintah dalam pengelolaan zakat melalui Badan Amil Zakat (BAZ). Menguatnya
peran pemerintah dalam pengelolaan zakat ini tidak serta merta memutus peran serta
masyarakat dalam ikut mengelola zakat. Ditinjau dari aspek governance maka lahirnya
undang-undang tersebut adalah tetap memberikan ruang gerak bagi komunitas pengelola
zakat dengan memberikan batasan-batasan regulasi terutama dalam aspek pengawasan .
Undang-undang ini juga lebih memberikan peluang maksimalnya peran kelompok
masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan baik terhadap BANAS maupun LAZ.

Pendahuluan
Kemiskinan, kelaparan, kekurangan gizi, status kesehatan yang rendah selalu
menjadi permasahalan klasik bagi bangsa yang masih berkembang. Indonesia menjadi salah
satu bagian dari Negara berkembang yang juga dihadapkan pada persoalan tersebut.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan baik yang tercover dana dari pusat maupun daerah
sampai saat ini belum mampu mengatasi persoalan tersebut. Pendekatan pengentasan
kemiskinan perlu memperhatikan pendekatan ―grassroots‖. Pendekatan ini diharapkan akan
mampu mengelola program pengentasan kemiskinan lebih hemat dan juga mengetahui
permasalahan klasik yang melatarbelakangi kemiskinan itu sendiri ( Carr;2008) .
Mendasarkan pada hal ini maka peran serta masyarakat dibutuhkan untuk perecepatan
pengentasan kemiskinan.
Berbicara mengenai peran serta masyarakat ,maka pada dasarnya ada elemen dalam
masyarakat jika dioptimalkan akan mampu menopang dana serta program pengentasan
kemiskinan. elemen masyarakat tersebut adalah golongan kelompok masyarakat kaya atau
dalam istilah adalah masyarakat aghniya‘. Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia
mengajarkan dan mewajibkan kelompok tersebut untuk membersihkan dan memurnikan
kekayaannya dengan memberikan sebagian dari kekayaan yang mereka miliki. Pada
prinsipnya zakat mempunyai makna pemurnian dan pembersihan. Harta yang belum
dikeluarkan zakatnya maka dalam harta tersebut masih tersimpan hak dari masyarakat
miskin. Secara yuridis formal pemerintah baru mengeluarkan undang-undang tentang
pengelolaan zakat pada era pemerintahan Presiden Habibi. Dikeluarkannya undang-undang
no 38 tahun 1999 ini adalah sebagai bentuk respon pemerintah tentang perlunya peran negara
dalam pengelolaan zakat. Meskipun pada prinsipnya bahwa zakat merupakan sebuah ibadah,
namun karena berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat luas maka dalam pelaksanaannya
diperlukan peran Negara untuk mengatur dan memberikan regulasi. Hal ini tentu sejalan
dengan pengelolaan zakat pada masa rasulullah maupun kekhalifahan bahwa selalu menjuk
pegawai pengumpul zakat. Keberadaan undang-undang zakat no 38 tahun 1999 ternyata
belum mampu menggali maksimal perolehan zakat di Indonesia. Berikut ini adalah tren
perolehan potensi zakat mulai tahun 2002-2013 berikut ini:

295
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

IDR 3.000,00
Milyar
IDR 2.500,00

IDR 2.000,00

IDR 1.500,00
Series1
IDR 1.000,00

IDR 500,00

IDR -
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Grafik Pertumbuhan Zakat Di Indonesia
Sumber : Diolah dari www. republika.com

Meskipun ada peningkatan perolehan zakat dari tahun ke tahun namun hal itu belum
sesuai dengan target potensi zakat yang semestinya yaitu sebesar 300 Trilyun rupiah
pertahun. Tidak tergalinya potensi zakat secara maksimal selain karena masih rendahnya
kesadaran masyarakat untuk berzakat namun juga disebabkan system pembayaran zakat
secara mandiri langsung ke mustahik. Kondisi ini tentu menjadi sebuah ironi ketika terjadi di
tengah maraknya Lembaga Amil Zakat swasta . Muncul sebuah pertanyaan, mengapa di
tengah menjamurnya LAZ belum mampu memkasimalkan tergalinya potensi zakat.
Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga amil zakat disinyalir menjadi salah satu
penyebab ketidakmaksimalan pengumpulan zakat melalui lembaga amil zakat tersebut. Ada
tiga hal yang mempengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga, diantaranya adalah
brand image dari lembaga amil zakat, serta cara pengumpulan dan pendistribusian zakat.(
Ahmad&Wahid: 2014,Ansoriyah dkk :2012) Artinya bahwa kepercayaan publik terhadap
sebuah lembaga pengelola zakat akan sangat berpengaruh bagi masyarakat untuk memilih
atau tidak memilih lembaga zakat tersebut .
Menghadapi kondisi tersebut maka pada tahun 2011 pemerintah mengeluarkan
Undang-undang pengelolaan zakat baru yaitu UU No 23 tahun 2011. Terlepas dari pro dan
kontra akan lahirnya undang-undang tersebut minimal kehadiranyya memeberikan harapan
baru untuk memaksimalkan peran zakat dalam pengentasan kemiskinan demi tercapainya
tujuan pembangunan bangsa terutama dalam memaksimalkan kontribusi zakat dalam
pengentasan kemiskinan. Sediki
Tinjauan Pustaka
Paradigma the old public administration meletakan peran pemerintah dalam posisi
sentral. Pemerintah memiliki kekuasaan sepenuhnya dalam menjalankan dan menyelesaikan
permasalahan publik dalam bidang apapun. Pergeseran paradigma administrasi publik
meletakan pula pergeseran dari government ke governance. Pada dasarnya seringkali terjadi
kekaburan makna antara government dengan governance. Seringkali governance diartikan

296
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
sama dengan government atau memiliki makan pemerintah. Namun pada dasarnya
governance memiliki makna yang lebih luas yang tidak hanya sekedar pemerintah saja.
Governane memiliki perubahan dalam hal makna pemerintah yang lebih mengacu pada
proses baru tentang memerintah. Sedikitnya ada lima makna penggunaan governance yaitu:
1. minimnya peran pemerintah
2. corporate governance
3. the new public management
4. good governance
5. self organizing network (Rhodes :1996:653)
Munculnya istilah governance adalah seiring dengan perkembangan kebutuhan
publik yang semakin kompleks serta keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
memecahkan masalah publik. Stoker (1998) mendefinisikan governance ke dalam lima
aspek; pertama bahwa governance adalah berbicara pada serangkaian institusi dan aktor
yang berasal dari dalam dan luar pemerintah, kedua governance mengidentifikasikan
kekaburan batas-batas dan tanggung jawab untuk menangani isu-isu ekonomi dan sosial,
ketiga, governance mengidentifikasikan ketergantungan kekuuasaan yang terlibat dalam
hubungan antara institusi yang terlibat dalam tindakan kolektif. keempat berbicara tentang
jaringan-jaringan para aktor yang sifatnya self governing secara otonom, kelima memiliki
makna adanya pengakuan terhadap kapasitas untuk mencapai sesuatu dengan tidak
menggantungkan pada kekuatan pemerintah untuk mengkomando atau menggunakan
otoritasnya.
Perkembangan administarsi publik yang berparadigma democartic governance yang
menekankan pada partisipasi individual dan juga pada hak asasi manusia,dan konsep ini
tidak hanya diterapkan pada institusi negara saja tetapi juga dilaksanakan pada seluruh
instansi dan unsur pelaksana governance ( Gardner : 2011: 18). Di tengah banyaknya definisi
tentang governance maka governance mengisayaratkan pada kaburnya batas-batas antara
publik dan swasta (Stoker :1998).
Dalam konsep governance akan kita temukan tiga sektor yang melekat pada
governance itu sendiri, mulai dari public sector governance,Private sector dan community
governance. Community governance mungkin didefinisikan sebagai manajemen dan
pengambilan keputusan pada tingkat komunitas yang dilakukan oleh, dengan, atau atas nama
sebuah komunitas, oleh sekelompok stakeholder masyarakat. Fokus pada 'masyarakat' bukan
pada sebuah perusahaan, organisasi, pemerintah daerah atau sektor publik adalah fitur yang
membedakan pemerintahan masyarakat vis a vis bentuk-bentuk lain dari pemerintahan
(Totikidis, Armstrong & Francis :2005). Secara garis besar dapat kita lihat perbedaan tujuan
antara private, public dan community governance pada gambar di bawah ini:

297
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Governance Sector Party Aim

Community NPOs, NGOs, Social, Environmental &


governance Community community workers Economic Improvement
sector and community? (Community Level)

Public Sector Public Government Social, Environmental &


governance Sector Economic Improvement.
Workforce Management.
(National & State Levels)

Corporate Business Economic Improvement


governance Corporate (Personal, Shareholder &
Governance Company Levels)

Gambar 1. The Aim of community, public and private governance


Sumber: Totikidis, Armstrong & Francis: 2005

Mendasarkan pada gambar di atas maka dapat dikatakan bahwa antara public dan
community governance memiliki kesamaan tujuan dalam hal ini adalah untuk memperbaiki
sosial dan ekonomi, meskipun dalam level yang berbeda. Artinya bahwa public dan
community memiliki keterkaitan yang erat dan harus saling melengkapi dan bekerjasama
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan mengakar dalam
kehidupan bermasyarakat. Hamzah (2012) berbicara tentang kemiskinan, pada dasarnya
dapat didefinisikan secara sederhana maupun dalam arti luas.Dalam pengertian yang
sederhana kemiskinan dapat diterangkan sebagai kurangnya pemilikan materi atau
ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu dalam arti
yang lebih luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain seperti : rendahnya
tingkat pendidikan, rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, keterbatasan akses terhadap
berbagai hal, dan lain-lain. Dimensi kemiskinan, secara dinamis me-ngalami perubahan
dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin. Sedikitnya terdapat
sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (a) ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar (papan, sandang, dan peru-mahan); (b) aksessibilitas ekonomi
yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air
bersih, dan transportasi); (c) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital; (d)
rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal; (e)
rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya alam; (f)
ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; (h) terbatasnya akses terhadap
kesempatan kerja secara berkelanjutan; (i) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat
fisik maupun mental; dan (j) mengalami ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.
Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dibagi menjadi beberapa jenis sebagai
berikut :
298
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
1. relative poverty (RP)
2. subjective poverty (SP)
3. absolute poverty (AP) dan
4. material deprivation (MD)
Pengentasan kemiskinan akan sangat tergantung dengan cara mengukur kemiskinan itu
sendiri. Perbedaan dalam mengukur kemikinan akan melahirkan pula cara atau metode
pengentasan kemiskinan itu sendiri.( Niemiets; 2011)
Zakat merupakan bagian hak Allah SWT, yang diberikan oleh manusia kepada
orang miskin. Dinamakan zakat karena mengandung harapa mendapat berkah, penyucian diri
dan tambahan kebaikan.( Sabiq :2000).
Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat terbagi menjadi dua yaitu zakat mal dan
zakat fitrah. Zakat Mal atau zakat kekayaan yang diwajibkan kepada orang islam yang
memiliki harta kekayaan dengan jumlah dan jangka waktu tertentu (nishab dank haul)
dengan maksud untuk mensucikan hartanya dan zakat fitrah yang diwajibkan kepada semua
orang islam yang mempunyai kelebihan bagi keperluan diri dan keluarganya pada akhir
bulan romadlon dengan maksud mensucikan jiwanya. ( Manan : 2005 : 191). Khusus untuk
zakat fitrah maka maka pembayarannya dilaksanakan pada bulan Romadlon mulai dari awal
bulan sampai dengan akhir bulan romadlon. Berbeda dengan zakat firtah maka zakat mal
dapat dibayarkan atau dilaksanakan tidak harus pada bulan romadlon. Sedangkan menurut
Sabiq kewajiban membayar zakat jatuh kepada setiap muslim yang merdeka dan memiliki
nishab atas jenis harta yang harus dibayarkan. Syarat-syarat nisahab adalah :
1. Melebihi batas kebutuhan-kebutuhan pokok yang tidak mungkin dihindari, seperti
makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat-alat penunjang pekerjaan.
2. Kepemilikannya telah mencapai satu tahun dalam hitungan hijriyah. Perhitungan
dimulai dari hari pertama kepemilikan nishab dan harus utuh sepanjang tahun.
Apabila dalam perjalanan satu tahun tersebut kurang dari nisahb lalu sempurna lagi,
amka dihitung ulang dari tercapinya kesempurnaan nisahab tersebut. Syarat ini tidsk
berlaku untuk pada zakat pertanian dan buah-buahan karena kewajibannya jatuh
pada setiap waktu panen.
Islam tidak hanya mengatur siapa saja yang wajib membayar zakat, tetapi juga
mengatur siapa saja yang berhak memperoleh zakat. Sebagaimana dalam tafsir surat AT-
Taubah ayat 60 ditegaskan tentang siapa-siapa saja yang berhak menerima zakat.Sesuai
dengan surat At-Taubah ayat 60 ( Manan, Sabiq) maka golongan yang berhak menerima
zakat adalah :
Asnaf Deskripsi
Fakir dedefinisikan sebagai orang yang sama sekali tidak mempunyai mata
pencaharian.
fakir adalah orang yang cacat dan tidak berharta sedangkan miskin adalah
orang yang masih bertubuh sehat.
Miskin orang yang mempunyai mata pencaharian tetapi tidak mencukupi kebutuhan
sehari-hari secara minimal
orang-orang fakir yang enggan mengemis dan kondisinya tidak mudah
diketahui ncukupi kebuhan sehari-harinya secara minimal
Amil para petugas yang diangkat oleh pemerintah untuk menghimpun zakat dari
orang-orang kaya
mereka yang mengurusi pemungutan dan pembagian zakat
Mualaf sebagai orang yang masih lemah imannya karena baru masuk islam
mereka yang sengaja didekati agar hatinya lunak dan mendukung islam atau
299
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
guna meneguhkan hatinya karena keislamannya masih lemah atau
menghentikan gangguannya terhadap kaum muslimin atau memanfaatkan
mereka untuk melindungi kaum muslimin.
Hamba mereka yang mencakup budak yang terikat perjanjian memerdekakan dari
sahaya (mukatab) dan budak biasa
Ghorim orang yang memang banyak hutangnya dan tidak sanggup lagi membayarnya,
sedangkan hutangnya dalam keridloaan Allah
Fisabilillah Orang yang berjuang di jalan kebaikan
Ibnu Sabil seseorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan mencapai suatu tujuan atau
kemabli ke tempat semula
Sumber : disarikan dari manan (2005: 199) ( Sabiq: 2000)

Pembahasan
Dalam menyalurkan zakat bisa dilakukan langsung kepada mustahik (penerima
zakat) ataupun dilakukan dengan perantara amil. Pada zaman rasulullah maka rasulullah
sering mengutus wakil-wakil beliau untuk menghimpun zakat sekaligus untuk
menyalurkannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Dalam sabiq (2000) diriwayatkan
bahwa pada zaman Abu Bakar dan Umar juga melakukan hal yang sama seperti pada zaman
Rasulullah namun pada zaman usman berbeda halnya dikarenakan banyaknya harta yang
tersembunyi sehingga pengelolaan zakat diserahkan langsung pada si pemilik harta atau
muzaki tersebut. Masih dalam buku yang sama bahwa Iman Syafi‘I menyebutkan bahwa
menyerahkan zakat kepada pemerintah yang adil adalah lebih baik sedangkan menurut
mahzab Hambali lebih baik menyerahkannya sendiri, tetapi jika diserahkan kepada
pemerintah juga tidak masalah. Dijelaskan juga bahwa menyalurkan zakat boleh disalurkan
kepada pemerintah adil maupun yang dzalim. Dengan demikian maka tanggungan
pemabayar zakat sudah gugur. Tetapi jika dikhawatirkan pemerintah tidak dapat
menyalurkan zakat dengan tepat maka lebih baik menyalurkan sendiri kepada mustahik,
kecuali jika pemerintah atau petugas memintanya.Di Indonesia sendiri terkait dengan
penyaluran zakat maka sejak tahun 1950an pemerintah sudah membentuk lembaga amil
zakat yang kita kenal dengan Badan Amil Zakat. Selain keberdaan BAZ maka banyak pula
muncul Lembaga Amil Zakat yang didirikan oleh masyarakat yang sering kita kenal sebagai
Lembaga amil Zakat. Dalam perkembangan kinerja pengelolaan zakat maka keberadaan
Lembaga Amil Zakat belum optimal dalam mengumpulkan zakat. Menyikapi hal tersebut
maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang terbaru tentang zakat yaitu Undang-undang
No 23 Tahun 2011 yang dimaksudkan untuk semakin mengoptimalkan peran organisasi
pengelola zakat. Dalam UU tersebut pengelolaan zakat diartikan sebagai kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat. Kriteria harta yang perlu dizakati menurut UU zakat ini adalah
Sebagai berikut :
a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan perikanan
f. pertambangan;
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa; dan
i. rikaz.
300
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Mendasarkan pada undang-undang tersebut maka tujuan pengelolaan zakat adalah


untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan. Efisiensi zakat sendiri akan tercapai jika ada kejelasan dalam
system pembayaran, komputerisasi dalam pelayanan dan juga ada komite pengawasan serta
adanya system desentralisasi dalam pengelolaan zakat. (Wahab&Rahman 2013) Dalam
rangka mewujudkan efisiensi serta efektifitas maka berdasarkan UU no 23 tahun 2011
pemerintah membentuk BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) untuk melaksanakan
pengelolaan zakat. Pada dasarnya badan amil zakat sudah ada pada undang-undang
pengelolaan zakat seblumya yaitu UU No 38 tahun 1999.
Menguatanya peran pemerintah dalam pengelolaan zakat berdasarkan pada Undang-undang
pengelolaan zakat tahun 2011 disinyalir akan memebatasi ruang gerak masyarakat yang
selama ini sudah berperan aktif dalam pengelolaan zakat. Hal ini tampak pada pasal berikut
ini:
Pasal 5 ayat 1 bahwa ― Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah
membentuk BAZNAS‖
BAZNAS sendiri merupakan lembaga pemerintah non structural yang bersifat
mandiri dan bertanggungjawab kepada presiden melalui menteri. Dalam pelaksanaan
tugasnyadi propinsi maupun kabupaten maka dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota. Pasal tersebutlah yang dianggap akan mengembalikan peran dominan
pemerintah dalam hal pengelolaan zakat. Namun pada prinsipnya hal tersbut sebenarnya
tidak berbeda dengan uu pengelolaan zakat sebelemunya yaitu UU No 38 tahun 1999 dalam
pasal 6 yang berbunyi :
(1) Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh
pemerintah.
(2) Pembentukan badan amil zakat :
a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen
agama
propinsi;
c. daerah kabupaten atau daerah kota oleh bupati atau wali kota atas usul
kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan.
Dapat dilihat dari pasal tersebut bahwa pada prinsipnya keberadaan pemerintah
dalam pengelolaan zakat diwujudkan dengan dibentuknya Organisasi Pengelola Zakat (OPZ)
milik pemerintah atau yang kita kenal dengan BAZNAS. Berdasarkan pasal dalam kedua
undang-undang tersebut dapat dilihat bahwa ada kesamaan ketika badan amil zakat milik
pemerintah diberikan kesempatan untuk membentuk lembaga amil zakat secara structural
sampai di kecamatan.
Lalu apakah benar bahwa keberadaan undang-undang zakat terbaru dianggap
mengembalikan paradigma government dalam pengelolaan zakat? Apakah peran
peemerintah terlalu dominan dalam pengelolaan zakat sehingga mengesampingkan semangat
governance yang selama ini sudah dibangun oleh masyarakat dengan munculnya lembaga
amil zakat yang didirikan oleh masyarakat. Governance sendiri menyangkut suatu proses
interaksi antar institusi baik intitusi Negara maupun non Negara untuk mengatasi persoalan
publik (Davis dan Keating dalam Sudarmo :2011: 72). Artinya bahwa paradigma governance
meletakkan prinsip dalam pengelolaan permasalahan publik tidak ada aktor dominan dalam

301
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pelaksanaannya, terjadi interaksi dan kerjasama antar angle baik dari pemerintah, masyarakat
maupun swasta. Mendasarkan pada hal tersebut maka keberadaan masyarakat dalam
pengelolaan zakatdapat dilihat dalam pasal 17 berikut :
―Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ‖
Mendasarkan pada pasal tersebut maka peran masyarakat dalam pengelolaan zakat
masih tetap diakomodir dalam undang-undang zakat terbaru tersebut. Munculnya kontra
terhadap undang-undang tersebut adalah karena adanya persyaratan ketat bagi LAZ untuk
bisa berperan aktif dalam pengelolaan zakat. Hal itu dapat dilihat dari pasal 18 berikut ini:
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat;
dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Persayaratan yang disampaikan dalam pasal tersebut adalah untuk mewujudkan akuntabilitas
dalam pengelolaan zakat. Menjamurnya lembaga amil zakat yang didirikan oleh masyarakat
tanpa diimbangi oleh mekanisme pengawasan yang jelas maka akan membuka berbagai
peluang terjadinya penyimpangan dana zakat. Hal ini tentu saja sejalan dengan semangat dari
governance, bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan melibatkan aktor-aktor
baik dalam maupun luar pemerintah adalah salah satunya untuk mewujudkan akuntabilitas
dan keterbukaan. Akuntabilitas dan keterbukaan dibangun dalam rangka untuk menciptakan
kepercayaan masyarakat terhadap organisasi pengelola zakat. Transparansi dan keterbukaan
menjadi hal yang sangat penting dalam mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Oleh karena
itu diperlukan pedoman atau standar baku dalam menciptakan keterbukaan. (Htay&Salman
:2014; Ansoriyah dkk:2012). Maka aspek yang menonjol dalam undang-undang zakat
terbaru adalah adanya aspek pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana
dalam pasal 19 berikut :
―LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala
Hal ini tentu saja dibangun bukan untuk membatasi ruang gerak lembaga amil zakat yang
telah dibentuk masyarakat, tetapi untuk menjamin adanya pengawasan dalam upaya untuk
meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga zakat serta meminimalisir terjadinya
penyelewengan dana zakat.
Sebagaimana disampaikan (Tokidis&Amstrong & Francis :2005) bahwa pada prinsipnya
antara public sector dan community sector adalah memiliki kesamaan yaitu untuk Social,
Environmental & Economic Improvement . UNDP sendiri menjelaskan bahwa tujuan utama
dari governance adalah untuk membangun kapasitas yang dibutuhkan untuk mewujudkan
pembangunan yang memberikan prioritas bagi masyarakat miskin, kemajuan perempuan,

302
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
lingkungan yang berkelanjutan dan menciptakan kesempatasn bagi tenaga kerja maupun
masayarakt pencari kerja (1994) Governance didefinisikan sebagai pelaksanaan kewenagan
baik secara politik ekonomi maupun administrative untuk mengelola permaslaahan publik.
Pelakasanaan tersbut merupakan suatu mekanisme, proses dan relationship yang kompleks
untuk mampu mengartikulasikan kepentingan masyarakat , serta memperhatikan perbedaan
baik dalam hak maupun kewajiban. Governance juga dapat dimaknai sebagai suatu
keseluruhan metode baik yang buruk atau yang baik yang digunakan oleh sebuah societies
dalam mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumder daya dan masalah publik
.(UNDP:1994:9). Pendapat tersebut memberikan penjelasan kepada kita bahwa dalam
pengelolaan sumber daya zakat memerlukan kerjasama antara elemen, tidak hanya dengan
mengandalkan baik pemerintah saja maupun hanya bersandar pada masyarakat. Maka
semangat governance dalam undang-undang zakat ini justru semakin jelas dengan adanya
kesempatan bagi masayarakat untuk terlibat dalam pengelolaan zakat. Hal ini dapat kita lihat
pada pasal berikut ini 16 di bawah ini :
―Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan
BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat
kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya‖

Masih fokusnya pengelolaan zakat pada zakat personal, menajdikan zakat perindustrian
sebagaimana disebutkan sebagai salah satu objek zakat belum tergali secara maksimal.
Adanya kesempatan membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ )baik di instasi pemerintah
maupun swasta akan mampu menyerap dana zakat yang lebih maksimal. Selain itu adanya
kesempatan membentuk UPZ dalam lingkup kecamatan, kelurahan ataupun tempat ibadah,
maka hal ini akan menjadikan lembaga pengelola zakat semakin dekat dengan masyarakat
baik muzaki maupun mustahik. Kedekatan secara geografis ini akan mampu memberikan
peluang bagi UPZ untuk lebih dekat dan memahami permasalahan masyarakat dan juga
potensi zakat di daerah masing-masing. Peran serta masyarakat juga dapat dilihat dari pasal
35 di bawah ini :
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap
BAZNAS dan LAZ.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui
BAZNAS dan LAZ; dan
b. memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh BAZNAS dan LAZ; dan
b. penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
Berdasarkan pada pasal tersebut, nampak terlihat bahwa undang-undang pengelolaan zakat
tahun 2011 memberikan kesempatan partisipasi bagi masyarakat untuk terlibat dalam
pengawasan terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan baik oleh BAZNAS maupun oleh
lembaga amil zakat.

303
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Kesimpulan
Zakat sebagai sebuah ibadah yang bertujuan untuk memurnikan dan mensucikan,
memiliki makna pemberdayaan dan juga pemerataan. Zakat apabila dikelola dengan baik dan
terorganisir akan mampu berkontribusi dalam pengentasan kemiskinan. Ketidakefektifan
pengelolaan zakat karena selama ini masyarakat masih banyak memilih untuk menyalurkan
zakatnya secara mandiri, rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga zakat baik
pemerintah maupun yang didirikan masyarakat. Kehadiran Undang-undang No 23 Tahun
2011 memberikan peran optimal bagi pemerintah untuk mengelola zakat dengan tanpa
menghilangkan peran masyarakat dalam pengelolaan zakat. Esensi governance yang
terpenting adalah membangun jejaring, kemitraan dan pasar (Piere dan Peters,2000:1) .
Maka dalam undang-undang tersebut sudah mampu mengakomodir kemitraan dan jejaring
dalam pengelolaan zakat. Hal positif yang perlu dimaksimalkan dalam pelaksanaan undang-
undang pengelolaan zakat ini adalah ketika diberikannya kesempatan bagi BAZNAS baik
pusat, propinsi maupun Kabupaten untuk membentuk UPZ. Hadirnya UPZ di lembaga
pemerintah akan mampu memaksimalkan zakat di lembaga pemerintah, demikian pula
keberadaan UPZ sampai pada level kelurahan ataupun tempat ibdah akan lebih mampu
mengenali potensi zakat serta kebutuhan masyarakat setempat. Hal yang patut diharapkan
untuk mampu mendongkrak potensi zakat adalah hadirnya UPZ di sector swasta yang akan
membuka peluang maksimalnya zakat dari sector perindustrian. governance meliputi para
partisipan/peserta dari luar pemerintah yang dikenal sebagai stakeholder yang memiliki hak
untuk dilibatkan baik dalam pembuatan keputusan maupun pelaksanaan dari keputusan
tersebut (Denhardt&Denhardt: 2003:84). Hal yang menjadi kunci dalam pelaksanaan aktor-
aktor governance mendasarkan pada undang-undang zakat adalah adanya pengawasan yang
harus diselenggarakan baik oleh BAZNAS maupun oleh masyarakat.

Daftara Pustaka
Abdul manan. 2005. Kesempurnaan Ibadah Ramadhan. 2005.Penerbit Republika. Jakarta
Ansoriyah, Faizatul, Nora Nailul Nailul, Diah Kusumawati.2013. Pencapaian target MDGs
bidang Kemiskinan Melalui Model edukasi Peningkatan Kesadaran Berzakat di
Kota Surakarta Proceeding Paper Dinamika gender Menuju Akselerasi Pencapaian
MDGs
Carr,Edward R.2008. Rethingking Poverty Alleviation: a ‗poverties‘ approach. Development
In Practice
Denhadrt, Janet V dan Denhardt, Robert B.2003. The New Public Service, Serving, Not
Steering. M.E.Sharpe.London
Garder, Anne Marie. 2011. Democratic Governance and Non State Actors. Palgrave
Macmillan, the United States
Hamzah, Asiah. Policy Tacking the poorness and hunger in Indonesia: Reality and study,
Jurnal AKK.vol 1Nomor 1, September 2012 P: 1-55
Htay,S.N.N dan Salman,S.A. 20014.Proposed Best Practices of Financial Information
Disclosure for Zakat Institutions : A Case Study of Malaysia. World applied
Sciences Journal.Vol 30.Issue 30.p 228-294
Niemiets,Kristian. 2011.A New Understanding of Poverty : Poverty Measurement and Policy
Implication. The Institute of Economic Affairs.2011
Pierre, Jon dan Peters.B. guy.2000. Governance Without Government?Rethingking Public
Administration Research and Theory. Inc. Public Management research Association.
Rhodes, R.A.W.1996. The New Governance: Governing Without Government, Political
Studies.pp.652-667

304
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Sabiq, Sayid. 2000. Fiqh Sunah Jilid I. Al Ihtosom. Jakarta
Sudarmo, 2011. Isu-Isu Administrasi Publik dalam Perspektif governance, Surakarta : Smart
Media
Stoker, G., 1998, Governance as Theory: Five Propositions, International Social Science
Journal, Vol. 155, Oxford, United Kingdom: Blackwell Publishers, pp. 17 – 28.
Totikidis V1, Armstrong A F & Francis R D. The Concept of Community Governance: A
Preliminary Review. Refereed paper presented at the GovNet Conference,
Monash University, Melbourne, 28-30th November, 2005
United Nation Development Programme. Reconceptualizing Governance.1997. Mangement
Development and Governance Division. Bureau for Policy and Programme Support.
Wahab, Rahman.2013. Determinants of Efficiency of Zakat Institutions in Malaysia : A Non
Parametric Approach. Asian Journal of Business and Accounting.Vol 6. Issue 2.
P.33-64
UU No 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
UU No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/01/22/mzscm3-baznas-potensi-
zakat-baru-terpenuh-satu-persen.

305
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
UPACARA RITUAL MAHESA LAWUNG KERATON SURAKARTA: MEDIA
KOMUNIKASI BUDAYA

Firdastin Ruthnia Yudiningrum


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
firda.ry@gmail.com

Abstrak
Pada masyarakat Jawa di mana terdapat banyak peninggalan kerajaan dan kesultanan
seperti Keraton Surakarta,Yogyakarta, dan Cirebon. Hingga saat ini banyak tradisi berupa
adat dan kebiasaan kerajaan yang masih dilestarikan. Salah satu prosesi ritual yang menarik
adalah upacara ―Ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta di Hutan Krendhawahana
Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar+ yang dilaksanakan setiap tahun pada
dino pungkasan wulan Bakdo mulud menurut perhitungan tahun Jawa, tepatnya pada hari
Senin atau Kamis. Upacara ini telah dilaksanakan secara turun – temurun sehingga
merupakan tradisi dan berkaitan dengan tatacara dalam suatu kepercayaan tertentu.
Pelaksanaan upacara ritual di tempat terbuka tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan lebih banyak kepada masyarakat luas agar bisa menyaksikan
langsung dan mengetahui lebih banyak lagi hal – hal berkaitan dengan proses ritual dan
pusaka tersebut dari sumber – sumber terpercaya. Upacara ritual ini diselenggarakan oleh
pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar bekerja sama dengan Keraton Kasunanan
Surakarta.
Anehnya, hingga kini masih sangat jarang ada peneliti yang tertarik untuk mengkaji
secara mendalam hal tersebut. Pelaksanaan upacara Mahesa Lawung dari tahun ke tahun
cenderung monoton dan dampak yang ditimbulkan tidak diketahui secara pasti. Berbagai
penelitian mengenai tradisi yang pernah dilakukan hanya menitikberatkan perhatian pada
aspek ekonomi, yaitu dalam kaitannya dengan usaha mengembangkan pariwisata sebagai
salah satu sumber pendapatan daerah (PAD). Sedangkan kajian mengenai fungsinya sebagai
media pewarisan budaya kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu penelitian ini
bermaksud untuk meneliti upacara ritual Mahesa Lawung dari perspektif komunikasi, dengan
memandang kegiatan tahunan makna upacara ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta di
Hutan Krendhawahana Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyari sebagai proses
pewarisan nilai–nilai budaya.
Kata kunci: Upacara ritual Mahesa Lawung, Keraton Surakarta, Media Komunikasi
Budaya.

Pendahuluan
Memudarnya ―nilai–nilai Timur‖ dan terjadinya erosi budaya lokal adalah salah satu
dampak negatif globalisasi secara kultural. Pada masyarakat Jawa, khususnya yang lahir
pada paruh abad ke-20 erosi budaya lokal tersebut tampak dari fenomena–fenomena berikut
ini:
1. Memburuknya penguasaan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sehari–hari. Saat ini
jarang dijumpai adanya percakapan sehari–hari dalam masyarakat Jawa Tengah dan
Yogyakarta yang menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar. Penggunaan bahasa
Jawa lebih terbatas pada acara–acara resmi seperti resepsi pernikahan, hajatan, upacara
pemakaman, dan ritual lain di mana terdapat peran dominan kaum tua.

306
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
2. Kurangnya pengetahuan mengenani nilai–nilai luhur yang terkandung dalam berbagai
tradisi nenek moyang. Generasi muda lebih memahami beragam tradisi tersebut sebagai
tontonan dan hiburan semata daripada makna–makna yang tersirat di dalamnya.
3. Makin ditinggalkannya prosesi–prosesi ritual oleh masyarakat baik karena
ketidaktahuan maupun karena berbagai alasan lain yang erat kaitannya dengan ide–ide
modernitas.
4. Adanya pandangan bahwa ritual–ritual tersebut lebih merupakan acara seremonial yang
hanya merupakan pemborosan.
Keadaan tersebut diperburuk oleh kurangnya usaha generasi tua dalam mewariskan
nilai–nilai budaya luhur bahkan banyak aset budaya yang nyaris hilang karena kurangnya
perhatian mengenai hal tersebut. Beberapa usaha sosialisasi dan pewarisan budaya yang
telah dilakukan tampak kurang efektif karena ketidaksesuaian media yang digunakan dengan
kemajuan jaman yang sarat dengan teknologi dan pergeseran sistem komunikasi masyarakat
yang mengarah pada low context communication, yaitu komunikasi dengan konteks rendah
di mana lambang memiliki lebih sedikit makna dan konteks yang lebih sempit (Hall dalam
Mulyana, 2002:294).
Kemajuan adalah suatu proses yang tidak boleh dihambat, namun demikian berbagai
dampaknya juga perlu diantisipasi (Jahi,1988:38). Lebih lanjut Amri Jahi menambahkan
bahwa surutnya penampilan media tradisional di Indonesia, antara lain disebabkan oleh:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak,
bioskop, radio dan televisi.
2. Penggunaan bahasa nasional dan internasional di sekolah–sekolah yang mengakibatkan
berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang–orang dan generasi terdahulu yang menaruh minat
pada pengembangan media tradisional ini.
4. Berubahnya selera generasi muda dari tradisional menjadi modern.
Dalam konteks komunikasi budaya, media tradisional menurut Andrik Purwasito
(2002:5) dapat berarti semua bentuk saluran komunikasi yang digunakan oleh masyarakat
sebagai wahana perubahan sosial dan perubahan budaya. Dikatakan tradisional karena telah
digunakan secara turun – temurun dari generasi ke generasi.
Pada masyarakat Jawa di mana terdapat banyak peninggalan kerajaan dan kesultanan
seperti Keraton Solo, Yogyakarta, dan Cirebon. Sampai saat ini banyak tradisi berupa adat
dan kebiasaan kerajaan yang masih dilestarikan. Salah satu prosesi ritual yang menarik
adalah upacara ―Ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta di Hutan Krendhawahana
Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar yang dilaksanakan setiap tahun pada dina
pungkasan wulan Bakdo Mulud menurut perhitungan tahun Jawa, tepatnya pada hari Senin
atau Kamis. Upacara ini telah dilaksanakan secara turun–temurun sehingga merupakan
tradisi dan berkaitan dengan tatacara dalam suatu kepercayaan tertentu. Menurut Dloyana
Posumah dan Supanto (1988:78), tujuan upacara adat ini yaitu untuk membersihkan dari
malapetaka, meningkatkan kemakmuran, dan menjaga keselamatan di seluruh wilayah
Keraton Surakarta, sedangkan puncak ritual Mahesa Lawung ini berlangsung di Hutan
Krendhawahana Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.
Pelaksanaan upacara ritual di tempat terbuka tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan lebih banyak kepada masyarakat luas agar bisa menyaksikan secara
langsung dan mengetahui lebih banyak lagi hal–hal berkaitan dengan proses ritual dan kirab
benda-benda pusaka tersebut dari sumber–sumber terpercaya. Upacara ritual sebagai salah
satu wujud pariwisata berbasis budaya ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Karanganyar bekerja sama dengan Keraton Kasunanan Surakarta.

307
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Namun demikian sampai saat ini masih sangat jarang ada peneliti yang tertarik untuk
mengkaji secara mendalam hal tersebut. Pelaksanaan upacara Mahesa Lawung dari tahun ke
tahun cenderung monoton dan dampak yang ditimbulkan tidak diketahui secara pasti.
Berbagai penelitian mengenai tradisi yang pernah dilakukan hanya memfokuskan perhatian
pada aspek ekonomi. Kegiatan-kegiatan yang semata-mata diselenggarakan dalam kaitannya
dengan usaha mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah
(PAD). Sedangkan kajian mengenai fungsinya sebagai media pewarisan budaya kurang
mendapat perhatian. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk mengkaji upacara ritual
Mahesa Lawung dari perspektif komunikasi budaya sebagai suatu model pembangunan
pariwisata berbasis budaya. Peneliti berusaha mengungkap peran dan makna upacara ritual
Mahesa Lawung Keraton Surakarta di Hutan Krendhawahana Kecamatan Gondangrejo
Kabupaten Karanganyari sebagai proses pewarisan nilai – nilai budaya Jawa yang adiluhung
dan kini terancam punah oleh perkembangan zaman.

Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif merupakan studi yang mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam
mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di
lapangan studi (Sutopo, 2011:111). Deskripsi merupakan dasar untuk semua penyelidikan
ilmiah dan penyusunan formasi deskriptif meliputi kegiatan mendata atau mengelompokkan
sederet unsur yang terlihat sebagai pembentuk suatu bidang persoalan yang ada (Black,
1992:6).
Meskipun penelitian ini dilakukan di dua lokasi, yaitu Keraton Surakarta dan Hutan
Krendhawahana Gondangrejo Karanganyar, akan tetapi yang digali adalah informasi
mengenai satu kasus yang merupakan rangkaian atau sering disebut sebagai studi kasus
tunggal. Penelitian ini bermaksud menjelaskan tentang suatu situasi sosial, oleh karena itu
permasalahan serta fokus penelitian sudah ditentukan, maka penelitian ini dapat disebut
sebagai studi kasus terpancang. Sumber data dalam penelitian ini adalah kata – kata dan
tindakan, sedangkan selebihnya adalah data tambahan seperti arsip atau dokumen, studi
pustaka, dan lain – lain. Dalam prakteknya satu penelitian tidak selalu menggunakan seluruh
jenis sumber data tersebut akan tetapi dapat ditetapkan beberapa diantaranya yang sesuai
dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai (Sutopo, 2002:112).
Strategi pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua cara, yaitu : metode atau teknik pengumpulan data yang bersifat
interaktif dan non interaktif. Metode interaktif meliputi wawancara mendalam, observasi,
dan Focus Group Discussion (FGD); sedangkan metode non interaktif meliputi kuesioner
dan mencatat dokumentasi. Dalam penelitian kualitatif ini sumber data tidak mewakili
populasinya tapi lebih mewakili informasinya. Oleh karena itu, sesuai jenisnya, penelitian ini
lebih mengutamakan teknik purposive sampling (Goetz and Compte, 1984; Sutopo,
2002:56). Dalam penelitian ini pengumpulan data dimulai sejak dari awal sampai yang
paling kompeten sesuai dengan masalah – masalah yang diteliti dan dilanjutkan dengan
wawancara intensif dengan narasumber lain yang lebih menguasai masalahnya. Dalam
penelitian kualitatif memang tidak harus ada sampel acak, tetapi yang ada sampel bertujuan
(purposive sample). Dengan demikian dalam penelitian ini jumlah sampel tidak harus
dibatasi tetapi lebih ditentukan oleh tingkat kecukupan informasi mengenai masalah –
masalah yang diteliti dan tujuan penelitian tersebut.
Tingkat kebenaran atau validitas informasi mengenai permasalahan dalam penelitian
ini ditentukan dengan metode triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang

308
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut. Empat macam triangulasi yang umum adalah
pemanfaatan sumber, metode, peneliti, dan teori (Moleong, 1991:178). Dalam penelitian ini
validitas atau pemantapan dan kebenaran informasi dicapai dengan menggunakan dua teknik
triangulasi yaitu triangulasi sumber dan triangulasi metode.

Metode Analisis Data


Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk
mendapatkan simpulan–simpulan mengenai permasalahan penelitian. Penelitian kualitatif
menggunakan analisis data secara induktif, oleh karena itu penelitian kualitatif juga disebut
naturalistic inquiry (Sutopo, 2002:39). Data penelitian ini dianalisis secara induktif dengan
menggunakan metode analisis interaktif dari Miles dan Huberman (1984:23) yang dapat
divisualisasikan sebagai berikut :

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan /
Verifikasi

Sesuai dengan model interaktif tersebut proses analisis data terdiri dari tiga
komponen utama yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan verifikasi. Dalam
interactive model of analysis, ketiga kegiatan tersebut merupakan proses siklus dan bersifat
interaktif di mana tiap – tiap kegiatan tidak merupakan tahap yang terpisah akan tetapi dapat
berjalan bersama dan saling melengkapi (Sutopo, 2002:93).

Pembahasan
Komunikasi budaya sebagai konsep sentral dalam penelitian ini dijelaskan melalui
pengertian dua konsep pembentuknya yaitu ―komunikasi‖ dan ―budaya‖. Berdasarkan
definisi Laswell (Mulyana, 2010), dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling
bergantung satu sama lain, sebagai beirkut :
a. Sumber atau pengirim, penyandi, komunikator, pembicara, originator yaitu pihak
inisiatif atau yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi.
b. Pesan yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber pada penerima.
c. Saluran atau media yaitu alat/ wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan
pesannya pada penerima.
d. Penerima atau sasaran, komunikan, penyandi balik, khalayak, pendengar, penafsir
yaitu orang yang menerima pesan dari sumber.
e. Efek atau akibat yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan.
Terhadap kelima unsur tersebut, Deddy Mulyana (2010:65) menyatakan bahwa
―terdapat unsur yang ditambahkan dalam model – model komunikasi lebih baru yaitu unsur
umpan balik (feedback), gangguan (noise), dan konteks atau situasi komunikasi‖.
Konsep kedua adalah ―budaya‖. Menurut Raymond William dalam James Lull
(1998:77) budaya diartikan sebagai:

309
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Cara hidup tertentu yang dibentuk oleh nilai, tradisi, dan kepercayaan, obyek material
dan wilayah (teritory). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari
orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang (setting) yang
secara fundamental bertahan lama tapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi
sosial yang rutin.
Definisi tersebut menunjukan pada pengertian budaya yang lebih umum dan
menekankan pada pembentukan cara – cara hidup yang dipengaruhi oleh berbagai obyek
material maupun immaterial. Di samping itu, kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan komunikasi, seperti dikatakan oleh Edward T. Hall dalam Andrik Purwasito
(2003:3) bahwa ―Unsur – unsur budaya (norma dan nilai), kepercayaan atau agama
berpengaruh terhadap komunikasi masyarakat dan sebaliknya budaya adalah nilai dari
sebuah proses komunikasi anggota masyarakat yang berlangsung terus – menerus‖.
Dari pengertian kedua konsep tersebut dapat diformulasikan suatu pengertian
mengenai komunikasi budaya yaitu sebagai suatu proses transmisi pesan – pesan budaya
atau informasi mengenai nilai – nilai, norma – norma, kepercayaan, pandangan hidup, dan
sebagainya dari suatu sumber pada penerima. Komunikasi budaya dapat pula diartikan
sebagai suatu aktivitas komunikasi mengenai nilai – nilai dan norma – norma budaya yang
disepakati oleh para partisipan komunikasi tersebut dengan menggunakan berbagai simbol
melalui saluran atau media tertentu dari satu sumber pada penerima. Berdasarkan pendapat
Laswell di atas dapat dikatakan bahwa dalam proses komunikasi budaya juga terdapat unsur
– unsur sumber, pesan, saluran, penerima, akibat, umpan balik, gangguan maupun situasi
sebagai konteksnya.
Pemanfaatan upacara ritual Mahesa Lawung Keraton Surakarta sebagai media
komunikasi budaya tidak terlepas dari pemikiran mengenai komunikasi itu sendiri sebagai
proses yang terdiri dari beberapa unsur yang dapat digambarkan sebagai berikut (Littlejohn,
1999) :
Komunikator Pesan Saluran Komunikan Efek

Umpan Balik

Komunikator adalah orang atau pihak yang menyampaikan pesan pada komunikan.
Adakalanya komunikator sekaligus merupakan sumber pesan yaitu orang atau pihak dari
mana pesan yang dikomunikaiskan berasal, tetapi dapat juga komunikator bersifat kompleks
terdiri dari sumber pesan, penyandi pesan dan penyampai pesan. Dalam penelitian ini
komunikator bersifat kompleks karena terdiri dari sumber pesan yaitu Keraton Surakarta dan
pemerintah Kabupaten Karanganyar, serta penyampai pesan langsung yaitu para petugas
pada upacara tersebut, sedang peyandian pesan dilakukan baik oleh sumber maupun
penyampai pesan.
Pesan dalam penelitian ini berupa pesan–pesan budaya yaitu berbagai informasi
mengenai kebudayaan yang meliputi : pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat, nilai–nilai dan norma–norma khususnya budaya Jawa dan bersumber dari Keraton
Surakarta. Pesan pesan ini disampaikan oleh komunikator dengan menggunakan lambang-
lambang verbal berupa bahasa dan lambang nonverbal lainnya berupa benda, tempat dan
peristiwa. Adapaun saluran atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut
adalah prosesi upacara ritual Mahesa Lawung. Sebagai komunikan atau penerima pesan –
pesan kebudayaan adalah masyarakat Karanganyar yang merupakan pendukung budaya Jawa

310
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
dan berasal dari berbagai latar belakang sosial. Efek yang diharapkan terjadi setelah
disampaikanya pesan–pesan komunikasi budaya adalah diterimanya pesan – pesan tersebut
dalam arti bertambahnya pengetahuan masyarakat mengenai kebudayaan Jawa yang
bersumber dari Keraton Surakarta. Umpan balik atau respon yang diharapkan terjadi berupa
keterkaitan masyarakat dan partisipasi dalam pelestarian budaya Jawa baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dengan demikian kasus pada penelitian ini akan ditinjau dari segi
proses terjadinya transmisi pesan – pesan kebudayaan dari komunikator pada komunikan.
Secara skematis hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Komunikator PESAN SALURAN KOMUNI


Nilai– Prosesi KAN
nilai upacara Masyarakat
Sumber Pesan Penyampai dan ritual Karanganyar
Pesan norma Mahesa sebagai
budaya Lawung pendukung
Kraton Para petugas Jawa Keraton budaya Jawa
Surakarta upacara Surakarta
dan Pemda
Karanganyar

 Formulasi Pesan
 Pemilihan lambang verbal dan non verbal
 Interpretasi umpan balik

UMPAN BALIK
Ketertarikan pada
pelestarian budaya
Jawa
Prosesi Ritual Mahesa Lawung Kraton Surakarta di Hutan Krendhawahana
Seluruh keperluan Mahesa Lawung biasanya disiapkan dari dalam dapur Keraton
Surakarta, berupa sesajian sego gurih, gudangan, jajan pasar, dan lain-lainnya diolah juru
masak Keraton. Sekitar pukul 09.00 WIB sesajian yang sudah dipersiapkan akan dibawa
menuju Sitihinggil. Di sanalah nantinya sesajian ini akan terlebih dahulu didoakan bersama
dengan kepala kerbau yang sebelumnya telah dipotong di lokasi yang berbeda.

311
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Gambar 1. Contoh macam-macam sesaji

Tiga bahasa yaitu bahasa Jawa, Arab, dan Buddha digunakan untuk mendoakan
sesajian dan sesajen yang nantinya akan diusung menuju Hutan Krendhawahana. Hutan atau
Alas Krendhawahana terletak kurang lebih 15 kilometer ke arah timur laut Keraton
Kasunanan Surakarta atau Kota Solo. Lokasi ini adalah lokasi yang dipercaya sebagai tempat
bersemayamnya Bathari Kalayuwati atau Bathari Durga, pelindung gaib Keraton Surakarta
di bagian utara. Lokasi ini juga dipercaya sebagai tempat perundingan Pangeran Diponegoro
dan pihak keraton untuk melawan Belanda pada masa penjajahan.
Seluruh sesajian dan sesajen pada akhirnya akan dibawa menuju hutan
Krendhawahana yang hingga sekarang terkenal angker itu. Sesajian dan sesajen ini nantinya
akan diletakkan di Punden Bathari Durga yang berada di tengah hutan (alas-bahasa Jawa).
Sesaji yang berupa barang masak dan sesajen yang berupa barang mentah ini pun memiliki
makna tersendiri dalam ritual adat ini. Sesajen yang berupa kepala kerbau, jerohan, dan kaki
kerbau diartikan sebagai kebodohan (kepala) dan kekotoran (jerohan).

Gambar 2. Sesajen yang diletakkan di atas batu

Karena itu sifat-sifat buruk ini nantinya harus dibuang atau ditinggalkan dari
kehidupan manusia dengan cara dikuburkan dalam liang yang sudah digali di sekitar punden.
Sementara sesajian matang nantinya akan dibagikan kepada mereka yang hadir di tempat
upacara tersebut. Dalam sesajen ada juga berbagai jenis walang (belalang) yang digunakan
sebagai simbol rakyat kecil.
Prosesi Upacara Adat Mahesa Lawung :
Di Keraton Kasunanan Surakarta
1. Prosesi ritual ditandai dengan keluarnya berbagai sesaji (Ada ayam panggang, nasi
putih, pisang, kelapa muda, kepala kerbau, bunga tujuh rupa serta bunga matahari yang
312
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
dibentuk, menyerupai orang) dari Dalem Gondorasan (dapur keraton) sekitar pukul
09.00 WIB langsung dibawa ke Sitihinggil Keraton,

Gambar 3. Para abdi dalem sedang menunggu sesaji di Sitihinggil Keraton.

Di Sitihinggil Keraton Surakarta acara dipimpin oleh Kyai Gusti Pangeran Puger.
Pada intinya Pangeran Puger memberikan perintah kepada Abdi Dalem untuk membacakan
doa dan membawa sesaji ke hutan Krendhawahana.
2. Macam-macam sesaji diletakkan di Sitihinggil Keraton, di atas meja panjang yang
dikelilingi oleh para adbi dalem, kemudian dipanjatkan doa selama kurang lebih 30
menit.
3. Semua sesaji dan kepala kerbau yang ditutup kain putihpun dibawa bersama rombongan
ke hutan Krendawahana. yang terletak di Desa Krendhawahana, Kecamatan
Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar atau sekitar 20 km dari Keraton Surakarta.
Ritual Mahesa Lawung di Hutan Krendhawahana
1. Sesampai di Hutan Krendawahana, sesaji Mahesa Lawung beserta ubarampe-nya
diletakkan di tempat khusus, yakni di sebuah punden yang letaknya di bawah pohon
beringin putih yang cukup besar. Punden tersebut tiada lain yang selama ini diyakini
tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati, pelindung gaib keraton di bagian utara.
2. Prosesi ritual diawali dengan penyampaian maksud dan tujuan ritual. Dilanjutkan
dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh KRT Pudjodiningrat, bertindak sebagai
pemimpin, yang lain menyambut lantunan doa dengan kata rahayu.
3. Usai ritual doa dan pembacaan mantra-mantra sakti, dilanjutkan memendam kepala
kerbau dan sesaji yang terdiri atas barang-barang mentah lain di sekitar punden. Sebagai
tumbal untuk mencari keselamatan dan kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan.
4. Setelah itu dibacakannya sejarah mengenai mahesa lawung.
5. Sesaji yang terdiri atas barang-barang matang, seperti nasi uduk, gudangan, jajan pasar,
dan lainnya dibagikan kepada para pengunjung yang hadir dalam upacara itu. Ada
kepercayaan, barang siapa bisa mendapatkan atau memakan barang-barang yang
digunakan untuk sesaji itu, apa yang diinginkan kemungkinan besar akan terkabul.

313
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Kesimpulan
Upacara ritual Mahesa Lawung merupakan media tradisional dan dapat
dimanfaatkan sebagai media komunikasi budaya yang tepat karena adanya beberapa alasan
sebagai faktor pendukungnya yaitu adanya keterkaitan historis antara masyarakat kecamatan
Gondangrejo dengan Keraton Surakarta, adanya proximitas sosio demografis antara
masyarakat Gondangrejo dengan Keraton Surakarta, adanya hubungan psikologis tertentu
antara masyarakat Godangrejo dengan Keraton Surakarta, adanya keterkaitan struktural
antara wilayah Karanganyar dengan Keraton Surakarta, bahasa yang digunakan serta waktu
dan tempat penyelenggaraan upacara yang tepat.
Dalam komunikasi budaya melalui media tradisional berupa upacara ritual Mahesa
Lawung terdapat beberapa wujud budaya Jawa yang dikomunikasikan yaitu wujud budaya
sebagai ide-ide, gagasan dan nilai-nilai, wujud budaya sebagai aktivitas kelakuan berpola
dan wujud budaya fisik atau budaya material. Ketiga wujud budaya ini dikomunikasikan
secara bersama tidak terpisah satu dengan yang lain sehingga satu simbol boleh jadi
mengandung lebih dari satu wujud budaya.
Sesuai dengan isi dan maksudnya yaitu nilai-nilai budaya Jawa yang
dikomunikasikan kepada masyarakat dari berbagai latar belakang sosial maka formulasi
pesan-pesan budaya dalam proses komunikasi budaya tersebut juga disesuaikan dengan
karakteristik umum khalayak. Namun sayangnya ini kurang mendapat perhatian dari
masyarakat mengenai warisan budaya, berupa bahasa Jawa dan lambang-lambang yang
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan budaya. Bahasa dan lambang yang digunakan
seluruhnya berakar pada budaya Jawa dan nilai-nilai agama Hindu dan berupa kata-kata lisan
maupun tulisan serta berbagai simbol non verbal dalam bentuk benda, tempat dan peristiwa.
Tanggapan masyarakat terhadap upacara ritual Mahesa Lawung yang
diselenggarakan Keraton Surakarta, masyarakat menanggapinya secara dingin hal-hal sakral
yang mengandung pelajaran mengenai nilai-nilai budaya Jawa. Respon masyarakat
ditunjukkan dengan minat dan antusiasme dalam berpartisipasi yang kurang aktif pada
pelaksanaan upacara ritual beserta seluruh rangkaiannya mulai dari Keraton Surakarta
sampai di hutan Krendhawahana. Tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan upacara
ritual tersebut secara keseluruhan sekarang ini menjadi tidak tertarik untuk mengikuti prosesi
adat yang terkesan monoton, hanya dilaksanakan oleh abdi dalem saja. Hal ini ditunjukan
oleh adanya pemahaman masyarakat mengenai pesan-pesan budaya yang terdapat di
dalamnya meskipun masih secara garis besar. Sedang makna berbagai simbol secara rinci
sebagai bagian pesan-pesan budaya belum dipahami dengan baik sehingga kurang banyak
pendukungnya.
Tanggapan atau respon masyarakat sebagai khalayak sasaran dalam komunikasi
budaya melalui upacara ritual Mahesa Lawung di hutan Krendhawahana kurang
mendapatkan perhatian dari masyarakat. Interpretasi demikian didasarkan atas berbagai
indikator seperti : sewaktu upacara di hutan Krendhawahana tidak banyak masyarakat yang
menghadiri, hanya anak-anak kecil yang melihat dari jauh serta tidak ada organisasi
masyarakat dan organisasi politik yang terlibat. Hanya pada waktu pelaksanaan upacara
ritual di hutan Krendhawahana dihadiri beberapa wartawan baik media cetak maupun media
elektronik lokal.

Rekomendasi
Industrialisasi tak dapat dielakkan telah membawa serta kebudayaan industri.
Industri mungkin hanya bekerja atas landasan standarisasi. Produksi massal mengandalkan
konsumsi massal. Standarisasi produksi mengandalkan standarisasi selera dan gaya hidup.

314
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Akhir dari penyeragaman gaya hidup adalah homogenisasi kebudayaan. Kondisi inilah yang
melingkupi sebagian besar masyarakat Solo dan sekitarnya sebagai khalayak sasaran
komunikasi budaya melalui upacara ritual Mahesa Lawung di keraton Surakarta. Meskipun
secara kultural khalayak sasaran komunikasi budaya ini adalah pendukung budaya Jawa,
akan tetapi generasi muda khususnya yang lahir pada paruh akhir abad XX, dalam kehidupan
sehari-harinya lebih dipengaruhi oleh budaya modern dengan ciri utamanya adalah
materialisme dan pragmatisme. Pada gilirannya hal tersebut mempengaruhi pengalamannya
tentang budaya lokal yang secara sistematis melalui proses pendidikan telah termarginalisasi
sehingga respon generasi muda terhadap pesan-pesan budaya dalam upacara ritual Mahesa
Lawung tersebut cenderung dangkal dan tidak masuk akal.
Sebagai akibat terjadinya pemisahan pendidikan dari kebudayaan dan lebih
diarahkannya upacara adat tersebut sebagai aset pariwisata oleh pemerintah daerah maka
ritual, tradisi atau adat masyarakat yang mengandung banyak simbol penuh makna lebih
dipahami oleh generasi penerus sebagai tontonan daripada sebagai tuntunan. Fenomena
demikian juga terjadi pada upacara ritual Mahesa Lawung di mana Pemerintah Daerah
Kabupaten Karanganyar dan Kota Solo berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomis
tidak dapat laku dimanfaatkan sebagai aset wisata untuk mendukung pendapatan asli daerah.
Pengetahuan masyarakat mengenai pesan-pesan budaya yang dikomunikasikan masih sangat
terbatas karena masyarakat lebih menyadari proses ritual tersebut sebagai tradisi keraton saja
daripada sebagai proses transformasi atau pewarisan budaya. Oleh karena itu formulasi
pesan-pesan budaya harus diperjelas terutama yang disampaikan melalui simbol-simbol
nonverbal agar mudah dipahami dan memiliki daya tarik bagi masyarakat/turis lokal.
Respon masyarakat terhadap penyelenggaraan ritual Mahesa Lawung cenderung
posistif merupakan harapan tersendiri. Tujuan utama komunikasi budaya ini adalah
diterimanya nilai-nilai budaya Jawa oleh khlayak sasaran. Tujuan ini tidak dapat dicapai
segera setelah pesan-pesan komunikasi disampaikan, akan tetapi memerlukan waktu yang
lebih lama bahkan mungkin bertahun-tahun. Oleh karena itu komunikasi budaya melalui
ritual tersebut dijadikan agenda tahunan bagi keraton Surakarta, dan tampaknya Pemerintah
Kota Solo dan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar tidak banyak terlibat,
dikarenakan manfaat dari segi pariwisata sekarang kurang potensial sehingga kurang
mendapat perhatian pemerintah setempat.
Interpretasi umpan balik dari khalayak oleh komunikator cenderung dilakukan
secara menyeluruh tanpa dibedakan antara umpan balik mengenai penyelenggaraan upacara
Mahesa Lawung dan umpan balik mengenai pesan-pesan komunikasi budaya yang terdapat
di dalamnya. Interpretasi demikian, tidak mampu menghasilkan informasi yang tepat sebagai
dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan mengenai penyelenggaraan upacara yang
sama untuk waktu yang akan datang. Di samping itu juga tidak berpengaruh banyak pada
formulasi pesan dalam proses komunikasi selanjutnya, apalagi komunikasi budaya ini
berlangsung dalam jeda waktu yang cukup panjang yaitu satu tahun dan pelaksananya hanya
para abdi dalem saja dan orang-orang yang bertugas dalam upacara adat ini relatif sudah
berusia lanjut.

Daftar Pustaka
Berco, Roy M.; Andrew D Wolvin Drlyn. 1998. Communication : A Social and Career
Focus. Hongton Miffin Company.
David, Kaplan; & Manners Albert A. 2002. Terapi Budaya. Terjemahan landung
Simatupang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

315
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Hagen, Guy; Dennis K. Killinger; and Richard B. Streeter. 2011. An Analysis of
Communication Networks Among Tampa Bay Economic Development
Organizations. University of New South Wales.
James ,W Carey. 1992. Communication As Culture: Essay on Media and Society. Media and
Popular Culture, London Roudledge.
James A, Black; & Dean J Champion. 1992, Metode dan Masalah Penelitian Sosial.
Terjema-han E Koeswara, dkk. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communication. California : Wadsworth
Publishing Company.
Miller, Jade L. 2012. A Social Network Analysis of Coproduction Relationships in High
Grossing Versus Highly Lauded Films in the U.S. Market. International Journal of
Communication 5.
Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy; dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Satoto, Budiono Heru. 1994. Simbolisme dalam budaya Jawa. Yogyakarta : PT Hannindita.
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi 2. Surakarta : UNS Solo Press.

316
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
DOMINASI MODERNITAS DALAM MASYARAKAT ADAT RAJA AMPAT
(Studi Kasus Di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat)

George Mentansan
Universitas Papua Manokwari Papua Barat
george_mentansan@yahoo.com

Abstrak
Waisai merupakan ibukota Kabupaten Raja Ampat yang baru dimekarkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor. 26 tanggal 3 Mei 2002. Kabupaten Raja Ampat
termasuk wilayah administrasi Provinsi Papua Barat yang terdiri atas empat pulau besar
yaitu Pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, serta lebih dari enam ratus sepuluh pulau
kecil. Raja Ampat juga dapat dikatakan sebagai wilayah Multikulturalisme karena didiami
oleh berbagai kelompok etnik seperti suku Maya yang disebut suku asli Raja Ampat, suku
migrasi dari Ternate dan Tidore yang biasa disebut Umka/Umkai dan migrasi orang dari
kepulauan Biak dan Numfor yang disebut Beser/Betew
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang hidup dengan nilai-nilai dan
norma tradisi sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sistem peralatan dan
perlengkapan hidup yang masih sederhana, hubungan kekerabatan yang masih sangat akrab,
religi dan kesenian merupakan satu kesatuan yang utuh dalam membangun harmonisasi
dengan alam, ternyata diperhadapkan pada sebuah fenomena modernitas yang lahir sebagai
penakluk dengan perangkat-pendukungnya seperti ekonomi kapitalis, industrialisasi,
eksploitasi sumberdaya alam, pengawasan dari kelompok dominan, rasionalisasi nilai-nilai
dan sekulerisasi telah bergerak cepat menyerang dan mendominasi masyarakat adat Raja
Ampat tanpa mengenal batas wilayah dan batas adat. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan kondisi, bentuk dominasi dan dampak dominasi modernitas dalam
masyarakat adat Raja Ampat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modernitas telah mendominasi sebagian besar
kehidupan masyarakat adat Raja Ampat seperti bidang ekonomi dengan terbukanya lapangan
pekerjaan yang semakin bervariasi; bidang sosial teknologi informasi dan komunikasi yang
memberi kemudahan kepada masyarakat dalam berinteraksi. Dominasi modernitas ini pun
meninggalkan luka yang perih dengan adanya kehidupan yang dituntut untuk bergerak
cepat, tepat, efektif, efisien dan termediasi oleh produk-produk modernitas di Kota Waisai
kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat.
Kata kunci: Dominasi, modernitas, masyarakat adat, waisai

Pendahuluan
Waisai sebagai ibu kota Kabupaten Raja Ampat merupakan bagian wilayah
administrasi dari Provinsi Papua Barat yang terdiri atas empat pulau besar yaitu Pulau
Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, serta lebih dari enam ratus sepuluh pulau-pulau kecil.
Luas wilayah kabupaten Raja Ampat sebesar 8.034,440 Km2 (berdasarkan Permendagri No.6
Tahun 2008), yang terdiri dari luas lautan hampir 70% dan daratan 30% . Secara efektif
waisai sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan berjalan sejak tahun 2003 dengan luas
wilayah 54.841 Km2, yang terdiri dari empat kelurahan dan memiliki jumlah penduduk 6.976
orang dengan kepadatan per kilometer persegi 127,21 jiwa, yang merupakan daerah
penduduk terbanyak dari dua puluh empat distrik (Kabupaten Raja Ampat dalam angka,
2011).

317
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Masyarakat adat Raja Ampat secara tradisi telah memelihara kehidupan yang
harmonis dengan tetap menggunakan bahasa (daerah) di samping bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasi sehari-hari, sistem teknologi bercocok tanam serta mengandalkan
pengetahuan dan keterampilan sederhana yang dimiliki guna mengelola dan mengolah alam.
Berburu dan menangkap ikan, sistem ekonomi yang bernuansa kekerabatan, organisasi
sosial, sistem pengetahuan, kesenian, serta sistem religi yang terpelihara dengan baik
berlangsung secara turun-temurun. Adat-istiadat sebagai wujud kebudayaan sosial budaya
merupakan aturan atau tata cara yang mendasari tingkah laku masyarakat adat Raja Ampat.
Modernitas dengan perangkat pendukungnya seperti kapitalis, industrialisasi,
ksploitasi sumber daya, pengawasan dari kelompok dominan, rasionalisasi nilai-nilai, dan
sekulerisme, telah menjadi bola salju yang menggelinding dan menyerang seluruh sendi-
sendi kehidupan masyarakat adat Raja Ampat sehingga mereka telah masuk dalam arena
permainan dan penguasaan modernitas. Produk-produk modernitas seperti kapal modern,
speedboat, motor Jonson, katinting, mobil, motor roda dua, televisi, parabola, komputer,
internet, handphone (HP), ruko, bank, mesin cuci, makanan dalam kemasan, susu formula,
depot air minum, air mineral dalam kemasan telah menyerbu masyarakat adat Raja Ampat
di Kota Waisai.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi masyarakat adat Raja
Ampat, bentuk-bentuk dominasi modernitas dan dampak yang ditimbulkan dari dominasi
modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai, Kabupaten Raja Ampat,
Provinsi Papua Barat.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti ini adalah metode kualitatif. Menurut Bogdan
dan Tylor (1993:30) dalam Prastowo (2012:22), metodologi kualitatif adalah prosedur
penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian yang dilakukan kota Waisai
Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Dengan objeknya adalah dominasi modernitas
dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua
Barat. Objek adalah apa yang akan diselidiki dalam kegiatan penelitian. Menurut Ratna
(2010:12), objek adalah keseluruhan gejala kebudayaan yang ada disekitar kehidupan
manusia. Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan model pendekatan adalah etnografi.
Stake (2011:479-484), mengatakan bahwa studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis,
namun pilihan subjek yang akan dipelajari atau diteliti. Lebih khusus Yin (2012),
mengatakan bahwa studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan
suatu penelitian berkenaan dengan how dan why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang
untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya
terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri serta didukung dengan
alat bantu seperti buku catatan, pedoman wawancara, tape recorder, kamera, dan jadwal.
Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus di ―validasi‖ seberapa jauh peneliti
kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan (Sugiyono,
2011:59). Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap
pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti,
kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun
logistiknya. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian, maka teknik yang
digunakan adalah observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Dalam menggunakan
teknik observasi yang terpenting ialah mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti

318
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
(Usman dan Akbar, 2003:54). Menurut Ratna (2010:222), wawancara (interview) adalah
cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara
individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Keuntungan menggunakan
dokumentasi ialah biayanya relatif murah, waktu dan tenaga lebih efisien. Sedangkan
kelemahannya ialah data yang diambil dari dokumen cenderung sudah lama, dan kalau ada
yang salah cetak, maka peneliti ikut salah pula mengambil datanya (Usman dan Akbar,
2003:73).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model Miles
dan Huberman dalam Prastowo (2012:241), bahwa analisis data kualitatif adalah suatu
proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yakni
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa untuk menjelaskan kondisi
masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat,
tidak terlepas dari aspek historis penjajahan dari kesultanan Tidore dan Ternate
(Aribowo,2010). Masuknya agama Islam dari Maluku dan agama Kristen dari zending
(misionaris) Belanda dan Jerman, penjajahan dari bangsa Portugis, Belanda, dan Jepang
(Wamea,2010:18),serta perkembangan pemerintahan Indonesia,turut berpengaruh besar
terhadap kondisi masyarakat adat pada masa lalu hingga masa kini.
Perkembangan masyarakat adat Raja Ampat yang merupakan masyarakat kepulauan
mengalami perkembangan yang relatif cepat karena didukung dengan letak geografis dan
astronomis yang sangat strategis. Letak geografis Raja Ampat yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Seram, Provinsi Maluku, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten
Sorong dan Kota Sorong memungkinkan akses antara daerah tersebut berlangsung lancar
yang didukung dengan tujuh puluh persen wilayah Raja Ampat adalah lautan. Ketika
Indonesia merdeka dan Papua termasuk Raja Ampat menjadi bagian didalamnya, kemajuan-
kemajuan semakin pesat terjadi, seperti aksesibilitas antar pulau dan antar wilayah semakin
memadai dan puncak kemajuan tertinggi yang terjadi saat ini adalah Raja Ampat menjadi
sebuah daerah otonom sendiri yang memiliki kewenangan untuk mengurusi rumah
tangganya sendiri dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki.
Raja Ampat sebagai daerah otonomon baru yang diberi nama Kabupaten Raja
Ampat atau yang populer dengan istilah Kabupaten Bahari, telah bergerak cepat
memanfaatkan segala potensi yang dimiliki terutama potensi sumber daya alam (SDA)
khususnya perikanan dan kelautan menjadi sektor unggulan dengan dukungan sumber daya
manusia (SDM) yang terbatas, berupaya untuk menggiatkan pemasukan bagi keuangan
daerah (PAD), perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 2011, sektor unggulan yang
semula perikanan dan kelautan berubah menjadi sektor unggulan utama adalah pariwisata ,
perikanan dan kelautan.
Sektor unggulan Pariwisata, Kelautan dan Perikanan serta dukungan sektor-sektor
lain di Kabupaten Bahari Raja Ampat, mendesak masyarakat adat Raja Ampat juga untuk
berpacu dengan waktu guna mengikuti dan beradaptasi dengan kemajuan-kemajuan yang
terjadi terutama perkembangan yang terjadi di Kota Waisai Raja Ampat. Pergerakan
penduduk dari luar Raja Ampat cukup signifikan dari tahun ke tahun di Raja Ampat dengan
berbagai motivasi seperti, mencari pekerjaan, berbisnis, jasa konstruksi, penginapan,
angkutan umum, jasa pelayaran, sampai investasi skala nasional dan internasional.
Perkembangan dalam bidang perdagangan dan jasa demikian pesat di Kota Waisai yang
mendorong masuknya produk-produk modern ke Waisai. Sebut saja motor roda dua,
katinting, johnson, televisi, HP, mesin cuci, kasur, mobil, komputer, AC, kipas angin,

319
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
internet, telah menyebabkan masyarakat adat di kota Waisai berkembang dengan
memanfaatkan kemajuan yang terjadi.
Bentuk-bentuk dominasi modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai
Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat
Berdasarkan hasil penelitian, bentuk-bentuk dominasi modernitas dalam masyarakat
adat Raja Ampat di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat telah terjadi pada sebagian besar
bidang kehidupan masyarakat adat di kota Waisai baik dibidang ekonomi, sosial, budaya,
politik, hukum dan keamanan. Bentuk dominasi modernitas dalam bidang ekonomi: seperti
ekonomi kapitalis, uang sebagai alat tukar simbolis, televisi, mobil, motor roda dua,
katinting, motor jonson, mesin cuci, parabola, televisi kabel, handphone; sosial :
terbentuknya masyarakat informasi dan konsumsi serta lembaga-lembaga rasionalitas
melalui Play group, Taman kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah menengah Atas (SMA), Rumah Sakit, Mesjid, Gereja; Budaya :
sekulerisasi nilai-nilai yang terjadi dalam bentuk rumah modern, gaya hidup, kegemaran,
penggunaan pakaian toko dalam asesoris tarian. Politik : tumbuhnya institusi modern seperti
Birokrasi, DPRD, Partai politik. Hukum : berdirinya lembaga- penegak hukum berdasarkan
Undang-Undang RI, seperti Polres Raja Ampat dan Keamanan : kekuatan militer dari TNI
AD (Kostrad).
Dampak dominasi modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai Kabupaten
Raja Ampat Provinsi Papua Barat
Dampak yang ditimbulkan dari modernitas terdiri dari dua yaitu menguntungkan dan
merugikan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan keamanan.Dampak
yang menguntungkan antara lain terbukanya lapangan pekerjaan yang bervariasi,
berkembangnya industrialisme, terbukanya akses informasi dan komunikasi, penerangan,
transportasi modern, terbentuknya negara demokrasi, prasana pelayanan sosial memadai,
adanya kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, munculnya gerakan sosial baru
atas nama adat, suku, kelas, munculnya selera atas produk-produk modern. Merugikan dari
modernitas adalah kehidupan masyarakat adat menjadi dipacu dengan waktu, dipaksa
bekerja cepat, efektif, efisien, pengawasan dari kelompok dominan, kehidupan masyarakat
adat menjadi termediasi oleh produk-produk modernitas seperti televisi, handphone, internet,
pengkisian budaya tradisi ke budaya informasi, budaya konsumsi.

