Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No.

2, November 2012

REFORMASI KEBIJAKAN SUMBER DAYA MANUSIA ADIL GENDER


HARAPAN REGULASI AFFIRMATIVE ACTION

REFORM GENDER EQUITY IN HUMAN RESOURCE POLICY: EXPECTATIONS ON AFFIRMATIVE


ACTION REGULATION

Ismi Dwi Astuti Nurhaeni


Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan-Surakarta
Email: ismi_uns@yahoo.com

(diterima 3 September 2012, revisi 29 Oktober 2012, diterbitkan 14 November 2012)

Abstrak
Artikel ini mendiskusikan tentang kebijakan sumberdaya manusiadi Indonesia yang belum mampu
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, baik secara struktural maupun horisontal. Adanya tuntutan
untuk mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek pembangunan masyarakat
adanya reformasi kebijakan sumberdaya manusia yang adil gender. Asrtikel ini menawarkan reformasi
kebijakan sumberdaya berupa affirmative action untuk mengeliminir praktek diskriminasi gender baik secara
struktural maupun horisontal.
Kata Kunci: diskriminasi gender, adil gender, setara gender, reformasi, manajemen sumberdaya manusia

Abstract
This article discusses about human resources management in Indonesia which has not achieve gender
equality and equity, both structurally and horizontally yet. The pressure to implement of gender equality and
equity in all aspect of development has been pushed to reform the policy of human resources management
which lead to gender equaity. This article provides affirmative action as a choice of human resources policy
reform to eliminate gender discrimination, both structurally and horizontally.
Keyword: gender discrimination, gender equality, gender equity, reformation, human resources management

PENDAHULUAN mensyaratkan adanya dukungan sumber daya


Dewasa ini telah terjadi berbagai macam manusia (SDM) profesional dan berkualitas
perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap sekaligus humanis.
penyelenggaraan sumberdaya manusia. Perubahan Upaya melakukan reformasi aparatur negara
lingkungan yang terjadi secara dinamis, baik dari di Indonesia sudah dilakukan. Effendi (2009:91),
dalam maupun luar organisasi, mensyaratkan dalam artikelnya berjudul “Reformasi Aparatur
adanya reformasi dalam praktik manajemen Negara guna Mendukung Demokratisasi Politik
sumberdaya manusia, Pynes (2004) menegaskan dan Ekonomi Terbuka”, menyatakan bahwa
bahwa perubahan ekonomi, sosial dan hukum, reformasi aparatur negara masih berada di posisi
teknologi maupun hukum membuat praktek pinggiran karena belum menyentuh bagian-bagian
manajemen sumberdaya manusia penuh tantangan paling mendasar dalam sistem administrasi.
dan harus melakukan tindakan pro-aktif agar Dalam praktek, reformasi administrasi atau
mampu mencapai misi organisasi. Tuntutan reformasi birokrasi baru direduksi hanya sebatas
reformasi dalam praktek manajemen sumberdaya menaikkan gaji dan mengangkat tenaga honorer
manusia ini semakin mencapai momentumnya sebagai PNS. Effendi menegaskan bahwa
karena adanya pergeseran paradigma administrasi reformasi aparatur negara merupakan prasyarat
publik dari the old administration, the new public mutlak yang diperlukan untuk menjamin
management hingga the new public service yang berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

demokratis serta sistem ekonomi yang dapat secara normatif dianggap “ebih tepat” untuk laki-
menciptakan keadilan sosial bagi semua”. laki. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika
Berdasarkan pendapat Effendi, maka satu nilai perempuan cenderung menumpuk pada
yang harus dijamin dalam pengelolaan deaprtemen tertentu (seperti Kesehatan,
pemerintahan adalah nilai keadikan sosial bagi Pendidikan, dan Sosial) sedangkan laki-laki lebih
semua. Hal ini sejalan dengan pendapat Wise menumpuk pada departemen tertentu pula (seperti
(2002) dalam Pynes (2004) yang menyatakan Pekerjaan Umum, Ristek, dll). Pada sisi yang lain
bahwa manajemen publik dipengaruhi oleh didasari pula bahwa kapasitas perempuan tidaklah
keinginan yang besar untuk memperhitungkan perlu diragukan lagi. Hasil studi menunjukkan
keadilan sosial yang lebih besar, tuntutan bahwa lulusan terbaik atau berpredikat cum laude
demokratisasi dan pemberdayaan, serta tuntutan di berbagai jenjang pendidikan mulai dari SD,
akan humanisasi dari manajemen pelayanan SMP, SMA hingga PT pada umumnya didominasi
publik. Sayangnya, tuntutan akan keadilan sosial perempuan.
sebagai manifestasi dari penyelenggaraan Menyadari hal tersebut, sangatlah penting
pemerintahan berbasis human governance masih untuk mengkaji mengapa kesenjangan gender
seringkali lepas dari perhatian banyak pihak. dibidang kepegawaian masih terjadi? Selain itu
Dalam upaya mewujudkan keadilan sosial, perlu dianalisis, apakah regulasi di bidang
Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi yang kepegawaian telah menjamin adanya keadilan
mensyaratkan adanya kesetaraan dan keadilan gender? Apabila belum, tindakan strategis apa
gender dan dinyatakan secara eksplisit dalam yang perlu dilakukan untuk menjamin adanya
instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang kesetaraan dan keadilan gender dibidang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan kepegawaian?
Nasional. Regulasi tersebut menegaskan bahwa
setiap Kementerian, Lembaga Pemerintah Non PERMASALAHAN
Departemen, Sekretaris Lembaga Tinggi & Praktek diskriminasi gender di bidang
Tertinggi, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, sumberdaya manusia hingga saat ini masih terjadi,
Gubernur, Bupati/Walikota melaksanakan baik di negara maju (seperti Amerika dan Inggris)
pengarusutamaan gender (PUG) guna maupun negara berkembang (termasuk
terselenggaranya perencanaan, pelaksanaan, Indonesia). Praktek diskriminasi yang dialami
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan perempuan di bidang sumberdaya manusia antara
program pembangunan nasional yang lain: perempuan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas pada level yang lebih rendah dibandingkan laki-
dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. laki, perempuan dipandang tidak cocok
Komitmen untuk melaksanakan PUG ini pun melakukan pekerjaan-pekerjaan manajerial,
dinyatakan secara eksplisit dalam RPJMN 2010- perempuan belum terwakili pada level eksekutif,
2014. kesempatan karir perempuan lebih kecil
Meski regulasi untuk mengintegrasikan kesetaraan dibandingkan laki-laki, perempuan memperoleh
dan keadilan gender telah melewati satu dasa dana pensium lebih sedikit dibanding laki-laki,
warsa, namun hingga kini data empirik perempuan memperoleh penghasilan maupun
menunjukkan adanya ketidakadilan gender, salah jaminan sosial lebih kecil daripada laki-laki
satunyaa di bidang sumberdaya manusia. Profil meskipun pendidikan dan pengalaman mereka
gender di bidang kepegawaian dari berbagai lebih tinggi, perempuan memiliki lebih sedikit
wilayah di Indonesia menunjukkan adanya bias simpanan kekayaan, perempuan mengalami lebih
gender secara struktural maupun horisontal dapat banyak gangguan ketenagakerjaan, perempuan
dilihat adanya gender stereotip dalam penempatan berpengalaman mengalami pelecehan seksual di
pegawai, dimana perempuan cenderung organisasi, perempuan cenderung menjadi
ditempatkan pada bidang tuga syang scara pengurus utama bagi anak-anak dan orang-orang
normatif dianggap “lebih tepat” untuk perempuan jompo, perempuan menjalankan peran ganda, baik
dan laki-laki ditempatkan pada bidang tugas di tempat kerja maupun di rumah dan bekerja

