Anda di halaman 1dari 28

Muatan Muatan Diskriminasi Gender yang Tersirat dalam Peraturan

dan Kebijakan Pemerintah dan Swasta

Makalah Non Seminar

Oleh
Nalia Intan Pongtuluran
1106085674

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Indonesia
Depok, 2014

Muatan Muatan Diskriminasi Gender yang Tersirat dalam Peraturan


dan Kebijakan Pemerintah dan Swasta
Nalia Intan Pongtuluram, Askarian Kartono
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia

Email : nalia.pongtuluran@gmail.com
Email : askariani28@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini diawali dari rasa kekhawatiran penulis akan berbagai kejadian kekerasan yang
dialami perempuan. Dalam era dimana perempuan sudah demikian majunya, baik dalam
pendidikan maupun profesi, namun kekerasan yang dialami perempuan seakan tidak pandang
bulu. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan penulis: "Sejauh mana muatan muatan
diskriminasi gender secara tersirat ada dalam peraturan dan kebijakan Pemerintah dan swasta
?" Pengumpulan data dilakukan melalui berbagai sumber, baik dar nedia maupun peraturan
terkait. Hasil analisis menemukan bahwa secara tersirat memang ditemukan adanya
diskriminasi gender. Namun apakah berimplikasi pada kekerasan atau tidak, sangat
tergantung pada bagaimana pihak terkait menginterpretasikannya.
Kata Kunci : Diskriminasi, Peraturan, Kebijakan, Perempuan

Implicit Gender Discrimination in Government and Private Policies


Abstract

This journal begins with my concern on various kind of violence against women. In the era of
women empowerment had reached significant improvements both in education and
professional work field, however violence remains to threaten women indiscriminately. This
phenomenon raises my attention on how far contents of gender discrimination are reflected
in policies or regulations of government and private sectors? Data gathering are collected
from various sources, including medias and related regulations. Result of analysis reflects
that there is an implicit gender discrimination. However on whether it would implicate to
violence or not, shall highly be dependent on how the related party would interpreted the
regulations.
Keywords : Discrimination, Policies, Regulations, Women,

I. Pendahuluan

I.1. Latar Belakang


Sejak masa pra-kemerdekaan hingga saat ini, kesetaraan gender merupakan hal yang
diperjuangkan dalam masyarakat Indonesia. Dari gerakan perempuan yang menuntut
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada masa pra-kemerdekaan hingga terlihatnya
implementasi kaum perempuan dalam dunia politik pada masa kemerdekaan, kondisi sosial
perempuan yang mencerminkan relasi gender secara mendalam terlihat membaik dari waktu
ke waktu.
Istilah ketidakadilan gender pertama kali diungkapkan oleh kaum feminis barat yang
berusaha mengubah tatanan masyarakat yang male-dominated. Mereka menganggap bahwa
ideologi patriarki yang berkembang dalam masyarakat merupakan hal yang merugikan
perempuan.
Kondisi sosial perempuan dalam masyarakat Indonesia saat ini memang membaik
jika dibandingkan dengan masa pra-kemerdekaan, namun masih banyaknya kekerasan
terhadap perempuan baik dalam bentuk seksual, fisik, ekonomi, maupun emosional yang
dialami perempuan dalam masyarakat Indonesia menggambarkan keadaan gender yang belum
setara. Dalam menyetarakan gender salah satu Peraturan pemerintah yang mempengaruhi
peningkatan kondisi sosial perempuan dalam masyarakat Indonesia, contohnya peraturan
wajib belajar 9 tahun yang meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan
sejak tahun 2000, juga jaminan pemerintah terhadap hak perempuan yang dapat dilihat pada
pasal-pasal 27 UUD 45 dan UU 80/1958 tentang persamaan upah antara pekerja laki-laki dan
perempuan1.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah ketidakadilan gender sudah dikenal dari sejak
Indonesia belum merdeka. Banyak peraturan pemerintah maupun berbagai macam gerakan
yang ingin menghilangkan ketidakadilan gender dan menyetarakan relasi gender di Indonesia.
Namun hingga kini, relasi gender dalam masyarakat Indonesia masih belum setara. Adanya
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat seolah-olah memilah-milah peran diantara
laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai yang mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat
Indonesia adalah:

1 MD, Mukhotib. 2012. Menemukan Akar Gerakan Perempuan Indonesia.
http://maruplaxs.blogspot.com/2012/07/menemukan-akar-gerakan-perempuan.html, diakses pada
tanggal 28 November)
Universitas Indonesia

Nilai Agama
Dari data yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Sensus Penduduk Tahun 2000
membuktikan bahwa lebih dari 88 persen masyarakat Indonesia memeluk Agama Islam2.
Oleh karena itu wajar jika ajaran agama Islam banyak mempengaruhi nilai-nilai budaya,
ekonomi, dan relasi gender dalam masyarakat Indonesia. Ajaran agama Islam yang
mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat antara lain paham sebaik-baiknya wanita itu
di rumah dan diperbolehkannya poligami dalam perkawinan. Meskipun menurut survei dari
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2011, hanya 12,7 persen pemuda muslim yang
setuju terhadap poligami dan 0,8 persen yang sangat mendukung3, namun pada penerapannya
diperbolehkannya poligami dalam ajaran Islam merupakan suatu bias gender.
Hampir dalam setiap agama, tidak hanya Islam, tercantum bahwa laki-laki memiliki
posisi yang lebih tinggi dari perempuan. Maksudnya adalah agar kaum laki-laki melindungi
kaum perempuan. Namun dalam kenyataannya, masyarakat yang tidak mendalami maksud
tersebut menyalahgunakannya sehingga banyak terdapat keluarga asimetris dalam
masyarakat.
Nilai Budaya
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar masyarakatnya menganut budaya
patriarki, tentu saja hal ini juga membatasi keterlibatan perempuan dan menyebabkan bias
gender. Dimana budaya patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang
mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah hubungan keturunan
melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak (Sastryani. 2007). Dari hasil survei penduduk
antarsensus (SUPAS) 2005-BPS menunjukkan penduduk perempuan umur 10 tahun ke atas
yang mampu membaca dan menulis sebanyak 77,7 juta jiwa atau 49 persen. Sementara lakilaki 82,1 juta jiwa atau 51 persen.4 Data tersebut menunjukkan adanya ketimpangan gender
dalam bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya pada bidang

Sumber : Biro Pusat Statistik, Sensus Penduduk Tahun 2000.