Pembahasan
Kondisi masyarakat adat Raja Ampat
Masyarakat adat Raja Ampat pada umumnya merupakan nelayan tradisional yang
berdiam dikampung-kampung kecil yang letaknya berjauhan. Aktivitas perekonomian masih
cukup sederhana dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan dan sampingan adalah
bertani. Hasil tangkapannya paling banyak untuk dikonsumsi sehari-hari sedangkan sebagian
dijual kepada sesama anggota masyarakat yang membeli dengan cara penukaran barang
dengan barang misalnya ikan dengan keladi, singkong bahkan ada transaksi hasil laut dengan
beras bagi anggota masyarakat yang memiliki beras yang dibeli di Kota Sorong atau
sejumlah uang. Transaksi ini bergantung pada kesepakatan dan ketersedian alat tukar di
antara anggota masyarakat adat yang berada di Raja Ampat. Dari intensitas interaksi dalam
hal tukar menukar barang ini terjalin hubungan sosial budaya yang erat antar sesama anggota
masyarakat adat. Hubungan ini terjadi karena adanya saling butuh membutuhkan dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Transaksi ekonomi dan sosial budaya yang terjadi dalam
kurun waktu yang cukup lama menyebabkan kekerabatan begitu erat satu sama lain.
Keeratan hubungan sosial ini akhirnya diperkuat dengan adanya peristiwa perkawinan yang

320
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
terjadi dalam suku di Raja Ampat baik antar suku asli Raja Ampat, Biak, Maluku , Ternate,
dan Tidore.
Dari kondisi ini dapat dimaknai bahwa dalam aktivitas ekonomi, masyarakat adat
Raja Ampat melakukan interaksi ekonomi lebih banyak difokuskan pada sesama penduduk
atau orang-orang yang mendiami kampung-kampung tersebut (dalam satu kampung) dan
selanjutnya membangun interaksi ekonomi dengan penduduk dari kampung lain yang
jaraknya tidak terlalu jauh dengan kampung awal mereka berada. Dari interaksi ekonomi ini
pun terjalin hubungan sosial dan ikatan kebudayaan yang bervariasi namun tetap erat antara
masyarakat adat yang berdomisili dipulau-pulau di Raja Ampat. Aktivitas ekonomi
masyarakat Adat Raja Ampat tidak terlalu bervariasi walaupun telah ada produk-produk
modern yang dibawa oleh pendatang dan diperjual belikan di kampung-kampung.
Intensitas interaksi ekonomi dan sosial yang terjadi antara masyarakat adat Raja
Ampat dengan masyarakat pendatang yang kian tinggi telah menggeser nilai-nilai tradisi dan
adat-istiadat masyarakat adat Raja Ampat. Sebagai contoh, masyarakat Saonek yang dahulu
menangkap ikan hanya dengan menggunakan alat pancing sederhana seperti nilon dan
umpan serta hasil tangkapannya tidak terlalu banyak karena hanya untuk dikonsumsi dan
dijual dalam jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga lautnya tetap terjaga dan dapat
menyediakan kebutuhan ikan yang tetap ada, telah berubah pada penggunaan alat tangkap
yang modern seperti jaring ikan, pukat, bom, potasium, dengan maksud untuk memperoleh
hasil yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, tanpa mempedulikan dampak-dampak
yang ditimbulkan dari tindakan masyarakat adat tersebut di kemudian hari. Namun kondisi
ini telah berangsur-angsur mulai ditinggalkan dengan masuknya organisasi konservasi
Internasional seperti CII (Conservation International Indonesia) di Raja Ampat dan salah
satu wilayah yang merupakan daerah konsentrasi konservasi adalah daerah kepulauan
Saonek.
SetelahAdministrasi Pemerintahan Kabupaten Raja Ampat berpindah ke Waisai
perkembangan ekonomi mulai bertumbuh walaupun masih lambat, migrasi orang-orang
terutama para Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat ke
Waisai seiring dengan berkembangnya infrastruktur dan pelayanan administrasi
pemerintahan di Kabupaten Raja Ampat, semakin mendorong mobilisasi penduduk dari
berbagai daerah di pulau Raja Ampat maupun orang dari Kota Sorong dan dari luar Tanah
Papua untuk mencari pekerjaan dan berwirausaha. Pihak swasta yang bergerak di bidang
ekonomi makro seperti Perusahaan Tambang, investor yang bergerak dibidang pariwisata,
jasa konstruksi, jasa transportasi, leveransir jasa dan ekonomi mikro mulai tumbuh subur di
Waisai yang didominasi oleh para pendatang dari luar Raja Ampat seperti orang bugis,
makasar, jawa.
Perkembangan pemerintahan di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat, didukung
dengan sarana dan prasarana informasi, teknologi, transportasi, komunikasi, layanan
kesehatan, pendidikan, industri Pariwisata sebagai sektor unggulan selain sektor Perikananan
dan Kelautan telah mengundang dan menarik wisatawan mancanegara untuk melakukan
perjalanan wisata wisata ke destinasi-destinasi yang ditawarkan oleh Pemerintah dan pihak
investor pengelola Pariwisata di Kabupaten Raja Ampat, maka dalam usia Kabupaten yang
ke-9 tahun ini, perkembangan sektor ekonomi di Raja Ampat sangat signifikan kemajuannya.
Berdasarkan hasil penelitian, bidang ekonomi masyarakat adat Raja Ampat sangat
tertinggal dibandingkan dengan masyarakat pendatang, ketertinggalan itu terjadi karena
beberapa faktor diantaranya tingkat pendidikan masyarakat adat Raja Ampat yang masih
sangat rendah, pengetahuan berwirausaha yang rendah,kepemilikan modal usaha sangat
minim walaupun memiliki modal sumber daya alam yang sangat melimpah, mentalitas usaha

321
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
sangat rendah. Sehingga mereka hanya sebagai pengumpul dan menjualnya pada penadah
yang pada umumnya berasal dari luar Raja Ampat, sebagai pemilik modal dan penguasa
perputaran ekonomi di Waisai. Dominasi pendatang dalam sektor ekonomi sangat nampak
pada berbagai bidang usaha seperti, penjualan jasa (transportasi antar pulau, antarlokasi di
kota Waisai) misalnya kapal cepat, pengojek, penjual pakaian, toko, pedagang kaki lima,
warung makan, penjual sayur-sayuran di pasar, penjual ikan, bahkan pengusaha skala besar
seperti investor yang bergerak di bidang perhotelan, homestay,Cottage, kontraktor dan
leveransir jasa didominasi oleh para pemilik modal.
Kehidupan sosial budaya masyarakat pada masa lampau sangat erat hubungannya
dengan kekerabatan dan perkawinan. hubungan sosial budaya terpelihara dengan baik dan
harmonis, adat-istiadat sangat mengikat pola hidup dan tingkah laku masyarakat adat. Dalam
perkembangannya, yang didukung dengan perkembangan daerah Raja Ampat serta
masuknya berbagai pengaruh dari luar seperti mobilisasi pendatang dari luar Raja Ampat
dalam rangka usaha, bisnis, terutama yang berhubungan dengan potensi pariwisata,
perikanan dan kelautan, perdagangan dan informasi serta teknologi telah memberikan
pengaruh seperti hubungan sosial budaya antara masyarakat adat semakin berkurang dan
renggang dan diganti dengan hubungan untung-rugi.
Bentuk-bentuk dominasi modernitas dalam masyarakat adat di Kota Waisai Kabupaten Raja
Ampat Provinsi Papua Barat
Modernitas lahir sebagai penakluk, tidak memandang siapa orangnya dan belahan
bumi mana dia berada. Modernitas melibas batas-batas yang dilaluinya dan merasuki seluruh
aspek kehidupan manusia, modernitas dengan perangkat pendukungnya seperti ekonomi
kapitalis, penetrasi rasionalitas, pembentukan solidaritas organik, industrialisme yang
melibatkan penggunaan sumber-sumber tenaga yang tidak berjiwa dan peralatan mesin untuk
menghasilkan barang-barang, kemampuan mengawasi (surveillance capatities) aktivitas
orang-orang menyebabkan nilai-nilai modern menjadi fundamental dan menjadi acuan bagi
nilai-nilai lain sehingga membentuk rasionalisasi dan sekularisasi. Modernitas dengan
kecepatan yang dimiliki pada abad ke dua puluh satu ini merupakan satu fenomena dengan
dua ujung yaitu perkembangan institusi sosial modern dan persebaran mereka ke seluruh
dunia telah menciptakan kesempatan yang luas kepada manusia untuk menikmati eksistensi
yang aman dan memuaskan ketimbang semua tipe sistem pramodern. Namun modernitas
juga menimbulkan sisi mengerikan yang begitu nyata pada abad masa kini (Giddens,
2005:9). Gerak cepat penetrasi modernitas ini juga telah menyebabkan apa yang disebut oleh
Ulrich Beck sebagai masyarakat resiko. Namun bagi Jurgen Habermas, penetrasi modernitas
belum berakhir, modernitas akan tetap bergulir bagai bola salju rasionalisasi sistem-sistem
sosial sehingga menimbulkan tumbuhnya sistem-sistem sosial yang semakin rumit,
terdiferensiasi, terintegrasi dan dicirikan oleh akal instrumental.
Dengan kecepatan yang luar biasa modernitas melakukan dua hal sekaligus, yakni
pematangan diri dan penetrasi keluar. Pematangan diri ditandai dengan melimpahnya
informasi dan barang produksi yang merupakan buah kapitalisme industri. Tak ayal negara-
negara berkembang seperti Indonesia pun turut menjadi sasaran modernitas (Wardhana,
2012:13). Indonesia dengan kondisi geografis yang didominasi oleh perairan menjadi media
yang mendukung penetrasi dominasi modernitas dalam berbagai wilayah di tanah air
temasuk Papua pada umumnya dan lebih khusus di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat
Provinsi Papua Barat.
Kota merupakan arena empuk bagi perluasan dominasi modernitas untuk
menancapkan kuku-kuku modernisnya sementara ekonomi uang menjadi alat pengendali dan
penyebaran modernitas dan perluasannya, seperti yang dikatakan oleh Simmel dalam

322
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
menyelidiki modernitas terutama didalam dua situs utama yang saling berhubungan – kota
dan uang. Kota adalah tempat modernitas terkonsentrasi atau diintensifkan, sementara
ekonomi uang melibatkan penyebaran modernitas dan perluasannya (Ritzer, 2012:933).
Sehingga Waisai sebagai ibukota Kabupaten Raja Ampat juga tidak lepas dari amukan
modernitas.
Produk-produk modernitas itu sangat nampak dalam berbagai sektor kehidupan
masyarakat adat Raja Ampat di Waisai seperti kehidupan ekonomi, sosial, budaya, sistem
politik, dan pertahanan keamanan. Bidang ekonomi terbukanya akses informasi, komunikasi,
teknologi terutama masuknya alat-alat transportasi modern seperti katinting, Jonson, yang
telah tersedia di Waisai, menyebabkan masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai telah
memiliki produk-produk modernitas tersebut.
Bidang sosial terbentuknya Sekolah Play Group, TK, SD, SMP, SMA, SMK,
Remaja Masjid, Kelompok-kelompok kepemudaan Gereja, masyarakat televisi, masyarakat
internet, masyarakat konsumen, masyarakat informasi, masyarakat telekomunikasi,
masyarakat terpelajar, masyarakat intelektual, masyarakat individu, Rumah Sakit,
perkantoran, Bank, percetakan dan fotocoy, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal
dan internasional seperti CII (Conservation International Indonesia), dan TNC (The Nature
Conservancy).
Bidang budaya, terbentuknya rumah modern, ruko (rumah dan toko), pakaian,
motor, obat-obatan, peralatan dan perawatan kecantikan, masjid, gereja, Wihara, gaya hidup,
kegemaran (hobby), pakaian dan asesories tarian menggunakan pakaian toko dengan alasan
mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan yang langsung
diambil dari hutan seperti burung Cenderawasih karena burung ini telah dilindungi Undang-
Undang dan mulai langka dihutan akibat penangkapan liar.
Bidang politik, lahirnya partai-partai politik dengan berbagai ideologi yang diusung
oleh setiap partai politik. Di Kota Waisai pada tahun 2010 terdapat empat puluh empat partai
dengan beberapa partai besar seperti partai Golkar, partai Demokrat, partai PDI Perjuangan,
Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Hanura, Pargai Gerindra, Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB).
Bidang hukum, berdirinya lembaga-lembaga penegakan hukum seperti Polisi, jaksa,
Hakim terutama institusi Kepolisian telah mendominasi untuk mengatur, mengawasi dan
menindak setiap tindakan/perbuatan masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai yang
dipandang bertentangan dengan Undang-Undang, berindikasi mengganggu ketertiban umum
dan keamanan masyarakat. Terbentunya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di
Raja Ampat menjadi wadah kebangkitan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak
atas adat.
Bidang keamanan, berdirinya Institusi Kepolisian (Polres Raja Ampat), TNI
Angkatan Darat (Kostrad), dan TNI Angkatan Laut yang bermarkas di Sorong namun
memiliki wilayah operasi di Raja Ampat. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang
dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, Satuan Pengamanan (Satpam) yang
bertugas pada lembaga-lembaga vital ekonomi masyarakat seperti Bank, dan PLTD Waisai.
Dampak dominasi modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai
Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat
Berbicara dampak dari sebuah dominasi khususnya dominasi modernitas dalam
masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai menimbulkan dua hal yaitu menguntungkan dan
merugikan. Keuntungan dan kerugian dari dominasi modernitas dalam masyarakat adat
sebagian besar terjadi dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan keamanan.

323
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Dalam bidang ekonomi, konsep dasar ekonomi adalah alokasi sumber daya yang
banyak dan sesuai antara keinginan manusia yang dapat disadari, dengan pengakuan bahwa
alternatif-alternatif sangat memungkinkan pada tiap bidang.Namun, didefinisikan, ekonomi
berkaitan dengan implikasi-implikasi pilihan manusia, dengan hasil keputusan-keputusan.
Pilihan-pilihan, keinginan-keinginan dan implikasinya dalam aksi melibatkan ... hubungan-
hubungan sosial (Sairin dkk, 2002:13-14). Dampak yang ditimbulkan oleh dominasi
ekonomi modernitas cukup menguntungkan seperti eksplorasi sumber daya alam (SDA)
sebagian besar telah dimanfaatkan misalnya perikanan, kelautan dan pertambangan
(Waimbo, 2012) sebagai sektor dominan yang telah memberikan sumbangan pendapatan asli
daerah (PAD); dan sektor Pariwisata yang sekarang dijadikan sektor unggulan dalam meraup
pendapatan asli daerah Raja Ampat. Kemajuan kedua sektor ini, perikanan, kelautan dan
pariwisata telah memperngaruhi pertumbuhan ekonomi di kota Waisai sangat cepat.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat ini menyediakan terbukanya lapangan pekerjaan
yang cukup dan bervariasi, tersedianya berbagai produk-produk modern yang dapat dimiliki,
digunakan dan dinikmati oleh masyarakat adat seperti pakaian, makanan dalam kemasan
(mie, kue, air mineral, makanan kaleng, bumbu dapur, minyak goreng, rokok, susu formula,
mainan anak-anak dan lain sebagainya), perlengkapan masak-memasak yang modern dan
bervariasi, bahan bangunan yang telah di kemas rapi, aneka warna dan berkualitas seperti
semen, cat, seng, kanopi, profil tank, barang-barang tersier seperti televisi, mobil, motor, CD
(Compact Disk), Tape, Speaker aktif, AC, dispenser, mesin cuci, kipas angin, kamera digital,
HP (handphone), parabola, komputer, laptop, Bank, kantor pegadaian, ruko, pasar (sayur dan
ikan), restoran, rumah makan, warung. Dampak merugikan dari dominasi modernitas ini
menyebabkan masyarakat adat sebagai pemilik sumber daya ekonomi terutama tanah,
terdesak untuk melepaskan dan menyerahkannya kepada para pemilik modal untuk
digunakan sebagai lahan usaha dengan imbalan sejumlah uang. Tanah sebagai ibu bagi
masyarakat adat Raja Ampat telah digantikan dengan sejumlah uang yang dipandang dewa
penyelamat dalam mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat adat di Waisai.
Tanah di Waisai sebagai aset vital ekonomi menjadi rebutan dan terjadi klaim-klaim dari
berbagai suku bangsa yang mengaku sebagai pemilik yang sah, baik dari suku Maya (suku
asli), Betew/Beser (orang Biak) dan Umka (orang Maluku), konflik kepemilikan ini telah
menyebabkan kecemburuan diantara masyarakat adat diatas, disisi lain menimbulkan
keresahan bagi Pemerintah dan pihak swasta yang ingin berinvestasi di Waisai.
Di bidang sosial telah memberikan rangkaian urutan perubahan yang memengaruhi
institusi utama di dalam sebuah totalitas masyarakat atau yang melibatkan transisi diantara
jenis-jenis totalitas masyarakat. Giddens (2010:376) mengatakan bahwa kehidupan sosial
manusia dibentuk dan dibentuk ulang dalam praksis- di dalam aktivitas praksis yang
dilaksanakan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari. Dominasi modernitas ini
menyebabkan perluasan bidang pekerjaan dan pemisahannya dari kehidupan keluarga,
tumbuhnya kemandirian (privatization) keluarga dan pemisahannya dari kontrol sosial
komunitas atau masyarakat lebih luas. Pemisahan antara waktu untuk bekerja dan waktu
untuk santai, dan waktu untuk bersantai makin banyak. Peningkatan konsumerisme.
Kehidupan sehari-hari tertuju pada pendapatan dan konsumen barang yang dianggap sebagai
simbol peran yang penting (konsumsi mencolok, berbelanja sebagai aktivitas memuaskan
diri terlepas dari kebutuhan nyata untuk membeli). Dampak yang merugikan adalah
berkembangnya individualisme. Hubungan dan relasi sosial menjadi termediasi oleh jiwa-
jiwa yang tak bernyawa, relasi sosial terbentuk atas kepentingan-kepentingan yang telah
direncanakan dan relasi sosial masyarakat adat menjadi renggang. Bedasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Kota Waisai, ditemukan relasi-relasi sosial masyarakat adat

324
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
telah terbentuk ulang seperti relasi sosial yang didasarkan pada hubungan kekerabatan dan
pertemuan langsung telah berubah menjadi hubungan kekerabatan dan pertemuan yang telah
diserahkan kepada pihak ketiga yaitu media teknologi seperti HP (handphone), terjadi
penjarakan relasi sosial yang disebabkan oleh kesibukan pekerjaan yang dijalani dan waktu
beristirahat dirumah dengan menonton televisi.
Di bidang budaya diantaranya terbentuknya sekulerisasi. Merosotnya arti penting
keyakinan agama, kekuatan gaib, nilai dan norma dan digantikan oleh gagasan dan aturan
yang disahkan oleh argumen dan pertimbangan duniawi. Peran sentral ilmu yang membuka
jalan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dan selanjutnya dimanfaatkan dalam
bentuk teknologi atau kegiatan produktif. Demokratisasi pendidikan yang menjangkau
lapisan penduduk yang makin luas dan tingkat pendidikan yang makin tinggi. Munculnya
kultur massa, produk estetika, kesusteraan, dan artistik berubah menjadi komoditi yang
tersebar luas di pasar dan menarik selera semua lapisan masyarakat. Semakin kuat nya
cengkraman kapitalis, dalam masyarakat adat dibidang ekonomi dan dalam institusi lainnya.
Dampak yang merugikan diantaranya seperti masyarakat adat menjadi bersifat individualis,
materialis, hubungan sosial diukur dengan uang, kekerabatan menjadi renggang karena
termediasi oleh sarana teknologi seperti handphone, internet, masyarakat adat menjadi
terkotak-kotak berdasarkan suku, agama, kepentingan dan tujuan.
Di bidang politik. kata ―politik‖ dalam konotasinya yang biasa, yaitu, yang
berhubungan dengan negara. Kata ―negara‖ diambil untuk mengartikan kategori khusus dari
kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Praktisnya ada dua arti;negara-bangsa
(nation-state), menunjukkan masyarakat nasional, yaitu, komunitas yang muncul pada akhir
Zaman Tengah dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi.
Negara pemerintah (goverment-state) menunjukkan penguasa dan pemimpin dari masyarakat
nasonal ini (Duverger, 2007:16-18). adanya perubahan besar dimana peran negara makin
besar. Negara melaksanakan fungsi baru dalam mengatur dan mengkoordinasikan produksi,
distribusi kekayaan, melindungi kedaulatan ekonomi, dan merangsang pengembangan pasar
luar negeri. Peran ini benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten Raja Ampat
terutama dalam sektor pariwisata sebagai sektor unggulan daerah Raja Ampat dengan
berbagai bentuk promosi pariwisata pada mancanegara guna menarik minat wisatawan untuk
berbondong-bondong mengunjungi Raja Ampat. Dampak yang merugikan diantaranya
adalah masayarakat adat dimanfaatkan sebagai arena lumbung suara yang instan dan parsial
pada saat jelang pesta demokrasi seperti pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan
eksekutif. Pengerahan massa yang dilakukan dalam pesta demokrasi tersebut ternyata dapat
berbuntut panjang sampai-sampai terbawa dalam kehidupan sosial yang membuat blok-blok
bagi kelompok yang menang dengan kelompok pendukung yang kalah. Terjadinya blok-blok
pendukung yang berbuntut panjang disebut oleh Alfian dengan istilah politik. Politik baginya
adalah masalah kekuasaan. Kekuasaan adalah seluruh jaringan lembaga-lembaga
(institutions) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana dominasi
beberapa orang atas orang-orang lain. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung
otoritas mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-
komunitas yang lebih kecil. Lebih lanjut Alfian mengatakan bahwa ada dua corak pengaruh
yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya
sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan
memungkinkan mereka yang berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan
mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang
menentang dan ingin merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama. Disini kita lihat kekuasaan
memainkan peranan sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu

325
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Duverger menyebut ini sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan dan politik.
Aspek kedua muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk
menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan dilihat sebagai pelindung
kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok
kepentingan. Di sini kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi
kepentingan bersama vis-a-vis kepentingan golongan atau kelompok. Demikian yang
diungkapkan oleh Alfian dalam Duverger (2007:xi-xii).
Di bidang hukum, dampak menguntungkan dari dominasi modernitas dalam
masyarakat adat Raja Ampat di Kota Waisai adalah penegakan hukum tertulis yang
didasarkan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), kehadiran hukum tertulis adalah jauh lebih terpikir dan lebih
terlafalkan secara tegas. Dalam pemikiran Stoa (Leyh, 2011:17) hukum manusia
dimaksudkan agar mencerminkan logos universal atau ‗nyala api‘ nalar; suatu nyala api yang
percikannya dianggap tersebar merata pada semua manusia. Di Waisai ibukota Kabupaten
Raja Ampat lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri belum ada, namun lembaga
penegakan hukum lainnya seperti kepolisian telah berada di Waisai yang diberi nama Polres
Raja Ampat. Terdapatnya komisi hukum di organisasi politik DPRD Raja Ampat yang
bertugas khusus melaksanakan tugas-tugas pembuatan kaidah-kaidah baru. Lembaga
penegakan hukum ini telah memainkan peran yang sangat dominan dalam kehidupan
masyarakat adat Raja Ampat, terutama dalam mengontrol dan menjamin keamanan dan
ketertiban dalam bentuk rambu-rambu sesuai hukum yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan dalih sebagai lembaga penegak hukum yang menjamin
terwujudnya tertib sosial yang akan mendatangkan manfaat bagi warga masyarakat secara
individu dan sosial. Dalam masyarakat sipil keabsahan hukum dan rule governance tidak
dibuang melainkan dilengkapi dan diperkuat melalui pemberlakuan hukum-hukum positif
yang diperkuat oleh para petugas hukum. Dalam pendapat Locke dalam Leyh (2011:19),
kareana ‗tujuan agung masuknya manusia masuk kedalam masyarakat‘ aalah agar diperoleh
jaminan keamanan untuk menikmati kehidupan dan kepemilikannya, maka sarana penting
untuk mencapai tujuan itu adalah hukum-hukum yang ditetapkan dalam masyarakat tersebut‘
Untuk itu ia menyatakan bahwa tugas utama dan ‗hukum positif fundamental yang pertama‘
dari segenap persemakmuran adalah melembagakan atau menetapkan suatu lemabga
pembuat aturan atau ‗kekuasaan legislasi‘ yakni suatu lembaga yang bukan hanya
dimaksudkan agar menjadi ‗ kekuasaan tertinggi persemakmuran‘ melainkan agar‘
dianggungkan ditangan orang-orang yang telah dikuasakan oleh masyarakat‘. Kerugian yang
dialami masyarakat adat di Kota Waisai dengan adanya dominasi hukum tertulis berdasarkan
Undang-Undang (KUHAP), adalah masyarakat adat Raja Ampat menjadi masyarakat yang
terkontrol dan dikendalikan sistem sosialnya, masyarakat adat menjadi masyarakat yang
frustasi karena kebebasan yang telah direnggut dengan adanya sanksi-sanksi tegas atas setiap
pelanggaran yang terjadi dan melemahnya hukum-hukum tradisi yang telah sejak dahulu
menjadi pedoman masyarakat adat.
Di bidang keamanan, menguntungkan adalah adanya kontrol sosial dari pihak
keamanan sangat terasa di Waisai, kondisi ini nyata dalam penegakan ketertiban lalu lintas di
jalan raya dengan cara sweeping kendaraan bermotor yang rutin dilakukan, kontrol atas
organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan terutama yang diduga berindikasi makar dan
disintegrasi bangsa. Merugikan seperti partisipasi masyarakat adat dalam bidang keamanan
menjadi berkurang karena beranggapan bahwa tanggung jawab keamanan adalah aparat
negara seperti TNI dan Polri.

326
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Dampak menguntungkan dan merugikan yang terjadi sebagai bentuk dominasi
modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat menyebabkan adanya keberhasilan-
keberhasilan yang telah dicapai oleh modernitas yang secara umum dapat dicirikan seperti
terbentuknya optimisme yang tinggi terutama mencerminkan perasaan elite yang sedang
menanjak. Keyakinan terhadap nalar, ilmu, teknologi, efisien dan efektifnya kapitalisme
sebagai penjaga kemajuan permanen telah tersebar luas. Namun tidak dapat dipungkiri juga
bahwa dominasi modernitas menimbulkan efek ambivalen. Kerusakan itu bahkan terjadi
sangat tragis seperti yang dikemukakan oleh Marx dengan istilah Alienasi.
Temuan penting lain dalam penelitian dominasi modernitas dalam masyarakat adat
Raja Ampat di kota Waisai ditemukan bahwa ternyata bukan hanya dominasi modernitas
saja yang telah terjadi dalam masyarakat adat Raja Ampat, terdapat dominasi salah satu suku
terhadap suku bangsa lain dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya,misalnya orang
pendatang seperti jawa, bugis, makasar, buton lebih dominan dalam mengendalikan
perputaran ekonomi di kota Waisai. Pemerintahan didominasi oleh suku Biak (Beser) dan
budayaoleh orang beser/betew ( Biak) dan orang Umka (ternate dan tidore), sedangkan
orang Maya (asli Raja Ampat) sangat tertinggal dan termarginalkan. Adanya Dominasi
dalam sektor pariwisata dari pihak asing dalam pengelolaan objek-objek pariwisata di Raja
Ampat. Adanya monopoli transportasi antar pulau yang merupakan jantung ekonomi
Sorong-Raja Ampat di kuasai oleh satu perusahaan pelayaran yang menyediakan transportasi
cepat.

Kesimpulan
Perkembangan masyarakat adat Raja Ampat tidak lepas dari rentetan peristiwa
historis yang dialami masyarakat adat dari pengaruh Kesultanan Tidore dan Ternate, agama
Islam dari Maluku, agama Kristen oleh para Zending Belanda dan Jerman. Penjajahan yang
dilakukan oleh Portugis, Belanda, dan Jepang
Bentuk-bentuk dominasi modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota
Waisai Kabupaten Raja Ampat adalah dominasi ekonomi kapitalis, eksplorasi sumber daya
alam, rasionalisasi, kekuatan-kekuatan pengawasan yang semakin kuat di Waisai,
sekulerisme, penjarakan ruang dan waktu oleh kemajuan teknologi
Dampak yang ditimbulkan dari dominasi modernitas dalam masyarakat adat di Kota
Waisai, terbagi atas dua yaitu menguntungkan dan merugikan. Menguntungkan diantaranya,
terbentuknya berbagai mata pencaharian yang bervariatif, ketersediaan bahan pokok yang
semakin lengkap, hubungan kekerabatan menjadi efisien dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi telepon seluler, birokrasi yang representatif untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat adat, terjaminnya kepastian dalam penegakan hukum. Dampak merugikan seperti
ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan, masyarakat adat kehilangan jati diri,
individualis, sekuler, termediasi, kebebasan yang terenggut, masyarakat adat dipaksa hidup
cepat-tepat, efektif dan efisien, hubungan kekerabatan menjadi renggang dan termediasi oleh
produk-produk modernitas.

Rekomendasi
Mendasari pada hasil penelitian tentang dominasi modernitas dalam masyarakat adat
Raja Ampat yang merupakan sebuah studi kasus di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat
Provinsi Papua Barat, ternyata :
Dominasi modernitas telah menguasai sebagian besar aspek kehidupan masyarakat adat Raja
Ampat di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan penelitian lanjutan dari aspek lain secara luas.

327
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Dengan adanya dominasi modernitas dalam masyarakat adat Raja Ampat di Kota
Waisai, masyarakat adat Raja Ampat perlu memiliki kedewasaan berpikir dalam menyikapi
setiap perubahan yang terjadi secara arif dan bijaksana; Perlu adanya keberpihakan kepada
masyarakat adat Raja Ampat sebagai pemilik sumber daya alam maupun modal ekonomi
dalam pengelolaan dan pemanfaatannya; Masyarakat adat Raja Ampat perlu diberdayakan
dan diberikan peluang yang cukup besar guna turut berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi,
sosial, budaya, politik, hukum dan keamanan.

Daftar Pustaka
Aribowo, Budi.2010. Kesultanan Tidore, dari Caliati hingga Sultan Nuku. Opini.Sejarah.
Kompasiana.com. didownload tanggal 23 Desember 2012.
Duverger, Maurice. 2007. Sosiologi Politik.Terjemahan. Jakarta:Rajawali Pers.
Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (penterjemah:
Nurhadi).Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Kabupaten Raja Ampat dalam Angka.2011. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Raja Ampat dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat
Leyh, Gregory.2011.Hermeneutika Hukum:Sejarah, Teori dan Praktik. Terjemahan.Cetakan
II.Oktober. Bandung:Nusa Media.
Prastowo, Andi.2012.Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian.Cetakan II.Jogjakarta:Ar-Ruzz Media.
Ratna, Nyoman Kutha.2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Edisi kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sairin, Sjafri, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Cetakan I. Maret. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Cetakan keenam. Bandung: Alfabeta.
Stake, Robert E. 2011. Studi Kasus Kualitatif. The Sage Handbook of Qualitative Research
1. Norman K.Denzim dan Yvonna S. Licoln (Editor).Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Usman, Husaini; dan Akbar, Purnomo Setiady. 2003. Metodologi Penelitian Sosial. Cetakan
keempat. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wamea, DF. 2010. Peranan Zending Dalam Bidang Pendidikan 1855-1962: Tinjauan awal
upaya pengembangan SDM di Irian Jaya.Jogjakarta: Atma Publishia.
Wardhana, Christiana, D. 2012. Tradisi dan Hegemoni Modernitas: Sebuah Gagasan Tradisi
Sebagai Ideologi Pembangunan Untuk Memperkuat Identitas Daerah. Majalah
Ilmiah. Haluan Sastra Budaya. ISSN 0852-0933.No.62.Th.XXX Oktober Surakarta.
Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
Waimbo, Danny, E. 2012. Pengembangan pariwisata berkelanjutan: Keterlibatan masyarakat
& peran pemimpin lokal di Kampung Sawinggrai Kabupaten Raja Ampat. Tesis.
Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Yin, Robert. K. 2012. Studi Kasus: Desain dan Metode. Cetakan ke-11. Jakarta: Rajawali
Pers.

328
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
ORIENTASI DAN PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA

Grendi Hendrastomo; Nur Endah Januarti


Program Studi Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Yogyakarta
endahjanuarti@gmail.com

Abstrak
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu prasyarat dari sebuah negara
demokrasi. Pemilu di Indonesia merupakan ajang pesta demokrasi yang dilakukan setiap 5
tahun. Pesta demokrasi ini melibatkan masyarakat sipil dan aparatur negara sebagai
penyelenggara pemilu. Masyarakat sipil memiliki peran sebagai partisipan (baik dipilih
maupun memilih), penyelenggara (mitra negara) dan memantau jalannya pesta demokrasi.
Ketiga peran tersebut tidak selalu bisa dilakukan oleh semua warga negara, tetapi satu yang
semua warga negara bisa berperan adalah sebagai partisipan dengan menggunakan hak
pilihnya untuk berpartisipasi dalam pemilu. Partisipasi warga negara memiliki peran penting
dalam negara demokrasi terutama ketika suara rakyat diwakili oleh beberapa orang yang
dipilih oleh masyarakat. Mencermati partisipasi warga negara dalam pemilu tidak sekedar
melihat memilih atau tidak memilih, menggunakan atau tidak menggunakan hak suaranya,
tetapi yang menarik dicermati adalah proses dibalik dorongan untuk terlibat secara aktif
berpartisipasi dalam proses pemilihan umum. Orientasi politik individu turut menentukan
pilihan.Dari 185 juta warga negara yang memiliki hak pilih, beberapa merupakan pemuda
yang baru memiliki hak pilih. Pemilih pemula memiliki orientasi politik yang berbeda
dimana kecenderungan kelompok ini merupakan masyarakat yang secara pendidikan
memiliki tingkat pengetahuan yang baik tetapi belum memiliki pengalaman secara politik.
Dibalik pilihan mereka ada banyak alasan yang mendorong pemilih pemula terlibat dan
menentukan pilihan politiknya.Pemilih pemula lekat dengan aksesibilitas yang tinggi
terhadap informasi dan sosialisasi. Pemilih pemula lekat dengan aktivitas padat dan aktif
misalnya di sekolah atau dunia kampus tentunya akan lebih banyak memiliki ruang dan
waktu untuk saling mendiskusikan seputar partai politik. Interaksi dan lingkungan sosial
pemuda secara tidak langsung akan turut memberi pengaruh terhadap pilihan mereka
menentukan dan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Artikel ini berusaha mengungkap
pandangan pemilih pemula terhadap demokrasi dan partai politik, serta mengungkap faktor
yang mendasari pemilih pemula menentukan pilihan politiknya.
Kata Kunci: Orientasi Politik, Partisipasi, Pemilih Pemula, Demokrasi

Pendahuluan
Pemilihan umum Legislatif 2014 di sambut dengan gegap gempita. Pemilihan umum
ini mencetak sejarah baru dengan meningkatnya partisipasi pemilih, dimana partisipasi
pemilih meningkat hingga mencapai 75.11%, dimana 24.89% (Kompas, 2014) masyarakat
Indonesia yang memiliki hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya. Pemilu 2014 mencatat
sebanyak 185.826.024 orang memiliki hak pilih (Kompas, 2014). Angka menjadikan
Indonesia termasuk ke dalam negara dengan demokrasi terbesar, bersaing dengan negara-
negara demokrasi besar lainnya. Dari angka pemilih sebesar itu, partisipasi pemilih pemula
juga perlu untuk diperhatikan. Pemilih pemula merupakan pemilih awal yang baru pertama
kali menggunakan hak pilihnya. Kebanyakan pemilih pemula merupakan remaja muda
berusia 17-20 tahun yang terbanyak merupakan golongan terdidik yang masih sekolah
maupun belajar di perguruan tinggi. Data BPS 2010 menunjukkan angka yang besar yang

329
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
tergolong dalam pemilih pemula. Jumlah pemilih pemula berkisar 18.32% dari total
penduduk Indonesia pada tahun 2010 (lihat bps.go.id).
Mencermati angka pemilih pemula yang dari pemilu ke pemilu cenderung besar,
pemilih pemula patut diperhatikan dalam pemilihan umum, karena walaupun secara
pengalaman mereka masih terbilang belia, tetapi jumlah suara golongan ini yang besar akan
banyak menentukan pemenang dalam pemilihan umum. Pemilih pemula memiliki
karakteristik yang berbeda di bandingkan dengan pemilih kebanyakan. Dominasi usia muda
turut menjadi salah satu pembeda pemilih pemula dengan generasi sebelumnya (Kang,
2008). Pemilih pemula cenderung memiliki orientasi politik yang tidak bisa ditebak. Hal ini
juga didukung oleh mekanisme pemilihan umum legislative yang mendorong pemilih untuk
dapat memilih nama kandidat secara langsung atau memilih partai. Kondisi tersebut
mendorong timbulnya konflik antara preferensi partai dengan kandidat wakil rakyat (Nogee
& Levin, 1959).
Pada pemilu 2014, mekanisme dapat memilih partai ataupun caleg secara langsung
cukup memberikan pengaruh tersendiri terhadap hasil pemilu.Kompas edisi Senin, 16 April
2014 menyebutkan bahwa kiprah 6.607 sosok calon anggota legisltaif yang bertarung dalam
ajang Pemilu Legislatif 2014 benar-benar menjadi salah satu kunci penentu akumulasi
perolehan suara partai politik, terbukti suara pemilih kali ini cenderung tertuju kepada sosok
calon legislatif ketimbang ke partai politik yang mengusungnya. Hasil survei menunjukkan
dari beberapa opsi yang diperhatikan dalam memilih adalah nama caleg, nama partai dan
kombinasi keduanya diperoleh hasil :

No Dasar Pemilihan Hasil


1 Memilih berdasar nama calon anggota legislatif 54 %
2 Memilih berdasar partai politik 24 %
3 Kombinasi berdasar partai politik dan nama calon legislatif 22 %
Jumlah 100%

Sumber : Kompas edisi 16 April 2014


Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pemilih yang memilih berdasarkan sosok nama
calon anggota legislatif cukup dominan. Melihat hal tersebut orientasi pilihan sosok nama
calon anggota legislatif tentunya memberikan implikasi politik yang berbeda terhadap setiap
pemilih. Salah satunya adalah semakin kaburnya identifikasi kepartaian seseorang atau bisa
dikatakan loyalitas pemilih terhadap partai politik semakin memudar.
Dari hasil survei tersebut juga diperoleh hasil bahwa tidak kurang dari 40%
mengaku bahwa mencoblos pilihan yang berbeda antara pilihan DPR tingkat pusat, propinsi
dan kabupaten. 60% mengaku memilih tidak berbeda anatara pilihan partai di tingkat DPR
pusat, propinsi dan kabupaten. Hal ini menunjukkan gejala heterogenitas pilihan para
pemilih. Dari sini juga dapat diperoleh asumsi bahwa cermin agak rapuhnya ikatan
kepartaian para pemilih pada pemilu 2014 tahap pertama. Partai tidak lagi berkuasa mengikat
orientasi pilihan politik pemilihnya. Banyaknya pemilih menentukan pilihan pada sosok
caleg dapat berimplikasi pada peta persaingan politik tahap selanjutnya terkait dengan
koalisi partai dan sebagainya. Tentunya pemilihan sosok pemimpin yang lebih diprioritaskan
daripada nama besar partai akan membawa dampak pada proses pemilihan.
Menurut data yang dimuat sebelumnya dalam Majalah Tempo edisi 24-30 Maret
2014 melalui survei ―Peta Politik Indonesia‖ yang digelar Tempo dan LSI tentang
bagaimana pemilik hak suara dalam pemilu legislatif akan menentukan pilihan. Dari hasil
survei terhadap 2.050 responden dari tanggal 28 Februari 2014 hingga 10 Maret 2014
330
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
diperoleh hasil bahwa hanya 1,2 % pemilih yang mengaku tahu semua kandidat. Data lain
diperoleh pula bahwa jumlah pemilih yang tahu atau kenal semua caleg dari partai selain
pilihannya hanya 0,5%. Representasi 2.050 responden yang kemudian tahu dan kenal baik
partai politik maupun caleg tersebut memberikan gambaran bahwa tidak banyak para
pemilih tahu atau bahkan mengenal dengan pasti partai politik ataupun caleg.
Banyaknya orientasi berdasar pilihan sosok yang lebih dominan daripada pilihan
partai pada hasil sementara Pemilu Legislatif 2014 menimbulkan pertanyaan lanjutan
terhadap pertimbangan masyarakat lebih memilih sosok yang kemudian dicalonkan oleh
partai. Mengingat sebenarnya tidak banyak pemilih yang tahu benar akan sosok caleg
ataupun partai politik yang mengusung caleg tersebut. Hal ini tentunya terjadi karena
disebabkan oleh beberapa faktor. Apakah pilihan sosok oleh para pemilih benar-benar karena
pemilih telah mengetahui dan mempertimbangkan secara matang mengenai kemampuan
caleg yang ia pilih atau karena sebab lain.
Data diatas menjadi dasar untuk mengetahui orientasi pemilih pemula. Pemilih
pemula cenderung cermat dalam memilih dan menentukan pilihannya. Pemilih pemula
memiliki akses yang lebih terbuka dan luas dalam memilih dan memilah berbagai macam
calon anggota legislatif yang nyaleg. Pemilih pemula lekat dengan pemilih yang eksklusif
dan erat dengan pendidikan politik pemula yang masih sangat idealis. Sehingga pemilih
pemula lebih cermat dan selektif dalam menentukan pilihan. Walaupun demikian pemilih
pemula memiliki tingkat emosional yang labil. Pilihan mereka tidak bisa ditebak karena
banyak faktor determinan yang mengintervensi pilihan mereka, seperti orang tua, teman
sepermainan, televisi, media massa dan media sosial. Pemilih pemula sering kali lebih
cenderung memilih partai-partai besar dan mapan. Ini karena merekasudah familiar dengan
partai tersebut dan enggan mengenal partai yang lain. Mereka juga cenderung memilih figur-
figur yang familiar dengan mereka (Ahmad, 2011). Dari berbagai faktor tersebut menarik
untuk mencermati pandangan pemilih pemula terhadap demokrasi dan partai politik, serta
mengungkap faktor yang mendasari pemilih pemula menentukan pilihan politiknya.

Kajian Pustaka
Demokrasi dan Partisipasi Politik
Konsep demokrasi (Huntington, 1997:4-12) sebagai sebuah bentuk pemerintahan
berasal dari para filsuf Yunani. Pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak
terjadinya pergolakan revolusioner pada masyarakat barat pada akhir abad ke 18. Pada
pertengahan abad ke-20 dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul tiga pendekatan
umum. Sebagai bentuk pemerintahan demokrasi didefinisikan berdasarkan sumber
wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah dan prosedur untuk
membentuk pemerintahan.
Demokrasi dalam arti prosedur untuk membentuk pemerintahan terkait dengan
proses pemilihan pemerintahan. Hal ini berhubungan pada sebuah proses pengambilan
keputusan melalui pemilihan untuk menentukan pemerintah yang memiliki kewenangan.
Titik kritis dalam proses demokratisasi adalah digantikannya pemerintah yang tidak dipilih
melalui pemerintahan yang dipilih dalam suatu pemilihan yang bebas, terbuka dan adil.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa proses sebelum dan sesudah pemilihan adalah hal
yang kompleks dan berlangsung lama. Oleh sebab itu ada berbagai hal yang dapat
mempengaruhi esensi demokrasi melalui pemilihan untuk pemerintahan.
Tujuan demokrasi adalah proses dilayani kepentingan publik oleh pemerintah. Hal
ini sesuai dengan konsep demokrasi sejati yang berarti adanya liberte, egalite, fraternite.
Kontrol yang efektif oleh warga negara terhadap kebijakan pemerintah, pemerintah yang

331
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
bertanggung jawab, kejujuran dan keterbukaan dalam percaturan politik, musyawarah yang
rasional dan didukung dengan informasi yang cukup, partisipasi dan kekuasaan yang setara
dan berbagai kebijakan warga neraga lainnya. Adanya prinsip kebebasan, persamaan dan
persaudaraan mendukung dalam menciptakan proses demokrasi. Kekebasan dalam
menyampaikan suara atau aspirasi politik melalui sistem politik yang sudah disepakati.
Persamaan dalam arti memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara yang telah
memenuhi syarat dan ketentuan untuk dapat berpartisipasi dalam mengambil keputusan
politik. Proses politik demokrasi merumuskan sebuah keputusan politik yang diberlakukan
bagi seluruh masyarakat dengan tujuan bagi keberlangsungan dan proses kebersamaan
masyarakat.
Demokrasi dalam arti sumber wewenang bagi pemerintah membahas mengenai
kekuasaan pemerintah. Hal ini berkaitan erat dengan pelaksanaan kekuasaan. Ketika suatu
masyarakat memilih pemimpin politik melalui cara demokratis maka ada kemungkinan
pemimpin tidak dapat menjalankan kekuasaan yang sesungguhnya. Hal ini terjadi karena
para pemimpin tersebut hanya menjadi boneka dari kelompok lain. Oleh karena itu perlu
adanya pembatasan kekuasaan. Dalam negara demokrasi para pembuat keputusan yang
terpilih tidak dapat menjalankan seluruh kekuasaan. Mereka harus membagi kekuasaan
melalui sistem pemerintahan dengan kelompok lain dalam masyarakat dengan terbuka.
Untuk melembagakan proses demokrasi memerlukan mekanisme yang disesuaikan
dengan kondisi masyarakat. Hal ini terkait dengan proses pengambilan keputusan politik
melalui pemilihan. Pengambilan keputusan dengan cara pemilihan tersebut untuk dapat
menentukan pihak yang berkuasa dan mekanisme pembagian kekuasaan. Oleh sebab itu
logis tatkala pada proses pemilihan terjadi keputusan politik yang menguntungkan satu pihak
sekaligus tidak menguntungkan pihak lainnya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk
perilaku politik demokratis.
Pemilihan dalam demokrasi pada dasarnya memperkenalkan suau derajat
ketidakpastian dalam proses politik. Dalam demokrasi tidak ada satu kelompokpun yang
yakin akan menang. Bahkan partai atau kandidat yang unggul, besar dan populerpun harus
siap menerima kekalahan (Sorensen, 2003). Dengan kata lain penguasa belum tentu
berkuasa, bahkan ada kemungkinan justru memunculkan konflik dengan elit atau
kepentingan lain.
Memilih penguasa melalui pemilihan merupakan hal terpenting dalam demokrasi
dan demokrasi baru menjadi riil apabila penguasa bersedia menyerahkan kekuasaannya
sesuai dengan hasil pemilihan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
pemimpin. Pertama, dua kelompok pemimpin politik utama dalam masyarakat menunjukkan
komitmen terhadap demokrasi sehingga bersedia menyerahkan jabatan dan kekuasaan
setelah kalah dalam pemilihan. Kedua, baik elite maupun publik bertindak di dalam
kerangka sistem demokrasi, kalau terjadi penyimpangan yang diganti adalah penguasanya.
Konsekuensi atas perilaku politik yang demokratis dalam pemilihan pemguasa ada
beberapa hal. Kekecewaan yang muncul atas keputusan politik dapat mengakibatkan
pengunduran diri, sinisme dan penarikan diri dari dunia politik oleh aktor politik yang tidak
terpilih atau tidak memperoleh kekuasaan. Reaksi menentang pemerintah yang sedang
berkuasa dapat muncul sebagai akibat dari adanya kelompok yang kecewa terhadap
keputusan politik. Selanjutnya kekecewaan terhadap demokrasi terkadang
menimbulkanreaksi anti kemapanan. Para pemilih tidak sekedar menolak partai yang
berkuasa, mereka juga menolak partai atau kelompok alternatif utama yang berada di dalam
sistem politik tersebut dan memberikan dukungan pada pihak lain. Reaksi yang bersifat anti

332
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pemerintah yang sedang berkuasa dan antikemapanan merupakan reaksi klasik kelompok
demokratis terhadap kegagalan di bidang kebijakan dan kekecewaan.
Keputusan politik sangat erat kaitannya dengan partisipasi politik masyarakat.
Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam demokrasi. Adapun rambu-rambu
mengenai partisipasi politik yaitu: Pertama, partisipasi politik adalah kegiatan atau perilaku
berupa sikap dan orientasi. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah
selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik (Ramlan Surbakti, 2007:141).
Senada dengan di atas, Syafiie (2001:142) mengemukakan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah.Partisipasi politik merupakan langkah penting dalam setiap kegiatan politik.
Tanpa partisipasi politik, maka segala ide-ide tentang suatu perubahan politik tidak akan
terlaksana. Keaktifan warga dalam politik juga dicerminkan dari partisipasi mereka dalam
mengikuti Pemilu sebagai kegiatan politik praktis.
Partisipasi politik juga sangat erat kaitannya dengan sosialisasi politik, mengingat
apabila sosialisasi politik di wilayah tertentu masih kurang tentunya berdampak pada
pengetahuan politik yang dimiliki oleh masyarakat setempat, sehingga pendidikan politik
menjadi bagian dari sosialisasi politik.
Pemilih Pemula
Dalam demokrasi, partisipasi politik ditentukan berdasarkan tingkat usia. Di
Indonesia seseorang akan memperoleh hak politiknya ketika berusia 17 tahun. Dari struktur
penduduk Indonesia, setiap periode pemilihan umum akan mendorong anak-anak muda yang
relative tidak/belum pernah berpartisipasi secara politik. Anak muda yang berusia pada
rentang 17-22 tahun ini merupakan pemilih pemula yang dalam demokrasi secara langsung
tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemilih pemula dalam konsep partisipasi memiliki hak
yang sama dengan pemilih yang lain. Hanya saja dikarenakan pemilih ini baru memiliki
pengalaman memilih, maka banyak faktor yang menentukan pilihan mereka.
Setiap periode pemilihan umum angka pemilih pemula relative besar, berkisar antara
30-40% dari total pemilih (bps.go.id). walaupun prosentase mereka besar, sampai saat ini
belum banyak partai politik, kandidat yang menggarap pemilih pemula secara serius. Hingga
saat ini belum banyak partai politik yang melakukan pendidikan politikserius terhadap
pemilih pemula. Pemilih pemula menggantungkan pendidikanpolitik kepada informasi media
massa,sesama teman, orang tua, atau guru di sekolah (Sasmita, 2011:217).
Pemilih pemula juga selalu berbeda dari generasi sebelumnya, sering ada perbedaan
ideology antara pemilih pemula dengan generasi sebelumnya (Kang, 2008). Pemilih pemula
saat ini juga identik dengan teknologi. Pemilih pemula cenderung familier dengan internet
sehingga informasi bisa mereka cari dengan mudah. Menurut AsosiasiPenyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) (Alamsyah, 2013), jumlah pengguna internet di Indonesia pada
2012 mencapai angka 63 juta. Penetrasinya sudah mencapai 24,23% dari total populasi
penduduk Indonesia. Dari total ini, 64.2 persen pengguna internet didominasi usia 12-34.
Dari sisi perangkat yang digunakan, 70,1% mengakses internet dari smartphone, 45,4% dari
notebook, 41% dari PC, 5,6% dari netbook, dan 3,4% lagi dari tablet. Dari data itu
menunjukkan bahwa pemilih pemula sangat melek informasi, walaupun beberapa hanya
menggunakannya sebagai sarana rekreasi. Pemilu legislative 2014 menjadi tonggak baru
bagaimana media sosial yang berbasis internet mampu menjadi media kampanye yang
efektif, terutama untuk menjaring suara pemilih pemula.

333
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif
didefinisikan sebagai sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam hal ini
data-data tertulis diperoleh dari informan yakni pemilih pemula yang melakukan memilih
pada pemilu legislatif 2014. Data yang didapatkan bukan digunakan untuk melakukan
generalisir, tetapi justru untuk mendalami perpektif pemilih pemula terhadap demokrasi dan
faktor yang mempengaruhi orientasi politik pemilih pemula.
Penelitian mengambil objek di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan objek
penelitian ini berdasarkan pada hasil kajian data bahwa hasil pemilu legislatif
memperlihatkan bahwa ada kecenderungan suara tertuju kepada sosok calon legislatif
ketimbang ke partai politik yang mengusungnya. Selain itu ada gejala heterogenitas pilihan
para pemilih yakni pemilihan berbeda untuk anggota DPR pusat, propinsi dan kabupaten.
Sebagai pemilih pemula, pemuda turut andil dalam pemilu legislatif. Pemuda lekat dengan
aksesibilitas yang tinggi terhadap informasi dan sosialisasi pemilu daripada orang tua
misalnya melalui media sosial. Pemilih pemula lekat dengan aktivitas padat dan aktif
misalnya di sekolah atau dunia kampus tentunya akan lebih banyak memiliki ruang dan
waktu untuk saling mendiskusikan seputar partai politik, caleg yang dapat mempengaruhi
pertimbangan memilih. Oleh karena itu obyek penelitian yang dalam hal ini adalah pemilih
pemula juga disesuaikan dengan kondisi latar belakangnya. Hal ini menjadi bahan analisa
untuk mengetahui orientasi politik pemuda dalam menentukan pilihan serta berbagai hal
yang mempengaruhi.

Pembahasan
Partisipasi dan Sosialisasi Politik Pemula
Partisipasi dan sosialisasi politik merupakan aspek penting dalam demokrasi.
Adapun rambu-rambu mengenai partisipasi politik yaitu partisipasi politik adalah kegiatan
atau perilaku berupa sikap dan orientasi. Selanjutnya kegiatan itu diarahkan untuk
mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Partisipasi
politik pemuda pada penelitian ini diarahkan pada kegiatan politik pemuda dalam
menghadapi proses pelaksanaan keputusan politik yakni pemilu. Sosialisasi politik
merupakan proses pembelajaran politik yang dialami oleh masyarakat. Dalam sosialisasi dan
pembelajaran politik, pemuda dipengaruhi oleh aktivitas dan kegiatan partisipasi politiknya.
Melalui wawancara diperoleh berbagai hal terkait dengan partisipasi dan tingkat
sosialisasi politik pemuda. Pemuda dalam hal ini mahasiswa/pelajar dan mengikuti
organisasi kampus/ sekolah memiliki ruang diskusi dan sosialisasi politik di lingkungan
sekolah, masyarakat dan organisasi yang diikutinya. Terlihat dari diskusi seputar pemilu
2014 banyak dilakukan bersama teman-teman di kampus dan di organisasi.
Menjadi menarik juga bahwa ternyata diskusi politik juga dilakukan di keluarga.
Karena informan dalam hal ini adalah pemilih pemula yang masih banyak mendiskusikan
tentang pilihan bersama keluarga serta kebiasaan mendiskusikan berbagai fenomena
mempengaruhi kebiasaan di keluarga. Sedangkan bagi yang tidak mengikuti organisasi
mengatakan bahwa lebih banyak mendapatkan sosialisasi politik melalui media massa dan
masyarakat. Sehingga nuansa diskusi lebih banyak diperoleh dengan pembelajaran melalui
media massa dan diskusi di masyarakat.
Pemuda dalam hal ini dalam kategori sudah bekerja baik yang mengikuti organisasi
maupun tidak mengikuti organisasi. Pemuda yang bekerja dan mengikuti organisasi
mendiskusikan serta mendapatkan sosialisasi politik di sekolah, lingkungan kerja,

334
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
masyarakat dan organisasinya. Sedangkan yang tidak mengikuti organisasi maka
mendapatkan sosialisasi di keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Dalam hal ini
pengaruhnya adalah lingkungan dan proses sosialisasi politik. Dari pemuda yang bekerja dan
mengikuti organisasi diperoleh informasi bawa akses dan sosialisasi politik diperoleh selain
dari lingkungan kerja, masyarakat juga karena organisasi yang diikuti.
Selain itu keterlibatan pemuda yang bekerja lebih banyak di organisasi masyarakat
maka yang menjadi menarik adanya keterlibatan dari kepala desa atau anggota organisasi
yang justru dalam pencalegan sehingga mempengaruhi pemahaman dinamika politik
pemuda dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini artinya keberadaan dan keikutsertaan dalam
organisasi membuat pemuda yang bekerja selain memanfaatkan waktu dan juga menjalin
relasi di masyarakat (selain lingkungan kerja) juga sangat mempengaruhi pola pikir dan
orientasi politik.
Bagi pemuda bekerja yang tidak ikut organisasi memang lebih banyak mendapatkan
sosialisasi politik melalui rekan kerja. Perbincangan politik ternyata turut mewarnai aktivitas
pekerjaan mereka. Aktivitas dan pekerjaan membuat mereka tidak mengikuti organisasi.
Sehingga aksesibilitas lebih banyak melalui media, keluarga dan terutama lingkungan kerja.
Artinya dalam hal ini aktivitas pemuda yang bekerja dengan organisasi maupun tanpa
organisasi memperlihatkan bahwa perbincangan dan sosialisasi politik tetap dilakukan
meskipun dalam konteks sosial yang berbeda.
Pada pemuda yang tidak memiliki aktivitas sekolah atau pekerjaan (pengangguran).
Dapat diasumsikan bahwa lingkungan sosial yang mewarnai kehidupannya adalah keluarga
dan masyarakat. Menjadi berbeda tatkala keikutsertaan dalam organisasi atau tidak. Pemuda
pengangguran yang ikut organisasi tentunya memperoleh ruang sosialisasi dan akses
pendidikan politik selain masyarakat dan keluarga adalah melalui organisasi. Namun
menjadi menarik adalah dari semua informan yang diwawancara ternyata sosialisasi
diperoleh lebih banyak melalui media baik cetak maupun elektronik. Keikutsertaan di
organisasi ternyata lebih karena memang tidak ada aktivitas lain sehingga bergabung dalam
organisasi tertentu namun dalam organisasi tersebut juga jarang untuk mendiskusikan
berbagai dinamika politik.
Bagi pemuda pengangguran yang tidak mengikuti organisasi, akses sosialisasi politik
juga lebih banyak diterima dari media baik cetak dan elektronik serta dari keluarga. Akan
tetapi pembahasan di keluarga ternyata juga tidak begitu mendalam. Lebih pada obrolan
biasa pada saat menikmati media elektronik.
Dari berbagai hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa perbedaan aktivitas/
partisipasi politik dan lingkungan sosial memberikan pengaruh terhadap sosialisasi politik
terhadap pemuda yang berujung pada sebuah keputusan politik. Sosialisasi menjadi hal yang
sangat berpengaruh karena pada tahap ini lebih menekankan pada pemilih pemula yang
notabene secara pengalaman politik masih terbilang baru dan pendidikan politik yang dilalui
lebih pada kerangka akademis dan teoritis. Ranah praksis yang dialami oleh pemilih pemula
masih dalam tahap politik di lingkup organisasi ataupun ketika terjun di parpol lebih pada
simpatisan yang terbilang baru. Artinya bahwa proses sosialisasi menjadi sangat penting dan
berpengaruh. Berbagai hal yang mempengaruhi sosialisasi politik bagi pemuda diantaranya:
1. Kebiasaan
Meliputi kebiasaan yang dilakukan dalam kelompok sosial/ organisasi tertentu sehingga
mempengaruhi pola pikir dan aktivitas anggota di dalamnya.
2. Aktivitas sosial
Aktivitas sosial memberikan pengaruh terhadap aksesibilitas baik informasi maupun
sarana prasarana.

335
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
3. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial memberikan pengaruh terhadap pola aktivitas dan intensitas dalam
kegiatan. Diantaranya lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan dan tanpa keduanya.
4. Relasi sosial
Keberadaan relasi atau jaringan sangat ditentukan oleh aktivitas yang dilalui pemuda.
Bagi pemuda yang mengikuti berbagai macam aktivitas maka relasinya akan semakin
banyak. Hal ini tentunya mempengaruhi proses sosialisasi politik.
5. Media sosial
Media sosial baik cetak maupun elektronik ternyata membawa pengaruh yang cukup
besar sebagai sarana sosialisasi dan pembelajaran politik pemuda. Hampir semua
informan menyatakan bahwa keberadaan media menjadi sangat strategis dalam
sosialisasi politik. Media memiliki peran besar dan cukup dominan di era saat ini. Hal
ini terbukti dengan pernyataan hampir dari semua informan bahwa mereka
memanfaatkan media sosial sebagai sarana mengakses informasi dan mendapatkan
sosialisasi politik.

Orientasi Politik Pemuda Pada Pemilu Legislatif 2014


1. Pandangan Pemilih terhadap Partai Politik
Identitas kepartaian menjadi hal yang sangat diperhatikan bagi pemilih pemula pada
ajang pesta demokrasi tahun ini. Dengan berbagai macam sarana dan ruang akses politik,
masyarakat memiliki kesempatan untuk dapat berdiskusi dan mendapatkan informasi terkait
partai politik dan caleg. Melemahnya kepercayaan terhadap partai politik menjadi sebuah
indikasi bahwa partai tidak lagi memiliki kekuasaan mengikat orientasi politik masyarakat.
Banyak pemilih menentukan pilihan pada sosok caleg dapat berimplikasi pada peta
persaingan politik terkait dengan koalisi partai dan sebagainya. Tentunya pemilihan sosok
pemimpin yang lebih diprioritaskan daripada nama besar partai membawa dampak pada
proses pemiliha. Ada harapan besar bagi pemilih pemula terhadap sosok pemimpin yang
dipilihnya. Adanya sistem dapat memilih partai atau nama caleg memberikan pengaruh pada
peta pemilihan para pemilih. Sesuai dengan mekanisme pemilihan pada pemilu legislatif
yang memilih anggota dewan dari tingkat daerah hingga nasional, beragamnya pilihan
menjadi sebuah fenomena yang cukup menarik. Tingkat ketidakpercayaan masyarakat
terhadap partai politik semakin membuat kaburnya identitas partai politik di Indonesia. Hal
ini dapat dibebabkan oleh berbagai hal diantaranya ketidakberhasilan partai politik dalam
menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat, ideologi partai politik yang kurang kuat atau
berbagai permasalahan oknum anggota partai politik yang menurunkan citra partai politik di
masyarakat serta sebaliknya yakni pengetahuan yang minim masyarakat tentang ideologi
partai atau semakin melemahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang dinamika politik
partai.
2. Dasar pertimbangan yang digunakan pemilih yang menentukan pilihan pada sosok
calon anggota legislatif
Orientasi politik pemuda pada pemilu legislatif 2014 memang sangat dipengaruhi
oleh proses sosialisasi politik yang dialami oleh pemuda itu sendiri. Berbagai macam ruang
dan lingkungan sosial membuat pemuda memiliki aksesibilitas berbeda-beda terkait
dinamika perpolitikan di Indonesia. Khususnya bagi pemilih pemula, dunia politik bagi
pemilih pemula adalah hal yang baru. Partisipasi menentukan nasib bangsa menjadi salah
satu hak dan kewajiban pemuda yang memenuhi syarat. Pemilih pemula dalam partisipasi
politik masih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan aktivitas sosialnya.

336
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Sistem pemilihan langsung pada pemilu 2014 memberikan kesempatan bagi rakyat
untuk dapat memilih baik nama partai maupun langsung nama caleg yang diusulkan. Sosok
calon legislatif yang bertarung dalam ajang pemilu agenda pertama (Legislatif) menjadi
salah satu kunci perolehan suara partai politik. Dari berbagai informan dalam hal ini pemuda
dengan latar belakang sosialisasi politik dan lingkungan sosial yang berbeda-beda diperoleh
hasil bahwa pemilihan pada sosok caleg memang menjadi pertimbangan pertama. Hal ini
bukan hanya pada saat pencoblosan saja, melainkan diskusi dan sosialisasi politik lebih
banyak diminati jika membahas terkait sosok caleg bukan partai.
Prestasi dan track record caleg menjadi pertimbangan bagi pemilih pemula.
Kemudahan sarana memperoleh informasi terkait caleg membuat para pemilih pemula dapat
memantau terkait sosok caleg tersebut. Adanya harapan pemimpin yang lebih baik pada
pemerintahan menjadi sebuah semangat bagi para pemilih pemula untuk benar-benar selektif
dalam memilih.
Pertimbangan yang dilakukan pemilih dalam menentukan pilihan pada sosok caleg
juga terkait dengan metode sosialisasi politik yang dilakukan. Ketertarikan para pemilih
pemula terhadap calon legislatif yang kreatif menjadi pilihan tersendiri. Kampanye melalui
media massa, media sosial serta televisi masih banyak diminati oleh pemilih pemula.
Mencermati berbagai pertimbangan pemilih pemula dalam menentukan pilihan, pemilih
pemula memang memiliki idealisme yang cenderung masih kuat dan sangat bersemangat
ketika membahas permasalahan bangsa ini. Hal ini pula yang menjadi dasar pertimbangan
pemilih pemula dalam menentukan pilihan terhadap sosok calon pemimpin mereka. Artinya
bahwa ada sebuah pertimbangan ideologis dan kesamaan pemikiran tentang bangsa yang
kemudian menjadi dasar seseorang atau pemilih pemula dalam memutuskan pilihannya.
Dari analisa tersebut diperoleh dasar pertimbangan pemilih pemula dalam
menentukan pilihan pada pemilu legislatif 2014 yakni :
a. Ideologi
Ideologi merupakan sebuah keyakinan atau pandangan terhadap suatu bangsa. Ideologi
menjadi dasar pertimbangan pemilih pemula dalam menentukan pilihan berdasarkan
sosok caleg karena kesesuaian ideologi menjadi dasar dalam kesamaan visi dalam
membangun bangsa.
b. Prestasi
Prestasi kerja adalah hal yang sangat mendasari para pemilih pemula dalam menentukan
pilihan. Prestasi kerja caleg yang ditunjukkan dengan bukti nyata dan hasil kerja yang
jelas sangat menarik simpati para pemilih pemula. Karena dengan prestasi kerja maka
ada motivasi yang tinggi dari para calon pemimpin untuk mau bekerja dan memikirkan
nasib rakyat menjadi lebih baik.
c. Track Record atau Latar belakang caleg
Track record atau latar belakang caleg melihat pada catatan sejarah calon-calon
pemimpin yang ada. Ketika caleg memiliki catatan sejarah yang buruk maka pemilih
kurang begitu tertarik dan percaya terhadap kinerjanya ke depan. Dasar pertimbangan
ini diperoleh para pemilih pemula dari berita dan catatan sejarah kiprah para caleg di
setiap wilayah masing-masing.
d. Metode Sosialisasi
Metode sosialisasi menekankan upaya-upaya menarik simpatik dan minat para pemilih
pemula. Dengan pertimbangan yang sangat idealis, para pemilih pemula enggan
memilih para pemimpin yang menggunakan cara-cara kotor seperti money politics.

337
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Kesimpulan
Pemilihan Umum Legislatif 2014 menjadi momen yang cukup bersejarah bagi
bangsa Indonesia. Begitu pula bagi para pemilih pemula. Kesempatan pertama menentukan
nasib bangsa Indonesia ke depan dilaksanakan dengan melaksanakan kegiatan politik yakni
menentukan pilihan terhadap para kandidat pada pemilu tersebut. Partisipasi politik pemilih
pemula sangat dipengaruhi oleh sosialisasi dan orientasi politik pemilih pemula. Sosialisasi
pemilu 2014 menjadi ujung tombak menarik simpatik para pemilih. Berbagai metode pun
dilancarkan untuk memaksimalkan kegiatan sosialisasi. Hingga pada akhirnya para pemilih
mampu menentukan pilihan berdasarkan tingkat kepercayaan serta pendidikan politik yang
diterimanya.
Sebagaimana yang terjadi bahwa hasil dari pemilu legislatif 2014 menyatakan
bahwa hasil yang terjadi adalah pemilihan berdasarkan sosok calon mengungguli pemilihan
berdasar partai politik. Inilah yang kemudian menunjukkan adanya perbedaan orientasi
pemilih baik dalam konteks pemilih pemula itu sendiri maupun masyarakat umum. Hal
tersebut dipengaruhi oleh keberhasilan dalam sosialisasi politik. Adapun sosialisasi politik
dapat diterima atau diserap pleh pemilih pemula ditentukan oleh beberapa hal yang
mempengaruhi sosialisasi politik bagi pemilih pemula yakni kebiasaan, aktivitas sosial,
lingkungan sosial, relasi sosial, media sosial.
Pandangan pemilih terhadap partai politik melihat pada pentingnya identitas
kepartaian partai politik sebagai dasar pertimbangan pemilihan, melemahnya kepercayaan
terhadap partai politik menjadi sebuah indikasi bahwa partai tidak lagi memiliki kekuasaan
mengikat orientasi politik masyarakat, strategi money politic dalam sosialisasi partai menjadi
hal yang mempengaruhi pemilih pemula untuk tidak memilih partai tersebut (Sasmita 2011).
Dasar pertimbangan pemilih menentukan pilihan berdasarkan sosok caleg disebabkan oleh
beberapa hal yakni ideologi, prestasi, track record atau latar belakang caleg, metode
sosialisasi. Pertimbangan pemilih pemula dalam menentukan pilihan kepada sosok caleg
daripada partai politik diantaranya menempatkan rasionalitas pemilih pemula yang lebih
melihat pada track record calon pemimpin, melemahnya kepercayaan terhadap partai politik
dan tidak disepakatinya sistem money politic. Adanya harapan pemimpin yang lebih baik
pada pemerintahan menjadi sebuah semangat bagi para pemilih pemula untuk benar-benar
selekstif dalam memilih

Implikasi
Penelitian ini membuktikan bahwa pada pemilu 2014 terutama pemilu legislatif,
pemilih pemula sebagai orang-orang baru yang turut berpartisipasi dalam menentukan nasib
bangsa ke depan telah berpartisipasi dan menggunakan hak politiknya. Para pemilih pemula
dalam bersosialisasi terkait pemilu dipengaruhi oleh kebiasaan, lingkungan sosial, aktivitas
sosial, relasi sosial dan media sosial. Hal ini membawa pengaruh yang cukup besar terkait
dengan pendidikan politik yang diterimanya. Terhadap pilihan calon dan partai yang lebih
condong pada pilihan calon karena terdapat pertimbangan rasional terhadap prestasi, tranc
record dan kepercayaan.
Variasi pilihan antar unsur partai pada level daerah hingga nasional
mempertimbangkan sosok calon yang diusung. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya
ketidakberhasilan partai politik dalam menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat, ideologi
partai politik yang kurang kuat atau berbagai permasalahan oknum anggota partai politik
yang menurunkan citra partai politik di masyarakat atau sebaliknya yakni pengetahuan yang
minim masyarakat tentang ideologi partai atau semakin melemahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang dinamika politik partai.