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

paruh waktu (Stivers, 1993; Pynes, 2004; Partillo, tersebut pada hakekatnya merupakan retifikasi
2009; Hariis, 2011). Hasil studi Harris (2011) CEDAW (Convention on The Elimination of
menunjukkan secara berurutan, laki-laki yang Discrimination Against Women) dan menegaskan
sudah menikah dan mempunyai anak memiliki jaminan tidak adanya bangunan, salah satunya
potensi penghasilan yang paling tinggi, diikuti pembangunan di bidang ketenagakerjaan.
oleh laki-laki lajang, perempuan yang sudah Selain pemberlakuan regulasi, upaya untuk
menikah dan perempuan lajang. Bahkan memperkecil ataupun menghilangkan kesenjangan
penghasilan laki-laki (tanpa melihat status gender di Indonesia dalam berbagai bidang
pernikahan), melebihi penghasilan perempuan, pembangunan dilakukan melalui pelatihan
meskipun jabatan perempuan lebih tinggi. Secara maupun asistensi teknis “Penyadaran Gender bagi
lebih spesifik Miller (2009) menyatakan adanya Policy Makers” oleh Kementerian Pemberdayaan
disparitas gender secara vertikal dan horisontal di Perempuan, Kementerian Pendidikan dan
bidang kepegawaian. Secara vertikal, ada Kebudayaan, Lembaga Administrasi Negara dan
pemisahan pekerjaan yang bersifat gender dengan Departemen Dalam Negeri ataupun pihak-pihak
keterwakilan laki-laki secara tidak seimbang pada lain, salah satunya melalui program Sustainable
posisi-posisi senior. Sedangkan secara horisontal, Capacity Building Project for
ada pemisahan pekerjaan yang bersifat gender Decentralization/SCBD Project. Salah satu materi
dengan perempuan dipusatkan pada posisi-posisi dalam program tersebut adalah mendorong
yang femenin, seperti kesehatan dan pendidikan. sensitivitas gender bagi policy makers sehingga
Di Indonesia, representasi perempuan dalam mereka berkomitmen untuk menyusun
posisi tinggi di bidang kepegawaian masih sangat kebijakan/program pembangunan responsif
rendah tidak seimbang dengan jumlah gender. Berdasarkan uraian tersebut diatas, ada
keseluruhan mereka. Jumlah perempuan yang ada tiga hal penting yang menarik untuk didiskusikan.
disektor ini mencapai rata-rata 45,5 persen namun Pertama, mengapa data emperik di bidang
posisi eselon tertinggi diduduki oleh laki-laki. kepegawaian masih menunjukkan indikasi
Hanya 9 persen dari perempuan pegawai negeri tertinggalnya perempuan dibandingkan laki-laki?
berada di posisi eselon satu (hanya 0,5 persen dari Kedua, mengapa regulasi yang mengatur tentang
keseluruhan perempuan yang bekerja di sektor ini) keharusan dan keadilan gender belum
(UNDP, 2010). Data ini menunjukkan bahwa ditindaklanjuti secara nyata dalam pengaturan
komitmen Indonesia untuk menjalankan prinsip khusus, utamanya bidang kepegawaian? Ketiga,
kesetaraan gender belum mampu termanifestasi di mengapa berbagai capacity building tentang
bidang kepegawaian. “gender awareness” belum mampu ditindaklanjuti
Nurhaeni (2011), menemukan bahwa dengan aksi nyata? Berdasarkan hal-hal tersebut,
lembaga formal di Indonesia masih artikel ini hendak membahas tentang reformasi
memperlakukan secara diskriminatif terhadap yang perlu dilakukan dalam manajemen sumber
tenaga kerja perempuan, khususnya dalam hal daya manusia agar mampu mewujudkan
pemberian jaminan utilities dan tunjangan kesetaraan dan keadailan gender dalam bidang
keluarga, akses menduduki jabatan eselon, serta kepegawaian. Tujuan dari penulisan paper ini
variasi jabatan pada posisi yang lebih tinggi. adalah:
Selain itu ada indikasi bahwa perempuan 1. Mengidentifikasi mengapa kesenjangan gender
ditempatkan pada lembaga yang lebih banyak dibidang kepegawaian masih terjadi
melakukan fungsi pelayanan seperti pendidikan, 2. Melakukan analisis isi dokumen kebijakan
sosial, dan kesehatan. Temuan penelitian tersebut kepegawaian terkait dengan nilai apa yang
menunjukkan bahwa peraturan perundang- dikedepankan dalam pengaturan kepegawaian
undangan di Indonesia yang melarang adanya di Indonesia
praktek diskriminasi dalam pekerjaan, baik karena 3. Menawarkan reformasi kepegawaian melalui
ras, warna kulit, kewarganegaraan, agama ataupun affirmative action untuk menjamin kesetaraan
disability sebagaimana dituangkan pada UU No.7 dan keadilan gender dalam bidang
Tahun 1984 belum efektif. Undang-Undang kepegawaian