(Fadillah, Ramadhian. 2011. Survei : Mayoritas Pemuda Muslim Tolak Poligami.
http://news.detik.com/read/2011/06/14/122347/1659844/10/survei-mayoritas-pemuda-muslim-tolakpoligami?n990102mainnews diakses pada tanggal 28 November 2014)
4 (Manihuruk, Rosenman. 2008. Budaya Patriarki di Indonesia Membuat Terjadinya Bias Gender.
http://rosenmanmanihuruk.blogspot.com/2008/06/budaya-patriarki-di-indonesia-membuat.html
diakses pada tanggal 28 November 2014)
2
3

Universitas Indonesia

pendidikan, budaya patriarki juga mempengaruhi banyak bidang lainnya dan menimbulkan
stereotype gender pada masyarakat Indonesia.
Penerapan pemerintah melihat budaya patriarki terlihat dalam UU 31 Tahun 1974.
Pada pasal ini dijelaskan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga dan wajib dalam meberikan
nafkah atau bertanggung jawab kepada istri dan keluarganya.
Nilai Pendidikan
Latar belakang pendidikan yang belum setara antara laki-laki dan perempuan
menjadi faktor penyebab ketidaksetaraan gender dalam semua sektor seperti lapangan
pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat
(Suryadi & Idris, 2004) 5 . Salah satu pemegang peran penting dalam meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran akan gender adalah melalui lembaga pendidikan. Lembaga
pendidikan seperti sekolah, merupakan salah satu agen sosialiasi gender penting. Sebagai
agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan dan memberitahu pembelajaran gender melalui
kurikulum formal. Munculnya pemahaman bahwa seorang laki-laki adalah seseorang yang
bekerja menggunakan kekuatan, terdapat dalam dunia pendidikan. Seperti yang dikatakan Sri
Sucianti dalam harian Suara Merdeka, 9 Agustus 2006 bahwa dalam buku-buku yang
digunakan dalam pendidikan formal mengandung nilai ketidak setaraan gender. Gambar
seseorang pilot selalu laki-laki, dimana diperlihatkan kekuatan dan ketampanan yang hanya
dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan gambar guru yang mengajar adalah perempuan, dimana
perempuan identik dengan mendidik atau mengasuh6.
Selain melalui kurikulum formal, sekolah juga memberikan pembelajaran gender
yang dinamakan kurikulum terselubung (hidden curicullum). Kurikulum terselubung
ditunjukkan dengan memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Kurikulum sepak
bola yang identik dengan laki-laki, dimana dalam permainan sepak bola dibutuhkan kekuatan
dalam bermain. Hal yang identik dengan wanita terdapat dalam kurikulum memasak atau
menyanyi.
Inti dari kesetaraan gender adalah tercapainya kesetaraan antara status dan peranan
laki-laki dan perempuan. Undang Undang 1945 secara jelas menyatakan bahwa kedudukan

5(Kementerian Sosial.
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/bbd6c378095e1ce3e45398f3789b5bc6.pdf, diakses pada 1
Desember 2014)
6(Indah, Nur. 2013. Problematika Gender Dalam Dunia Pendidikan
https://www.academia.edu/4526585/Problematika_Gender_Dalam_Dunia_Pendidikan, diakses pada
tanggal 1 Desember 2014)
Universitas Indonesia

laki-laki dan perempuan adalah sama karena tidak ada kata-kata yang menyebut laki-laki
ataupun perempuan dalam UUD 45, yang ada hanyalah sebutan warga negara. Namun dalam
masyarakat, terdapat perbedaan jelas antara status dan peran laki-laki dan perempuan.
Contohnya, dalam perkawinan dianggap bahwa peran laki-laki sebagai kepala keluarga lebih
tinggi daripada peran istri sebagai ibu rumah tangga yang identik dengan kewajiban mengatur
urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan lain-lain sehingga banyak terdapat
keluarga asimetris dan ketidaksetaraan peran dalam masyarakat.
Ketidaksetaraan peran tersebut mampu memicu diskriminasi gender pada perempuan
dan kekerasan dalam berbagai bidang. Kekerasan tidak hanya secara fisik, tetapi juga
kekerasan emosional, ekonomi dan seksual. Kekerasan fisik terhadap wanita dalam rumah
tangga berupa kekerasan yang meninggalkan bekas luka di badan, seperti memar, dan lainlain. Kekerasan emosional berupa tindakan yang meninggalkan rasa takut, dan membuat
wanita tidak mampu melawan. Bentuk kekerasan emosional lainnya adalah poligami yang
dilakukan oleh suami. Kekerasan seksual berupa tindak pemaksaan seks terhadap istri yang
dapat dikatakan abnormal. Sedangkan kekerasan ekonomi dapat berupa memaksa istri untuk
mencari nafkah sebanyak-banyaknya ataupun melarang istri untuk bekerja, juga dapat
berbentuk perilaku suami yang tidak menafkahi istrinya. Dari tindakan kekerasan ini mampu
menimbulkan diskrimiasi gender.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2011 lalu, ada sekitar 119.107 kasus kekerasan
yang terjadi kepada perempuan. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan kejiwaan sebanyak
103.691 kasus, kekerasan ekonomi sebanyak 3.222 kasus, kekerasan fisik sebanyak 2.790
kasus, dan kekerasan seksual sebanyak 1.398 kasus. Angka tersebut meningkat 13,32 persen
dari data yang diperoleh pada tahun sebelumnya. Komnas Perempuan juga mencatat terdapat
kekerasan terhadap wanita yang dilakukan oleh negara, seperti kekerasan oleh aparat
sebanyak 31 kasus, pengambilan lahan sebanyak 6 kasus, serta pelayanan publik berkaitan
dengan kewarganegaraan sebanyak dua kasus. Hal ini membuktikan bahwa terjadinya
kekerasan terhadap wanita tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum terutama laki-laki,
namun juga oleh negara.
Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, juga menyatakan kebijakan
diskriminatif atas nama agama dan moralitas yang dikeluarkan pemerintah daerah terus
bertambah. Komnas Perempuan mencatat saat ini terdapat 342 kebijakan diskriminatif,
meningkat dari 282 pada 2012 dan 207 pada 2011. Sebanyak 265 dari 342 kebijakan
Universitas Indonesia

diskriminatif yang ada, kata Andi, secara langsung menyasar kepada perempuan atas nama
agama dan moralitas. Dari 265 kebijakan tersebut, 76 kebijakan mengatur cara berpakaian
berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas, yang menurut Andi
membatasi hak kemerdekaan berekspresi dan hak kemerdekaan beragama. Selain itu, ada 124
kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik
laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas -- 19 diantaranya menggunakan istilah khalwat
atau mesum7.
1.2. Perumusan Masalah
Bedasarkan nilai nilai yang memengaruhi relasi gender dalam masyarakat
Indonesia, seperti : nilai agama, nilai budaya, dan nilai pendidikan, yang berimplikasi pada
terjadinya kekerasan dan diskriminasi gender di hampir semua bidang kehidupan perempuan,
maka yang menjadi pertanyaan penulis adalah : Sejauh mana tersirat adanya muatan
muatan diskriminasi gender dalam peraturan dan kebijakanan pemerintah dan swasta?
I.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mendeskripsikan nilai nilai yang memengaruhi relasi gender dan
keterkaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan
b. Untuk mendeskripsikan peraturan dan kebijakan Pemerintah dan Swasta yang tersirat
muatan muatan diskriminasi gender pada perempuan.
I.4. Metode Pengumpulan Data
Dalam menyusun jurnal ini, penulis melakukan pengamatan isi media dan literature
terkait pemberitaan mengenai kasus kasus diskriminasi gender dan kebijakan pemerintah.
Untuk menganalisa permasalahan yang telah disebutkan di bagian sebelumnya maka penulis
akan melakukan pengamatan terhadap isi media pada berbagai portal berita online seperti
kompas.com, tempo.co, detik.com, dan tribunnews.com. Pada literature review, penulis
mencari literature melalui penulusaran website dan perkumpulan literature seperti salah satu
contoh adalah www.academia.edu.