338
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Daftar Pustaka
Achen, Christopher. (2002). Parental Socialization and Rational Party Identification. Politic
Behavior. Vol 24. No 2. Pp. 151-170.
Alamsyah. (2013). Pemilih Pemula dan Pemilu 2014. SKH Sumatera Ekspress. 28
September.
Apprilah, Ahmad. (2011). Menimbang Partisipasi Politik Pemilih Pemula. tersedia pada
http://www.academia.edu/3854099/Menimbang_Partisipasi_Pemilih_Pemula),
diakses pada 20 Maret 2015
Aritonang. Deytri Robekka. (2014). Partisipasi Pemilih di Pemilihan Legislatif 2014 capai
75.11%. tersedia pada
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/10/0211249/KPU.Partisipasi.Pemilih.di.Pe
milu.Legislatif.2014.Capai.75.11.Persen.
Asmadi Alsa.(2003). Pendekatan Kualitatif Kuantitatif serta Kombinasinya dalam
Penelitian Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Cholisin. (2000). Dasar-dasar Ilmu Politik. Fakultas Ilmu Sosial. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Huntington, Samuel P. (1997). Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Kang, Wong-Taek. (2008). How Ideology Divides Generations: The 2002 and 2004 South
Korea Elections. Canadian Journal of Political Science. Vol 41. No 2. Pp 461-480
Nogee & Levin. (1959). Some Determinant of Political Attitudes Among College Voters.
The Public Opinion Quarterly. Vol 22. No 4. Pp 449-463
Salim, Agus. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sasmita, Siska. (2011). Peran Informasi PolitikTerhadap Partisipasi Pemilih PemulaDalam
Pemilu/Pemilukada. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.2,
No.1, Januari-Juni 2011. Pp. 217-224
Sorensen, Georg. (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surbakti, Ramlan. (2007). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Syafiie, Inu Kencana. (2001). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Tempo Edisi 24-30 Maret 2014. Laporan Khusus : Caleg Bersih. Majalah Berita Mingguan
ISSN : 0126 – 4273. hlm 98 -99.
Tempo Edisi 24-30 Maret 2014. Laporan Khusus : Dicari Caleg Jujur. Majalah Berita
Mingguan ISSN : 0126 – 4273. hlm 96 -97.
Tempo Edisi 24-30 Maret 2014. Nasional Dunia Lain Fans Jokowi.Majalah Berita Mingguan
ISSN : 0126 – 4273. hlm 37-38.

339
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
KITONG PU TANAH: TERBENTUKNYA ELIT LOKAL DALAM PEMEKARAN
DAERAH DI KABUPATEN MANOKWARI SELATAN, PROVINSI PAPUA BARAT

I Ngurah Suryawan
Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat
ngurahsuryawan@gmail.com

Abstrak
Artikel ini mendalami tentang proses terbentuknya para elit lokal dalam lahirnya
pemekaran daerah pemekaran baru yaitu Kabupaten Manokwari Selatan yang sebelumnya
bergabung di Kabupaten Manokwari pada tahun 2012. Proses terbentuknya para elit lokal ini
diwarnai dengan dinamika dalam bentuk siasat-siasat yang dipraktikkan para elit lokal yang
menggambarkan usaha mereka untuk mengakses kekuasaan ekonomi politik yang tersedia
dalam pemekaran daerah tersebut. Jaringan kekerabatan antar etnik dari masyarakat lokal
Manowkari Selatan yaitu Suku Arfak dengan sub suku Sough, Hattam, Meyakh dan
perdebatan tentang ‖penguasa tanah ulayat‖ menjadi pertentangan diantara masyarakat di
Manokwari Selatan. Secara teroritk, artikel ini mengapresiasi pengalaman pembentukan
identitas budaya Papua dan praktik-praktik yang dilakukan oleh para elit lokal sebagai
bagian dari bangsa Indonesia dan dunia. Dinamika yang terjadi menggambarkan bagaimana
konstruksi para elit dan imajinasi mereka tentang Papua berjalan sesuai dengan konteks dan
kepentingan politik mereka. Dengan demikian, kepentingan rakyat Papua dalam
mengkontruksi identitasnya kadang juga diambil oleh para elit untuk kepentingan kekuasaan
dalam kasus-kasus pemekaran daerah, khususnya yang terjadi di Kabupaten Manokwari
Selatan.
Kata kunci: dinamika, elit lokal, pemekaran daerah, kekuasaan

Pendahuluan
Keanekaragaman bangsa Papua sangatlah tinggi. Ini ditunjukkan dengan adanya
lebih dari 253 bahasa. Masing-masing bangsa memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial
dan kondisi geografis yang berbeda-beda. Ini juga termasuk budaya material dan bentuk
ekonomi yang sudah tentu berbeda. Terdapat tiga wailyah geografis yang berbeda yang
menentukan cara hidup rakyat Papua yaitu daerah pantai yang dihuni oleh nelayan dan
pelaut; daetah pegunungan yang padat penduduk dengan iklim yang sehat dihuni oleh para
petani; serta daerah tanah rawa yang sangat jarang penduduknya Heterogenitas adalah dasar
dari sukubangsa Papua, demikian juga dasar dari Indonesia sendiri. Namun, perbedaan yang
paling kentara adalah budaya-budaya di Papua tersebar daripada terpusat seperti yang terlihat
pada budaya Jawa dan Bali (Zolner, 2006: 66; Laksono, 2009a).
Identitas ke-Papuan-an tumbuh beriringan dengan sejarah pergolakan kekuasaan
yang dialami negeri Cenderawasih ini. Tahun 1961, Dewan Papua sepakat menyebut wilayah
mereka adalah Papua Barat, berbeda dengan nama yang dipakai Pemerintah Indonesia ketika
mengambil alih kekuasaan pada tahun 1963 atas daerah ini. Pemerintah Indonesia
memberikan nama wilayah ini adalah Irian Barat yang kemudian berubah menjadi Irian Jaya
pada 1969. Nama Irian sering diartikan sebagai Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.
Orang Papua membenci nama Irian Jaya karena menjadi symbol penghinaan Indonesia
terhadap budaya Papua. Pada 1998 setelah angin reformasi berhembus, rakyat Papua
menuntut daerah mereka dinamai Papua atau Papua Barat. Pada 1 Januari 2002 ketika
Undang-Undang Otonomi Khusus diberlakukan, nama Papua secara resmi digunakan.

340
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Identitas bagi bangsa Papua sendiri awalnya berarti identitas sekelompok kecil: keluarga,
desa kecil atau sekelompok kecil desa-desa. Identitas kelompok kecil atau pribadi itu
didefinisikan melalui bahasa, tradisi mengenai keluarga, agama, budaya dan cara hidup
secara umum yang biasanya berbeda dengan tetangganya. Masing-masing bangsa di tanah
Papua mempunyai identitasnya masing-masing, yang ditunjukkan dengan menyatakan
dirinya adalah manusia, orang-orang yang kemudian ditambahkan dengan nama desa atau
sungai asal mereka. Pada tahun 1900 mulai berkembang identitas umum orang Papua yang
kemudian pada tahun 1898 melalui pemerintah colonial Belanda membentuk pusat
pemerintahan di Manokwari. Melalui misi Kristen, masuklah para pengajar dan penginjil di
pantai utara. Kontak yang terus menerus dengan orang asing menumbuhkan identitas Papua
melebihi yang mereka alami sebagai kelompok kecil sebelumnya. Agama, dalam hal ini
agama Kristen, ikut berperan dalam menumbuhkan identitas budaya Papua meskipun
identitas sekelompok kecil Papua tetap utuh.
Artikel ini bertujuan untuk mengurai kompleksitas yang dipraktikkan para elit-elit
local di Manokwari dalam hubungannya dengan dinamika identitas-identitas lokal. Siasat
para elit ini dimainkan dalam berbagai ruang-ruang dalam perebutan akses-akses kekuasaan
dan ekonomi politik. Tujuan penelitian ini memetakan siasat-siasat elit local dan kisah-kisah
yang mereka lakukan dalam relasinya dengan identitas kebudayaan dan kekuasaan.
Artikel ini secara gamblang akan menunjukkan bagaimana relasi yang kompleks antara para
elit dengan rakyatnya. Secara detail penelitian ini juga bermanfaat untuk menguraikan
bagaimana tingkah polah para elit yang memainkan siasatnya diantara kepentingan rakyat
dan kekuasaan pribadinya. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan pengetahuan
tentang dinamika politik local dan kompleksitas kebudayaan yang saat ini terjadi di Papua.
Kajian Pustaka
Sejarah Pemekaran dan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dimulai dengan turunnya 2
Undang-Undang yang sama sekali tidak berjalan yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 45
tahun 1999 tentang pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua,
Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5 tahun 2000. Setelah gagal dalam
memberlakukan kedua UU tersebut dan untuk meredam perjuangan nasionalisme Papua
untuk merdeka, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang Undang 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Provinsi Papua (UU Otsus) yang ditandangani Presiden Indonesia ketika
itu, Megawati Soekarnoputri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001. Dalam pasal
76 UU Otsus dinyatakan: ―Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan
atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan
sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan
di masa datang.‖
Namun, belum lama pelaksanaan UU Otsus, Pemerintah Indonesia melalui
presidennya mengeluarkan Inpres Nomor 1 tahun 2003 untuk memberlakukan kembali UU
nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya
Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Pemekaran terus berlanjut, hingga saat ini di papua sudah terdapat 36 kabupaten/ kota, tiga
kali lipat jumlah kabupaten/kota sebelum reformasi. Proses pemekaran yang massif tersebut
tentu melanggar pasal 76 UU Otsus dan menyingkirkan peranan MRP dan DPRP.
Proses Otsus dan pemekaran Papua mencita-citakan otonomi lebih besar bagi
komunitas-komunitas Papua dan institusi-institusinya. Gagasan lainnya dari pemekaran
Papua dari Freddy Numberi dan JRG. Djopari dalam Pokok-pokok Pikiran tentang
Pemekaran Provinsi Papua adalah untuk memudahkan dan memperpendek rentang kendali
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan peningkatan pelayanan dan pembinaan

341
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kemasyarakatan dan yang terutama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. (Hommers,
2003: 18) Yang tak kalah pentingnya adalah Otsus dan pemekaran menawarkan bagian yang
lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari proyek-proyek penyerapan sumber daya di
Papua, termasuk 70% dari industri minyak dan gas dan 80% dari usaha-usaha pertambangan.
Selain itu, Otsus melibatkan dana-dana khusus yang menguntungkan komunitas-komunitas
pedesaan untuk jangka waktu 20 tahun. (Sumule, 2003; Timmer, 2007: 605)
Namun, otsus dan pemekaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
Papua pasca reformasi sangat kental nuansa membelokkan tujuan gerakan-gerakan
pembebasan Papua merdeka. Dengan demikian, otsus adalah momen transisi dari pemerintah
Indonesia yang mengalami krisis dan otoritasnya sangat lemah. Tekanan dari gerakan
pembebasan Papua Merdeka membuat pemerintah Indonesia berkepentingan untuk
menancapkan kembali otoritasnya melalui otsus dan pemekaran daerah. Maka konsesi-
konsesipun dilakukan agar Papua tetap menjadi bagian dari keutuhan negara Indonesia
(Widjojo dkk, 2009).
Perspektif lain adalah dari studi Timmer (2007) yang menunjukkan bagaimana
pemekaran sebagai proses ―pemecahan kekuasaan‖ akhirnya mengarah kepada kontestasi
para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal untuk menjadi tuan di atas
tanahnya sendiri. Di samping itu peringai elite politik yang haus kekuasaan semakin
menjadi-jadi. Bayangan dari otsus dan pemekaran daerah adalah melahirkan posisi-posisi
baru untuk pegawai negeri, peluncuran anggaran dan proyek semakin menguatkan keinginan
dari pejabat lokal untuk mendukung pemekaran. Akhirnya yang terjadi adalah arena
pertarungan untuk memperebutkan arena kekuasaan di kalangan pemerintahan (birokrasi)
dan sudah tentunya sumberdaya alam yang melibatkan identitas-identitas lokal di tanah
Papua.
Sisi lain dari Otsus dan pemekaran menjadikan semakin tumbuh suburnya
nasionalisme rakyat Papua. Sisi laten dari nasionalisme Papua adalah pengalaman orang
Papua di bawah pemerintah Indonesia—seperti banjir pendatang, marginalisasi ekonomi, dan
tindakan brutal oknum militer dan politik kepada rakyat Papua—semakin hadir di depan
mata melalui kebijakan Otsus dan pemekaran (Chauvel, 2008; Laksono, 2009).
Nasionalisme dan identitas ke-Papua-an mengalami pergolakan sejarah yang
panjang. Papua berada dibawah kekuasaan Belanda ketika menolak memasukkan West New
Guinea dalam perundingan kemerdekaan Indonesia pada akhir 1940-an. Pada tahun 1950-an
terjadi ketegangan antara pemerintah Belanda dan Indonesia mengenai status West New
Guinea. Namun, di tahun 1961 telah dirancang pengibaran bendera Bintang Kejora
berdampingan dengan bendera Belanda dan telah ada sebuah lagu kebangsaan Hai Tanahku
Papua yang akan dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda. Persiapan kemerdekaan
West New Guinea telah dilakukan Belanda dengan memandu sekelompok kecil rakyat
terdidik. Oleh para nasionalis Papua, Negara Papua Barat telah ada dan diproklamasikan
sejak 1 Desember 1961. Pada Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Tri
Komando Rakyat untuk pembebasan Irian Barat. Operasi Mandala, gerakan dari ABRI
dilakukan untuk memberikan tekanan pada Belanda.
Sentimen nasionalisme bangsa Papua semakin diperkuat dengan rentetan panjang
ingatan penderitaan rakyat Papua dalam tragedi kekerasan kemanusiaan dibawah otoritas
pemerintah Indonesia dengan aksi brutal tentara. Ingatan penderitaan bangsa Papua itulah
yang kemudian menjadi ingatan kolektif penderitaan yang diwariskan turun-temurun kepada
generasi bangsa Papua selanjutnya. Ingatan penderitaan itulah yang disebut dengan memoria
passionis dengan mengambil istilah dari seorang teolog Johan Baptist Metz. Memoria
passionis mengacu pada kenangan akan trauma akibat marginalisasi sosial dan ekonomis

342
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
secara umum, pengingkaran terhadap harga diri yang sering dilakukan, dan kadang-kadang
teror secara terbuka (Giay, 2000: 9; Timmer, 2007: 603).

Metode Penelitian
Seorang paitua (bapak) yang sudah mulai ringkih berjalan menjinjing map berwarna
merah baru saja turun dari mobilnya. Paitua itu mendekati saya dan sejak dari itu ia seolah
tidak berhenti bercerita tentang rencana pemekaran wilayahnya. Ia yang sebelumnya adalah
pejabat daerah di sebuah kabupaten di Papua Barat mengungkapkan akan memperjuangkan
pemekaran wilayah di kampungnya dan sebagian besar wilayah lainnya. Alasannya
sederhana, ―Agar masyarakt dong merasakan langsung dana-dana dari pemerintah. Dengan
demikian kesejahteraan mereka pun akan meningkat dengan sendirinya,‖ ungkapnya lugas.
Selain pemekaran distrik, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pemekaran kabupaten-
kabupaten dan provinsi baru di wilayah kepala burung Tanah Papua.
Paitua ini kemudian merinci bahwa jika ada orang dan daerah yang belum puas bisa
mengajukan pemekaran. Misalnya ada etnik yang merasa belum diakomodasi bisa
mengajukan pemekaran wilayahnya menjadi kabupaten difinitif. ―Tentu dong (mereka) harus
berjuang juga, jangan terima jadi saja,‖ jelasnya. Perjuangan yang dimaksud paitua ini
adalah memobilisasi dukungan di masyarakat, bekerjasama dengan anggota dewan dan
pejabat bupati induk agar memberikan izin dan merekomendasikan pemekaran tersebut.
Singkatnya bagaimana membuat dukungan pemekaran tersebut menjadi kuat dan betul-betul
diperjuangkan oleh para pejabat agar menjadi terealisasi.
Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan mengamati fonomena yang
ada di lapangan yang berhubungan dengan perilaku para elit local dan dinamika pemekaran
daerah. Metode pengamatan, observasi mendalam dipadukan dengan wawancara mendalam
kepada beberapa narasumber yaitu para elit local di Kabupaten Manokwari, Papua Barat dan
para elit local yang berkiprah dalam pemekaran daerah. Dari hasil pengamatan di lapangan,
Pemecahan wilayah melalui pemekaran seperti ilustrasi di atas jamak terjadi di Papua. Para
birokrat di sebuah provinsi misalnya akan memikirkan kembali untuk menoleh kampungnya
untuk dimekarkan. Peralihan aparat birokrat agar mendapatkan posisi yang lebih ―terhormat‖
di wilayahnya sendiri juga terjadi. Arus migrasi birokrat menjadi sebuah fenomena yang tak
terbantahkan. Ujungnya adalah jaringan etnik dan kekeluargaan yang menjadi salah satu
basis kuat dari desain pemekaran sebuah wilayah. Tentu persoalannya tidak sesederhana
demikian. Polarisasi di internal etnik di Papua juga terbukti menjadi pemicu dari rencana
pemekaran daerah.
Selain migrasi penduduk pendatang yang selalu dikhawatirkan dari pemekaran
daerah, migrasi birokrat dan perebutan posisi-posisi jabatan pemerintahan merupakan
perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya dari sebuah daerah operasional baru hasil dari
pemekaran daerah. Pengalaman saya menyaksikan bagaimana para birokrat berkumpul untuk
merebut hak jabatan di daerah pemekaran menggambarkan semuanya. Suatu hari di
pertengahan Februari 2013. Di halaman sebuah ruang pertemuan besar di pusat kota Distrik
Ransiki tampak sesak dengan puluhan warga. Beberapa warga juga berkumpul di ―mata
jalan‖ (pinggir jalan) sebuah gereja megah yang berhadapan dengan gedung pertemuan
distrik. Di dalam ruangan, kursi-kursi plastik sudah diatur memenuhi ruangan. ―Tong (kita)
harus bicarakan ini baik-baik. ―Barang‖ (pemekaran daerah) ini datang untuk tong semua,
jangan sampai orang-orang kabupaten duduk-duduk baku atur (saling mengatur) urus
―barang‖ yang tong punya,‖ ujar seorang paitua (orang tua) berbaju batik Papua biru sambil
mengunyah sirih pinang. Paitua ini adalah salah satu guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang
mempunyai hak ulayat di daerah pemekaran ini.

343
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Para PNS yang berasal dari keseluruhan distrik tersebut telah membentuk sebuah
tim untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pengaturan posisi-posisi birokrasi di
kabupaten baru ini. Mereka sebagian besar adalah para PNS yang bertugas di berbagai dinas
di kabupaten induk yang berbondong-bondong ingin menempati jabatan di kabupaten baru.
―Kitong para PNS ni harus menjadi tuan di kitong pu tanah. Jangan bawa orang dari luar.
Tong juga tra tau (tidak tahu), dong (mereka) mau kah tidak? Nan tong tra (Nanti kita tidak)
dapat bagian lagi,‖ ujar seorang PNS menyambung pertemuan siang itu.
Suasana menjadi tegang dan memanas ketika pimpinan rapat mulai mendata nama-
nama PNS yang pantas untuk dipromosikan menempati jabatan di kabupaten baru tersebut.
―Tong hanya berharap PNS-PNS yang memang ―anak tanah‖ ini bisa menikmati
pemerintahan baru yang terdapat di tanah kita sendiri. Jangan semua jabatan-jabatan penting
dipegang oleh orang luar dan tong menjadi penonton. Tong harus menjadi pelaku di daerah
pemekaran ini. Kitong pu (kita punya) tanah yang sekarang jadi ―barang ini‖ (pemekaran
daerah),‖ katanya disambut oleh tepuk tangan warga dalam ruang pertemuan.
Demam pemekaran memang disambut oleh sebagian besar warga masyarakat
dengan harapan akan datangnya kesejahteraan. Namun jika secara cermat dilihat, cita-cita
tersebut sangat kental bermuatan ekonomi politik. Argumentasi yang selalu terbangun dari
perjuangan tersebut adalah tong pu hak (politik) untuk menjadi tuan di negeri sendiri dan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pemilik tanah. Tidak ada yang salah dari
alasan ini. Otonomi khusus dan berbagai program afirmasi (pemihakan) yang dilakukan oleh
negara adalah tersirat sebagai bentuk pengakuan—meski diakui atau tidak—dari abainya
negara terhadap tanah dan rakyat di bumi cenderawasih ini.
Implikasi yang serius dari pemekaran ini adalah terpecahnya (kembali) Papua
manjadi lokalitas-lokalitas kekuasaan. Lapisannya kini menjadi semakin kompleks ketika
argumentasi-argumentasi etnik/suku dipergunakan sebagai dasar dalam tuntutan pemekaran
baik distrik (kecamatan) maupun kabupaten. Sejalannya (liniernya) argumentasi primordial
ini dengan pemekaran daerah ini tentu sangat merisaukan karena akan membuat Tanah
Papua (kembali) terkotak-kotak. Hirarki kebudayaan dan keanekaragaman etnik dan budaya
yang tinggi telah menjadi realitas yang tak terhindarkan dalam melihat Papua. Dan kini,
dengan berlangsungnya pemekaran daerah semakin menambah kompleksitas persoalan.
Tumpang tindih politik pemekaran dan birokrasi dengan kepentingan primordial suku saling
berkelidan dan silang-sengkarut yang mendominasi perbincangan tentang isu-isu pemekaran
daerah.
Hirarki primordial suku dan sistem nilainya telah mengkonstruksi kebudayaan Papua
sebelumnya. Pada tataran ini, orang Papua hanya sebatas memikirkan diri dan lingkungan
sukunya sambil membina jaringan kekerabatan melalui perkawinan dan ritual-ritual agama
dan kebudayaan. Masuknya pemekaran daerah mengguncang hirarki primordial ketika
berbagai kepentingan justru memecah belah kelompok suku ini sembari berhitung
keuntungan ekonomi politik apa yang bisa didapat. Di momen inilah mengimajinasikan
pemekeran daerah linier (sejalan) dengan kelompok etnik/suku menjadi sangat riskan dan
berbahaya dalam kondisi transformasi Papua. Argumentasi yang mengandaikan sebuah
wilayah didominasi oleh sebuah kelompok etnik/suku tertentu menyangkal realitas akulturasi
dan interkoneksi Papua dengan dunia luar. Pemikiran ini mengembalikan pemikiran tentang
kekhasan dan kelokalan kebudayaan Papua dalam sebuah wilayah yang seolah-olah tertutup
dengan perubahan.
Pemekaran daerah sebenarnya adalah peluang bagi setiap etnik di Papua untuk
merespon realitas akulturasi dan perubahan sosial yang terjadi. Peluang terbentuknya
pemerintahan baru memungkinkan momen lebih besar untuk setiap masyarakat tempatan

344
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
untuk memperoleh pelayanan publik yang layak dan secara tidak langsung meningkatkan
kesejahteraan. Secara ekonomi politik, kesempatan pemekaran daerah bagi masyarakat
setempat adalah peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengelola secara politik
daerah mereka. Namun titik balik yang sering terjadi adalah tersingkirnya masyarakat lokal
dari pelayanan public yang layak dan kehilangan kekuasaan politik untuk mengatur
daerahnya sendiri. Kedaulatan masyarakat ini diambil alih oleh para elit birokrasi dan lapis-
lapis elit lainnya (kepala kampung, tokoh adat dan agama dan yang lainnya) yang berkolusi
dengan elit birokrasi dan kuasa investasi modal. Memang tidak mengeneralisir, namun
desain pemekaran daerah sama sekali tidak memikirkan implikasi-implikasi kebudayaan
yang akan terjadi. Yang selalu menjadi fokus utama diantaranya adalah gedung
pemerintahan, kesiapan birokrasi, dan peluang-peluang ekonomi politik bagi masyarakat—
lebih tepatnya para elit lokal.
Pembahasan: Elit Lokal dalam Kekuasaan Pemerintahan
Siang itu, hari jumat tanggal 11 Mei tahun 2012 , langit diatas bentangan pulau
Cenderawasi tepatnya di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat terasa panas dihiasi
gunpalan awan tipis yang sedang memantulkan seberkas cahaya mentari ke bumi. Saat itu,
penulis bertemu dengan salah satu elite pemerintahan Kabupaten Manokwari yang berasal
dari suku Arfak. Adalah Hans Lodewyk Mandacan, S.IP.,M.Si.
Ruang kantor yang dipenuhi dengan buku-buku yang tertata rapih di almari, lembaran surat
dan arsip-arsip yang berserakan disana-sini, menjadi bukti artefak proses wawancara.
Ungkapan humor yang selalu diucapkan informan baik kepada stafnya maupun kepada
penulis, belum lagi penampilan informan dalam berbusana yang terkesan sederhana karena
hanyalah busana olahraga, seakan merubah alam pikiran penulis bahwa sesederhanakah
gaya busana elite pemerintahan?
Berbekal minuman aqua, menjadi penyegar dahaga, selama proses wawancara
berlangsung dalam kisaran waktu tiga jam. Pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepada
informan, dijawab dengan nada santai, serius,dan jelas. Bahkan ada informasi-infomasi
yang diceritakan terlepas dari topik penelitian yang terkesan cerita MOB, yaitu cerita humor
ala Papua. Semua informasi yang disampaikan informan kepada penulis itulah yang
kemudian dianalisa oleh penulis, dan diceritakan dalam bentuk cerita narasi dalam
bagian-bagian selanjutnya.
Keberadaan etnis di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat menarik untuk
disimak. Selain, terdapat suku-suku asli seperti Suku Arfak, Doreri, Kuri Wamesa,
Amberbaken, Karon, juga dihuni oleh etnis pendatang seperti Biak, Serui, Jayapura,
Wamena,Paniai, Pegunungan Bintang, Fak-fak, Kaimana, Jayawijaya, Jawa, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera, Aceh, Batak, Manado. Meskipun heterogenitas etnis yang tinggi,
jarang kita menyaksikan konflik antar etnis. Hal ini tak lepas dari cita-cita bersama
membangun tanah Papua sebagai tanah damai. Hubungan baik yang telah terjalin antar
etnis, di harapkan berlangsung sepanjang etnis-etnis hidup di atas tanah Manokwari baik
masa kini dan masa depan.
Kabupaten Manokwari dihuni kurang lebih oleh tiga suku besar, yaitu Arfak, Kuri
Wamesa, dan Doreri, yang sering disingkat ARDOMESA. Secara pemerintahan suku Kuri
Wamesa sudah mendapat wilayah pemekaran, yaitu kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten
Teluk Wondama. Sementara Suku Doreri mendiami wilayah pesisir hingga 500 meter diatas
permukaan laut. Selebihnya dari itu didiami oleh suku Arfak. Suku Arfakpun ada yang
mendiami pesisir seperti subsuku Meyah dengan marga Mandacan, Moktis, Mendodga.
Sementara Suku Arfak terbagi menjadi 4 subsuku yaitu Hatam, Moule, Sough, dan Meyah,
sementara Kebar-Karon,Moskona (mendiami pedalaman Teluk Bintuni).

345
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Sebelum Injil Kristus tiba pada tanggal 5 februari 1855 di pulau Mansinam, dan sebelum
pemerintahan modern masuk, tiga suku besar diatas saling bermusuhan, saling
perang.Namun, setelah masuknya injil, bertanda hidup baru. Jika suatu suku telah menerima
injil, maka akan menginjili suku-suku yang lain. Misalnya subsuku Hatam di Minyambow
menerima injil, maka berusaha menginjili wilayah subsuku Sough. Hingga sekarang, sudah
muncul suasana keakraban membentuk suku besar dan mulai bersatu yang namanya suku
besar Arfak.
Semenjak berjalannya roda pemerintah oleh Bupati terpilih masa periode 2011-
2016, setidaknya ada 3 indikator efektifitas berjalannya roda pemerintahan di kabupaten
Manokwari, yaitu, penyelenggaraan pemerintahan,pembangunan dan kemasyarakatan. Dari
sisi penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan normal. Diskomunikasi antara bupati dan
wakil bupati menjadi faktor penyebabnya. Hal lain, hingga kini Sekda definitiv Kabupaten
Manokwari belum dipilih. Contoh kongkrit, kasus pengrusakan fasilitas kantor bupati oleh
oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan mahasiswa. Pengrusakan disebabkan karena
para, aktor pengrusakan butuh kepastian tentang aspirasi mereka. Yang diinginkan oleh para
aktor pengrusakan adalah komunikasi dengan elite-elite pemerintahan.
Namun, karena mereka tak bertemu elite-elite pemerintahan Manokwari maka
terjadilah konflik yang berujung pada pengrusakan fasilitas perkantoran. Pemeritah Daerah
sewajarnya memberikan ruang komunikasi sebagai bentuk pelayanan terbaik bagi seluruh
etnis dan terutama suku Arfak sebagai suku asli. Ruang komunikasi tidak hanya ketika
mendengar aspirasi suku Arfak, tetapi keterlibatan mereka dalam proses perumusan
kebijakan daerah perlu dipertimbangkan,agar mereka merasa memiliki Kabupaten
Manokwari. Untuk hal yang terakhir ini sangat jarang kita saksikan. Namun, bukan berarti
tidak ada sama sekali, upaya untuk merintis jalan kearah tersebut terus dilakukan.
Salah satu strategi untuk memberikan ruang bagi suku Arfak dalam keterlibatan
pertemuan kebijakan-kebijakan daerah adalah mempersiapkan Sumber daya Manusia (SDM)
suku Arfak agar kelak ketika memasuki kelompok elite pemerintahan Manokwari
merekalah yang merancang kebijakan-kebijakan daerah. Upaya yang dilakukan adalah
memberikan fasilitas-fasilitas bagi yang hendak melanjutkan studi baik mahasiswa murni
maupun izin dan tugas belajar. Bantuan insidental, beasiswa rutin, dan pembangunan
asrama-asrama mahasiswa/wi merupakan upaya yang terus dan akan selalu dilakukan.
Ide tentang pemekaran memang bernilai positif, karena pemekaran bertujuan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pembangunan, dan kemasyarakatan. Melalui
pemekaran dapat memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan, agar
semua daerah bisa terfokus untuk pembangunan. Ini memang ide awal yang baik, namun
kita sering pula lupa memikirkan kesiapan infra struktur calon daerah pemekaran. Hanya
dua pilihan apakah kita persiapkan infra sturuktur sebelum pemekaran ataukah kita siapkan
dan benahi setelah pemekaran disahkan ? Selain itu, tak kala penting adalah kesiapan
Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam hal ini, sudahkan Sumber Daya Manusia (SDM)
Arfak sebagai suku asli di Kabupaten Manokwari disiapkan menduduki jabatan-jabatan
paling tinggi seperti bupati hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa ? Hal-hal ini layak
diperhatikan, mengingat daerah-daerah calon pemekaran cenderung menuai konflik. Konflik
yang terjadi,dilatar belakangi oleh perebutan kekuasaan. Misalnya penunjukkan calon
carateker Bupati, apabila diwilayah calon pemekaran terdiri dari 2 suku atau subsuku asli,
maka kata sepakat rasanya sulit. Belum lagi jabatan-jabatan didominasi oleh satu suku atau
subsuku tertentu. Bisa saja terjadi kecemburuan sosial antar suku atau subsuku yang
berujung pada konflik sosial antar suku atau subsuku.

346
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Oleh sebab itu, untuk meminimalisir konflik di wilayah calon pemekaran,
pendekatan budaya mutlak dilakukan. Perlu dikaji calon wilayah yang akan dimekarkan
terdiri oleh berapa suku atau berapa subsuku. Jika telah diketahui harus pula dipelajari
bagaimana karakter masing-masing suku dan subsuku. Bahkan, ketika roda pemerintahan
daerah pemekaran berjalan, pembangian orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan
tertentu haruslah proposional. Jangan jabatan hanya di dominasi oleh salah satu suku atau
subsuku saja. Menjelang Pilkada dengan agenda pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Propinsi Papua Barat, wacana orang asli Papua menghangat dibicarakan. Orang asli Papua
menjadi syarat wajib yang perlu dipenuhi oleh para kandidat. Akhirnya masing-masing
Partai Politik, masing-masing suku atau subsuku mengusung putra terbaiknya dengan latar
belakang etnis orang asli Papua.

Salah Para elit dari Suku Arfak di Kabupaten Manokwari dalam sebuah acara politik
berbalut ritual adat. (foto: I Ngurah Suryawan)

Suku Arfak sebagai salah satu suku asli penghuni Kabupaten Manokwari Propinsi
Papua Barat, tak ketinggalan mengusung putra terbaiknya. Dari tiga kandidat yang
memenuhi syarat untuk dipilih rakyat, salah satu kandidat berasal dari suku Arfak.
Meskipun, hanyalah satu suku Arfak yang mencalonkan diri pada Pilkada Gubernur
Papua Barat, namun tak secara otomatis semua suku besar suku Arfak mendukung putra
terbaiknya. Ada kelompok suku Arfak yang memilih etnis lain, sementara ada kelompok
suku Arfak yang memilih calon Gubernur yang sesama suku dan subsuku. Terjadi semacam
pecah suara, karena masing-masing kelompok yang berasal dari suku dan subsuku Arfak
memiliki kriteria yang berbeda dalam memilih pemimpin.
Bagi kelompok suku dan subsuku Arfak yang memilih calon gubernur yang berasal
dari suku yang sama, didasarkan pada beberapa kriteria. Pertama kriteri adat. Artinya calon
pemimpin yang didukung adalah keturunan kepala besar suku Arfak yang dipandang
347
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
sebagai ―pahlawan‖. Kedua, pengalaman pemerintahan. Artinya sang calon pemimpin yang
didukung adalah orang yang memiliki pengalaman menduduki jabatan sebagai Kadistrik,
dan Bupati. Apalagi sang calon gubernur adalah putra Arfak pertama yang menduduki
jabatan Bupati selama dua periode. Ketiga, kriteria kerohanian. Artinya sang calon
pemimpin yang didukung adalah orang yang mengimplementasikan program-program
pemebangunan dibidang kerohanian selama menjabat sebagai Bupati. Melalui program
andalan dibidang kerohanian seperti jembatan emas Papua-Israel. Program tahunan ini
tujuannya, mengirim para pendeta-pendeta semua dedominasi gereja dari Papua ke Israel.
Bantuan-bantuan berupa tunjangan bagi pelayanan pendeta-pendeta dari wilayah kota
hingga pelosok desa, bahkan bantuan-bantuan fisik bagi pembangunan gereja di prioritaskan.
Selain itu, kriteria etika perlu disuarakan oleh kelompok tersebut. Pilihan calon
Gubernur layak diberikan kepada putra asli suku Arfak, karena beliau selama menjadi
Bupati, Dia adalah ―pembuka pintu‖ bagi pembangunan orang Arfak. Dimulai dari
pemberian kesempatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) kepada orang Arfak, membuka isolasi
jalan ke wilayah-wilayah pedalaman, serta penempatan putra/putri Arfak pada jabatan-
jabatan di pemerintahan daerah. Wujud dukungan sekelompok suku Arfak kepada calon
Gubernur Papua Barat disampaikan langsung kepada sang calon.Subtansinya, kami hanya
memberi dukungan moral sementara dukungan material kami tak miliki.Respon sang calon
Gubenur laksanakan. Meskinpun ada pihak yang mendukung serta pihak yang didukung,
namun tidak terdapat kontrak politik sebagaimana lasimnya perpolitikan di Indonesia.
Kondisi ini diperkuat oleh perasaan iklhas antara pendukung dan calon pemimpin. Para
pendukung mengatakan kami mendukung karena criteria di atas, sementara sang calon
Gubernur adalah orang pemerintahan yang selalu memegang teguh prinsip bahwa tidak
boleh memberi janji sesuatu.
Dinamika Internal Suku Arfak: Polarisasi dan Perebutan Kekuasaan
Namun, saat ini suku-suku mulai terpecah karena faktor politik yakni terkait dengan
persoalan kedudukan dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Memang terpecah, namun
peerpecahan sementara, tidak berkeping-keping. Seorang intelektual suku besar Arfak suatu
ketika, mengatakan akan mempersatukan semua kembali. Proses tersebut dilakukan dengan
musyawarah adat lewat intelektual suku Arfak. Melalui Musyawarah Adat, diharapkan
hubungan yang terpecah baik dengan suku besar Arfak maupun dengan pemerintahan
kabupaten Manokwari terjalin kembali.
Situasi Pemerintahan di Kabupaten Manokwari saat ini, dalam situasi goyang dan
masyarakat resah terhadap pemerintahan. Keresahan dipengaruhi oleh faktor pelayanan di
kantor-kantor pemerintahan dan pelayanan manajemen pemerintahan yang keliru. Hal yang
pertama, selama proses politik berjalan ada yang menang ada yang kalah Yang menang
setelah dilantik, maka harus beranggapan bahwa proses politik itu selesai, seiring dengan
waktunya. Tetapi yang dihadapi adalah proses pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat.
Untuk itu seorang kandidat yang sudah menang, seharusnya kembali merangkul
teman-teman yang kalah dan masa kembali. Tidak boleh mendiskreditkan dan menonjobkan
yang lain, tetapi merangkul orang-orang kuat di pemerintahan. Kesempatan bagi orang Arfak
menduduki kelompok elite pemerintahan di Kabupaten Manokwari belum banyak, mungkin
bisa dihitung dengan jari saja. Orang Arfak dikatakan berkembang atau semacam maju,
tidak boleh mengabdi di Kabupaten Manokwari saja, harus bercongkol atau melalang buana
ke luar. Seperti halnya salah satu tokoh intelektual Arfak yang pernah bertugas di Wamena
selama kurang lebih 10 tahun. Bahkan beliau bukan menjadi PNS melalui formasi
Kabupaten Manokwari melainkan Wamena. Orang Arfak jangan menuntut menjadi Pegawai

348
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Negeri Sipil (PNS) dan piring makannya hanya di Kabupaten Manokwari, sesungguhnya
Dia harus keluar daerah juga. Inilah indikator kemajuan orang Arfak. Sejak awal, banyak
orang Arfak yang belum mengerti tentang pendidikan, hanya berpikir membuat kebun,
pelihara babi dan kawin. Perkawinan misalnya, pemuda/pemudi Arfak yang baru berusia
1-2 tahun sudah di jodohkan oleh orang tua. Misalnya marga Indow dan Marga Ronsumbre,
karena teman akrab, setelah memperoleh anak, anak sudah dijodohkan sejak kecil. Jadi,
mengikat hubungan keakraban supaya jangan pisah. Katakan bila ada suanggi datang,
jangan bunuh dia itu saudara kita, anak ini sudah dikasih jodoh dengan Dia punya anak.
Sehingga dewasa sudah tidak kemana-mana, karena orang tua sudah jodohkan artinya
sudah terikat oleh adat. Mau dan tidak mau harus kawin. Mau sekolah tidak bisa, orang tua
bilang karena engkau sudah terikat dengan perempuan ini jadi kalau anda sekolah nanti
kawin dengan perempuan yang lain, nanti jadi masalah, yang akan mengakibatkan dendam
yang berujung pada pembunuhan, karena sudah menikmati harta maskawin.

Salah satu pasangan calon gubernur Papua Barat 2010-2015, Dominggus Mandacan dan
Origenes Nauw. (foto: I Ngurah Suryawan)

Dalam konteks yang maha modern, fenomena budaya orang Arfak sudah mulai
bergeser. Cuma diharapkan, orang Arfak tidak boleh bertugas di Manokwari,harus merantau
dan bertugas di wilayah lain, nah itu baru orang Arfak bisa dikatakan maju. Memang,
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi orang Arfak merupakan kebanggaan karena
memiliki nilai gengsi sosial yang tinggi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi daya tarik
suku Arfak. Ketertarikan orang Arfak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), didorong oleh
spirit bahwa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dipandang segala-galanya, artinya
martabat tinggikan. Artinya bisa memakai pakaian dinas, ada NIP, masa depan terjamin.
Menjelang Pemilukada Kabupaten Manokwari pada tahun 2011, suku Arfak
memang telah menyiapkan putra-putra terbaik untuk dicalonkan memimpin Manokwari.
Namun, tentang siapa putra terbaik, alangkah baiknya dinilai oleh suku-suku lain. Jika
orang Arfak yang menilainya sendiri, ditakutkan ada prasangka menipu. Haruslah orang lain
349
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
yang mengatakan hal tersebut. Berbicara tentang putra terbaik, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah dia terbaik dikalangan orang Arfak? Ataukah terbaik bagi semua suku-suku
yang mendiami kabupaten Manokwari? Mengingat, cirri masyarakat Manokwari
dikategorikan sebagai masyarakat heterogen. Jika Ia terbaik bagi semua suku-suku, maka
inilah pemimpin ideal yang disebutnya sebagai seorang negarawan. Ciri-ciri negarawan
adalah Ia tidak membedakan suku, agama dan ras.Itulah putra terbai,akan tetapi jika hanya
terbaik dikalangan suku Arfak itu bukan terbaik namanya.Terbaik harus dumulai dari tingkat
desa, ditingkat distrik, kabupaten, dan tingkat nasional.
Dalam konteks Pemilihan Bupati Manokwari, elite pemerintahan propinsi Papua
Barat dengan latar belakang etnis Arfak, berpandangan bahwa kriteria terbaik antara lain,
pertama harus berjiwa negarawan, yang tidak membedakan suku,agama, dan ras. Kedua, dari
sisi pemerintahan haruslah bersih, berwibawa dan memberikan pelayan terbaik bagi semua
masyarakat. Ketiga,dapat disimpati oleh seluruh masyarakat.Karena Dia adalah pemerintah
haruslah perintah.Satu keputusan seluruh masyarakat mengikuti. Tetapi hingga kini
pemerintah Manokwari tidak berwibawa. Contoh Pemerintah Manokwari mengeluarkan
PERDA No.5 tahun 2006 tentang MIRAS, tetapi keputusan tersebut menjadi bencong.
Bencong artinya tidak dihargai atau lemah. Masih terdapat orang Mabuk. Pertanyaannya
wibawa pemerintah Kabupaten Manokwari ada dimana?
Pada saat tabuh pemilihan kepala daerah kabupaten Manokwari dibunyikan,
bertanda pemilihan kepala daerah dimulai, kompetisi diantara suku Arfakpun terjadi.
Ketatnya perebutan kekuasaan membuat kompetisi Pemilukada Kabupaten Manokwari,
berlangsung dua putaran. Pada putaran pertama terdapat tiga putra terbaik Arfak yang
saling bersaing memperebutkan kursi bupati Manokwari. Hasil akhir menunjukkan bahwa,
salah satu putra terbaik Arfak tersisih, sehingga tak bisa melanjutkan ke putaran kedua.
Sementara dua kandidat terbaik suku Arfak melanjutkan ke putaran kedua.
Pihak yang tersisih tidak menerima keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sehingga ingin mengungat secara hukum salah satu calon bupati yang berasal dari suku
Arfak yang lulus ke putaran kedua. Ada dua subtansi gugatan, pertama telah terjadi
manipulasi data serta kecurangan-kecurangan saat Pilkada berlangsung. Kedua, sang
kandidat adalah anak kepala suku besar Arfak, sehingga layak memimpin Manokwari.
Namun, pihak kedua yang digugat mengatakan bahwa bapak jangan gugat saya, nanti kamu
kalah juga, saya akan koalisi dengan suku Arfak yang lain. Karena masa pendukung saya
adalah 32.994.000 suara. Sebagian besar suara terdiri dari 60%-70%, suara keluarga besar
marga. Selain itu, Pemilukada bukan memilih seseorang dengan mempertimbangkan Dia
anak kepala suku, karena nanti bisa di kategorikan Kabupaten Manokwari adalah
pemerintahan suku. Meskipun demikian, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MA)
memenangkan pihak pertama,dan sekaligus wajib melanjutkan ke putaran kedua. Pihak
kedua yang digugat menerima gugatan dengan perasaan ―dendam politik‖.
―Dendam politik‖ terbawa dan dipraktikan pada putaran kedua yang menyisahkan
dua putra Arfak terbaik. ―Dendam politik‖ menjadi semacam spirit yang menggerakan
calon bupati yang tersisih pada putaran pertama beserta masa pendukungnya dalam memilih
pemimpin di kabupaten Manokwari. Massa pendukung menjatuhkan pilihan pada calon
bupati yang tidak menggungat sang calon yang tersisih. Bahkan sang calon yang tersisih
mengatakan bahwa “masa sa mendukung yang gugat sa, tidak mungkin. Itu otomatis.”.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa ―dendam politik‖ sebagai awal perpecahan suku
Arfak dalam memilih pemimpin. Dalil sang elite pemerintahan propinsi Papua Barat,
bahwa ini disebabkan oleh bupati terdahulu.

350
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Bupati terdahulu yaitu Dominggus Mandacan, seharusnya setelah habis masa
jabatan dua periode sebagai bupati pertama kabupaten Manokwari yang berasal dari suku
Arfak, seharusnya sudah memiliki konsep. Setelah menjabat sebagai bupati, siapa lagi putra
terbaik suku Arfak yang disiapkan menjadi bupati, dan setelah turun dari jabatan buparti
harus berkarier dimana. Tetapi yang terjadi, konsep tersebut tidak ada. Jadi, sang bupati
terdahulu seharusnya mengumpulkan suku besar Arfak, dan mengatakan kursi di kabupaten
Manokwari cuma satu. Oleh sebab itu, sang bupati menfasilitasi dengan dana untuk semua
suku besar Arfak duduk bersama dan membicarakan kira-kira siapa putra terbaik suku besar
Arfak yang layak di calonkan sebagai bupati Manokwari. Supaya jangan membuat
kecapean, mengeluarkan uang, dan supaya kedepan juga suara suku besar Arfak jangan
pecah karena politik dan lain-lain.
Ketika sang kandidat bupati tersisih menjatuhkan pilihan pada salah satu kandidat
yang maju ke putaran kedua, dan disampaikan kepada massa pendukung,jangan melakukan
hal-hal yang merugikan masyarakat umum. Mari kita kembali koalisi. Tim sukses di
kumpulkan dan bergerak baik keluarga besar untuk memenangkan salah satu putra terbaik
Arfak. Memang ada sekelompok suku Arfak, yang bersifat menunggu petunjuk dari sang
calon tersisih. Massa pendukung hanya melihat sang calon bupati tersisih bukan calon
bupati. Dukungan kepada salah satu putra Arfak pun disampaikan oleh sang calon bupati
tersisih kepada sang calon bupati. Respon sang bupati secara lisan dan beliau doakan kami
semua. Pertemuan antara sang bupati tersisi dengan sang bupati yang tampil pada putaran
kedua, maka terjadi komitmen politik. Subtansi komitmen politik adalah jika terpilih menjadi
bupati, maka sang kandidat tersisih akan di ditetapkan sebagai Sekretaris Daerah (Sekda)
Kabupaten Manokwari. Namun, hingga kini komitmen politik yang telah disepakati tidak
terlaksana. Salah satu penyebabnya adalah bahwa karena komitmen politik disampaikan
secara lisan sehingga barangkali sudah dilupakan.
Menjelang Pemilukada Gubernur/wakil gubernur atau boleh saja disebut situasi
perebutan kekuasaan gubernur, terdapat tiga kandidat yang berlatar belakang suku yang
berbeda, sama-sama bertanding untuk merebut kekuasaan gubernur. Salah satu kandidat dan
memang satu-satu kandidat yang berasal dari suku besar Arfak. Agar kursi gubernur
berada digenggaman suku besar Arfak, maka berbagai strategi mutlak dilakukan. Dukungan
masa terutama suku besar Arfak sangat didambakan guna mencapai kekuasaan.
Suku besar Arfak yang mendiami Manokwari, sejak awal ada tafsiran bahwa suara
suku besar Arfak dalam mendukung kandidat yang berasal dari sesama suku akan mendapat
suara signifikan. Dugaan tersebut meleset, karena suara suku besar Arfak mengalami apa
yang penulis sebut perpecahan suara. Perpecahan suara suku besar Arfak disebabkan ole ide
atau semacam spirit yang berbeda-beda dalam memilih pemimpin. Ada kelompok suku
besar Arfak, yang tidak menjatuhkan dukungan suaranya kepada kandidat suku Arfak
melainkan suku yang lain. Kelompok ini berangkat dari spirit bahwa Pilkada Gubernur
adalah memilih pemimpin propinsi bukan pemimpin suku. Kalau pemimpin suku dukungan
pasti diberikan kepada kandidat yang berasal dari suku besar Arfak. Sementara pemimpin
propinsi adalah pemimpin untuk semua penghuni Papua Barat, entah berbeda agama, suku
dan ras. Jadi, harus melihat kualitas individu. Individu yang telah teruji dan terbukti sudah
membuat sesuatu. Artinya, individu yang memiliki pengalaman dibidang pemerintahan dan
tak pernah tersandung pelanggaraan etika pemerintahan

351
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Barnabas Mandacan, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Domberai di Kabupaten
Manokwari, Papua Barat. (foto: I Ngurah Suryawan)

Antusias dukungan kepada kandidat yang berasal dari suku yang lain, disampaikan
oleh kelompok suku besar Arfak kepada sesama suku besar Arfak yang memang memiliki
kesamaan ide. Dukungan fasilitas berupa mobil, bahkan pesawat sewaan digunakan oleh
kelompok tersebut untuk berkampanye. Kelompok yang seide biasanya terdiri dari sesama
marga baik melalui perkawinan kedalam maupun perkawinan keluar. Bahkan, untuk
memberikan jaminan kepada sesama suku besar Arfak, agar pilihanya tepat, nasehat rohani
diungkapkan. Sang kandidat yang berasal dari luar suku besar Arfak, datang bukan sekedar
membuang langkah, tetapi Dia adalah utusan Tuhan bagi propinsi Papua Barat. Melalui
kandidat tersebut, harkat dan martabat suku besar Arfak ditinggikan. Jadi, jangan melihat
suku tetapi lihatnya individu yang mampu mengubah suku asli Manokwari menuju
kesejahteraan.

Kesimpulan
Dinamika politik lokal di Papua masih diwarnai dengan fenomena yang
menempatkan identititas-identitas local, dalam hal ini etnik-etnik local sebagai modal social
dalam arena-arena perebutan kekuasaan. Identitas-identitas local yang masih terus bergerak
di Papua terbukti dalam penelitian ini harus berhadapan dengan peluang-peluang yang
disodorkan oleh pemerintahan modern. Rakyat Papua dengan heterogenitas etniknya
menghadapi tantangan ketika berhadapan dengan peluang-peluang kekuasaan lokal dalam
hal pemerintahan birokrasi dan jabatan-jabatan di pemerintahan.
Penelitian ini menemukan bahwa di Kabupaten Manokwari dan Provinsi Papua Barat,
fenomena sentiment etnik masih terjadi. Suku Arfak sebagai suku yang dominan mendiami
wilayah Manokwari berusaha untuk merebut posisi-posisi birokrasi dengana argumentasi
sebagai pemilik tanah di Manokwari. Para elit local Suku Arfak menggunakan identitas etnik
mereka sebagai modal untuk merebut kekuasaan-kekuasaan local di Manokwari (Bupati
352
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Manokwari dan Gubernur Papua Barat). Dalam perebutan kekuasaan local inilah terjadi
polarisasi dimana di internal suku Arfak sendiri mengalami perpecahan untuk perebutan
kekuasaan-kekuasaan local tersebut.
Para elit local dengan sadar mereproduksi serta mengeksploitasi identitas etnik mereka
sebagai modal social untuk bersaing merebutkan kekuasaan-kekuasaan. Pada momen inilah
menjadi samar-samar apakah mereka akan memperjuangkan kepentingan rakyatnya atau
mengorbankan rakyat hanya untuk kepentingan pribadinya.

Daftar Pustaka
Aditjindro, George Junus. 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian
Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
Al Rahab, Amiruddin. 2010. Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma, dan Separatisme,
Jakarta: Komunitas Bambu, Imparsial dan Foker LSM Papua.
Alua, Agus A. 2002. Mubes Papua 2000 23-26 Februari : Jalan Sejarah, Jalan Kebenaran,
Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar
Timur.
Alua, Agus A. 2002a. Dialog Nasional Papua dan Indonesia 26 Februari 1999: Kembalikan
Kedaulatan Papua Barat, Pulang dan Renungkan Dulu, Jayapura: Sekretariat
Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Alua, Agus A. 2002b. Kongres Papua 2000 21 Mei- 04 Juni: Marilah Kita Meluruskan
Sejarah Papua Barat, Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro
Penelitian STFT Fajar Timur.
Alua, Agus A. 2006. Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtisar Kronologis,
Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar
Timur.
Binur, Macx, 2005.―Menyanyi dan Menarikan Air Mata Papua‖ Prakarsa Rakyat, Inisiatif
Perlawanan Lokal Simpul Kepala Burung Papua Periode Juli - September 2005.
(diakses Maret 2011)
Brata, Aloysius Gunadi, 2008, ―Pemekaran Daerah di Papua: Kesejahteraan Masyarakat vs
Kepentingan Elit‖, makalah Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi:
‖Dampak Bencana Alam dan Lingkungan Terhadap Pengelolaan Ekonomi
Indonesia‖, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga,
Surabaya, 20-21 Agustus 2008.
Broek, Theo van Den, 2002. ―Kerangka Acuan Lokakarya Membangun Budaya Damai
Menuju Papua Tanah Damai‖, 25-30 November 2002.
Cahaya Papua, ―FPSBA Serukan Balonbup Non Arfak Mundur, Kemelut Pemilukada
Manokwari‖, Cahaya Papua 12 April 2011.
Cahaya Papua: http://cahayapapua.co.id/2011/03/16/12-parpol-sokong-mandacan-nauw/
(diunduh 5 Juni 2011)
Chauvel, Richard. 2005. Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and
Adaptation. Washington: East-West Center
―Gerakan Masyakarat Sipil di Papua‖, Wawancara Simone Baab dan Victor Mambor dengan
George Junus Aditjondro, fokerlsmpapua.org (diakses 10 April 2011)
Giay, Benny, 2000. Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi
Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Els-ham Papua.
Giay, Benny, 1986. Kargoisme di Irian Jaya. Sentani: Region Press.
Giay, Benny, 2008. Mari Mengambil Alih Kendali Kehidupan: Memperjuangkan Pemulihan
Negeri Ini (Kumpulan Renungan Pdt. Benny Giay). Jayapura: Penerbit Deiyai.

353
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Giyai, John Yontinus, 2010, ―Resistensi Masyarakat Mimika terhadap Pelaksanaan Otonomi
Khusus di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua‖, tesis di Program Magister Kajian
Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana 2010.
Garnaut, Ross dan Manning, Chris. 1979. Perubahan Sosial-Ekonomi di Irian Jaya. Jakarta:
PT Gramedia
Hernawan OFM, J. Budi., 2006, ―Membangun Papua Sebagai Tanah Damai: Sumbangan
Gagasan untuk Sinode Keuskupan Jayapura‖, (makalah), Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian Keuskupan Jayapura.
Hommers, Paulus L. 2003. ―Kontroversi dalam Kasus Pemekaran Provinsi di Papua‖ dalam
Jurnal Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih
Vol. 1, No. 3, Desember 2003.
ICG. 2006. ―Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog‖, Update Briefing, Asia
Briefing No. 47. Jakarta/Brussels, 23 Maret 2006.
ICG. 2002. ―Sumberdaya dan Konflik di Papua‖, Update Briefing, Asia Briefing No. 39.
Jakarta/Brussels, 13 September 2002.
Kompas, 23 Februari 2010
Laksono, P.M. 2009. ―Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami
Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital‖. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 27 Oktober
2009.
Rumbiak, John. Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan
Nasional dan Pembangunan), (artikel tanpa tahun), elsahmnewsservice (diakses
Januari 2011)
Mandowen, Willy. 2006. ―Papua Barat dan Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri: Sebuah
Tantangan Hak Asasi Manusia‖ dalam Dr. Theodor Ratgeber (ed), Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Papua Barat: Studi Realitas Sosial dan Perspektif
Politis, Jakarta: Sinar Harapan.
Pamungkas, Cahyo. 2004. ―Konflik Elit Lokal dalam Pembentukan Provinsi Irian Jaya
Barat‖, Jurnal Masyarakat Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Indonesia, Jilid XXX. NO. 1. 2004
Rathgeber, Theodor Dr. 2006. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat: Studi
Realita Sosial dan Perspektif Politis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama
dengan The Evangelical Church in the Rhineland dan Gereja Kristen Injili di Tanah
Papua.
Sumule, Agus. 2003. Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek. Manokwari:
Yayasan Topang.
Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua Sebuah Perspektif Papua. Jakarta: SKP
Jayapura.
Timmer, Jaap, 2007, ―Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua‖, dalam Henk
Schulte Nordhold dan Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, hal. 595-625
Tsing, Anna. Lowenhaupt.1998. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi
pada Masyarakat Terasing. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tsing, Anna. Lowenhaupt. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton
and Oxford: Princeton University Press.
―Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa‖
http://papuawoman.blogspot.com/2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-
biasa.html. (Diakses 20 Oktober 2010).

354
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Widjojo, Muridan. 2001. ―Diantara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Kekerasan:
Konflik Papua Pasca Orde Baru‖, Paper dalam kerangka ―Proyek Penelitian Transisi
Demokrasi di Indonesia‖ yang diselenggarakan oleh LP3ES dan disponsori oleh The
Ford Foundation pada tahun 2001.
Widjojo dkk, Muridan. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past
and Securing the Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.

355
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
MENGURAI SIMPUL KEKUASAAN INTERNASIONAL PADA INDIGENOUS
KNOWLEDGE BERBASIS GENDER DAN PERUBAHAN IKLIM

Ikma Citra Ranteallo


Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana, Bali
ikma_citra@yahoo.com

Abstrak
Komunitas-komunitas masyarakat adat di dunia telah terlibat dalam berbagai
negosiasi dan penyusunan kebijakan dalam tingkat regional, nasional dan internasional, yang
terkait perubahan iklim. Namun demikian, masyarakat adat masih mengalami berbagai
ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Belum banyak penelitian terkait gender
yang mempertanyakan bahwa perubahan iklim dijadikan isu global oleh berbagai
kepentingan, sehingga pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam tindakan-tindakan
berisiko akhirnya harus dipaksa untuk bertanggungjawab pada segala konsekuensinya.
Tulisan ini adalah hasil analisis kritis Sosiologi Lingkungan secara deskriptif untuk
memperdebatkan instrumen-instrumen gender internasional yang mengontrol relasi gender,
masyarakat adat, indigenous knowledge dan lingkungan terkait pembangunan serta upaya-
upaya pencegahan dan pengurangan pemanasan global.
Kata kunci: gender, indigenous knowledge, masyarakat adat, perubahan iklim,
pembangunan, Sosiologi Lingkungan

Pemanasan global telah menjadi simbol dan contoh pertentangan antara kebenaran dan
propaganda.
-Václav Klaus, 2012:xxii-

Pendahuluan
Isu perubahan iklim dan pemanasan global telah menjadi agenda penting dunia
karena dianggap sedang mengancam keamanan manusia. Beberapa pertemuan internasional
telah digelar untuk membahas, menganalisa dan merekomendasi serangkaian solusi-solusi
standar pengurangan dampak perubahan iklim. Komisi Bruntland tahun 1997 menggunakan
istilah ‗pembangunan berkelanjutan‘ dengan mengajukan isu Our Common Future.
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio, disusul Protokol Kyoto
tahun 1997, dimana perubahan iklim menjadi agenda utama. Keseriusan sejumlah negara
juga direpresentasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations
Framework Convention for Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1990-an untuk
membahas pentingnya pengurangan konsentrasi greenhouse gas (GHG – gas rumah kaca) di
atmosfer (Newton, Paci dan Ogden 2005:541).
Isu global lainnya yang sedang menjadi perhatian publik adalah eksistensi
masyarakat adat dalam konteks perubahan iklim. Sebagian komunitas masyarakat adat di
dunia telah bergabung dengan International Indigenous Peoples‟ Forum on Climate Change
(IIPFCC) untuk mengawali proses UNFCCC dan United Nations Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (UN-REDD). Mengapa masyarakat adat diberikan
semacam perlindungan khusus dalam forum dunia dan berapa lama? Bagaimana relevansi
eksistensi masyarakat adat dengan penduduk lainnya dalam suatu negara? Bagaimana peran
masyarakat adat dalam perubahan iklim sehingga harus diatur oleh PBB? Pertanyaan-
pertanyaan ini telah menjadi perhatian diskusi internasional, yang bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi publik masyarakat adat. Pada tahun 1977, sekitar 150 perwakilan

356
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
masyarakat adat menghadiri konferensi PBB tentang diskriminasi pada komunitas mereka.
Sejak itu mereka semakin aktif dalam pertemuan-pertemuan internasional (Xanthaki
2007:1).
Perubahan iklim sejauh ini telah mem(re)produksi relasi kuasa internasional-
nasional-regional. Kekuasaan terwujud dalam berbagai cara. Salah satunya melalui standar-
standar operasional oleh agen-agen internasional dalam rangka menangani dampak
perubahan iklim. Hal ini menuntut individu dan kelompok bertanggungjawab dalam
penyusunan kebijakan terkait perubahan iklim, yang melibatkan sruktur sosial berdasarkan
gender, budaya, status sosial ekonomi, etnis, kewarganegaraan, kesehatan, orientasi seksual,
dan usia) (Kaijser dan Kronsell 2014:420).
Secara khusus, partisipasi komunitas-komunitas masyarakat adat di dunia telah
terlibat dalam berbagai negosiasi dan penyusunan kebijakan terkait perubahan iklim. Belum
banyak penelitian terkait gender yang mempertanyakan bahwa perubahan iklim dijadikan isu
global oleh berbagai kepentingan, sehingga pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam
tindakan-tindakan berisiko akhirnya harus dipaksa untuk bertanggungjawab pada segala
konsekuensinya (mis. Croal dan Darou 2002:91). Pembangunan berdasarkan untung-rugi
bahkan menggunakan kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim yang mengadopsi
indigenous knowledge (pengetahuan asli). Agen-agen internasional telah membawa isu-isu
perubahan iklim ke dalam jebakan determinisme, sehingga mengabaikan hakikat
kemanusiaan. Kompleksitas kategori-kategori sosial tertentu yang memiliki identitas dan
kepentingan-kepentingan politis, telah mengabaikan kategori-kategori lainnya. Dalam hal
ini, proyek-proyek politis perubahan iklim belum dapat mencapai emansipasi global (Kaijser
dan Kronsell 2014:423).
Tulisan ini bertujuan untuk mendeksripsikan dan memperdebatkan persoalan gender
dan Sosiologi Lingkungan yang belum banyak diteliti (Dowsley, Gearheard, Johnson dan
Inksetter 2010; Sánchez-Cortés dan Chavero 2010; Brown 2011; Ergas dan York 2012;
Maertens dan Swinnen 2012; Huda 2013), khususnya mengenai instrumen-instrumen gender
internasional yang mengontrol pembangunan, relasi gender, masyarakat adat, indigenous
knowledge (IK) dan lingkungan terkait upaya-upaya pencegahan dan pengurangan
pemanasan global.
Masyarakat Adat, IK, Perubahan Iklim dan Climate Rights
Pada tahun 1989, International Labour Organisation (ILO) mengadopsi Indigenous
and Tribal Peoples Convention (Konvensi ILO No. 169). Konvensi ini adalah perjanjian
internasional, yang merepresentasikan konsensus antara ILO dengan hak-hak indigenous
peoples (masyarakat adat), tribal peoples (bangsa pribumi) dan negara-negara dimana
mereka tinggal, serta tanggungjawab pemerintah melindungi hak-hak tersebut. Konvensi
ILO No. 169 ditujukan untuk menghargai kebudayaan dan cara-cara hidup indigenous
people dan mengakui hak mereka atas tanah dan sumber daya-sumber daya lama, serta
menegaskan prioritas-prioritas mereka dalam pembangunan. Konvensi tersebut juga
mengatasi praktik-praktik diskriminasi yang mengancam kehidupan masyarakat adat dan
bangsa pribumi, serta memampukan mereka berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan-
kebijakan untuk mempengaruhi kehidupan mereka (ILO 2013).
ILO membedakan beberapa elemen antara bangsa pribumi dan masyarakat adat. (1)
Unsur-unsur bangsa pribumi meliputi: kondisi budaya, organisasi sosial, ekonomi mereka
membedakannya dari penduduk-penduduk lain dalam suatu negara; dan status mereka diatur
sebagian atau seluruhnya oleh adat (customs) atau tradisi atau hukum-hukum atau regulasi-
regulasi khusus. (2) Unsur-unsur masyarakat adat meliputi: keturunan dari penduduk, yang
mendiami negara atau wilayah geografis pada saat terjadi penaklukan, penjajahan atau

357
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pendirian batas-batas negara. Mereka mempertahankan sebagian atau semua institusi sosial,
ekonomi, budaya dan politik, tanpa tergantung pada status resmi. Penggunaan istilah
indigenous people (s) lebih umum digunakan dalam instrumen-instrumen internasional (ILO
2013).
Instrumen nasional di Indonesia menggunakan istilah ‗masyarakat adat‘ untuk
menyebut indigenous peoples dan bangsa pribumi. Pada tahun 1993, Jaringan Pembelaan
Hak-Hak Asasi Masyarakat Adat (JAPHAMA) merumuskan definisi masyarakat adat:
‗...kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah
geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan
wilayah sendiri‘, lalu definisi ini disepakati oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN). Karakter masyarakat adat yaitu: (i) memiliki asal-usul leluhur secara turun-
temurun di wilayah geografis tertentu; (ii) memiliki sistem nilai sendiri; (iii) memiliki
ideologi sendiri; (iv) memiliki sistem ekonomi sendiri; (v) memiliki tatanan politik sendiri;
(vi) memiliki keragaman budaya sendiri; (vii) memiliki struktur dan kehidupan sosial
sendiri; (iii) masih melaksanakan adat, budaya, hukum adatnya (IWGIA dan ID 2001:23-
24).
Masyarakat adat adalah ‗penduduk di negara-negara merdeka yang dianggap
sebagai masyarakat adat atas dasar asal-usul mereka sebagai penduduk yang menghuni
negara, atau kawasan geografis yang dimiliki negara, pada masa penaklukan atau kolonisasi
atau pembentukan batas-batas negara dan mereka, sesuai dengan status hukum masing-
masing, mempertahankan sebagian atau seluruhnya dari pranata sosial, ekonomi, budaya dan
politik mereka.‘ Berdasarkan Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999
tentang Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara, AMAN meliputi komunitas-komunitas
yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang
diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakatnya (AMAN, tanpa tahun).
Secara politis, posisi masyarakat adat strategis karena tempat tinggalnya masih alami dan
menyimpan pasokan sumber daya alam, seperti hasil hutan dan tambang, serta dan kekayaan
intelektual. Masyarakat adat di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, mengalami berbagai
ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Permasalahan ini juga disertai dengan
peningkatan jumlah penduduk (di luar masyarakat adat), kepentingan dan persediaan sumber
daya alam.
AMAN telah melakukan berbagai pembelaan, perlindungan dan pelayanan melalui aksi-aksi
kolektif, program-program pendukung dan kegiatan-kegiatan untuk memperjuangkan hak-
hak masyarakat adat. Oleh karena itu, AMAN terlibat aktif dalam Proses UNFCCC dan
berjejaring dengan organisasi-organisasi masyarakat adat dunia dalam pengarusutamaan
Hak-Hak Masyarakat Adat (AMAN, tanpa tahun).
Konvensi ILO No. 169 Artikel 1(1) mengatur identifikasi diri-sendiri sebagai
indigenous atau tribal, yang seharusnya didasarkan pada kriteria dasar dan meliputi hak-hak
indigenous, yaitu: (i) orang – identifikasi masyarakat adat dan bangsa pribumi dalam
wilayah-wilayah berbeda, termasuk hak identifikasi diri sendiri; (ii) konteks hak-hak,
meliputi hak menentukan diri sendiri, sebagai pengakuan dalam Deklarasi PBB atas Hak-hak
Masyarakat Adat; (iii) tanggungjawab pemerintah – melalui aksi koordinasi dan sistematis
oleh negara untuk mengakhiri diskriminasi terhadap masyarakat adat dan bangsa pribumi,
dengan mengakui hak-hak asasi dan pengembangan pengukuran-pengukuran khusus untuk
mencapai tujuan tersebut; (iv) lembaga-lembaga indigenous (adat) – meliputi hak untuk
mempertahankan dan mengembangkan lembaga-lembaga adat sebagai hak asasi, yang

358
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
penting untuk mempertankan identitas dan otonomi masyarakat adat dan bangsa pribumi;
(v) partisipasi, konsultasi dan persetujuan – prinsip-prinsip dasar partisipasi dan konsultasi
dengan tujuan mencapai kesepakatan atau persetujuan, sebagai dasar Konvensi No. 169; (vi)
hukum adat, sistem hukum pidana dan akses pada keadilan; (vii) kepemilikan dan
penguasaan tanah dan wilayah; (viii) sumber daya alam – hak-hak umum terkait sumber
daya alam di dalam wilayah-wilayah masyarakat adat, dan hak perundingan, partisipasi dan
bagi-hasil, dimana negara menguasai sepenuhnya hak-hak atas sumber daya-sumber daya
mineral; (ix) pembangunan – menentukan hak-hak prioritas dalam proses pembangunan dan
bagaimana kaitannya dengan agenda pembangunan internasional terkini; (x) pendidikan –
hak untuk memperoleh pendidikan khusus untuk memenuhi kebutuhan dan prioritas
masyarakat adat, seperti pendidikan antar-budaya dwi-bahasa; (xi) hak memperoleh
kesehatan dan kemananan sosial, serta mengakui kondisi-kondisi ekonomi, geografi, sosial
dan kultural, serta perawatan tradisional, praktik penyembuhan dan obat-obatan; (xii)
pekerjaan tradisional, hak pekerja dan pelatihan kejuruan untuk mencegah diskriminasi dan
kekerasan dalam pasar kerja; (xiii) hubungan dan kerjasama lintas batas dalam kasus mereka
telah dibagi melalui batas-batas internasional; serta (xiv) pengesahan, implementasi,
pengawasan dan pendampingan teknis, yang meliputi aspek-aspek prosedur Konvensi No.
169 dan landasan hukum dalam sistem resmi nasional (ILO 2013).
Masyarakat adat di Asia, khususnya, mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan
marjinalisasi: status masyarakat adat tidak diakui dan paksaan asimilasi ke dalam masyarakat
nasional utama dalam suatu negara; perkembangan agresi dan pelanggaran atas tanah,
wilayah dan sumber daya alam; pelarangan, penghukuman dan pembatasan praktek mata
pencaharian tradisional, seperti ladang berpindah dan mengumpulkan hasil hutan karena
dianggap mengancam eksistensi hutan dan kerusakan ekologi; migrasi dan pemindahan
paksa; pelanggaran hak adat perempuan dan anak; serta penindasan politik, militerisasi dan
kekerasan terhadap masyarakat adat (AIPP 2014).
IK diartikan Warren dan Rajasekaran (1993, di dalam Handayani dan Prawito
2010:304) sebagai bagian penting dalam manajemen sumber daya karena memberikan
konsep-konsep untuk memudahkan komunikasi antara kelompok-kelompok peneliti dan
pihak-pihak terkait; menjamin para pelaku pembangunan pertanian khusus untuk terlibat
dalam pembangunan teknologi sesuai kebutuhannya; dapat digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan dan memberikan dasar-dasar bagi inovasi dan percobaan di tingkat
lokal; membutuhkan biaya relatif efektif karena dibangun melalui upaya-upaya lokal yang
meningkatkan pembangunan berkelanjutan; serta dapat menfasilitasi dialog antara penduduk
desa dengan pelaku-pelaku pembangunan.
Istilah IK juga mengacu pada place-based knowledge (pengetahuan berbasis tempat)
yang berakar pada budaya-budaya lokal dan umumnya diasosiasikan dengan komunitas-
komunitas yang telah lama menetap, yang sangat bergantung pada lingkungan alam (Orlove,
Carla, Kabugo dan Majugu 2010:244). Masyarakat adat hidup berdasarkan IK sebagai
warisan para leluhur. Alam adalah bagian dari kehidupan dan bukan untuk didominasi oleh
manusia. Makhluk hidup, termasuk manusia, membutuhkan makanan dan air, keteraturan
suhu untuk hidup nyaman, kesehatan dan keamanan fisik, rangsangan tidur dan bangun, seks
dan reproduksi, kebutuhan-kebutuhan sosial, serta kontrol pada kehidupan pribadi (Anderson
1996: 86-87, di dalam Pierotti 2010:3).
Menurut Ellen dan Harris (2005:4-5), IK berubah secara konstan, diproduksi dan
direproduksi, ditemukan dan hilang, meskipun sering direpresentasikan statis. IK sebagai
bentuk pengetahuan digunakan dalam konteks global science (ilmu pengetahuan global),
sehingga disebut ‗people science‘ (ilmu pengetahuan rakyat), yang telah digunakan oleh

359
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
generasi dalam konteks produksi setiap hari. Walau demikian, distribusi IK masih terbatas
dan secara sosial dibedakan oleh gender dan usia, dan dipelihara melalui distribusi ingatan-
ingatan antar-generasi.
Pengetahuan tentang perubahan iklim, termasuk IK, telah dibahas dalam forum
global Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Forum ini didominasi para
pakar terkait kebijakan dan ilmu pengetahuan, serta mengklaim scientific knowledge (ilmu
pengetahuan) lebih baik dari segala bentuk pengetahuan lainnya (Salick dan Ross 2009, di
dalam Brugnach, Craps dan Dewulf 2014). Scientific knowledge menuai kritik dari IK,
karena telah menghasilkan ketimpangan sosial dalam penyusunan kebijakan. IK terkait
perubahan iklim tidak dapat digeneralisir dalam setiap budaya atau komunitas masyarakat
adat.
Perubahan iklim (climate change) merupakan perubahan apapun pada iklim dalam
satu kurun waktu, baik karena variabilitas alami atau sebagai hasil dari aktivitas manusia.
Iklim adalah cuaca rata-rata, yang diukur melalui observasi pola-pola suhu, presipitasi
(seperti hujan atau salju), angin dan hari-hari cerah, serta variabel-variabel lainnya yang
mungkin dapat diukur di tempat-tempat berbeda. Iklim terkait erat dengan atmosfer (udara),
hidrosfer (air), kriosfer (bagian bumi yang membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian
bumi tempat adanya kehidupan). UNFCCC menitikberatkan penyebab perubahan iklim pada
aktivitas-aktivitas berisiko oleh manusia. Badan PBB ini menetapkan sebuah kerangka kerja
menyeluruh bagi upaya-upaya antarpemerintah untuk mengatasi tantangan akibat perubahan
iklim. UNFCCC beranggota 192 negara yang menyetujui konvensi pengurangan risiko
perubahan iklim (Tebtebba 2008).
Dampak-dampak perubahan iklim global belum tentu dirasakan merata oleh
penduduk dunia. Menurut Parotta dan Agnoletti (2012, di dalam Vinyeta dan Lynn 2013:1),
masyarakat adat diproyeksikan (projected) sebagai komunitas-komunitas yang paling rentan
terkena dampak perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena masyarakat adat dan bangsa
pribumi menurut Secretarial Order No. 3289: ‗...dampak-dampak perubahan iklim terhadap
sumber daya air, tanah, sumber daya alam lainnya, dan budaya, perubahan iklim dapat
mempengaruhi suku-suku secara tidak seimbang, karena mereka sangat bergantung pada
sumber daya lama bagi identitas ekonomi dan budaya (USDI 2010: 4, di dalam Vinyeta dan
Lynn 2013:1).
Iklim merupakan kebutuhan sekaligus hak bagi manusia. Dalam konteks hak asasi
manusia, climate rights [hak (atas) iklim] diajukan oleh Bell (2011:100, di dalam Brandstedt
dan Bergman 2013:395): ‗hak-hak asasi manusia mengakui hak-hak manusia untuk hidup,
keamanan fisik, kehidupan layak dan kesehatan, yang harus dilindungi dari pelanggaran
tindakan manusia. Apabila anthropogenic climate change (perubahan iklim akibat tindakan-
tindakan manusia) mengancam hak-hak asasi tersebut, maka kita satu persatu mempunyai
sebuah tugas untuk membayar harga dari tindakan tersebut‘. Masyarakat mengakui bahwa
hak asasi manusia memiliki sisi moral dan hukum, yang harus dijamin secara hukum. Hak
iklim lebih digunakan sebagai kriteria untuk mengevaluasi institusi-institusi politik, sosial,
ekonomi, daripada sebagai hak-hak asasi individu (dengan fungsi sama). Pada tahun 2005,
Orang Inuit mendesak Inter-American Commission on Human Rights (Komisi Hak-hak
Asasi Manusia Inter-Amerika) demi hak-hak asasi mereka (hak atas budaya, kehidupan dan
mata pencaharian) yang telah dilanggar sebagai akibat perubahan iklim, khususnya oleh
Amerika Serikat. Meskipun hak-hak tersebut telah dijamin oleh American Declaration of the
Rights and Duties of Man (Deklarasi Amerika untuk Hak dan Kewajiban), komisi tersebut
tidak menghasilkan keputusan bagi Orang Inuit, sehingga mengurangi fungsinya.
Kekuasaan Internasional terkait IK, Gender dan Perubahan Iklim

360
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Perubahan iklim, masyarakat adat dan IK sebagai isu global, juga menyertakan
gender dalam berbagai program pembangunan. Kekuasaan internasional yang menyusun dan
menetapkan sejumlah standar global terkait ketiga isu tersebut berwujud institusi-institusi:
Badan-badan di bawah PBB [ILO, UNFCCC, UN-REDD, United Nations‟ Indigenous
Peoples‟ Partnership bekerjasama dengan Office of the High Commissioner for Human
Rights (OHCHR), UN Development Program (UNDP), United Nations Population Fund
(UNFPA) dan UN Children‟s Fund (UNICEF) untuk menfasilitasi implementasi UN
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) dan Konvensi ILO Convention
tentang Masyarakat Adat dan Bangsa pribumi (ILO Convention No. 169)]; Uni Eropa
(khususnya Council Resolution on Indigenous Peoples within the Framework of the
Development Cooperation of the Community and Members States‟); Asian Development
Bank (ADB) yang menfasilitasi kebijakan pada masyarakat adat, The African Commission on
Human and Peoples‟ Rights (ACHPR); Inter-American Development Bank (IADB) yang
mengajukan kebijakan ‗Strategi bagi Pembangunan Indigenous‘; World Conservation Union
(IUCN) yang beroperasi berdasarkan Convention on Biological Diversity (CBD), World
Intellectual Property Organization (WIPO), World Trade Organization (WTO), dan
UNFCCC; Danish International Development Assistance (DANIDA); Norwegian Agency
for Development Cooperation (NORAD) (IWGIA, tanpa tahun); Bank Dunia; International
Funders for Indigenous Peoples (IFIP); IWGIA; serta Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) (IWGIAa tanpa tahun).
Beberapa organisasi masyarakat adat dan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) di
beberapa negara, antara lain: Coalition of European Lobbies for Eastern African Pastoralism
(CELEP) di Afrika timur; CAURWA di Rwanda, Indigenous Information Network, The
Indigenous Peoples of Africa Co-ordinating; Artic Network for the Support of the Indigenous
Peoples of the Russian Arctic (ANSIPRA) bekerjasama dengan Russian Indigenous Peoples‟
Organisations (IPOs); Russian Association of Indigenous Peoples of the North, Aboriginal
Canada Portal (ACP); Asia Indigenous Peoples Pact Foundation (AIPP); Center for Orang
Asli Concerns di Semenanjung Malaysia; Cordillera Peoples Alliance (CPA) dan Tebtebba
di Filipina; Institut Dayakologi (ID) di Kalimantan; Nepal Federation of Indigenous
Nationalities (NEFIN); Parbatya Chattagram Jana Samhati Samiti (PCJSS) di selatan
Bangladesh; WARSI; FENAMAD di Meksiko; South and Meso American Indian Rights
Center (SAIIC) di Amerika Latin; American Indian Policy Center; Assembly of First Nations
(AFN) di Kanada; European Network for Indigenous Australian Rights; First People; First
Nations Environmental Network; Forest People; IGNARM Network on Indigenous peoples,
Gender and Natural Resource Management; International Alliance of Indigenous and Tribal
Peoples of the Tropical Forests; Minority Rights Group International (MRG), Survival
International; Unrepresented Nations and Peoples Organisation; serta World Wildlife
Foundation (WWF) (IWGIAb tanpa tahun).
Sebagian besar misi dari sejumlah organisasi internasional tersebut ingin
mewujudkan pembangunan berlandaskan keadilan sosial dan terpenuhinya hak-hak asasi
manusia. Secara khusus, pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) terkait perubahan
iklim dan IK dalam berbagai kebijakan publik telah diatur menurut beberapa standar
internasional. Salah satunya berdasarkan definisi UN ECOSOC 1997 dan UNDP 2005 (di
dalam Macintyre 2011:22), dimana rancangan dan implementasi terkait pemberian bantuan,
program-program pembangunan ekonomi, serta proyek-proyek yang bertujuan
meningkatkan partisipasi politik dan sosial, harus menjamin ‗…keuntungan merata dan
timpang bagi perempuan dan laki-laki tidak (lagi) diteruskan. [Melainkan] Tujuan pokok
adalah mencapai kesetaraan gender.‘ Contoh kasus, perusahaan-perusahaan tambang yang

361
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
diteliti Macintyre di Papua New Guinea (PNG) yang jarang melibatkan perempuan dalam
pertemuan-pertemuan dengan stakeholders, terkait kebijakan-kebijakan lingkungan atau
tanggungjawab sosial perusahaan. Macintyre mendesak peningkatan partisipasi perempuan
dalam pekerjaan dan program-program pengembangan pelatihan untuk
mengimplementasikan konvensi PBB menurut Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination against Women Elimination of Discrimination against Women (CEDAW).
Perempuan seharusnya dapat mengakses pelayanan-pelayanan kesehatan reproduksi, serta
jaminan dari kebijakan-kebijakan tentang peningkatan kehidupan dan peluang bagi
perempuan agar mampu berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi, sejajar dengan laki-
laki.