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

besar, atau apabila input sama apakah output akan


TINJAUAN PUSTAKA menjadi lebih besar, atau apabila input diperbesar
Nilai-nilai Fundamental dalam Manejemen akan menghasilkan output yang semakin besar.
Sumbedaya Manusia Sektor Publik Nilai efesiensi administratif dicapai melalui
Penyelenggaraan manajemen sumberdaya pengembangan SDM karena semua training
manusia disektor publik mempunyai kekhasan sebagai bentuk pengembangan sumberdaya
dibandingkan di sektor non publik, salah satunya manusia diarahkan agar organisasi itu tidak rugi.
karena ada nilai fundamental yang haru Permasalahan penting yang akan muncul adalah
diperhitungkan dan dalam pelaksanaanya penuh seberapa jauh penerapan nilai efisiensi
dengan konflik kepentingan. Secara teoritis, ada 4 administratif mampu menjamin keadilan sosial
(empat) nilai fundamental yang bersaing dalam bagi kelompok marginal?
penyelenggaraan manajemen sumber daya Pada nilai hak asasi individu, maka hak-hak
manusia sektor publik, yaitu (1) nilai keadilan sebagai seorang pegawai dalam suatu organisasi
sosial; (2) nilai political responsiveness; (3) nilai harus dihargai. Misal, apakah pegawai
efesiensi administratif dan (4) nilai hak-hak mendapatkan perlakuan yang adil atau tidak,
individu (Klingner dan Nalbandin, 1985). apakah mereka mendapat uang makan atau tidak,
Pada nilai keadilan sosial diasumsikan bahwa apakah mereka bekerja pada ruang yang terang
pekerjaan-pekerjaan pada organisasi publik atau gelap, apakah kotor atau bersih, apakah
merupakan sumber penghasilan. Karena itu beban yang diberikan terlalu banyak atau sedikit
pemerintah harus adil dalam memberikan porsi dibandingkan individu lainnya.
pada berbagai kelompok masyarakat. Nilai Pada prakteknya, penerapan ke empat nilai
keadilan sosial hanya bisa diperoleh melalui fundamental tersebut sangat tergantung kepada
fungsi pengadaan. Untuk itu, pengadaan harus kondisi sosial, ekonomi, dan politik serta
memperhitungkan representativeness. preferensi pinpinan organisasi. Apapun nilai yang
Permasalahannya adalah penggunaan nilai lebih diutamakan, maka yang paling penting
keadilan sosial seringkali mengakibatkan diperhitungkan adalah pilihan pada satu nilai akan
organisasi terpaksa menerima orang-orang yang mensyaratkan dilaksanakannya nilai yang lain
memiliki kualitas dibawah standar yang sehingga profesionalisme tenaga kerja tetap
ditentukan (under qualities). terjaga. Misal, apabila organisasi lebih
Pada nilai political responsiveness, mengutamakan penerapan prinsip keadilan sosial,
pemerintah diharapakan lebih responsif terhadap maka akan bisa mengakibatkan diperolehnya
masyarakat dan peka terhadap kebutuhan- sumberdaya manusia yang under qualified, karena
kebutuhan masyarakat. Istilah political itu program pendidikan dan pelatihan sebagai
berhubungan dengan berbagai interest salah satu aktivitas untuk menjamin prinsip
(kepentingan masyarakat). Hal ini dihubungkan efisiensi administratif menjadi urgen untuk
dengan alokasi (pembagian jabatan). Dalam dilakukan agar pegawai yang terpilih dapat
pembagian jabatan seringkali ada kecenderungan memenuhi standar minimal dan standar
pimpinan/ kepala organisasi lebih senang kepada pengembangan untuk mengisi suatu jabatan.
seseorang sebagai manifestasi kepentingan
politiknya. Berdasarkan nilai ini, maka persoalan Affirmative Action dalam Manajemen
penting yang akan muncul adalah seberapa jauh Sumberdaya Manusia
penerapan nilai political responsiveness mampu Affirmative action merupakan kebijakan
menjamin netralitas birokrasi? yang memberikan perhatian khusus kepada
Pada nilai efisiensi administratif, kelompok ataupun individu yang termarginalkan,
pertimbangan utama yang perlu dilakukan adalah baik karena faktor ras, warna kulit, agama, jenis
melakukan perbandingan terbaik antara input dan kelamin ataupun asal-usul kebangsaan. Kebijakan
output, artinya apabila input diperkecil apakah ini dilakukan sebagai cara untuk mengatasi
output akan tetap sama, atau kalau input pengaruh diskriminasi. Dalam konteks kesetaraan
diperkecil apakah output akan menjadi lebih gender di bidang kepegawaian, affirmative action

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan lebih banyak kesempatan pendidikan dan
representasi perempuan di bidang kepegawaian. pelatihan.
Menurut Riccucci dalam Condrey (ed) 2005, Di Indonesia pada tahun 2000 dikeluarkan
affirmative action muncul sebagai respon atas Amandemen II UUD 1945 yang memuat
merebaknya diskriminasi tenaga kerja, mengacu ketentuan tentang affirmative action yang
pada usaha-usaha proaktif terhadap adanya dituangkan dalam Bab X A tentangg Hak Asasi
diversity di tempat kerja, dalam arti keragaman Manusia pasal 28 H ayat (2). Pada pasal dan ayat
ras, etnik, gender dan bahkan kemampuan fisik. tersebut disebutkan bahwa”setiap orang berhak
Istilah affirmative action muncul pertama kali mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
pada pemerintahan Presiden Kennedy sebagai untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
langkah untuk mencapai non-diskriminasi. Pada sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
tahun 1968, jenis kelamin telah ditambahkan ke Latar belakang dikeluarkannya pasal tersebut
dalam daftar anti-diskriminasi. Tujuan tindakan adalah adanya kesadaran bahwa satu peraturan
afirmatif merupakan uoata untuk mempromosikan yang netral, yang diberlakukan sama kepada
kesempatan yang sama (dalam http://purnama- seluruh kelompok masyarakat yang berbeda
julia.blogspot.com/2011/02/pengertian- keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan
affirmative-action.html). Tindakan affirmative manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya
action tidak hanya mencegah diskriminasi, tetapi ketidakadilan. Karena itu negara berkewajiban
juga memberikan kesempatan yang sama kepada membuat peraturan khusus bagi mereka yang
pegawai, asosiasi ataupun agen-agen tenaga kerja karena kondisi dan rintangannya tidak dapat
dalam mengambil langkah-langkah positif untuk menerima manfaat dari ketentuan yang bersifat
mengurangi persentase yang tidak proporsional. netral tadi. Tindakan ini disandarkan pada fungsi
Pada affirmative action, dilakukan tindakan hukum sebagai sarana untuk mencerminkan
afirmasi dengan tujuan pengangkatan pegawai keterlibatan dan keadilan, serta melakukan
terhadap golongan minoritas/perempuan sehingga rekayasa sosial untuk merubah perilaku
presentase pegawai bisa sebanding dengan masyarakat.
presentase representasi mereka dalam populasinya
(Sulistiyani dan Rosidah, 2009) PEMBAHASAN
Kajian-kajian terkait penerapan affirmative Fenomena “Glass Ceiling” di Bidang
action sudah dilakukan oleh berbagai ahli. Selden Kepegawaian
(2006) menulis artikel tentang penggunaan Praktek diskriminasi gender dibidang
affirmative action sebagai cara untuk mencapai kepegawaian, baik secara struktural maupun
representasi dalam administrasi publik. horisontal disebabkan oleh fenomena glass
Menurutnya tendensi kecenderungan menerapkan ceiling. Istilah glass ceiling mengacu pada
affirmative action telah menyebabkan kontroversi hambatan-hambatan artifisial yang menutup
yang paling panas terhadap kebijakan publik di kesempatan bagi kelompok perempauan dan
Amerikan Serikat. Long (2007) membuat sintesis minoritas untuk mencapai level manajer puncak
berdasarkan hasil kajian di Perguruan Tinggi dan posisi eksekutif (Pynes, 2004: 96). Hambatan
bahwa affirmative action di Perguruan Tinggi artifisial tersebut bisa terjadi karena adanya
menyebabkan kelompok minoritas mendaftarkan dominasi sektor publik di bawah kekuasaan laki-
ke lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas. laki serta stereotipi gender di bidang
Mayoritas studi-studi tentang affirmative action kepegawaian. Steinberg & Jacobs (1994),
meningkatkan kesetaraan karena tindakan tersebut Odendahl dan O’Neill (1994) dalam Pynes (2004)
menguntungkan kelompok perempuan melalui menyatakan bahwa sektor publik dikontrol oleh
cara perlindungan. Studi lainnya menemukan struktur kekuasaan elit laki-laki dan pekerjaan-
bahwa affirmative action berpengaruh terhadap pekerjaan didistribusikan menurut gender.
meningkatnya kinerja perempuan di tempat kerja, Menurutnya perempuan merupakan mayoritas
penilaian kinerja yang objektif dan memberikan angkatan kerja di sektor publik, tetapi meereka
dihalang-halangi untuk mencapai posisi eksekutif

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

dan posisi pengambilan keputusan. Lebih lanjut mengikuti pendidikan dan pelatihan secara
diungkapkannya bahwa komitmen perempuan dan optimal dan tidak akomodatif untuk berpindah
kelompok minoritas terhadap pekerjaannya tempat tugas. Adanya pandangan tersebut
dipertanyakan karena adanya anggapan bahwa mengakibatkan peluang perempuan untuk
tanggung jawab mereka adalah dalam keluarga, menduduki jabatan penting lebih terbatas,
ketidakmampuan mereka untuk berpindah posisi, akibatnya perempuan semakin terpinggirkan. Cho
atau gaya kepemimpinannya diragukan. Adanya dan Kwon (2010) di Korea Selatan yang
asumsi bahwa perempuan kurang bertanggung menemukan bahwa perempuan rata-rata tidak
jawab dan kurang mempunyai komitmen melanjutkan pekerjaannya karena mempunyai
mengakibatkan mereka tidak diperhitungkan tanggung jawab untuk hamil dan merawat anak,
untuk diangkat dalam jabatan penting ataupun mengakibatkan adanya keengganan untuk
diberi kesempatan untuk berkembang. Pandangan mengangkat mereka pada jabatan yang lebih
ini diperkuat oleh hasil kajian Stivers (1993:4) tinggi ataupun untuk melatih dan
yang menyatakan bahwa karakteristik mempromosikannya. Asumsi ini mengakibatkan
maskulinitas dari administrasi publik bersifat adanya praktek diskriminasi terhadap perempuan.
sistemik. Hal tersebut dilanggengkan oleh relasi Kalaupun ada program pendidikan dan pelatihan,
kekuasaan dalam masyarakat sehingga maka materi yang diberikan bersifat pheriperal
berkontribusi terhadap distribusi kekuasaan dan tidak fokus untuk mengembangkan skill
berdasarkan atas gender. Lebih lanjut utama. Selain itu Cho dan Kwon (2010)
diungkapkan oleh Stivers (1993:%), bahwa menemukan bahwa pasar kerja mengadopsi nilai
meskipun administrasi publik nampaknya netral, dan norma sosial yang melekatkan nilai lebih
namun secara struktural sesungguhnya didominasi rendah kepada perempuan dan memandang
oleh kekuasaan laki-laki. Adanya asumsi dan perempuan sebagai kelompok sekunder.
stereotip gender yang berlaku di tempat kerja serta Faktor kedua penyebab fenomena glass
budaya organisasi yang belum responsif gender ceiling di bidang kepegawaian adalah kurangnya
telah mempengaruhi pola mobilitas perempuan sensitivitas gender dari policy maker yang
dan minoritas di bidang kepegawaian. mengakibatkan kebijakan-kebijakan publik di
Dalam konteks di Indonesia fenomena glass bidang kepegawaian belum adil gender. Pelatihan-
ceiling di bidang kepegawaian disebabkan karena pelatihan sensitivitas gender yang pernah diikuti
beberapa faktor. Pertama, faktor sosial budaya. baru sebatas pada pengetahuan dan belum sampai
Nilai-nilai sosial budaya di Indonesia kental pada kesadaran untuk melakukan aksi nyata dalam
dengan budaya patriarki yang menempatkan memperkecil kesenjangan di bidang kepegawaian.
perempuan pada posisi yang kurang beruntung Padahal., perempuan membutuhkan kebijakan
dibandingkan laki-laki. Adanya stereotip gender publik yang mampu mendukung optimalisasi
yang menganggap bahwa perempuan lemah, tidak peran mereka di bidang ketenagakerjaan tanpa
mandiri, kurang berani mengambil keputusan mengabaikan peran reproduksi biologisnya.
mengakibatkan mereka kurang dipercaya untuk Adanya padangan yang menyatakan bahwa
menduduki posisi penting dalam jabatan-jabatan tanggung jawab utama perempuan adalah fungsi
publik. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya pemeliharaan anak, maka mereka membutuhkan
pandangan tradisional yang menganggap bahwa adanya fasilitas tempat penitipan anak yang
tempat yang paling cocok bagi perempuan adalah memadai. Sayangnya, fasilitas-fasilitas tersebut
di ranah domestik. Dengan anggapan ini, maka masih terbatas dan kalaupun ada maka biaya yang
peran-peran yang dianggap cocok untuk harus dibayar lebih tinggi dibandingkan
peremouan adalah pekerjaan yang berdekatan pendapatan mereka. Kondisi ini juga terjadi di
dengan fungsi pemeliharaan seperti pendidikan, negara lain. Temuan Cho dan Kwon (2010),
kesehatan, dan sosial. Adanya anggapan bahwa menyatakan bahwa adanya sistem
perempuan bertanggung jawab dalam urusan perawatan/pemeliharaan anak yang masih lemah
domestik juga mengakibatkan mobilitas mereka atau tidak adanya tempat penitipan anak yang
dianggap terbatas, perempuan tidak dapat memdai serta tidak seimbangnya kompensasi

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

yang diterima oleh pegawai dengan biaya yang memberi pengalaman kepada mereka, karena
harus mereka keluarkan untuk perawatan anak mereka berkesempatan untuk mempraktekkan
ketika mereka bekerja mengakibatkan perempuan multi pekerjaan sehingga memperkaya
tidak dapat bekerja secara optimal. Akhirnya, kemampuan interpersonal mereka dan efektivitas
lemahnya usaha-usaha untuk menentang anti kepemimpinannya. Dengan kata lain, multi peran
diskriminasi membuat perempuan tetap perempuan di dalam keluarga dan di tempat kerja
menduduki posisi non-standar ini mampu meningkatkan kapasitasnya dalam
Faktor ketiga penyebab fenomena glass posisi manajemen (Ruderman, Ohlott, Panzer, &
ceiling adalah budaya organisasi yang belum pro King, 2002 dalam Pynes, 2004).
gender. Budaya organisasi pada hakekatnya
merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai Analisis isi Dokumen Kebijakan Kepegawaian
organisasioanal yang dipahami, dijiwai, Sesungguhnya secara implisit maupun
terinternalisasi ke dalam pikiran dan dipraktekkan eksplisit pemerintah Indonesia telah
sebagai pedoman bersikap, berperilaku dan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-
berbuat bagi setiap anggota organisasi (Davis undangan yang mengatur tentang kepegawaian
dalam Tjahjono, 2003 dan Dwiyanto, 2002). sebagaimana tertuang pada tabel 1. Berdasarkan
Budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial regulasi-regulasi tersebut, pada hakekatnya dasar
(social glue) yang mengikat semua anggota utama penyelenggaraan manajemen sumber daya
organisasi secara bersama-sama. Smircich dalam manusia adalah mengembangkan sumber daya
Tjahjono (2003:12), menunjukkan empat fungsi manusia yang profesional, berkualitas dan
penting budaya organisasi, yaitu 1) memberikan bertanggung jawab serta objektif dengan cara
suatu identitas organisasional kepada para anggota memberik kesempatan seluas-luasnya kepada
organisasi; 2) memfasilitasi atau memudahkan setiap Warga Negara Indonesia untuk berkembang
komitmen kolektif; 3) meningkatkan stabilitas dan mengembangka dirinya seoptimal mungkin.
sistem sosial; 4) memilih sense terhadap Hal ini dinyatakan secara tegas pada PP No 98
sekitarnya. Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS yang
Terkait dengan upaya untuk kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya PP
mengintegrasikan perspektif gender di bidang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Perubahan atas PP
kepegawaian, maka organisasi harus mempu No 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS.
mengembangkan budaya organisasi yang Persoalannya adalah penggunaan kata “setiap
responsif gender, di mana pada organisasi tersebut Warga Negara RI” seringkali dimaknai bukan
dikembangkan kenyakinan, nilai-nilai (values) sebagai setiap laki-laki dan perempuan sebagai
tentang kesetaraan dan keadila gender yang Warga Negara Indonesia. Hal ini terjadi karena
dipahami dijiwai dan dipraktekkan oleh struktur kekuasaan di institusi publik dikuasai
organisasional sehingga pola tersebut memberikan oleh struktur kekuasaan elit laki-laki dan
arti tersendiri dan menjadi dasar atuan berperilaku kareanya, seringkali merugikan salah satu jenis
dalam organisasional. Apabila seperangkat nilai kelamin, dalam hal ini perempuan.
tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah Upaya untuk mewujudkan kompetensi SDM
laku, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap juga diatur melalui PP Nomor 101 Tahun 2000
anggota dari sebuah organisasi pro gender yang tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS,
menentang diskriminasi, maka perempuan akan dimana pada regulasi tersebut dinyatakan,
tetap mendominasi posisi marginal di bidang “....untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik
kepegawaian. diperlukan sumberdaya manusia aparatur yang
Meskipun berbagai hasil studi berkesimpulan memiliki kompetensi jabatan dalam
bahwa perempuan diragukan berkemampuan penyelenggaraan negaa dan pembangunan...untuk
untuk mengembangkan potensinya, namun menciptakan SDM aparatur yang yang memeiliki
berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi tsb diperlukan peningkatan mutu
multi peran perempuan, baik di dalam keluarga profesionalisme....melalui Pendidikan dan
maupun di tempat kerja sesungguhnya justru Pelatihan Jabatan....” Berdasarkan peraturan

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

tersebut pada hakekatnya regulasi yang ada sudah Struktural tingkat pendidikan yang
menjamin agar SDM (laki-laki maupun ditentukan
perempuan) punya kesempatan yang sama untuk - ...memiliki kompetensi jabatan
mengembangkan potensinya melalui diklat. yang diperlukan..
Ps.6: ...perlu memperhatikan
Selanjutnya pada PP Nomor 100 Tahun 2000
faktor senioritas dalam
tentang pengangkatan PNS dalam Jabatan
kepangkatan, usia, pendidikan,
Struktural Pasal 5 dinyatakan bahwa persyaratan dan pelatihan jabatan dan
untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural pengalaman yang dimiliki.
adalah berstatus PNS, memiliki kualifikasi dan Sumber: Lembaga Negara RI Tahun 2000
tingkat pendidikan yang ditentukan serta memiliki
kompetensi jabatan yang diperlukan. Selain itu Regulas-regulasi yang mengatur tentang
pada pasal 6 dinyatakan perlunya memperhatikan pengadaan, pendidikan dan pelatihan hingga
faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, pengangkatan dalam jabatan struktural
pendidikan dan pelatihan jabatan, dan pengalaman menempatkan laki-laki dan perempuan secara
yang dimiliki. sama dalam terminologi setiap warga negara RI
atau SDM aparatur. Persoalannya, mengapa
Tabel 1. Analisis isi Dokumen Kebijakan regulasi yang sudah memberi ruang bagi
No Regulasi Dasar perempuan dan laki-laki (dalam terminologi setiap
1 PP No 98 Tahun Pengadaan untuk mengisi warga negara Indonesia) tidak mampu menjamin
2000 tentang formasi yang lowong dan
keadilan dan kesetaraan gender, baik secara
Pengadaan PNS mendapatkan PNS yang
struktural maupun secara horizontal? Dalam
profesional, berkualitas serta
mewujudkan obyektivitas dalam konteks inilah maka apa yang dikatakan oleh
pelaksanaan pengadaan PNS Stiver pada bagian sebelumnya, bahwa
Ps.3: setiap Warga Negara RI administrasi publik yang nampaknya netral
mempunyai kesempatan yang ternyata dalam implementasinya tidak netral
sama untuk melamar menjadi karena secara struktural kekuasaan yang ada
PNS setelah memenuhi Ps. 6. didominasi oleh laki-laki adalah benar. Untuk itu
Syarat: Warga Negara Indonesia perlu ada kepekaan untuk melihat permasalahan
2 PP No 11 Tahu 22 Untuk mewujudkan PNS yang pembangunan SDM dari gender lens (lensa
tentang Perubahan profesional dan bertanggung
gender). Hal ini penting untuk dilakukan agar
atas PP No 98 jawab. Ps.6: Syarat Warga
penataan SDM dimasa yang akan datang mampu
tahun 2000 tentang Negara Indonesia
Pengadaan PNS mengembangkan setiap SDM (laki-laki dan
3 PP No 101 tahun “....untuk mewujudkan perempuan) secara optimal tanpa terkendala oleh
2000 tentang kepemerintahan yang baik hambatan-hambatan stuktural ataupun kultural.
Pengadaan dan diperlukan sumberdaya manusia Tidak adanya ketersediaan data terpilah SDM
Pelatihan Jabatan aparatur yang memiliki secara akurat dan up to date mengakibatkan
PNS kompetensi jabatan dalam perencanaan dan pengembangan SDM tidak
penyelenggaraan negaa dan mampu menemukenali adanya ketertinggalan
pembangunan...untuk salah satu jenis kelamin dibandingkan jenis
menciptakan SDM aparatur yang
kelamin lainnya atau kalaupun ada ketertinggalan
yang memeiliki kompetensi tsb
tersebut seringkali dianggap sebagai hal yang
diperlukan peningkatan mutu
profesionalisme....melalui
wajar dan tidak perlu dipersoalkan.
Pendidikan dan Pelatihan
Jabatan.... Affirmative Action dalam Manajemen SDM
4 PP RI Nomor 100 Ps.5: Prasyarat untuk dapat Affirmative Action melalui integrasi
Tahun 2000 diangkat dalam jabatan perspektif gender dalam seluruh mekanisme
tentang struktural: perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelatihan dan
Pengangkatan PNS - Berstatus PNS training hingga promosi SDM perlu dilakukan
dalam Jabatan - ..memiliki kualifikasi dan untuk memecahkan masalah kesenjangan gender,
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

baik secara struktural maupun horisontal. Meski jabatan, masa kerja maupun pendidikan dan
demikian operasionalisasi dari strategi affirmative pelatihan yang pernah diikuti menurut jenis
action ini menghadapi tantangan tugas yang cukup kelamin. Adanya pengembangan sistem pendataan
berat. Integrasi permasalahan gender memerlukan PNS dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) terbaru
dukungan finansial dan SDM yang memadai, serta membuat pekerjaan pemetaan ini tidaklah sulit
institusi yang kuat, yang hingga saat ini masih untuk dilakukan. Hasil pemetaan dapat digunakan
terbatas. Indonesia termasuk salah satu negara sebagai dasar untuk menganalisis adakah
yang belum mampu mewujudkan keadilan gender kesenjangan gender dalam penempatan SDM baik
di bidang kepegawaian. Hal ini mengindikasikan secara struktural maupun secara horisontal.
lemahnya peran negara dalam menjamin agar Apabila terdapat kesenjangan gender, maka perlu
hukum dan kebijakan di bidang kepegawaian dilakukan analisis secara lebih tajam dengan
benar-benar adil gender. Otoritas negara tidak menggunakan analisis gender sehingga dapat
efektif dan negara tidak memiliki alat pemaksa diketahui apakah terdapat kesenjangan gender.
yang cukup kuat untuk memberjalankan kebijakan Apabila ada, siapa yang berada dalam keadaan
publik yang dibuatnya. tertinggal dan mengapa mereka berada dalam
Menyadari bahwa integrasi gender dalam keadaan tertinggal?. Hasil analisis ini kemudian
peraturan perundang-undangan di bidang bisa digunakan sebagai dasar untuk membuat
kepegawaian tidaklah mudah untuk dilakukan, klasifikasi faktor penyebab, antara lain: (1)
maka tindakan affirmative action yang ditawarkan terbatasnya kapasitas SDM; atau (2) lingkungan
adalah mengintegrasikan materi gender dalam organisasi lebih memberi prefensi pada jenis
materi pendidikan dan pelatihan penjenjangan kelamin tertentu; atau (3) kurangnya motivasi
struktural bagi pejabat struktural eselon I hingga salah satu jenis kelamin dibandingkan jenis
eselon IV. Hal ini dilakukan agar terjadi kelamin lainnya. Selanjutnya faktor penyebab
perubahan mindset para policy maker dari bias tersebut digunakan sebagai dasar bagi pejabat
gender menjadi adil dan setara gender. Dengan eselon I hingga IV dalam melakukan pembinaan
perubahan mindset diharapkan nilai-nilai adil dan SDM sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-
setara benar-benar terinternalisasi ke dalam masing.
pikiran dan dipraktekkan sebagai pedoman Affirmative Action lain yang dapat dilakukan
bersikap, berperilaku dan berbuat bagi pejabat dengan cara mudah adalah mengatur kualitas
eselon I hingga IV dalam manajemen sumber SDM di sektor publik melalui kualitas inputnya.
daya manusia sesuai tugas pokok dan fungsinya Untuk itu perlu direkrut calon-calon pegawai
masing-masing. Dengan demikian akan terbangun terbaik yang berasal dari lembaga pendidikan
budaya organisasi sebagai perekat sosial (social berkualitas. Pada tahap rekruitmen, upaya
glue) yang mengikat semua anggota organisasi pemenuhan kebutuhan PNS dapat dilakukan
secara bersama-sama dalam mempraktekkan nilai- melalui kerjasama dengan berbagai lembaga
nilai adil dan setara gender di bidang kepegawaian pendidikan yang qualified, misalnya dengan
sehingga terbangun komitmen kolektif dalam menarik lulusan perguruan tinggi rangking 1
mengembangkan sumberdaya manusia baik laki- hingga 3 untuk mengisi formasi yang kosong
laki maupun perempuan secara profesional, adil tanpa membedakan apakah calon tersebut berjenis
dan setara. Dengan affirmative action berupa kelamin laki-laki atau perempuan. Dengan cara
integrasi materi gender dalam diklat penjenjangan demikian, ada usaha-usaha sistemik untuk
struktural eselon I hingga IV, maka pelatihan- mendapatkan calon PNS dengan kualitas dasa
pelatihan gender yang bersifat insidental tidak minimal yang secara akademik bisa
diperlukan lagi karena semua materi telah dipertanggung jawabkan dan proses rekrutmen
terintegrasi dalam mekanisme pengembangan tidak lagi bersifat gambling. Dasar yang
pegawai. digunakan untuk perekrutan adalah hasil job
Untuk mendukung tindakan affirmative analisis setiap jabatan dan pekerjan di semua
action ini maka sudah saatnya dilakukan pemetaan sektor dan semua level pemerintahan. Hal ini
sumber daya manusia PNS berdasarkan pangkat, untuk mengetahui job requirement yang

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh calon-calon affirmative action di bidang kepegawaian perlu
PNS. dilakukan. Untuk itu perlu disiapkan widya
Tindakan affirmative action juga dapat iswara/pelatih diklat penjenjangan struktural yang
dilakukan melalui pemanfaatan teknologi paham gender disertai dengan pembuatan modul
informasi sebagai salah satu media untuk tentang materi gender yang akan diintegrasikan
meningkatkan kapasitas SDM. Dengan dalam pendidikan dan pelatihan pejabat struktural
penyelenggaraan diklat berbasis IT maka peserta eselon I hingga IV.
diklat, khususnya perempuan tidak harus
meninggalkan rumah dan tempat kerja untuk DAFTAR PUSTAKA
mengikuti kegiatan diklat terlalu lama. Cho, Joonmo dan Kwon, Taehee. Affirmative
Action and Corporate Compliance In South
PENUTUP Korea. Feminist Economics 16(2), April
Fenomena glass ceiling di bidang 2010, 111-139
kepegawaian mengakibatkan adanya diskriminasi Dwiyanto, Agus; Partini; Ratminto; Wicaksono,
gender secara struktural dan horisontal di bidang Bambang dan Kusumasari, Bevaola. 2002.
kepegawaian. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Fenomena glass ceiling tersebut terjadi Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan
karenaadanyafaktor sosial budaya berupastereotip dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada
gender yang merugikan perempuan, kurangnya Effendi, Sofian. 2009. Reformasi Aparatur
sensivitas gender policy maker yang Negara guna Mendukung Demokrastisasi
mengakibatkan kebijakan kepegawaian belum Politik dan Ekonomi Terbuka. Dalam
responsif gender serta adannya budaya organisasi Pramusinto dan Kumorotomo (ed).
yang belum adil gender. Governance Reform di Indonesia.
Meskipun regulasi di bidang kepegawaian Yogyakarta: Gava Media dan MAP UGM
menempatkan laki-laki dan perempuan secara Harris, G.L.A. 2011. The Quest for Gender
sama dalam terminologi setiap warga negara RI Equity. Public Administration Review
atau SDM aparatur, namun dalam januari/ Februari 2011. 71,1. ABI/Informal
implementasinya tidak netral karena secara Global
struktural kekuasaan yang ada didominasi oleh Klingner, Donald E. Dan Naibandian. 1985.
laki-laki. Untuk itu, cara strategis yang dipandang Public Personal Management: Context and
efektif dalam mengatasi adanya praktek Strategies. New Jersey: Prentice Hall. Inc
diskriminasi gender di bidang kepegawaian adalah Long, Mark. C. Affirmative Action and Its
(1) perlu dilakukan perubahan mind set para Alternatives in Public Universities: What
pejabat struktural eselon I hingga IV tentang Do We Know? In Public Administration
kesetaraan dan keadilan gender melalui Review, Mart, 2007, Vol 67 issue 2, p 315-
pengintegrasian materi gender dalam diklat 330
struktural; (2) perlu dibangun budaya organisasi Miller, Karen. 2009. Public Policy Dilemma
adil gender; (3) perlu pemetaan dan analisis gender equality mainstreaming in UK
gender pada SDM; (4) perlu kemitraan dengan policy formulation. Journal Compilation
perguruan tinggi untuk menyediakan lulusan Public Money & Management January
terbaiknya serta (5) perlu pemanfaatan IT sebagai 2009. CIPFA
media training bagi SDM. Melalui tindakan Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. 2011. Analisis Gender
affirmative action ini diharapkan mampu Ketenagakerjaan Sektor Formal. Surakarta:
memperkecil dan menghilangkan ketidakadilan FISIP UNS (Penelitian Unpublished)
gender di bidang kepegawaian. Portillo, Shannon, dan DeHart, Leisha-Davis.
Pemerintah harus secara berkesinambungan 2009. Gender and Organizational Rule
fokus usaha memperkecil adanya diskriminasi Abidance dalam Public Administration
gender di bidang kepagawaian baik secara Review; Mar/Apr 2009; 69, 2; Research
struktural maupun horisontal. Tindakan Library Core

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN


Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS VOL. 6, No. 2, November 2012

Pynes, Joan E. 2004. Human Resources


Management for Public and Nonprofit
Organizations. San Fransisco: Jossey-Bass
Riccucci, Norma M. 2005. A Practical Guide to
Affirmative Action. Dalam Condrey,
Stephen E. (Ed). Handbook of Human
Resource Management in Government,
Second Edition. San Fransisco: Jossey
Bass.
Selden, Sally Coleman. 2006. A Solution in
Search of a Problem? Discrimination,
Affirmative Action, and the New Public
Service. Public Administration Review.
Nov/Dec 2006, vol.66 issue 6, p.911-923
Stivers, Camilla. 1993. Gender Images in Public
Administration: Legitimacy and the
Administrative State. California: Sage
Publication, Inc
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2009.
Manajemen Sumber Daya Manusia:
Konsep, Teori dan Pengembangan dalam
Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Tjahjono, Heru Kurnianto. 2003. Budaya
Organisasional dan Balanced Scorecard:
Dimensi Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Unit Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
UNDP. 2010. Partisipasi Perempuan dalam
Politik dan Pemerintah. Jakarta: UNDP
http://www.bkn.go.id/stat2009
http://purnamajulia.blogspot.com/2011/02/pengert
ian-affirmative-action.html

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN

Anda mungkin juga menyukai