I Angga Surya Dharma, Aryanti Fitriyah, Mhd Luthfi Zulhaq Azizi, Edel Weys, Zalfa Putry
Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Brawijaya
ABSTRAK
Pemimpin merupakan salah satu anggota kelompok yang mempunyai pengaruh terbesar pada kegiatan
kelompok dan mempunyai peranan sangat penting dalam mencapai tujuannya. Di masa sekarang
banyak muncul perempuan yang menjadi pemimpin dikatakan “berbeda” karena pengaruh dari
emosional, sifat alamiah serta budaya yang dianggap tidak bisa menjadi seorang pemimpin yang tegas,
bertanggung jawab dan berkarakter. Perbedaan gender merupakan isu yang sering menimbulkan suatu
ketidakadilan bagi manusia, khususnya perempuan. Marginalisasi perempuan merupakan salah satu
bentuk ketidakadilan terhadap gender. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang
tersingkir dari beberapa program karena lebih diprioritaskannya laki-laki pada posisi tertentu. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui wujud kesetaraan gender di lingkup organisasi dan kepanitiaan
mahasiswa Universitas Brawijaya. Penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif yang dikombinasikan
oleh pertanyaan-pertanyaan yang menegaskan pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner (angket)
dilakukan survei kepada masyarakat Universitas Brawijaya menggunakan google form. Setiap
pertanyaan yang diajukan dan disurvei merupakan opini yang diperlukan karena bentuk point of view
oleh responden sendiri sebagai permulaan data pendukung setiap pertanyaannya-pertanyaan selanjutnya
adalah mengenai opini akan kesetaraan gender yang dikalkulasikan dalam bentuk kuantitatif. Hasil
penelitian ini merupakan bentuk sepakatnya responden terhadap adanya kesetaraan gender dalam
lingkup organisasi dan kepanitiaan namun tidak menjadi batasan dalam hal apapun dalam mencapai
tujuan bersama.
A. PENDAHULUAN
Terlepas dari feminisasi universitas dalam hal posisi formal kepemimpinan akademis maupun non
akademis, kehidupan masa perguruan tinggi di pendidikan tinggi salah satunya Universitas Brawijaya,
kepemimpinan umumnya banyak dipegang oleh laki-laki. Maka dapat dinilai bahwa perempuan masih
kurang terwakili dalam posisi sebagai pemimpin. Hal tersebut mengakibatkan terjadi peran gender yang
terbagi sering dimanfaatkan untuk membentuk pembagian peran atau kerja antara laki-laki dan
perempuan. Padahal, pembagian kerja yang tidak seimbang menimbulkan ketimpangan peran laki-laki
dan perempuan yang mengakibatkan ketidakadilan gender yang merugikan perempuan (Gurmansyah,
2019). Rendahnya jumlah perempuan dalam posisi kepemimpinan mungkin disebabkan oleh keyakinan
bahwa laki-laki adalah pemimpin yang lebih baik daripada perempuan, karena laki-laki memiliki
karakteristik maskulin, termasuk kekuasaan dan kontrol, yang dulunya dianggap sebagai sifat pemimpin
yang tidak baik. Padahal yang sebenarnya gender bukanlah suatu masalah jika hal tersebut tidak
menimbulkan ketidakadilan (Sari dan Ecep, 2021). Pada dasarnya, potensi yang dimiliki oleh
perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak perempuan
turut serta dalam membangun peradaban dunia. Oleh karena itu, makalah ini dimaksudkan untuk
memulai pembahasan apakah ada perbedaan gender dalam kepemimpinan dan sumber potensial
mereka. Analisis kemampuan, didukung oleh wawancara dengan pakar dan studi percontohan,
dilakukan untuk menyajikan topik dari berbagai sudut pandang.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Kesetaraan Gender
Persamaan gender, ketidaksetaraan gender serta orientasi seksual merupakan beberapa kata yang
masih memiliki pemahaman rancu bagi kita untuk membedakannya. Pada dasarnya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender.
Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik (perbedaan fungsi reproduksi) sedangkan
gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Gender yang harus kita pahami adalah kata yang mengacu
pada non biologis seperti peran, perilaku, aktivitas dan atribut secara sosial sesuai dengan norma yang
ada untuk laki-laki dan perempuan (Efriana, 2022). Kesetaraan gender merupakan kesetaraan dalam
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat dengan sifat dinamis sesuai
dengan aturan dari masyarakat itu sendiri. Istilah Kesetaraan gender hampir selalu diartikan sebagai
kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan seperti diskriminasi, penindasan, kekerasan dan
subordinasi. Keberhasilan implementasi dari kesetaraan gender ini dilihat dari tidak adanya diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan sehingga antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang
sama dalam mengambil kesempatan, memiliki aksen serta dapat memperoleh manfaat dan peluang yang
sama dalam menggunakan sumber daya dan pengambilan keputusan dari persoalan yang ada (Hasita et
al., 2021).
Kesetaraan gender merupakan suatu kondisi dimana kedudukan yang sama dari laki-laki dan
perempuan dalam menikmati segala haknya dalam menikmati kesempatan yang ada dari segala aspek
kehidupan tanpa adanya batasan stereotip, prasangka dan peran gender yang kaku dalam
mengembangkan potensinya (Sari dan Ismail, 2021). Kesetaraan gender ini secara tersirat disebutkan
dalam pancasila sila ke-5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dimana menyiratkan
akan kesetaraan hak bagi seluruh kaum, baik itu perempuan dan laki-laki. Hak dan kewajiban bukan
hanya dimiliki oleh satu kalangan tertentu, akan tetapi diperuntukkan bagi setiap elemen masyarakat.
Di Indonesia, konsep kesetaraan gender diperkuat dari adanya peraturan perundang-undangan
mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Tahun 2012 dan dalam Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
(Fibrianto, 2016).
Kepemimpinan
Kepemimpinan atau yang biasa disebut dengan leadership merupakan hal yang berkaitan dengan
perilaku seseorang yang mempengaruhi perilaku orang lain untuk suatu tujuan tertentu. Dengan
mempunyai kekuasaan, pemimpin dapat mempengaruhi perilaku para bawahannya. Kepemimpinan
diartikan sebagai memimpin orang lain. Pemimpinnya dikenal dengan istilah team leader (pemimpin
kelompok) yang memahami apa yang akan menjadi tanggung jawab kepemimpinannya, mengetahui
kondisi bawahannya, kesediaannya untuk meleburkan diri dengan tuntutan dan konsekuensi dari
tanggung jawab yang dipikulnya, serta memiliki komitmen untuk membawa setiap bawahannya
mengeksplorasi kapasitas dirinya hingga menghasilkan prestasi tertinggi. Dengan kekuasaan, pemimpin
dapat mempengaruhi perilaku para bawahannya. Kekuasaan dapat dibagi menjadi lima, yaitu: (1)
kekuasaan keahlian (expert power); (2) kekuasaan legitimasi (legitimate power); (3) kekuasaan
referensi (referent power); (4) kekuasaan penghargaan (reward power); dan (5) kekuasaan paksaan
(coercive power). Disamping berhubungan dengan kekuasaan, kepemimpinan juga erat kaitannya
dengan karakter (Yudiaatmaja, 2013).
Organisasi di Lingkup Mahasiswa
Perbedaan gender merupakan salah satu isu yang sering menimbulkan suatu ketidakadilan bagi
kaum laki-laki, khususnya perempuan. Marginalisasi perempuan merupakan salah satu bentuk
ketidakadilan terhadap gender. Marginalisasi perempuan ini dapat dilihat dari banyaknya perempuan
yang tersingkir dari beberapa program karena lebih memfokuskan pada laki-laki. Selain marginalisasi,
subordinasi merupakan salah satu kondisi mengunggulkan salah satu jenis kelamin. Dalam hal ini,
perempuan sering dianggap makhluk yang lemah, sehingga sering sekali kaum adam bersikap seolah –
olah berkuasa (Fibrianto, 2016).
Mahasiswa sebagai pelaku utama dan agent of change dalam gerakan-gerakan pembaharuan
memiliki makna yaitu sekumpulan manusia intelektual yang memandang segala sesuatu dengan pikiran
jernih, positif, kritis yang bertanggung jawab, dan dewasa. Secara moril mahasiswa akan dituntut
tanggung jawab akademisnya dalam menghasilkan buah karya yang berguna bagi kehidupan
lingkungan. Organisasi kemahasiswaan memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan civic
skills mahasiswa agar siap terjun ke masyarakat. Peranan ormawa terhadap pengembangan
keterampilan kewarganegaraan mahasiswa yaitu sebagai wadah aspirasi mahasiswa dan memacu pola
pikir mahasiswa agar berpikir secara kritis, bertanggung jawab, dan ilmiah. Kendala yang dihadapi
ormawa selama pelaksanaan kegiatan terutama dalam pengembangan civic skills yaitu ada kendala
secara internal dan eksternal. Misalnya, mengenai pendanaan, perizinan, gaya hidup, komunikasi dan
koordinasi, kurangnya minat mahasiswa, latar belakang mahasiswa yang berbeda, fasilitas, dan
mengenai secretariat. Upaya yang dilakukan ormawa yakni dengan melestarikan budaya, merancang
program dan materi yang menarik, berperilaku disiplin, memahami manajemen konflik, mengadakan
penilaian kinerja atau evaluasi, dan melaksanakan peran ormawa di universitas dengan sebaik mungkin
(Kosasih, 2016).
C. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah bersifat kuantitatif dan kualitatif yang dikombinasikan oleh
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner (angket), dan ditargetkan kepada mahasiswa
Universitas Brawijaya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan angket yang disusun dengan
menggunakan google form untuk membantu perolehan data dan memudahkan responden dalam
memberikan pendapatnya. Pada dasarnya, survei ini secara khusus ditargetkan kepada personal yang
pernah berpengalaman menjadi ketua pelaksana atau memegang peranan penting pada posisi tertentu
dalam suatu kepengurusan organisasi.
Salah satu aspek pembahasan dan target di dalam penelitian adalah ingin mengetahui bagaimana
perspektif sampel dari segi menjawab secara spontan dan bagaimana seorang yang sudah pernah
mengenal lingkungan dan teknis lapangan sebagai seorang pemimpin untuk menyikapi mengenai
gender dari seorang pemimpin. Pertanyaan yang ditujukkan kepada sampel adalah mengenai pandangan
apakah seorang pemimpin itu adalah seorang pemimpin harus seorang laki-laki. Dari keseluruhan
sampel yang menjadi narasumber sebanyak 14 orang secara keseluruhan, seluruh sampel menjawab
secara serentak menyatakan bahwa seorang pemimpin itu dalam segala lini tidaklah harus seorang laki-
laki, sehingga 100% menjadi jawaban yang “kompak” untuk seluruh 14 sampel yang pernah menjadi
seorang pemimpin dalam lingkup organisasi dan kepanitiaan di lingkungan keorganisasian dan
kepanitiaan Universitas Brawijaya menunjukkan bahwa tidak membedakan apakah seorang pemimpin
itu laki-laki ataupun perempuan.
Kondisi sampel yang menyatakan secara serentak bahwa pemimpin dalam lingkup menjadi
seorang yang memiliki tanggung jawab tertinggi pada suatu organisasi atau kepanitiaan ini pada
dasarnya didasari oleh kondisi langsung di lapangan. Kondisi lapangan di sini dapat dianalisa dari
beberapa aktivitas dari beberapa sampel yang telah menjalankan penugasan sebagai seorang pemimpin
yang tentunya berada dalam kondisi bersosialisasi dengan orang banyak, di mana orang banyak di sini
berasal dari beragam jenis suku, ras, dan agama bahkan dalam lingkup gender yang berbeda-beda. Dari
kondisi perbedaan tersebut yang utamanya berada pada sisi gender, maka di dalam penuntasan tujuan
bersama di sini kembali lagi dalam kondisi sebagai seorang pemimpin ini, tidaklah memandang kembali
apakah orang yang mengisi posisi kepercayaan pada jobdesc yang diberikan pada sampel yang dalam
hal ini contohnya adalah sebagai seorang koordinator di bidang perlengkapan acara yang memerlukan
tenaga yang lebih “ekstra” serta kemampuan untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat dan oleh
karena untuk orang yang dirasa memiliki kompeten yang lebih untuk menyanggupi mengisi posisi ini
adalah seorang perempuan, maka sampel di sini tidak ragu untuk memilih seorang perempuan untuk
menjadi orang yang memegang posisi tersebut. Hal tersebut terbukti telah menjadi concern atau
prioritas utama bagi seorang sampel untuk lebih mengedepankan kompetensi dan segi kualitas dari
seorang yang dipercaya, tidak harus memandang gender atau jenis kelamin dari seseorang untuk
mengisi suatu posisi dalam hal memimpin dan dipimpin. Kondisi ini dapat diinterpretasikan sebagai
kondisi yang memang memiliki stigma yang baik untuk implementasi di dalam kehidupan sehari-hari,
di mana untuk stigma sebagai seorang pemimpin haruslah diisi oleh orang yang berjenis kelamin laki-
laki menjadi luntur dan dapat diterapkannya kondisi seimbang untuk hal yang berkaitan dengan
kepemimpinan dan keseharian di dalam mewujudkan tujuan bersama.
E. KESIMPULAN
Pemimpin adalah salah satu anggota kelompok yang mempunyai pengaruh terbesar pada kegiatan
berkelompok dan mempunyai peranan sangat penting dalam mencapai tujuan kelompok. Tidak hanya
laki-laki yang memimpin, namun perempuan juga berhak menjadi seorang pemimpin. Pertanyaan yang
ditujukan kepada sampel yaitu arti dari kepemimpinan sendiri, pandangan sampel apakah sosok
pemimpin harus laki-laki serta pendapat secara singkat mengenai kesetaraan gender dalam lingkup
organisasi atau kepanitiaan. Secara dominan sampel menjawab arti kepemimpinan sebagai tindakan
dari seorang yang dipercaya sebagai pemimpin dan melaksanakan kegiatan yang memiliki pola alur
untuk memenuhi tujuan bersama. Kepemimpinan didefinisikan oleh sampel yaitu sebagai kegiatan yang
sifatnya melahirkan pemimpi-pemimpin baru yang akan meneruskan apa yang sudah
diimplementasikan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya yang telah diterapkan kepada anggotanya
sehingga dapat menginspirasi penerusnya untuk menerapkan dan memunculkan sosok-sosok
pemimpin. Salah satu target dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana perspektif sampel
yang pernah mengenal lingkungan dan teknis lapangan sebagai seorang pemimpin untuk menyikapi
mengenai gender dari seorang pemimpin. Jawaban sampel 100% menyatakan bahwa pemimpin tidak
seharusnya laki-laki. Hal tersebut didasari oleh tingkat ketercapaian suatu organisasi atau program yang
sedang dipimpin. Perspektif kesetaraan gender bagi sampel menjelaskan mengenai patriarki yakni
sebuah sistem yang lebih mengedepankan laki-laki dalam berbagai aspek kegiatan manusia. Sampel
mengatakan bahwa hal-hal yang bersifat kesenjangan khususnya pada aspek gender, sudah mulai luntur
dalam lingkup organisasi dan kepanitiaan. Seorang pemimpin tidak harus selalu seorang laki-laki,
dalam kehidupan sehari-hari memang ada beberapa posisi yang dalam stigma termasuk ke dalam
kategori “cocok” untuk masuk sebagai kriteria pemegang posisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amriani N, Manda D, Suardi. 2015. Perempuan Maskulin. Jurnal Equilibrium. 3(1) : 57-66.
Efriana E.2022. Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Aspek Bermasyarakat. Universitas
Muhammadiyah yogyakarta.
Fibrianto, A S. 2016. Kesetaraan Gender dalam Lingkup Organisasi Mahasiswa Universitas Sebelas
Maret Surakarta Tahun 2016. Jurnal Analisa Sosiologi 5(1): 10-27.
Fitriana A, Cenni. 2021. Perempuan dan Kepemimpinan. Prosiding Webinar Nasional IAHN-TP. Hal:
247-256. Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang : Palangka Raya.
Gurmansyah W. 2019. Dinamika Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Jurnal
Hawa. 1(1) : 156-172.
Haslita, R., Samin, R., Kurnianingsih, F., Okparizan, O., Subiyakto, R., Elyta, R., dan Ardiansya, A.
(2021). Implementasi Kebijakan pada Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Jurnal
Pengabdian Masyarakat 1(1):81-86.
Kosasih. 2016. Peranan Organisasi Kemahasiswaan dalam Pengembangan Civic Skills Mahasiswa.
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial 25(2): 64-74.
Sakina AI dan Siti DH. 2022. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Jurnal Social Work. 7(1) : 1-
129.
Sari GR, Ismail E. 2021. Polemik Pengarusutamaan Kesetaraan Gender di Indonesia. Jurnal Penelitian
Ilmu Ushuluddin. 1(2) : 51-58.
Susanto NH. 2015. Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Budaya Patriarki. Jurnal
Muwazah. 7(2) : 120-130.
Yudiaatmaja F. 2013. Kepemimpinan: Konsep, Teori, dan Karakternya. Media Komunikasi FIS 12(2):
29-38.