Metode Penelitian
Studi ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif, meninjau ulang beberapa
standar dan organisasi internasional, yang menetapkan serangkaian aturan global terkait IK,
pembangunan, gender, serta perubahan iklim. Keempat isu global ini masih menjadi
persoalan penting bagi umat manusia, sehingga Sosiologi Lingkungan digunakan sebagai
dasar analisis. Hal ini bertujuan untuk menjembatani persoalan-persoalan tersebut dengan
disiplin ilmu, khususnya Sosiologi, pembangunan, dan kajian gender.
Masyarakat sejauh ini telah melakukan berbagai modifikasi ekosistem agar terus
bertahan hidup. Namun demikian, cara-cara yang dilakukan tidak selalu dapat menghasilkan
pemenuhan kebutuhan yang seimbang. Pihak yang satu dirugikan, sementara yang lain
sebaliknya. Permasalahan ini berdampak sistemik pada aspek-aspek lainnya, termasuk
eksistensi hidup orang lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya serta hukum. Pada
sisi lain, lingkungan, iklim dan ekosistem adalah bagian tak terpisahkan dari kekuasaan dan
ketimpangan sosial, sebagai fokus perhatian Sosiologi (Lingkungan) (Lockie 2015:1).

Pembahasan
Keterlibatan aktif masyarakat adat dalam konteks global penting untuk ditelusuri
lebih jauh, sebagaimana yang dikuatirkan oleh Smith (2007:200) bahwa ada kekuasaan di
balik konstruksi perubahan iklim sebagai isu global. Mantan Presiden Republik Ceko,
Václav Klaus (2012:xxii), bahkan menuding para pendukung isu perubahan iklim, termasuk
para ilmuwan dan politisi, diuntungkan oleh riset mereka secara finansial dan diuntungkan
dalam karir politik. Klaus sebagai pendukung liberal klasik menunjuk ideologi lingkungan
telah menyimpang dari visi utamanya yang berkaitan dengan alam. Ideologi ini dianggapnya
sebagai ancaman terbesar bagi kebebasan, demokrasi, ekonomi pasar dan kemakmuran pada
akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, bukan sosialisme. Gerakan lingkungan yang
menganut mazhab lingkungan secara radikal bertujuan mengubah dunia, dengan
mengorbankan nyawa manusia dan membatasi secara ketat kebebasan manusia (Klaus,
2012:3).
Modernisasi dan kapitalisme selama ini menjadi dua hal yang dilawan oleh gerakan
lingkungan. Meskipun di satu sisi memperlihatkan kemenangan sementara atas komunisme,
pasar bebas dan pembatasan kebebasan individu, namun semangat environmentalisme masih
menyisakan kekalahannya oleh kontrol yang lebih besar, yaitu bisnis kapitalis baru. Jargon-
jargon ‗Selamatkan Bumi!‘ justru menjadi lahan baru demi keuntungan besar, yang sebagian
berasal dari pajak untuk membiayai ‗pendidikan‘ publik. Selain itu, keuntungan
environmentalis juga dikeruk dari skema-skema yang dirancang oleh Parlemen untuk
mensubsidi para pengacara the greens (gerakan lingkungan). Kampanye pemanasan global
merupakan agenda tersembunyi dan membahayakan (Horner, 2007:6, 3).

362
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Problematika masyarakat adat di seluruh dunia bersumber dari stigma terbelakang
dan tidak beradab dalam konteks peradaban modern yang lebih manusiawi. Oleh karena itu,
masyarakat adat tidak dapat berperan aktif di dalam pembangunan. Namun demikian,
pemerintah negara-negara tertentu dapat bermitra dengan IK yang dimiliki masyarakat adat,
dalam rangka mengajukan konsep dan praktik pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) untuk mengatasi krisis lingkungan.
Selain partisipasi aktif AMAN dalam pembangunan di Indonesia, beberapa
komunitas masyarakat adat di dunia juga melakukan hal sama. Masyarakat adat Costa Rica
dan Belize mempromosikan kebudayaan mereka dalam pariwisata (Pleumarom 1999, di
dalam Croal dan Darou 2002:93); komunitas Macusi Amerindian di Guyana diuntungkan
dari ekoturisme di tempat tinggal mereka (Shackley 1998, di dalam Croal dan Darou
2002:93); otonomi lokal diperjuangkan oleh komunitas Kuna dan Miskito di Nikaragua
timur (Sherrer 1994, di dalam Croal dan Darou 2002:93); serta masyarakat adat Wichi, Toba
dan Chorote di Argentina utara yang berhasil mencapai persetujuan untuk pemugaran
lingkungan dan kontrol pada sumber daya alam (Hanson 1996, di dalam Croal dan Darou
2002:93).
Berbagai aktivitas pembangunan di wilayah Artik – minyak dan gas, mineral,
pariwisata dan pengiriman – berdampak pada kehidupan komunitas-komunitas adat, karena
dapat menghasilkan ancaman dan keuntungan (Kruse 1991; Huntington et al. 2007; Maynard
et al. 2011, di dalam Cochran, Huntington, Pungowiyi, Tom, Chapin III, Huntington,
Maynard, Trainor 2013:561). Kontribusi masyarakat adat dalam perubahan iklim menjadi
harapan besar bagi negara-negara yang telah melakukan berbagai aktivitas berisiko pada
lingkungan dan kehidupan manusia. Bahaya dari gas emisi dan efek rumah kaca diharapkan
dapat diatasi dengan lapisan es di Artik atau rimba belantara yang hijau. Oleh karena itu,
beberapa LSM telah mendampingi masyarakat adat agar dapat mencapai persetujuan yang
bebas, yang diinformasikan sebelumnya (Free Prior Informed Consent), apabila para
investor, bahkan negara mengajukan berbagai negosiasi terkait pengolahan sumber daya
alam di lingkungan mereka. Organisasi-organisasi tersebut juga masih menghadapi berbagai
kepentingan pihak-pihak tertentu pada intellectual property (kepemilikan intelektual) untuk
memantenkan atau melindungi knowledge (pengetahun) yang sebenarnya berasal dari IK
(yang dimiliki masyarakat adat), misalnya varietas tanaman-tanaman dan herbal (Thrupp
1989; Brush and Stabinski 1996; Posey 1996, 2000, di dalam Orlove, Roncoli, Kabugo dan
Majugu 2010:244). IK mengandung dua pengertian, pertama, component (komponen)
sebagai sumber atau dasar knowledge (pengetahuan). Misalnya, pola-pola historis iklim,
pengenalan tanda-tanda kultural terkait iklim, observasi pada peristiwa-peristiwa
meteorologi, serta informasi mengenai cuaca. Meskipun demikian, terdapat beberapa kasus
yang timpang tindih dengan beberapa komponen, seperti pola-pola angin yang menghasilkan
karakteristik cuaca dan tanda-tanda kultural yang signifikan. Kedua, element (elemen), yaitu
hal-hal khusus yang berada di dalam komponen atau sejenis indikator-indikator khusus yang
diamati. Contoh, penjelasan-penjelasan tentang bentuk atau warna awan adalah elemen dari
komponen untuk mendefenisikan ‗pengamatan pada peristiwa-peristiwa meteorologi (Orlove
et al 2010:251).
IK bagi masyarakat adat merupakan pengalaman personal dan komunitas, yang
bertujuan mencapai harmoni dengan alam, manusia, dan kekuatan Supranatural. Hal ini tentu
bertolak belakang dengan landasan-landasan pembangunan di luar konteks masyarakat adat,
yang dilakukan oleh negara. Semua warganegara harus taat pada sistem kaku, science (ilmu
pengetahuan), serta perhitungan ‗logis‘. Bringhurst (2008:64, di dalam Pierotti 2011:23-24)
menyatakan bahwa mitos adalah bentuk alternatif dari science dan bentuk alternatif

363
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
investigasi. Mitos bertujuan seperti science untuk merasakan dan mengekspresikan
kebenaran, meskipun hipotesis mitos didasarkan pada cerita-cerita, bukan persamaan-
persamaan (equations), deskripsi teknis atau aturan-aturan taksonomi.
Berdasarkan trikotomi Negara Pertama-Negara Kedua-Negara Ketiga, negara
terakhir membayar impor teknologi modern dengan memaksa ekspor produksi kayu, minyak
dan bahan-bahan mineral lainnya, selain hasil panen. Negara-negara ini secara eknomi,
finansial, dan teknologi terhisap jauh ke dalam pusaran sistem ekonomi dunia. Dengan
demikian, mereka kehillangan produk-produk pribumi, sumber daya alam dan keahlian
(Khor 1992:34-35).
Secara sosiologis, berbagai inovasi manusia berisiko menghasilkan ancaman pada
lingkungan, sekaligus pada proses ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, terdapat
beberapa knowledge (pengetahuan) oleh pihak-pihak tertentu yang diaplikasikan dalam
proses-proses tersebut. Setelah itu, program-program dan kebijakan-kebijakan baru atau
lama diciptakan untuk mengatasi risiko, meskipun tidak semua orang dapat berpartisipasi
dalam penyusunan dan perancanan. Beberapa negara dan budaya yang membatasi peran
perempuan hanya dalam ranah domestik, telah menghasilkan tindakan-tindakan berisiko
lainnya. Contoh, rumah tangga berbasis agrikultur bergantung pada kontrol dan akses
terhadap sumber daya alam. Dalam sistem global, mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan
diri sendiri, melainkan juga kebutuhan pasar nasional dan internasional (Karami dan
Keshavarz 2010:32).
Kategori gender dalam aturan-aturan sosial oleh kebijakan dihasilkan oleh negara
yang kapitalis dan patriarki, bahkan gender menjadi sebuah faktor konstruksi dalam berbagai
rezim politik (Cravey 1998, Randall dan Waylen 1998, O‘Connor 1996, di dalam Norgaard
dan York 2005:507-508). Rezim pembangunan berstandar internasional dapat memenuhi
tujuannya ketika pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan aturan-aturan
internasional (termasuk aturan oleh berbagai organisasi internasional masyarakat adat),
dimana isu gender, IK dan perubahan iklim telah menjadi semacam komoditas ekonomi dan
politik. Meskipun demikian, rezim konstruksi sosial tentang perubahan iklim masih terus
dilawan oleh komunitas-komunitas yang ingin tetap bertahan demi Semesta dan
keturunannya.
Sejumlah Ornop tidak selalu melakukan visi misi dan program-programnya dengan
maksimal. Mereka seringkali tidak paham mengenai pandangan sosio-kosmik masyarakat
adat, meskipun Ornop-Ornop memberi akses dan pendampingan kepada penduduk marjinal
dan teralineasi dari kekuasaan politis, demi mendapatkan dan terlibat dalam komunikasi
dengan pusat dan masyarakat dominan. Kenyataan kompleks ini memperlihatkan Ornop
yang tidak sepenuhnya memperhatikan orang (masyarakat adat dan perempuan), yang
mereka sebut ‗tinggal di lingkungan alami, yang sering dianggap liar, namun membutuhkan
perlindungan (Roué 2003:620-621, di dalam Hannigan 2006:58).
Isu-isu lingkungan, diskriminasi dan gender sebagai komoditas bagi bisnis media,
juga telah meningkatkan partisipasi publik dalam diskursus politis dan pembangunan
berkelanjutan. Masyarakat mengenal beberapa istilah ancaman global, seperti
overpopulation dan biodiversity loss oleh Paul Ehrlich, global warming oleh Steven
Schneider atau tropical deforestation oleh Norman Myers. Semua kebijakan dan penelitian
harus bermuatan istilah-istilah tersebut (Hannigan 2006:90-91). Dalam konteks industri,
produk berbasis komunitas, indigenous dan organik semakin diminati konsumen, meskipun
harganya lebih mahal daripada produk-produk tanpa mengusung dua konsep tersebut

364
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Kesimpulan
Studi ini dapat berfungsi sebagai tinjauan awal atau tinjauan ulang tentang rezim
konstruksi sosial terkait perubahan iklim, dimana masyarakat adat, isu gender dan
indigenous knowledge terpaksa harus menjadi komoditas penting bagi pihak-pihak tertentu.
Manusia sedang melakukan berbagai upaya untuk menghadapi dan mencegah tindakan-
tindakan berisiko oleh manusia yang menghasilkan perubahan iklim. Analisa holistik yang
melibatkan masyarakat, lembaga-lembaga terkait, teknologi dan ekosistem dapat diupayakan
melalui imajinasi sosiologis.

Daftar Pustaka
AMAN (tanpa tahun). Profil Organisasi. diakses 1 Maret 2015 (http://www.aman.or.id/wp-
content/plugins/downloadsmanager/upload/Profil_AMAN.pdf),
Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP). 2014. Panduan Praktis bagi Praktisi Media mengenai
Isu-isu seputar Masyarakat Adat di Asia. Chiang Mai: AIPP dengan dukungan dari The
Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA).
Brandstedt, Eric dan Anna-Karin Bergman. 2013. ―Climate Rights: Feasible or not?.‖
Environmental Politics, 22(3):394-409. DOI: 10.1080/09644016.2013.775723
Brown, H.C. Peach. 2011. ―Gender, Climate Change and REDD+ in the Congo Basin
Forests of Central Africa.‖ International Forestry Review, 13(2):163-176.
Brugnach, M. Craps dan A. Dewulf. 2014. ―Including Indigenous Peoples in Climate Change
Mitigation: Addressing Issues of Scale, Knowledge and Power.‖ Climatic Change. DOI
10.1007/s10584-014-1280-3
Cochran, Patricia, Orville H. Huntington, Caleb Pungowiyi, Stanley Tom, F. Stuart Chapin
III, Henry P. Huntington, Nancy G. Maynard, dan Sarah F. Trainor. 2013. ―Indigenous
Frameworks for Observing and Responding to Climate Change in Alaska.‖ Climatic
Change, 120:557-567. DOI 10.1007/s10584-013-0735-2.
Croal, Peter dan Darou, Wes. 2002. ―Canadian First Nations‘ Experiences with International
Development.‖ Hlm. 82-107 di dalam Participating in Development: Approaches to
Indigenous Knowledge, disunting oleh Paul Sillitoe, Alan Bicker, dan Johan Pottier.
London dan New York: Routledge.
Dowsley, Martha, Shari Gearheard, Noor Johnson dan Jocelyn Inksetter. 2010. ―Should We
Turn the Tent? Inuit Women and Climate Change.‖ Études/Inuit/Studies, 34(1):151-
165. DOI: 10.7202/045409ar
Ellen, Roy dan Holly Harris. 2005. ―Introduction.‖ Hlm. 1-31 di dalam Indigenous
Environmental Knowledge and its Transformations. Critical Anthropological
Perspectives, disunting oleh Roy Ellen, Peter Parkes, Alan Bicker. Taylor & Francis e-
Library.
Ergas, Christina dan Richard York. 2012. ―Women‘s Status and Carbon Dioxide Emissions:
A Quantitative Cross-National Analysis.‖ Social Science Research, 4:965–976.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ssresearch.2012.03.008
Handayani, Iin P. dan Priyono Prawito. 2010. ―Indigenous Soil Knowledge for Sustainable
Agriculture.‖ Hlm. 302-317 di dalam Sustainable Agriculture Reviews 3. Sociology,
Organic Farming, Climate Change and Soil Science, disunting oleh Eric Lichtfouse.
Dordrecht dan Heidelberg: Springer. DOI 10.1007/978-90-481-3333-8
Hannigan, John. 2006. Environmental Sociology (Second edition). London dan New York:
Routledge.

365
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Horner, Christopher. C. 2007. The Politically Incorrect Guide to Global Warming and
Environmentalism. Washington, DC.: Regnery Publishing, Inc.
Huda, Md. Nazmul. 2013. ―Understanding Indigenous People‘s Perception on Climate
Change and Climatic Hazards: A Case Study of Chakma Indigenous Communities in
Rangamati Sadar Upazila of Rangamati District, Bangladesh.‖ Nat Hazards, 65:2147–
2159. DOI 10.1007/s11069-012-0467-z
International Labour Organization (ILO). 2013. Understanding the Indigenous and Tribal
Peoples Convention, 1989 (No. 169). Handbook for ILO Tripartite Constituents.
Geneva: International Labour Standards Department.
International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) Copenhagen, Denmark, dan
Institut Dayakologi (ID) Pontianak, Indonesia. 2001. Masyarakat Adat di Dunia.
Eksistensi dan Perjuangannya. Pontianak: IWGIA dan Institut Dayakologi.
IWGIAa. Tanpa tahun. ―Policies and Strategies Related to Indigenous Peoples.‖ Diakses 30
Maret 2015. (http://www.iwgia.org/human-rights/policiesstrategies-on-indigenous-
peoples)
IWGIAb. Tanpa tahun. ―Links to Indigenous Organisations and Support NGOs Arranged by
World Regions.‖ Diakses 30 Maret 2015. (http://www.iwgia.org/iwgia/who-we-are-
/links/indigenous-organisations-and-support-ngos)
Kaijser, Anna dan Annica Kronsell. 2014. ―Climate Change through the Lens of
Intersectionality.‖ Environmental Politics, 23(3):417-433, DOI:
10.1080/09644016.2013.835203.
Karami, Ezatollah dan Marzieh Keshavarz. 2010. ―Sociology of Sustainable Agriculture.‖
Hlm. 18-40 di dalam Sustainable Agriculture Reviews 3. Sociology, Organic Farming,
Climate Change and Soil Science, disunting oleh Eric Lichtfouse. Dordrecht dan
Heidelberg: Springer. DOI 10.1007/978-90-481-3333-8.
Khor, Martini. 1992. ―Development, Trade and the Environment: A Third World
Perspective.‖ Hlm. 33-49 di dalam The Future of Progress. Reflections on Environment
and Development, disunting oleh Helena Norberg-Hodge, Peter Goering and Steven
Gorelick. UK: Green Books bekerjasama dengan The International Society for Ecology
and Culture.
Klaus, Václav. 2012. Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim (Terj.). Jakarta: Freedom
Institute dan Friedrich Naumann Foundation.
Lockie, Stewart. 2015. ―Why Environmental Sociology?.‖ Environmental Sociology, 1(1):1-
3. DOI: 10.1080/23251042.2015.1022983
Macintyre, Martha. 2011. ‗Modernity, Gender and Mining: Experiences from Papua New
Guinea.‘ Hlm. 21-32 di dalam Gendering the Field Towards Sustainable Livelihoods for
Mining Communities, Asia-Pacific Environment Monograph 6, disunting oleh Kuntala
Lahiri-Dutt. The Australian National University: ANU E Press.
Maertens, Miet dan Johan F.M. Swinnen. 2012. ―Gender and Modern Supply Chains in
Developing Countries.‖ The Journal of Development Studies, 48(10):1412-1430,
DOI:10.1080/00220388.2012.663902
Newton, John, C.D. James Paci, dan Aynslie Ogden. 2005. ―Climate Change and Natural
Hazards in Northern Canada: Integrating Indigenous Perspectives with Government
Policy.‖ Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 10:541–571.
Norgaard, Kari dan Richard York. 2005. ―Gender Equality and State Environmentalism.‖
GENDER & SOCIETY, 19(4):506-522. DOI: 10.1177/0891243204273612

366
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Orlove, Ben, Carla Roncoli, Merit Kabugo dan Abushen Majugu. 2010. ―Indigenous Climate
Knowledge in Southern Uganda: the Multiple Components of a Dynamic Regional
System.‖ Climatic Change, 100:243–265.
Pierotti, Raymond. 2010. Indigenous Knowledge, Ecology, and Evolutionary Biology. New
York dan London: Routledge.
Sánchez-Cortés, Maria Silvia dan Elena Lazos Chavero. 2010. ―Indigenous Perception of
Changes in Climate Variability and its Relationship with Agriculture in a Zoque
Community of Chiapas, Mexico.‖ Climatic Change, 107:363–389. DOI
10.1007/s10584-010-9972-9
Smith, Heather A. 2007. ‗Disrupting the Global Discourse of Climate Change: The Case of
Indigenous Voices‘. Hlm. 197-215 di dalam The Social Construction of Climate
Change: Power, Knowledge, Norms, Discourses, disunting oleh Mary E. Pettenger.
Hampshire: Ashgate.
Tebtebba, Indigenous Peoples‘ International Centre for Policy Research and Education.
2008. Panduan tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat. Diterjemahkan oleh
Down to Earth. Baguio City: Tebtebba Foundation.
Vinyeta, Kirsten dan Kathy Lynn. 2013. Exploring the Role of Traditional Ecological
Knowledge in Climate Change Initiatives. General Technical Report, PNW-GTR-879.
Pacific Northwest Tribal Climate Change Project bekerjasama dengan USDA Forest
Service Pacific Northwest Research Station, dan University of Oregon Environmental
Studies Program.
Xanthaki, Alexandra. 2007. Indigenous Rights and United Nations Standards. Self-
Determination, Culture and Land. Cambridge: Cambridge University Press.

367
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
MEREDUKSI MULTIPARTAI UNTUK KESTABILAN PEMBANGUNAN
NASIONAL

Imam Yuliadi; M. Chairul Basrun Umanailo


Jurusan Sosiologi, FISIPOL, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
uya259@yahoo.co.id

Abstrak
Makalah ini mencoba membahas permasalahan sistem multipartai di Indonesia.
Doktrin utama dalam sistem demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tiga poin tersebut dapat dimaknai dengan (1) kekuasaan berasal ―dari‖ tangan rakyat, (2)
dijalankan ―oleh‖ perwakilan yang mewakili rakyat, (3) bertujuan ―untuk‖ kemakmuran
rakyat. Tujuan politik di Indonesia seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 pada
esensinya adalah untuk kemakmuran rakyat. Sehingga tujuan pembangunan nasional pun
sejatinya selaras dengan landasan hukum yang ada di Indonesia tersebut. Namun pada
faktanya praktik politik di Indonesia tidak sesuai bahkan bertentangan dengan rumusan
dalam Undang-Undang Dasar. Sebagai kelanjutan dari praktik politik yang menyimpang
tersebut arah pembangunan pun menjadi bias karena penentu kebijakan di negeri ini
menggunakan praktik politik yang menyimpang.
Dalam tulisan ini dibahas praktik penyimpangan politik yang berdampak pada
biasnya tujuan pembangunan nasional di Indonesia. Penulis mengupas permasalahan politik
beserta dampaknya pada pembangunan tersebut dengan pendekatan ilmu sosial, antara lain;
Sosiologi, Sejarah, dan Antropologi. Pendekatan sosiologis dengan melihat peristiwa sosial
politik yang merupakan dampak dari penerapan multipartai di Indonesia. Pendekatan Sejarah
dengan melihat perkembangan sistem perpolitikan di Indonesia dari masa ke masa. Terakhir
pendekatan Antropologi dengan mengambil karya Clifford Geertz tentang trikotomi (Priayi,
Santri, dan Abangan) dalam masyakat Indonesia sebagai bentuk klasifikasi kelompok
masyarakat. Analisis terkait kelompok masyarakat (Priayi, Santri, Abangan) inilah kemudian
yang digunakan untuk memberikan gambaran normatif bagi para elit pemangku kebijakan
dalam membatasi dan mengontrol jumlah partai di Indonesia. Analisis tersebut digunakan
karena melihat partai politik yang saat ini berkembang tidak lagi proporsional berdasarkan
ideologi atau keterwakilan kelompok masyarakat, namun berkembang berdasarkan
kepentingan material dan cenderung transaksional. Dimana partai politik saat ini bukan lagi
menjadi sandaran ideology konstituennya, yang selalu dekat dan merasa terdidik untuk terus
mendapatkan pemahaman politiknya, namun saat ini, partai politik telah berubah menjadi
gerombolan orang berpolitik untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan... no
problem.
Kata kunci: Politik, Multipartai, Pembangunan

Pendahuluan
Pasca terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden selalu kita diwacanakan dengan isu
siapa kemudian yang akan menjadi menteri maupun kepala-kepala lembaga. Sederet
spekulasi dari pengamat maupun media selalu mengiringi hingga kemudian Presiden
mengumumkan nama-nama pembantunya tersebut. Ketika fenomena ini menjadi kajian
bahwasanya akan tergambar tentang politik yang selalu penuh dengan kompromi dan akal-
akalan mereka yang memiliki sumberdaya politik. Hal ini mengingatkan kita pada janji
Jokowi yang disampaikan di masa kampanye, bahwa kabinetnya bukanlah kabinet
transaksional namun merupakan kabinet tanpa pamrih dan professional, namun ternyata

368
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
semua itu belum mampu untuk dilakukan tanpa melepaskan pragmatisme tiap partai
pendukungnya.
Kenapa kemudian hal ini bisa terjadi, kenyataannya kita mengadopsi sistim
multipartai dimana kekuatan politik selalu tersebar pada partai-partai politik yang berhasil
mendapatkan dukungan. Maka logika tidak ada makan siang yang gratis semakin mendekati
kenyataan. Multipartai mengisyaratkan untuk eksekutif memiliki kemampuan akomodatif
kepentingan tiap partai dalam mempertahankan eksistensinya, sebab bila terbentuk sebuah
kekuatan besar meliputi koalisi partai sangat dimungkinkan untuk terjadinya gangguan pada
setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Indonesia sebagai salah satu negara di Dunia yang mengadopsi pola multipartai
dimana keberadaan partai hanya dibatasi dengan electoral threshold untuk meyakini bahwa
partai tersebut layak untuk diakui keberadaannya ataukah tidak. Kalau merujuk pada konsep
yang diajukan oleh beberapa ahli, seharusnya basis pengembangan partai tidak semudah
yang terjadi di Indonesia. Kita sebut saja seperti Nasdem, yang menjelajah dari kekuatan
komunitas berubah menjadi partai politik menjelang pemilu, saat ini pun cara yang sama
diikuti oleh Perindo dengan mengtransformasi dari kelompok-kelompok komunitas menjadi
partai politik yang akan ikut konstelasi.
Sistim multipartai membuka peluang besar untuk terbentuknya partai secara instan,
secara sosiologis kondisi tersebut memudahkan terjadinya disintegrasi dari kepentingan-
kepentingan kelompok tersebut namun di lain pihak dengan beragamnya partai dalam sistim
perpolitikan akan menambah nilai saing antar satu partai dengan partai lainnya untuk
mendapatkan konstituen yang lebih banyak. Multipartai secara tidak langsung
mengindikasikan terjadi koalisi-koalisi yang orientasinya hanya untuk mendapatkan
kekuasaan semata atau meloloskan sebuah rangcangan kebijakan yang tentunya
menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa. Umumnya yang terjadi dalam dinamika politik,
landasan ideologis seringkali dikalahkan oleh kepentingan praktis. Sehingga tidak heran jika
fraksi-fraksi dalam DPR yang membentuk oposisi dan koalisi, merupakan gado-gado dari
berbagai macam golongan. Gado-gado politik yang terbentuk atas dasar kepentingan
pragmatis inilah celah masuknya politik transaksional yang berdampak sangat buruk
terhadap potret politik di Indonesia saat ini. Tawar-menawar ―kursi‖ menteri di kabinet
dalam tubuh lembaga eksekutif dan tukar menukar kepentingan dalam pembagian ―kursi
basah‖ di komisi-komisi dalam tubuh legislatif.
Gado-gado politik ini pula yang terjadi pada pemilu 2014 lalu. Partai-partai politik
itu menjadi kutu loncat, dimana partai yang memiliki perolehan suara terbesar di situ pula
arah mata partai lain melirik, sebelum melakukan loncatan. Kasus seperti ini sering terjadi,
seperti halnya PKS, PKB dan partai Islam lain yang bergabung dalam partai koalisi bersama
Partai Demokrat untuk suksesi presiden tahun 2009.
Selaras dengan carut-marut dalam dinamika politik yang kental akan politik
transaksional di Indonesia, Coleman mengungkapkan hal yang serupa terkait dampak negatif
dari proses modernisasi politik dalam sistem politik, yaitu:
1. Krisis identitas nasional dalam masa perlaihan dari masyarakat primordial menuju
masyarakat modern.
2. Krisis legitimasi pemerintah pusat terhadap daerah-daerah.
3. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk melaksanakan secara efisien keputusan
politiknya ke seluruh pelosok.
4. Krisis kepercayaan publik akibat rendahnya pemilih, yang disebabkan tidak adanya
lembaga penghubung dan penyalur suara rakyat terhadap pemerintah.
5. Krisis integrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan, dan

369
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
6. Krisis ekonomi serta pemerataan hasilnya yang tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat (Yulifar, 2013).
Politik Dalam Konsepsi Ideal
Politik merupakan cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan politik
bangsa Indonesia haruslah dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia, bukan sekedar dampak
dari pertarungan kepentingan para elit-elit politik semata.
Mencermati politik, ada kajian Coleman yang merujuk kepada diferensiasi struktur
politik dan sekularisasi budaya politik yang mengarah kepada ethos keadilan yang bertujuan
akhir ke arah penguatan kapasitas sistem politik. Pokok-pokok pikiran Coleman paling tidak
terdiri dari 3 hal yaitu:
1. Diferensiasi politik sebagai kecenderungan dominan sejarah perkembangan sistem
politik modern. Jika berhasil, diferensiasi politik akan dengan tegas menghasilkan
perbedaan antar fungsi masing-masing lembaga secara tegas, yang akan mengakibatkan
semakin kompleksnya struktur politik, sementara pada saat bersamaan diferensiasi
politik akan melahirkan situasi yang saling terkait dan saling ketergantungan di antara
lembaga tersebut secara sehat dan berkesinambungan.
2. Prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat modern.
3. Modernisasi harus dilihat sebagai usaha progresif dalam penguatan kapasitas sistem
politik (Yulifar, 2013).
Dalam demokrasi, partai politik merupakan pilar utama (bukan kedua atau ketiga),
karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu presiden dan wakil
presiden. Sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon
presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Artinya hak pengusulan tersebut secara eksklusif seperti disebutkan dalam UUD
1945 diberikan kepada partai politik.
Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan
guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sangat rasional argumentasinya jika upaya
penguatan partai politik dibangun oleh kesadaran bahwa partai politik merupakan pilar yang
perlu dan bahkan sangat penting untuk pembangunan demokrasi suatu bangsa. Jadi, derajat
pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi dalam kehidupan
politik suatu negara.
Pada umumnya, para ilmuan politik biasa menggambarkan adanya empat fungsi
partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi: (a)
sarana komunikasi politik, (b) sarana sosialisasi politik (political socialization), (c) sarana
rekrutmen politik (political recruitment), dan (d) pengatur konflik (conflict management).
Sementara dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik mencakup (a)
mobilisasi dan integrasi, (b) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih
(voting patterns), (c) sarana rekrutmen politik, dan (d) sarana elaborasi pilihan-pilihan
kebijakan (Sudarsa 2010).
Pertanyaan yang mesti dijawab adalah bagaimana kemudian di Indoensia partai
politik hanya menjalankan 3P; Pemilihan umum, pemilihan ketua umum, pemilihan kepala
daerah, padahal fungsi partai politik tidak sekedar tidak 3P. Inilah fenomena partai politik
yang saat ini kita hadapi. Mekanisme membuat orang berbondong-bondong masuk partai dan

370
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
bukan menyalurkan aspirasi maupun kepentingan keterwakilan melainkan memperjuangkan
kepentingan ketua umum, mulai dari DPC hingga DPP, lalu dimana posisi para partisipan
tersebut?. Mendefinisikan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya
memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi.
Tidak ada Negara demokrasi tanpa partai politik namun sebaliknya setiap kekisruhan di
suatu negara bukan karena partai politik.
Korelasi Politik Dan Pembangunan Nasional
Selaras dengan tujuan politik bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 seperti yang telah kita paparkan sebelumnya, Pembangunan nasional sejatinya
merupakan implementasi dan realisasi dari tujuan politik bangsa Indonesia. Pembangunan
nasional sejatinya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas manusia
dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Tujuan
pembangunan nasional itu sendiri adalah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
seluruh bangsa Indonesia. Dan pelaksanaannya bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan
nasional mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah yang selaras, serasi dan
seimbang. Itulah sebabnya pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia dan
masyarakat Indonesia yang seutuhnya, yakni sejahtera lahir dan batin (Gatot. 2014).
Berbicara tentang tujuan pembangunan, Otto Soemarwoto (2001), mengatakan
bahwa pembangunan bertujuan untuk menaikan tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat, yang
di dalamnya mengandung makna untuk meningkatkan mutu hidup rakyat. Karena mutu
hidup dapat diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar. Pembangunan menurut
Sumarwoto dapat diartikan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan
lebih baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang
esensial, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama, kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup
hayati. Kedua, kehidupan dasar untuk untuk kelangsungan kehidupan yang manusiawi dan
yang ketiga adalah kebutuhan akan derajat kebebasan untuk memilih.
Parsudi Suparlan dalam tulisannnya tentang Antropologi Pembangunan, sebagai
penghormatan kepada Koentjaraningrat (1997) mendefinisikan pembangunan sebagai
serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau
lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal yang terwujud dalam bentuk-bentuk
kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana mengubah cara-cara hidup atau
kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih
baik atau lebih sejahtera daripada sebelum adanya pembangunan tersebut (Yulifar, 2013).
Konsekuensi Multipartai (Sebuah Pendekatan Historis)
Pada masa reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai. Hal ini
dapat dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi dan berserikat serta
berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi memberikan ruang kebebasan, hasrat para
politisi untuk mendirikan partai politik tersalurkan. Sebagai sebuah proses pembelajaran,
fenomena menjamurnya partai politik mestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah
masyarakat yang sedang mengalami euforia politik (Sudarsa 2010).

371
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Pengalaman Indonesia sendiri membuktikan dalil tersebut. Mari kita menoleh ke
belakang sejenak. Pada masa Demokrasi Parlementer 1950-1958 ketidakstabilan politik yang
dicerminkan oleh kabinet yang terlalu sering berganti mengakibatkan kebijakan ekonomi
yang terputus-putus dan tidak efektif. Problema defisit ganda – defisit APBN dan neraca
pembayaran – tak tertangani dengan baik, stabilitas ekonomi makin memburuk dan
pertumbuhan ekonomi lambat. Karena tidak dapat memberikan manfaat nyata bagi
masyarakat banyak, sistem politik yang ada makin kehilangan legitimasinya (Ginting, 2007).
Kegagalan di bidang ekonomi, menyebabkan eksperimen demokrasi kita yang pertama
setelah kemerdekaan gagal. Sistem politik yang menggantikannya, Demokrasi Terpimpin –
dan padanannya di bidang ekonomi, yaitu Ekonomi Terpimpin – 1959-1965 menjanjikan
pemerintahan yang lebih stabil dan peran negara yang lebih besar dalam pengendalian
kehidupan ekonomi. Namun sistem ini juga tidak dapat memberikan hasil yang didambakan
masyarakat. Kemudian masa demokrasi terpimpin berakhir dengan tragedi kontroversi
―Gerakan 30 September 1965‖ yang juga sekaligus mengantarkan Soeharto memegang
tampuk kekuasaan, menandai lahirnya masa Orde Baru (Roosa, 2008). Masa Orde Baru
1966-1998 adalah masa kestabilan politik yang terpanjang dalam sejarah Indonesia merdeka.
Kestabilan politik itu telah memungkinkan dilaksanakannya kebijakan ekonomi yang
konsisten dan berkesinambungan. Kestabilan tersebut berlangsung sampai terjadi krisis
ekonomi pada tahun 1997 Orde ini akhirnya jatuh karena konfluensi dari paling tidak tiga
perkembangan, yaitu: akumulasi dari kepengapan politik, makin meluasnya kroniisme dan
korupsi, dan pada tahap akhirnya, kondisi kehidupan yang berat sebagai akibat dari krisis
ekonomi (Boediono 2008).
Mereduksi Multipartai Yang Ke-Indonesiaan
Risiko yang paling mendasar bagi Indonesia adalah bagaimana menjaga eksistensi
dan keutuhan bangsa sepanjang perjalanan transformasinya. Kita memiliki modal politik
yang cukup untuk ini, tetapi ia harus terus-menerus dipupuk kembali dan diperkuat. Program
penguatan kesadaran berbangsa dan nation building harus tetap menjadi bagian integral dari
pembangunan Indonesia. Keikutsertaan kita dalam globalisasi tidak boleh melengahkan kita
dalam nation building (Boediono 2008).
Berkaca pada pengalaman hampir sepuluh tahun pasca reformasi, demokrasi
Indonesia dengan sistem multipartai belum signifikan memberikan harapan bagi pengelolaan
tatapemerintahan yang efektif dan efisien. Alasannya karena sistem multipartai telah
mengalami perluasan fragmentasi, sehingga mempersulit proses pengambilan setiap
keputusan dilegislatif. Karena itu, tidak heran bila berbagai pihak mulai mendorong
penerapan sistem multipartai sederhana. Persoalannya, bagaimana mendorong proses
penyederhanaan partai harus dilakukan?
Alam demokrasi tentu tidak menggunakan larangan secara langsung bagi pendirian
partai politik, karena itu hak asasi yang harus dihormati. Pembatasan partai politik dilakukan
dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Secara sah, legal, dan demokratis,
sistem pemilu menjadi alat rekayasa yang dapat menyeleksi dan memperkecil jumlah partai
politik dalam jangka panjang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses seleksi
tersebut. Giovani Sartori(1976), ilmuwan politik Italia menjelaskan, sistem kepartaian tidak
dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit, melainkan jarak ideologi antara
partai-partai yang ada, yang didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak
diantara kutub (bipolar), dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan
sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan
pluralisme ekstrem. Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartaian
Indonesia di masa lalu, kini, dan mendatang (Sudarsa 2010).

372
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Sumbangsih kekisruhan politik terbesar saat ini disumbang oleh partai politik,
hingga kini realitas tersebut masih bisa kita temukan. Seperti halnya sajian pertarungan
koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih dalam perebutan pimpinan DPR dan
MPR yang berdampak pada pembentukan pimpinan tandingan versi Indonesia Hebat, belum
cukup disitu, kita juga masih disajikan bagaimana kisruh PPP, sampai kisruh partai Golkar
yang akan diprediksi mempengaruhi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat. Menalar apa yang
disampaikan Prof Miriam merupakan suatu teoritis yang terlalu suci tetapi tidak kemudian
dengan tindakan serta orientasi para politikus. Dewan Perwakilan Rakyat merupakan salah
satu lembaga tinggi negara dimana dengan segala eksklusifitas mereka sangat dimanusiakan
oleh negara. Kepercayaan yang didapat lewat pemilihan umum menjadikan setiap kalimat
yang dikeluarkan selalu merasa mewakili konstituennya sekalipun tidak dapat dibuktikan
korelasinya. Ada bagian yang sebenarnya bisa kita dekonstruksi dari suatu bangunan struktur
di DPR, sebagaimana kewenangan mereka untuk membentuk badan, panitia maupun komisi
namun akan terlihat berbeda lain dengan yang namanya fraksi.
Fraksi merupakan kepanjangan kepentingan partai politik yang menerobos masuk
dalam gedung parlemen hingga kekuatan primodialisme kepartaian akan terbawa terus
hingga dalam pembahasan kepentingan rakyat. Mengapa harus fraksi? Dan ada apa dengan
fraksi?. Hal menarik yang nantinya dibahas yakni keterpengaruhan dan kemampuan kontrol
kendali politik anggota DPR semuanya dibahas dalam satu ruang yang namanya fraksi.
Fraksi menempatkan seorang kader untuk menjadi anggota komisi atau juga badan serta
panitia, dan kewenangan partai ini tidak kemudian diartikan murni sebagai profesionalisme
melainkan adanya titipan kepentingan partai yang harus diperjuangkan termasuk
mempersiapkan amunisi untuk pemilu mendatang. Fraksi menjadi ruang eksklusif tiap partai
untuk memaksimalkan peluang yang bisa diolah untuk keuntungan partai.
Seharusnya fraksi dilebur menjadi bagian informal yang berada di luar sistem
parlemen kita, agar nantinya ada keleluasaan untuk seorang anggota DPR bertindak bukan
lagi berdasarkan komando maupun instruksi melainkan kesungguhan dalam memikirkan
suatu permasalahan. Terpenting bagi kita yaitu, mekanisme kontrol terhadap tiap anggota
DPR harusnya dari kinerja bukan lagi berapa banyak dia bisa meloloskan kepentingan partai.
Jadi yang berada dalam gedung DPR mestinya ―orang yang berpolitik bukan lagi orang
yang berpartai‖, sebab partai hanya sekedar kendaraan yang mestinya diparkir depan gedung
dan tidak di bawa masuk hingga menimbulkan kegaduhan akibat tarik menarik piring
kepentingan yang terasa semua partai membutuhkannya.
Multipartai Sebagai Modal Pembangunan Nasional (Sebuah Pendekatan Antropologis)
Trikotomi santri abangan dan priayi dalam masyarakat Jawa yang diungkapkan
Clifford Geertz (1989) dalam penelitiannya tahun 1953-1954 di Mojokuto (nama tempat
penelitian disamarkan) banyak dipahami sebagai konsep yang memetakan masyarakat Jawa
dari aspek budaya, agama, dan kehidupan sosial-ekonomi. Meski Indonesia bukanlah Jawa
dan Jawa hanyalah bagian dari Indonesia, tanpa maksud untuk mendiskreditkan daerah-
daerah lain di luar Jawa, diakui atau tidak Jawa merupakan tempat dimana penyelenggaraan
negara digelar. Sehingga wajar kalau kultur setempat mempengaruhi peta perpolitikan di
Indonesia. Belum lagi elite-elite politik di negeri ini mayoritas berasal dari Jawa, atau juga
menempuh pendidikan di Jawa.
Trikotomi yang diungkapkan oleh Geertz bila dicermati merupakan peta politik di
Indonesia secara general dan bertahan dari masa ke masa. Berpolitik di negara dengan sistem
demokrasi seperti di Indonesia memerlukan peta masyarakat semacam ini untuk berbagai
kepentingan. Dari kepentingan yang sifatnya ideal, sampai kepentingan yang sifatnya
pragmatis. Kepentingan ideal dalam artian trikotomi masyarakat tersebut digunakan dalam

373
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
rangka membangun masyarakat secara tepat, sesuai kebiasaan, adat, dan karakteristik
kelompok sosial tersebut. Sedangkan kepentingan pragmatis dalam artian kepentingan
politik praktis menjelang PEMILU yang khas akan kepentingan suksesi, propaganda, dan
kampanye politik, demi berlenggang meraih kekuasaan.
Sedikit merenungkan trikotomi yang dicetuskan Geertz (1989), Abangan
dikategorikan sebagai kaum kelas bawah seperti petani dan kaum buruh, Santri adalah kaum
agamis, dan Priayi adalah kaum birokrat dan ningrat. Bila kita mengamini klasifikasi
tersebut sebagai sebuah penelitian yang ilmiah, maka klasisikasi tersebut berbanding lurus
dengan peta perpolitikan di Indonesia dari masa ke masa. Pada masa Orde Lama (era
kepemimpinan Soekarno 1945-1966) di Indonesia terdapat 3 partai besar yaitu PKI,
Masyumi, NU, dan PNI (Data KPU, 1955). Dimana PKI dengan Ideologi Komunis banyak
menarik perhatian masyarakat kelas bawah karena gerakannya yang militan dan membawa
aspirasi kaum buruh dan masyarakat kelas sosial rendah. Masyumi yang merupakan partai
berideologi Islam, sehingga banyak menarik perhatian kalangan Islam. Dan PNI kebanyakan
merupakan kalangan Priayi yang merupakan keturunan ningrat dan terdidik dengan
pendidikan modern ala Barat.
Pada perkembangan selanjutnya pada masa Orde Baru atau era kepemimpinan
Soeharto 1966-1998, trikotomi yang ada pada masa orde lama tersebut terus berlangsung.
Bahkan Soeharto pada masa pemerintahannya membatasi partai politik dalam 3 partai, yaitu
PDI, PPP, dan Golkar. Tiga partai ini masih dalam kerangka pengelompokan yang sama,
kalangan kelas bawah di PDI. Kalangan Islam di PPP, dan Golkar terdiri dari kalangan
terpelajar termasuk kalangan PNS non ABRI.
Pasca Reformasi 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Presiden Soeharto issue-issue
tentang kebebasan politik mulai popular di masyarakat. Sistem demokrasi multipartai di
Orde Reformasi membuat masyarakat Indonesia terpilah dalam banyak kelompok dengan
kepentingannya masing-masing. Issue-issue ideologis pada masa itu tidak menjadi hal yang
sentral. Issue persamaan hak sebagai warga Negara, termasuk hak asasi manusia,
penegakan hukum, dan perbaikan ekonomi, menjadi lebih sentral (Kartasasmita, 2009).
Analisis yang disampaikan Geertz menjadi menarik karena 16 tahun pasca reformasi 1998,
peta yang pernah pudar itu muncul kembali (tentunya dalam wajah yang berbeda), tetapi
dalam peta politik yang sama. Partai peserta pemilu 2014 bisa dipilah dalam tiga golongan
yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Golongan Santri dalam partai-partai Islam
seperti PKB, PKS, PAN, PPP, PBB, golonan Priayi dalam partai-partai nasionalis seperti
NasDem, Golkar, Demokrat, Hanura, & PKP, dan Golongan Abangan dalam partai-partai
berideologi kerakyatan seperti, PDIP & Gerindra.
Namun yang disayangkan adalah kendati karakter ideologinya jelas, namun arah
politiknya menjadi sangat transaksional. Kelompok sosial dalam masyarakat sejatinya
dimanfaatkan dengan baik oleh para elite politisi di Negara ini. Namun sayangnya kelompok
sosial tersebut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan semata. Politik
transaksional yang menjadi rutinitas politik di setiap momentum PEMILU dilaksanakan
demi isi kantong dan keuntungan kalangan elite saja (elite dalam golonganya masing-
masing). Partai politik sejatinya merupakan representasi dari kelompok sosial masyarakat
yang membawa kepentingan kelompoknya. Kepentingan kelompok semacam itu sebenarnya
positif untuk pembangunan, karena dengan demikian kelompok sosial tersebut memiliki
keterwakilan dalam lembaga legislatif. Namun naasnya, politik transaksional membalikkan
keadaan ideal tersebut, alih-alih membawa aspirasi kelompok sosial dalam masyarakat yang
mereka wakili, partai politik dan elit partai politik justru menggunakan amanat suara rakyat
untuk kepentingan pribadi dan sebagian kecil elite politik saja.

374
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Pembenahan Sistem Multipartai Di Indonesia
Berbicara pembenahan sistem multipartai di ―senayan‖. Ada dua pembenahan yang
ditawarkan dalam konteks kelompok sosial masyarakat, yaitu (a) Reduksi partai berdasarkan
kelompok masyarakat, (b) Pendidikan politik di internal partai. Berikut pemaparan dari
pembenahan ekternal;
1. Reduksi partai berdasarkan kelompok masyarakat
Analisis ilmiah dari berbagai ilmu pengetahuan di Indonesia terkait budaya dan
masyarakat sebenarnya sudah sangat banyak. Kendati demikian kajian dari berbagai
disiplin keilmuan tersebut hanya digunakan untuk keperluan akademis dan bahan
referensi diperpustakaan yang tersebar diberbagai perguruan tinggi saja. Termasuk karya
antropolog Geertz yang memaparkan konstruksi kelompok sosial masyarakat di
Indonesia.
Padahal ketika diperhatikan dengan seksama trikotomi Priayi, Santri, dan Abangan
merupakan peta politik masyarakat Indonesia masa itu. Parlement masa Soekarno (Orde
Lama) berdasarkan tiga ideologi besar di Indonesia yaitu Nasionalis, Agamais, dan
Komunis (NASAKOM). Ketika masa Soeharto (Orde Baru) Ideologi tersebut di
transformasi menjadi Nasionalis, Agamais, Sosialis (NASASOS). Dan saat ini, di era
yang disebut Orde Reformasi trikotomi tersebut masih bisa dirasakan, kendati demikian
masih diperlukan sebuah kajian antropologis terbaru untuk melihat konstruksi masyarakat
Indonesia saat ini.
Dari berbagai kajian keilmuan pemetaan masyarakat tersebut akan sangat
bermanfaat dalam menggali aspirasi masyarakat berdasar karakter kelompok masyarakat.
Sehingga kursi-kursi parlement akan diisi oleh elit politik yang mewakili kelompok
ideologinya, bukan mewakili ego primordial tiap daerah seperti yang dirasakan saat ini.
Sehingga sistem multipartai yang semula adalah masalah bagi pembangunan bisa
menjelma menjadi modal pemerataan pembangunan di Indonesia.
2. Pendidikan politik pada internal partai
Setiap partai memiliki sistem pengkaderan masing-masing yang disesuaikan dengan
ideologi dan rencana strategis kepartaiannya. Namun terkadang aspek-aspek ideologis
tersebut terkadang dikesampingkan oleh oportunisme oknum-oknum di dalam partai.
Sehingga dalam percaturan politik yang terasa kental justru nuansa kepentingan
dibandingkan nuansa ideologisnya, untuk itu diperlukan penanaman dan pengawalan
kesadaran lewat ideologi partai.
Dalam ide penanaman kesadaran lewat pendidikan idologi politik diperlukan sistem
pendidikan Politik yang baik dan tertata. Selain untuk menghindari lahirnya berbagai
ideologi yang bertetangan dengan asas dan landasan negara. Penataan tersebut juga untuk
menghindari perekrutan kader berdasarkan kepentingan praktis semata. Kenapa
perekrutan kader dadakan semacam itu perlu untuk dilakukan? Karena sangat naif ketika
mengharapkan penanaman ideologi partai pada kader dalam waktu singkat, seperti yang
diperagakan oleh partai-partai peserta pemilu saat ini. Dimana elektabilitas seseorang
menjadi hal yang lebih penting dari kerangka ide yang dimiliki seseorang kader partai, itu
kemudian yang menyebabkan seorang selebritis / publik figur banyak beralih profesi
menjadi anggota partai.
Pembatasan oleh lembaga pemerintah adalah sesuatu yang sulit, karena semua warga
negara dalam kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan memiliki hak untuk dipilih
dan memilih. Sehingga paling tepat pembatasan tersebut dilakukan oleh partai sendiri.
Hal tersebut dilakukan agar utusan-utusan partai didalam parlement nantinya benar-benar

375
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
memahami aspirasi dari golongan masyarakat yang mereka wakili, bukan membawa
aspirasi dari elite partai dan terlebih kepentingan pribadi.

Daftar Pustaka
Boediono. 2008. ―Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia.‖ Jurnal Keuangan
Publik 5 (1). 1 – 17.
Gatot. 2014. Politik dan Strategi Nasional. Di akses melalui: pada tanggal 8 Maret 2015.
(http://gatot_sby.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/17767/draft-4.pdf)
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Alih bahasa oleh
Aswab Mahasin. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Ginting, Budiman. 2007. ―Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia:
Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi Di Indonesia.‖
Jurnal Equality 12 (2). 101-111.
Kartasasmita, Ginandjar. 2009. Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif
Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Majelis. 1 (73). Diakses: 1 April 2015
(www.mpr.go.id/files/pdf/2011/10/12/dewan-perwakilan-daerah-dalam-perspektif-
ketatanegaraan-indonesia-1318401265.pdf)
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra
Sudarsa, Agun Gunandjar. 2010. Sistem Multipartai di Indonesia. Diakses: 7 Februari 2011.
(http://www.djpp.depkumham.go.id/htndan- puu/83-sistem-multipartai-di-
indonesia.html)
Yulifar, Leli. 2013. Sosiologi dan Antropologi Pembangunan. Hand Book. Universitas
Pendidikan Indonesia.
--------, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Pasal 6A ayat 2. Tentang
pencalonan presiden dan wakil preseden.
--------, Hasil Pemilu 1955. 2015. Modul 1 Pemilu Untuk Pemula-KPU (Komisi Pemilihan
Umum) (35). Diakses: 1 April 2015. (http://kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf.)

376
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PENGAWASAN SEMU PEREMPUAN PERKARA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PEMERINTAH INDONESIA

Indhar Wahyu Wira Harjo


Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang.
indhar.wahyu@ub.ac.id

Abstrak
Penggunaan teknologi internet di Indonesia memperluas peluang kontrol masyarakat
terhadap implementasi kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan
kepentingan masyarakat dapat dengan mudah diawasi melalui jaringan komputer. Akan
tetapi, unsur masyarakat yang terlibat aktif dalam skema pengawasan initernyata berasal dari
kelompok sosial tertentu saja. Perempuan menjadi salah satu kelompok sosial terpinggirkan
dari model pengawasan terhadap pemerintah yang berbasis teknologi internet tersebut. Data
dari Badan Pusat Statistik memberikan informasi tentang aksesibilitas perempuan terhadap
internet lebih rendah apabila dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga, kondisi ini berimbas
kepada kontrol sosial yang dapat dilakukan perempuan terhadap kebijakan pemerintah
menjadi terbatas. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan partisipasi perempuan di dalam
proses pengawasan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia menggunakan teknologi
internet. Kajian partisipasi tersebut dibingkai dengan cara berpikir Pippa Norris tentang
digital divide. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan teknologi internet memunculkan
perbedaan keterlibatan perempuan dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Perempuan
yang terlibat dalam mengawasi kebijakan pemerintah didominasi perempuan dari kelas
menengah ke atas yang berusia muda. Segmentasi ini dapat terjadi atas dasar tiga aspek
penting. Pertama, aksesibilitas pada teknologi internet menempatkan perempuan dari kelas
menengah ke atas yang berusia muda berada di posisi terdepan dalam mengontrol
implementasi kebijakan pemerintah. Kedua, informasi dan pengetahuan yang dimiliki
perempuan di kelas sosial tersebut berimbas pada partisipasi intensif untuk mengawasi
pelaksanaan kebijakan pemerintah. Ketiga, perempuan kelas menengah ke atas yang berusia
muda relatif aktif menggunakan internet untuk kepentingan umum, bukan sekedar untuk
kebutuhan personal. Ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa pengawasan perempuan kepada
implementasi kebijakan pemerintah melalui teknologi internet dibentuk oleh infrastruktur,
pengetahuan dan ketertarikan pada isu publik.
Kata Kunci: digital divide, kelas sosial, dan internet

Pendahuluan
Partisipasi perempuan dalam melakukan pengawasan kebijakan pemerintah
diproyeksikan meningkat dengan keberadaan new media. New media dianggap
mempermudah perempuan untuk mengakses berbagai informasi di dalam konteks kebijakan
publik. Informasi yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi
kebijakan dapat diakses kapan saja dan dari mana saja melalui teknologi internet.
Kemudahan tersebut dimaksudkan memicu peran serta perempuan lebih intensif dalam
demokratisasi di Indonesia.
Peran serta perempuan untuk mengawal demokratisasi dalam konteks tersebut di
atas mendapat perlindungan hukum. Pengesahan Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP) pada tahun 2008 menjadi pijakan bagi perempuan untuk mengontrol
kebijakan publik. UU No 14 tentang KIP itu menjamin hak setiap warga negara untuk
mengetahui rencana, program, proses, dan alasan pengambilan kebijakan publik.