7 (Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2013.
http://www.komnasperempuan.or.id/2013/08/siaran-pers-komnas-perempuan-kebijakan-
diskriminatif-yang-bertentangan-dengan-konstitusi/ diakses pada tanggal 30 November 2014)
Universitas Indonesia

II. Kerangka Konseptual


Budaya
Terdapat tiga kategori umum dari definisi budaya. Pertama adalah ideal. Budaya
adalah bagian atau proses presepsi manusia dalam nilai-nilai mutlak atau secara umum. Pada
dasaranya, budaya merupakan hal yang sudah ada atau diterima, dimana didasari oleh
penemuan dan deskripsi dikehidupan dan pekerjaan. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat sebagai
urutan waktu atau referensi mutlak bagi kehidupan manusia secara umum. Pengertian lainnya
adalah budaya sebagai dokumentasi. Budaya juga dapat tubuh dari karya intelektual dan
imajinatif dengan cara rinci melalui pengalaman dan pemikiran manusia yang berbeda-beda.
Analisi budaya dari artinya adalah aktivitas kritik dimana sifat pikiran dan pengalaman, tata
atau rincian bahasa, bentuk dan konvensi dimana ini aktif dijelaskan dan dihargai. Ketiga
adalah kategori sosial. Sosial sebagai budaya adalah penjelasan dari cara hidup tertentu,
dimana menguangkapkan makna tertentu dan nilai-nilai, tidak hanya dalam seni dan belajar
tetapi dalam lembaga dan perilaku biasa8.
Analisis dari definisi sosial budaya adalah klarifikasi makna dan nilai-nilai, implisit
dan eksplisit dalam suatu cara hidup tertentu, budaya tertentu 9 . Analisis tersebut akan
mencakup kritik sejarah yang sudah disebut, di mana karya-karya intelektual dan imajinatif
dianalisis dalam kaitannya dengan tradisi tertentu dan masyarakat, tetapi juga akan mencakup
analisis elemen dalam cara hidup yang ke pengikut definisi lain tidak 'budaya' sama sekali.
Budaya Patriarki
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yakni buddhayah yang merupakan bentuk
jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal ( Hartomo et. al 2008, hlm. 38 ). Dalam
bahasa Belanda, kebudayaan adalah cultuur dalam bahasa Inggris adalah culture dan bahasa
Arab Tsaqafah yang diadopsi dari bahasa latin yakni colere yang artinya mengolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dan
berkembanglah cultur sebagai segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan
mengubah alam (Prasetya. 2004. hlm 28). Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat


8 ( Oliver Boyd-Barrett, Chris Newbold. 1995. Approaches to Media. A Reader. New York.) Hal 332
9 (Widyo, Prayanto. 2009. Metamorfosis Kebudayaan ; Sebuah Tinjauan Media Televisi dan Budaya
Kekerasan http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/2310.pdf, diakses pada tanggal 30 November
2014)
Universitas Indonesia

sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah hubungan


keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak (Sastryani. 2007)10.
Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk Indonesia, budaya dan ideologi patriarki
masih sangat kental mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Bila dilihat
dari garis keturunan, masyarakat Sumatera Utara lebih cenderung sebagai masyarakat yang
patrilineal yang dalam hal ini posisi ayah atau bapak (laki-laki) lebih dominan dibandingkan
dengan posisi ibu (perempuan). Contoh suku yang menganut faktor budaya patriarki adalah
Batak, Melayu dan Nias (Syukrie, 2003, 2, http://www.Glosarium-. Syukrie.com, diperoleh
tanggal 20 Oktober 2009 )11.
Stereotype
Stereotype adalah generelasasi atau penyerataan mengenai sebuah kategori dari
manusia yang membedekan mereka dari kelompok lainnya12. Namun stereotip dapat berganti
atau berubah melalui pengalaman baru atau kasus baru yang terjadi dan akan berdampak
dalam perilaku yang diharapkan. Dalam stereotype ini terdapat simplification and social
judgement. Hal ini berdasarkan dengan menyederhanakan pemikiran sosial karena
merangkum pengalaman dan asosiasi dengan seluruh kelompok orang. Dapat menyebabkan
penilaian sosial lebih cepat dan lebih baik jika diterapkan secara bijaksana.
Kemudian terdapat oversimplication and prejudice. Stereotype menyetarakan setiap
isu baru atau kasus baru melalui pengalaman yang sudah ada sebelumnya, maka akan sangat
mudah dalam menyederhanakan stereotype. Stereotype yang membuat pertimbangan yang
tidak pantas atau tidak wajar mengenai individu disebut prejudice. Secara teknikal prejudice
dapat menjadi positif, tetapi istilah ini biasanya diaplikasikan hanya untuk evaluasi negatif
dari orang lain tanpa adanya pengalaman yang mendalam. Prejudice ini mampu menjadi
dasar ketidakadilan dalam diskriminasi, berperilaku berbeda terhadap orang lain semata-mata
atas dasar keanggotaan kelompok dirasakan. Prejudice and discrimination dapat dihasilkan
dari penyerdehanaan yang berlebihan dari stereotype. Hal ini dikarenakan dalam
menyetarakan, tidak menggunakan data yang tepat, hanya berguna ketika dianggap
dibutuhkan, tidak sebagai pengganti, pengalaman seseorang.


10 (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18639/4/Chapter%20II.pdf, diakses pada tanggal
30 November 2014)
11 Ibd
12 Anne L. Weber, Social Psychology. (New York: HarperCollins Publisher, 1992). Hal 70
Universitas Indonesia

Gender and Social Behavior


Disadari bahwa isu gender merupakan isu baru bagi masyarakat, sehingga
menimbulkan berbagi tafsiran dan tanggapan yang tidak proposional tentang gender. Salah
satu faktor yang mempengaruhinya adalah bermacam-macamnya tafsiran tentang pengertian
gender. Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang
bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan
bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari
struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural13. Gender
dalam ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada
ciri sosial masing- masing (Zainuddin, 2006: 1). Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women
and men). Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat
perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian
gender (What a given society defines as masculine or feminim is a component of gender). H.
T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya
mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Elaine Showalter menyebutkan bahwa gender lebih
dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya
(Nasaruddin Umar, 2010: 30). Adapun istilah-istilah yang berkaitan dengan gender
sebagaimana yang disampaikan dalam materi Workshop oleh Tim Gender Direktorat SMP
adalah sebagai berikut:
1. Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi
kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses
dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan
mengontrol proses pembangunan.
2. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam berpartisapasi.


