Anda di halaman 1dari 7

Nama : Mardiana TuI

Nim : 105031100823
Matakuliah Metode Penelitian Administrasi Publik

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN


MELALUI GENDER MAINSTREAMING (STUDI PADA DINAS PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KOTA MAKASSAR)

A. Latar Belakang

Di dunia terutama di Indonesia, kesetaraan dan keadilan gender sudah menjadi pusat

perhatian sejak abad ke- 21. Munculnya berbagai macam isu menjadi pokok permasalahan

yang sangat serius untuk di hadapi, baik itu dalam pembangunan Negara terkhusus pada

pemerataan kesejahteraan sosial. Dalam menghadapi dan mengantisipasi munculnya

diskriminasi gender, pemerintah menetapkan kebijakan pada tahun 1978 PBB (Perserikatan

Bangsa-Bangsa) yang juga merupakan sebuah perjanjian internasional yaitu convention on

the Elimination off all forms of discrimination againt women (CEDAW). Kesenjangan gender

tampak terjadi di berbagai bidang pembangunan, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan,

politik, dan di bidang pemerintahan. Untuk memperkecil kesenjangan gender yang terjadi

pada berbagai sektor kehidupan, kebijakan dan program pembangunan yang di kembangkan

saat ini dan di masa yang akan datang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi,

kebutuhan, dan permasalahan gender kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan

evaluasi pada seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional. (Wahid, 2017)

Sebagaimana dalam perjanjian tersebut dengan prinsip-prinsip yang akan di

implementasikan sering kali terabaikan. Sebagai bentuk pelaksanaan ratifikasi tersebut dalam

mewujudkan kesetaraan gender, pemerintah Negara Indonesia mengeluarkan UU RI Nomor 7

tahun 1984 tentang Peghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Selanjutnya Intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 terkait Gender Mainstreaming


(Pengarusutamaan Gender) dalam pembangunan nasional sebagai salah satu strategi untuk

mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, setiap instansi pemerintah mengintegrasikan

gender sebagai suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,

pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Dengan

menggunakan dasar INPRES ini setiap lembaga dan satuan kerja dari tingkat pusat sampai

daerah mampu membuat perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional responsive

gender.

Pada tingkat daerah, KEMENDAGRI (Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia)

telah mengesahkan PEREMNDAGRI (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 67 tahun

2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2008

Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Daerah. Di ikuti oleh

KEMENPPPA (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) bersama

dengan BAPPENAS (Kementrian perencanaan Pembangunan Nasional), KEMENKEU

(Menteri Keuangan) dan KEMENDAGRI (Kementrian Dalam Negeri) tahun 2013

mengeluarkan surat edaran tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender

(PUG) Melalui PPRG (Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender). Pada tahun

2005 gender mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) sudah tertuang dalam dokumen

perancanaan pembangunan nasional melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang terdapat pada misi

kedua yang berbunyi “Mewujudkan bangsa yang berdaya saing untuk sasaran pokok adalah

berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) berupa Idek Pembangunan

Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan penduduk seimbang”. Selain itu

pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi dunia dan menandatangani

sejumlah deklarasi internasional berkaitan dengan persamaan hak antara laki-laki dan

perempuan. (Dahlia, 2021)


Implementasi merupakan hal yang sangat luas, meliputi bagaimana implementasi itu

ditempatkan sebagai alat administrasi hukum dan juga sekaligus dipandang sebagai fenomena

kompleks sebuah proses atau hasil dari kebijakan. Implementasi kebijakan adalah satu dari

sekian banyak tahap kebijakan publik sekligus menjadi variabel terpenting yang memiliki

pengaruh sangat besar terhadap keberhasilan kebijakan terkait penyelesaian isu isu publik.

(Situmorang, 2016). Pemberdayaan mendistribusikan kekuasaan dari kaum berdaya kepada

kaum tidak berdaya. Pemberdayaan merupakan sebuah transisi dari rasa ketidakberdayaan

dalam kehidupan untuk kemudian hidup aktif dan mandiri dengan kenyataan untuk

membangun kemampuan dalam mengambil tindakan dan inisiatif untuk lingkungan dan masa

depan kemudian membangun rasa kebersamaan sesame golongan.(Susilo, 2016). Gender and

Develompment (GAD) telah memastikan adanya kesetaraan dalam kontrol, pemanfaatan serta

partisipasi yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam konteks pembagunan. Dalam

studi Feminisme, GAD dikategorikan sebagai ”Gender Mainstreaming” atau

Pengarustumaan Gender. “Gender Mainstreaming mengintegrasikan prespektif gender

kedalam persiapan, perancangan, penerapan, monitoring dan evaluasi kebijakan, peraturan

pelaksanaan dan program pembiayaan dengan tujuan mendukung kesetaraan antara laki-laki

dan perempuan. Setengah dari populasi Negara adalah perempuan, namum mereka hanya

memegang seperlima dari posisi yang dipilih pemerintah. Realita ini menggambarkan bahwa

partisipasi perempuan di semua bidang kehidupan sangat penting dan mewujudkan peran

mereka sebagai agen dan penerima manfaat pembangunan sepenuhnya. (Dewi, 2018)

Implementasi kebijakan menurut Edward III dapat di uraikan dalam beberapa indikator:

(1) Comunication (Komunikasi), (2) Resources (Sumber daya), (3) Disposition (Disposisi),

(4) Beurucratic Structure (Struktur Birokrasi).