377
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Keterbukaan informasi tentang tahapan-tahapan pengambilan keputusan publik
bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Penggunaan new media oleh perempuan untuk mengawal proses pengambilan kebijakan
publik ternyata tidak semulus yang diharapkan. Cita-cita memberikan ruang agar perempuan
tidak terpinggirkan pada tahap pengawasan terhadap kebijakan pemerintah pada
kenyataannya menghadapi tantangan. Dari aspek kuantitas, jumlah perempuan yang
mengakses internet rupanya tidak lebih banyak dari laki-laki. Kendati presentase rumah
tangga yang mengakses internet meningkat sejak tahun 2009, namun besaran angka
perempuan masih di bawah laki-laki (Statistik Indonesia 2014).
Jumlah perempuan yang tidak lebih banyak dari laki-laki pengakses new media
nyatanya tidak menyurutkan partisipasi perempuan terhadap pengawasan kebijakan publik.
Pengawasan semacam ini telah dilakukan oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
Solidaritas Perempuan, dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan
Masyarakat Indonesia (Yappika). Kedua LSM tersebut mengawal pelaksanaan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat di Indonesia,
terutama di Provinsi DKI Jakarta menggunakan sebuah aplikasi di telepon seluler yang
bernama ELVA.
Kondisi tersebut di atas memunculkan pertanyaan yang patut didiskusikan dalam
tulisan ini: bagaimana partisipasi perempuan dalam pengawasan implementasi kebijakan
kesehatan di Indonesia? Secara rinci, pemaparan dalam tulisan ini berupaya mendeskripsikan
partisipasi perempuan dalam pengawasan terhadap kebijakan pemerintah menggunakan new
media yang difasilitasi Solidaritas Perempuan, Yappika, dan ELVA. Pemaparan tersebut
akan memberikan ilustrasi tentang partisipasi perempuan dalam memanfaatkan new media
sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.
Isu partisipasi perempuan dalam pelaksanaan kebijakan publik telah mendorong
berbagai jenis penelitian. Penelitian yang dilakukan McLoed, Scheufele, dan Moy (2010);
Zuniga, Jung, dan Valenzuela (2012); dan Hoffman (2012) merupakan segelintir tonggak
kajian new media dan partisipasi politik. McLoed et al. (2010) meneliti tentang relevansi
antara komunitas, media massa, dan partipasi politik. McLoed et al menunjukkan bahwa
pembaca koran memiliki kecenderungan yang kuat dalam perbincangan mengenai isu publik.
Perbincangan tentang isu publik tersebut akan berimbas positif bila berorientasi pada
kepentingan yang lebih luas. Berbeda dengan McLoed et al, Zuniga et al berupaya
memperlihatkan partisipasi politik di Amerika Serikat menjadi lebih besar setelah
keberadaan new media. Partisipasi politik yang terjadi pada akhirnya tidak hanya bersifat on-
line, namun juga off-line. Hoffman berupaya lebih jauh mengkritisi partisipasi politik melalui
media internet. Hoffman mencoba menunjukkan perbedaan antara partisipasi politik dan
komunikasi politik di new media. Partisipasi politik mengarah kepada aktivitas yang
memprediksi pemungutan suara, sedangkan komunikasi politik tidak menuju aktivitas
semacam itu. Penelitian yang dilakukan ini berusaha untuk melengkapi penetian-penelitian
tersebut. Secara khusus, penelitian ini bermaksud memperlihatkan partisipasi perempuan
Indonesia dalam mengawal kebijakan di bidang kesehatan.
New Media
Lev Manovich (2001:44) memberikan ilustrasi sederhana mengenai konsep new
media. Manovich menunjukkan bahwa new media merupakan kolaborasi antara dua jalur
yang berbeda. Kedua jalur tersebut yaitu komputer dan teknologi media. Hasil kolaborasi
diantara kedua hal tersebut mampu mengubah segala jenis media menjadi data numerik yang
dapat diakses komputer. Media yang dikonversi menjadi data numerik sehingga dapat
diakses melalui teknologi komputer menjadi bagian dari new media. Gambar, teks, grafik,

378
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
suara, maupun video yang diubah menjadi soft copy menurut Manovich merupakan bagian
penting dari new media.
Dewdney dan Ride (2006:8) mencoba melihat new media dari sudut pandang yang
berbeda dengan Manovich. Dewdney dan Ride memandang terdapat dikotomi dalam
memahami new media. Kutub pertama menekankan pada aspek teknologi komputer yang
digunakan dalam new media, kubu ini disebut technologies forms. Kutub kedua
menggarisbawahi penggunaan teknologi new media oleh masyarakat, disebut sebagai
cultural form. Dikotomi tersebut mendorong Dewdney dan Ride untuk mengambil jalan
tengah dengan konsep yang mereka sebut sebagai cultural concepts. Cultural concepts
mengarah kepada ide yang aktif dan membangun dalam sebuah diskursus. Cultural concepts
yang digagas Dewedney dan Ride lebih mendekati pemahaman tentang new media sebagai
penyebaran gagasan yang menggunakan teknologi komputer.
Berbeda dengan Manovich dan Dewdney dan Ride, Terry Flew tidak hanya melihat
new media dari sisi produknya saja. Flew dalam bukunya yang berjudul New Media (2008:2)
menjelaskan bahwa kombinasi antara tiga C menjadi dasar bagi pembentukan new media.
Tiga C tersebut antara lain computing and information technology, communication networks,
dan digitised media and information content. Integrasi tiga hal ini dilengkapi dengan satu C
lagi akan memberikan gambaran yang utuh tentang new media. C yang terakhir disebut Flew
sebagai convergence. Maka dari pandangan Flew dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan new media merupakan gabungan antara teknologi informasi, jaringan komunikasi
dan informasi dan media yang terdigitalisasi.
Penelitian ini menggunakan cara berpikir Flew saat menelaah new media. pemaparan
Flew tentang new media dinilai lebih komprehensif apabila dibandingkan dengan pendapat
dari Manovich dan Dewdney dan Ride. Maka dari itu yang dimaksud dengan new media
dalam penelitian ini adalah penyatuan teknologi informasi, jaringan komunikasi serta
keberadaan informasi dan media yang terdigitalisasi. Teknologi informasi dimaksudkan pada
penggunaan web-based system yang digunakan LSM Solidaritas Perempuan dan Yappika.
Jaringan komunikasi digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara pasien puskesmas,
aktivis Solidaritas Perempuan-Yappika, dan website indonesia.elva.org. Terakhir, informasi
yang terdigitalisasi mencakup foto, grafik, dan teks yang terpublish di indonesia.elva.org.
Sedangkan media yang terdigitalisasi dimaksudkan pada website indonesia.elva.org itu
sendiri.
Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi dijelaskan sebagai Tachan (2006:24) sebagai:
Aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan
atau disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.
Pernyataan tersebut menunjukkan keterkaitan antara pengambilan keputusan publik
dengan pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan. Implementasi kebijakan publik dilihat
Tachan sebagai aktivitas penyelesaian dari suatu kebijakan publik yang telah disepakati.
Implementasi kebijakan publik sebagai sebuah aktivitas dalam upaya untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan pada saat perumusan kebijakan.
Sugiana (2012:16) memiliki argumen yang mirip dengan gagasan Tachan. Sugiana
memaparkan implementasi kebijakan publik sebagai:
Suatu kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam suatu
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya dalam
rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan tersebut.
Pernyataan Sugiana berusaha memahami konsep implementasi kebijakan publik
lebih dalam dari pemahaman Tachan. Sugiana mampu menunjukkan pijakan implementasi

379
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kebijakan publik pada lembaga atau institusi yang lebih konkret. Sugiana menjelaskan
bahwa implementasi kebijakan publik dapat didasarkan pada aturan yang disahkan
pemerintah dan lembaga negara yang lain.
Kedua konsep di atas memberikan arahan pada konsep implementasi kebijakan
publik dalam penelitian ini. Implementasi kebijakan publik dalam hal ini digunakan peneliti
untuk menjelaskan mengenai kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan kebijakan yang
dituangkan dalam peraturan yang disahkan pemerintah dan lembaga negara yang lain
menggunakan sarana dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Secara spesifik,
implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini mengacu pada pelaksanaan Peraturan
Menteri (Permen) Kesehatan No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Permen ini berisi 48 pasal yang memberikan arahan pada standar pelayanan kesehatan di
tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Selanjutnya, pengawasan kebijakan
publik dalam hal ini dimaksudkan pada kontrol yang dilakukan oleh masyarakat pada
pelaksanaan Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitaif deskriptif. Data dalam
penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan survey menggunakan aplikasi
Elva. Data dari BPS diperoleh dari publikasi BPS terakhir yang termuat dalam ‗Indonesia
dalam Angka 2014‘. Sedangkan data dari survey diperoleh dari publikasi yang terpampang
dalam website indonesia.elva.org. Survey yang menggunakan aplikasi Elva ini dilakukan
oleh LSM Solidaritas Perempuan dan Yappika. Dalam rentang waktu enam minggu tersebut,
data yang dikumpulkan lebih dari 1.800 responden. Data yang diperoleh dalam proses survey
tersebut selanjutnya dikirim pemantau melalui pesan singkat/short message servis (SMS) ke
pengelola website. Data yang ditampilkan dalam website indonesia.elva.org tersebut dapat
diakses secara terbuka oleh publik.
Suara Pempuan dan Yappika Memunculkan Siaran Pers
Pada 30 Maret 2015, website Solidaritas Perempuan menampilkan sebuah siaran
pers dengan judul yang sensasional. Tajuk yang dimuat dalam siaran pers tersebut yaitu
‗Siaran Pers ‗Suara Masyarakat Untuk Pelayanan Kesehatan: Pelayanan dan Fasilitas
Puskesmas Belum Memenuhi Standar Yang Berkualitas‘. Sekiranya tidak ada yang
sensasional dengan judul tersebut, mengingat kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia
masih belum mencapai kualitas yang diharapkan.
Siaran pers di atas menjadi polemik bukan karena mengada-ada, bukan pula sebab
pencemaran nama baik. Siaran Pers ini menjadi sorotan atas dasar validitas dan realibilitas
data yang menjadi rujukannya. Siaran Pers ini dibuat berdasar pada pemantauan yang
dilakukan 60 aktivis Solidaritas Perempuan dan Yappika selama enam minggu. Lokasi
pemantauan selama satu setengah bulan itulah yang memunculkan keheranan.
Pemantauan tersebut di atas dilakukan di pusat Pulau Jawa, lebih tepatnya di sentral
negara Indonesia, yaitu Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta. DKI Jakarta sering dianggap
memiliki fasilitas dan pelayanan publik terbaik di Indonesia. pelayanan publik di DKI juga
acap kali dijadikan rujukan bagi pelayanan publik di Indoneisa. Akan tetapi pemantauan
tersebut menunjukkan fakta bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas DKI Jakarta belum
memenuhi standar pelayanan, termasuk pelayanan terhadap kesehatan reproduksi.
Pertanyaan retoris yang muncul pada akhirnya: ‗Jika di Jakarta saja tidak memenuhi standar
pelayanan, bagaimana dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia?‘.
Pemantauan pada fasilitas dan layanan kesehatan di DKI Jakarta tersebut dilakukan
di beberapa lokasi. Pemantauan dilakukan di 11 wilayah di DKI Jakarta dan 1 wilayah di

380
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Kabupaten Bogor. Pemantauan dilakukan di Bojong Gede, Cililitan, Cilincing, Duri Kepak,
Manggarai Selatan, Manggarai Utara, Muara Baru, Pagujaten, Perumpung, Rawa Badak,
Rawa Jati, dan Sawah Besar. Sebaran lokasi-lokasi tersebut mampu melibatkan 1.800 orang
sebagai responden dalam pemantauan.
Pemantauan pada pelayanan kesehatan di tingkat Puskesmas dilakukan pada tiga
aspek penting. Aspek-aspek yang dipantau antara lain ketersediaan informasi di Puskesmas,
Layanan dan Sikap Petugas, dan Layanan Kepada Peserta Program Jaminan Kesehatan.
Ketiga aspek krusial tersebut menjadi indikator penting dalam implementasi Permen
Kesehatan No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Pemantauan pertama diarahkan pada ketersediaan informasi di Puskesmas.
Responden dihadapkan pada pertanyaan: ‗Bagaimanakah informasi yang disediakan oleh
Puskesmas kepada masyarakat?‘. Jawaban dari responden atas pertanyaan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam tiga kategori yang berbeda. Pertama berpendapat bahwa informasi
diberikan oleh Puskesmas dengan jelas dan ditempatkan di posisi yang strategis. Kedua
berargumen bahwa informasi telah diberikan, namun tidak jelas atau salah. Ketiga
mengatakan tidak ada informasi sama sekali.
Secara terperinci, hasil pemantauan dapat diamati pada grafik berikut ini:

Grafik 1. Ketersediaan informasi di Puskesmas


(Sumber: http://indonesia.elva.org/)

Pemantauan menunjukkan Puskesmas di Kelurahan Cililitan memberikan informasi


paling baik dibanding wilayah yang lain. Sedangkan Puskesmas di Kelurahan Rawa Jati
menjadi wilayah yang tidak memberikan informasi secara baik saat dikomparasi dengan 11
Puskesmas lain.
Ketersediaan informasi merupakan bagian penting dari implementasi kebijakan
Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014. Sistem pemberian informasi adalah salah satu
amanat yang tertuang dalam Pasal 43 ayat 1 No. 75 Tahun 2014. Sehingga Puskesmas yang
tidak menyediakan informasi bagi para pengunjung termasuk sebagai unit kerja yang tidak
mengimplementasikan Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014 dengan baik. Solidaritas
Perempuan dan Yappika mengidentifikasi Puskesmas di Duri Kepok, Muara Baru, Pegujaten
dan Rawa Jati termasuk dalam kategori yang tidak baik.

381
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Aspek kedua yang menjadi pantauan adalah kualitas layanan dan sikap petugas
puskesmas. Untuk menelaah aspek ini, responden yang dipantau mendapat pertanyaan:
‗Bagaimana menurut Anda sikap petugas kesehatan di Puskesmas? Berikan tanggapan
―baik‖ atau ―buruk‖. Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diamati rekapitulasinya dalam
grafik berikut:

Grafik 2. Layanan dan Sikap Petugas


(Sumber: http://indonesia.elva.org/)

Grafik di atas menunjukkan bahwa Puskesmas Kelurahan Manggarai Utara mampu


menjadi yang terbaik diantara Puskesmas yang lain. Puskesmas Manggarai Utara dinilai
memberikan layanan yang baik serta para petugas menunjukkan sikap yang memuaskan.
Kondisi berbeda justru tampak di Puskesmas Kelurahan Rawa Jati. Puskesmas Kelurahan
Rawa Jati memberikan layanan yang kurang memuaskan bagi pasien. Puskesmas Kelurahan
Rawa Jati juga memperlihatkan sikap petugas pelayan kesehatan yang relatif tidak baik bila
dibanding Puskesmas yang lain.
Pelayanan dan sikap petugas kesehatan di Puskesmas merupakan aspek penting yang
diamanatkan dalam Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014. Hal ini tersurat dalam pasal 18
ayat 1 yang mengamanatkan tenaga kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, etika profesi, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan
dan kesehatannya dalam bekerja.
Pemantauan berlanjut dengan pertanyaan mengenai pelayanan pada pasien peserta
Program Jaminan Kesehatan. Pertanyaan ini mencoba mengukur tingkat kepuasan pasien
peserta BPJS Kesehatan/Askes/Kartu Indonesia Sehat/Kartu Jakarta Sehat yang berobat di
Puskesmas. Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini adalah: Dalam skala 1 sampai dengan 5
(1 adalah sangat buruk, dan 5 adalah sangat baik) Menurut anda bagaimana kualitas
pelayanan Puskesmas untuk masyarakat pengguna BPJS Kesehatan/Askes/Kartu Indonesia
Sehat/Kartu Jakarta Sehat?

382
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Grafik 3. Layanan kepada peserta Program Jaminan Kesehatan


(Sumber: http://indonesia.elva.org/)

Grafik di atas menggambarkan mengenai kepuasan pasien peserta jaminan kesehatan


yang berobat di Puskesmas. Prosentase kepuasan tertinggi ditemukan pada pasien peserta
jaminan kesehatan yang berobat ke Puskesmas Kelurahan Sawah Besar. Prosentase kepuasan
di Puskesmas ini mendekati angka 60% dari keseluruhan pasien yang menggunakan program
asuransi kesehatan. Sedangkan pelayanan paling buruk terhadap pasien peserta program
jaminan kesehatan diberikan oleh Puskesmas di Kelurahan Pegujaten. Di Puskesmas
Pagujaten ini prosentase kepuasan pasien hanya berkisar pada angka 5%.
Pelayanan pada pasien yang menggunakan program jaminan kesehatan merupakan
bagian dari bidang pelayanan dari Puskesmas. Secara rinci, regulasi tersebut diatur pula
dalam Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014. Hal ini tersurat dalam pasal 18 ayat 1.
Pelayanan yang tidak baik dan tiak sesuai dengan prosedur berarti mengabaikan amanah
yang ditetapkan dalam Permen tersebut.
Hasil pemantauan menemukan kualitas fasilitas dan pelayanan kesehatan di
Puskesmas masih belum terpenuhi dan bermasalah. Kondisi demikian ini memberikan
gambaran bahwa implementasi kebijakan Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014 masih perlu
diperbaiki. Ketidaksesuaian pemberian informasi dan pelayanan tenaga kesehatan menjadi
isu utama yang perlu dievaluasi dari implementasi kebijakan tersebut.
Bentuk Kontrol terhadap Implementasi Kebijakan Pemerintah
Ketidaksesuaian regulasi Permen Kesehatan No. 75 Tahun 2014 dengan
implementasi kebijakan di 12 Puskesmas DKI Jakarta menjadi sorotan LSM Solidaritas
Perempuan dan Yappika. Temuan atas ketidaksesuaian tersebut menjadi isu yang menarik
saat dipublikasi menggunakan new media. Penggunaan new media sebagai sarana untuk
menyebarluaskan temuan tersebut memberikan dimensi baru bagi pengawasan kebijakan
publik yang dilakukan perempuan.
Publikasi yang dilakukan di new media tersebut menafikan aspek kuantitas dari
perempuan pengakses internet. Secara mendetail, perbandingan angka perempuan pengakses
internet dapat dilihat pada tabel berikut:

383
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Tabel 1. Aksesibilitas Terhadap Teknologi Internet

(Sumber: Statistik Indonesia 2014)

Kendati perempuan yang mengakses internet tidak lebih banyak dari laki-laki, hal ini
tidak membatasi upaya kontrol perempuan terhadap implementasi kebijakan pemerintah.
Data dalam tabel di atas merupakan konfigurasi pengakses internet di tahun 2011-2012. Data
terkini terkait isu serupa tidak dapat diakses peneliti untuk memberikan gambaran mengenai
kebaruan informasi pengakses internet. Namun peneliti memprediksi konfigurasi tersebut di
atas tidak mengalami perubahan signifikan. Potensi terjadinya perubahan lebih pada
peningkatan angka dari masing-masing kategori.
Data statistik di atas menunjukkan bahwa perempuan pengakses internet secara
kuantitas lebih sedikit dibanding laki-laki. Namun perempuan mampu menggunakan
aksesibilitasnya pada internet untuk mengkontrol implementasi kebijakan pemerintah. Hal
ini berarti bahwa kuantitas yang rendah tidak menghalangi penggunaan new media yang
berkualitas.
Lantas bagaimana hal semacam ini bisa terjadi? Menurut Pippa Noris, aksesibilitas
perempuan pada new media menempatkan perempuan dari kelas menengah ke atas yang
berusia muda terlibat aktif dalam proses mengontrol implementasi kebijakan pemerintah.
Kedua, informasi dan pengetahuan perempuan di kelas sosial menengah ke atas berimbas
pada partisipasi intensif untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Ketiga,
perempuan kelas menengah ke atas yang berusia muda relatif aktif menggunakan internet
untuk kepentingan umum, bukan sekedar untuk kebutuhan personal.

Kesimpulan
Pengawasan implementasi kebijakan yang dilakukan perempuan memanfaatkan new
media. Penggunaan new media memberikan ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam
pengawasan implementasi kebijakan secara intensif. Keterlibatan perempuan dalam proses
384
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kontrol terhadap implementasi kebijakan Permen Kesehatan No 75 tahun 2014 dipengaruhi
oleh infrastruktur, pengetahuan dan ketertarikan perempuan pada isu publik.

Rekomendasi
Penggunaan new media oleh perempuan perlu diarahkan pada perbincangan tentang
isu yang bersifat publik yang mampu meningkatkan pengetahuan dan partisipasi pada isu
kebijakan publik. Perbincangan pada isu yang bersifat publik ini dapat memicu komunitas
yang lebih luas untuk berperan serta melakukan kontrol terhadap kebijakan publik, baik pada
tahap perencanaan, implementasi, maupun pada level evaluasi kebijakan.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Badan Pusat Statistik
Dewdney, Andrew and Peter Ride. 2006. The New Media Handbook. New York: Routledge.
Homero Gil de Zuniga, Nakwon Jung, Sebastian Valenzuela. 2012. Social Media For News
and individual‘s social capital, civic engagement, and political participation.
Journal of Computer Mediated Communication. Pages 319-336.
Jack M. Mcleod, Dietram A. Scheufele & Patricia Moy. 2010. ―Community,
Communication, And Participation: The Role Of Mass Media And Interpersonal
Discussion In Local Political Participation‖. Political Communication. Pages 315-
336
Norris, Pippa. Digital Divide. Cambridge University Press.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 1014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Sugiana, P. M. 2012. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Melalui
Program Pemberdayaan Ekonomi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Di Jakarta
Selatan. Jakarta UI: Tesis.
Tachan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI & Puslit KP2W Lembaga
Penelitian Unpad.
http://indonesia.elva.org/

385
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA BERBASIS
KEBUTUHAN GENDER : STUDI DI KOTA SURAKARTA

Jefta Leibo1; Sri Yuliani2; Rahesli Humsona3


Sosiologi1; Ilmu Administrasi Negara2; Sosiologi3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
jeftaleibo@gmail.com1; sriyuli63@gmail.com2; rahesli64@gmail.com3

Abstrak
Kota Surakarta merupakan salah satu daerah dengan tingkat kerawanan bencana
banjir yang tinggi. Melihat bahwa dalam setiap kejadian bencana pada umumnya perempuan
lebih banyak menjadi korban atau pihak yang dirugikan, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kerentanan bencana dan isu gender dalam mitigasi bencana di Kota Surakarta
serta upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat kerentanan bencana berbasis
gender. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan
sampel dengan purposive sampling, pengambilan data dengan observasi, wawancara
mendalam dan FGD, validitas data menggunakan triangulasi sumber, sedang analisis data
menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan
lebih banyak menjadi kurban dibandingkan laki-laki dalam bencana banjir yang terjadi di
Kota Surakarta. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik, sosial budaya, serta sikap dan
perilaku masyarakat. Untuk mengurangi tingkat kerentanan fisik, perlu membuat data pilah,
membuat pemetaan resiko bencana sensitif gender dan menyiapkan infrastruktur fisik. Untuk
mengurangi tingkat kerentanan sosial, strategi yang bisa dilakukan adalah mengembangkan
legal infrastruktur yang sensitif gender. Sementara untuk mengurangi tingkat kerentanan
mental dapat dilakukan dengan sosialisasi bencana melalui jaringan formal dan informal dan
menambah relawan-tenaga mitigasi perempuan dalam sosialisasi bencana untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran perempuan lain tentang bencana.
Kata kunci: kerentanan terhadap bencana, kebijakan mitigasi, kebutuhan gender.

Pendahuluan
Di antara berbagai macam jenis bencana, bencana alam seperti letusan gunung
berapi, banjir, gempa dan tanah longsor merupakan jenis bencana yang tidak
mendiskriminasi korbannya. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan terhadap korban
justru terjadi saat paska bencana. Pihak yang sering terabaikan kebutuhannya adalah
perempuan dan anak. Riset yang dilakukan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun
2000 menunjukkan masalah gender memiliki dimensi sangat penting di dalam bencana yang
terjadi di beberapa negara di Asia Tenggara (Rochelle Jones seperti dikutip Savitri, 2005). Di
Indonesia, perempuan adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas perawatan dan
pemeliharaan keluarga. Tanggung jawab itu memberi beban yang lebih berat kepada
perempuan di dalam situasi pascabencana karena kewajiban merawat dan memelihara
terbentur pada sulitnya mengakses sumber-sumber yang tersedia. Oleh karena itu,
pembuatan kebijakan antisipatif dan pemulihan dampak bencana harus mempertimbangkan
secara khusus aspek kebutuhan gender di dalam program dan tindakan yang dilakukan.
Penanggulangan bencana di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai tindakan tanggap
darurat atau sebagai bentuk respon saat dan setelah terjadi bencana. Adanya payung hukum
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjadikan
penanganan bencana sebagai kegiatan yang integratif mulai dari pencegahan atau mitigasi
sampai paska bencana atau rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagai wujud komitmen dalam

386
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
bidang penanggulangan bencana, pemerintah telah menyusun Rencana Nasional (Renas)
Penanggulangan Bencana 2010-2014. Adanya Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
mewajibkan lembaga pemerintah untuk menyusun rencana strategis yang berperspektif
pengurangan risiko bencana dan di tingkat daerah, pemerintah daerah wajib menyusun
Rencana Penanggulangan Bencana Daerah yang akan menjadi pedoman dalam menyusun
Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah dengan memperhatikan Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana 2010-2014.
Untuk wilayah Kota Surakarta dan sekitarnya, adanya kebijakan, rencana nasional
maupun badan penanggulangan bencana merupakan kebutuhan penting. Apalagi menurut
M. Insan Nurrochman, Direktur Departemen Program Aksi Cepat Tanggap, Jawa Tengah
sudah ditetapkan menjadi provinsi paling rawan bencana di Indonesia. Oleh karena itu, yang
dibutuhkan sekarang tidak hanya kewaspadaan. Perlu aksi tanggap darurat yang terencana
dan terukur. Sejauh ini Nurrochman menilai upaya mengurangi risiko bencana seperti
gempa di Jateng masih sangat kurang karena itu dirasa perlu adanya dokumen perencanaan
tanggap bencana di tiap daerah. Menurut Insan, dokumen tersebut penting untuk mengurangi
risiko bencana berikut penanggulangannya (Solopos, 15/11/2012). Mempertimbangkan fakta
bahwa kelompok perempuan perlu mendapat perhatian lebih untuk penanggulangan bencana
di masa yang akan datang, maka diperlukan analisis kebutuhan gender dalam kebencanaan
agar pemerintah dan lembaga terkait memiliki strategi kebijakan yang lebih ramah gender
dalam penanggulangan bencana di masa yang akan datang.
Tinjauan Pustaka
Pengelolaan bencana pada dasarnya merupakan suatu siklus terpadu yang terdiri atas
enam fase (Anwar, 2005). Fase pertama, upaya penyelamatan dan evakuasi korban bencana
yang disebut juga sebagai fase tanggap darurat. Fase kedua, pemulihan kondisi fisik mental
korban bencana yang kemudian dilanjutkan dengan fase ketiga, rehabilitasi pemukimam,
sarana dan prasarana. Fase keempat, perlindungan untuk meredam terjadinya bencana atau
untuk melindungi masyarakat, instalasi penting dari bencana, serta. membangun bangunan
tahan gempa. Fase kelima, upaya untuk meminimalkan dampak dari bencana yang akan
terjadi, yaitu termasuk suatu program untuk mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap
masyarakat atau komunitas, perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan
peta kerentanan bencana, penyusunan data base, pemantauan dan penelitian dan
pengembangan. Fase keenam adalah persiapan menghadapi bencana, merupakan suatu
aktivitas yang dilaksanakan agar pemerintah, organisasi, komunitas dan individu mampu
menghadapi bencana secara cepat dan efejtif.
Perbedaan gender sering menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities),
terutama terhadap kaum perempuan baik di lingkungan rumah tangga, pekerjaan
masyarakat, kultur, maupun negara. Ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam berbagai
macam bentuk antara lain marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja
ganda (Fakih, 2001; Mosse, 1997).
Kondisi rentan pascabencana alam dan akibatnya dapat dikonstruksi secara sosial
dan memiliki dimensi gender (Savitri, 2005). Artinya, perempuan dan laki-laki menghadapi
bencana alam dan akibatnya secara berbeda, sesuai peran mereka dalam masyarakat yang
memang dikonstruksikan secara berbeda. Bencana yang secara fisik terlihat sama, akan
menimbulkan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, sesuai peran yang
dilekatkan masyarakat kepada mereka.
Perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap bencana melalui peran
sosial yang dibangun oleh masyarakat. Perempuan memiliki lebih sedikit akses ke
sumberdaya, seperti: jaringan sosial, transportasi,informasi, keterampilan (termasuk

387
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
didalamnya melek huruf), kontrol sumberdaya alam dan ekonomi, mobilitas individu,
jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, bebas dari kekerasan, dan memegang kendali atas
pengambilan keputusan (Enarson,2009).
Analisis gender yang sering digunakan dalam perencanaan pembangunan responsif
gender yaitu Moser, Harvard dan GAP. Untuk mengidentifikasikan kebutuhan praktis dan
strategis gender dalam kebijakan mitigasi bencana, maka dapat digunakan analisis Moser.
Teknik analisis Moser (Handayani dan Sugiharti, 2002: 176) adalah suatu teknik analisis
yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan
dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender, dengan
menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti
kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan
majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi
kebutuhan gender praktis-strategis.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Surakarta yang merupakan daerah rawan banjir.
Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif untuk menggali lebih dalam tentang isu,
peran dan kebutuhan gender yang ada dalam peristiwa bencana alam. Sampel penelitian ini
diambil dari warga masyarakat, pemimpin formal dan informal yang terlibat dalam aktivitas
mitigasi bencana. Sampling menggunakan teknik purposive. Data-data primer yang
dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh langsung dari sumbernya seperti kelompok
relawan, organisasi masyarakat yang bergerak dalam penanggulangan bencana, warga
masyarakat, pemimpin formal dan informal.
Pengambilan data primer diperoleh melalui teknik observasi, wawancara mendalam
dan focus group discussion (FGD) (Krueger, 1994; Irwanto, 2006). Data sekunder dengan
menggunakan teknik dokumen. Untuk menjamin validitas data dalam penelitian ini
digunakan triangulasi sumber dan metode (Moleong, 2002: 178). Teknik analisis
menggunakan model intaraktif (Miles dan Huberman 1992) yang memiliki komponen
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan).
Sebelum mengidentifikasikan kebutuhan gender berkaitan dengan bencana alam,
terlebih dahulu peneliti mengkaji peran dan kebutuhan gender menggunakan analisis Moser.
Hal ini dilakukan untuk mengkaji kebutuhan gender dalam mitigasi bencana. bentuk
kegiatan mitigasi bencana, kemudian melakukan penilaian terhadap kebijakan mitigasi
bencana yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta. Dengan langkah tersebut,
pengidentifikasian kebutuhan gender dalam kebijakan mitigasi bencana menjadi lebih
mudah.

Pembahasan
Ancaman bencana alam yang rawan terjadi di Kota Surakarta adalah bencana banjir.
Faktor-faktor yang mempengaruhi rawan banjir adalah daerah dengan topografi yang relatif
datar dan daerah yang memiliki tata ruang yang tidak baik. Daerah-daerah tersebut umumnya
banyak ditemukan di kota-kota besar dan di bantaran sungai. Gambaran tentang bencana
banjir di Kota Surakarta bisa ditinjau dari ancaman dan resiko bencana, dan kerentanan
terhadap bencana.
Ancaman dan Resiko Bencana
Banjir sering melanda Kota Surakarta, karena secara geografis Kota Surakarta
banyak dilewati sungai alam, salah satunya adalah sungai terpanjang di Jawa yaitu Sungai

388
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Bengawan Solo. Sungai alam yang terdapat di Kota Surakarta antara lain (Prasetyo,
2009:67):
Bengawan Solo yaitu sungai alam yang membelah wilayah Kota Surakarta dengan
Kabupaten Karanganyar. Pada saat-saat tertentu, biasanya pada musim penghujan, sungai ini
sering meluap ke daerah sekitarnya, bahkan mencapai radius ratusan meter dari induk
sungainya.
Sungai Anyar yaitu sungai yang berada di sebelah utara Kota Surakarta yang mengalir ke
induk sungai (Bengawan Solo).
Sungai Pepe yaitu sungai yang terletak di bagian tengah Kota Surakarta yang mengalir ke
induk sungai (Bengawan Solo).
Sungai Jenes yaitu sungai yang berada disebelah selatan Kota Surakarta yang merupakan
perbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.
Penelitian Prasetyo (2009) tentang pemetaan lokasi rawan banjir di Kota Surakarta
menyimpulkan bahwa Kota Surakarta sebagian besar mempunyai wilayah yang relatif datar
dimana wilayah yang relatif datar mempunyai prosentase paling luas yaitu mencapai 96.42
% dari total luas Kota Surakarta. Kondisi geografis semacam ini mengakibatkan sering
terjadi banjir karena aliran permukaan akan sulit mengalir pada waktu hujan mengakibatkan
banyak terjadi banjir lokal.
Tentang resiko banjir, Prasetyo (2009) menganalisis resiko banjir dari sisi probalitas
dan sisi kekerapan, besaran dan lama kejadian. Dari sisi probabilitas diperoleh data kejadian
banjir di Kota Surakarta dari tahun ke tahun sebagaimana tersaji pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Kejadian Banjir di Kota Surakarta


No Bulan Tahun
1 Maret 1966
2 Maret 1968
3 Maret 1973
4 Februari 1974
5 Maret 1975
6 Januari 1982
7 Desember 2007
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (dalam Prasetyo,2009)

Data di atas menunjukkan bahwa probalitas Kota Surakarta dilanda banjir sangat
besar. Berdasarkan analisis Prasetyo (2009) wilayah yang beresiko tinggi terkena banjir
dengan luas wilayah 0,7 km2 meliputi wilayah Joyotakan, Sewu dan Bantaran Bengawan
Solo. Risiko sedang dengan luas wilayah 2,5 km2, meliputi wilayah Sudiroprajan, Jagalan,
Sangkrah, Semanggi dan Pucangsawit. Risiko rendah dengan luas wilayah 5,5 km2, meliputi
Sumber, Kadipiro, Banyuanyar, Nusukan, Joyosuran, Pasarkliwon, Kedung Lumbu,
Gandekan dan Jebres.
Hasil penelitian Prasetyo menyimpulkan bahwa kerawanan banjir Kota Surakarta,
dibagi menjadi 5 klas yaitu klas sangat rawan dengan luas 0,5 km2 (1,14 %), meliputi
Pucangsawit dan Karangasem. Klas rawan dengan luas 3,8 km2 (8,63%), meliputi Jagalan,
Sewu, Gandekan, Sudiroprajan, Sangkrah, Semanggi, Baluwarti, Pajang, Kerten, Gilingan,
Sumber, Ketelan dan Kestalan. Klas rawan sedang 3,5 km2 (7,95 %), meliputi Jebres,
Tegalrejo, Purwodiningratan, Joyosuran, Kedunglumbu, Joyotakan, Serengan, Tipes,
Danukusuman, Laweyan, Jajar, Nusukan dan Banyuanyar. Klas kurang rawan dengan luas
1,6 km2 (3,68 %) meliputi Kepatihan Wetan, Kepatihan Kulon, Pasar Kliwon, Kauman,
389
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Gajahan, Kampung Baru, Kratonan, Panularan, Bumi, Sondakan, Kadipiro, Punggawan,
Keprabon, Stabelan dan Jayengan. Klas tidak rawan 34,64 km2 (78,66 %), meliputi
Mojosongo, Tegalharjo, Keprabon, Kampung Baru, Kauman, Baluwarti, Gajahan,
Mangkubumen, Manahan, Purwosari, Penumping, Sriwedari, Kemlayan, Jayengan, dan
Keratonan. Dari hasil analisis penyebab banjir Kota Surakarta diketahui bahwa saluran
drainase, kemiringan lereng dan penggunaan lahan sangat berperan dalam terjadinya banjir
yang menyebabkan kota tersebut rawan terhadap banjir.
Kerentanan terhadap Bencana
Kerentanan ( vulnerability ) adalah keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi
kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bahaya atau ancaman
bencana. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan
kerentanan sebagai rawan bencana yakni kondisi atau karakteristik geologis,biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada
suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak
buruk bahaya tertentu.
Kerentanan seringkali dikaitkan dengan kemiskinan. Misalnya, kualitas bangunan
rumah orang miskin yang buruk membuat mereka rawan menjadi korban gempa atau
bencana alam lainnya. Kondisi fisik mereka yang lemah membuat daya tahan terhadap
bencana sangat lemah. Sesungguhnya tingkat kerentanan terhadap bencana bukan hanya
disebabkan oleh kondisi ekonomi seperti kemiskinan, tapi juga bisa bersumber dari kondisi
seseorang yang terasing, tidak nyaman atau tidak mempunyai perlindungan di saat
menghadapi resiko, shock atau stress. Kemampuan orang dalam merespon bencana sangat
ditentukan oleh kelompok sosialnya, gender, etnis, umur dan factor-faktor lainnya.
Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah
bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat menimbulkan
bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik,
sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan
pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya bencana
(http://p2mb.geografi.upi.edu/ Mitigasi_Bencana.html).
Kerentanan Fisik
Kerentanan Fisik, merupakan kondisi material tempat tinggal/bangunan,
Infrastruktur, Konstruksi yang lemah. Untuk wilayah Kota Surakarta yang rawan terhadap
Banjir, maka penduduk yang tinggal di Bantaran sungai merupakan kelompok yang paling
rentan. Murtiana dan Rutiani (2007) mengemukakan bahwa jumlah penduduk di bantaran
sungai Bengawan Solo berjumlah 347 KK.
Lingkungan permukiman bantaran Bengawan Solo merupakan permukiman liar
karena berada dilahan bersertifikat milik Proyek Bengawan Solo (PBS), dan termasuk dalam
kategorilingkungan kumuh dengan fasilitas umum dan prasarana lingkungan yang masih di
bawah standart. Kondisi rumah dan letaknya yang saling berdekatan dan berada di pinggiran
sungai membuat permukiman ini tampak sumpek dan semrawut, serta rawan terhadap
bahaya banjir. Ciri fisik yang tampak adalah lingkungan padat, ketersediaan lahan dan
kebutuhan akan perumahan tidak seimbang; luasan tiap rumah rata-rata 20 m2, didominasi
oleh rumah non permanen; jalan lingkungan terbuat dari semen, berlubang-lubang dan
memiliki lebar 2m; terdapat 1 WC Umum untuk tiap 40 KK; belum tersedia jaringan
drainase dan pembuangan sampah; terbatasnya fasilitas umum ; belum ada balai pertemuan,
belum ada fasilitas telepon umum, hanya ada 1 pos ronda dan tidak tersedia sebagai area
publik.

390
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Murtiana dan Rutiana (2007) juga mengemukakan bahwa, sebagian besar rumah
masih menggunakan dinding bambu dan lantai semen serta bukaan yang sangat minim.
Sebagian besar rumah belum mempunyai fungsi ruang yang jelas sehingga bagian teras
rumah mereka dijadikan tempat usaha kecil-kecilan Kondisi rumah dapat dikategorikan
dalam bangunan permanen, semipermanen, dan non permanen. Namun didominasi oleh
rumah-rumah non permanen. Setiap rumah rata-rata memiliki luasan 20m2, dan di tempati 4-
6 orang anggota keluarga ( 3-5m2 per orang). Setiap lahan, 70-80% dimanfaatkan untuk
membangun rumah. Sering terjadi banjir yang merupakan luapan dari Bengawan Solo pada
musim-musim penghujan, Rumah-rumah yang ada dipinggir jalan lingkungan tidak memiliki
halaman, karena langsung berbatasan dengan jalan tersebut. Hampir setiap rumah sudah
dilengkapi dengan kamarmandi
Kerentanan Sosial
Merupakan kondisi sosial masyarakat, kemiskinan, lingkungan, konflik, tingkat
pertumbuhan yang tinggi, jenis kelamin, gender, anak-anak dan wanita, lansia. Kondisi
sosial masyarakat di sini dapat dilihat dari aspek pendidikan. Rutiana dan Murtiani (2007)
mengemukakan bahwa, mayoritas penduduk memiliki tingkat pendidikan rata-rata sampai
SLTP. Kebanyakan dari warga lebih berorientasi terhadap kecukupan nafkah daripada
kebutuhan pendidikan. Kondisi ekonomi sebagian besar penduduk (90 %) bekerja sebagai
buruh bangunan dan buruh industri, dan sebagian besar perempuan tidak bekerja. Di
lingkungan ini terdapat beberapa industri rumah tangga (roti dan plastik) yang belum
berkembang. Jenis pekerjaan lain untuk menunjang perekonomian keluarga adalah
memelihara hewan ternak kambing.
Dominasi jenis kelamin penduduk pada suatu daerah berpengaruh terhadap
kerentanan sosial terhadap bencana. Semakin banyak penduduk berjenis kelamin pria, maka
tingkat kerentanan sosial terhadap bencana akan semakin rendah dan sebaliknya. Hal ini
dikarenakan penduduk berjenis kelamin pria lebih memilikikemampuan untuk
menyelamatkan diri lebih baik.
Di Surakarta belum tersedia data pilah berkaitan dengan bencana. Namun mengacu
pada data umum yang mendeskripsikan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada
laki-laki, maka dapat dikatakan bahwa penduduk Kota Surakarta memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi.
Kerentanan Mental
Termasuk kerentanan mental adalah ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya
percaya diri, dan lainnya. Penduduk di wilayah bantaran Bengawan Solo bertahun-tahun
nekad menempati rumahnya, meski rawan banjir mereka banyak yang enggan direlokasi.
Meskipun tiap tahun selalu menjadi korban banjir mereka tetap bertahan menempati tempat
tinggalnya. Hal inilah yang membuat kebijakan penataan dan relokasi paska bencana tidak
mudah dilaksanakan.
Upaya Mengembangkan Kebijakan Mitigasi Berbasis Kebutuhan Gender
Untuk mengembangkan kebijakan mitigasi bencana berbasis kebutuhan gender di
Kota Surakarta, terlebih dahulu perlu diidentifikasi isu gender yang berkembang dalam
bencana banjir di Kota Surakarta. Dari pembahasan tentang faktor penyebab suatu daerah
rawan banjir dapat disimpulkan terdapat tiga jenis kerentanan yakni kerentanan fisik yang
meliputi kondisi geografis, kondisi material tempat tinggal, dan infrastruktur. Kerentanan
sosial mencakup kondisi sosial masyarakat, kemiskinan, lingkungan, jenis kelamin, gender,
anak-anak, wanita dan lansia, dan kerentanan mental yakni ketidaktahuan atau pun
ketidakpedulian terhadap ancaman bencana. Untuk mengetahui isu gender apa yang

391
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
berkembang dalam bencana alam pembahasan dikelompokkan berdasarkan ketiga jenis
kerentanan ini.
Kerentanan Fisik
Lokasi yang sering terkena bencana alam di tiga lokasi penelitian, ditinjau dari
kondisi fisik (kondisi geografis, lingkungan tempat tinggal, dan infrastruktur), merupakan
daerah yang rawan bencana. Bencana banjir di Kota Surakarta secara fisik disebabkan karena
penduduk membangun permukiman di bantaran Sungai Bengawan Solo. Lingkungan
permukiman merupakan permukiman liar karena di lahan bersertifikat milik Proyek
Bengawan Solo. Kondisi tempat tinggal yang kumuh, padat dan sebagian besar rumah
merupakan bangunan non permanen
Ada beberapa alasan mengapa perempuan sangat rentan terhadap bencana banjir di
Kota Surakarta. Alasan pertama, jumlah perempuan dan anak lebih banyak ketimbang laki-
laki. Dengan komposisi semacam ini, maka potensi perempuan dan anak untuk menjadi
korban bencana sangat besar. Alasan kedua, terkait dengan peran perempuan sebagai
penanggung jawab tugas domestik merawat dan mendidik anak dan mengatur rumah tangga.
Sebagai pengemban peran domestik, perempuan banyak menghabiskan waktunya di rumah,
sehingga saat terjadi bencana perempuan dan anak lebih berpotensi sebagai korban
ketimbang laki-laki yang banyak bekerja di luar rumah.
Untuk itu, langkah-langkah penting yang bisa dilakukan untuk mengurangi
kerentanan terhadap bencana antara lain :
Membuat Data Pilah
Ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi dari mitigasi bencana di Kota
Surakarta. Permasalahan utama menyangkut data pilah, termasuk mortalitas dan morbiditas.
Kota Surakarta belum memiliki tabulasi data pilah berkaitan dengan bencana. Ketiadaan data
pilah yang lengkap, menyulitkan dalam mengantisipasi kurban dan recovery setelah
peristiwa bencana. Akibatnya, kurban di setiap lokasi bencana tidak akan segera dapat
diketahui dan ditolong dari dampak bencana yang dialami.
Ketiadaan data yang lengkap, juga akan menyulitkan penyediaan logistik sesuai
kebutuhan kurban. Penyediaan logistik yang hanya menyesuaikan jumlah penduduk tanpa
melihat kebutuhan sesuai gender, akan mengakibatkan salah satu kelompok gender tidak
mendapat bantuan sesuai kebutuhan. Yang sering terjadi adalah kurangnya penyediaan
kebutuhan makanan anak-anak, susu, selimut, pembalut dan pakaian dalam perempuan. Hal
ini dapat mengakibatkan anak-anak sakit dan rewel sehingga menambah beban perempuan.
Sementara pada perempuan sendiri, kurangnya ketersediaan pembalut dan pakaian dalam
akan mengganggu kesehatan dan kenyamanan. Kualitas fisik dan kesehatan perempuan
mempengaruhi daya tahan terhadap bencana. Kurangnya logistik juga menambah beban
perempuan yang merasa harus bertanggung jawab menyediakan makan keluarga.
Melakukan Pemetaan Resiko Bencana Sensitif Gender
Langkah penting untuk mengetahui tingkat kerentanan perempuan terhadap bencana
adalah dengan melakukan analisis atau penilaian tentang ancaman dan resiko bencana di
lokasi setempat dan bagaimana kerentanan dan kapasitas perempuan terhadap bencana
tersebut. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan ancaman dan resiko, kerentanan dan kapasitas
menghadapi bencana yang sensitif gender (Gender-Sensitive Risk Mapping). Melalui
pemetaan resiko bencana sensitif gender dapat diperoleh informasi tentang : 1) kapabilitas
perempuan yang meliputi pekerjaan dan pola kerja, akses terhadap sumber daya, ketrampilan
dan jaringan kelembagaan yang ada; 2) kerentanan terhadap bencana mencakup data spesifik
gender yang dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak ekonomi bencana terhadap
perempuan dan laki-laki, struktur rumah tangga, pembagian kerja, dan sebagainya.

392
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Menyiapkan Infrastruktur Fisik
Penyiapan infrastruktur fisik yang membantu perempuan untuk mengantisipasi
terjadinya bencana akan banyak mengurangi jumlah perempuan korban bencana. Untuk itu
penting dibangun infrastruktur fisik untuk peringatan dini seperti adanya sinyal untuk
mendeteksi bencana diletakkan di titik daerah rawan banjir. Perlu sistem peringatan dini
yang menjangkau wilayah kegiatan perempuan yang kebanyakan berada di sekitar rumah.
Jalur penyelamatan juga diperlukan. Jalur penyelamatan yang dibangun dengan baik akan
mudah diakses oleh perempuan, anak-anak dan difabel yang memungkinkan penyelamatan
diri dengan aman dan cepat.
Perlu juga disiapkan shelter-shelter yang siap setiap saat menampung korban
bencana. Shelter yang nyaman, aman dan ramah pada perempuan dan keluarga belum
tersedia di ketiga lokasi penelitian. Shelter dibuat untuk massal, tidak memiliki sekat-sekat.
Biasanya, secara otomatis laki-laki dan perempuan akan mengelompok menurut jenis
kelamin. Anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, biasanya akan
mengikuti ibunya. Hal ini akan menyulitkan bagi perempuan, karena akan kesulitan berbagi
tugas dengan laki-laki. Perempuan akan lebih lelah karena menanggung beban lebih besar.
Jika laki-laki dan perempuan berbaur di dalam shelter, perempuan tidak memiliki
ruang khusus untuk beristirahat dan menyusui. Bagi perempuan yang masih menyusui, hal
ini akan membuat mereka tidak leluasa sehingga kesehatan diri dan anaknya bisa terganggu.
Mereka juga tidak akan leluasa berhubungan suami istri, sehingga masa pengungsian yang
panjang dapat menimbulkan permasalahan dalam keluarga.
Ruang untuk mandi, cuci dan kakus (MCK) yang sensitif gender juga belum
tersedia. Ruang MCK dibangun seadanya tanpa atap dan kunci yang aman, kurang terawat,
jumlahnya terbatas, serta tidak ada pembagian secara khusus antara ruang MCK untuk laki-
laki dan perempuan. Warga di tempat pengungsian terutama perempuan akan merasa
khawatir dilihat orang lain dan harus terburu-buru karena sudah ditunggu pengguna lain.
Sementara antrian yang panjang juga bisa membuat warga sakit karena harus menahan diri
ketika ingin BAK atau BAB. Ruang MCK yang tersedia tidak aman dan nyaman bagi
pengungsi.
Kerentanan Sosial
Kerentanan terhadap bencana bisa dipicu oleh kondisi sosial budaya, seperti
kemiskinan dan tekanan nilai atau norma sosial dan agama. Hambatan kultural lain
menyangkut norma untuk mendahulukan kepentingan laki-laki, termasuk dalam hal makan.
Laki-laki akan mendapat jatah lebih dahulu dan lebih banyak. Berikutnya anak-anak, dan
terkhir perempuan. Padahal, aktivitas di tempat pengungsian hampir identik dengan kegiatan
domestik: memasak, mencuci, mengasuh anak. Ini artinya, perempuan lebih banyak
membutuhkan tenaga. Inilah sebabnya mengapa jumlah kurban perempuan yang sakit atau
meninggal lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.
Kemudian ketika keluarga akan mengambil keputusan untuk relokasi atau pindah ke
tempat aman, di sini perempuan tergantung pada keputusan laki-laki. Jika diputuskan tidak
pindah, perempuan tetap akan lebih rentan, karena merekalah yang tinggal lebih lama di
rumah. Ketika terjadi bencana, perempuan dan anak-anak lebih kecil peluangnya untuk
selamat. Dalam banyak kasus bencana alam, jumlah kurban perempuan dan anak-anak lebih
besar dibandingkan laki-laki. Di sini sudah diadakan pendekatan untuk relokasi, namun
warga masih belum bersedia meninggalkan tempat tinggalnya.
Untuk mengatasi hambatan kultural yang bersumber pada ketidakadilan gender,
maka strategi yang bisa digunakan adalah mengembangkan legal infrastruktur yang sensitif
gender. Misal menyangkut kepemilikan aset dan hak waris. Payung hukum menyangkut

393
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kepemilikan aset dan hak waris berlaku umum di Indonesia, di mana setiap warga negara
berhak memiliki aset dan memiliki hak waris. Namun biasanya kepemilikan rumah
diatasnamakan laki-laki. Dalam peristiwa bencana yang menewaskan laki-laki pemilik
rumah, maka rekonstruksi pasca bencana membutuhkan waktu lama. Perempuan harus
mengurus berbagai surat untuk mendapatkan bantuan dan rekonstruksi rumahnya. Begitu
juga jika akan dilakukan relokasi, perempuan yang tidak memegang surat formal
kepemilikan rumah dan tanah akan dinomorduakan dalam mendapatkan kompensasi dan aset
baru.
Tidak dicantumkannya perempuan sebagai pemilik aset rumah tangga, juga akan
menyulitkan bagi perempuan untuk mengakses kredit yang mungkin diperlukan untuk
rekonstruksi rumah, mengambil modal pinjaman untuk kembali berdagang atau membuka
usaha baru. Namun dalam hal hak waris, dewasa ini sudah jamak perempuan memiliki hak
waris dan tercantum secara legal formal dalam surat kepemilikan warisnya. Di sini
perempuan hanya perlu didampingi dalam pengurusan surat warisnya. Pemilikan surat waris
ini sangat bermanfaat bagi perempuan dan keluarganya dalam pemulihan akibat bencana.
Kerentanan Mental
Banyaknya perempuan yang menjadi korban bencana juga bisa bersumber dari
ketidaktahuan atau minimnya informasi tentang kebencanaan. Beberapa penduduk di lokasi
bencana banjir saat ditanya banyak yang tidak tahu tentang kondisi tanah dan
permukimannya. Penduduk yang tahu tentang ancaman bahaya banjir pun ternyata tidak
serta merta mau direlokasi. Ketidaktahuan dan ketidakperdulian terhadap ancaman bencana
menyebabkan potensi korban bencana sangat besar.
Untuk mengurangi tingkat kerentanan terhadap bencana berkaitan dengan
kerentanan mental, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut :
Sosialisasi bencana melalui jaringan
Pemerintah daerah melalui BPBD perlu memiliki program rutin sosialisasi bencana
untuk mendiseminasikan pengetahuan tentang bencana, pencegahan dan penanganannya
dengan mempertimbangkan partisipasi perempuan dan memasukkan problem gender dalam
pelatihan dengan mempertimbangkan profil resiko gender.
Ketiadaan data pilah yang lengkap dapat mengakibatkan kegiatan sosialisasi bencana
tidak tepat sasaran. Sosialisasi bencana idealnya dapat menjangkau seluruh warga. Dengan
sosialisasi warga menyadari adanya ancaman bencana, sadar bahwa mereka tinggal di
wilayah yang rawan bencana, serta mengetahui cara menyelamatkan diri ketika terjadi
bencana. Tanpa data pilah yang lengkap, menyulitkan penyusunan rancangan kegiatan
sosialisasi yang sensitif gender menyangkut waktu sosialisasi, tenaga yang dilibatkan dalam
sosialisasi, tempat sosialisasi, media dan sarana sosialisasi. Biasanya ada pandangan umum
bahwa kegiatan dapat menjangkau masyarakat bila dilakukan di waktu luang yaitu malam
hari. Namun, perempuan dan anak-anak justru malam hari berada di dalam rumah. Sehingga
dengan pemilihan waktu malam hari, perempuan dan anak-anak tidak terjangkau kegiatan
sosialisasi. Apabila ketidakhadiran perempuan dan anak-anak dianggap dapat diwakilkan
laki-laki, maka cara inipun tidak dapat dicapai jika di rumah tersebut tidak ada anggota
keluarga laki-laki. Hal seperti ini tidak jarang terjadi, namun seringkali diabaikan.
Menambah Relawan-Tenaga Mitigasi Perempuan
Keberadaan perempuan dalam mitigasi dan penanganan bencana sangat penting.
Mereka dapat berperan dalam sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
perempuan lain tentang bencana. Ketika terjadi bencana, perempuan juga akan lebih sensitif
pada kebutuhan perempuan lain yang menjadi kurban bencana. Secara formal, jumlah
petugas perempuan di BPBD jauh lebih sedikit dibandingkan laki. Dalam proses evakuasi,

394
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
mereka biasanya bertugas di bidang logistik. Sedikitnya petugas perempuan dalam mitigasi
dan penanggulangan bencana, mengakibatkan penanganan yang diambil kurang sensitif
gender, antara lain ditunjukkan oleh masih tingginya kurban bencana perempuan dan anak-
anak dibandingkan laki-laki.
Untuk itu perlu dibentuk satuan tugas tanggap bencana yang terdiri dari kaum
perempuan khususnya ibu-ibu rumah tangga. Pembentukan tim wanita tanggap bencana
dimaksudkan sebagai upaya preventif terhadap bencana. Karena Melalui tim tanggap
bencana ibu-ibu rumah tangga dilatih dan diberi sosialisasi pencegahan dan penanganan
bencana (http://www.timlo.net/baca/68719559344/boyolali-akan-bentuk-tim-wanita-
tanggapbencana/).

Kesimpulan
Peristiwa bencana alam pada hakikatnya merupakan peristiwa sosial yamg
mencerminkan bagaimana cara manusia mengatur kehidupan sosial di tengah lingkungan
alam. Kerentanan dan resiko bencana merupakan kombinasi dari faktor ancaman alam dan
sistem sosial maupun relasi kuasa yang berdampak pada berbagai kelompok sosial, salah
satunya melalui identitas gender. Jadi, kerentanan terhadap bencana lebih berhubungan
dengan sistem sosial dan kuasa, bukan oleh kekuatan alam.
Perbedaan perlakuan terhadap korban paska bencana, sering kali mengabaikan
kebutuhan perempuan dan anak. Mereka berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap
bencana karena peran sosial yang dibangun oleh masyarakat. Karena itu, untuk memahami
fenomena bencana alam tidak cukup hanya mengetahui tipe-tipe bencana, tapi juga tingkat
kerentanan terhadap bencana dari kelompok tersebut.
Terdapat tiga jenis kerentanan yakni: kerentanan fisik, kerentanan sosial dan
kerentanan mental. Kerentanan fisik berkaitan dengan kondisi geografis, kondisi material
tempat tinggal, dan infrastruktur. Kerentanan sosial berkaitan dengan kondisi sosial
masyarakat, kemiskinan, lingkungan, jenis kelamin, gender, anak-anak, wanita dan lansia.
Sedang kerentanan mental berkaitan dengan ketidaktahuan atau pun ketidakpedulian
terhadap ancaman bencana.

Rekomendasi
Bencana alam yang terjadi di Kota Surakarta disebabkan oleh peristiwa alam yaitu
banjir. Meskipun dipicu oleh kondisi alam, namun interaksi sosial manusia juga
mempengaruhi kapabilitas manusia untuk menanggulangi bencana. Untuk mengurangi
tingkat kerentanan fisik, perlu membuat data pilah, melakukan pemetaan resiko bencana
sensitif gender dan menyiapkan infrastruktur fisik. Untuk mengurangi tingkat kerentanan
sosial, strategi yang bisa dilakukan adalah mengembangkan legal infrastruktur yang sensitif
gender. Dan untuk mengurangi tingkat kerentanan mental dapat dilakukan dengan sosialisasi
bencana melalui jaringan dan menambah relawan-tenaga mitigasi perempuan dalam
sosialisasi bencana untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran perempuan lain tentang
bencana.

Daftar Pusaka
Anwar, Herryal Z. 2005. Perlu Dievaluasi, Strategi Penglolaan Bencana. Dalam P Cahanar
(ed). Bencana Gempa dan Tsunami Nangroe Aceh Darussalam & Sumatera Utara.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Enarson, Elaine. 2001. Gender Equality, Environmental Management, and Natural Disaster
Mitigation. United Nations Division for the Advancement of Women (DAW)

395
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) Expert Group Meeting on
―Environmental management and the mitigation of natural disasters:a gender
perspective‖ 6-9 November 2001. Ankara, Turkey.
Faqih, Mansour. 1997. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang:
UMM Press.
Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Jakarta: Buku Obor.
Krueger, Richard A. 1994. Focus Groups: A. Practical Guide for Applied Research. Sage
Publications, Inc. California.
Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.
Mosse, Julia Cleves. 1997. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prasetyo, Agustinus Budi. 2009. Lokasi Rawan dan Risiko Bencana Banjir Di Kota
Surakarta. Ditelusur melalui https://www.google.co.id/search?q=prasetyo
+2009+banjir+solo&oq=prasetyo+2009+banjir+solo&aqs=chrome..69i57.8167j0j4&s
ourceid=chrome&es_sm=122&ie=UTF-8
Rahayu, Murtanti Jani dan Rutiana. 2007. Strategi Perencanaan Pembangunan Permukiman
Kumuh. Kasus Pemukiman Bantaran Sungai Bengawan Solo, Kelurahan Pucangsawit,
Surakarta. Ditelusur melalui http://www.academia.
edu/3311977/Strategi_Perencanaan_Pembangunan_PermukimanKumuh_KasusPemuk
iman_Bantaran_Sungai_Bengawan_Solo_Kelurahan_Pucangsawit_Surakarta.
Savitri, Niken. 2005. Penanganan Pascabencana Alam Berperspektif Jender. Artikel dalam
Kompas. 7 Februari 2005. Hal 44.
Solopos, 15/11/2012
http://p2mb.geografi.upi.edu/ Mitigasi_Bencana.html

396
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN MELALUI “MEDIA BARU” DI
BENGKULU

Juliana Kurniawati
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Bengkulu
juliana@umb.ac.id

Abstrak
Suhu politik di Indonesia mulai menghangat sejak awal pemilihan presiden pada
tahun 2014. Menghangatnya suhu politik ini salah satunya disebabkan oleh berita-berita
bombastis di media massa. Pemberitaan mengenai beragam tingkah laku para pejabat dan
calon pejabat negara menghiasi headline surat kabar. Situasi yang menghangat ini terjadi
juga di ―media baru‖, mengingat Indonesia sebagai negara yang termasuk agresif dalam
penggunaan sosial media dan internet sebagaimana yang telah diberitakan dalam Harian
TI.com. Pada era digitalisasi media dewasa ini, dimana situasi politik sangat dipengaruhi
oleh peran serta media, baik itu media televisi, media cetak maupun media baru.
Seperti halnya situasi dan kondisi pada ―media baru‖ terutama media sosial yang
dapat kita amati dalam pemilihan presiden 2014 terdapat perbedaan dengan situasi politik di
era pemilihan 2004 dan 2009. Pengguna ―media baru‖ berdasarkan penelitian Nielsen yang
dikutip dari Mashable dalam merdeka.com, perempuan ternyata sangat aktif di internet
dibandingkan pria. Hasil statistik comScore dari 40 negara di dunia di tahun 2010 juga
mengukuhkan bahwa Perempuan memang lebih suka berjejaring sosial ketimbang pria.
Kondisi ini yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat tulisan mengenai partisipasi
politik yang fokus pada Perempuan di Bengkulu. Tulisan ini disusun berdasarkan hasil
pengamatan penulis dan hasil diskusi penulis bersama aktivis media baru terutama aktivis
sosial media.
Penulis mengamati fenomena politik pada tahun 2004 dan 2009 dimana partisipasi
politik masyarakat Indonesia pada umumnya dan Bengkulu pada khususnya dalam media
sosial belum mendominasi seperti saat ini. Pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden
di tahun 2014 partisipasi politik Perempuan tidak hanya mencoblos pilihannya dalam bilik
namun juga memperbincangkannya di media sosial dan orang sekitarnya. Perempuan sebagai
pengguna ―media baru‖ yang aktif, pada masa pemilihan presiden ketujuh ini menjadi ingin
tahu perkembangan politik. Para Perempuan di Bengkulu yang aktif di ―media baru‖ dan
media sosial lebih kritis dalam memilih wakilnya baik dalam pemilihan legislatif maupun
pemilihan presiden. Namun yang nampak ―ramai‖ di media sosial adalah pada pemilihan
presiden 2014. Berbagai komentar positif maupun negatif setiap hari menghiasi ―wall‖
media sosial mengenai calon presiden. Para ―netizen‖ Perempuan memberikan penilaian
terhadap para calon presiden. Kondisi ini dapat bernilai positif dalam kaitannya telah turut
berpartisipasinya Perempuan dalam politik.
Kata kunci : partisipasi politik, media baru, media sosial

Pendahuluan
Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia secara ekonomi politik pada tahun 2004
menjelang pemilihan umum dapat dikatakan cukup kondusif dalam artian tidak terlalu
banyak terjadi gejolak dalam masyarakat. Serta dapat dikatakan memiliki nuansa yang lebih
demokratis, dimana pemilihan presiden dan wakil presiden untuk pertama kalinya
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat tidak melalui lembaga perwakilan rakyat.

397
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Walaupun dapat dikatakan lebih demokratis namun tingkat partisipasi politik masyarakat
pada tahun 2004 menurun apabila dibandingkan dengan tingkat partisipasi politik pada
Pemilu 1999. Pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi politik 92,6 persen sedangkan pada
pemilu legislatif 2004 tingkat partisipasi politik 84,1 persen, sedangkan pada Pemilu
Presiden putaran pertama tingkat partisipasi politik menurun menjadi 78,2 persen, sedangkan
Pemilu Presiden putaran kedua kembali mengalami penurunan yakni di angka 76,6 persen.
Sementara itu pada Pemilu era 2009 apabila ditinjau dari tingkat partisipasi politik
mengalami penurunan baik dalam Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif. Pada Pemilu
Legislatif yang diselenggarakan pada 9 April 2009, angka tingkat partisipasi politik
masyarakat sebesar 70,9 persen. Untuk Pemilu Presiden yang diselenggarakan pada 8 Juli
diperoleh angka tingkat partisipasi politik 71,7 persen. Mencermati fenomena ini pemerintah
dalam hal ini adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) beserta elemen masyarakat yang
memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi tidak hanya diam, melainkan membuat
program-program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya satu suara
rakyat dalam pembanguan lima tahun kedepan. Program-program acara dan sosialisasi
politik terlebih difokuskan terhadap generasi muda selaku pemilih pemula, berbagai acara
dilakukan di sekolah dan terutama di kampus-kampus di Kota Bengkulu dengan tajuk rock
the vote yang dimotori oleh Universitas Indonesia.
Peningkatan partisipasi politik terjadi pada Pemilu Legislatif 2014 yang digelar pada
9 April sebesar 75,11 persen, sementara untuk Pemilu Presiden yang diselenggarakan pada 9
Juli sebesar 70 persen. Mencermati belum stabilnya tingkat partisipasi politik masyarakat
Indonesia dibutuhkan pendidikan politik agar masyarakat sadar politik dan bahwasanya
setiap aspek dalam kehidupan masyarakat tidak akan pernah terlepas dari urusan politik.
Oleh sebab itu masyarakat harus memiliki kesadaran untuk selalu berpartisipasi dalam pesta
demokrasi yang digelar setiap lima tahun sekali.
Terdapat hal yang menarik untuk dibahas dan menjadi perhatian dalam proses
pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2014 ini terutama dalam hal partisipasi politik
masyarakat yang dilakukan melalui "media baru". "Media baru" atau new media merupakan
salah satu ruang publik atau public sphere di era digital ini.
Suhu politik di Indonesia mulai menghangat sejak dimulainya Pemilu Legislatif dan
semakin memanas pada awal Pemilu Presiden pada tahun 2014. Menghangatnya suhu politik
ini salah satunya disebabkan oleh berita-berita bombastis yang setiap hari menghiasi media
massa. Berita-berita mengenai politik tidak kalah hebohnya disajikan oleh media online.
Pemberitaan mengenai beragam tingkah laku para pejabat dan calon pejabat negara juga
menghiasi headline surat kabar. Situasi yang menghangat serta cenderung memanas ini
terjadi juga di ―media baru‖, mengingat Indonesia sebagai negara yang termasuk agresif
dalam penggunaan sosial media dan internet sebagaimana yang telah diberitakan dalam
Harian TI.com. Pada era digitalisasi media dewasa ini, situasi politik suatu negara sangat
dipengaruhi oleh peran serta media, baik itu media televisi, media cetak maupun "media
baru".
Seperti halnya situasi dan kondisi pada ―media baru‖ terutama media sosial yang
dapat kita amati dalam pemilihan presiden 2014 terdapat perbedaan dengan situasi politik di
era pemilihan 2004 dan 2009. Perbedaan ini ditilik dari unsur pengaruh media bagi pemilih,
apabila pada Pemilu di tahun 2004 dan 2009 media massa yang memegang peranan penting
dalam memberikan pengaruh dan informasi utama bagi para pemilih, lain halnya pada
Pemilu tahun 2014 dimana "media baru" turut mengambil peranan dalam memberikan
pengaruh dan informasi mengenai dunia politik bagi netizen (sebutan bagi pengguna internet
aktif atau masyarakat dunia internet).

398
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Pengguna ―media baru‖ berdasarkan penelitian Nielsen yang dikutip dari Mashable
dalam merdeka.com, perempuan ternyata sangat aktif di internet dibandingkan pria. Hasil
statistik comScore dari 40 negara di dunia pada tahun 2010 juga mengukuhkan bahwa
Perempuan memang lebih suka berjejaring sosial ketimbang pria. Fakta ini yang
melatarbelakangi penulis untuk mengangkat tulisan mengenai partisipasi politik yang fokus
pada Perempuan di Bengkulu. Penulis tertarik menulis mengenai netizen Perempuan di
Bengkulu karena Bengkulu termasuk wilayah yang tertinggal dalam pembangunan dibanding
propinsi lain di Indonesia, sebagai wilayah yang tertinggal ternyata para netizen Perempuan
terbilang aktif berselancar di dunia maya bahkan beberapa aktif di sosial media dalam
mengkritisi kebijakan pemerintah.
Partisipasi Politik
Terdapat dua kata yaitu partisipasi dan politik. Partisipasi adalah perihal turut
berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta, Ditinjau dari segi etimologis,
kata partisipasi merupakan pinjaman dari bahasa Belanda ―participatie‖ atau dari bahasa
Inggris ―Participation‖ (Sukanto 1983 dalam lepank.com). Sementara menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan;
keikutsertaan; peran serta; melakukan partisipasi; berperan serta (dalam suatu kegiatan); ikut
serta. Sedangkan dalam bahasa Latin disebut ―Participatio‖ yang berasal dari kata kerja
―Partipare‖ yang berarti ikut serta, sehingga partisipasi mengandung pengertian aktif yaitu
adanya kegiatan atau aktivitas.
Miriam Budiardjo mengatakan bahwa politik itu adalah usaha mencapai kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang baik. Dalam hal ini politik terkait sangat erat
dengan masalah kekuasaan pemerintahan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan
alokasi serta distribusi (Budiardjo 2003).
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara, dan
secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan,
mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan
sebagainya (Budiardjo 1998, p.1).
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui
mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau
tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. (Herbert McClosky dalam
International Encyclopedia of the Social Sciences) (Miriam 1998, p.2).
Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit
banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau
tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka (norman H.Nie dan Sidney Verba (Handbook
of Political Science) (Miriam 1998, p.2).
Menurut Samuel P.Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual
atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Budiardjo 1998, p.3).
Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga
dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang

399
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang
tepat adalah mobilisasi politik. (Budiardjo 1998, p.5).
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh
para pemimpin politik dan pemerintahan.
Partisipasi politik merupakan aktifitas masyarakat yang bertujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam
posisinya sebagai warganegara, bukan politikus atau pegawai negeri. Partisipasi politik ini
pun bersifat sukarela dan bukan dimobilisasi oleh negara maupun partai yang berkuasa
(Basri, 2011, p.97). Dengan itu, maka kita mengetahui bahwa partisipasi politik itu
merupakan suatu hal yang bersifat sukarela terhadap masyarakat yang aktif
dalam perpolitikan ini. Disini dapat kita lihat bahwa masyarakat sebagai subjek
dalam pembangunan untuk ikut serta dalam menentukan keputusan yang menyangkut
keputusan bersama (umum).
Terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu Partisipasi aktif dimana masyarakat
responsif terhadap berbagai tahapan kebijakan pemerintah; Partisipasi militan-radikal
dimana masyarakat responsif terhadap kebijakan pemerintah, namun cenderung
mengutamakan cara non-konvensional dan kekerasan; Partisipasi Pasif dimana masyarakat
hanya menaati begitu saja segala kebijakan pemerintah; Partisipasi apatis dimana
masyarakat tidak mau tahu dengan apapun kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah
(pengertianahli.com 2013).
Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson:
yaitu kegiatan pemilihan, lobby, kegiatan organisasi, contacting dan violence (SP.
Huntington dan J.Nelson, 1990, p.9).
Dalam tulisan ini yang dimaksud partisipasi politik adalah peranserta masyarakat
dalam hal ini adalah perempuan yang berdomisili di Bengkulu secara sukarela dan aktif
dalam kehidupan berpolitik terutama dalam memilih wakil di parlemen dan memilih
pemimpin serta mengkritisi kebijakan pemerintah melalui ―media baru‖.
Perempuan
Pengertian perempuan menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah orang (manusia)
yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui.
Sedangkan yang dimaksud perempuan adalah perempuan yang berusia dewasa.
Perempuan adalah sebutan yang digunakan untuk homo sapiens berjenis kelamin dan
mempunyai alat reproduksi berupa vagina. (http://id.wikipedia.org/)
Dalam tulisan ini yang dimaksud Perempuan adalah orang (wanita) yang berusia
dewasa (diatas 17 tahun) dengan asumsi dalam batas usia yang memiliki hak memilih seperti
ketetapan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 yang tertera dalam Bab III Pasal 13.
"Media Baru"
Pengertian media baru atau dalam Bahasa Inggris adalah new media adalah
―… a broad term in media studies that emerged in the latter part of the 20th century.
For example, new media holds out a possibility of on-demand access to content anytime,
anywhere, on any digital device, as well as interactive user feedback, creative participation
and community formation around the media content. Another important promise of new
media is the "democratization" of the creation, publishing, distribution and consumption of
media content. What distinguishes new media from traditional media is the digitizing of
content into bits. There is also a dynamic aspect of content production which can be done in
real time…..‖ (newmedia.org).

400
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
... Sebuah istilah dalam studi media yang muncul pada akhir abad ke-20. Sebagai
contoh, media baru menawarkan kemungkinan akses on-demand untuk konten kapan saja, di
mana saja, pada setiap perangkat digital, serta umpan balik pengguna interaktif, partisipasi
kreatif dan pembentukan masyarakat sekitar konten media. Hal yang penting dari media baru
adalah ―demokratisasi" dari penciptaan, penerbitan, distribusi dan konsumsi isi media. Hal
yang membedakan media baru dari media tradisional adalah digitalisasi konten ke bit . Ada
juga aspek dinamis produksi konten yang dapat dilakukan secara real time…..‖
Wikipedia, an online encyclopedia, is an example, combining Internet accessible
digital text, images and video with web-links, creative participation of contributors,
interactive feedback of users and formation of a participant community of editors and donors
for the benefit of non-community readers. Facebook is an example of the social media
model, in which most users are also participants (newmedia.org).
Wikipedia, sebuah ensiklopedia online, merupakan contoh, menggabungkan internet
diakses teks digital, gambar dan video dengan web - link, partisipasi kreatif kontributor,
umpan balik interaktif pengguna dan pembentukan komunitas peserta editor dan donor untuk
kepentingan non - masyarakat pembaca. Facebook adalah contoh dari model media sosial, di
mana sebagian besar pengguna juga peserta.
Menurut John Vivian, keberadaan ―media baru‖ seperti internet bisa melampaui pola
penyebaran pesan media tradisional. Pendapat ini senada dengan Nicholas Gane dan David
Beer dimana menyatakan mengenai karakteristik media baru dengan term network,
interactivity, information, interface, archive dan simulation. Secara garis besar bahwa
perubahan media lama ke media baru mempengaruhi cara-cara dan perilaku manusia dalam
hal berinteraksi dan berkomunikasi menggunakan media (Nasrullah 2014, p.14).
Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan ―media baru‖ adalah konvergensi
antara teknologi komunikasi digital yang terhubung ke dalam suatu jaringan internet.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan media sosial adalah sebuah media dalam media baru
dimana penggunanya dapat dengan mudah terhubung melalui blog dan jejaring sosial.
Penulis memfokuskan kajian pada ―media baru‖ dalam hal ini media sosial yaitu
Facebook, Twitter dan blog pribadi yang dimiliki oleh perempuan berdomisili di wilayah
Bengkulu yang aktif berjejaring sosial selama tahun 2013-2014 dan aktif selama pelaksanaan
Pemilihan Legistatif 9 April 2014 serta Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.

Metode Penelitian
Penulis dalam hal ini menggunakan kajian pustaka dan diskusi bersama rekan-rekan
perempuan yang aktif di dunia maya, sebagai informan dari berbagai kalangan diantaranya
akademisi, LSM, Organisasi Masyarakat, Komisioner KPU Propinsi Bengkulu, serta aktivis
politik. Diskusi dilakukan baik secara online maupun offline serta melakukan pengamatan
langsung terhadap status maupun komentar-komentar yang dituliskan oleh netizen
perempuan di Bengkulu.