13 (Jolie. 2006. Belajar Analisi Gender Yuk. http://joliekaban.wordpress.com/2006/08/18/belajar-analisis-
gender-yuk/, diakses pada tanggal 1 Desember 2014)
Universitas Indonesia

Stereotype Gender
Stereotype Gender adalah suatu hal yang menyetarakan satu gender dari yang lainnya,
tetapi penyetaraan mereka kadang belum tentu benar atau tidak akurat14. Stereotip ini bisa
bedasarkan kepercayaan atau budaya lebih mendominasi dibandingkan dari kenyataan. Dalam
menjelaskan stereotip gender, terdapat gender typing, gender schemata dan media
stereotypes. Gender typing adalah tahap paling awal dalam mengembangkan stereotip gender.
Tahap ini adalah yang pengkategorian manusia dalam maskulin dan feminin, dimana hal ini
terjadi dengan sendirinya melalui rasa ingin tahu atau perhatian. Pada tahap ini memiliki
konsekuensi yang jelas pada pendidikan dan kemajuan di dunia professional. Pengembangan
gender typing perlu dipertimbangkan kemampuan dasar dan kegiatan sesuai dengan feminim
dan maskulin. Dimana dalam kenyataan gender juga mempengaruhi kemampuan dasar dan
kegiatan yang dilakukan.
Gender Schemata ketika kita merenungkan secara pribadi di dunia sosial kita, sebagai
individu kita biasanya mentolerir lebih beragam dan konsistensi kurang dari permintaan
stereotip sosial. Schemata stereotip adalah langkah penting tapi tidak cukup dalam perilaku
berprasangka (seksisme). Gender Schemata sering menerima begitu saja apa yang disebarkan
oleh media seperti koran, jurnal terkenal, televisi, dan film.
Dalam media sering ditemukan bahwa terdapatnya perbedaan laki-laki dan
perempuan. Penelitian khusus meneliti Media seksisme juga menunjukkan bahwa paparan
gambar televisi dapat mempengaruhi penerimaan individu pesan stereotip yang mereka
sampaikan. Peneliti berspekulasi tentang efek jangka panjang dari media dan sebenarnya
membuat dan mengabadikan mereka.
Diskriminasi
Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa prasangka dapat melahirkan diskriminasi,
meskipun diskriminasi dapat pula muncul tanpa adanya prasangka dan seseorang yang
berprasangka lantas belum tentu langsung melakukan diskriminasi (Duffy & Wong, 1996).
Menurut Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan bahwa pengertian
diskriminasi adalah Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau

14 Anne L. Weber, Social Psychology. (New York: HarperCollins Publisher, 1992). Hal 106
Universitas Indonesia

10

penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.15
Diskriminasi Gender (Sexism)
Kondisi yang menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat
munculnya permasalahan gender16. Diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat
dari sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki laki menjadi korban
dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki
laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap dan yang tidak langsung
berupa dampak suatu peraturan perundang undangan maupun kebijakan telah menimbulkan
berbagai ketidak-adilan yang berakar dalam sejarah, adat, norma, ataupun dalam berbagai
struktur yang ada dalam masyarakat.
Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang
ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa
perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki laki.
III. Analisis dan Pembahasan
Dalam bagian hasil analisis dan pembahasan ini, penulis pertama-tama akan
menganalisis mengenai nilai nilai yang mempengaruhi relasi gender dalam munculnya
diskriminasi gender. Selain itu akan dijabarkan mengenai peraturan dan kebijakan pemerintah
dalam menyetarakan gender, tetapi hal tersebut memiliki nilai diskriminasi.
Ketiga nilai yang disebutkan dalam latar belakang mampu mempengaruhi diskriminasi
gender mampu menjadi pertimbangan dalam pemerintah membuat suatu peraturan atau
kebijakan. Politik, konseptual dan struktural adalah tiga lapisan persoalan yang mendorong
kebijakan diskriminatif terus hadir dan bertambah jumlahnya17. Peraturan dan kebijakan
dibuat untuk mengatur tatanan setiap elemen agar dapat berjalan dengan selaras satu dan
menghindari adanya ketidaksetaran gender. Seperti yang dibahas pada latar belakang, dimana
pemerintah harus mampu membuat kebijakan yang mengurangi kekerasan dan diskriminasi

15 Ibd. At 47
16 ( Widaningsih, Lilis. Relasi Gender Dalam Keluarga : Internalisasi Nilai Nilai Kesetaraan Dalam
Memperkuat Fungsi Keluarga.
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/197110221998022-
LILIS_WIDANINGSIH/Relasi_Gender-Lilis.pdf, diakses pada tanggal 1 Desember 2014)
17(Kominisi Nasional Anti Perempuan. 2014. Draft Lembar Fakta
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/08/Draft-Lembar-Fakta-20-Agustus-
2014.pdf, diakses pada tanggal 2 Desember 2014)
Universitas Indonesia

11

pada perempuan. Pemerintah sudah berupaya meminimalisir tindak kekerasan yang terjadi
dalam masyarakat, tetapi dari upaya meminimalisir tindak kekerasan secara tidak langsung
juga menimbulkan diskriminasi. Untuk mempermudah melihat tindakan pemerintah, penulis
membagi pada 3 departemen dalam melihat peraturan dan kebijakan dalam suatu ranah
departemen yang mempunyai unsur diskriminasi secara tidak langsung, yaitu:
Departemen Ketenagakerjaan
Undang Undang Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja. Pemerintah telah menyatakan bahwa perempuan juga memiliki hak yang
sama dalam mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
sehingga upah yang diterima perempuan harus sesuai dengan pekerjaan yang ia lakukan.
Dalam suatu penelitian terdapat penemuan adanya diskriminasi gender pada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Pemerintahan Kabupaten Bantul. Pegawai Negeri Sipil adalah aparatur
negara

yang

keberadaanya

diatur

oleh

Undang-Undang

mengenai

Pokok-Pokok

Kepegawaian. Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya perbedaan antara laki laki dan
perempuan. Mulai dari persyaratan fisik/akademik untuk laki-laki dan perempuan untuk
menjadi PNS, kondisi PNS perempuan masih mengalami beban ganda yang tinggi dibanding
PNS laki-laki dalam masalah tugas domestik, penempatan PNS di suatu institusi berdasarkan
jenis kelamin, ada jabatan yang khas untuk laki-laki dan perempuan dalam PNS18. Dari
beberapa penemuan penelitian ini, dapat dilihat bahwa masih adanya stereotype dan
diskriminasi pada PNS perempuan.
Stereotype gender dalam pembagian tugas dalam PNS ini mampu menyebabkan
diskriminasi. PNS wanita di Bantul memiliki beban ganda yang tinggi, dibandingkan lakilaki. Perempuan mempunyai tugas yang lebih banyak dibandingkan dengan laki. Laki laki
hanya mengurus tugas domestik. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap
perempuan dalam pembagian tugas kerja. Diskriminasi gender dapat menjadi dasar pada
kekerasan pada wanita. Seperti para Tenaga Kerja Wanita dikirim ke daerah Saudi Arabia.
Salah satu contoh kasus yang tersiar saat ini, yaitu TKW yang dipaksa meminum pembersih
lantai.