Banyak sekali masalah ketimpangan gender yang banyak menimpa kaum perempuan,

baik itu dari segi storytype, mahluk yang lemah, sub ordinat, objek kekerasan, marjinalisasi,
diskriminasi, hingga multiperan perempuan dimasa kini. Oleh karenanya diperlukan wadah

bagi kelompok perempuan untuk berdaya melalui pemberdayaan. Berbagai usaha telah

dilakukan, dan sudah pernah terjadi perubahan terhadap peran perempuan di segala bidang

kehidupan, namun tak di sangka kesetaraan gender yang diharapkan belum sepenuhnya

tercapai.

Hasil Penelitian (Wiasti, 2017), menemukan bahwa kesenjangan gender tampak masih

terjadi diberbagai bidang pembangunan, misalnya di bidang politik, pendidikan, kesehatan,

dan di bidang pemerintahan. Diartikan sebagai konstruksi sosial gender dituntut bagaimana

layaknya menjadi seorang laki-laki dan perempuan di mata masyarakat. Berkaitan dengan

pembagian peran, gender memiliki kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang

ditetapkan oeleh masyarakat berdasarkan sifat yang di anggap pantas bagi laki-laki dan

perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Perbedaan-

perbedaan antara laki-laki dan perempuan terutama gender differences (Perbedaan Gender)

ternyata menimbulkan ketidakadilan gender yang umumnya lebih banyak menimpa kaum

perempuan, adapun bentuk-betuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu

meliputi: subordinasi, marginalisasi, setereotype, kekerasan dan beban kerja. Gender

Mainstreaming (Pengarusutamaan Gender) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan

dan kesetaraan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan segala aspek

kehidupan dan pembangunan dengan memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan

permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan

evaluasi.

Di Kota Makassar, pelaksanaan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming)

diterbitkan dalam peraturan Walikota Makassar Nomor 37 tahun 2015 tentang Pedoman

Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah Di Kota

Makassar. Dalam membentuk percepatan gender mainstreaming pemerintah membentuk


Pokja PUG Daerah, dengan melibatkan seluruh kepala SKPD sebagai anggota Pokja, Kepala

Bappeda sebagai Ktua Pokja PUG daerah dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (DP3A) sebagai Sekretaris Pokja PUG daerah. Ada beberapa program

kegiatan yang sudah terlaksana seperti keterlibatan perempuan dalam pembangunan misalnya

di bidang politik, pendidikan, kesehatan, dan di bidang pemerintahan kemudian ada kegiatan

pembinaan kelompok perempuan. Pengarusutamaan gender dilakukan sebagai bentuk strategi

afirmasi yang memberikan ruang bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan

pelasanaan kebijakan yang terwujud dalam bentuk partisipasi perempuan secara langsung

dalam sektor publik, maksudnya adalah program ini merupakan wadah untuk perempuan

dalam menyampaiakan aspirasi ataupun keluhan. Kebijakan gender mainstreaming ditujukan

sebagai upaya percepatan penanganan kesenjangan gender dalam mencapai pembangunan

yang berkeadilan bagi semua golongan, terutama bagi penduduk perempuan dengan kuantitas

yang tinggi. Ketika separuh dari populasi tidak diberdayakan dan kurang terwakilkan

kepentingannya dalam sektor publik, maka manfaat dari pembangunan tidak akan dirasakan

secara merata. (Meishi, 2018)

Di Sulawesi Selatan terkhususnya di Kota Makassar itu sendiri, masih banyak masalah

yang menjadi penghambat tersedatnya pelaksanaan gender mainstreaming, antara lain yaitu

tingkat pemahaman pelaksana yang masih kurang, keterampilan pengelolaan data terpilih

serta komitmen pelaksana yang masih rendah. Hal ini juga di ikuti dengan rendahnya

kapasitas dan keterampilan pelaksana teknis. Pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) sudah

terbentuk bedasarkan SK Gubernur namun ternyata tidak berjalan secara efektif yang akan

berdampak terhadap kinerja Tim Teknis dan Focal Point. Indonesia itu sendiri menduduki

urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur berdasarkan tingkat keadilan gender dan lebih

rendah dari Negara-negara ASEAN lainnya.


Penelitian ini penting dilakukan oleh peniliti guna mendukung Pemerintah dalam

mendorong akselerasi peningkatan kualitas hidup perempuan dalam program pemberdayaan

perempuan, terutama kelompok perempuan yang ada di Kota Makassar dengan

memposisikan mereka sebagai salah satu stekholder aktif. Untuk itu, peneliti tertarik untuk

meneliti tentang “Implementasi Kebijakan Program Pemberdayaan Perempuan Melalui

Gender Mainstreaming (Studi Pada Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan

Anak Kota Makassar)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Komunikasi Kebijakan Dalam Pelaksanaan Program Gender

Mainstreaming Pada Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Kota

Makassar?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Komunikasi Kebijakan Dalam Pelaksanaan Program Gender

Mainstreaming Pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota

Makassar

D. Manfaat Penelitian

Adapaun manfaat penelitian yang di harapkan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Dengan penelitian ini mengharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

tentang pengimplementasian kebijakan melalui program pemberdayaan perempuan tentang

gender mainstreaming di Kota Makassar.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dalam

mendorong akselerasi peningkatan kualitas hidup perempuan dalam program pemberdayaan


perempuan, terutama kelompok perempuan yang ada di Kota Makassar dengan

memposisikan mereka sebagai salah satu stekholder aktif.

Anda mungkin juga menyukai