Pembahasan
Penulis merupakan salah satu warga dunia internet atau netizen yang aktif
berselancar di dunia maya hampir setiap hari dalam rangka mencari berbagai informasi
terbaru. Penulis mengamati perilaku netizen lain dalam aktivitasnya berjejaring sosial,
diantara pengamatan yang telah dilakukan adalah pada waktu awal tahun 2014 dimana pada
tahun tersebut digelar peristiwa bersejarah yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Fenomena sosial politik dalam dunia nyata yang terjadi pada hari itu akan dijadikan
pembahasan atau dijadikan topik utama dan bahkan menjadi trending topic pada hari itu

401
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
juga. Hal ini sebagaimana ciri-ciri media sosial yang dikemukakan oleh Gamble, Teri, dan
Michael dalam Communication Works dikutip Wikipedia yang menyebutkan bahwa media
sosial mempunyai ciri-ciri:
1. Pesan yang disampaikan tidak untuk satu orang saja melainkan ke beberapa orang
contohnya pesan melalui SMS ataupun internet,
2. Pesan yang disampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper,
3. Pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya,
4. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi
Berbicara dan menuliskan status serta komentar-komentar mengenai tingkah polah
para calon pejabat dewan perwakilan rakyat dan capres cawapres serta mengkritisi kebijakan
pemerintahan seolah menjadi trend di dunia maya sejak awal tahun 2014. Fenomena ini
tidak terjadi dan tidak ditemui pada Pemilu yang diselenggarakan di tahun 2004 dan 2009.
Padahal pada saat digelar Pemilu tahun 2004 dan 2009, media sosial sudah diciptakan dan
sudah banyak digunakan oleh berbagai kalangan untuk berjejaring sosial di dunia maya
dimana Tonggak awal berkembangnya media sosial adalah Blogger (1999), kemudian
Friendster (2002), Linkedln (2003), My Space (2003), Facebook (2004), Twitter (2006), dan
Wiser (2007). Pengguna ―media baru‖ terutama media sosial berdasarkan penelitian Nielsen
yang dikutip dari Mashable dalam merdeka.com, perempuan ternyata sangat aktif di internet
dibandingkan pria. Hasil statistik comScore dari 40 negara di dunia pada tahun 2010 juga
mengukuhkan bahwa perempuan memang lebih suka berjejaring sosial ketimbang pria.
Penelitian yang dilakukan Pew Research Centre pada tahun 2013 semakin mempertegas
penelitian sebelumnya yang memberikan hasil sebagai berikut :
1. Berdasarkan jenis kelamin ternyata perempuan lebih banyak menggunakan social sharing
dan social media daripada pria. Dari semua jaringan sosial, Facebook adalah jaringan
sosial yang paling sering digunakan
2. Berdasarkan Umur, dimana orang yang masih rajin dan senang menggunakan jaringan
sosial pada umur 18–29. Pada umur 65, mereka sudah tidak menggunakan Twitter,
Tumblr dan Instragram. Beberapa tetap menggunakan Facebook dan Pinterest.
(artikelinformasi.com)
Pada Pemilihan Umum tahun 2014 diperoleh data dari KPU Propinsi Bengkulu
sebagai berikut :
 Pemilu Legislatif : Pemilih berjenis kelamin perempuan 684.165 orang, pengguna hak
pilih berjenis kelamin perempuan 550.445, golput 133.720;
 Pemilu Presiden : Pemilih berjenis kelamin perempuan 684.603 orang, pengguna hak
pilih berjenis kelamin perempuan 485.204, golput 199.399.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat kita analisis bahwa telah terjadi penurunan
jumlah pengguna hak pilih sebesar 65.241 pada Pemilu Legislatif dibandingkan jumlah
pengguna hak pilih pada Pemilu Presiden 2014. Apakah penurunan tingkat partisipasi
pengguna hak pilih yang berjenis kelamin perempuan ini terjadi salah satunya disebabkan
oleh faktor pengaruh dari penggunaan ―media baru‖ serta keaktifan para perempuan ini
dalam menggali informasi mengenai politik di sosial media? Apakah para perempuan di
Bengkulu menjadi lebih kritis dalam memilih pemimpinnya sebagai pengaruh dari sosial
media? Belum dapat dijawab karena masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara
mendalam.
Penulis mengamati fenomena politik melalui sosial media yaitu Facebook, Twitter,
dan Blog pribadi dengan alasan pengguna Facebook yang sangat besar jumlahnya sebesar 69
juta pengguna di Indonesia, data ini dikemukakan oleh Anand Tilak selaku Kepala Facebook
Indonesia dalam tekno.kompas.com, sementara Twitter dan Blog sebagai pembanding.

402
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Partisipasi politik perempuan melalui media sosial difokuskan dalam partisipasi non
konvensional dengan tipe partisipasi aktif.
Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 2004 dan 2009 partisipasi politik
perempuan di Bengkulu melalui media sosial belum mendominasi sosial media seperti saat
ini. Pada tahun 2004 dan 2009 dimana akses internet masih sangat terbatas dan jumlah
pengguna internet dari wilayah Bengkulu masih sangat sedikit selain itu sarana dan
prasarana seperti gadget mobile yang canggih hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu selain
itu layanan dari provider hanya menjangkau daerah tertentu saja sementara Bengkulu
memiliki wilayah yang luas.
Pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2014 partisipasi politik
Perempuan tidak hanya disalurkan dengan jalan mencoblos pilihannya dalam bilik suara
namun juga memperbincangkannya di media sosial dan orang sekitarnya, seperti dengan
teman dan kerabat serta tetangga. Diantara perempuan yang aktif mengkritisi pemerintahan
ada nama akun Annisa ***, Yulita ***, Anita M*** serta masih banyak nama perempuan
Bengkulu lainnya yang tidak dapat disebutkan semuanya. Group yang berbau politik untuk
Bengkulu memang yang exist hanya satu saja namun perempuan Bengkulu yang merupakan
aktivis politik di dunia maya tidak terhitung jumlahnya. Mereka aktif memberikan status dan
komentar-komentarnya seputar calon-calon yang akan mengajukan diri menjadi wakil rakyat
pada Pemilu Legislatif 2014 lalu, hal ini disebabkan karena ―media baru‖ telah menjadi
ruang publik atau public sphere dimana ada kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, ide,
gagasan mengenai berbagai hal serta untuk mengungkapkan kesukaan ataupun
ketidaksukaan terhadap sesuatu ataupun juga terhadap kebijakan pemerintah.
Perempuan sebagai pengguna sosial media yang aktif, pada masa pemilihan presiden
ketujuh ini menjadi ingin tahu lebih banyak mengenai perkembangan politik. Para
Perempuan di Bengkulu yang aktif di media sosial lebih kritis dalam memilih wakilnya baik
dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Namun yang nampak ―ramai‖ serta
―heboh‖ di media sosial adalah menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014. Apalagi pada
acara debat calon presiden dan calon wakil presiden yang diselenggarakan oleh KPU
(Komisi Pemilihan Umum) sebanyak 5 kali, pada waktu acara debat berlangsung di televisi,
di sosial media juga berlangsung debat yang tidak kalah sengitnya diantara para netizen
pendukung masing-masing kandidat capres dan cawapres. Berbalas status dan berbalas
komentar, berbalas meme, baik positif maupun yang negatif, baik yang menggunakan bahasa
yang santun maupun yang menggunakan kata-kata kasar. Saling membela dan saling
menjatuhkan menghiasi wall para netizen yang telah sadar politik, yang sadar bahwa dalam
kehidupan tidak akan mungkin menjauhkan diri dari politik. Dalam dunia nyata maupun
dalam dunia maya, masyarakat seolah terpisah dalam dua kelompok yang mengusung
jagoannya masing-masing. Polarisasi kedua kubu atau kedua kelompok ini secara psikologis
telah membuat public terutama perempuan dalam hal ini merasa keterlibatan mereka di
dalam proses politik menjadi lebih signifikan seakan menampik tudingan perempuan hanya
memanfaatkan sosial media sekedar untuk belanja online dan jualan online saja. Keriuhan ini
tidak hanya terjadi di Facebook, hal yang sama terjadi juga di Twitter saling balas Twit dan
saling membanggakan jagoan masing-masing, kemudian saling merendahkan jagoan kubu
sebelah. Namun fenomena ini nampaknya kurang diminati para Blogger perempuan di
Bengkulu. Jumlah Blogger perempuan yang berdomisili di Bengkulu tidaklah banyak dan
tidak seaktif postingan di Facebook dan Twitter.
Keaktifan serta mulai kritisnya para netizen perempuan dalam memberikan penilaian
terhadap para calon anggota dewan dalam Pemilu Legislatif serta terhadap calon presiden
dan calon wakil presiden patut mendapatkan apresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa

403
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
perempuan di daerah pun telah mulai melek secara politik. Kondisi ini dapat bernilai positif
dalam kaitannya telah turut berpartisipasinya perempuan dalam politik, walaupun mungkin
partisipasi yang ditunjukkan belum berupa keaktifan para perempuan ini untuk terjun secara
langsung ke kancah politik praktis di dunia nyata. Namun setidaknya secara personal, para
perempuan telah menunjukkan kelasnya menjadi perempuan yang kritis dalam memilih
wakilnya di parlemen serta memilih pemimpin terbaik diantara yang baik
Keberadaan dan keaktifan perempuan di Facebook ini tentunya tidak bisa dianggap
remeh oleh pihak Pemerintah Daerah Propinsi Bengkulu. Para perempuan ini mempunyai
girl power yang dapat berubah menjadi gerakan massa yang dapat memberikan pengaruhnya
untuk mempengaruhi kebijakan ataupun bahkan menggulingkan penguasa dengan efektif dan
halus. Tanpa menggunakan jalan kekerasan dan tanpa menggelar aksi massa demonstrasi
turun ke jalanan, penyampaian pikiran serta aspirasi yang dilakukan di sosial media bisa saja
akan berpengaruh kepada kelanggengan penguasa yang dzalim. Telah banyak bukti bahwa
media sosial dapat menyumbangkan pengaruh positif yang berarti bagi perubahan, sebagai
contoh pada kasus wakil ketua KPK.
Opini yang dibangun bersama dalam sosial media, kemudian di share dalam
pertemanan di Facebook ataupun menuliskan sebuah Twitt dalam akun Twitter akan mampu
membentuk sebuah gerakan anti rezim yang berkuasa secara efisien. Perempuan-perempuan
lain yang mungkin belum melek politik ataupun bahkan yang antipati terhadap politik pada
akhirnya akan tertular juga apabila setiap hari ada teman mereka sesama perempuan yang
membuat status dan komentar mengenai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat
sehingga ketika terjadi kesamaan aspirasi maka akan semakin menggejolak menuntut untuk
segera dipenuhi tuntutan mereka oleh pihak penguasa.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan mengenai Partisipasi Politik
Perempuan Melalui "Media Baru" di Bengkulu tersebut diatas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: Dalam tulisan ini yang dimaksud partisipasi politik adalah
peranserta masyarakat dalam hal ini adalah perempuan yang berdomisili di Bengkulu secara
sukarela dan aktif dalam kehidupan berpolitik terutama dalam memilih wakil di parlemen
dan memilih pemimpin serta mengkritisi kebijakan pemerintah melalui ―media baru‖. Pada
pemilihan legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2014 partisipasi politik Perempuan
Bengkulu tidak hanya disalurkan dengan jalan mencoblos pilihannya dalam bilik suara
namun juga memperbincangkannya di media sosial dan orang sekitarnya, seperti dengan
teman dan kerabat serta tetangga
Perempuan sebagai pengguna sosial media yang aktif, pada masa pemilihan presiden
ketujuh ini menjadi ingin tahu lebih banyak mengenai perkembangan politik. Para
Perempuan di Bengkulu yang aktif di media sosial lebih kritis dalam memilih wakilnya baik
dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Keaktifan serta mulai kritisnya para
netizen perempuan dalam memberikan penilaian terhadap para calon anggota dewan dalam
Pemilu Legislatif serta terhadap calon presiden dan calon wakil presiden patut mendapatkan
apresiasi.

Rekomendasi
Saran bagi perempuan-perempuan di Bengkulu dalam kaitannya dengan partisipasi
politik sebagai berikut: Agar selalu aktif mencari informasi terbaru mengenai kebijakan
pemerintah baik dari "media baru" dalam dunia maya maupun dalam dunia nyata, supaya
selalu melakukan crosscheck informasi apapun yang diperoleh terutama yang terkait dengan

404
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pemberitaan politik, karena di dunia maya terdapat juga informasi "sampah", partisipasi
politik secara aktif seorang perempuan sangat besar artinya bagi perkembangan dan
pembangunan wilayah Bengkulu kedepannya. Pada tahun 2015 ini akan digelar Pemilu
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, agar perempuan Bengkulu semakin cerdas
dan semakin kritis dalam memilih pemimpin dan agar lebih berani tampil dalam dunia
politik praktis.

Referensi
Buku :
Budiardjo. (1998). Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiardjo. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nasrullah. (2014).Teori dan Riset Media Media Siber. Jakarta: Kencana Prenada.
SP. Huntington dan Nelson Joan. (1994). Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tamburaka. (2014). Literasi Media. Jakarta: Rajawali Pers.
Tim ( ) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Websites :
Anonim 2013 ―Pengertian Partisipasi Menurut Beberapa Ahli‖ diakses pada April 7, 2015
(www.lepank.com)
Anonim 2013. "Info Realita Bengkulu" diakses pada Maret 24, 2015 (www.ketupek-
bengkulu.blogspot.com).
Anonim 2013. "Ini Data Jumlah Pengguna Media Sosial di Indonesia" diakses pada Maret
21, 2015 (www.harianTI.com)
Anonim 2014. ―Demokrasi adalah?‖ diakses pada April 8, 2015 (www.pengertianahli.com)
Arif Pitoyo 2013. "Perempuan Ternyata Lebih Aktif di Internet dibanding Pria" diakses pada
Maret 20, 2015 (www.merdeka.com)
Heni 2013. "Riset Pengguna Sosial Media 2013" diakses pada Maret 24, 2015
(www.artikelinformasi.com)
Nistanto, Reska K. 2014. ―Facebook Ungkap Jumlah Penggunanya di Indonesia‖ diakses
pada April 8, 2015 (www.tekno.kompas.com)
Socha, Balley; and Barbara Eber-Schmid 2014. "Defining New Media Isn't Easy" diakses
pada April 8, 2015 (www.newmedia.org)
Wikipedia. "Definisi Perempuan" diakses pada April 1, 2015 (www.wikipedia.org)

405
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PERUBAHAN INFRASTRUKTUR PEREMPUAN PEMULUNG BATUBARA
(Studi Kasus Perubahan Okupasi dari Pertanian ke Pertambangan di Desa Penanding
Bengkulu Tengah)

Ledyawati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Bengkulu
ledydjakfar@yahoo.co.id

Abstrak
Pada saat ini perempuan terlibat di semua sektor kehidupan, hampir tidak ada sektor
pekerjaan yang tidak melibatkan perempuan dalam aktivitasnya. Usaha pertambangan di
berbagai tempat memiliki konotasi sebagai dunia kerja laki-laki. Kerja kasar, aktivitas
lapangan, alat-alat berat dan banyak perempuan yang terlibat dalam aktivitas pertambangan
tersebut. Kondisi yang meminggirkan perempuan dari pekerjaan menjadi penyebab mereka
harus beradaptasi dengan kondisi tersebut dan mencari strategi untuk tetap eksis karena
perubahan okupasi. Perubahan okupasi ini menyebabkan perubahan teknologi yang mereka
gunakan dalam pekerjaannya, perubahan waktu dan ritme bekerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan infrastruktur perempuan
pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan.
Hasil penelitian ini secara teoritik menambah khasanah keilmuan dalam disiplin
sosiologi, khususnya bidang sosiologi yang menjelaskan bagaimana perubahan infrastruktur
perempuan pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Merriam (1988) dalam
Creswell (2002:136) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tertarik pada makna dan
bersifat deskriptif, bagaimana orang membuat hidup, pengalaman dan struktur dunianya
masuk akal. Untuk mengungkapkan bagaimana perubahan infrastruktur perempuan
pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan infrastruktur perempuan
pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan berimplikasi
terhadap perubahan pada perubahan mode produksi dan perubahan mode reproduksi.
Kata kunci: infrastruktur, perempuan pemulung batubara, perubahan okupasi

Pendahuluan
Dalam masyarakat ada pemahaman yang menganggap perempuan secara kodrati
hanyalah “konco wingking” alias teman pelengkap yang posisinya di belakang. Atau masih
salah menafsirkan istilah “suwargo nunut, neraka katut” ke surga ikut, ke neraka juga
terbawa. Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa perempuan tidak mampu melampaui
kaum laki-laki, atau tidak berdaya dan tidak kuasa atas dirinya sendiri
(http://www.p2kp.org). Pemahaman ini menyebabkan perempuan berada di posisi subordinat
terhadap laki-laki, karena laki-laki menjadi pencari nafkah utama (breadwinner) dalam
rumahtangga dan perempuan sebagai ibu rumahtangga yang mengerjakan tugas-tugas
rumahtangga. Sebagai pencari nafkah utama, laki-laki memiliki pendapatan dan akses yang
lebih luas di dunia publik. Penguasaan laki-laki secara sosial ekonomi ini dianggap
memperlemah posisi tawar perempuan terhadap laki-laki. Kemandirian dan penguasaan
sosial ekonomi perempuan tidak selalu meningkatkan kekuasaan perempuan dalam
rumahtangga dan masyarakat (Susanti, 2003).
Kemandirian secara ekonomi membuat perempuan dapat memberikan kontribusi
kepada keluarga. Perempuan dapat menambah penghasilan keluarga dan dapat membiaya

406
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
sekolah anak-anaknya. Sehingga pandangan gender yang memisahkan peran laki-laki dan
perempuan tidak lagi relevan, salah satunya ditunjukkan lewat fenomena semakin banyaknya
perempuan bekerja (working woman). Hal ini antara lain dapat dilihat dari pergeseran
komposisi keluarga, dari single career family di mana dalam sebuah rumah tangga hanya
laki-laki (suami) yang bekerja menjadi dual career family; laki-laki (suami) maupun
perempuan (istri) sama-sama bekerja (Alteza dan Hidayati, 2012).
Rendahnya human capital perempuan mendorong mereka hanya mampu bekerja
pada lapangan pekerjaan yang tidak memerlukan persyaratan ketat untuk dapat
memasukinya. Rendahnya human capital yang dimiliki perempuan berdampak terhadap
keterbatasan akses dan kontrol sumberdaya oleh perempuan. Kemampuan untuk akses dan
kontrol sumberdaya merupakan syarat utama dalam berkompetisi memperoleh pendapatan.
Perangkap lingkaran ini membawa perempuan semakin tidak berdaya dan termarjinalisasi
(Hastuti, 2007).
Perempuan digambarkan sebagai manusia yang hidup dalam situasi dilematis. Di
satu sisi, perempuan dituntut untuk berperan di semua sektor, di sisi lain muncul tuntutan
agar perempuan tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan. Tuntutan tersebut membuat
perempuan memikul beban yang berat (double burden). Secara umum salah satu peran
perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan yang menanggung
beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Bagi perempuan, beban kerja ini
menjadi dua kali lipat karena selain harus bertanggung jawab dalam keseluruhan pekerjaan
rumah tangga (domestik), mereka juga bekerja di luar rumah (Fakih, 1996: 15). Bahkan tidak
jarang perempuan akan membawa sebagian pekerjaan domestiknya ke tempat kerja (publik).
Bekerjanya perempuan berdampak bagi kehidupan perempuan itu sendiri, keluarga
dan masyarakat. Beban ganda dirasakan perempuan akibat aktivitas di dalam dan luar rumah.
Bahkan perempuan mengalami kondisi terpinggirkan karena perubahan okupasi.
Perempuan adalah kelompok yang paling rentan di dalam komunitas yang memikul
dampak terbesar dari pertambangan. Diskriminasi dan posisi subordinat bagi perempuan di
pertambangan dapat dilihat di berbagai daerah pertambangan di Indonesia. Perempuan di
Indonesia mengalami dampak pertambangan melalui berbagai cara. Kegiatan pertambangan
emas tradisional di Kalimantan Selatan dan Timur. Kegiatan pertambangan Newmont Nusa
Tenggara di Sumbawa. Pertambangan batubara di Kalimantan Selatan menutup
kemungkinan kaum perempuan untuk memperoleh pendapatan dari perkebunan karet. Kaum
perempuan yang tinggal dekat pertambangan emas Newmont di Sulawesi Utara melihat
berkurangnya ikan, sumber utama pendapatan mereka dari teluk Buyat-tempat Newmount
membuang limbah pertambangannya di dasar laut (Down to Eart Indonesia, 2003). Sebagian
dari dampak terhadap perekonomian setempat adalah perempuan seringkali dijauhkan dari
sumber penghidupannya semula.
Di Kalimantan Timur selain kawasan hutan, sedikitnya 12.000 hektar lahan
pertanian produktif hilang akibat tergusur eksploitasi pertambangan. Kondisi ini tidak hanya
mematikan usaha ribuan petani di daerah ini, tetapi juga membuat kaum perempuan, yang
banyak membantu keluarganya bekerja di sektor pertanian, menjadi korban kehilangan mata
pencarian. Hilangnya lahan-lahan budidaya mengakibatkan warga, juga kaum perempuan
terpaksa beralih ke pekerjaan lain, seperti menjadi buruh di perusahaan pertambangan.
Namun mereka yang tidak memiliki bekal pendidikan tidak bisa terakomodasi oleh
perusahaan (Dk insufa, 2010)
Kondisi yang meminggirkan perempuan dari pekerjaan menjadi penyebab mereka
harus beradaptasi dengan kondisi tersebut dan mencari strategi untuk tetap eksis karena

407
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
perubahan okupasi. Perubahan okupasi ini menyebabkan perubahan teknologi yang mereka
gunakan dalam pekerjaannya, perubahan waktu dan ritme bekerja.
Permasalahan
Penelitian ini akan memfokuskan bagaimana perubahan infrastruktur perempuan
pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan?
Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis perubahan infrastruktur perempuan pemulung batubara karena
perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara teoritik menambah khasanah keilmuan dalam disiplin sosiologi,
khususnya bidang sosiologi, yang menjelaskan bagaimana perubahan infrastruktur
perempuan pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan.
Manfaat Praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kepentingan pengambil
kebijakan yang berkaitan dengan perempuan bekerja dan perubahan infrastruktur
perempuan pemulung batubara.
Kajian Pustaka
Pendekatan Materialisme Budaya
Pendekatan ini didasarkan pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat
menentukan kesadaran manusia, bukan sebaliknya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh gagasan
Marx tentang basis (base) dan suprastruktur (superstructure). Ia menyebut basis sebagai
infrastruktur, yakni geografi dan memasukkan unsur reproduksi manusia ke dalam basis
(infrastruktur) bersama-sama dengan mode ekonomi dan produksi. Selain itu, ia juga
memasukkan struktur sebagai kategori ‗antara‘ di antara basis dan suprastruktur, suatu
kategori yang tidak terdapat dalam skema Marxis.
Menurut Haris (1979:52) setiap ranah dalam struktur terdiri dari:
1. Mode of Production
The technology and the practices employed for expanding or limiting basic subsistence
production, especially the production of food and other forms of energy, given the
restrictions and opportunities provied by spesipic technology interacting with a specific
habitat. (Technology of subsistence, Techno-environmental relationship, ecosystems,
work patterns)
2. Mode Reproduksi
The technology and the practices employed for expanding, limiting and maintaining
population size. (Demography, fertility, natality, mortality,contraception, abortion,
infanticide)
3. Domestic Economy
The organization of reproduction and basic production, exchange and consumption
within camps, houses, apartements or other domestic settings. (Family structure,
domestic division of labor, domestic socialization, enculturation, education, age and sex
roles, domestic discipline, sanctions).
4. Political Economy
The organnization of reproduction, production, exchange and consumption within and
between bands, villages, chiefdoms, states and empires (Political organization, faction,
clubs, associations, corporations, devision of labor, taxation, tribute, political
socialization, enculturation, education, police, war)
5. Behavioral Superstructure
Art, music, dance, literature, advertising, rtuals, sports, games, hobbies, science.

408
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Haris (1979) menganggap basis, yaitu produksi dan reproduksi sebagai infrastruktur,
sedangkan struktur dan suprastruktur dianggap kategori lain. Perubahan pada basis
menyebabkan perubahan pada struktur dan suprastruktur. Basis material ekonomi
masyarakat adalah landasan tempat membangun semua basis kehidupan lainnya, dengan
demikian perubahan cara produksi menyebabkan perubahan di dalam seluruh hubungan-
hubungan sosial manusia. Manusia (masyarakat) akan menciptakan prinsip-prinsip, ide-ide,
kategori-kategori selaras dengan hubungan-hubungan sosial mereka (Lauer, 1993:93).
Dengan demikian keberadaan infrastruktur akan memberikan kerangka yang menjadi tempat
untuk berbagai bentuk suprastruktur guna menekankan pengaruhnya.
Marvin Harris memodifikasi skema Marxis dengan memasukkan unsur reproduksi
ke dalam basis infrastruktur, bersama-sama dengan mode ekonomi dari produksi. Harris juga
mengusulkan suatu kategori antara (intermediate category) yakni struktur (structure) di
antara basis dan suprastruktur.
Marvin Harris menjelaskan bahwa kebudayaan yang bersifat infrastruktur
mempengaruhi kebudayaan yang bersifat struktur dan superstruktur. Hal tersebut dapat pula
menjelaskan bahwa apabila kebudayaan yang bersifat material seperti pekerjaan, peralatan
dan teknologi mengalami perubahan, maka kebudayaan yang bersifat non material seperti
kekerabatan, pendidikan dan nilai-nilai termasuk ideologi akan mengalami perubahan.
Pandangan tersebut menjadikan teknologi sebagai mekanisme yang sangat penting dalam
perubahan kebudayaan, karena teknologi merupakan bagian penting dalam proses
menunjang kelangsungan kehidupan suatu masyarakat (Bahtiar, 2008:92)
Perempuan Pemulung Batubara
Masuknya dampak industri batubara merupakan alternatif bagi rumah tangga petani untuk
menambah penghasilan keluarga. Dampak Industri ini menyebabkan ibu rumah tangga
berbondong-bondong mencari tambahan penghasilan bagi keluarga. Pekerja wanita yang
terlibat dalam industri umumnya berasal dari rumah tangga miskin. Bekerja merupakan
strategi menghadapi tekanan ekonomi dan sekaligus mewujudkan rasa bertanggung jawab
terhadap kelangsungan ekonomi rumahtangganya
Perubahan Okupasi
Di dalam masyarakat modern menurut Watson ada dua struktur yaitu struktur pekerjaan dan
struktur berdasarkan okupasi. Struktur pertama atas dasar birokrasi atau organisasi formal.
Dalam hal kedua yaitu okupasi, perhatian lebih dipusatkan pada pola-pola yang timbul ketika
sejumlah pekerjaan dilaksanakan. Watson (1980) mengatakan definisi okupasi sebagai
keterlibatan penuh waktu dalam sebagian atau keseluruhan tugas pekerjaan. Konsep okupasi
(Aber Crombie, Nicholas et al 1994; Marshall, 1994) lebih mengacu pada jenis kelompok
pekerjaan yang dikaitkan dengan beberapa karakteristik seperti keterampilan, kemampuan,
penghasilan, kualifikasi awal dan status. Jadi dalam pengertian okupasi terdapat unsur jenis
kelompok pekerjaan, status pekerjaan, pilihan pekerjaan (dalam Erna: 2001 h. 12).
Di pedesaan Indonesia, pola okupasi penduduk mengalami perubahan (Winardi,
1992; Koentjaraningrat, 1984; Budisantoso, 1984; Tajudin, 1992; Hayami dan Kikuchi,
1987; Collier dkk, 1996). Perubahan tersebut cenderung dikaitkan dengan perubahan struktur
penguasaan tanah, meningkatnya proyek-proyek pemerintah dalam pengembangan sarana
fasilitas sosial di desa dan kota, tekanan penduduk, proses fragmentasi tanah dan perubahan
aspirasi terhadap pekerjaan lama dan baru (dalam Erna: 2001 h. 14).

Metode Penelitian
Untuk mengungkapkan bagaimana perubahan infrastruktur perempuan pemulung batubara
karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan digunakan metode kualitatif.

409
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan diuraikan dalam usulan penelitian ini adalah perubahan
infrastruktur perempuan pemulung batubara. Subyek yang akan diteliti adalah perempuan
pemulung batubara.
Sumber Data dan Informan Penelitian
Sumber data adalah perempuan dan rumah tangga pemulung batubara di desa penanding
Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui penelitian di lapangan yang berasal dari informan yaitu perempuan
pemulung batubara yang sudah lama tinggal di lokasi penelitian. Pencarian data dipusatkan
pada informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Data sekunder diperoleh melalui bahan pustaka dan dokumentasi serta bahan laporan
yang ada pada lembaga dan instansi yang berhubungan dengan penelitian ini. Data ini
berkaitan dengan keadaan geografis dan demografis, keadaan sosial ekonomi dan budaya
daerah penelitian.
Observasi Partisipatif
Yang menjadi objek observasi partisipatif adalah tempat atau latar di mana
penelitian ini dilakukan menyangkut perubahan infrastruktur perempuan pemulung batubara.
Observasi yang dilakukan berkaitan dengan aktivitas perempuan pemulung batubara di
rumah, di tempat kerja (sungai) dan di dalam masyarakat.
Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam akan dilakukan kepada informan penelitian. Yang menjadi
penekanan dalam wawancara yaitu: bagaimana infrastruktur perempuan pemulung batubara
karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan.
Studi dokumentasi
Data sekunder diperoleh dari dokumen, publikasi dan literatur berupa: profile
tentang desa Penanding dan foto-foto aktivitas perempuan pemulung batubara.
Analisis Data
Proses penganalisisan data meliputi: pengujian, pemilihan, kategorisasi, evaluasi,
membandingkan, melakukan sintesis dan merenungi kembali data yang peneliti peroleh
untuk membangun inferensi-inferensi dan kemudian menarik kesimpulan hingga kemudian
tercapai pemahaman secara holistik.
Keabsahan Data
Beberapa teknik yang digunakan untuk menentukan kredibilitas data dalam
penelitian kualitatif antara lain: (1) memperpanjang masa observasi (2) pengamatan terus
menerus (3) triangulasi (4) menggunakan bahan referensi.

Pembahasan
Perubahan Mode Produksi (infrastruktur)
Pola Kerja
Pola kerja perempuan Penanding mengalami perubahan sejak adanya batubara.
Dahulu perempuan dan laki-laki bekerja di sawah dan kebun. Berada di kebun berbulan-
bulan lamanya.
Perempuan pencari limbah batubara bekerja mencari limbah batubara ke sungai
Muarotigo, jamnya tidak serentak. Antara pemulung satu dengan pemulung lain bervariasi
pergi bekerjanya. Biasanya perempuan mencari limbah batubara dari pagi sekitar jam 06.00
wib pagi untuk menghindari panas dan mendapatkan limbah dalam jumlah yang lebih

410
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
banyak. Ada pemulung yang baru pergi mencari limbah pada jam 11.00 wib, mereka
mencari limbah batubara setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu.
Mereka memulung batubara tergantung kesiapan untuk bekerja. Bahkan ada pencari limbah
batubara yang berangkat siang biasanya mereka masih memiliki anak kecil dan tidak ada
yang menjaga anaknya.
Banyaknya limbah batubara di sungai jika pada malam hari terjadi hujan,
dikarenakan limbah batubara akan ikut terbawa arus sungai pada saat hujan.
Pada jam 15.00 wib pemulung mulai beristirahat untuk makan dengan bekal yang mereka
bawa dari rumah. Mereka makan di pinggir sungai berkelompok beberapa orang pemulung
batubara, ada pula yang makan di sungai. Bekal dalam rantang di letakan di atas rakit.
Sambil makan mereka bercerita dengan memakai bahasa Rejang dan bertukar lauk yang
dibawa. Setelah makan selesai mereka kembali bekerja.
Pada jam 18.00 wib lokasi pengambilan limbah batubara mulai ditinggalkan para
pemulung. Akan tetapi kadang ada juga pemulung yg masih mencari limbah batubara pada
jam 22.00 wib. Khusus pada hari selasa penyetoran jumlah karung batubara ditunggu oleh
bos kecil sampai jam 20.00 wib. Jika bos kecil sudah terlebih dahulu meninggalkan sungai
daripada pemulung batubara maka pemulung dapat menyetorkan jumlah karung yang
dikumpulkan kepada bos kecil lewat sms. Hal ini biasanya berlaku untuk hari Selasa
dikarenakan pemulung batubara akan menerima upah selama seminggu bekerja.
Karung-karung berisi limbah batubara diikat dan dikumpulkan di atas badan sungai untuk
diserahkan dan dicatat oleh bos kecil. Karung-karung limbah batubara yang sudah
dikumpulkan di tepi sungai akan diangkut menggunakan truk ke Pelabuhan Pulau Bai di kota
Bengkulu. Untuk satu truk dapat memuat lebih kurang 140-145 karung limbah batubara.
Dalam proses mengangkat karung terlibat lima orang, yaitu dua orang di bawah, satu orang
penggangkat dan dua orang di atas truk. Karung-karung tersebut diangkat oleh satu orang ke
atas truk untuk kemudian sampai di atas truk, telah ada dua orang yang akan membuka
ikatan karung dengan menggunakan semacam pisau pengait. Karung yang telah diambil
isinnya kemudian akan dilemparkan dari atas truk ke bawah. Karung-karung tersebut akan
dikumpulkan kembali oleh bos kecil dan kemudian karung tersebut dapat digunakan kembali
untuk memuat limbah batubara yang dikumpulkan perempuan pencari limbah batubara.
Pola Produksi dan Teknologi
Jenis tanaman yang ditanam sebelum mengambil limbah batubara adalah padi, sayuran,
karet, kopi, jeruk nipis dan sawit.
Pakaian Perempuan Pemulung Batubara dalam bekerja
Pakaian dan peralatan yang dipakai para pencari limbah batubara adalah memakai
celana panjang/celana pendek, baju panjang, jilbab, topi/topi tani, sarung tangan dan
baronang. Di dalam baronang terdapat bekal makanan dan minuman dalam wadah botol. Di
dalam karung disimpan sauk besar, sauk kecil, saringan dan piring plastik. Karung beisi
peralatan tersebut diletakan di atas kepala, bisa juga dibawa dipunggung atau di sandang
ditangan.
Perlengkapan Perempuan Pemulung Batubara dalam bekerja
Alat-alat untuk memulung batubara berupa: rakit, sauk besar (tangguk waring besar
berukuran 3 meter), sauk kecil (tangguk waring halus berukuran 2 meter), karung, saringan
dan piring kecil.
1. Rakit (terbuat dari bambu yang diikat dengan menggunakan tali): digunakan pencari
limbah batubara di sungai untuk tempat mengumpulkan limbah batubara yang berhasil
diambil dari dalam sungai, dengan rakit ini para pemulung dapat berpindah tempat
mencari limbah batubara. Di atas rakit, dialasi karung-karung agar limbah batubara

411
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
yang berhasil dikumpulkan tidak jatuh ke dalam sungai. Rakit-rakit tersebut merupakan
milik dari bos kecil yang dipinjamkan kepada pencari limbah batubara. Setiap sore
setelah selesai mencari limbah batubara, rakit-rakit tersebut diletakan di pinggiran
sungai. Setiap orang bertanggung jawab terhadap rakit yang dipinjamkan kepada
mereka. Rakit-rakit yang ditambatkan di pinggiran sungai selalu aman dan tidak
tertukar kepemilikannya. Rakit-rakit tersebut merupakan milik dari bos kecil yang
dibuat dengan modal lebih kurang Rp. 100.000/rakit. Untuk bambu yang digunakan
diambil dari pinggiran sungai desa Penanding. Desa Penanding sejak dahulu memang
terkenal sebagai daerah yang banyak ditumbuhi buluh (bambu) kuning.
2. Sauk Besar (Terbuat dari jaring yang besar dengan ukuran 3 meter): alat ini digunakan
pemulung batuabara untuk mengambil batubara dari dalam sungai. Sauk kecil (Terbuat
dari jaring kecil dengan ukuran 2 meter): Alat ini digunakan oleh pemulung batubara
untuk mengambil batubara dengan ukuran lebih kecil. Sauk ini merupakan milik dari
pencari limbah batubara yang dapat dibeli di toko peralatan mencari ikan.
3. Saringan (terbuat dari jaring-jaring): saringan ini dibuat sendiri dengan menggunakan
jaring dan besi digunakan untuk mengayak waring di air sungai dengan tujuan
membersihkan waring dari kotoran. Kotoran dapat berupa daun-daun atau kayu-kayu
kecil yang terbawa saat mengambil waring dari dasar sungai. Kebersihan waring yang
dimasukkan ke dalam karung menjadi tanggung jawab dari bos kecil, jika dalam karung
masih terdapat kotoran, maka bos kecil akan mendapat teguran dari bos besar.
4. Piring plastik: digunakan untuk memasukan limbah batubara ke dalam karung. Piring
ini merupakan milik dari perempuan pemulung batubara yang dapat dibeli di pasar.
5. Karung: Wadah yang digunakan untuk tempat limbah batubara yang sudah
dikumpulkan oleh perempuan pencari limbah batubara. Karung-karung ini merupakan
milik dari bos besar yang dipinjamkan kepada perempuan pencari limbah batubara. Jika
karung-karung sudah habis dan perempuan pencari limbah membutuhkan tambahan
karung maka bos kecil akan mengambil tambahan karung ke rumah bos besar.
6. Tali untuk mengikat karung. Agar waring di dalam karung tidak keluar maka karung
diikat pada bagian atasnya. Tali ini disediakan oleh bos besar sama seperti karung yang
juga disediakan oleh bos besar.
Perubahan Mode Reproduksi
Jumlah penduduk desa mengalami perubahan baik berupa kelahiran maupun
kedatangan penduduk dari luar desa Penanding. Kedatangan penduduk dari luar desa
Penanding berhubungan karena adanya limbah batubara dan pasir yang dikumpulkan oleh
penduduk dan pasir yang disedot dari sungai. Mereka datang dari desa-desa di sekitaran
kecamatan Karang Tinggi dari wilayah Bengkulu Tengah. Ada pula penduduk yang datang
dari Kabupaten Kepayang bahkan dari wilayah Sumatra Selatan.
Penduduk yang kemudian bekerja karena sumber daya alam berupa limbah batubara dan
pasir berdatangan ke desa Penanding. Mereka membawa keluarga atau kemudian melakukan
pernikahan dengan masyarakat desa Penanding. Dari pernikahan tersebut melahirkan anak.
Selain itu ada pula penduduk yang telah berkeluarga dan membawa keluarga untuk tinggal
dan menetap di desa Penanding. Penduduk pendatang ini menetap di desa Penanding.
Penduduk pendatang yang sifatnya sementara untuk mencari limbah batubara datang dari
desa-desa di sekitar desa Penanding di Kecamatan Karang Tinggi. Mereka datang pada pagi
hari untuk bekerja dan pulang kembali ke desanya setelah selesai bekerja pada sore harinya.
Sebagian lagi pencari limbah batubara bekerja mencari limbah batubara dengan menetap
sementara di desa Penanding dengan membuat rumah papan semi permanen di pinggir
sungai Muarotigo. Mereka datang dari daerah yang cukup jauh dari desa Penanding dan

412
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
tidak memungkinkan untuk pulang pergi dalam sehari. Biasanya mereka datang dari daerah
Kapayang, Curup dan beberapa daerah di Sumatera Selatan yang berbatasan dengan
Bengkulu.

Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perubahan infrastruktur perempuan
pemulung batubara karena perubahan okupasi dari pertanian ke pertambangan berimplikasi
terhadap perubahan pada.
Perubahan mode produksi
Yaitu perubahan pola kerja dan pola produksi dan teknologi (Perubahan pada pakaian
perempuan pemulung batubara dalam bekerja dan perubahan pada perlengkapan perempuan
pemulung batubara dalam bekerja)
Perubahan mode reproduksi
Jumlah penduduk desa mengalami perubahan baik berupa kelahiran maupun kedatangan
penduduk dari luar desa Penanding. Kedatangan penduduk dari luar desa Penanding
berhubungan karena adanya limbah batubara dan pasir yang dikumpulkan oleh penduduk
dan pasir yang disedot dari sungai.

Rekomendasi
Saran akademik:
Perlu dilakukan penelitian lain dengan melihat aspek berbeda pada perempuan bekerja
karena perubahan okupasi
Dapat dilakukan penelitian lain dengan memfokuskan pada pembangunan lingkungan pada
perempuan bekerja (karena perubahan okupasi)
Saran Praktis:
Pemerintah perlu melakukan tindakan nyata untuk mempertahankan budaya masyarakat
lokal agar tidak berubah akibat perubahan pada pola kerja di masyarakat.
Untuk pengambil kebijakan yang berkaitan dengan perempuan bekerja dan perubahan
infrastruktur perempuan pemulung batubara perlu upaya meminimalisasi dampak perubahan
akibat perubahan perempuan bekerja (karena perubahan okupasi).

Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta.Pustaka
pelajar
Handayani, T dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang. UMM
Press
Mose, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Rifka annisa WCC dan Pustaka
Pelajar
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2006. Antropologi kontemporer; Suatu Pengantar Kritis
mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana
Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Saptari, Ratna. 1997. Hakikat Kerja Perempuan: Masalah Definisi dan Analisis dalam Ratna
Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta.
Pustaka Utama Grafiti

413
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta.
LP3ES
Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Jakarta. Kanisius
Suratinah, Ken. 1996. Dilema Wanita antara Industri, Rumahtangga dan Aktivitas Domestik.
Yogyakarta. Aditya
Susetiawan. 2000. Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan
Negara di Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Usman, Sunyoto. 2010. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
Partini. 1992. Pekerja Perempuan Sektor Industri: Antara Harapan dan Kenyataan. Dalam
buku Citra Wanita dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta. Kanisius
Poerwandari, K. 1995. Aspirasi Perempuan bekerja dan Aktualisasinya dalam Kajian
Wanita dalam Pembangunan. Penyunting Ihromi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Sumber: Tesis, Disertasi
Acker, Joan. 2006. Inequality Regimes Gender, class and Race in Organization. Gender &
Society August 2006
Anggraini, Henni. 2010. Hubungan Konflik Peran Ganda dan Kinerja di Lingkungan Kerja
Pada Ibu Bekerja di RSUD Blambangan Banyuwangi. UNM
Brown, Sonya L. 2008. Diversity in the workplace: Studi of Gender, Race, Age and Salary
Level. Capella University
Chalik, alex Abdu. 2010. Perubahan Dalam Sistem Perladangan de Persawahan dan
Perkebunan Orang serawai di Kecamatan Seluma Utara Kabupaten Seluma
Provinsi Bengkulu. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Child, Sheena. 2012. Gender Discrimination in the Workplace. Proquest LLC
Desi, Yunita. 2011. Perubahan Sosial Masyarakat pada Pola Pertanian Monokultur; Studi
Petani Sawit di Desa Talang Arah Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu
Utara Provinsi Bengkulu. Bandung. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic
Changes in Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman
Lednaidi. 2011. Dampak Penambangan Batubara Terhadap Pendapatan Ekonomi
Masyarakat di Desa Penanding Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu
Tengah. Bengkulu. Program Studi sosiologi. Universitas Muhammadiyah Bengkulu
McLaughlin, Heather. Uggen, Christopher. Blackstone, Amy. 2009. Sexual Harassment,
Workplace Authority, and the Paradox of Power.
Mufida, Alia. 2008. Hubungan Work. FPSI UI
Stark, Inger. 2008. Savvy Women Readers and Gender Strategies in the workplace. Proquest
Suyatno. 1997. Partisipasi Kerja Wanita Pada Sektor Pekerjaan Formal, Implikasinya
Terhadap Ekonomi Keluarga dan Pemberian Asi Pada Anak-anak. Makalah
Disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian BBI Undip
Syukrie, Erna Sofyan. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan,
Denpasar, 14-18 Juli 2003
Widaningsih, Lilis. Relasi Gender dalam Keluarga: Internalisasi Nilai-nilai Kesetaraan
Dalam Memperkuat Fungsi Keluarga
Sumber: Jurnal, Penelitian
Almasitoh, Umu Hany. 2011. Stres Kerja ditinjau Dari Konflik Peran Ganda dan dukungan
sosial Pada Perawat. Psiko Islamika. Jurnal Psikologi Islam (JPI) Vol 8 No 1 2011
hal 63-82

414
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Alteza, Muniya dan Hidayati, Lina Nur. Work Family Conflict Pada Wanita Bekerja: Studi
Tentang Penyebab, Dampak dan strategi Coping. (staf.uny.ac.id)
Andayani, trisna. 2006. Perubahan Peranan Wanita dalam ekonomi Keluarga Nelayan di
Desa Percut, Kecamatana Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Makalah
disampaikan Pada Konfrensi Sejarah VIII Tanggal 14-17 November 2006 di Hotel
Millenim Jakarta
Arjani, Ni Luh. Potensi dan Hambatan Sosial Budaya Perempuan Bali dalam Era
Transformasi
Arsyad, Muhammad. 2008. Peran Perempuan desa Dalam Memenuhi Ekonomi Rumah
Tangga. Jurnal sumberdaya Insani Universitas Muhammadiyah Kendari No 14 juli
2008
Asriwandari dan Indrikawati. 2009. Peran perempuan Bekerja Dalam Keluarga. Jurnal
Industri dan Perkotaan Vol XIII No 23
Astiti, Tjok Istri Putra dan Astika, Ida Ayu Putu. 1989. Peranan Wanita Pencari Nafkah
Dalam Pengambilan Keputusan. Dalam Kembang Rampai Wanita Bali. Kelompok
Studi Wanita Universitas Udayana.
Bawono, A Dwi Bayu dan Kusumawati, Eni. 2009. Konflik Pekerjaan-Keluarga dan
Implikasinya Pada Kualitas Kehidupan Keluarga (Studi Kompparasi Antara Pekerja
Wanita Penuh Waktu dan Pekerja Paruh Waktu Di Wilayah Surakarta. UMS
(dibiayai Dikti)
Boekmann, Robert J & Feather, NT. 2007. Beliefs about Gender Discrimination In The
Workplace in The Context Of Affirmative Action: Effect Of Gender And Ambivalent
Attitudes In An Australian Sample. Sex Role 57: 31-42
Brandt, Gail Cutbert. 2000. Angels of the Workplace: Women and the Construction of
Gender Relations in the Canadian Clothing. Journal of Social History; Full 2000:
34. ProQuest pg 208
Cristine WS. Oktorina, Megawati dan Indahmila. 2010. Pengaruh Konflik Pekerjaan dan
Konflik Keluarga terhadap Kinerja Dengan Konflik Pekerjaan Keluarga Sebagai
Intervening Variabel. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol 12 No 2 September
2010
Davis, Marktt. Capobianco, Sal. Kraus, Linda A. 2010. Gender Differences In The
Responding to Conflict in The Workplace: Evidence From A Large Sample of
Working Adults. @Springe Science-Busines Media;LLC
Daulay, Harmona. 2001. Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran: Studi Kasus
TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat. Yogyakarta: Galang
Press.
Daulay, Harmona. 2006. Buruh Perempuan di Industri Manufactur suatu Kajian dan
Analisis Gender.Jurnal Wawasan Feb 2006. Volume 11. Nomor 3
Dhania, Dhini Rama, 2010. Bias Gender dan Segresi Vertikal Pada Produktivitas Wanita di
Dunia Kerja, Mawas Desember
Diah Woro Nensi Kusuma Ningrum dan Rianti, Dwi. 2008. Fear of Succes In Java Working
Women.Universitas Gunadarma
Diana, J. (1991). Stress pada Peran Tradisional Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja. Yogyakarta.
Andi Ofset
Ghose, Mrinal. 2007. A Perspective on Community and State Interests in Small Scale Mining
in India Including The Role of Women. Copyright by Proquest LLC
Hastuti. Kemandirian Perempuan Miskin. Laporan Penelitian Penelitian Dilaksanakan
Dengan Dana FISE-Universitas Negeri Yogjakarta SK Dekan FISE UNY Nomor: 77

415
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Tahun 2007, Tgl 17 April 2007. Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor:
717/H34.14/PL/2007
Indrawasih, Ratna. 1993. Peranan Ekonomi wanita Nelayan di Maluku. LIPI tahun XX No 1
Indrawati, Surachmi. 2009. Perempuan di Sektor Informal (Studi Kasus Pedagang Sayur Di
Sekitar Pasar terong Kota Makasar). Jurnal Hipotesis Tahun ke-1 No 2 Agustus-
Desember 2009
Karim, Erna. 2001. Perubahan Pola Okupasi dan Perubahan Pola Kehidupan Keluarga
Etnik Betawi di Pedesaan Depok (Tahun 1974-1995). Pascasarjana IPB
Kasi, Balsy & Dugger, John C. 2000. Gender Equity in Industrial Technology: The
Challenge and Recommendations, Journal of Industrial Technology Volume 16,
Number 4 August 2000 to October 2000 www.nait.org. WORD Dr. Balsy Kasi &
Dr. John C. DuggerSEARCH
Khotimah, Khusnul. 2009. Diskriminasi Gender terhadap Perempuan dalam Sektor
Pekerjaan. Jurnal Studi Gender & Anak Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto,
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.158-180
Muhammadiyah. Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat Petani Kakao di Kecamatan
Lilirilau Kabupaten Soppeng. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Tahun
2012, Volume 25, Nomor 1: 8-14. , Universitas Negeri Makassar
Nurhadi, Muflich. 2009. Perubahan Peran Ibu Rumag Tangga Dan Pengaruhnya Terhadap
Harmonisasi Rumah Tangga. Jurnal Sosiologi Dilema Vol 21. No 2
Purwantini, Sri. Suryawardhana, Edi dan Susanto. Analisis Pengaruh Konflik Peran Wanita
Pekerja Terhadap Kepuasan Kerja. Jurnal Dinamika Sosbud ISSN 1410-9859 Vol
13 No 2 hal 140-152
Rustiani, F., 1996, ―Istilah-Istilah Umum dalam Wacana Gender‖, dalam Jurnal
Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi
4/November 1996, Bandung. Yayasan Akatiga
Soputan, Grace Jenny. 2007. Aspirasi Perempuan Bekerja: Hubungan Kekuasaan
Perempuan dan Laki-laki Dalam Sektor Informal. Jurnal Ekonomi dan Manajemen
Vol 8 no 1 Februari 2007
Strark, Inger. 2008. Savvy Women Readers and Gender Strategi in The Workplace.
ProQuest. Dissertation and Theses
Sulistiowaty, Endang. (2005). Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris ke Masyarakat
Industri Di Desa Sangatta Utara Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimatan Timur.
UMM
Supartiningsih, 2003. Peran Ganda Perempuan, Sebuah Analisis Filosofis Kritis. Jurnal
Filsafat, April 2003, Jilid 33, Nomor 1
Sunaryo, Hari dan Zuriah, Nurul. 2003. Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga Wanita
Karir Di Kota Malang. Jurnal Pemberdayaan Perempuan Vol 3 No 2
Tjaja, Ratna P. 2000. Wanita Bekerja dan Implikasi sosial.Naskah No 20 Juni-Juli 2000
Tjandraningsih, Indrasari. 2003. Perempuan dan Keputusan untuk Melawan Buruh
Perempuan dan perjuangan Hak. Jurnal Analisis Sosial volume 8 no 2
Pratiwi, Linda. 2009. Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap
Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni,
Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, propinsi Jawa Barat). Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor

416
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Wangsitalaja, Amien. 1999. Perempuan, Kerja dan Pekerja Rumah Tangga. Dalam Profil
Sosial dan Problematik PRT di Daerah Istimewa Yogyakarta. Editor Ananto
Sukendar. Yogyakarta. Yayasan Tjoet Njak Dien
Wicks, David; and Pat Bradshaw. 2002. Gender, Identity and the Culture of Organizations.
Routledge 11 New Fetter Lane, London EC4P 4EE Simultaneously published in the
USA and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001
Routledge is an imprint of the Taylor & Francis GroupThis edition published in the
Taylor & Francis e-Library, 2004., Edited by Iiris Aaltio and Albert J. Mills
Wirartha, I Made. Ketidakadilan Gender Yang dialami Pekerja perempuan di Daerah
Pariwisata. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. FP Univ Udayana
Wootton, Barbara H. 1997. Gender Differences In Occupational Employment. Montly Labor
Review
Wulanyani, Swasti dan Sudiajeng, Lilik. 2006. Stres Kerja akibat Konflik Peran Pada
Wanita Bali. Anima, Indonesia Psychological Journal 2006. Vol 21 No 2 hal 192-
195
Yurikosari, Andari. 2006, Analisis Kesetaraan Kesempatan dan Perlakuan dalam Pekerjaan
dan Jabatan. Makalah disampaikan dalam Bimtek Penerapan Kesetaraan Perlakuan
Di Tempat Kerja oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Cibogo, 6 Desember 2006
Sumber Artikel, Berita, Buletin, Majalah Eloktronik:
http://www.bengkulutengahkab.go.id (25 januari 2013)
http://www.bisnis-sumatra.com(25 januari 2013)

417
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
KRISIS IDENTITAS POLITIK KEBANGSAAN, PEMBANGUNANKETAHANAN
NASIONAL, DAN ISU RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA
Leni Winarni
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
leniwinarni@gmail.com

Abstrak
Paper ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara identitas politikkebangsaan,
pembangunan ketahanan nasional dengan isu aktual terkait radikalisme Islam di Indonesia.
Meskipun gerakan radikal Islam sebenarnya telah ada sejak pra kemerdekaan, namun
pemahaman mengenai radikalisme Islam telah mengalami proses transformasi, sehingga
kemunculannya saat ini tidak hanya disebabkan oleh radikalisme pemahaman lokal tetapi
juga dikarenakan pengaruh gerakan Islam radikal yang berasal dari luar Indonesia. Begitu
pula dengan identitas politik kebangsaan tidak lepas dari transformasi yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor diluar identitas itu sendiri. Bagaimanapun, krisis identitas politik kebangsaan
tidak terjadi begitu saja tetapi ia melalui proses yang bersamaan dengan perjalanan Indonesia
sebagai negara yang merdeka.
Afiliasi gerakan radikal Islam dengan menyatakan dukungan terhadap gerakan yang
berakar dari luar seperti ISIS, menyebabkan perlunya memperkuat identitas politik
kebangsaan sebagai bagian penting dalam membangun keamanan dan ketahanan nasional.
Topik diskusi pada paper ini adalah menjelaskan mengapa paham radikalisme Islam tetap
eksis di negara sekuler seperti Indonesia? Bagaimana korelasi antara krisis identitas politik
kebangsaan dan dampaknya terhadap berkembangnya radikalisme agama? Mengapa gerakan
Islam radikal justru lebih tampak eksis di orde reformasi paska berakhirnya rejim orde baru
pada tahun 1998?
Bagaimanapun terjadinya krisis identitas politik kebangsaan berpengaruh pada
pembangunan ketahanan nasional, sebab lahirnya ide-ide radikal merupakan ancaman bagi
pembangunan nasionalisme seutuhnya. Tantangan kedepan sebuah bangsa bukan saja
ancaman berupa keutuhan teritorial tetapi ancaman dari upaya-upaya penyebaran radikalisme
agama. Isu Radikalisme atas nama agama agaknya akan masih menjadi tantangan bagi
identitas politik kebangsaan Indonesia serta upaya-upaya preventif guna mencegah tersebar
luasnya pemahaman sempit atas nama agama.
Kata kunci: krisis identitas, politik kebangsaan, ketahanan nasional, radikalisme Islam.

Pendahuluan
Perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa merdeka tidaklah mudah tetapi ia
melewati jalan yang panjang dan menciptakan sejarahnya sendiri, seperti bangsa-bangsa
lainnya yang baru merdeka paska Perang Dunia II, yang berarti pula berakhirnya era
kolonial di negara-negara jajahan. Sebagai negara baru, Indonesia dihadapkan pada
sejumlah persoalan tidak hanya berjuang mempertahankan eksistensi dan kedaulatan
negara, namun juga berusaha menjaga stabilitas keamanan dalam negeri dari ancaman
disintegrasi nasional. Ritme politik yang tidak stabil, keadaan ekonomi yang tidak kondusif,
dan gangguan keamanan baik dari luar dan dalam negeri mendeskripsikan Indonesia
sebagai negara baru yang rapuh. Persoalan identitas politik kebangsaan kemudian
mengemuka diawal kemerdekaan Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-
satuya pandangan hidup dan upaya mempertahankannya hingga saat ini.
Paper ini akan membahas beberapa permasalahan terkait dengan isu krisis identitas
politik kebangsaansebagai dampak dari penyebarluasan paham radikalisme agama dengan

418
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
menggunakan paradigma identitas kolektif. Analisis mengenai isu ini akan difokuskan pada
beberapa hal, pertama, menjelaskan hubungan antara identitas politik kebangsaan dengan
kehidupan toleransi agama dan nasionalisme di Indonesia. Kedua, analisis komparatif
dengan menggunakan perspektif historis gerakan radikal di Indonesia sebelum dan sesudah
peristiwa peledakan World Trade Center (WTC) 11 September 2001. Penjelasan yang
terakhir berkenaan dengan transformasi gerakan radikalisme Islam sebagai bentuk ancaman
bagi keutuhan negara. Pembahasan mengenai isu ini juga akan menfokuskan pada
perspektif generasi muda Indonesia terhadap radikalisme agama.
Radikalisme, Identitas dan Nasionalisme: Kajian Pustaka
Definisi radikalisme Islam dan terrorisme sangatlah problematik, sebab dalam
banyak literatur, radikalisme Islam seringkali dipersepsikan sebagai gerakan radikal yang
identik pula dengan kata fundamentalisme, kebangkitan Islam, militan Islam, ataupun Islam
activism, Tan (2007:194). Akar sejarah radikalisme Islam sendiri sering dikaitkan dengan
ajaran teologi Islam yang dipopulerkan oleh Muhammad Ibnu Abdul-al Wahhab yang
kemudian lebih dikenal dengan Wahhabisme, yang berbasis pada pemahaman Salafi tentang
pemurnian Islam kembali. Wahhabisme dan Salafisme adalah dua hal yang berkaitan serta
diisukan sebagai basis pemahaman jihad yang digunakan oleh gerakan terroris atau radikal
Islam guna menciptakan kembali kekhalifahan Islam (Angel et al.2004). Padahal
pemahaman jihad dalam Islam tidak hanya berkutat pada jihad fisik semata seperti
peperangan, tetapi pemaknaan jihad mengandung pemaknaan serta perenungan yang dalam
dan senantiasa terhubung dengan kepercayaan ummat Islam akan alam akhirat, kehidupan
setelah meninggalkan dunia.
Selanjutnya, Tim Krieger dan Daniel Meierrieks dalam papernya yang berjudul
What causes terrorism? 
 mengemukakan adanya korelasi antara tingginya populasi,
pemerintahan otoriter yang tidak demokrastis dengan sebab-sebab berkembangnya
terrorisme. Krieger dan Meierrieks juga berpendapat bahwa populasi yang tinggi di suatu
negara dengan tingkat perekonomian yang maju dan penerapan politik terbuka tetapi dalam
banyak aspek negara tersebut tetap tidak stabil, tetap saja negara dengan kondisi demikian
merupakan target bagi berkembangnya terrorisme (2011:27). Deskripsi tersebut hampir
mendekati dengan kondisi Indonesia. Disatu sisi proses transisi dari rejim otoriter ke
demokrasi berjalan dengan dinamis diikuti dengan peningkatan perekonomian yang belum
signifkan, sementara disisi lain konflik kepentingan elit politik, korupsi terstruktur, dan
keamanan yang kurang kondusif menjadikan Indonesia sebagai target bagi penyebarluasan
radikalisme agama sebagai imbas dari berkurangnya rasa nasionalisme dan krisis identitas
kebangsaan sebagai bagian dari euforia kebebasan paska rejim otoriter.
Krisis identitas politik kebangsaan dapat dinilai sebagai isu yang mengawali
separatisme, konflik etnis-relijius, kerusuhan Mei 1998 hingga bermunculannya fenomena
gerakan moral ideologi yang menghendaki negara Islam Indonesia, seperti Majelis
Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir hingga gerakan Islam yang cenderung militan misalnya
Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI). Bahkan krisis identitas itu terus berlanjut dengan
bergabungnya warga negara Indonesia dalam organisasi terrorisme global yang lebih
ekstrim seperti ISIS.
Identitas politik atau apapun yang melekat dengannya adalah sesuatu yang dinamis
dan selalu bertransformasi. Menurut Alexander Wendt dalam Social Theory of International
Politics, identitas bukanlah bersifat given tetapi merupakan proses transformasi yang terus
berlangsung dan dinamis yang dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar identitas itu sendiri
(1999). Sama halnya dengan identitas politik kebangsaan Indonesia, meskipun Pancasila
sebagai lambang negara tidak pernah berubah sejak 1945 tetapi identitas masyarakat

419
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
tentunya mengalami transformasi yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor
eksternal sebagai efek globalisasi. Pertukaran ide, penyebaran paham berbasis online,
mengharuskan perlunya penguatan identitas nasional.
Selain itu, pemahaman identitas dapat bersifat bias.Identitas dapat berubah seiring
dengan kondisi dan situasi yang dialami oleh pihak tertentu. Dalam suatu kesempatan,
identitas dapat saja diartikan sebagai nasionalisme, agama, gender, atau status sosial.
Sedangkan, menurut Marranci (2006), proses identitas pada manusia dapat berfungsi
dikarenakan dua hal:pertama,identitasmemberikan kesempatan individu untuk mendapatkan
pengalaman akan potret diri mereka sendiri;kedua, indentitas memberikan kesempatan
setiap individu untuk mengekspresikannya melalui simbol-simbol tertentu. Jika demikian,
maka dapat diartikan bahwa representasi individu akan Pancasila adalah ekspressi simbol
identitas politik kebangsaan Indonesia. Sedangkan, representasi simbol-simbol gerakan
radikal seperti bendera juga dapat diartikan sebagai ekspressi simbol ideologi mereka.
Namun, secara tegasharus ada pembedaan antara Islam dan gerakan radikal yang
menggunakan simbol-simbol Islam adalah dua hal yang berbeda. Sebab, simbol-simbol
yang mereka gunakan sama sekali tidak mengekspressikan identitas ummat Islam
keseluruhan.
Dalam paper berjudul The Psychological Dynamics of Terrorism yang ditulis oleh
Jerrold M. Post (2006), dengan mempertimbangkan aspek psikologi, ia membedakan
terrorisme menjadi tiga hal, yaitu: gerakan nasionalis-separatis, revolusi sosial, dan
fundamentalisme agama-yang kemudian terbagi lagi menjadi terrorisme-plural-dan terroris
psikologi-plural. Ia mengatakan bahwa walaupun psikologi memainkan peran yang krusial
dalam memahami terrorisme tetapi tetap diperlukan pemahaman yang komprehensif dari
pendekatan berbagai displin ilmu, dari politik, budaya, ekonomi, ideologi, dan agama.
Terlebih lagi pendekatan keilmuan psikologi individual belumlah cukup untuk menyingkap
mengapa seseorang mau terlibat dalam terrorisme, apalagi melakukan suicide terrorism.
Selain itu Post juga menganalisis bagaimana hubungan dinamika sosial antar generasi
sebagai alasan keterlibatan mereka dalam terrorisme.

420
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin

Parents‘ Relationship to Regime

isloyal
Youth‘s
Relationship L loyal D amaged
issident
to Parents

Nationalist-
L loyal X 
Separatist
Terrorism

Social
D isloyal 
Revolutionary
Terrorism

Figur1. Post: Social and Generational Dynamics


(Richardson et al. 2006)

Berdasarkan tabel di atas, Post mendeskripsikan bagaimana hubungan orang tua


dengan rejim berkuasa dapat mempengaruhi keterlibatan generasi muda dalam gerakan
terrorisme. Jika orang tua memiliki loyalitas terhadap rejim dan anak loyal terhadap orang
tua mereka, maka kemungkinan kecil mereka akan terlibat terrorisme atau gerakan radikal.
Sedangkan, jika orang tua tidak loyal terhadap rejim tetapi anak loyal terhadap orang tua,
maka sangat dimungkinkan anak akan terlibat dalam gerakan nasionalis-terrorisme separatis.
Sebaliknya, jika orang tua loyal terhadap rejim tetapi anak tidak loyal terhadap orang tua
mereka, maka kemungkinan anak dapat terlibat dalam revolusi sosial-terrorisme. Justifikasi
Post tentang keterlibatan generasi muda dalam gerakan radikal secara psikologi ditentukan
oleh bagaimana hubungan mereka dengan para orang tua namun hal ini juga tidak dapat
digeneralisir.
Jika Post melihat hubungan antar individual punya peranan yang kuat dalam
memotivasi kecenderungan radikal seseorang, maka dengan menggunakan analisis gerakan
sosial politik yang dikemukakan Haferkamp dan Smelser (1992), radikalisme adalah
fenomena dari gerakan sosial yang lahir pada abad 20. Gerakan sosial politik menyebutkan
bahwa eksistensi mereka merupakan ekspresi anti globalisasi. Selain itu, gerakan sosial
politik juga mengakibatkan lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang eksklusif, yang
punya kecenderungan ekstrim bila berhadapan dengan kelompok diluar komunitas mereka.
Gerakan radikal Islam dapat diasumsikan sebagai fenomena gerakan sosial politik paska
Perang Dingin sebagai bentuk perlawanan hegemoni Barat. Sebab dalam banyak kasus,
gerakan radikal Islam melakukan target penyerangan terhadap simbol-simbol Barat.
Beberapa kasus pemboman oleh gerakan radikal Islam di Indonesia juga
memperlihatkan kecenderungan simbol-simbol Barat sebagai target, misalnya peristiwa bom
Bali, peledakan hotel JW Marriot, peledakan restoran cepat saji McDonald. Tetapi target
mereka semakin sporadis dengan menjadikan tempat peribadatan sebagai sasaran, tidak
421
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
hanya gereja namun juga masjid, misalnya saja peristiwa bom bunuh diri di Masjid Al
Dzikro di Komplek Mapolresta Cirebon pada tahun 2011 lalu.
Gerakan radikal di Indonesia adalah kasus yang unik karena kondisi Indonesia tentu
sangat jauh berbeda dengan di negara-negara di Timur Tengah yang mengalami krisis dan
konflik berkepanjangan. Sehingga dapat pula diasumsikan bahwa gerakan radikal di
Indonesia merupakan bentuk protes kepada pemerintahan yang dinilai pro Barat dan
cenderung kapitalis.

Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan akan memetakan tentang faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan terjadinya krisis identitas yang dikaitkan dengan isu radikalisme
dewasa ini. Selain itu akan memetakan bagaimana tingkat pemahaman generasi muda itu
sendiri tentang radikalisme agama.
Sumber Penelitian
Data diperoleh dari data primer maupun data sekunder. Data primer berasal dari
responden yang akan ditetapkan secara purposive dan melalui pengamatan lapangan.
Sedangkan, informasi mengenai isu radikalisme dan krisis identitas politik kebangsaan
didapatkan dari para informan terdiri dari para akademisi, praktisi dibidang keagamaan, para
rohaniwan, ulama, dan aktivis keagamaan. Data sekunder yang dikumpulkan melalui metode
kepustakaan, dengan mengumpulkan data-data dari media massa, buku, jurnal, dan internet.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik analisa interaktif (interactive model of analysis), berdasarkan Miles dan Hubermen
(1994) dalam Punch dengan bukunya yang berjudul ―Introduction to Social Research,
Quantitative, and Qualitative Approaches‖ (2005). Teknik ini meliputi tiga komponen, yaitu:
1. Data reduction, tahapan awalnya meliputi proses seleksi, pengelompokan data, dan
meringkas atau menyederhanakan data kasar yang ada dilapangan. Tahapan kedua
melakukan koding dan memberikan tanda pada data-data yang telah diperoleh dan
mengasosiasikan dengan aktivitas penelitian, seperti menentukan tema, kluster, dan pola.
Tahapan akhir yaitu konseptualisasi dan penjelasan dari data yang telah diperoleh. Data
yang didapatkan melalui hasil wawancara atau ringkasan data sekunder ini kemudian
yang diterjemahkan dalam bentuk laporan kemudian direduksi dan dipilih mana yang
sesuai dengan asumsi dasar bahwa ada kecenderungan mahasiswa pada umumnya untuk
mencari kebenaran intelektual yang terkadang justru membuat mereka terjerumus dengan
paham atau ideologi radikal (Sarsito, Winarni, dan Yudiningrum 2014)
2. Data display atau data penyajian adalah suatu informasi yang memungkinkan dapat
dilakukan, seperti matriks, gambar, grafik, dan lain sebagainya.
3. Conclusion drawing atau penarikan kesimpulan, yaitu metode pengorganisasian atau
pengumpulan data berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan sebelumnya sehingga
dapat ditarik kesimpulan
4. Pada awal pengumpulan data, peneliti berupaya memahami pattern atau pola sebab-akibat,
konfigurasi-konfigurasi, dan proposisi-proposisi. Peneliti bersifat terbuka dan skeptis,
sehingga kesimpulan yang pada mulanya kurang jelas dapat memiliki landasan yang kuat
dan argumentative (Sarsito, Winarni, dan Yudiningrum 2014).
Krisis Identitas Politik: Persimpangan di antara Ideologi
Islam adalah agama rahmatan lil‟ alamin, agama yang membawa rahmat dan
kesejahteraan bagi seluruh ummat manusiadan tidak mentolerir radikalisme atau tindakan

422
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kekerasan apapun dalam penyelesaian masalah. Hanya saja image Islam sebagai agama
perdamaian berbalik arah sejak peristiwa black September. Bersamaan dengan perang
melawan terrorisme global yang diinisiasi oleh Amerika Serikat dan sekutunya, maka
gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam pun mendapatkan simpati yang tidak sedikit
dari negara-negara Muslim, termasuk Indonesia sebagai negara dengan komunitas Muslim
terbesar di dunia. Dengan kata lain, Indonesia pun telah menjadi destiny bagi gerakan-
gerakan ekstrimis Islam yang dikhawatirkan akan menciptakan stabilitas keamanan serta
ancaman bagi kebinekaan.
Kenyataan tentang adanya perekrutan anggota gerakan terroris internasional di
Indonesia mengemuka sejak terjadinya bom Bali 2002 hingga saat ini. Integritas nasional
dan krisis identitas politik kebangsaan pun dipertanyakan kembali jika melihat kenyataan di
lapangan bahwa pemberitaan mengenai warga negara Indonesia yang berperang membela
negara lain atas nama jihad bukanlah kebetulan tetapi dilakukan dengan penuh kesadaran,
seperti kasus 16 warga negara Indonesia yang diduga bergabung dengan ISIS untuk
berperang di Syuriah setelah menghilang di Turki.
Tetapi bila menengok kembali sejarahtentang militansi Islam atau gerakan radikal
di Indonesia sebenarnya telah ada sejak era kolonial, ia adalah warisan masa lampau. Pada
masa awal pos kolonial, kelompok-kelompok Islam ekstrim melakukan perlawanan
gerilyawan terhadap Belanda dengan memobilisasi para ulama dan santri untuk ikut di
medan perang. Di Jawa Barat, politisi Masyumi Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo
memimpin kelompok militan Darul Islam, yang kemudian dideklarasikannya menjadi
Tentara Islam Indonesia (TII) dan menolak kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dibawah Komando Jendral Sudirman, Mietzner (2008:87). Bersamaan itu pula Kartosuwirjo
dan kelompoknya bertekad memisahkan diri dari Republik kesatuan Indonesia dan hendak
mendirikan negara Islam. Namun, gerakan radikal paska kemerdekaan hendaknya dicermati
dengan perspektif yang berbeda. Konstelasi politik dalam negeri dan tingkat global pada
masa itu tentu berbeda dengan kondisi dan situasi saat ini. Manipulasi politik sangat kental
di era itu, terutama atas ketidaksetujuan gerakan radikal terhadap ketidakjelasan sistem
pemerintahan yang mengadopsi demokrasi yang merupakan simbol Barat. Gerakan-gerakan
radikal di Indonesia selanjutnya merupakan bentuk protes terhadap sistem pemerintahan
baik itu sistem komunis maupun kapitalis karena dinilai tidak sesuai dengan pemahaman
Islam yang mereka anut.
Pada masa Orde Baru, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dan meskipun ia
seorang Muslim tetapi dalam banyak literatur ia cenderung mempraktekkan aliran
kepercayaan Jawa di awal masa pemerintahannya, MacDonald, (1980:12). Hal itu
kemungkinan dikarenakan pengaruh dari shaman (dukun) yang bernama Kiai Daryatmo,
yang menggabungkan Al Qur‘an dan aliran kepercayaan Jawa (meditasi dan mistisme,
semedi, dan kebatinan) sejak ia anak-anak (Aspinall and Fealy 2010). Tidak mengherankan
apabila Soeharto menggabungkan Pancasila dengan nuansa Jawa yang sangat kuat. Selain
itu, di era Soeharto pula, partai-partai politik Islam dilebur menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sehingga otomatis menggerus kekuatan Islam di Indonesia, sekaligus
mampu menekan kekuatan Islam di akar rumput dan kekuatan militan Islam yang tidak
setuju dengan sistem kapitalisme dan sekulerisme yang diusung pemerintah Soeharto.
Tetapi disatu sisi, di era Soeharto, kebangkitan nasionalisme melalui program propaganda
di media (TVRI), program-program masyarakat hingga pendidikan berjalan dengan efektif.
Meskipun terkesan represif, tetapi identitas politik kebangsaan benar-benar masuk ke dalam
sendi kehidupan bangsa dan bernegara.