18 (Setiawati, Trias. Pejabat Perempuan Struktural dalam Perspektif Gender; Government Female Leader in
Gender Perspective.
https://www.academia.edu/5307203/Pejabat_Perempuan_Struktural_dalam_Perspektif_Gender_Govern
ment_Female_Leader_in_Gender_Perspective, diakses pada tanggal 2 Desember 2014)
Universitas Indonesia

12

TKI dipaksa majikan tenggak pembersih lantai, dibuang di Makkah


Merdeka.com, 16 Oktober 2014
Tenaga Kerja Indonesia asal Karawang, Jawa Barat, bernama Hayanti B. Mujiono
Minarjo mendapat ganti rugi 300.000 riyal, atau setara Rp 976 juta. Kompensasi itu
diberikan mantan majikan yang menyiksanya sampai cacat permanen selama bekerja
di Arab Saudi.
Kesepakatan ganti rugi itu tercapai 13 Oktober lalu, setelah ada negosiasi antara
Hayanti dan keluarga majikan, dimediasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Ibu Kota Riyadh.
"KBRI selanjutnya akan memproses tanazul (uang ganti rugi) dan mengambil uang
Hayanti yang disimpan Kepolisian Sektor Masjidil Haram," tulis Sekretaris III Fungsi
Protokol dan Konsuler KBRI Riyadh Chairil Siregar dalam keterangan pers, Kamis
(16/10). KBRI menyebut nominal Rp 967 juta adalah kompensasi penyelesaian kasus
penyiksaan di luar jalur hukum resmi terbesar TKI korban penyiksaan dari Arab
Saudi. Chairil menegaskan, pemerintah Indonesia akan segera memulangkan Hayanti.
Korban saat ini menderita cedera parah, dengan wajar rusak dan sebagian besar kulit
luar mengalami luka.
Penyiksaan itu dilakukan sang majikan bernama Jazaa Awadh Al Muthairy, di daerah
Qoisumah sekitar 522 kilometer dari Riyadh. Selama tujuh tahun bekerja untuk
keluarga pria 60 tahun itu, Hayanti saban hari dipukul. Aksi keji keluarga itu termasuk
memaksanya meminum cairan pembersih lantai. Alat vital wanita malang itu
dikabarkan turut mengalami cacat permanen. Ketika penyiksaan itu sudah terlalu
parah, pada Januari 2014 keluarga Muthairy membawa Hayanti ke Makkah, dan
meninggalkannya begitu saja di Masjidil Haram. Terlantar di Tanah Suci, Kepolisian
Kerajaan Petro Dollar itu sempat menangkap Hayanti dengan tuduhan mengemis.
Selama dibuang, majikannya cuma membekali 53.000 riyal, atau setara Rp 172 juta.
Mendapat laporan bahwa wanita itu warga negara Indonesia, KBRI Riyadh
melaporkan kasus itu dan mengadukan tuntutan ke Kepolisian Qoisumah.
Hasilnya, pada 28 Agustus 2014, pihak KBRI mendapat tawaran dari pengacara bekas
majikan Hayanti untuk menghentikan tuntutan dengan menawarkan ganti rugi. Setelah
berdialog dengan KBRI, Hayanti pilih berdamai dan menerima uang kompensasi
tersebut.
Pemerintah terlihat sedang berupaya untuk menciptakan kesetaran gender di
masyarakat. Namun masih banyak pula kejadian yang luput dari perhatian pemerintah. Seperti
misalnya mengenai pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia ke negara lain. Data
Migrant Care pada 2010, menyatakan 1.047 TKI bekerja di Saudi disiksa majikan 19 .
Pemerintah Indonesia saat ini masih memperbolehkan TKW Indonesia untuk dikirimkan ke
Timur Tengah. Padahal di Timur Tengah, perlindungan terhadap tenaga kerja asing apalagi
kepada wanita, tidak ada. Pemerintah seakan tidak peduli dengan kejadian-kejadian yang

19 (Mohamad, Ardyan. 2014. Saudi tak Henti Jadi Ladang Penyiksaan TKI.
http://www.merdeka.com/dunia/saudi-tak-henti-jadi-ladang-penyiksaaan-tki.html, diakses pada tanggal
2 Desember 2014)
Universitas Indonesia

13

telah terjadi sebelumnya dimana tenaga kerja Indonesia banyak yang mengalami kekerasan
pada tempat mereka bekerja. Terlihat di sini bahwa pemerintah seakan kurang sigap dalam
menyikapi masalah ini.
Pada tahun 2004 dibentuk suatu Undang-Undang baru mengenai perlindungan
terhadap buruh migran, yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Peraturan yang seharusnya melindungi
ini malah menjadi pemicu semakin parahnya kasus kekerasan. Kebijakan ini menjadikan
perempuan buruh migran pekerja rumah tangga yang memiliki pendidikan rendah serta
pengetahuan yang sempit menjadi semakin rentan menjadi korban kekerasan20.
Terjadinya diskriminasi gender terhadap perempuan ini tersirat, dimana semakin
terbukanya pihak swasta yang menyalurkan tenaga kerja mengirimkan perempuan
perempuan. Perempuan melakukan pekerjaan rumah juga menjadi unsur budaya patriarki di
Indonesia. Permikiran ini mampu mendasari adanya stereotype bahwa perempuan berada
pada bidang mengatur dan mengurus rumah. TKW yang dikirimkan ke berbagai negara,
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Budaya ini juga dapat mempengaruhi tingkat
pendidikan bagi perempuan di Indonesia.
Sisi diskriminasi juga terlihat dari segi pendidikan. Dikatakan bahwa Tenaga Kerja
Indonesia yang dikirimkan ke luar negeri lebih banyak perempuan dibandingkan laki- laki21.
Dimana pada era sebelum adanya emansipasi wanita masyarakat berpemikiran bahwa
perempuan tidak perlu sekolah hanya perlu mengurus dapur 22 . Permikiran seperti ini
membuat adanya diskriminsi pada perempuan yang tidak memiliki biaya dalam bersekolah
atau mempunyai masalah ekonomi. Saat ini para perempuan pun ingin menempuh ilmu
sampai ke negeri seberang, tetapi banyak hal yang membuat tidak berjalannya pendidikan
kepada wanita seperti masalah ekonomi. Stereotype gender terhadap wanita bahwa
perempuan yang minim pendidikannya dapat dijadikan tenaga kerja yang dikirim ke luar
negeri. Maka sangat memungkinkan para perempuan dikirim sebagai TKW demi
mendapatkan uang.
Pemerintah telah menyatakan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dalam

20 (Nur, Rizky. 2011. Tinjauan Kriminologi Kritis Terhadap Kebijakan Negara Dalam Melindungi Perempuan
Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga. http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1086/998,
diakses pada tanggal 3 Desember 2014)
21 (Sri, Heru. 2014. Fenomena TKW di Iran. http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/04/28/fenomena-
tkw-di-iran-647714.html, diakses pada tanggal 2 Desember 2014)
22 (Baskara, Rully. 2013. Perempuan Gak Perlu Sekolah. http://jamilazzaini.com/perempuan-gak-perlu-
sekolah/, diakses pada tanggal 2 Desember 2014)
Universitas Indonesia