423
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Ibarat bangunan yang tampak kokoh dari luar, peristiwa 1998 yang bermula dari
krisis moneter dengan cepat mampu membalikkan keadaan. Represif dan kontrol
pemerintah pusat ternyata tidak mampu membendung semangat kebebasan masyarakat yang
terprovokasi oleh kesulitan ekonomi. Setelah Soeharto mengundurkan diri, stabilitas politik,
ekonomi, dan keamanan di Indonesia belumlah membaik. Gerakan separatisme, konflik
etnis-agama, dan terrorisme terjadi selama awal Orde Reformasi bergulir.
Peristiwa-peristiwa yang mengawali masa transisi demokrasi sangat menguji
keberagaman di Indonesia (Bhinneka Tunggal Ika). Bahkan disebutkan oleh Clifford
Geertz, ―the call to national unity in the name of a shared ideal seems to be wasting asset‖,
Farhadian (2005:3). Indonesia adalah negara yang multikultur, multietnis, dan memiliki
keberagaman agama, tentu tidaklah mudah untuk mempertahankan kesatuan di tengah
keberagaman. Sehingga identitas adalah faktor yang urgen dalam menjaga keutuhan suatu
negara dari segala bentuk ancaman disintegrasi termasuk radikalisme agama.
Fenomena radikalisme tidak hanya lahir dalam agama Islam saja tetapi ia ada dalam
banyak agama, seperti Hindu, Nasrani, dan Yahudi. Huston Smith, seorang ahli
perbandingan agama yang menyebutkan bahwa golongan ekstrimis telah membajak Islam,
sebagaimana berlangsung secara berkala pada agama Kristem, Hindu dan agama-agama lain
dalam sejarah disebabkan ketidaktahuan tentang keyakinan mereka sendiri, Ruth (2010:50).
Hingga satu dekade berlalu paska runtuhnya gedung kembar WTC pada tahun 2001
lalu, isu mengenai radikalisme Islam belum juga mereda. Bahkan fenomena radikalisme
dirasa semakin meningkat dengan bermunculannya deklarasi gerakan-gerakan radikal
agama terutama di negara-negara benua Asia dan Afrika. Mereka menyebarluaskan paham
radikal, terutama pada generasi muda. Mereka tidak hanya direkrut menjadi anggota, tetapi
juga disiapkan untuk melakukan aksi suicide terrorism atau bom bunuh diri. Padahal dalam
Islam, aksi bunuh diri sangat dilarang kecuali dalam situasi konflik di Palestina yang masih
diperdebatkan oleh para ulama hingga saat ini.
Salah satu penyebab anarkisme dan fanatisme sempit adalah terjadinya pergeseran
identitas dikarenakan adanya proses transformasi yang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Proses transisi demokrasi dari rejim otoriter membawa perubahan yang sangat cepat.
Memaksa Indonesia melakukan politik terbuka tetapi diikuti oleh instabilitas keamanan
yang bermula dari krisis ekonomi yang mengalami puncaknya pada tahun 1998. Masyarakat
beropini bahwa krisis di negara mereka tidak semata-mata disebabkan oleh krisis ekonomi
global, melainkan terkikisnya perekonomian nasional yang lebih diakibatkan oleh korupsi,
kolusi, dan nepotisme pada jaman Orde Baru. Hal ini memicu ternjadinya krisis
kepercayaan terhadap nasionalisme dan ke-Indonesia-an yang diikuti dengan sejumlah
kasus konflik etnis-agama serta isu separatisme di berbagai wilayah di Indonesia.
Disamping itu pula,kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa yang menyertainya berimbas
lebih signifikan terhadap krisis identitas budaya di Indonesia. Sebab pada pertengahan
1990-an dampak globalisasi berperan lebih dari sebelumnya saat. Berakhirnya era Soviet
berdampak pada sistem kapitalisme yang menggurita dimana Indonesia ikut serta
didalamnya, memungkinkan segala aspek, termasuk budaya menjadi komoditas kapitalis
seperti yang diungkapkan oleh Melani Budianta (2010:511).
Globalisasi menyebabkan arus informasi berjalan dengan ritme yang sangat cepat
dan dinamis. Pemberitaan faktual di belahan bumi manapun dengan mudah didapatkan
melalui media internet, termasuk penyebaran paham radikal. Disamping itu pula kondisi
diperparah dengan kurangnya pemahaman nasionalisme pada generasi muda dewasa ini dan
pemaknaan simbol-simbol negara.

424
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Terkait dengan isu radikalisme, dalam sebuah survei terhadap 150 responden yang
berusia di antara 17-24 tahun, menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbatasan
pengetahuan mengenai istilah radikal. Istilah tersebut antara lain: a)Liberalisme;
b)Kapitalisme; c) Radikalisme; d) Wahhabisme; e) Fanatisme; f) Suicide Terrorism; g)Neo-
marxis; h)Utopis; i)Fundamentalisme; j)Terrorisme; k)Marxisme.

5%

11% 23%

10% 2%

13% 16%

20%

Figur 2. Jumlah responden yang tidak mengetahui


istilah radikalisme lebih dari tiga

2%
2%
5% 7%
26%
6%

5%

9%

38%

Figur 3. Jumlah responden yang tidak mengetahui


istilah radikalisme kurang dari tiga

Meskipun hasil survei dari responden tersebut tidak dapat mewakili pendapat semua
generasi muda tentang radikalisme, setidaknya hal ini memberikan gambaran bahwa
ternyata minimnya pengetahuan mereka akan paham radikalisme juga dapat dijadikan salah
satu indikator mengapa mereka ingin terlibat dalam gerakan radikal. Namun lebih dari 30

425
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
persen responden mengatakan bahwa paham radikalisme perlu dicegah dengan penguatan
identitas politik kebangsaan.

Figur 4. Pandangan Responden Mengenai Radikalisme

Perlu dicegah penyebarannya 32%


Tidak baik 27%
Tidak selalu negatif 13%
Identik dengan agama tertentu 8%
Hanya Istilah saja 7%
Biasa-biasa saja 5%
Sesat 5%
Tidak memberikan jawaban 4%

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa transisi menuju demokrasi dari rejim otoriter telah
membawa dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan bernegara bangsa Indonesia.
Di satu sisi, perubahan tersebut memberikan dampak yang positif dengan lahirnya
perpolitikan yang terbuka sehingga masyarakat dapat berpendapat, berpolitik, dan
berekspressi secara bebas tanpa kekhawatiran seperti di masa Orde Baru yang cenderung
militeristik.
Tetapi di sisi lain, kehidupan bebas itu juga memberi ruang bagi penyebarluasan
paham-paham ekstrimis atas nama agama dengan membungkusnya dalam hak asasi
manusia. Penyebarluasan paham radikal dewasa ini harus dibedakan dengan kondisi
radikalisme yang terjadi pada era kolonial maupun pos colonial diawal kemerdekaan
Indonesia. Jelas keduanya mengusung dua hal yang berbeda walaupun sama-sama
menentang sekuralisme dan kapitalisme serta bertujuan untuk mendirikan negara Islam.
Namun dewasa ini, paham radikal yang berkembang bukanlah lagi hanya berasal dari
gerakan radikal lokal, melainkan merupakan bagian dari organisasi terrorisme internasional
yang terstruktur secara terorganisir, dari segi perencanaan target, pendanaan, hingga
persenjataan yang mereka miliki.
Salah satu upaya untuk membatasi penyebarluasan paham radikal Islam adalah
melalui penguatan identitas politik kebangsaan khususnya terhadap generasi muda, yang
tentunya merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Selain itu faktor kurangnya
pengetahuan mengenai paham radikalisme juga menjadi sebab mengapa generasi muda lebih
mudah terpengaruh dengan isu-isu semacam ini.

Rekomendasi
Cara memperkuat identitas politik kebangsaan khususnya pada generasi muda
adalah melalui pendidikan. Dengan memberikan pengetahuan yang memadai seperti
mengadakan workshop, seminar ataupun penyuluhan, penanaman rasa nasionalisme sejak
dini, maka akan memperkuat pemahaman generasi muda bahwa merekalah yang akan
membangun Indonesia di masa yang akan datang. Selain itu hal-hal yang berkenaan dengan
keterbukaan dan menghargai orang lain akan mempersempit ruang gerak radikalisme.
Termasuk didalamnya hubungan didalam keluarga, antara para orang tua dan anak-anak
mereka.
426
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Daftar Pustaka
Abbas, Tahir.,ed. 2007. Islamic Political Radicalism: A European Perspective. Edinburgh
University Press.
Angel, Rabasa., eds. 2004. The Muslim World After 9/11. Santa Monica: CA RAND
Cooperation.Diakses tanggal 5 April 2015(www.dtic.mil/get-trdoc/pdf?AD =ADA429
640& Location=U2...)
Aspinall, Edward and Greg Fealy.,eds. 2010.Soeharto‟s New Order and its LegacyEssays in
honour of Harold Crouch. ANU E Press
The Australian National University.
Chen, Kuan-Hsing.2007.The Inter-Asia Cultural Studies. Routledge.
Haferkamp, Hans., and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity. Berkeley
University of California Press.
Krieger, Tim and Daniel Meierrieks. 2011. ―What Causes Terrorism?‖Public Choice. 147
(1/2): 3-27.
Lombardi, Marco. 2015. Violent Radicalisation Concern in Euro-Mediterranian Region.
Proceedings of NATO Advance Research Workshop on Countering Violent
Extremism Among Youth to Prevent Terrorism Milan, Italy. IOS Press BV: 83-100.
Mietzner, Marcus. 2008.Military Politics, Islam and the State in Indonesia From Turbulent
Transition to Democratic Consolidation. Singapore:Institute of Southeast Asian
Studies.
Mille, David L. 2013. Introduction to Collective Behavior and Waveland Press, Inc.
Ruth, Dyah Madya. 2010. Memutus Mata Rantai Radikalisme. Lazuardi Birru. Jakarta.
Solo Pos. 2015. Wni Gabung Isis, Antisipasi ISIS, Warga Solo Diawasi Sampai Tingkat RT.
Diakses tanggal 6 April (http://www.solopos.com/2015/03/27/wni-gabung-isis-antisi
pasi-isis-warga-solo-diawasi-sampai-tingkat-rt-588921)
Solo Pos. 5 Warga Sukoharjo Diduga Terlibat ISIS. Diakses tanggal 6 April
2015(http://www.solopos.com/2014/08/07/isis-di-solo-5-warga-sukoharjo-di duga-
terlibat-isis-524438)
Suara NTB. 2015. Antisipasi Gerakan Radikal. Diakses tanggal 7 April 2015
(http://suarantb.co.id/20150410/antisipasi-gerakan-radikal.html)
Surahman, Susilo dan Retno Pangastuti. 2015. “Kekerasan dengan Praktik Integrasinya
dalam Perspektif Radikalisme Agama.” Jurnal Penelitian Agama dan Humaniora.
3(2): 55-74.
Tan, Andrew T.H., ed. 2007. A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia.
Edward Elgar Publisher.
Tempo Interaktif. 2011. Polisi Pastikan Syarif Pelaku Bom Bunuh Diri Cirebon. Diakses tanggal 5
April 2015 (http://www.tempo.coread/news/2011/0418/ 063328324/Polisi-Pastikan-
Syarif-Pelaku-Bom-Bunuh-Diri-Cirebonan M Syarif sebagai tersangka pelaku bom
bunuh diri.)
Tempo.2015. Warga Indonesia jadi Target Utama Perekrutan ISIS. Diakses tanggal 5 April
2015 (http://www.tempo.co/read/fokus/2015/03/13/3128/Warga-Indonesia-Jadi-Target-
Utama-Perekrutan-ISIS)
Waspada Gerakan Radikalisme. Diakses tanggal 7 April 2015 2015.
(http://sukoharjokab.go.id/2015/03/09/waspada-gerakan-radikalisme/)
Winarni, Leni, Totok Sarsito, dan Firdastin Ruthnia Yudiningrum. 2014. Mencegah
Berkembangnya Ideologi Radikal di Kalangan Mahasiswa UNS. Hasil Penelitian
LPPM UNS. Surakarta.
Winarni, Leni. 2014. ―Media Massa dan isu Radikalisme Islam.‖Jurnal Komunikasi Massa
Fisip UNS. 7(2):159-166.

427
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN BANTUAN TUNAI MODEL CCTs UNTUK
MENDUKUNG EFEKTIVITASKEBIJAKAN KOMPENSASI BBM

Lestariningsih1; Rahesli Humsona2; Thomas Aquinas Gutama3


Ilmu Administrasi Negara1;Sosiologi2; Sosiologi3
FISIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta
lestari0315@gmail.com1; rahesli64@gmail.com2; thomasaquinasgutama@rocketmail.com3

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model kebijakan bantuan tunai untuk
rakyat miskin dengan model conditional cash transfers (CCTs). Model ini dikembangkan
untuk memperbaiki kelemahan kebijakan bantuan tunai tanpa syarat atau Unconditional
Cash Tranfers (UCTs)-semacam BLT dan BLSM-yang dinilai kurang mampu
memberdayakan masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
pemerintah dalam pengembangan program bantuan tunai guna mendukung efektivitas
kebijakan kompensasi BBM.
Untuk mewujudkan tujuan ini, penelitian dilakukan selama dua tahun. Tahun
pertama untuk mengidentifikasi: 1) efektivitas implementasi program BLSM, 2) faktor-
faktor yang mempengaruhi efektivitas program, dan 3) rekomendasi perbaikan program dan
usulan model kebijakan CCTs. Tahun kedua penelitian dilakukan untuk merumuskan dan
menguji coba model kebijakan bantuan tunai model CCTs.
Hasil penelitian tahun pertama menemukan bahwa kebijakan program BLSM
disusun terburu-buru, sehingga tidak dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek
yang terkait. Komunikasi antar pihak yang berlangsung kurang serasi, basis data yang
digunakan kurang up to date. Penyaluran dana tahap awal kurang tepat sasaran. Program
UCTs ini tidak ideal sebagai program kompensasi kenaikan BBM, sehingga penelitian ini
merekomendasikan untuk mengembangkan program kebijakan dengan model CCTs pada
tahun kedua.
Kebijakan model CCTs yang ditawarkan member catatan agar program kebijakan ini
mensyaratkan penerima bantuan untuk mengemukakan prioritas alokasi bantuan yang
diterima, dan mempertanggung jawabkannya setelah bantuan digunakan. Misalnya syarat
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, ekonomi atau kebutuhan yang lain.
Untuk mencapai efektivitas kebijakan maka program harus disusun dengan matang, basis
data harus up to date, komunikasi antar pihak yang terlibat harus dibangun, dan sebaiknya
diujicoba kepada kelompok kecil terlebih dahulu.
Kata kunci: CCTs, efektivitas kebijakan, kompensasi BBM

Pendahuluan
Ditariknya sebagian subsidi pemerintah untuk energipada Juni 2013
telahberakibatpada kenaikan harga BBM, yang berdampak langsung pada meningkatnya
berbagai harga bahan pokok. Pendapatan masyarakat yang tidak meningkat mengikuti
kenaikan harga, telah menambah berat beban masyarakat, dan membuat angka kemiskinan
penduduk Indonesia meningkat tajam. Untuk membantu masyarakat miskin dalam mengatasi
kesulitan ekonomi akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) maka pemerintah
mengalokasikan dana dari APBN dengan program yang disebut Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM).
BLSM merupakan salah satu dari beberapa program kompensasi untuk mengurangi
dampak pencabutan subsidi BBM, yakni Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan

428
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Sosial (P4S) dan Program Khusus. Program P4S merupakan percepatan dan perluasan atas
tiga program yang selama ini telah dilaksanakan pemerintah meliputi, Program Raskin,
Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Sedangkan untuk
Program Khusus pemerintah menyiapkan dua program kegiatan yakni, BLSM dan Program
Infrastruktur Dasar.
Dana BLSM senilai Rp9,3 triliun diditribusikan kepada 15,5 juta kepala keluarga
miskin di Indonesia. Setiap keluarga miskin menerima Rp 150.000 perbulan selama 4 bulan,
diberikan tiap dua bulan. Selama ini pemerintah telah mengucurkan banyak dana untuk
program yang penekanannya lebih pada sisi suplai. Namun kenyataannya tetap saja banyak
masyarakat miskin yang tidak bisa mengakses. Untuk memperbaiki kondisi itu, pemerintah
mengeluarkan program BLSM yang langsung menyentuh ke sisi permintaan
(http://www.menkokesra. go.id).
Program BLSM, sama dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT), sifatnya
unconditional cash transfers (UCTs) yaitu bantuan tunai tanpa syarat. Jadi penerima bantuan
dapat memanfaatkan bantuan ini untuk keperluan apapun. Kelemahan subsidi model UCTs
adalah penerima bantuan bisa memanfaatkan uang tunai yang diterima untuk kebutuhan non
rumah tangga, seperti untuk beli rokok, minuman keras, judi, dan lain-lain. Selain itu,
evaluasi terhadap program BLT juga menemukan banyak kasus salah sasaran dan konflik
antara masyarakat dan aparat pelaksana distribusi bantuan di lapangan. BLT juga dinilai
tidak efektif mengentaskan kemiskinan justru meninmbulkan ketergantungan keluarga
miskin pada bantuan pemerintah (Humsona, 2005; Suryawati, 2007; Pujihartati dan
Humsona, 2008; Febriany dan Suryahadi, 2012).
Berbeda dengan subsidi tunai tak bersyarat (UCTs), subsidi bersyarat (CCTs) tidak
hanya mengatasi satu dimensi kemiskinan, yakni konsumsi, tetapi juga kesehatan,
pendidikan dan pelayanan dasar lain. Bantuan ini juga dikaitkan dengan status si penerima.
Misalnya, program CCTs Bolsa Familia di Brazil ditujukan untuk memperbaiki kualitas
sumber daya manusia seperti untuk pendidikan dan kesehatan. Karena itu program ini
mensyaratkan penerima program adalah keluarga yang memiliki anak-anak usia sekolah (6-
15 tahun), atau wanita hamil sampai anak ketiga, atau keluarga yang sangat miskin. Program
Bolsa Familia dinilai berhasil meningkatkan tingkat kehadiran di sekolah , mengurangi
tingkat putus sekolah dan pekerja anak (Soares, Ribas dan Osorio, 2010).
Program CCTs secara politis lebih bisa diterima oleh masyarakat, terutama bukan
penerima program, karena ada persyaratan tertentu bagi penerimanya. Evaluasi terhadap
model ini menyimpulkan program CCTs lebih efektif untuk perbaikan kualitas sumber daya
manusia miskin karena model ini tidak hanya memperbaiki tingkat konsumsi tapi juga
komposisi konsumsi. Program ini mendukung kesetaraan gender, karena memberi
kesempatan bagi anak gadis untuk mengenyam pendidikan dan memberikan pelayanan
kesehatan perempuan (Wikipedia).
Melihat keuntungan atau kelebihan dari CCTs, maka penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kelemahan model UCTs dengan melihat bagaimana implementasi program
BLSM, danhambatan atau masalah apa saja yang muncul di lapangan. Selanjutnya
dikembangkan model kompensasi BBM model CCTs yang tepat untuk membantu
masyarakat miskin mengatasi dampak dicabutnya subsidi BBM.
Tinjauan Pustaka
Conditional Cash Transfers (CCTs) : Arti dan Kelebihannya
Bantuan tunai atau cash transfer merupakan model kebijakan pengentasan
kemiskinan berupa pemberian uang tunai kepada keluarga miskin. Ada tiga bentuk cash
transfer (Febriany dan Suryahadi, 2012) yaitu unconditional cash transfers (UCT),

429
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
conditional cash transfers (CCT), dan cash for work. UCT adalah bantuan tunai tanpa
syarat, penerima bantuan bebas menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan apa saja.
CCT adalah bantuan uang tunai untuk keluarga miskin yang diberikan dengan syarat-
syarat tertentu, umumnya untuk tujuan human investment atau pengembangan kualitas
sumber daya manusia, misalnya untuk beaya pendidikan atau kesehatan anak (Janvry and
Sadoulet, 2004; Fiszbein dan Schady, 2009; Baird, McIntosh, dan Ozler,2011). Cash for
work programs adalah bantuan uang dalam bentuk upah kerja membangun infrastruktur
publik, disini pemerintah menyediakan kesempatan kerja sementara biasanya dalam
program pembangunan sarana prasarana umum yang bersifat padat karya.
Model CCTs dinilai lebih bisa diterima secara tehnis dalam arti tujuan kebijakan
benar-benar sesuai dengan praktek implementasi, dan secara politis model ini juga
mendapatkan dukungan dari masyarakat bukan penerima bantuan (non-beneficiaries) karena
bantuan diberikan untuk pemenuhan kebutuhan tertentu (Febriary dan Suryahadi, 2012).
Dukungan politis juga diberikan oleh para pengambil kebijakan maupun aparat pemerintah
dalam arti mereka bersedia untuk melanjutkan bahkan memperluas cakupan program (Das,
Toan Do, dan Ozler, 2005).
Beberapa penelitian evaluasi terhadap program CCTs membuktikan bahwa
implementasi model CCTs di banyak Negara telah mampu meningkatkan tingkat
pendaftaran sekolah (school enrollment) dan pelayanan kesehatan di kalangan penerima
bantuan. CCTs mampu mengurangi kesenjangan akses terhadap pelayanan pendidikan dan
kesehatan dasar, terutama di Negara-negara dimana akses anak perempuan terhadap
pendidikan sangat rendah seperti Banglades, Pakistan dan Turki (Fiszbein dan Schady,
2009).
Model CCTs juga dinilai lebih taat aturan dan relatif tidak korup. CCTs terbukti
mampu membantu generasi berikutnya. Dengan mensyaratkan anak untuk bersekolah dan
memeriksakan kesehatannya. Program ini membuat anak-anak lebih terdidik dan lebih sehat
dibanding orang tua mereka (http://www.economist.com/node/16693323). Karena kelebihan-
kelebihan ini, program CCTs menjadi popular di kalangan politisi dan badan pembangunan
internasional, selain karena sangat efisien, model CCTs mampu mewujudkan transfer
sumber daya ke kelompok miskin (Janvry dan Sadoulet, 2004).
Kelemahan CCTs adalah model ini menuntut dukungan biaya administrasi yang
besar untuk mengawasi kepatuhan kelompok sasaran dalam memanfaatkan bantuan,
misalnya apakah anak-anak dari keluarga penerima bantuan benar-benar masuk sekolah
dengan teratur atau balita dikontrol rutin kesehatannya ke klinik kesehatan. Di Indonesia,
ongkos administrasi model UCT sekitar 8 persen dari anggaran program, sebaliknya biaya
administrasi CCT lebih tinggi kira-kira 18 persen dari anggaran program. Separo biaya
administrasi ini dihabiskan untuk monitoring kesesuaian program (Febriary dan Suryahadi,
2012).
Evaluasi Program BLSM
Evaluasi kebijakan merupakan tahap terakhir dalam alur proses kebijakan publik.
Melalui evaluasi dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan atau program,
sehingga studi evaluasi diarahkan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan. Evaluasi juga
menilai keterkaitan antara teori atau tujuan kebijakan dengan praktek atau implementasinya,
dalam arti menilai sejauh mana tujuan implementasi kebijakan mampu mewujudkan hasil
atau dampak kebijakan. Apakah dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.
Dari hasil evaluasi pula dapat dinilai apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat
atau tidak bagi kelompok sasaran program (ttp://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id/).

430
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Oleh Lasswell dan Kaplan seperti dikutip Islami (1994:16), kebijakan diartikan
sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai, dan praktek yang terarah. Sedang
menurut Anderson adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti
dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah
tertentu. Penekanan kedua pendapat tersebut bahwa kebijakan (policy) adalah rangkaian
tindakan tindakan dengan tujuan untuk memecahkan masalah, yang dilakukan setelah adanya
keputusan atas berbagai alternatif.
Agar efektivitas kebijakan dapat tercapai seperti yang diinginkan, maka perlu
dilakukan evaluasi, yaitu proses penilaian untuk mengukur performance dan hasil yang
diperoleh dengan tujuan atau target yang telah ditentukan sebelumnya, yang hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan program di masa-masa yang akan
datang.
Evaluasi menurut Dunn (1998:132) adalah prosedur analisis yang digunakan untuk
menghasilkan informasi mengenai nilai atau manfaat dari serangkaian aksi di masa lalu dan
atau masa depan. Sementara menurut Islami (1994:113), Charles O Jones mengartikan
evaluasi kebijakan sebagai suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil program
pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi
objeknya, teknik-teknik pengukurannya dan metode analisisnya.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa evaluasi mengandung beberapa pengertian
(Islami, 1994:113). Pertama, dari sudut spesifikasi objeknya berarti menilai hasil berbagai
macam program yang dilaksanakan pemerintah berkaitan dengan masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat. Kedua, dari sudut tekbik penilaian merupakanncara untuk
mengumpulkan data yang diperlukan untuk menilai hasil dari program-program pemerintah.
Ketiga, dari sudut metode analisisnya akan dapat menunjukkan hasil akhir (kesimpulan) dari
kegiatan menilai program-program pemerintah tersebut, apakah efektif atau tidak,
mempunyai dampak positif lebih besar daripada negatifnya atau sebaliknya.
Adapun fungsi dari evaluasi kebijakan adalah untuk mengetahui empat aspek
(Wibawa, 1994:9), yaitu proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi
kebijakan dan efektivitas dampak kebijakan. Agar tujuan kebijakan tercapai, maka proses
implementasi harus dijaga sebaik mungkin, dan seandainya kebijakan tetap gagal mencapai
tujuan, maka penyebab kegagalan harus diketahui agar hal yang sama tidak terulang di masa
mendatang, dan untuk itulah sebenarnya evaluasi kebijakan dilaksanakan.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi kebijakan dengan pendekatan kualitatif
deskriptif, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang efektivitas implementasi
program BLSM dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Sampel penelitian ini diambil dari
kelompok sasaran BLSM yaitu rumah tangga sasaran (RTS), pemimpin formal dan informal
seperti ketua kelompok pengajian, ketua RT/RW, lurah dan camat, pemerintah kota, institusi
penyalur dana serta institusi pemerintah dan swasta yang terlibat dalam aktivitas tersebut..
Sampling menggunakan teknik purposive.
Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, baik berupa data primer maupun
data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yakni dari
kelompok sasaran, pemimpin formal dan informal, ketua RT/RW, lurah dan camat,
pemerintah kota/SKPD, kantor pos, serta institusi pemerintah dan swasta yang terlibat
dalam penyaluran dana BLSM tahun 2013.
Pengambilan data primer diperoleh melalui teknik observasi, wawancara mendalam
dan focus group discussion (FGD) (Krueger, 1994; Irwanto, 2006). Data sekunder dengan

431
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
menggunakan teknik dokumen.Teknik analisis kualitatif yang digunakan adalah model
analisis interaktif yang memiliki tiga komponen yakni reduksi data, penyajian data,
penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992). Analisis juga dilakukan bersama-sama
informan yang terlibat dalam pengumpulan data. Untuk menjamin validitas data digunakan
triangulasisumber dan metode (Moleong, 2002: 178).

Pembahasan
Sekilas Program BLSM 2013
Seiring dengan besarnya beban subsidi BBM yang semakin berat dan risiko
terjadinya defisit yang harus ditanggung oleh pemerintah, serta adanya selisih harga BBM
dalam negeri dibanding dengan luar negeri yang memberi peluang peningkatan
penyelundupan BBM keluar negeri, maka pemerintah memandang perlu mereview kebijakan
tentang subsidi BBM. Subsidi yang selama ini dinikmati juga oleh golongan masyarakat
mampu dialihkan untuk golongan masyarakat miskin.
Kebijakan baru pengalihan subsidi BBM, selain melalui program BLSM untuk
Rumah Tangga dengan kondisi sosial terendah juga diperuntukkan bagi pembebasan biaya
pendidikan pada tingkat tertentu, biaya pengobatan pada masyarakat miskin, subsidi beras,
subsidi minyak goreng, subsidi gula, dan pembangunan prasarana pedesaan. Kebijakan
pengalihan subsidi BBM ini juga disinergikan dengan kebijakan Pemberdayaan Masyarakat
melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), sehingga skema
perlindungan sosial bagi masyarakat miskin tetap mendorong keberdayaan sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN
Tahun 2013, Pemerintah menetapkan Skema Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
(PKPS) BBM tahun 2013 yang diselenggarakan dalam rangka kebijakan perlindungan Sosial
(social protection) melalui asistensi sosial (social assistance), diberikan dalam bentuk
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat tanpa syarat kepada Rumah Tangga dengan
kondisi sosial terendah (unconditional cash transfer) sesuai hasil pendataan yang
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (PPLS 2011) yang dikelola Pusat Basis Data
Terpadu TNP2K.
Tujuan BLSM, yaitu pertama, membantu masyarakat miskin agar tetap dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya. Kedua, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat
miskin akibat kesulitan ekonomi. Dan ketiga, meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.
Sedangkan Sasaran BLSM,adalah Rumah Tangga Sasaran sebanyak 15.530.879 Juta
keluarga hasil BPS (PPLS 2011). Jumlah ini meliputi Rumah Tangga Sangat Miskin
(poorest), Rumah Tangga Miskin (poor) dan Rumah Tangga Hampir Miskin (near poor) di
seluruh wilayah Indonesia.
Regulasi Program BLSM
Regulasi sebagai dasar pelaksanaan Program BLSM adalah instrumen kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang berupa Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun
2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota,
instrumen kebijakan pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial
(P4S) dan Program Kompensasi Khusus yaitu Inpres nomor 5 tahun 2013 tentang Sosialisasi
Kebijakan Penyesuaian Subsidi BBM.
Berdasarkan regulasi tersebut, kemudian disusun petunjuk teknis untuk
melaksanakan tahapan penyelenggaraan BLSM. Tahapan tersebut dimulai dengan
penyaluran BLSM, yang merupakan tahapan paling penting dalam program BLSM. Agar

432
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
dana yang telah disiapkan oleh pemerintah pusat benar-benar efektif dan efisien maka
pemerintah pusat memilih untuk menyalurkan bantuan langsung tanpa melalui pemerintah
daerah. Mekanisme penyaluran BLSM pada tahun 2013 ini diselenggarakan atas kerjasama
antara PT Pos dengan Kementerian Sosial RI. Kementerian Sosial melalui KPPN JKT II
mentransfer dana untuk pembayaran BLSM melalui rekening Pos Indonesia. Setelah itu dana
dan segala perlengkaan BLSM didistribusikan ke Kantor Pos kabupaten/kota. Di kabupaten,
Kantor Pos berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda), terutama mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan jadwal pembayaran, pengamanan, lokasi bayar, sarana dan prasarana
dan dukungan pemda. Setelah berkoordinasi Kantor Pos melakukan pembayaran BLSM
kepada masyarakat yang menerima melalui Kantor Pos cabang untuk memudahkan
aksesibilitas masyarakat.
Efektivitas Program BLSM dan Faktor-faktor Penyebabnya
Penyiapan program BLSM
Kendati telah disiapkan mekanismenya, sesungguhnya program BLSM merupakan
kebijakan yang diputuskan dalam waktu singkat.Kebijakan BLSM ini diputuskan pasca DPR
menyetujui ABPN Perubahan 2013 dimana di dalamnya juga berisi pengurangan subsidi
BBM dan persetujuan kenaikan harga BBM. Atas dasar tersebut kemudian pemerintah
segera menyiapkan kebijakan pendamping berupa program perlindungan sosial, yang salah
satunya barupa BLSM.
Terbatasnya waktu pelaksanaan menjadikan program nasional ini tidak memiliki
cukup persiapan dan perencanaan, sehingga program ini tidak dapat diselenggarakan secara
optimal. Hal ini misalnya dapat dilihat dari banyaknya KPS yang tidak sampai ke tangan
rumah tangga sasaran (retur), akibat penerima BLSM sudah meninggal, pindah rumah, atau
ditolak karena tidak layak untuk mendapatkan BLSM. Sementara di lain pihak masyarakat
yang betul-betul membutuhkan justru banyak yang tidak mendapatkan KPS. Kondisi tersebut
sempat mengakibatkan keresahan dalam masyarakat.
Untuk mengurangi jumlah KPS yang tidak sampai sasaran, maka setelah jadwal
pembagian BLSM diadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BLSM di Jakarta. Pada
saat rakornas tersebut kemudian Dinas Sosial daerah diinstruksikan untuk berperan serta
dalam penyelenggaraan BLSM. Peran serta terutama dilakukan dalam upaya mengatasi
masalah selama penyelenggaraan BLSM dan meningkatkan Kinerja Dinas Sosial daerah
berkaiatan dengan data penerima BLSM.
Instruksi dari Pemerintah Pusat kemudian dapat ditindaklanjuti dengan melibatkan
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). TKSK yang merupakan bagian dari Dinas
Sosial yang pada awalnya bertugas untuk mendampingi dalam pembagian raskin. Namun
karena adanya permasalahan data penerima BLSM, TKSK kemudian ditugaskan untuk
mencari KPS pengganti. Selain ke Dinas Sosial, instruksi juga secara khusus diterbitkan
oleh Kementerian Dalam Negeri. Kementerian ini memberikan instruksi kepada perangkat
daerah mulai dari gubernur, bupati, walikota untuk terlibat dalam penyelenggaraan BLSM.
Mereka antara lain dilibatkan dalam proses pengawasan penyelenggaraan BLSM serta dalam
mengatasi permasalahan di masyarakat. Oleh sebab itu, pejabat daerah seperti
bupati/walikota ditugaskan untuk menginstruksikan camat dan lurah untuk juga terlibat
dalam penyelenggaraan BLSM.
Basis Data Penerima BLSM
Sebagai kebijakan nasional, program BLSM diselenggarakan di seluruh daerah di
Indonesia. Penyelenggaraan Program BLSM di Kota Surakarta meliputi proses penetapan
Rumah Tangga Sasaran (RTS), Pembagian BLSM, dan Pemanfaatan BLSM oleh
masyarakat. Penetapan rumah tangga sasaran merupakan bagian terpenting dalam program

433
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
perlindungan sosial. Hal ini tidak lain karena ketepatan penerima manfaat ditentukan dari
proses ini. Selain itu, proses penetapan rumah tangga sasaran juga menentukan efektivitas
pendistribusian Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai syarat pengambilan BLSM di
Kantor Pos.
Ada berbagai metode yang biasanya digunakan pemerintah untuk menentukan
penerima manfaat program perlindungan sosial. Metode-metode tersebut antara lain metode
penentuan berbasis masyarakat, dimana pemerintah memungkinkan anggota masyarakat
setempat untuk memilih penerima manfaat dengan mempercayai bahwa masyarakat
memiliki informasi yang lebih baik tentang tingkat kemiskinan warganya. Adapula metode
yang memprediksikan pendapatan sebuah rumah tangga dengan cara mengumpulkan
informasi sederhana tentang aset yang mereka miliki. Pengumpulan informasi ini dapat
dilakukan setelah petugas menentukan indikator tertentu sebelumnya.
Namun dalam pelaksanaan BLSM tahun 2013 ini pemerintah daerah maupun
masyarakat tidak menjumpai adanya proses-proses tersebut. Hal ini dapat diidentifikasi dari
banyaknya pihak merasa tidak dilibatkan dalam penentuan data penerima BLSM. Bahkan
kelurahan, danjuga RT/RW mengetahui daftar warganya yang mendapatkan BLSM saat
pihak Kantor Pos datang ke kelurahan tersebut untuk meminta kelurahan mendistribusikan
KPS. Sebelumnya tidak pernah ada informasi terkait daftar warga yang menerima BLSM.
Begitupun kelompok sasaran BLSM merasa tidak pernah didata. Mereka merasa tidak
pernah ada petugas yang datang untuk mendata atau bertanya tentang kelayakan
mendapatkan BLSM.
Penetapan rumah tangga sasaran (RTS) dalam penyelenggaraan BLSM pada tahun
2013 dilakukan secara top down,langsung oleh pemerintah pusat. Basis data yang digunakan
adalah Basis Data Terpadu (BDT) untuk Program Perlindungan Sosial yang dikelola oleh
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). BDT adalah sebuah
system yang dapat digunakan untuk perencanaan program dan mengidentifikasi nama dan
alamat calon penerima bantuan sosial, baik rumah tangga, keluarga maupun individu
berdasarkan kriteria-kriteriasosial-ekonomi yang ditetapkan oleh pelaksana program.
BDT dibangun dari hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS
2011) yang dilaksanakan oleh BPS. PPLS 2011 mendata sekitar 40% rumah tangga di
seluruh Indonesia yang paling rendah status sosial ekonominya, yang awalnya diidentifikasi
melalui pemetaan kemiskinan (poverty map) dengan memanfaatkan hasil Sensus
Penduduktahun 2010, Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 2010 dan Potensi Desa (PODES).
Selainitu, petugas PPLS 2011 juga mendata rumah tangga lain yang diduga miskin
berdasarkan informasi dari rumah tangga miskin lainnya (dengan melakukan konsultasi
dengan penduduk miskin selama proses pendataan), serta hasil pengamatan langsung di
lapangan.
Dengan menggunakan BDT dari TNP2K tahun 2011, maka stakeholder di tingkat
daerah tidak dilibatkan dalam penetapan RTS penerima BLSM. Pihak-pihak yang terlibat
seperti walikota, Dinas Sosial, Kantor Pos, Camat, Lurah, RT, RW maupun TKSK pada
dasarnya hanya menyalurkan apa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Mereka
hanya mengupayakan bagaimana BLSM sampai ke masyarakat. Data penerima BLSM pun
untuk wilayah Surakarta telah diterima dari pusat yang rinciannya dapat dilihat dari table
berikutini:
Dinas Sosial juga tidak dilibatkan dalam Penetapan RTS oleh pemerintah pusat.
Dinas Sosial hanya diminta mengikuti Rapat Koordinasi di Jakarta, dan dalam forum itu
ditetapkan sebagai penanggungjawab. Dalam rapat koordinasi tersebut diketahui bahwa
pemerintah pusat menggunakan data PPLS tahun 2011dengan alas an bahwa kebijakan

434
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kenaikan BBM dan kebijakan BLSM merupakan dua kebijakan yang dilaksanakan dalam
waktu berdekatan. Jika pemerintah melaksanakan survei ulang untuk mendata rumah tangga
yang layak mendapatkan BLSM maka membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang
lebih besar. Sehingga pemerintah memilih menggunakan data PPLS yang merupakan hasil
survei dari BPS. Hal senada juga dialami pihak Kantor Pos yang sama sekali tidak
mengetahui tentang data penerima RTS. Kantor Pos hanya bertugas untuk mengantarkan
KPS sesuai daftar nama yang telah ditetapkan tahun 2011.
Data program BLSM tahun 2013 tidak valid, karena menggunakan data PPLS 2011.
Jumlah penerima BLSM di Surakarta mencapai 29.043 rumah tangga, jauh lebih kecil dari
jumlah total masyarakat miskin di Surakarta yang mencapai 36.993 jiwa. Tidak
mengherankan jika kemudian ditemukan 717 KPS yang tidak sampai ke masyarakat akibat
hal-hal tersebut. Penggunaan data berdasarkan Keputusan pemerintah ini tidak
mempertimbangkan perubahan kondisi yang pasti sudah berbeda keadaannya. Hal ini
terbukti ketika ditemukan data warga masyarakat yang sudah meninggal, pindah domisili,
perubahan status ekonomi baik dari miskin menjadi mampu atau sebaliknya.
Penggunaandata PPLS 2011 ini mengakibatkan program BLSM masih belum
mampu meng-cover seluruh masyarakat miskin di Surakarta. Hal ini mendorong sebagian
warga kemudian mengajukan protes, baik ke tingkat RT, kelurahan, hingga Dinas Sosial.
Pihak kelurahan yang kemudian menjadi sasaran keluhan masyarakat tidak mampu
merespon dan mengatasi. Ketidaksesuaian data dengan kondisi nyata dalam masyarakat telah
menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan di antara warga.
Di samping kelurahan, ketua RT/RW yang berhubungan dengan masyarakat
langsung juga tidak mampu berbuat banyak. Saat ada masyarakat yang berkeluh kesah
karena tidak mendapatkan BLSM mereka hanya mampu menampung dan berkilah yang
menentukan pemerintah pusat. Namun mereka tidak mampu memberikan solusi. Mereka
juga tidak mampu menjadikan keluhan masyarakat ini untuk dijadikan dasar membuat
keputusan.
Komunikasi antar Pelaksana Tahapan BLSM
Dalam tahapan BLSM, pembagian BLSM dilaksanakan oleh Kantor Pos.
Penunjukkan Kantor Pos sebagai pelaksana pembayaran BLSM bukan untuk yang pertama
kali. Keberadaan kantor pos yang tersebar di seluruh Indonesia hingga ke tingkat-tingkat
kecamatan, diharapkan KPS dan BLSM dapat lebih cepat menjangkau masyarakat. Namun
dalam praktiknya tidak semua KPS diberikano leh petugas Pos kepada warga masyarakat.
Beberapa KPS justru diantarkan ke masyarakat oleh TKSK maupun kelurahan.
Pihak kelurahan bersedia membantu pendistribusian kartu oleh Kantor Pos yang
menyerahkan kartudan daftar penerimanya. Petugas kelurahan selanjutnya menyerahkan
kartu kepada warga yang berhak menerima sesuai nama yang tercantum dalam daftar.
Meskipun terjadi pelanggaran, di mana tidak semua KPS diantarkan langsung ke
masyarakat, namun masyarakat memaklumi hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa
dengan jumlah petugas Pos yang terbatas, sangat sulit untuk dapat mengantarkan semua
kartu yang banyak jumlahnya dalam waktu terbatas kepada masyarakat. Bila dipaksakan
kartu diantarkan langsung oleh petugas Pos, bias jadi justru akan banyak KPS yang terlambat
diterima warga masyarakat, sehingga pengambilan BLSM juga akan tertunda.
Masyarakat merasakan perubahan yang dilakukan oleh Kantor Pos. Masyarakat
merasa dimudahkan sehingga merasa puas. Kemudahan tersebut juga terlihat pada saat
observasi penelitian inidilakukan. Pihak Kantor Pos langsung memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang datang mengambil BLSM, sehingga masyarakat tidak perlu antri dan
menunggu lama.

435
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Untuk memudahkan masyarakat, Kantor Pos juga menyiapkan petugas khusus yang
mengarahkan sekaligus menjawab pertanyaan masyarakat yang masih kurang paham dengan
mekanisme pengambilan BLSM. Sementara itu, untuk mengatasi ketidakpahaman
masyarakat dalam proses pengambilan BLSM, Kantor Pos juga membagikan brosur yang
berisi mekanime pembayaran BLSM. Untuk memudahkan masyarakat, Kantor Pos
mempublikasikan rincian realisasi pembayaran BLSM di web
http://blsm.posindonesia.co.id/.

Kesimpulan
BLSM merupakan salah satu dari beberapa program kompensasi untuk mengurangi
dampak pencabutan subsidi BBM, yakni Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan
Sosial (P4S) dan Program Khusus. Dana BLSM senilai Rp 9,3 triliun diditribusikan kepada
15,5 juta kepala keluarga miskin di Indonesia. Setiap keluarga miskin menerima Rp 150.000
perbulan selama 4 bulan, diberikan tiap dua bulan. Program BLSM sama dengan program
BLT, sifatnya unconditional cash transfers (UCTs) yaitu bantuan tunai tanpa syarat. Jadi
penerima bantuan dapat memanfaatkan bantuan ini untuk keperluan apapun. Kelemahan
subsidi model UCTs adalah penerima bantuan bisa memanfaatkan uang tunai yang diterima
untuk kebutuhan non rumah tangga, seperti untuk beli rokok, minuman keras, judi, dan lain-
lain. Selain itu, evaluasi terhadap program BLT juga menemukan banyak kasus salah sasaran
dan konflik antara masyarakat dan aparat pelaksana distribusi bantuan di lapangan. BLT juga
dinilai tidak efektif mengentaskan kemiskinan justru menimbulkan ketergantungan keluarga
miskin pada bantuan pemerintah.
Dari pembahasan data dapatdisimpulkanbahwa:
Kebijakan program BLSM bukan merupakan kebijakan yang efektif sebagai kompensasi
kenaikanharga BBM.
Kebijakan program BLSM merupakan kebijakan yang terburu-buru, sehingga tidak
dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait.
Basis data yang digunakankurang up to date.
Komunikasi antar pihak yang berlangsung kurang serasi.
Program UCTs didugatidak ideal sebagai program kompensasikenaikanharga BBM.

Rekomendasi
Dari kesimpulan penelitian ini, rekomendasi yang dapat ditawarkan adalah
menyusun program kebijakan kompensasi yang bersifat CCTs, misalnya dari sisi pendidikan,
kesehatan, ekonomi dan sosial. Dengan cara itu, maka program kebijakan akan lebih efektif
dan berdayaguna bagi rumah tangga terdampak kenaikan harga BBM. Untuk mencapai
efektivitas program maka perlu disediakan waktu yang cukup untuk penyusunan program,
basis data yang valid, dan di antara pelaksana perlu dibangun komunikasi yang intensif.

Daftar Pustaka
Baird, Sarah.,McIntosh, Craig. & BergOzler. 2011. Cash or Condition? Evidence From A
Cash Transfer Experiment.http://ipl.econ.duke.edu/bread/papers/0511conf/Baird.pdf.
Diakses tanggal 18 Juni 2013.
Das, Jishnu,Toan Do, Quy & BerkOzler. 2005. Reassesing Conditional Cash Transfer
programs. Oxford University Press on behalf of the International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank. http://www.development.
wne.uw.edu.pl/ uploads/Courses/DW_cash_transfers2.pdf. Diakses tanggal 16 Juni
2013.

436
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi II, terjemahan oleh
Muhajir Darwin). UGM Press. Yogyakarta.
Febriany ,Vita dan AsepSuryahadi. 2012. Lessons from cash transfer programs in Indonesia.
http://www.eastasiaforum.org/2012/07/21/lessons-from-cash-transfer-programs-in-
indonesia/
Fiszbein, Ariel &SchadyNorbert. 2009. Conditional Cash Transfer , Reducing Present and
Future Poverty . The International Bank for Reconstruction and Development. The
World Bank.
Humsona, Rahesli. 2005. Respon Masyarakat terhadap Implementasi Program BLT.
Laporan Penelitian DIPA UNS.
Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Jakarta: Buku Obor.
Islamy, M Irvan. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara.
Jakarta.
Janvry, Alain de & ElisabethSadoulet. 2004. Conditional Cash Transfer Programs: Are They
Really Magic Bullets? http://are.berkeley.edu/~esadoulet/papers/ARE-
CCTPrograms.pdf. Diakses tanggal 15 Juni 2013.
Krueger, Richard A. 1994.Focus groups : A Practical Guide for Applied Research. Sage
Publications. California.
Miles, Matthew B & A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI
Press.
Moleong, Lexy J. 1995. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pujihartati , Sri Hilmi dan RahesliHumsona. 2008. Respons kelompok sasaran terhadap
program BLT Tahun 2008. Jurnal Dilema Vol 20 No. 1. ISSN 0215-9635
Soares, Fabio Veras. Ribas,Rafael Perez. &Rafael GuerreiroOsório, 2010. Evaluating the
Impact of Barazil‟s Bolsa Familia, Cash Transfers Programs in Comparative
Perspective. Latin American Research Review, Vol. 45, No. 2. The Latin American
Studies Association. Hal.173-190
Suryawati, Retno. 2007. Analisis Dampak Eksternalitas Program Bantuan Langsung Tunai
(BLT). Laporan Penelitian DIPA UNS
Wibawa.Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta
Sumber Website
Anonimus, Conditional-cash transfers are good. They could be even better. 29 Juli 2010.
http://www.economist.com/node/16693323. Diakses tanggal 15 Juni 2013.
Evaluasi Kebijakan Publik. http://rochyati-w-t-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-69585-
Umum-EVALUASI%20KEBIJAKAN%20PUBLIK.html Diakses tanggal 15 Juni
2013.
Mendagri : Data Penerima BLSM Disinkronkan dengan e-ktp. 19 Juni 2013.
http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/120696-Mendagri-:-Data-Penerima-
BLSM-Disinkronkan-dengan-e-ktp. Diakses tanggal 21 Juni 2013.
Menko Kesra: BLSM Dibagikan Bertahap Hingga Akhir 2013.
http://www.menkokesra.go.id/content/menko-kesra-blsm-dibagikan-bertahap-
hingga-akhir-2013 Diakses tanggal 21Juni 2013.
Program BLSM Disiapkan Selama 4 Bulan. Jum'at, 21 Juni 2013.
http://economy.okezone.com/read/2013/06/21/19/825867/program-blsm-disiapkan-
selama-4-bulan. Diakses 21 Juni 2013.
Wali Kota Solo akan Wujudkan BLSM Padat Karya. Jumat, 21 Juni 2013.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/239720. Diakses tanggal 21 Juni 2013

437
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Wikipedia. Conditional cash transfer. http://en.wikipedia.org/wiki/ Conditional_ cash_
transfer. Diakses tanggal 15 Juni 2013

ANALISIS FAKTOR YANG MELATAR-BELAKANGI PARTISIPASI


PEREMPUAN NELAYAN DALAM PROSES PEMILIHAN UMUM

Lesti Heriyanti
Prodi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu
lestihaye@gmail.com

Abstrak
Kaum nelayan merupakan masyarakat yang termarjinalkan dalam proses
pembangunan di Indonesia, terutama sekali dalam aspek ekonomi dan akses di bidang
politik. Pendidikan yang rendah, kompetensi yang kurang serta kemampuan untuk mampu
beradaptasi dengan perubahan sosial membuat mereka tidak mampu menghadapi
perkembangan dunia secara global. Ketidakmampuan tersebut berdampak pula pada kaum
perempuan yang berasal dari keluarga nelayan. Mereka bahkan tidak memiliki akses yang
memadai dalam bidang ekonomi dan politik dan bahkan hanya sekedar dijadikan objek
dalam pertaruhan politik, terutama sekali ini terjadi pada masa-masa menjelang proses
pemilihan umum. Potensi yang perempuan nelayan miliki cenderung hanya menjadi objek
bagi para pencari suara untuk tokoh politik atau partai politik tertentu.Mereka menjadi
umpan bagi vote seeking untuk mendapatkan suara yang lebih besar dari daerah pemilihan
tertentu.
Penduduk Kota Bengkulu yang berprofesi sebagai nelayan berjumlah cukup besar
dan demikian juga jumlah perempuan yang berasal dari keluarga nelayan.Dalam ranah
politik, partisipasi mereka untuk ikut terlibat dalam proses pemilihan umum dilatarbelakangi
oleh berbagai faktor.Faktor etnis menjadi hal yang paling dominan mempengaruhi
perempuan nelayan untuk memilih individu tertentu sebagai kepala daerah atau wakilnya
yang akanduduk di DPR. Selain faktor etnis, faktor lainnya yang ikut berperan adalah faktor
agama dan kedekatan emosional yang dimiliki oleh calon kepala daerah atau caleg dalam
kehidupan masyarakat nelayan tersebut.
Melalui tulisan ini, maka akan diuraikan dengan lebih rinci tentang faktor lainnya
yang mempengaruhi partisipasi perempuan nelayan dalam proses pemilihan umum serta
menganalisis pengaruh faktor tersebut dalam partisipasi perempuan nelayan dalam proses
pemilihan umum yang terjadi
Kata kunci: perempuan nelayan, politik, pemilihan umum, etnis, budaya patriarkhi.

Pendahuluan
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami
perubahan dan perbaikan sistem. Pemilihan umum dilaksanakan secara berkala dan
melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, pelaksanaannya juga dilakukan diberbagai
tingkatan. Pada awalnya pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia hanya dilaksanakan
untuk memilih anggota perwakilan DPR, DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten
Kota. Pada tahun 2002, terjadilah perubahan dalam proses pemilihan umum di Indonesia.
Amandemen Keempat UUD 1945 akhirnya memutuskan bahwa mesti dilaksanakannya juga
proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh masyarakat.
Pelaksanaan pemilihan umum langsung oleh rakyat membawa berbagai implikasi
dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang sebelumnya buta

438
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
politik akhirnya menjadi melek politik. Mereka yang sebelumnya tidak tergiur oleh aroma
kekuasaan akhirnya berlomba-lomba untuk meraih kekuasaan melalui keterlibatannya di
berbagai bidang politik. Hingga akhirnya kehidupan sosial mereka juga mengalami
perubahan. Kehidupan masyarakat yang aman tentram menjadi kehidupan yang penuh aroma
politik dan perebutan kekuaasaan. Berbagai cara dilakukan untuk memperoleh kekuasaan
tersebut. Cara yang digunakan bisa berupa cara negatif yang melanggar tatanan UUD 1945
dan ada juga yang tetap menerapkan cara-cara positif. Hingga akhirnya melahirkan suatu
budaya politik tertentu dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik (Kantaprawira, 1999:
25). Budaya politik yang berkembang dalam system politik di Indonesia tidak dapat terlepas
dari pengaruh budaya patriarkhi yang melekat erat dalam budaya kita. Budaya patriarkhi ini
membuat posisi perempuan dalam berbagai bidang cenderung selalu berada dibawah posisi
laki-laki. Budaya patriakhi ini juga pada akhirnya menyebabkan keterlibatan kaum
perempuan dalam bidang politik masih dianggap tidak terlalu penting.
Hal ini terlihat pada saat proses pemilihan umum, dari awal berlangsungnya kegiatan
menuju terselenggaranya pemilihan umum hingga keluarnya hasil pemilihan umum, peran
perempuan terlihat kurang menonjol dalam aktivitas politik apapun yang sedang
berlangsung. Kaum perempuan terutama mereka yang berasal dari kelas menengah kebawah
hanya menjadi obyek dalam setiap aktivitas politik ini. Kegiatan kampanye politik hingga
proses pemungutan suara seringkali menjadikan perempuan sebagai komoditi yang bisa
dieksploitasi untuk mendongkrak peningkatan jumlah suara yang ingin diperoleh oleh caleg.
Caleg akan memanfaatkan semua upaya mendapatkan suara dari kaum perempuan tersebut.
Suara yang ingin didapatkan tersebut berasal dari kaum perempuan dari berbagai kalangan,
termasuk dari kalangan perempuan nelayan.
Perempuan nelayan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang seringkali
menjadi pihak yang tereksploitasi dalam proses pemilihan umum yang berlangsung selama
ini. Keberadaan mereka hanya menjadi pihak yang dianggap berpotensi untuk menghasilkan
suara bagi para caleg tanpa benar-benar memperhitungkan aspirasi yang ingin mereka
perjuangkan melalui caleg yang akan menjadi perwakilan mereka tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka melalui tulisan ini akan dicoba dianalisis mengenai faktor-
faktor yang akan melatarbelakangi partisipasi perempuan nelayan dalam proses pemilihan
umum. Tulisan akan dianalisis dengan melihat kondisi perempuan nelayan yang ada di Kota
Bengkulu, dimana potensi perempuan nelayan sebagai salah satu sumber suara bagi caleg
juga sangat signifikan bagi upaya caleg untuk mendongkrak perolehan suaranya.

Kajian Pustaka
Pemilihan Umum dan Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (www.kpu.go.id). Berdasarkan pengertian pemilihan umum tersebut, maka
dapatdiuraikan bahwa salah satu hal yang penting dalam proses pemilihan umum yang
dilaksanakan di Indonesia yaitu bahwa semestinya pemilihan umum dapat berlangsung
secara adil tanpa ada diskriminasi terhadap pihak-pihak tertentu. Proses pemilihan umum
yang terjadi saat ini masih memperlihatkan bentuk-bentuk ketidakjujuran dan ketidakadilan
bagi para pihak yang terlibat, terutama bagi masyarakat awam yang merupakan sumber
kantong suara bagi para caleg.

439
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Di Indonesia proses pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota yang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun
sekali.Pemilihan umum yang dilaksanakan ini membuka kesempatan kepada setiap warga
Negara Indonesia yang memenuhi persyarakatan untuk dapat mencalonkan dirinya sebagai
calon anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD kabupaten/kota (KPU 2012).
Pelaksanaan pemilihan umum ini seringkali tidak serempak antar berbagai wilayah
di Indonesia. Pelaksanaan pemilihan umum dilakukan dengan melibatkan peran serta seluruh
rakyat Indonesia yang telah memenuhi persyaratan untuk ikut serta dalam proses demokrasi
tersebut. Menurut Robert Dahl, di dalam pelaksanaan proses demokrasi terdapat tiga prinsip
utama yang penting yaitu: kompetisi, partisipasi, dan kebebabasan politik dan sipil
(Sorensen, 2003: 3).
Proses kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik dan sipil seringkali terjadi dalam
proses pemilihan umum di Indonesia, akan tetapi hingga saat ini ketiga prinsip utama
demokrasi ini belum mampu sepenuhnya mewujudkan terciptanya proses demokrasi yang
hakiki. Tingkat kompetisi yang tinggi tidak berbanding lurus dengan partisipasi masyarakat.
Terkadang juga kebebasan politik dan sipil tidak benar-benar terwujud dalam proses
pemilihan umum. Mobilisasi massa untuk memilih calon tertentu, praktik uang, dan bentuk-
bentuk kampanye negatif membuat pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia menjadi
sangat tidak demokratis.
Demokrasi semestinya dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi rakyat secara
mutlak dalam proses pemilihan umum, ini karena proses demokrasi menjadi sarana yang
tepat untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah dengan cara memilih individu
yangtepat utuk menjadi wakilnya dalam legislatif. Pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan
dalam pemilihan umum semestinya juga dapat menjangkau partisipasi golongan masyarakat
dari kalangan manapun, namun sayangnya hal ini belum sepenuhnya bisa berjalan dengan
baik.
Partisipasi Politik dan Keterlibatan Perempuan dalam Pemilihan Umum
Kehidupan berdemokrasi tidak bisa terlepas dari partisipasi individu-individu dalam
bidang politik. Partisipasi politik seseorang menandai bahwa kehidupan demokrasi benar-
benar berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh semua pihak, sehingga jalannya
pemerintahan dan mekanisme peralihan kekuasaan akan berlangsung dengan teratur.
Partisipasi politik merupakan kegiatanseseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupanpolitik, yaitu dengan jakan memilih pimpinan Negara dan
secara langsung atau tidak langsungmempengaruhi kebijakan politik (public policy)
(Budiardjo : 1998 : 1). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diungkapkan bahwa partisipasi
politik mampu membuka peluang individu untuk terlibat lebih aktif dalam suatu proses
demokrasi.
Terdapat berbagai cara untuk melaksanakan partisipasi politik. Partisipasi politik
juga dapat diukur dari seberapa aktif seseorang dalam kegiatan politik. Tingkatan partisipasi
politik terdiri dari ;
1. Aktivis, yang termasuk dalam kategori ini adalah pejabat umum, pejabat partai
sepenuh waktu, pimpinan kelompok kepentingan
2. Partisipan, yang termasuk dalam kategori ini adalah petugas kampanye, individu yang
aktif dalam partai atau kelompok kepentingan
3. Pengamat, yang termasuk dalam kategori ini adalah individu yang ikut menghadiri
rapat umum, anggota kelompok kepentingan, yang berusaha untuk menyakinkan
orang, memberikan suara dalam pemilu, mendiskusikan masalah politik, memberi
perhatian pada perkembangan politik

440
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
4. Individu-individu yang apolitis (Budiardjo, 1998: 7)
Berdasarkan tingkatan partisipasi politik tersebut, maka dapat diungkapkan bahwa
dalam masyarakat terdapat beragam jenis keterlibatan dalam bidang politik yang bisa
dilakukan. Kehidupan demokrasi yang ditandai dengan beragamnya aktivitas politik ini
membuat masyarakat mampu terlibat dalam jenis partisipasi yang beragam.
Partisipasi politik warga Kota Bengkulu terhitung cukup tinggi, terutama pada
proses pemilihan capres dan cawapres Tahun 2014 yang lalu. Jika dilihat dari jumlah pemilih
dan pengguna suara yang ada di Kota Bengkulu sekitar 259.170 jiwa (www.kpu-
bengkuluprov.go.id). Mereka terdiri dari berbagai laki-laki dan perempuan yang merupakan
penduduk Bengkulu dan pendatang yang dapat menggunakan hak suara mereka dalam proses
pemilihan umum yang berlangsung. Jika ditinjau dari proses pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang berlangsung pada tahun 2014 yang lalu maka akan terlihat jumlah kaum
perempuan yang memiliki hak suara dan mempergunakan suaranya secara jelas. Partisipasi
perempuan dalam pemilihan umum menunjukkan partisipasi mereka dalam mendukung
demokrasi.
Data rekapitulasi pemilih dan pengguna hak pilih pemilu presiden dan wakil
presiden Tahun 2014 di Kota Bengkulu dapat dilihat melalui tabel berikut ini :

Tabel 1. Data Pemilih Pemilu Presiden danWakil Presiden


Tahun 2014 di Kota Bengkulu

No Jenis Kelamin Rincian Pemilih


DPT DPK DPTb DPKTb Jumlah Total
1 Laki-laki 125.972 230 258 3.038 129.498
2 Perempuan 126.298 232 182 2.960 129.672
Jumlah 252270 462 440 5.998 259.170
Sumber :Olah data KPU Provinsi Bengkulu. 2014

Tabel 2. Data Pengguna Hak Pilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Tahun 2014 di Kota Bengkulu.

No Jenis Kelamin Pengguna Hak Pilih


DPT DPK DPTb DPKTb Jumlah Total
1 Laki-laki 75.642 112 257 3.038 79.049
2 Perempuan 83.046 122 181 2.960 86.309
Jumlah 158.688 234 438 5.998 165.358
Sumber : Olah data KPU Provinsi Bengkulu. 2014
Keterangan :
DPT : Data Pemilih Tetap
DPK : Daftar Pemilih Khusus
DPTb : Daftar Pemilih Tambahan
DPKTb: Daftar Pemilih Khusus Tambahan

Berdasarkan data tersebut maka dapat terlihat bahwa jumlah kaum perempuan yang
mempergunakan hak suaranya dalam proses pemilihan capres dan cawapres Tahun 2014.
Partisipasi tersebut menandai bahwa sebagian perempuan telah menyadari pentingnya
keterlibatan mereka dalam bidang politik, tetapi sayangnya sebagian perempuan lainnya
tidak bersikap yang sama seperti perempuan yang mempergunakan hak suara tersebut.
441
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Perempuan dalam Politik
Partisipasi politik yang beragam dipengaruhi oleh berbagai faktor.Indonesia dengan
budayanya yang beragam juga memberikan corak tersendiri bagi partisipasi perempuan
dalam dunia politik.Keterlibatan perempuan dalam politik masih dianggap belum
begitu.Rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam bidang politik juga dipengaruhi oleh
budaya patriakhi yang masih sangat kental melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Budaya patriakhi yang berkembang di Indonesia mengakibatkan seringkali terjadi
ketidaksetaraan gender atau ketimpangan gender dalam kehidupan masyarakat. Gender
adalah sebuah bentukperbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat
perilaku (behavioral difference) yang dikontruksi secara sosial dan kultural dan berlangsung
dalam sebuah proses yang panjang. Gender merupakan bentukan sosial dengan perubahan
yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu dan berbeda dari satu tempat dengan tempat
lainnya (Fakih, 2001 : 71-72). Gender mengakibatkan munculnya perbedaan persepsi dalam
masyarakat dalam memandang peersoalan kesetaaan kedudukan perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat. Ketimpangan gender yang terjadi seringkali menyebabkan kaum
perempuan menjadi pihak yang selalu menempati posisi subordinasi dalam struktur sosial.
Posisi subordinasi perempuan dalam struktur sosial mengakibatkan kaum perempuan
cenderung terbatasi dalam mengeksploitasi kemampuan yang dimilikinya dalam berbagai
bidang, termasuk dalam bidang politik. Hingga akhirnya posisi subordinasi ini
mengakibatkan perempuan hanya menjadi objek pelengkap dalam keberadaan suatu proses
politik. Perempuan sepenuhnya belum dianggap sebagai pihak yang kompeten dalam urusan
politik. Perempuan dianggapp belum mampu memberikan pemikiran yang logis dalam
bidang politik. Sehingga akhirnya keterlibatan perempuan dalam bidang politik sangat
terbatas.
Partisipasi Politik Perempuan Nelayan
Indonesia merupakan negara kepualauan dengan potensi sumber daya kelautan yang
sangat berlimpah. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504
pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 95.181 km (www.statistik.kkp.go.id).
Panjang garis pantai Indonesia tersebut menyimpan potensi kekayaan laut yang berlimpah
ruah. Kekayaan kelautan Indonesia tidak termanfaatkan secara optimal sehingga
warganegaranya yang berprofesi sebagai nelayan tidak mampu untuk meningkatkan taraf
kesejahteraannya. Kemiskinan nelayan berpengaruh terhadap partisipasi nelayan dalam
bidang-bidang kehidupan lainnya, termasuk dalam bidang politik.
Kondisi miskin yang mereka alami yang mengakibatkan kepedulian mereka terhadap
bidang politik juga minim. Kegiatan politik seperti pemilihan umum dan proses pemungutan
suara bukanlah hal yang penting dalam kehidupan mereka. Nelayan tetap melaksanakan
aktivitasnya seperti biasa pada hari pemilihan umum.Kegiatan kampanye politik yang
dilakukan oleh caleg hanyalah dipandang sebagai suatu hiburan dalam kehidupan nelayan.
Hal yang sama juga dialami oleh perempuan nelayan. Banyak hal yang membuat perempuan
nelayan terhambat dalam melakukan aktivitas politiknya.Budaya patriarkhi, kemiskinan,
faktor rendahnya tingkat pendidikan perempuan, etnis, dan faktor keluarga membuat
keterlibatan perempuan dalam bidang politik sangat terbatas.Keterlibatan atau partisipasi
mereka hanya terpusat sebagai pengguna hak suara dalam proses pemilihan umum yang
berlangsung. Perempuan dari kalangan nelayan jarang yang mampu terjun atau terlibat
secara penuh dan aktif dalam bidang politik.

Metode

442
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Penulisan karya ini dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan atau
library research dalam penyusunannya.Penulis mengumpulkan beberapa referensi dari
beberapasumber baik dari sumber elektronika, internet maupun dari beberapa buku dan
media cetak untuk mendukung penulisan.
Pembahasan
Keterlibatan kaum perempuan nelayan dalam dunia politik sangat terbatas.
Hambatan utama yang menjadi pengahalang bagi mereka untuk lebih mampu berperan aktif
dalam bidang politik adalah adanya budaya patriakhi yang berkembang dalam masyarakt.
Budaya patriakhi mengakibatkan perempuan dianggap sebagai individu pasif, lemah dan
tidak mampu berpikir logis sehingga keterlibatan mereka dalam bidang politik akan
dipertanyakan.
Partisipasi mereka sebagai pemilih suara juga menjadi potensi bagi mumculnya
praktik jual beli suara melalui politik uang karena kaum perempuan ini dianggap sebagai
pihak yang mampu dibeli suaranya dan memberikan suara tersebut kepada pihak-pihak
tertentu dalam hal ini caleg yang memiliki uang.Kebutuhan ekonomi yang tidakbisa dipenuhi
dengan kemiskinan yang dialaminya membuat perempuan nelayan menerima uang yang
diberikan caleg yang mempraktikan politik uang tersebut.Uang yang mereka dapatkan
tersebut umumnyatidak hanya berasal dari satu caleg saja, tetapi dari caleg-caleg lainnya
juga dari partai politik yangberbeda yang mampumemberikan uang kepada perempuan
nelayan agarmemilihnya.Kondisi ini juga terjadi di Kota Bengkulu, tidak hanya di kota-kota
besar saja.Daerah Bengkulu yang sebagian besar berada dipinggiran pantai membuat
masyarakat nelayannya memiliki karakteristik sikap dan budaya tersendiri terkait partisipasi
di bidang politik.Faktor budaya patriarkhi, unsur etnis dan agama caleg, dipraktikkannya
atau tidak politik uang oleh caleg serinkali menjadi unsuryang berpengaruh dalam
keterlibatan nelayan dalam bidang politik.
Propinsi Bengkulu memiliki jumlah warga yang berprofesi sebagai nelayan cukup
besar yaitu 11.580 rumah tangga yang bermata pencaharian dibidang perikanan tangkap,
7.013 rumah tangga di bidang perikanan budidaya (www.statistik.kkp.go.id). Jumlah yang
besar ini didukung oleh panjangnya garis pantai yang dimiliki Bengkulu. Potensi garis pantai
tersebut jika diolah secara optimal akan mampu mensejahterahkan kehidupan nelayan
Bengkulu. Kurangnya pemanfaatan potensi kelautan menyebabkan nelayan Bengkulu
terpuruk perekonomiannya.Kondisi ini dengan mudahnya bisa dimanfaatkan para caleg
sebagai suatu jalan untuk memperoleh suara pada masa menjelang pemilihan umum.
Kaum perempuan nelayan dengan kondisi kemiskinan yang mereka alami memiliki
sedikit sekali partisipasi dalam bidang politik.Selain sebagai pemilik hak suaran yang
terkadang bisa dibeli melalui politik uang, perempuan nelayan sangat kurang partisipasinya
dalam bidang politik. Kampanye politik pun juga jarang mereka ikuti, apalagi kegiatan
menonton debat capres dan cawapres yang ditayangkan di televisi. Kondisi apatis yang
mereka alami ini membuka peluang besar bagi pihak lain untuk memanfaatkan mereka demi
perolehan suara. Kondisi miskin juga meningkatkan sikap apatis mereka terhadap fenomena
politik.
Kemiskinan nelayan membuat mereka menerima uang dari para caleg, seteah uang
mereka terima maka kepastian caleg tersebut akan mereka piih juga tidak ada. Jika terdapat
caleg lain yang memberi uang dalam jumlah yang lebih besar maka caleg tersebut yang pada
akhirnya akan mereka pilih. Hhal yang sama juga dilakukan oleh perempuan nelayan.
Ketidakpercayaan terhadap caleg-celeg tertentu yang dianggap belum tentu akan menjadi
wakil yang mampu representative mewakili mereka di lembaga legislative membuat
perempuan nelayan menjadi pihak yang apatis dalam proses politik. Kondisi ini terlihat dari

443
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
partisipasi kaum perempuan nelayan yang minim dalam proses pemilihan presiden dan wakil
presiden pada tahun 2014 kemarin.
Jika dilihat dari data yang ada pada KPU Propinsi Bengkulu maka jumlah
perempuan dan laki-laki pemilik hak suara tidak terlalu jauh selisihnya. Potensi
pengumpulan suara dari kaum laki-laki dan kaum perempuan bisa secara seimbang
didapatkan oleh caleg tertentu jika mereka mampu mengolahnya dengan baik. Sayangnya,
potensi tersebut dilepaskan dengan begitu saja sehingga suara yang potensial tersebut
menjadi milik caleg lain yang lebih mampu mendapatkan kepercayaan mereka. Selain itu,
potensi suara yang dimiliki oleh masyarakat Bengkulu jika mampu dimanfaatkan dengan
baik maka akan mampu membuat seseorang bisa duduk di kursi legislatif atau bahkan
menjadi pemimpin atau kepala daerah di Bengkulu.
Unsur etnisitas juga melandasi pertimbangan perempuan nelayan untuk memilih
individu tertentu sebagai wakilnya. Caleg yang seetnis atau memiliki daerah asal yang sama
akan menjadi pertimbangan mereka sebagai calon pilihan mereka dibandingkan dengan
caleg lain yang sama sekali belum pernah mereka kenal. Umumnya mereka yang beretnis
Melayu akan memilih caleg yang juga berasal dari etnis Melayu. Jikalau tidakada caleg
dengan etnis yang sama dengan mereka maka mereka akan memilih caleg lain dengan
tingkat kedekatan budaya yang mirip. Jika dalam proses pemilihan umum tidak terdapat
caleg yang memiliki kesamaan etnis, kedekatan budaya atau bahkan agama yang sama maka
partisipasi mereka dalam bidang politik juga rendah.
Rendahnya partisipasi mereka dalam proses pemilihan umum juga dilatarbelakangi
oleh kurangnya kepercayaan pihak perempuan nelayan terhadap penyampaian aspirasi
mereka nantinya melalui caleg-caleg tersebut. Caleg dianggap bukanlah pihak yang suka
menepati janji sehingga sulit bagi mereka untuk mempercayai janji-janji politik caleg
tersebut.Ketidakpercayaan kaum perempuan nelayan tersebut terjadi juga karena selain tidak
memiliki kepercayaan terhadap para caleg juga karena mereka tidak memilikikedekatan
emosional terhadap para caleg tersebut. Hal ini merupakan faktor yang penting untuk
membentuk ikatan kepercayaan dengan para caleg.Kurangnya kepercayaan tersebut
padaakhirnya juga mempengaruhi sikap apatis dan dukungan perempuan terhadap proses
pemilihan umum.

Kesimpulan
Partisipasi perempuan nelayan dalam proses pemilihan umum dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi mereka dalam proses
pemilihan umum tersebut antara lain adalah: kemiskinan, budaya patriarkhi yang
berpengaruh pada ketimpangan gender, etnisitas, agama, kepercayaan perempuan nelayan
terhadap caleg, pemenuhan janji-janji politik oleh caleg terhadap perempuan nelayan juga
ikut berpengaruh terhadap tingkat keikutsertaan mereka dalam proses pemilihan umum.
Perempuan nelayan mampu terlibat lebih mendalam pada proses pemilihan umum ketika
budaya patriakhi yang menimbulkan pandangan merendahkan pada perempuan tersebut
dapat diminimalisir bahkan kalau perlu dihilangkan.

Rekomendasi
Peningkatan partisipasi perempuan dapat dilakukan dengan meningkatkan upaya
meningkatkan kesejahteraan kepada kaum perempuan. Upaya meningkatkan partisipasi
perempuan ini bisa dilaksanakan dengan meningkatkan sosialisasi kepada perempuan untuk
lebih mampu menggiatkan potensi dirinya.

444
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Daftar Pustaka
Buku
Budiardjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai. Jakarta :
PT Gramedia.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta :Pustaka
Pelajar.
Kartaprawira, Rusadi. 1999. Sistem Politik Indonesia.Jakarta : Sinar Baru Algensindo.
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan CCSS.
Websites :
Anonim. 2012. UU No 8 Tahun 2012. Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Didownload dari
www. kpu.go.id pada tanggal 8 April 2015 Pukul 12.32 wib
Anonim. 2014. Rekapitulasi Pemilih dan Pengguna Hak Pilih Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014 di Kota Bengkulu. Diakses dari www.kpu-bengkuluprov.go.id
pada tanggal 8 April 2015 Pukul 11.48
Anonim. 2014. Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan. Diakses dari
www.statistik.kkp.go.id pada tanggal 8 April 2015 Pukul 12. 20

445
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PENGARUSUTAMAAN GENDER VERSUS BUDAYA PATRIARKI
“PEMBAHASAN SOSIOLOGIS TENTANG KETERLIBATAN PEREMPUAN
DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI
PERDESAAN (PNPM MP) DI NAGARI BATU BULEK, KECAMATAN LINTAU
BUO UTARA, KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT TAHUN 2010

Linda Safitra
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Bengklulu
lilinsafitra11@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bukan bertujuan untuk memaksakan bahwa posisi antara laki-laki dan
perempuan harus sama. Penelitian ini didasari atas dikeluarkannya Instruksi Presiden
Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan Nasional yang memberikan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang sama
antara laki-laki dan perempuan terhadap pembangunan. Namun dalam realisasinya di
masyarakat pengarusutamaan gender dikalahkan oleh pemikiran-pemikiran yang
bersebumber dari budaya patriarki, yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang
memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Penelitian ini
mendeskripsikan tentang pengarusutamaan gender dalam PNPM-MP dan bagaimana
pemikiran-pemikiran yang bersumber dari budaya patriarki mempengaruhi keterlibatan
perempuan. Fokus penelitian ini pada tahapan perencanaan PNPM-MP anggaran tahun 2010.
Penelitian ini menggunakan metode penelian kualitatif. Dari hasil penelitian terlihat bahwa
implementasi pengarusutamaan gender dalam kegiatan perencanaan PNPM-MP tidak
terwujud secara maksimal. Pelibatan perempuan pada kegiatan perencanaan PNPM-MP
ditentukan oleh interpretasi pengelola dan pelaku-pelaku program terhadap perempuan dan
laki-laki. Interpretasi mereka bersumber dari budaya patriarki, yang cenderung lebih
mengutamakan laki-laki. Akibatnya, walaupun dalam setiap kebijakan PNPM menekankan
poin penting mengenai kesetaraan dan keadilan gender yang memberikan kesempatan yang
sama terhadap laki-laki dan perempuan untuk terlibat. Namun dalam pelaksanaannya di
lapangan ternyata kebijakan tersebut dikalahkan oleh interpretasi budaya patriarki yang
sudah terkonsep dengan matang dalam pemikiran pelaku-pelaku PNPM-MP. Akhirnya
perubahan-perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan peran, akses, serta kontrol
perempuan dalam PNPM-MP terkendala.
Kata Kunci : PUG, Budaya Patriarki, Keterlibatan Perempuan

Pendahuluan
Kemiskinan merupakan fenomena yang sudah mendunia, bahkan Negara Amerika
Serikat yang tekenal dengan negara yang kuat dalam bidang ekonomi sekalipun, ternyata
juga tidak luput dari permasalahan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang
ditakuti oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Walaupun sudah 64 tahun Bangsa Indonesia
berdiri sebagai bangsa yang merdeka tetap saja masih dibelenggu oleh kemiskinan yang
seakan-akan sulit dipisahkan dari bangsa ini. Masalah kemiskinan yang tidak henti-hentinya
melanda negeri ini menuntut peran pemerintah sebagai pemberi pelayanan kepada
masyarakat untuk segera mengatasinya (Sherraden, 2006 : 13).
Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia terdapat di wilayah perdesaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin di

446
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Indonesia tercatat 37,2 juta jiwa. Sekitar 63,4% (23,6 juta jiwa) berada di perdesaan dengan
mata pencaharian utama di sektor pertanian dan 80% berada pada skala usaha mikro yang
memiliki luas lahan lebih kecil dari 0,3 hektar. Menurut Sudirja (2007) kemiskinan
perdesaan tersebut merupakan salah satu tantangan dalam pembangunan Indonesia.
Menyadari hal itu, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Berbagai program
pembangunan telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan mulai dari Inpres Desa Tertinggal
(IDT), Program Pusat Pengembangan Terpadu Antar Desa (PPTAD), Komando Gerakan
Makmur (KOGM), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Masal (Inmas), Intensifikasi
Khusus (Insus) dan Supra Insus, dan Kredit Usaha Tani (KUT).
Akan tetapi program-program penaggulangan kemiskinan yang telah diluncurkan
pemerintah tidak efektif membebaskan masyarakat miskin dari kemiskinannya. Menurut
hasil penelitian dari Afrizal dkk, kegagalan program-program penanggulangan kemiskinan
pemerintah selama ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu ; pertama, penyebab yang
berkaitan dengan sifat program; kedua, penyebab yang berkaitan dengan pengelolaan
program; ketiga, penyebab yang berkaitan dengan partisipasi lembaga dan tokoh-tokoh lokal
Afrizal dalam (Kemajuan Terkini Penelitian Klaster Sosial-Humaniora, 2006 : 106)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegagalan-kegagalan program penanggulangan
kemiskinan selama ini sedikit banyak memang disebabkan oleh ketiga faktor tersebut.
Selain ketiga faktor di atas, kegagalan program-program penanggulangan kemiskinan juga
diakibatkan karana pelaksanaan program kurang memperhatikan permasalahn gender. Perlu
ditekankan bahwa kemiskinan merupakan masalah kompleks yang bukan saja berkaitan
dengan tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi
geografis, dan kondisi lingkungan, tetapi di dalamnya juga terdapat permasalahn gender
(Syukrie, 2003).
Secara normatif, Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya bsudah memberi
penegasan bahwa setiap warga negara (laki-laki dan perempuan) memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam kegiatan pembangunan. Secara formal kesetaraan antara laki-
laki juga mendapat pengesahan dengan diterbitkannya: Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang ―Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap
Perempuan (Sudirja : 2007).
Pada perkembangannya, dalam deklarasi Millenium Development Goals (MDG‘s)
atau tujuan pembangunan millennium yang disepakati oleh 189 negara dengan tegas
menganjurkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (Bambang, 2008).
Berkaitan dengan masuknya Indonesia sebagai negara anggota PBB, maka Indonesia
mempunyai tanggungjawab moral untuk melaksanakan deklarasi tersebut.
Pengarusutamaan gender merupakan faktor yang juga harus diperhatikan apabila
akan dilakukan target pengentasan kemiskinan dengan angka penurunan 50% pada tahun
2015 (Mafruhah, 2009:74). Menyadari hal itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) untuk mempercepat
penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan dengan kebijakan program
yang lebih memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan laki-laki dan
perempuan. Kesetaraan gender sebagai pondasi utama pengarusutamaan gender mempunyau
prinsip dasar dalam pelaksanaan PMPM MP.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) sudah
dilaksanakan hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Propvinsi Sumatera Barat merupakan
provinsi yang sangat mendukung program ini. Fakta ini didukung dengan adanya data yang
menyatakan bahwa semua kabupaten atau kota yang ada di Sumatera Barat melaksanakan

447
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
PNPM Mandiri. Semua kabupaten tersebut juga tidak ada yang termasuk dalam daftar lokasi
yang bermasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan (www.pnpm-mandiri.org).
Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang melaksanakan dan
mendukung PNPM MP adalah Kabupaten Tanah Datar. Kecamatan Lintau Buo Utara
termasuk dari 6 kecamatan yang melaksanakan PNPM MP. Dalam perjalannya, pelaksanaan
PNPM MP di Kecamatan Lintau Buo Utara sudah dua kali mendapatkan penghargaan. Pada
tahun 2010, Kecamatan Lintau Buo Utara mendapatkan penghargaan sebagai UPK terbaik
dari Mendagri, kemudian pada tahun 2011 pelaksanaan PNPM MP kecamatan ini juga
mendapatkan penghargaan pada tingkat provinsi dari Gubernur Sumatera Batar.
Berpedoman pada prinsip dasar dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan (PNPM MP), yaitu untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Dimana dalam implementasinya di lapangan PNPM MP didorong untuk lebih
memperhatikan akses, peluang, kesempatan perempuan untuk terlibat dalam setiap kegiatan
yang dilakukan, baik secara kuntitas (kehadiran), maupun kualitas (pengambilan keputusan).
Keberhasilan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
di Kecamatan Lintau Buo Utara tentu juga tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut.
Masih sedikitnya penelitan mengenai program penanggulangan kemiskinan yang
memperhatikan masalah gender membuat peneliti menjadi tertarik melakukan penelitian
mengenai PENGARUSUTAMAAN GENDER VERSUS BUDAYA PATRIARKI
―Pembahasan Sosiologis Tentang Keterlibatan Perempuan Dalam Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) Di Nagari Batu Bulek,
Kecamatan Lintau Buo Utara Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat Tahun Anggaran 2010
Bertitik tolak dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka pertanyaan penelitian
adalah :
1. Bagaimana Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP)?
2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Budaya Patriarki mempengaruhi keterlibatan
perempuan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
(PNPM MP) ?
Kajian Pustaka
Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan Gender merupakan strategi yang dilakukan secara rasional dan
sistematis, untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah
aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat dan negara) (Juliantara dan Widiawati
2005 : 35).
Pangarusutaan gender ditegaskan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.
9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang
mengamanatkan bahwa seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non departemen di
tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan gender
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada kebijakan dalam program
pembangunan dengan memberikan akses, kesempatan, kontrol dan manfaat yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan.
Budaya Patriarki Dalam Pembangunan
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia barat ataupun di timur, perkembangan
peradaban manusia tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Menurut Murniati
(2004 : 81) patriarki dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki
(ayah), dalam sistem ini laki-laki yang berkuasa untuk menentukan segala sesuatu. Di
negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, budaya patriarki tersebut masih sangat

448
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan
ketimpangan-ketimpangan gender. Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari
langit. la dibentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Secara tidak langsung budaya patriarki juga telah mempengaruhi keterlibatan
perempuan dalam pembangunan selama ini yang dapat dilihat dari :
1. Akses: Budaya patriarki telah membedakan kesempatan bagi perempuan dan laki-
laki sebagai sumber daya pembangunan. Dimana dalam pembangunan selama ini
laki-laki lebih cenderung memiliki kesempatan/akses yang lebih besar.
2. Partisipasi: Budaya patriarki telah membedakan peluang untuk berpartisipasi anntara
perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan
keputusan dalam pembangunan cenderung didominasi oleh laki-laki
3. Kontrol: Berkembangnya budaya patriarki di tengah masyarakat membuat
perempuan dan laki-laki belum mempunyai kekuasaan yang sama pada sumber daya
pembangunan.
4. Manfaat: Akibat berbedanya akses, partisipasi dan kontrol antara laki-laki dan
perempuan, akhirnya laki-laki dan perempuan belum merasakan manfaat yang sama
dalam pembangunan

Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana implementasi
pengarusutamaan gender pada tahapan perencanaan PNPM-MP dan bagaimana pemikiran-
pemikiran budaya patriarki mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam PNPM-MP.
Informasi yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah bagaimana interpretasi,
pemkiran, pemaknaan si pelaku program terhadap makna yang terkandung dalam simbol-
simbol terhadap laki-laki dan perempuan yang bersumber dari budaya patriarkhi, sesuai
dengan tujuan peneliatian, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

Pembahasan
Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam PNPM-MP
Implementasi pengarusutamaan gender dalam penelitian ini dilihat pada tahapan
perencanaan khusus musyawarah campuran PNPM-MP anggaran tahun 2010 di Nagari Batu
Bulek. Tujuannya adalah untuk mempelajari apakah dalam setiap alur kegiatan perencanaan
sudah mempertimbangkan tiga aspek , yaitu peran, akses, kontrol perempuan. Artinya,
apakah dalam ketiga hal tersebut sudah mempertimbangkan bahwa peran laki-laki dan
perempuan sudah setara dan adil. Apakah akses yang diterima oleh laki-laki dan perempuan
juga akan setara dan adil. Akhirnya, apakah laki-laki dan perempuan mempunyai
kesempatan yang sama dalam melakukan kontrol dan pengambilan keputusan.
Implementasi Pengarusutamaan Gender Dalam Tahapan Perencanaan PNPM-MP
Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa keterlibatan perempuan secara
kuantitatif (kehadiran) masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya adalah terdapat
perbedaan yang mencolok dalam pemberian undangan resmi antara laki-laki dan perempuan,
undangan yang diberikan kepada perempuan jauh lebih sedikit dibandingankan dengan
undangan untuk laki-laki. Terdapat dua alasan mengapa pengelola program lebih banyak
memberikan undangan resmi kepada laki-laki, pertama karena pengelola program
mempunyai pemikiran bahwa laki-laki cenderung ingin lebih dihargai, apalagi laki-laki
tersebut adalah orang yang dituakan/dihormati dalam masyarakat seperti Alim Ulama,

449
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Niniak Mamak, dan Cadiak Pandai, mereka malas hadir dalam suatu kegiatan apabila hanya
diundang secara lisan saja.
Alasan kedua karena jumlah laki-laki yang dihargai/dituakan dalam masyarakat jauh
lebih banyak dari pada perempuan. Untuk mengecek kebenaran dari ungkapan tersebut,
peneliti mencoba melihat jumlah anggota laki-laki dan perempuan dalam Badan
Permusyawaratan Rakyat Nagari Batu Bulek yang terdiri dari niniak mamak, cadiak pandai,
alim ulama, bundo kanduang, serta pemuda yang berjumlah 14 orang, memang hanya terdiri
dari 2 (dua) orang perempuan, berarti 12 orangnya lagi adalah laki-laki.
Selain faktor yang telah dikemukakan sebelumnya, faktor lainnya yang membuat
rendahnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan perencanaan di Nagari ini adalah karena
waktu pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada malam hari. Sehingga perempuan-
perempuan yang sudah berkeluarga susah untuk meninggalkan rumah.
Tidak hanya perempuan yang sudah berkeluarga yang malas mengikuti kegiatan
pada malam hari, bahkan perempuan yang belum berkeluarga pun cenderung malas hadir
jika kegiatan dilakukan pada malam hari, karena dalam masyarakat ada anggapan bahwa jika
gadis yang keluar malam, dianggap gadis yang kurang benar, dan digunjingkan oleh
masyarakat.
Selanjutnya dari hasil penellitian juga didapatkan bahwa keterlibatan perempuan
secara kualitas masih rendah. Kedudukan sosial perempuan sebagai istri yang mempunyai
ketergantungan dalam ekonomi terhadap suami serta tingkat pendidikan yang rendah
membuat mereka tidak bisa merdeka dan leluasa dalam mengemukakan pendapat dalam
keluarga. Karena perempuan yang tidak mempunyai kedudukan sosial yang bagus dalam
masyarakat, cenderung segala sesuatunya diambil atas dasar keputusan suami, suami adalah
pemimpin keluarga. Hal ini juga berimplikasi terhadap keterlibat mereka dalam tahapan
perencanaan PNPM-MP, Akibatnya keterlibatan mereka dalam rapat cenderung sebagai
pelengkap agar kegiatan tersebut bisa berlangsung. Perempuan masih jarang sekali berbicara
untuk mengemukakan pendapat dalam kegiatan tersebut. Kebanyakan perempuan yang
hadir hanya duduk dan mendengarkan pembicaraan yang sedang berlangsung.
Pemikiran-Pemikiran Budaya Patriarki Mempengaruhi Keterlibatan Perempuan Dalam
PNPM-MP
Di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, budaya patriarki masih sangat
kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan
ketimpangan-ketimpangan gender. Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari
langit. la dibentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Bagi masyarakat tradisional, patriarki dipandang sebagai hal yang tidak perlu
dipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan
adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya
perbedaan laki-laki dan perempuan, sehingga pembedaan dalam kehidupan manusiapun
diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Ihromi (1995:73) juga mengungkapkan bahwa
determinis biologis juga telah memperkuat pandangan tersebut. Artinya, karena secara
biologis perempuan dan laki-laki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan
masyarakat pun diciptakan berbeda.
Begitu juga di lakasi penelitian, walaupun Nagari Batu Bulek menganut sistim
kekerabatan matrilinear namun tetap saja yang menjadi pemimpin adalah laki-laki. Seperti
yang dikemukakan oleh Suluah (2004 : 62) Perempuan dalam masyarakat minangkabau
hanya mempunyai peran besar dalam bidang ekonomi, namun tidak dalam hal pengambilan
keputusan dan kepemimpinan. Dengan kata lain, perempuan dalam masyarakat

450
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Minangkabau tetap tersubordinasi karena kuatnya pemikiran-pemikiran yang bersumber dari
interpretasi budaya patriarki.
Berdasarkan penelitian di lapangan ternyata pemikiran-pemikiran yang bersumber
dari budaya patriarki telah melahirkan keterbatasan perempuan dalam segala hal termasuk
dalam PNPM-MP. Walaupun dalam setiap kebijakan yang ada dalam PNPM-MP
menekankan poin penting mengenai kesetaraan dan keadilan gender, namun dalam
pelaksanaannya di lapangan ternyata kebijakan tersebut dikalahkan oleh pemikiran-
pemikiran budaya patriarki yang sudah terkonsep dengan matang pada pemikiran pelaku dan
pengelola PNPM MP. Dimana persepsi mengenai perbedaan secara biologis antara laki-laki
dan perempuan dipandang menjadi nilai-nilai dan norma tentang kepantasan peran,
tanggung-jawab serta status laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Termasuk dalam PNPM-MP.
Dari hasil penelitian, pemikiran-pemikiran yang bersumber dari interpretasi budaya
patriarki mempengaruhi tiga hal :
Pertama, tingkat kehadiran perempuan. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa tingkat
kehadiran perempuan cenderung lebih sedikit dari pada laki-laki. Hal ini terjadi karena
pengelola program cenderung menomor duakan dan kurang memberikan penghargaan
kepada perempuan. Misalnya saja dalam pemberian undang secara resmi, dimana undangan
untuk laki-laki lebih banyak dari pada perempuan.
Kedua, Peran perempuan dalam organisasi PNPM-MP. Dari hasil penelitian
organisasi PNPM-MP di Nagari Batu Bulek terdiri dari 3 (tiga) orang anggota TPK (Tim
Pengelola kegiatan), 6 (enam) orang TPU (Tim Penulis Usulan), 3 (tiga) orang Tim
Pemantau, 3 (tiga ) orang Tim Pemelihara, serta 12 (dua belas) orang KPMD (Kader
Pemberdayaan Masyarakat Nagari). Jumlah keseluruhan anggota organisasi PNPM-MP di
nagari adalah 27 orang. Dalam proses pemilihan pelaku-pelaku PNPM-MP di Nagari Batu
Bulek hanya 10 orang perempuan yang dicalonkan untuk menduduki posisi-posisi tersebut,
sementara dari laki-laki ada 17 orang.
Jumlah perempuan yang dicalonkan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan
laki-laki. Dengan sedikitnya keterwakilan perempuan dalam organisasi PNPM-MP di Nagari
Batu Bulek sedikit banyak tentu juga mempengaruhi keterwakilan aspirasi perempuan dalam
kegiatan perencanaan PNPM-MP, karena biasanya perempuan lebih mudah untuk berbicara
dengan sesama perempuan. Dari wakil-wakil perempuan inilah yang nantinya akan
mempertahankan atau mengajukan aspirasi serta usulan-usulan dari masyarakat perempuan.
Sedikitnya keterwakilan perempuan dalam organisasi PNPM-MP terjadi karena
kapasitas perempuan sebagi ibu rumah tangga, sehingga pelaku-pelaku PNPM-MP
menganggap bahwa perempuan tidak mempunyai waktu banyak untuk melakukan kegiatan
di masyarakat. Perempuan tidak bisa lepas dari tugas rumah tangganya.
Perempuan lebih cenderung ditempatkan pada posisi kedua seperti bendahara, atau
sebagai anggota saja, bahkan sekretaris yang biasanya diperankan oleh perempuan justru
juga diambil oleh laki-laki. Perempuan cenderung ditempatkan pada posisi bendahara karena
perempuan dianggap lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan, ditambah lagi
mereka sudah terbisa mengelola keuangan dalam rumah tangga. Dalam hal pembuakuan
perempuan juga dianggap lebih teliti.
Berkembang pemikiran yang menganggap perempuan tidak memenuhi kriteria untuk
menjadi seorang pemimpin, dimana pemikiran ini bersumber dari interpretasi atau
pemaknaan pelaku-pelaku PNPM-MP terhadap budaya patriarki. Diantaranya perempuan
dianggap kurang tegas dalam pengambilan keputusan. Sedangkan untuk menjadi ketua harus
mampu mengambil keputusan dalam kondisi apapun. Berangkat dari pembuat keputusan

451
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
yang dominan dalam keluarga adalah ayah sebagai kepala keluarga membawa peran
tersebut dalam ranah pertemuan Nagari. Akhirnya perempuan tetap harus ikut keputusan dari
pemimpinnya yaitu laki-laki (suami), hal ini lah yang akhirnya mempengaruhi posisi
perempuan dalam setiap kegiatan yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam kegiatan
PNPM-MP.
Ketiga, kotrol perempuan dalam pengambilan keputusan. Berangkat dari pembuat
keputusan yang dominan dalam keluarga adalah ayah sebagai kepala keluarga membawa
peran tersebut dalam ranah pertemuan PNPM-MP di Nagari. Dimana perempuan kurang
diberikan ruang untuk mengemukakan pendapat, khususnya perempuan yang hanya
berkedudukan sebagai istri/ibu rumah tangga.
Sebagian besar perempuan yang hadir dalam kegiatan perencanaan PNPM-MP justru
adalah perempuan miskin yang hanya berkedudukan sebagai istri/ibu rumah tangga.
Akibatnya keterlibatan mereka cenderung pasif, jarang sekali mereka berbicara untuk
mengemukakan pendapat.
Kedudukan sosial perempuan sebagai istri yang mempunyai ketergantungan dalam
ekonomi terhadap suami serta tingkat pendidikan yang rendah membuat mereka tidak bisa
merdeka dan lelausa dalam mengemukakan pendapat dalam keluarga. Padahal secara
rasional, tentu mereka juga memiliki kemampuan dalam mengemukakan pendapat sesuai
dengan permasalahan mereka.
Sebenarnya sebutan sebagai ibu rumah tangga adalah suatu kehormatan. Sebutan
yang melekat pada kaum perempuan yang telah berkeluarga. Perempuan sebagai ibu rumah
tangga dituntut penuh tanggung jawab, tidak tersedia masa cuti, dan terkadang sulit mencari
pengganti yang tepat. Akan tetapi perempuan sebagai ibu rumah tangga seringkali
diasumsikan bahwa kehidupan perempuan tersebut tergantung kepada suami secara
ekonomis. Impikasinya adalah pembagian peran dan kerja umumnya lebih menekankan pada
gender. Rasionalitas, kekuatan fisik dan kemampuan laki-laki menjadi standar
kepemimpinan dalam sebuah keluarga. Konstruksi semacam ini telah ter-mindset dalam
benak hampir semua masyarakat kita, karena telah tersosialisasi dalam budaya yang
berlangsung cukup lama. Laki-laki (suami) yang terposisikan sebagai kepala keluarga,
kepala rumah tangga, dan perempuan (isteri) sebagai ibu rumah tangga, telah terpateri dalam
benak masyarakat.
Akhirnya perubahan-perubahan yang diharapkan dapat meningkatkan peran, akses,
keterlibatan perempuan dalam PNPM-MP terkendala, karena pandangan pelaku-pelaku
PNPM MP, baik laki-laki atau bahkan kaum perempuan sendiri, yang melihat dari sisi
kodrati adanya perbedaan secara fisik maupun psikologis antara perempuan dan lelaki.
Pandangan ini tidak lain bersumber dari interpretasi para pelaku PNPM-MP terhadap budaya
patriarki.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi pengarusutamaan
gender dalam kegiatan perencanaan PNPM-MP belum bisa terwujud dengan baik. Hal ini
ditunjukan dengan masih rendahnya keterlibatan perempuan baik secara kualitas (berbicara
mengemukakan pendapat dan saran) maupun kuantitas (tingkat kehadiran). Keterlibatan
perempuan dalam kegiatan perencanaan PNPM-MP cenderung hanya dijadikan sebagai
syarat berlangsungnya musyawarah yang akan dilakukan.
Peran perempuan dalam organisasi PNPM-MP di Nagari Batu Bulek juga masih
sangat rendah dimana dari 27 orang anggota organiasasi pelaku-pelaku PNPM-MP di Nagari
Batu Bulek, hanya terdiri dari 10 orang perempuan, sementara anggota laki-laki ada 17

452
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
orang. Posisi perempuan dalam organisasi tersebut juga cenderung ditempatkan pada posisi-
posisi kedua setelah laki-laki. Peran perempuan masih diidentikan dengan tugas perempuan
sehari-hari, misalnya saja perempuan diposisikan sebagai bendahara, karena perempuan
sudah terbiasa mengelola keuangan dalam rumah tangga.
Dalam hal pengambilan keputusan, perempuan juga belum terwakili secara adil.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan pada
kegiatan perencanaan PNPM-MP di Nagari BatuBulek masih rendah. Berangkat dari
pembuat keputusan yang dominan dalam keluarga adalah ayah sebagai kepala keluarga
membawa peran tersebut dalam ranah pertemuan PNPM-MP di Nagari. Padahal secara
rasional, perempuan juga memiliki kemampuan dalam mengemukakan pendapat sesuai
dengan permasalahan mereka.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata pemikiran-pemikiran yang bersumber dari
interpretasi budaya patriarki yang telah melahirkan keterbatasan perempuan untuk terlibat
dalam kegiatan perencanaan PNPM-MP. Walaupun dalam setiap kebijakan yang ada dalam
PNPM-MP menekankan poin penting mengenai kesetaraan dan keadilan gender, namun
dalam pelaksanaannya di lapangan ternyata kebijakan tersebut dikalahkan oleh interpretasi
budaya patriarki yang sudah terkonsep dengan matang dalam pemikiran pelaku-pelaku
PNPM MP. Pemikiran-pemikiran tersebut antara lain terdiri dari :
Adanya pemikiran bahwa kapasitas perempuan (bersifat kodrati) dalam melahirkan
anak dijadikan rasional terhadap penentuan peranan bahwa perempuan hanya pantas
berperan dalam kegiatan domestik. Perempuan dihadirkan sebagai ibu rumah tangga
sehingga tidak perlu banyak berkecimpung dalam masyarakat
Adanya pengukuhan/pembenaran/turun menurun bahwa dengan adanya perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai suatu pembenaran terhadap
perbedaan hak dan kesempatan bagi keduanya : Perempuan sebagai ibu rumah tangga, dan
laki-laki sebagai kepala keluarga.
Perempuan dianggap emosional sehingga susah dalam mengemukakan pendapat
serta kurang tegas dalam pengambilan keputusan. Sedangkan laki-laki dianggap lebih
rasional sehingga mudah mengemukakan pendapat, serta tegas dalam pengambilan
keputusan
Kedudukan perempuan nomor dua setelah suami. Perempuan dianggap kurang
pantas menduduki posisi utama (ketua), karena perempuan dianggap tidak memiliki
kemampuan untuk menduduki posisi tersebut. Sebaliknya perempuan lebih cocok
ditempatkan pada posisi kedua seperti bendahara karena mereka sudah terbiasa mengelola
keuangan dalam rumah tangga.
Pemikiran semacam ini semakin lama semakin mengakar dalam pikiran pengelola
dan pelaku-pelaku PNPM-MP. Sehingga membuat perempuan semakin terkurung, bahkan
secara tidak sadar, menikmatinya. Akhirnya perubahan-perubahan yang diharapkan dapat
meningkatkan peran, akses, serta kontrol perempuan dalam PNPM-MP terkendala.

Rekomendasi
Kemampuan perempuan sebagai sumber insani pembangunan perlu ditingkatkan
melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan agar mereka bisa ―mengalahkan‖ pemikiran-
pemikiran yang bersumber dari budaya patriarki. Sehingga dapat berperan aktif dan
memanfaatkan kesempatan yang ada secara maksimal dalam pembangunanan.
Pengaurustamaan gender harus terwujud dengan nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling
menghargai, saling menghormati, saling mengerti dan saling membantu.

453
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Keterlibatan perempuan harus dievaluasi secara kuantitas dan kualitas, karena selama ini
keterlibatan perempuan dalam program-program pembangunan hanya sebatas syarat secara
kuantitas (kehadiran), sehingga keterlibatan perempuan secara kualitas terabaikan

Daftar Pustaka
Afrizal dkk, 2006. Kemajuan Terkini Penelitian Klaster Sosial-Humaniora. Yogyakarta:
Kantor Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM
Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual : Sebuah Pembahasan Sosiologis
Peran Wanita Di Dalam Masyarakat.Jakarta : PT Gramedia.
Bambang, Eka. 2007. NGO Forum Bahas Strategi Kesetaraan dan Keadilan. Dalam
http://iibn.indonesiadil.net/gdl.Diakses tanggal 17 Maret 2010 pukul 20.00.WIB
Ihromi,To.1995. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ihromi. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Murniati dkk. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesia Tera.
Mafruhah, Izza. 2009. Multidimensi Kemiskinan. Surakarta : UNS Press
Syukrie, Sofyan Erna.2003.Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Denpasar. Dalam http://iibn.indonesiadil.net/gdl. Diakses tanggal 19 Februari
2010 pukul 11.00 WIB
Sherraden, Michael. 2006. Aset Untuk Orang Miskin : Perspektif Usaha Pengentasan
Kemiskinan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sudirja, Rija. 2007. Partisipasi Perempuan Dalam Penyusunan Program Pembangunan
Pertanian Di Pedesaan : Artikel Internet. Pelatihan Partisipatory Rural Apraisal
(Pra) Bagi Tenaga Pemandu Dinas/Lembaga Tenaga KerjaKabupaten/Kota Se-
Indonesia Lembang, 8 S.D. 13 Juli 2007. Dalam www.binaswadaya.org. Diakses
tanggal 25 Maret 2010 pukul 17.30 WIB.

454
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
NEW MEDIA DAN DEMOKRASI DI ERA DIGITAL: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
MENGGUNAKAN PERSPEKTIF FISKE

Lukas Maserona Sarungu


Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
ronnysarungu@gmail.com

Abstrak
Media Baru telah menjadi mantra yang dianggap sebagai solusi atas kemunduran
partisipasi Warga Negara di negara demokrasi. Keberadaannya memungkinkan warga biasa
bisa mengungkapkan pendapatnya mengenai suatu kebijakan publik tanpa harus terhalang
oleh gatekeeper, sebagaimana media massa tradisional. Kebebasan berpendapat ini
diharapkan dapat mendorong terjadinya diskusi terbuka oleh publik yang dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah (policy) ke arah yang lebih baik dan lebih terlegitimasi.
Berpijak pada pandangan Fiske, paper ini akan mempertanyakan kebenaran mantra
di atas. Kajian beberapa sarjana akan diulas dan diberi catatan kritis, untuk kemudian
disimpulkan apakah sejauh ini New Media telah meningkatkan partisipasi politik warga
negara?
Manfaat paper ini adalah untuk mengetahui perdebatan mengenai relevansi new
media dengan demokratisasi di era digital. Cara yang ditempuh untuk memahami persoalan
tersebut adalah dengan metode studi pustaka.
Kata kunci: Komunikasi Politik, New Media, John Fiske, Demokrasi

Pendahuluan
Keyakinan selama hampir satu setengah dekade ini memperlihatkan bahwa new
media memberikan akses kebebasan berpendapat dan untuk didengar publik bagi setiap
orang (Jenkins 2010). Dengan kebebasan dan kesetaraan tersebut partisipasi warga negara
dalam demokrasi diyakini akan meningkat. Jenkins sendiri mengakui sulitnya menolak
argumen-argumen para pengusung cyberdemocracy ini.
New Media telah dianggap sebagai solusi atas meningkatnya partisipasi warga
negara di negara demokrasi. Menurut para pendukungnya, new media dianggap mampu
membebaskan warga negara yang selama ini tidak memiliki saluran untuk berekspresi di
ruang publik. Kesetaraan akses komunikasi yang diberikan new media kepada penggunanya
membuat setiap warga negara memiliki peluang untuk berbicara langsung kepada publik.
Kebebasan berekspresi dalam dunia maya ini bahkan cenderung diyakini lepas dari
kendali pemerintah dan kelas penguasa. Salah satu keyakinan utopis pendukung cyber
democracy ini sempat dicatat oleh Lessig (1998) yaitu:
“Cyber space is unavoidable and yet cyberspace is unregulatable. No nation can live
without it, yet no nation can control behavior within it. Cyberspace is that space where
individuals are, inherently, free from control by real space sovereigns.”
Selain itu, pendukung lainnya bahkan sempat mendeklarasikan kemerdekaan
cyberspace, yang intinya menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas di dunia
maya (Barlow 1996). Lebih jauh lagi, Barlow (1996) bahkan menganggap kemenangan akan
kebebasan menyatakan pendapat sudah di tangan dan menganggap absurd langkah-langkah
pemerintah yang mencoba untuk menegakkan regulasi atas dunia maya.
Klaim diatas terasa sangat optimis. Karena itu, paper ini bertujuan membuka diskusi
terhadap klaim tersebut. Kajian ini berusaha mengetengahkan diskusi kritis dengan

455
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
menggunakan perspektif Fiske, untuk melihat peran new media dalam demokratisasi.
Tujuannya untuk mendapatkan pemahaman mengenai new media dan demokrasi.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah studi pustaka (Neuman 2003). Beberapa pemikiran
sarjana yang berkaitan dengan topik ini akan diulas dan dibahas pada paper ini.

Pembahasan
New Media dan partisipasi politik: Pro-kontra
Tanda-tanda bangkitnya new media dalam politik didengungkan oleh para
komentator politik di Amerika pada pemilu tahun 2000 (Jenkins dan Thorburn 2003)
penggunaan internet secara masif oleh aktor-aktor politik didukung luasnya penetrasi
penggunaan internet oleh masyarakat Amerika membuat para komentator, saat itu, yakin
bahwa pemilu tahun 2000 akan didominasi oleh penggunaan internet.
Optimisme terhadap new media ini semakin melambung sehingga muncul klaim
bahwa World Wide Web akan menjadi dunia (world) tanpa satu pusat kekuasaan, tanpa
gatekeepers, tanpa batas. Gerakan yang dibuat oleh para pendukung cyberdemocracy
melawan konsentrasi media massa komersial, dan pada puncaknya revolusi digital
mewacanakan penggantian total media penyiaran lama dengan saluran penyiaran web yang
dibuat oleh khalayak (Jenkins dan Thornburn 2003). Dari pandangan ini tampak sekali
bahwa netizen memiliki harapan yang sangat tinggi terhadap new media. Bahwa new media
akan merubah tatanan lama dan membawa demokratisasi. Keyakinan ini bukannya tanpa
alasan dan dasar pemikiran empiris.
Kerangka dasar pemikiran bahwa new media akan mendorong partisipasi warga
negara berawal dari tulisan klasik Sola Pool tahun 1983 (Jenkins dan Thornburn, 2003),
dalam bukunya Technologies of Freedom Pool menyatakan bahwa kebebasan berpendapat
akan tumbuh subur apabila media komunikasi tersebar, mudah diakses dan mudah didapat.
Pool memprediksi bahwa meningkatnya penggunaan komputer akan memperkuat budaya
demokratis, memberi akses warga negara dan lembaga-lembaga di akar rumput untuk
memproduksi dan menyebarkan pandangan mereka jauh lebih luas dari pada yang dapat
dicapai sebelumnya.
Hal ini diamini oleh Stephen Coleman (2013), menurut Coleman microprocessor
yang dihubungkan dengan jaringan internet mengubah lanskap mediasi sosial yang lebih
menguatkan demokrasi. Coleman mengidentifikasi empat hal yang membuatnya optimis
terhadap perkembangan demokrasi yang dimotori oleh new media, antara lain:
Pengguna new media didominasi oleh active user,
Minimnya pengaruh status sosial dan keterlibatan politik terhadap pengguna lain,
Warga negara dan kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses dan sumberdaya sekarang
dapat mengkomunikasikan pandangannya, hal yang dulu hanya didominasi oleh individu dan
kelompok yang berpengaruh dan memiliki akses dan sumber daya besar.
Minimnya biaya untuk mengadakan aksi bersama dan perubahan makna keberhasilan
gerakan sosial mendorong perubahan-perubahan pada situasi politik dunia nyata.
Keempatnya didukung oleh data-data empiris (Coleman 2013) sehingga tampak
membuat masa depan demokrasi dan partisipasi warga negara di era new media sangat
menjanjikan.
Tentu saja ada yang skeptis terhadap klaim dan janji demokratisasi yang dibawa oleh
keberadaan new media. Hurwitz (2003) merangkum berbagai keberatan pihak yang skeptis
terhadap janji new media tersebut ke dalam empat poin, yaitu:

456
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
1. Distribusi internet yang tidak merata karena untuk mendapat akses internet harus
membayar dan penggunaan internet terlalu individualistik.
2. Usaha untuk menggalang aksi politik secara online biasanya cenderung hanya
memproduksi konflik dan mempertajam polarisasi pendukung daripada membentuk
opini publik yang sesungguhnya.
3. Hukum yang mengharuskan penyedia jasa internet bertanggung jawab atas materi
yang diunggah secara online meminimalisir privasi dan kerahasiaan pengguna.
4. Teknologi new media sendiri masih problematis, karena dapat digunakan untuk
memindai perilaku dan data pribadi penggunanya.
Tiga keberatan pertama adalah keberatan terhadap janji-janji peningkatan partisipasi
demokratis egaliter warga negara pengguna new media. Sedangkan keberatan terakhir adalah
kemungkinan digunakannya new media sebagai alat anti demokrasi.
Jelas sekali dari tulisan di atas, bahwa janji new media mampu memikat banyak
pendukung, janji tersebut memiliki basis akar pemikiran yang telah lama didengungkan dan
juga telah didukung oleh riset-riset empiris (Etzioni 2003; Coleman 2013). Hal ini membuat
argumen-argumen para pendukung demokratisasi ala new media relatif sulit untuk ditolak
(Jenkins 2010). Walaupun, bukan berarti tidak ada kritik sama sekali terhadap klaim
demokratisasi ala new media tersebut (Hurwitz 2003).
Setelah mendapat gambaran tentang perdebatan new media dan demokratisasi.
Maka, pertanyaan selanjutnya dalam paper ini adalah bagaimana pandangan Fiske terhadap
perkembangan new media?
Pandangan Fiske terhadap new media
Pandangan yang mengungkapkan bahwa new media akan meningkatkan partisipasi
warga negara dalam sistem demokrasi tampaknya terlalu condong pada determinisme
teknologi. Pandangan ini meyakini bahwa teknologi semata dapat mengubah tatanan sosial
lama. Fiske (1994) menolak pandangan tersebut, menurutnya teknologi baru tidak
memproduksi perubahan sosial, dan penggunaan media lebih ditentukan oleh faktor sosial,
kultural, politik dan ekonomi.
Pandangan Fiske terhadap teknologi media memiliki akar pada karya Raymond
Williams tahun 1974, TV: Technology and Cultural form (Jenkins dan Thornburn 2003),
menurut Williams:
“We must understand the emergence of new technologies and in particular new
communication systems, as a results of complex interactions among technology,
social, cultural, political, legal and economic forces. The impact of new media is
evolutionary not revolutionary.”
Karena itu, tidak heran Fiske (1994) mengutamakan kekuatan sosial, budaya,
ekonomi dan politik dalam melihat penggunaan media massa dan perubahan sosial. Bukan
sebaliknya, mengamini bahwa teknologi merubah tatanan sosial, budaya, ekonomi dan
politik.
Dalam konteks kajian ini, apakah new media akan digunakan sebagai alat
demokratisasi atau konsumsi? Apabila merujuk pada pandangan Fiske hal tersebut akan
sangat tergantung pada konteks sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat tersebut
(Jenkins 2010). Bukan tergantung kemampuan teknologi itu sendiri. Jadi, belum tentu new
media digunakan untuk upaya-upaya demokratisasi. Bahkan, bukan tidak mungkin,
sebagaimana dikemukakan Hurwitz (2003), new media digunakan untuk upaya-upaya anti
demokrasi dan konsolidasi kekuasaan elit dominan.
Banyak yang mendukung potensi dan aktualisasi new media dalam demokratisasi.
Namun kemampuan new media dalam meningkatkan partisipasi demokrasi tidak serta-merta

457
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
akan dimanfaatkan oleh warga negara. Luasnya akses yang disediakan teknologi tidak cukup
untuk mengeliminasi gap partisipasi yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan kultural
(Jenkins 2010). Gap partisipasi atau yang biasa disebut digital divide membuat ketersediaan
new media tidak dapat diakses oleh mereka yang secara sosial dan kultural tidak memiliki
sumber daya untuk memanfaatkannya (Jenkins 2010). Sebagai contoh, mereka yang
hidupnya masih subsisten tentu akan membatasi pembelian akses internet karena bukan
kebutuhan primer. Sedangkan mereka yang secara sosial dikategorikan sebagai pensiunan
biasanya cenderung tidak terbiasa dengan teknologi baru.
Sekilas tampak bahwa pandangan Fiske tidak berbeda dengan para pengkritik
demokratisasi ala new media. Namun sebenarnya, yang membedakan Fiske dengan sebagian
besar kritikus lain adalah pandangannya yang tidak berfokus pada sisi pro-kontra kegunaan
dan manfaat teknologi. Perspektif Fiske lebih meyakini bahwa aspek sosial, kultural, politik
dan ekonomilah yang menentukan kegunaan dan fungsi teknologi beserta perubahan sosial
yang menyertainya. Bukan sebaliknya, teknologi menentukan perubahan sosial. Penolakan
untuk membesar-besarkan kemampuan setiap teknologi media adalah ciri khas Fiske
(Jenkins 2012).
Bagi Fiske internet hanyalah perluasan medan pertarungan makna dan kekuasaan
(Jenkins 2012). Seperti media massa lama, yang merupakan arena pertarungan simbolis dan
makna, new media pun merupakan situs pertarungan simbolis dan makna. Banyak yang
mengunggah pandangan mereka ke internet. Namun, tetap saja, hanya sebagian kecil yang
meraih audience dalam jumlah yang signifikan untuk mempengaruhi, apalagi, mendorong
demokratisasi.
Fiske juga berbagi kekhawatiran dengan kritikus new media, bahwa new media bisa
menjadi alat anti demokrasi,
If new media technologies were expanding the resources available to those who
have previously seemed powerless, they were also expanding the capacities of the
powerful (Jenkins 2010).
Kegunaan teknologi yang sama, di satu sisi untuk memberdayakan mereka yang
tidak memiliki akses untuk bersuara, juga bisa digunakan oleh kaum elit yang berkuasa
untuk melawan demokratisasi dan mengendalikan masyarakat. Pernyataan ini makin terasa
setelah peristiwa 9/11. Dengan puncaknya adalah terbongkarnya kasus Edward Snowden dan
diunggahnya dokumen-dokumen rahasia ke Wikileaks. Apabila di tahun 1970-an NSA
menggunakan kedok radio teleskop untuk memindai hampir semua gelombang radio.
Sekarang internet digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data pribadi. Beda alat, tapi
tujuannya tetap sama.

Kesimpulan
Apakah new media mendorong partisipasi politik warga negara dalam demokrasi?
Tentu saja. Aktivitas politik warga negara melalui new media merupakan hal yang tidak
terbantahkan. Namun warga negara yang mana yang bisa berpartisipasi melalui new media?
Tentu saja warga negara yang memiliki sumber daya sosial, ekonomi, politik dan kultural
saja yang bisa berpartisipasi. Mereka yang tidak memiliki kecukupan sumber daya diatas
tetap saja tidak memiliki kesempatan untuk didengar publik. Masih ada participation gap,
bahkan, dalam dunia digital.
Perspektif Fiske yang lebih memilih melihat teknologi dalam konteks yang lebih
luas, menolak determinisme teknologi. Apalagi klaim demokratisasi yang dijanjikan oleh
new media. Masih terlalu dini untuk untuk memproklamirkan kemenangan demokratisasi
yang dibawa oleh teknologi bernama new media. Karena new media juga bisa digunakan

458
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
sebagai alat anti-demokrasi. Jadi demokratisasi ala new media tampaknya masih perlu
dipertanyakan.
Akan lebih tepat bila dikatakan, new media hanyalah medan pertarungan baru atas
makna dan kekuasaan dan bukan alat pembebas dan penyelamat yang membuat semua orang
setara dan bisa bersuara dalam sistem demokrasi seperti yang didengungkan selama ini.
Apabila pandangan Fiske ini dijadikan acuan, maka pertanyaan penelitian ke depan
sebaiknya lebih banyak mempertanyakan realitas new media dalam masyarakat, atau realitas
siapa yang sedang mendominasi new media, dan bukan sekedar mempertanyakan efektivitas
dan efisiensi new media semata.
Tidak ada yang salah dengan mempertanyakan efisiensi dan efektivitas dalam
penelitian. Namun akan lebih baik, bila kita tidak lebih sibuk memikirkan cara terbaik untuk
menyampaikan realitas dibanding mempertanyakan hakikat realitas yang sedang kita amati.

Referensi
Coleman, Stephen. 2013. ―The Internet and The Opening Up of Political Space.‖ Pp. 377-
384 in A Companion to New Media Dynamics, edited by J. Hartley, J. Burgess, & A.
Bruns.Cichester, West Sussex, UK: Wiley-Blackwell.
Etzioni, Amitai. 2003. ―Are Virtual and Democratic Communities Feasible?‖ Pp. 85-100
in Democracy & New Media, edited by H. Jenkins & D. Thornburn. Cambridge,
Massachusetts: MIT Press.
Fiske, John. 1994. Media Matters: Race and Gender in US Politics. Minneapolis ,
Minnesota: Minnesota University.
Hurwitz, Roger. 2003. ―Who Needs Politics? Who Needs People? The Ironies of Democracy
in Cyberspace.‖ Pp. 101-112 in Democracy & New Media, edited by H. Jenkins & D.
Thornburn. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
Jenkins, Henry dan Thornburn, David. 2003. ―The Digital Revolution, The Informed Citizen
and The Culture of Democracy.‖ Pp. 1-17 in Democracy & New Media, edited by H.
Jenkins & D. Thornburn. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
Jenkins, Henry. 2012. ―Mengapa Fiske Masih Penting.‖ Pp. ix-lvii. in Pengantar Ilmu
Komunikasi (Edisi Ketiga), J. Fiske. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Morrisett, Lloyd. 2003. ―Technologies of Freedom?‖ Pp. 21-31 in Democracy & New Media,
edited by H. Jenkins & D. Thornburn. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.

459
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
GENDER DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN DI INDONESIA
MENJELANG ASEAN COMMUNITY 2015

Lukman Fahmi Djarwono


FISIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
lukman.f.d@gmail.com

Abstrak
Based on United Nation‘s 1979 Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againsts Women (CEDAW), Indonesian Government has signed Indonesian
Constitution (Undang-Undang Republik Indonesia) number 7 year 1984 on CEDAW
ratification. One of security sectors is State Armed and Security Forces, including armed and
defense forces; police; gendarmeries; paramilitary forces; presidential guards; intelligence
and security services (both military and civilian); coast guards; border guards; customs
authorities; reserve or local security units (civil defense forces, state militias). Many
Indonesian lived in border stay in dilemma, be Indonesian citizen but they do not get proper
life, or be foreigner (although they live in Indonesian territory) but they get better life. Not
only in economy, it results in social-culture and also national security for Indonesia.
Therefore personal and specific approaches needed through women officers especially
women military, women polices, and also women intelligences to get solution and prevent
enemy entering Indonesian territory. Few months is counting down for Republic of
Indonesia to get in to ASEAN Community. Indonesia can not deny all of benefits and losses
joining this single community with the rest of south-east Asia countries. ASEAN Security
Community (ASC), one of the pillar of ASEAN Community, is basically formed as an effort
to keep stability of south-east Asia region, so that can support stability of the other ASEAN
Community pillars, Economy and Social-Culture.
Kata kunci: Gender; Security Sector Reform; Indonesia; ASEAN Community 2015

Pendahuluan
Sering kali kalangan awam menganggap bahwa ranah sektor keamanan di dalam
ilmu hubungan internasional hanya dikuasai oleh pemikiran maskulin, dimana hanya kaum
pria sajalah yang dianggap bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keamanan untuk
menjamin keberlangsungan dan keberadaan suatu negara berikut fungsinya. Hal ini tidak
terlepas dari pemikiran kaum realis yang menganggap bahwa untuk menjamin keberadaan
suatu negara, harus memperbesar power dan meningkatkan deterrence-nya. Mereka melihat
dari perjalanan sejarah negara-negara di dunia yang mayoritas pernah mengalami
peperangan untuk memperjuangkan keberadaan dan keberlangsungan diri mereka sendiri.
Pada saat ini, pemikir ilmu hubungan internasional tidak lagi memandang ranah
sektor keamanan hanya dari pemikiran maskulin saja, akan tetapi sudah banyak yang
menggunakan pemikiran feminis. Melalui ‗pisau‘ feminis inilah para pemikir ilmu hubungan
internasional dapat melihat bagaimana peran, fungsi, dan tanggung jawab para pemangku
kekuasaan hingga para pelaku di lapangan dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga pada
nantinya akan dapat ‗menambal‘ ranah sektor keamanan yang mungkin selama ini memiliki
celah jika dilihat melalui ‗pisau‘ maskulin.
Gerbang ASEAN Community 2015 sudah terbuka di depan mata kita semua. Kurang
dari satu tahun lagi kita sebagai warganegara yang berada di Asia Tenggara akan menjalani
proses menuju integrasi di segala bidang, meliputi bidang politik dan keamanan, bidang
ekonomi, serta bidang sosial dan budaya. Ranah keamanan yang selama ini menjadi salah

460
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
satu hal yang vital bagi negara Republik Indonesia, dianggap masih memiliki banyak celah
sehingga masih diperlukan banyak sekali pemikiran dari para pemikir, negarawan, serta
stakeholder lainnya dalam proses decision making pada ranah sektor keamanan tersebut.
Dengan kata lain, ranah sektor keamanan masih membutuhkan suatu reformasi untuk
memperkuat power, meningkatkan deterrence, dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
weakness maupun threat terhadap negara Indonesia di lapangan.
Kajian Pustaka
Adapun kajian pustaka yang dipakai untuk menyusun paper ini antara lain yang
pertama, ―Pengarusutamaan Gender di dalam Tugas-Tugas Kepolisian‖ oleh Irawati
Harsono pada tahun 2009. Ini merupakan sebuah toolkit yang diterbitkan oleh The Geneva
Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) bekerjasama dengan Institute
for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) yang dijadikan sebagai tool pelatihan untuk
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk membantu mengembangkan kapasitas OMS di
Indonesia untuk melakukan riset, analisa dan monitoring terinformasi atas isu-isu kunci
pengawasan sektor keamanan. Tool ini juga bermaksud untuk meningkatkan efektivitas aksi
lobi, advokasi dan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan yang dilakukan oleh
institusi-institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.
Kedua, ―Gender and Security Sector Reform‖ yang diterbitkan oleh The Geneva
Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) pada tahun 2010. Tulisan ini
dimaksudkan untuk mendefinisikan makna dan arah reformasi sektor keamanan dengan
menggunakan ‗pisau‘ gender. Pentingnya akan keberlanjutan proses reformasi sektor
keamanan ini ditekankan pula di tulisan tersebut, sehingga diharapkan pada nantinya proses
reformasi sektor keamanan ini tidak hanya berjalan pada satu-dua periode saja, melainkan
untuk jangka waktu periode ke depan, dengan tidak menutup kemungkinan adanya masukan-
masukan baru sehingga nantinya akan dapat menutup celah di ranah ini.
Terakhir, ―A Women‟s Guide to Security Sector Reform‖ oleh Megan Bastick dan
Tobie Whitman yang dipublikasikan oleh The Institute for Inclusive Security bekerjasama
dengan The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) pada tahun
2013. Panduan ini mencoba menelaah lebih detail lagi, meliputi bagaimana memahami
makna keamanan itu sendiri jika dilihat dari ‗pisau‘ gender, bagaimana kita untuk
berpartisipasi dan turut serta dalam proses reformasi sektor keamanan tersebut, toolkit yang
digunakan untuk menganalisa dan mengukur sejauh mana reformasi sektor keamanan ini
sudah berjalan, hingga rekomendasi serta plan for actions untuk mewujudkan reformasi di
masyakarat yang beragam.

Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
melihat dari berbagai jurnal, artikel, serta toolkit yang telah ada untuk dapat diterapkan pada
studi kasus yang diinginkan penulis, yakni di negara Republik Indonesia dalam memasuki
ASEAN Community 2015 nanti.

Pembahasan
Berdasarkan Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Againsts Women–CEDAW) pada tahun 1979, Pemerintah Indonesia menyetujui untuk
menandatangani Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 mengenai ratifikasi CEDAW tersebut.
Gender yang selama ini hanya dimaknai sebatas status ‗pria‘ dan ‗wanita‘ sebagai perbedaan
biologis, seharusnya dapat kita gali maknanya lebih luas lagi. Sebagai contoh adalah ketika

461
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
pria secara tradisional dan alamiah, selalu dihadapkan pada tanggung jawab terhadap semua
urusan perbaikan mesin dan kendaraan. Sedangkan di sisi lain, wanita secara tradisional dan
alamiah, selalu diberikan tanggung jawab terhadap semua urusan yang berkaitan dengan
masak-memasak di dapur. Peran dan tingkah laku yang berbeda inilah yang menjadi titik
tolak pemikiran isu gender ini.
Isu gender pada umumnya dapat merujuk pada peran yang terbentuk secara sosial,
identitas, maupun keterkaitan atau hubungan antara pria dan wanita itu sendiri. Dari contoh
yang penulis sebutkan diatas tadi, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun pria tidak selalu
ditakdirkan menjadi mekanik. Pun begitu pada wanita yang tidak selalu ditakdirkan menjadi
koki. Adapun peran gender tidak statis, dalam kata lain selalu dinamis seiring berjalannya
waktu dan berkembangnya budaya yang ada. Perkembangan budaya ini diantaranya meliputi
umur, status sosial-ekonomi di masyarakat, orientasi seksual, dan kebangsaan.
Pada ilmu hubungan internasional, pemikiran gender sudah mulai mendapat tempat
untuk menjadi ‗pisau‘ terhadap isu-isu yang berkembang di ilmu hubungan internasional.
Para pemikir ilmu hubungan internasional menganggap bahwa peran gender di ranah ilmu
ini merupakan hasil konstruksi sosial yang terjadi di dalam entitas masyarakat sehingga
dengan demikian akan membentuk dan mendefinisikan perbedaan peran, fungsi, dan
tanggung jawab antara pria dan wanita sebagai pemangku kekuasaan yang berwenang dalam
proses decision making, serta para pelaku kebijakan di lapangan.
Gender dalam hubungan internasional didasarkan pada ontologi dan epistemologi
yang cukup berbeda dengan hubungan internasional secara konvensional, dimana salah
satunya kita dapat menggunakan hubungan sosial sebagai kategori analisa. Dengan
demikiran metodologi yang dianut dalam proses reformasi sektor keamanan ini adalah
dengan menggunakan post-positivist dan bersifat subyektif.
Kita semua dapat menghitung mundur bahwa kurang dari satu tahun lagi Negara
Indonesia akan memasuki ASEAN Community 2015. Berbagai manfaat dan kerugian tidak
dapat dihindari saat Indonesia akan terintegrasi dengan negara-negara Asia Tenggara
lainnya. Ibarat kata, Negara Indonesia sebagai ‗rumah‘, dimana pada umumnya setiap rumah
memiliki pintu yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi rumah dari berbagai kotoran
maupun orang yang akan berniat jahat. Saat 2015 nanti, ‗pintu‘ milik ‗rumah‘ Negara
Indonesia akan semakin bertambah. Jika dilihat dari segi kuantitas, maka ‗pintu‘ akan
semakin bertambah banyak jumlahnya, ‗pintu‘ pelabuhan udara, ‗pintu‘ pelabuhan laut,
‗pintu‘ terminal, bahkan ‗pintu-pintu‘ kecil yang tak terhitung jumlahnya disepanjang
perbatasan nusantara.
Bila kita lihat dari segi kualitas maka tiap-tiap ‗pintu‘ dari ‗rumah‘ besar Indonesia
ini pula bertambah semakin lebar. ‗Pintu‘ pelabuhan udara semakin memudahkan orang-
orang dari ‗rumah‘ tetangga untuk mampir. ‗Pintu‘ pelabuhan laut yang semakin tak
terkontrol karena masif dan luasnya kekayaan perairan laut nusantara. Hingga ‗pintu-pintu‘
perbatasan –baik darat, laut, maupun udara– yang bahkan tanpa adanya momen integrasi
ASEAN Community 2015 ini pun sudah acap kali dikangkangi oleh para penjajah
perbatasan. Dengan demikian, ‗pintu‘ di ‗rumah‘ Negara Indonesia akan dengan mudahnya
dimasuki berbagai hal yang berpotensi dapat menggoyang stabilitas keamanan nasional.
Konsep Keamanan, seperti yang telah didefinisikan oleh Barry Buzan:
―Security, in any objective sense, measures the absence of threat to acquired values,
in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked‖
merupakan suatu konsep yang dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan bagi penentuan
arah kebijakan Pertahanan Indonesia.

462
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Beberapa elemen yang terdapat pada konsep Security ini yakni diantaranya adalah
actor, common issue yang dapat menjadi ancaman (threat), speech of act, serta public. Kita
dapat memposisikan Pemerintah Republik Indonesia sebagai pelaku (actor) yang akan
mendefinisikan dan menentukan apa yang akan menjadi ancaman dan bagaimana tindakan
speech of act-nya. Ancaman (threat) yang akan berpotensi masuk ke dalam wilayah
Indonesia, misal pelanggaran batas wilayah perbatasan, terorisme, illegal fishing, illegal
logging, drugs-trafficking, dan sebagainya.
Speech act yang dapat dilakukan Pemerintah Republik Indonesia adalah bagaimana
Pemerintah berusaha mempengaruhi publik untuk menjadikan satu hal sebagai ancaman
keamanan yang sedang dihadapi. Untuk prosesnya, Dewan Keamanan Nasional yang telah
merumuskan draft ancaman keamanan nasional dapat membawa hal tersebut ke Dewan
sehingga nantinya akan disahkan sebagai ancaman keamanan nasional.
Selama ini, Pemerintah Indonesia belum menentukan dan mendefinisikan hal-hal
yang berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional secara jelas dan mendetil dalam
Undang-Undang. Dampaknya antara lain adalah Indonesia tidak dapat mengukur
kemampuan dan kekuatan keamanan nasionalnya sendiri karena tidak memiliki target yang
dapat menjadi acuan atau tolok ukur sekaligus pembanding terhadap kekuatan keamanan
nasionalnya.
Kita tidak dapat menafikkan bahwa sampai detik ini sebagian besar departemen
dibawah Presiden belum dapat memiliki kesamaan visi dan anggapan tentang hal-hal yang
dapat berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional bagi Indonesia. Ini menjadi dampak
lain dari belum ditentukan dan didefinisikannya ancaman keamanan nasional. Akibatnya
adalah kinerja pemerintah tidak dapat sejalan dan sudah pasti ancaman keamanan nasional
akan sangat sulit untuk dapat diselesaikan secara kolektif dan berkesinambungan.
Ada banyak sekali warganegara Indonesia yang tinggal di daerah-daerah perbatasan
antara negara Indonesia dengan beberapa negara tetangga lainnya, hidup dalam keadaan
dilema. Mereka berada dalam posisi yang lemah untuk menentukan dua pilihan berat, yakni
antara menjadi warganegara Indonesia yang tinggal di wilayah teritori Indonesia tetapi
mereka tidak mendapatkan penghidupan yang layak dan manusiawi, atau menjadi
warganegara asing –meskipun mereka tinggal di wilayah teritori Indonesia– dan bisa
mendapatkan penghidupan yang layak dan manusiawi.
Reformasi sektor keamanan (Security Sector Reform) didefinisikan sebagai suatu
proses perubahan dalam sektor keamanan untuk memperkuat akuntabilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan, keefektifan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hukum
yang berlaku. Sektor reformasi merupakan suatu istilah yang luas untuk mendeskripsikan
struktur, institusi, dan tanggung jawab personil untuk pengelolaan, ketentuan, dan kesalahan
keamanan di sebuah negara.
Integrasi antara gender dan isu reformasi sektor keamanan di Indonesia menjelang
ASEAN Community 2015 dirasa cukup penting dikarenakan lima faktor, diantaranya
pertama, adanya keefektifan pada jasa pelayanan pada masyarakat. Masing-masing pria-
wanita dan tua-muda memiliki pengalaman dan prioritas keamanan yang berbeda, seperti
pada penguatan institusi sektor keamanan untuk mengurangi dan mencegah kekerasan
berdasarkan gender. Di wilayah perbatasan Indonesia, sudah sepatutnya pelayanan
administrasi hingga perlindungan ketertiban di lingkungan masyarakat menggunakan
pendekatan yang berbeda. Kebijakan Pemerintah Indonesia saat ini belum banyak
mengoptimalkan pendekatan melalui isu gender, sehingga yang terjadi sekarang adalah
warganegara Indonesia yang tinggal di perbatasan masih belum dapat tersentuh secara
menyeluruh dari segala aspek.

463
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Kedua, adanya perwakilan pada institusi sektor keamanan. Institusi ini diharapkan
dapat mencerminkan masyarakat dalam cakupan yang luas, dan dapat menjadi lebih
dipercaya dan lebih formal. Elemen perwakilan melalui isu gender pada institusi sektor
keamanan inilah yang juga dirasa masih sangat minim, sehingga yang terjadi saat ini adalah
institusi-institusi sektor keamanan terutama yang berada di perbatasan atau yang mengurusi
keamanan perbatasan Indonesia, masih belum dapat mewakili inspirasi dan kepentingan dari
warganegara Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan tersebut.
Ketiga, menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pemangku kekuasaan dan pelaku
sektor keamanan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia menciptakan lingkungan kerja
dan masyarakat yang sehat dan efektif. Banyak sekali daerah-daerah perbatasan yang masih
belum memenuhi syarat minimal jaminan untuk hidup layak. Syarat ini merupakan salah satu
hak asasi manusia dari para warganegara Indonesia yang belum terpenuhi. Jika para
pemangku kekuasaan dan pelaku sektor keamanan daerah perbatasan di Indonesia dapat
menjunjung tinggi dan memperjuangkan hak asasi manusia, maka itu akan berdampak pada
lingkungan kerja dan masyarakat di perbatasan kita.
Keempat, kepemilikan lokal. Keterlibatan wanita dan organisasi wanita dalam proses
reformasi sektor keamanan menjadi hal yang penting dalam kepemilikan lokal yang efektif.
Mereka menyediakan pelayanan kepada korban kekerasan, menjadi penghubung dengan
institusi sektor keamanan, serta untuk mencegah kondisi tidak aman. Tingginya tingkat
kriminalitas di daerah-daerah perbatasan Indonesia tidak terlepas dari masih rendahnya
tingkat keterlibatan wanita dan organisasi wanita dalam kepemilikan lokal di wilayah
perbatasan. Pendekatan terhadap korban kekerasan sudah seharusnya dilakukan berbeda
dengan melihat per kasus, bukan dengan menyamaratakan pendekatan terhadap mereka.
Institusi sektor keamanan juga sudah selayaknya dihubungkan melalui pendekatan gender.
Hal ini disebabkan masih lemahnya koordinasi organisasi lokal dengan institusi sektor
keamanan, yang otomatis dapat mempengaruhi intensitas terjadinya kriminalitas di wilayah
perbatasan.
Terakhir, adanya kesalahan dan akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adanya persamaan partisipasi pria dan wanita dalam institusi sektor keamanan, parlemen,
LSM, dalam membangun kepercayaan dan memperkuat kemampuan respon yang ditujukan
kepada masyarakat secara luas. Selama ini yang terjadi di institusi sektor keamanan
perbatasan Indonesia adalah masih adanya perbedaan partisipasi pria dan wanita di tingkat
pemangku kekuasaan maupun pelaku sektor keamanan. Hal tersebut yang kurang dapat
membangun kepercayaan dan kurang bisa memperkuat kemampuan respon yang ada. Bahwa
dalam tiap permasalahan yang terjadi di berbagai wilayah perbatasan Indonesia, memerlukan
adanya pendekatan-pendekatan yang berbeda.
Strategi yang dapat digunakan dalam mengintegrasikan isu gender ke ranah
reformasi sektor keamanan adalah pertama, Pengarus-utamaan Gender, yakni suatu strategi
yang digunakan untuk membuat tujuan khusus dan panduan untuk merancang,
melaksanakan, mengawasi, serta mengevaluasi kebijakan dan program reformasi sektor
keamanan bagi para wanita dan pria sehingga mereka akan mendapat keuntungan yang fair.
Lalu yang kedua, Ukuran Untuk Menaikkan Partisipasi yg Sama bagi Pria & Wanita.
Strategi ini mencoba untuk menaikkan hak pria dan wanita untuk turut serta berpartisipasi
dalam decision making dalam kebijakan reformasi sektor keamanan dan isu keamanan secara
luas. Tingkat keterwakilan wanita dalam proses reformasi sektor keamanan dan dalam
institusi sektor keamanan masih sangat rendah, terutama pada kebijakan sektor keamanan di
wilayah perbatasan Indonesia. Tidak hanya pada institusi sektor keamanan saja, organisasi
sipil masyarakat juga sudah harus memiliki tingkat partisipasi wanita yang tinggi, sehingga

464
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
nantinya akan dapat memiliki tingkat kemampuan untuk bereaksi sesuai dengan tujuan
mereka.
Kesetaraan dan keadilan isu gender dalam reformasi sektor keamanan di Indonesia
dikatakan terjadi jika empat faktor terpenuhi, pertama, adanya Akses. Parameter ini
menjadikan pria dan wanita harus memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan
institusi sektor keamanan di wilayah perbatasan di Indonesia, baik itu di tingkat pemangku
kekuasaan hingga di tingkat pelaku sektor keamanan.
Kedua, adanya Kontrol. Parameter kedua ini menjadikan isu gender dalam ranah
sektor keamanan sebagai peluang penguasaan terhadap sumber daya dan institusi sektor
keamanan di wilayah perbatasan di Indonesia. Ketiga, adanya Partisipasi. Parameter ketiga
ini menganggap bahwa tingginya tingkat partisipasi pria dan wanita dalam pengambilan
keputusan memegang peranan penting terhadap kebijakan reformasi sektor keamanan yang
dihasilkan.
Dan yang terakhir, adanya Manfaat. Parameter terakhir ini menempatkan bahwa
elemen manfaat harus diterima secara fair oleh semua pihak, dalam hal ini berarti output
yang dihasilkan berupa kebijakan reformasi sektor keamanan harus memberikan manfaat
kepada semua pihak, tidak hanya menguntungkan bagi pihak pemangku kekuasaan saja, tapi
juga bagi pihak pelaku sektor keamanan dan masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah
perbatasan di Indonesia.

Kesimpulan
Faktor yang menjadikan integrasi antara isu gender dan reformasi sektor keamanan
di Indonesia menjelang ASEAN Community 2015 menjadi cukup penting diantaranya
pertama, adanya keefektifan pada jasa pelayanan pada masyarakat. Masing-masing pria-
wanita dan tua-muda memiliki pengalaman dan prioritas keamanan yang berbeda. Kedua,
adanya perwakilan pada institusi sektor keamanan. Institusi ini diharapkan dapat
mencerminkan masyarakat dalam cakupan yang luas, dan dapat menjadi lebih dipercaya dan
lebih formal. Ketiga, menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pemangku kekuasaan dan pelaku
sektor keamanan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia menciptakan lingkungan kerja
dan masyarakat yang sehat dan efektif. Keempat, kepemilikan lokal. Keterlibatan wanita dan
organisasi wanita dalam proses reformasi sektor keamanan menjadi hal yang penting dalam
kepemilikan lokal yang efektif. Terakhir, adanya kesalahan dan akuntabilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Adanya persamaan partisipasi pria dan wanita dalam institusi sektor
keamanan, parlemen, LSM, dalam membangun kepercayaan dan memperkuat kemampuan
respon yang ditujukan kepada masyarakat secara luas.
Kesetaraan dan keadilan gender terjadi ketika empat faktor terpenuhi, pertama
adanya Akses, dimana pria dan wanita memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan
institusi sektor keamanan. Kedua, adanya Kontrol, dimana peluang penguasaan terhadap
sumber daya dan institusi sektor keamanan menjadi unsur penting dalam pengelolaan
integrasi isu gender dengan reformasi sektor keamanan. Ketiga, adanya Partisipasi, dimana
semua pihak pria dan wanita harus memiliki tingkat partisipasi dalam pengambilan
keputusan yang tinggi. Terakhir, adanya Manfaat, dimana semua pihak dari pemangku
kekuasaan hingga pelaku sektor keamanan dan masyarakat luas menerima manfaat yang
sama dari kebijakan reformasi sektor keamanan yang telah dihasilkan.

465
Gender Politik dan Pembangunan di Indonesia: Perspektif Multidisiplin
Daftar Pustaka
Bastick, Megan and Tobie Whitman. 2013. A Women‟s Guide to Security Sector Reform.
The Institute for Inclusive Security and The Geneva Centre for the Democratic
Control of Armed Forces
Buzan, Barry. 1983. People, States & Fear. Great Britain: Wheatsheaf Books Ltd.
Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces. 2010. Gender and Security
Sector Reform. Geneva: Centre for the Democratic Control of Armed Forces
(www.dcaf.ch/backgrounders)
Harsono, Irawati. 2009. Pengarusutamaan Gender di dalam Tugas-Tugas Kepolisian.
Indonesia: The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces
(DCAF) dan Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS)

466

Anda mungkin juga menyukai