14

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sehingga upah
yang diterima perempuan harus sesuai dengan pekerjaan yang ia lakukan. Bukan berarti
karena ia perempuan dan ditanggung oleh suaminya, lalu ia mendapatkan upah yang tidak
adil. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) melakukan penelitian mengenai
upah buruh wanita. Hasil yang ditemukan pun adanya ketidaksetaraan gender wanita dan lakilaki. Temuan kami hampir semua buruh wanita hanya mendapatkan gaji pokok, kata
Koordinator Upah Minimum KSBSI, Darta Pakpahan23. Gaji pokok tetap diberikan pada
buruh perempuan. Mereka mengatakan dalam penelitian tersebut bahwa mereka tidak
mengetahui adanya tunjangan tunjangan wajib yang seharusnya didapatkan. Alasan
perusahaan tidak memberikan tunjangan kepada buruh wanita dikarenakan perempuan masih
pada tanggung jawab suaminya merupakan pekerja. Salah satu contoh kasus dari perbedaan
upah buruh perempuan dengan laki-laki,
Upah buruh wanita masih belum setara dengan buruh laki-laki. Banyak
tunjangan yang tak diberikan perusahaan terhadap tenaga kerja wanita ini
dengan alasan para perempuan ini tak memiliki tanggungan dalam keluarga
Poskota, 9 Juli 2014
Jakarta, Suryani, 34, salah satu buruh di perusahaan garmen di KBN Cakung,
mengaku takut menuntut haknya. Karena ia menilai, daripada ia terlalu vocal
menyuarakan hal tersebut, ia malah akan kehilangan pekerjaannya. Sebenarnya
saya sudah menyadari itu sejak lama, namun beberapa teman sepekerjaan
enggan bertindak membuat saya memilih diam, tuturnya.
Saat ini, Suryani pun mengaku sudah mendapatkan gaji dari perusahaannya
dengan nilai standar yaitu RP2,4 juta. Hal itupun bisa bertambah bila ia terus
melakukan kerja lembur. Kalau tunjangan-tunjangan saya nggak dapat. Itu
hanya gaji pokok saja, katanya.
Atas kondisi itu, ia pun berharap pemerintah ataupun kementerian tenaga kerja
segera mengambil tindakan. Jangan sampai hanya karena perbedaan jenis
kelamin upah yang didapatkannya berbeda dengan kaum laki-laki. Mudahmudahan dengan munculnya pemberitaan ini pemerintah dapat melihat
permasalahan kami, harapnya
Dapat dilihat nilai budaya patriarki yang dianut oleh perusahaan ini. Nilai budaya
patriarki yang melihat bahwa suami sebagai kepada keluarga menjadi kepala dan mewakili
keluarga. Alasan mengapa perusahaan tidak memberikan tunjangan dikarenakan tunjangan
sudah diberikan kepada pihak laki-laki, maka tidak diberikan kepada pihak isteri. UU Pasal
28D ayat 2 UUD 1945, Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, merupakan pasal yang menyetarakan

23 (Ifand. 2014. Upah Buruh Wanita Masih di Bawah Buruh Laki Laki.
http://poskotanews.com/2014/07/09/upah-buruh-wanita-masih-di-bawah-buruh-laki-laki/, diakses
pada tanggal 2 Desember 2014)
Universitas Indonesia

15

gender antara wanita dan laki laki dalam penerimaan upah yang adil. Budaya yang
mengatas namanakan laki laki ini mampu memberikan diskriminasi gender pada
perempuan.
Adanya tes keperawan di Nusa Tenggara Barat bagi Seleksi Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) calon praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2013 di
wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) juga mensyaratkan keperawanan pada wanita24. Dari
hasil tes ini pun terdapat calon praja IPDN di NTB yang tidak lulus kesehatan atau dinyatakan
tidak memenuhi syarat karena faktor keperawanan. Dari sebanyak 365 orang yang mengikuti
tes kesehatan, sebanyak 290 orang dinyatakan memenuhi syarat dan sebanyak 75 orang
dinyatakan tidak memenuhi syarat. 75 orang yang tidak memenuhi syarat tersebut, di
antaranya karena kesehatan giginya kurang baik, penyakit kulit di bagian wajah, dan faktor
keperawanan. Dimana aturan ini muncul dari petunjuk teknis (juknis) itu yakni Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 892.1/3223/8-.1. Tanggal 21 Juni 2013, tentang Petunjuk
Teknis Seleksi Penerimaan CPNS Calon Praja IPDN.
Pada kasus ini berbeda, dalam tes penerimaan CPNS ini adanya syarat tersendiri bagi
wanita yaitu tes keperawanan. Tes ini merupakan pengecekan utuh atau tidakutuhnya selaput
darah pada wanita.. Stereotype atas keperawanan wanita dan perempuan nakal salah satu
pemikiran dari budaya timur Indonesia. Tidak utuhnya keperawanan bisa terjadi bukan
dikarenakan hubungan sexual, hal ini harus ditanamkan kepada masyarakat Indonesia.
Pada tes kesehatan ini kinerja seorang wanita bukan melihat dari sisi keperawanannya.
Salah satu syarat menjadi pegawai negeri sipil ialah mengikuti tes kesehatan. Pada perempuan
tes keperawanan pun menjadi bagian dari tes kesehatan. Laki laki pada tahap tes CPNS tidak
terdapat tes keperjakaan. Secara tidak langsung, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
ini dapat memperkuat stereotype dan diskriminasi gender terhadap perempuan.
Departemen Agama :
Pemerintah menerapkan beberapa peraturan yang diharapkan dapat menciptakan
keharmonisan dan keselarasan gender, tetapi dalam peraturan ini terdapat diskriminasi gender
yang dipengauri oleh budaya. Pada UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan UU yang membahas

24 ( Taufik, Mohamad. 2013. Keperawanan Jadi Syarat Seleksi CPNS IPDN.
http://www.merdeka.com/peristiwa/keperawanan-jadi-syarat-seleksi-cpns-ipdn.html, diakses pada
tanggal 25 November 2014)
Universitas Indonesia

16

masalah perkawinan di Indonesia, tetapi dalam beberapa pasal didalam UU ini memiliki unsur
diskrimasi gender diantaranya adalah:
Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 ayat 1, 2
Pasal 3 ayat (2), Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang
bersangkutan.Pasal 4 ayat, (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Pada pasal 3 ayat 2 dilihat bahwa laki-laki memiliki kesempatan dalam mempunyai
istri lebih dari satu (poligami). Dari UU ini dapat dilihat nilai agama dan budaya patriarki
dipertimbangkan dalam membuat kebijakan. Agama islam memperbolehkan umat laki-laki
untuk memiliki isteri lebih dari satu untuk menghindari perbuatan tidak adil bagi anak-anak
yatim25. Budaya patriarki laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan sehingga mampu
memiliki isteri lebih dari satu. Bagi laki-laki hal ini merupakan suatu pilihan yang dapat
dikatakan menguntungkan, dimana ia mampu memilih dalam seberapa banyak memiliki
isteri. Sedangkan, perempuan adalah korban dimana menjadi pihak kedua ataupun ketiga
dalam rumah tangga. Pihak perempuan harus berbagi dengan perempuan lain terhadap
suaminya, maka disebut bahwa perempuan merupakan pihak yang dirugikan dengan adanya
hukum poligami.
Syarat dalam ketentuan berpoligami pun mempunyai unsur diskriminasi gender. Isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat
melahirkan keturunan adalah suatu diskriminasi. Pemerintah dalam hal ini melihat suatu
perkawinan hanya dari sisi mendapatkan keturunan. Cacat badan atau memiliki penyakit buat
suatu hal yang diingikan oleh setiap wanita, begitu juga dengan memiliki keturunan. Hal ini
dapat dikatakan diskriminasi pada wanita, apabila seorang wanita tersebut memang memiliki
cacat badan atau tidak dapat memiliki keturunan dikarenakan keadaan biologi sejak lahir.


25 (Septianingrum, Galuh. 2013. Poligami Dalam Hukum Islam.
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/05/poligami-dalam-hukum-islam-522592.html, diakses tanggal
2 Desember 2014)
Universitas Indonesia

17

Salah satu pemicu munculnya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh
perempuan dan anak-anak ialah poligami. Kekerasan tidak hanya sekedar kekerasan fisik,
tetapi juga seksual dan ekonomi. Secara tidak langsung pemerintah melegitimasikan secara
hukum adalah bentuk kekerasan rumah tangga, dimana sistem kepercayaannya ada di
masyarakat. Salah satu contoh kasus poligami yang berujung pada kekerasan rumah tangga
ialah :
Dipukuli Suami, Istri Nekat Lapor Polisi
(Tempo.co, 30 September 2014)
Sampang, Tak tahan sering menjadi bulan-bulanan kemarahan Subairi,
Karimah, 30 tahun, melaporkan suaminya itu ke polisi. Warga Desa Bunten
Timur, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, itu
melaporkan Subairi ke Sentra Pelayanan Kepolisian Resor Sampang, Senin, 29
September 2014. "Bibi saya memang sering dipukuli, tapi baru berani melapor
sekarang," kata Suryadi, keponakan korban, saat mendampingi Karimah di
kantor polisi. Menurut dia, perubahan sikap pria 35 tahun itu terjadi sejak dia
beristri dua. Bahkan kemarahan Subairi sering tanpa sebab yang jelas. "Tibatiba saja bibi dipukuli," ujar Suryadi. Puncaknya terjadi beberapa hari lalu.
Saat itu, Subairi, yang baru pulang dari rumah istri mudanya, menyuruh
Karimah membeli nasi goreng. Setelah membeli nasi, Subairi kemudian
memukuli Karimah tanpa sebab. Bahkan korban sempat disekap oleh
suaminya. "Keluarga sudah tidak tahan, jadi lapor ke polisi," ujar Suryadi. Saat
dimintai konfirmasi, Kepala Satreskrim Polres Sampang Ajun Komisaris Hari
Siswo menyatakan Subairi sudah ditahan untuk dilakukan pemeriksaan. Dia
menjadi terlapor kasus kekerasan dalam rumah tangga. Jika terbukti bersalah,
Subairi bisa dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, tutur
Hari. "Ancaman hukumannya 5 tahun penjara26.
Dari contoh kasus diatas, dijelaskan bahwa suami mengalami perubahan setelah
memiliki isteri kedua. Hal ini membuktikan bahwa poligami mampu menimbulkannya suatu
kekerasan dan pengucilan terhadap wanita atau diskriminasi. Kebijakan pemerintah ini seperti
pisau bermata dua. Dari satu sisi ingin melindungi dimana wanita, tetapi mampu membuat
laki-laki melakukan kekerasan.
Dalam Departemen Pendidikan
Munculnya diskriminasi gender terhadap wanita ini juga merambah dalam dunia
pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu tempat dalam memberikan ilmu dan
menerapkan adanya kesetaraan gender antara laki laki dan perempuan, tetapi terdapat
beberapa peraturan yang diberlakukan secara tersirat memiliki nilai diskriminasi gender
terhadap wanita. Salah satu contohnya munculnya isu peraturan untuk melakuakan tes

26 (Bisri, Muthofa. 2014. Dipukuli Suami, Istri Nekat Lapor Polisi.
http://www.tempo.co/read/news/2014/09/30/058610700/Dipukuli-Suami-Istri-Nekat-Lapor-Polisi,
diakses pada tanggal 1 Desember 2014)
Universitas Indonesia

18

keperawanan.
Hal yang serupa terjadi dalam pendidikan polisi. Human Rights Watch (HRW)
mengungkapkan adanya tes keperawanan setelah melakukan wawancara kepada sejumlah
perempuan yang merupakan polisi wanita (polwan), mantan polwan, atau pernah mendaftar
sebagai calon polwan. Tim HRW juga melakukan wawancara dengan dokter polisi, tim
evaluasi seleksi polisi, anggota Komisi Kepolisian Nasional, serta aktivis perempuan.
Wawancara dilakukan antara Mei dan Oktober 2014 di enam kota, yaitu Bandung, Jakarta,
Padang, Pekanbaru, Makassar, dan Medan27. Hal tersebut kemudian diyakinkinkan dengan
pernyataan Kepala Divisi Hukum Polri Inspektur Jenderal Pol Moechgiyarto membenarkan
adanya tes keperewanan kepada setiap calon siswi polisi wanita dan tes keperawanan tersebut
dilakukan untuk menjaga moral calon perwira kepolisian28.
Kondisi yang hanya menguntungkan salah satu gender, mampu memberikan dampak
pada permasalahan gender atau bisa menjadi diskriminasi gender. Tidak adanya pemerirksaan
keperjakaan laki laki dalam tes ini. Secara biologis perempuan memang berbeda dengan
laki-laki, namun dalam pekerjaan atau kualtias bekerja saat ini dapat dilihat kesejajaran antara
laki-laki dan perempuan. Kondisi biologis kadang mampu memberikan perbedaan dalam
bekerja. Selaput darah wanita merupakan salah satu biologis yang membedakan laki-laki dan
perempuan. Dimana selaput darah ini dalam isu ini menjadi pembanding dengan laki-laki.
Tidak keutuhan selaput darah tidak hanya terjadi karena melakukan hubungan sexual, tetapi
juga dapat terjadi dikarenakan kecelakaan atau kegiatan wanita seperti mengikuti cheerleader
yang mengharuskan mereka bisa meluruskan kaki mereka atau olahraga. Kegiatan yang
dilakukan pun mampu membuat selaput darah tersebut tidak utuh. Selain dari biologis,
budaya Indonesia yang mendasar membuat adanya awal dari diskriminasi pada perempuan.
Sterotype gender terhadap perempuan dalam kasus ini terbagi menjadi dua 'perempuan
nakal' dan perempuan baik-baik29. Kedua stereotype ini didasari pada kondisi selaput darah.
Nilai sangat kuat di tengah aparat dan masyarakat yang kurang memiliki pemahaman ialah
ketidakutuhan selaput dara akibat hubungan seksual. Tes keperawanan adalah tindakan

27 (Septianto, Bayu. 2014. Calon Polwan dites Keperawanan?
http://news.okezone.com/read/2014/11/19/337/1067488/calon-polwan-dites-keperawanan, diakses
pada tanggal 28 November 2014)
28 (Gabrillin, Abba. 2014. Kadiv Hukum Polri Benarkan Ada Tes Keperawanan bagi Calon Polwan.
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/19/17311401/Kadiv.Hukum.Polri.Benarkan.Ada.Tes.Kepera
wanan.bagi.Calon.Polwan, diakses pada tanggal 28 November 2014)
29 (Guslina, Ira. 2014. Komnas Perempuan: Stop Tes Keperawanan.
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/22/078623690/p-Komnas-Perempuan-Stop-Tes-
Keperawanan, diakses pada tanggal 28 November 2014)
Universitas Indonesia

19

memeriksa kondisi selaput dara yang kerap direkatkan dengan asumsi pernah tidaknya
seorang perempuan melakukan hubungan seksual. Stereotype gender perempuan memiliki
dampak pada diskriminasi gender.
Laki-laki pada tahap tes kesehatan dalam masuk pendidikan polisi tidak memerlukan
tes keperjakaan, tetapi wanita membutuhkan tes keperawaran sebagai syarat. Tes
keperawanan ini mampu memberikan suatu trauma. Yuniyanti (ketua Komnas perempuan)
juga menyebut bawa tes tersebut tidak memiliki kemanfaatan medis untuk menentukan
kondisi kesehatan seseorang, melainlan lebih lekat pada prasangka mengenai moralitas
perempuan dan dapat menimbulkan trauma bagi yang mengalaminya30. Selain diskrimnasi
bahwa hanya perempuan terdapat tes keperawanan, isu ini juga menimbulkan diskriminasi
bagi para korban kekerasan seksual atau pemerkosaan.

IV. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis terhadap beberapa peraturan dan kebijakan yang terdapat
di beberapa instansi pemerintah maupun swasta, maka dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Adanya beberapa peraturan dan kebijakann yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah
maupun Swasta, secara tersurat mencerminkan upaya pemerintah atau swasta untuk
memberikan kesetaraan gender pada perempuan. Namun upaya menyetarakan gender tersebut
justru memunculkan nilai diskriminasi gender.
2. Adanya diskriminasi gender yang tersirat dalam peraturan maupun kebijakan yang
dikeluarkan Instansi pemerintah ataupun swasta malah berimplikasi pada kekerasan kekerasan
yang dialami perempuan, sebagaimana yang sudah dipaparkan di bagian Pembahasan.
3. Faktor Budaya Patriarki yang memayungi budaya Timur khususnya Indonesia, seakan
akan memberikan kebebasan bagi pria untuk melakukan apa yang menjadi haknya sebagai
laki laki yang kuasa dan bertanggung jawab. Namun tugas mulia yang seharusnya merupakan
kewajiban laki laki untuk melindungi perempuan sering disalah gunakan, demi mengukuhkan
nilai nilai patriarki yang dominan


30 (Astari, Elza. 2014. Komnas Perempuan : Stop Tes Keperawanan di Polri, Itu Serangan Seksual.
http://news.detik.com/read/2014/11/21/200332/2755913/10/komnas-perempuan-stop-tes-
keperawanan-di-polri-itu-serangan-seksual, diakses pada tanggal 28 November 2014)
Universitas Indonesia

20

4. Bukti masih adanya diskriminasi gender, dapat ditemui di berbagai kehidupan


perempuan yang secara tidak langsung tertuang baik secara eksplisit (nyata) maupun implisit
dalam berbagai peraturan, kebijakan, maupun yang tersirat dari nilai nilai dan norma norma
budaya kita yang selama ini menjadi pedoman hidup kita sebagai bagian dari masyarakat
budaya Timur.
5. Sebagai perempuan yang sangat menjunjung tinggi nilai nilai budaya Timur,
sepertinya sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari realitas adanya diskriminasi gender,
walaupun dalam tataran yang sekecil apapun. Artinya, tidak selalu adanya diskriminasi
gender berimplikasi pada kekerasan, baik kekerasan di wilayah domestik maupun di wilayah
publik. Semuanya sangat tergantung pada kecerdasan religi, emosional dan intelektual pelaku
individunya.
6. Akhirnya kesimpulan umum yang dapat ditarik adalah bahwa pada hakekatnya laki laki dan
perempuan diciptakan untuk saling mendukung dan melindungi satu sama lain. Dan jika ada
kekuatan lain diluar diri mereka seperti adanya peraturan dan kebijakan yang mengancam
kesetaraan perempuan dan laki laki, maka disinilah diperlukan adanya kecerdasan agama,
emosional dan intelektual dalam menginterpretasikannya.

Universitas Indonesia

21

Daftar Referensi
Buku
Anne L, Weber. 1992. Social Psychology. New York: HarperCollins Publisher.
Oliver Boyd-Barrett, Chris Newbold. 1995. Approaches to Media. A Reader. New York
Wirotomo, Paolus, dkk. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Jurnal
Indah, Nur. 2013. Problematika Gender Dalam Dunia Pendidikan
Nur, Rizky. 2011. Tinjauan Kriminologi Kritis Terhadap Kebijakan Negara Dalam
Melindungi Perempuan Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga.
Setiawati, Trias. Pejabat Perempuan Struktural dalam Perspektif Gender; Government Female
Leader in Gender Perspective.
Widaningsih, Lilis. 2012. Relasi Gender Dalam Keluarga : Internalisasi Nilai Nilai
Kesetaraan Dalam Memperkuat Fungsi Keluarga.
Widyo, Prayanto. 2009. Metamorfosis Kebudayaan ; Sebuah Tinjauan Media Televisi dan
Budaya Kekerasan
Website
http://jamilazzaini.com/perempuan-gak-perlu-sekolah/,
http://www.merdeka.com/dunia/saudi-tak-henti-jadi-ladang-penyiksaaan-tki.html,
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/04/28/fenomena-tkw-di-iran-647714.html
http://www.merdeka.com/peristiwa/keperawanan-jadi-syarat-seleksi-cpns-ipdn.html
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/05/poligami-dalam-hukum-islam-522592.html
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2014/08/Draft-Lembar-Fakta-20Agustus-2014.pdf,
http://poskotanews.com/2014/07/09/upah-buruh-wanita-masih-di-bawah-buruh-laki-laki/
Universitas Indonesia

22

http://www.tempo.co/read/news/2014/09/30/058610700/Dipukuli-Suami-Istri-Nekat-LaporPolisi,
http://news.okezone.com/read/2014/11/19/337/1067488/calon-polwan-dites-keperawanan,
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/19/17311401/Kadiv.Hukum.Polri.Benarkan.Ada.Te
s.Keperawanan.bagi.Calon.Polwan
http://news.detik.com/read/2014/11/21/200332/2755913/10/komnas-perempuan-stop-teskeperawanan-di-polri-itu-serangan-seksual,
http://news.detik.com/read/2011/06/14/122347/1659844/10/survei-mayoritas-pemudamuslim-tolak-poligami?n990102mainnews
http://rosenmanmanihuruk.blogspot.com/2008/06/budaya-patriarki-di-indonesiamembuat.html
http://maruplaxs.blogspot.com/2012/07/menemukan-akar-gerakan-perempuan.html
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/22/078623690/p-Komnas-Perempuan-Stop-Tes-
Keperawanan

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai