Anda di halaman 1dari 10

Anggota Kelompok (Kelas J6F, Kewarganegaraan, Teknik Lingkungan, Departemen Teknik

Biosistem FTP UB)


Aryanti Fitriyah 205100901111002
I Gusti Bagus Angga Surya Dharma 205100901111007
Mhd Luthfi Z 205100901111009
Edel Weys 205100901111019
Zalfa Putry 205100901111020
KESETARAAN GENDER DALAM LINGKUP ORGANISASI DAN KEPANITIAAN
MAHASISWA

I Angga Surya Dharma, Aryanti Fitriyah, Mhd Luthfi Zulhaq Azizi, Edel Weys, Zalfa Putry
Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Brawijaya

ABSTRAK

Pemimpin merupakan salah satu anggota kelompok yang mempunyai pengaruh terbesar pada kegiatan
kelompok dan mempunyai peranan sangat penting dalam mencapai tujuannya. Di masa sekarang
banyak muncul perempuan yang menjadi pemimpin dikatakan “berbeda” karena pengaruh dari
emosional, sifat alamiah serta budaya yang dianggap tidak bisa menjadi seorang pemimpin yang tegas,
bertanggung jawab dan berkarakter. Perbedaan gender merupakan isu yang sering menimbulkan suatu
ketidakadilan bagi manusia, khususnya perempuan. Marginalisasi perempuan merupakan salah satu
bentuk ketidakadilan terhadap gender. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang
tersingkir dari beberapa program karena lebih diprioritaskannya laki-laki pada posisi tertentu. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui wujud kesetaraan gender di lingkup organisasi dan kepanitiaan
mahasiswa Universitas Brawijaya. Penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif yang dikombinasikan
oleh pertanyaan-pertanyaan yang menegaskan pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner (angket)
dilakukan survei kepada masyarakat Universitas Brawijaya menggunakan google form. Setiap
pertanyaan yang diajukan dan disurvei merupakan opini yang diperlukan karena bentuk point of view
oleh responden sendiri sebagai permulaan data pendukung setiap pertanyaannya-pertanyaan selanjutnya
adalah mengenai opini akan kesetaraan gender yang dikalkulasikan dalam bentuk kuantitatif. Hasil
penelitian ini merupakan bentuk sepakatnya responden terhadap adanya kesetaraan gender dalam
lingkup organisasi dan kepanitiaan namun tidak menjadi batasan dalam hal apapun dalam mencapai
tujuan bersama.

Kata Kunci : Kepemimpinan, Kesetaraan Gender, Pemimpin

A. PENDAHULUAN
Terlepas dari feminisasi universitas dalam hal posisi formal kepemimpinan akademis maupun non
akademis, kehidupan masa perguruan tinggi di pendidikan tinggi salah satunya Universitas Brawijaya,
kepemimpinan umumnya banyak dipegang oleh laki-laki. Maka dapat dinilai bahwa perempuan masih
kurang terwakili dalam posisi sebagai pemimpin. Hal tersebut mengakibatkan terjadi peran gender yang
terbagi sering dimanfaatkan untuk membentuk pembagian peran atau kerja antara laki-laki dan
perempuan. Padahal, pembagian kerja yang tidak seimbang menimbulkan ketimpangan peran laki-laki
dan perempuan yang mengakibatkan ketidakadilan gender yang merugikan perempuan (Gurmansyah,
2019). Rendahnya jumlah perempuan dalam posisi kepemimpinan mungkin disebabkan oleh keyakinan
bahwa laki-laki adalah pemimpin yang lebih baik daripada perempuan, karena laki-laki memiliki
karakteristik maskulin, termasuk kekuasaan dan kontrol, yang dulunya dianggap sebagai sifat pemimpin
yang tidak baik. Padahal yang sebenarnya gender bukanlah suatu masalah jika hal tersebut tidak
menimbulkan ketidakadilan (Sari dan Ecep, 2021). Pada dasarnya, potensi yang dimiliki oleh
perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak perempuan
turut serta dalam membangun peradaban dunia. Oleh karena itu, makalah ini dimaksudkan untuk
memulai pembahasan apakah ada perbedaan gender dalam kepemimpinan dan sumber potensial
mereka. Analisis kemampuan, didukung oleh wawancara dengan pakar dan studi percontohan,
dilakukan untuk menyajikan topik dari berbagai sudut pandang.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Kesetaraan Gender
Persamaan gender, ketidaksetaraan gender serta orientasi seksual merupakan beberapa kata yang
masih memiliki pemahaman rancu bagi kita untuk membedakannya. Pada dasarnya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender.
Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik (perbedaan fungsi reproduksi) sedangkan
gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Gender yang harus kita pahami adalah kata yang mengacu
pada non biologis seperti peran, perilaku, aktivitas dan atribut secara sosial sesuai dengan norma yang
ada untuk laki-laki dan perempuan (Efriana, 2022). Kesetaraan gender merupakan kesetaraan dalam
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat dengan sifat dinamis sesuai
dengan aturan dari masyarakat itu sendiri. Istilah Kesetaraan gender hampir selalu diartikan sebagai
kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan seperti diskriminasi, penindasan, kekerasan dan
subordinasi. Keberhasilan implementasi dari kesetaraan gender ini dilihat dari tidak adanya diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan sehingga antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang
sama dalam mengambil kesempatan, memiliki aksen serta dapat memperoleh manfaat dan peluang yang
sama dalam menggunakan sumber daya dan pengambilan keputusan dari persoalan yang ada (Hasita et
al., 2021).
Kesetaraan gender merupakan suatu kondisi dimana kedudukan yang sama dari laki-laki dan
perempuan dalam menikmati segala haknya dalam menikmati kesempatan yang ada dari segala aspek
kehidupan tanpa adanya batasan stereotip, prasangka dan peran gender yang kaku dalam
mengembangkan potensinya (Sari dan Ismail, 2021). Kesetaraan gender ini secara tersirat disebutkan
dalam pancasila sila ke-5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dimana menyiratkan
akan kesetaraan hak bagi seluruh kaum, baik itu perempuan dan laki-laki. Hak dan kewajiban bukan
hanya dimiliki oleh satu kalangan tertentu, akan tetapi diperuntukkan bagi setiap elemen masyarakat.
Di Indonesia, konsep kesetaraan gender diperkuat dari adanya peraturan perundang-undangan
mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Tahun 2012 dan dalam Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
(Fibrianto, 2016).

Kepemimpinan
Kepemimpinan atau yang biasa disebut dengan leadership merupakan hal yang berkaitan dengan
perilaku seseorang yang mempengaruhi perilaku orang lain untuk suatu tujuan tertentu. Dengan
mempunyai kekuasaan, pemimpin dapat mempengaruhi perilaku para bawahannya. Kepemimpinan
diartikan sebagai memimpin orang lain. Pemimpinnya dikenal dengan istilah team leader (pemimpin
kelompok) yang memahami apa yang akan menjadi tanggung jawab kepemimpinannya, mengetahui
kondisi bawahannya, kesediaannya untuk meleburkan diri dengan tuntutan dan konsekuensi dari
tanggung jawab yang dipikulnya, serta memiliki komitmen untuk membawa setiap bawahannya
mengeksplorasi kapasitas dirinya hingga menghasilkan prestasi tertinggi. Dengan kekuasaan, pemimpin
dapat mempengaruhi perilaku para bawahannya. Kekuasaan dapat dibagi menjadi lima, yaitu: (1)
kekuasaan keahlian (expert power); (2) kekuasaan legitimasi (legitimate power); (3) kekuasaan
referensi (referent power); (4) kekuasaan penghargaan (reward power); dan (5) kekuasaan paksaan
(coercive power). Disamping berhubungan dengan kekuasaan, kepemimpinan juga erat kaitannya
dengan karakter (Yudiaatmaja, 2013).
Organisasi di Lingkup Mahasiswa
Perbedaan gender merupakan salah satu isu yang sering menimbulkan suatu ketidakadilan bagi
kaum laki-laki, khususnya perempuan. Marginalisasi perempuan merupakan salah satu bentuk
ketidakadilan terhadap gender. Marginalisasi perempuan ini dapat dilihat dari banyaknya perempuan
yang tersingkir dari beberapa program karena lebih memfokuskan pada laki-laki. Selain marginalisasi,
subordinasi merupakan salah satu kondisi mengunggulkan salah satu jenis kelamin. Dalam hal ini,
perempuan sering dianggap makhluk yang lemah, sehingga sering sekali kaum adam bersikap seolah –
olah berkuasa (Fibrianto, 2016).
Mahasiswa sebagai pelaku utama dan agent of change dalam gerakan-gerakan pembaharuan
memiliki makna yaitu sekumpulan manusia intelektual yang memandang segala sesuatu dengan pikiran
jernih, positif, kritis yang bertanggung jawab, dan dewasa. Secara moril mahasiswa akan dituntut
tanggung jawab akademisnya dalam menghasilkan buah karya yang berguna bagi kehidupan
lingkungan. Organisasi kemahasiswaan memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan civic
skills mahasiswa agar siap terjun ke masyarakat. Peranan ormawa terhadap pengembangan
keterampilan kewarganegaraan mahasiswa yaitu sebagai wadah aspirasi mahasiswa dan memacu pola
pikir mahasiswa agar berpikir secara kritis, bertanggung jawab, dan ilmiah. Kendala yang dihadapi
ormawa selama pelaksanaan kegiatan terutama dalam pengembangan civic skills yaitu ada kendala
secara internal dan eksternal. Misalnya, mengenai pendanaan, perizinan, gaya hidup, komunikasi dan
koordinasi, kurangnya minat mahasiswa, latar belakang mahasiswa yang berbeda, fasilitas, dan
mengenai secretariat. Upaya yang dilakukan ormawa yakni dengan melestarikan budaya, merancang
program dan materi yang menarik, berperilaku disiplin, memahami manajemen konflik, mengadakan
penilaian kinerja atau evaluasi, dan melaksanakan peran ormawa di universitas dengan sebaik mungkin
(Kosasih, 2016).

C. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah bersifat kuantitatif dan kualitatif yang dikombinasikan oleh
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner (angket), dan ditargetkan kepada mahasiswa
Universitas Brawijaya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan angket yang disusun dengan
menggunakan google form untuk membantu perolehan data dan memudahkan responden dalam
memberikan pendapatnya. Pada dasarnya, survei ini secara khusus ditargetkan kepada personal yang
pernah berpengalaman menjadi ketua pelaksana atau memegang peranan penting pada posisi tertentu
dalam suatu kepengurusan organisasi.

Lokasi dan Parameter Penelitian


Pada penelitian yang akan dilaksanakan, diselenggarakan di lingkungan Universitas Brawijaya.
Lingkup penelitian ini dilakukan pada tingkatan mahasiswa dengan sampel yang disebutkan pada
pembahasan sebelumnya adalah sebagai pembelajaran, di mana kepemimpinan pada mahasiswa adalah
hal yang cukup menjadi topik yang menarik untuk dibahas lebih lanjut, mengingat mahasiswa adalah
calon generasi penerus yang dipandang “beda” derajatnya ketika terjun ke masyarakat. Parameter
sampel yang diambil adalah masyarakat atau warga yang terpilih langsung oleh tim dengan kriteria
angkatan 2019/2020. Parameter sampel tersebut dipilih dengan rasionalisasi bahwa untuk angkatan
tersebut telah pernah dan berpengalaman untuk menjalankan suatu tingkat tanggung jawab yang tinggi,
baik sebagai ketua pelaksana atau pemegang tinggi kepengurusan seperti ketua himpunan atau kepala
departemen, serta untuk target sampel yang akan menjadi narasumber di sini adalah berjumlah 10
sampai 14 orang.
Pengolahan Data
Setiap pertanyaan yang diajukan dan disurvei merupakan opini yang diperlukan sebagai bentuk
point of view oleh responden sendiri sebagai permulaan data pendukung setiap pertanyaannya-
pertanyaan selanjutnya adalah mengenai opini akan kesetaraan gender yang dikalkulasikan dalam
bentuk kuantitatif. Penutup dari pertanyaan selanjutnya adalah mengenai bentuk kesetaraan gender
sendiri yang berada di lingkungan sekitar organisasi dan kepanitiaan. Pada kuisioner ini, dibebaskan
bagi penulis untuk memberikan alasan untuk mendukung pendapatnya. Sehingga setelah nantinya
ketika seluruh sampel atau responden mengisi angket atau kuesioner, maka tim akan melanjutkan
dengan mekanisme pengolahan data dan penulisan dalam bentuk hasil penelitian kualitatif, dengan
penggabungan satu aspek kuantitatif untuk hasil jawaban responden atau sampel dari pertanyaan yang
bersifat memilih dari opsi pertanyaan yang disediakan, yakni mengenai “Apakah pemimpin itu harus
laki-laki?”, dan kemudian dijawab antara pertanyaan “Ya” atau “Tidak”. Dari pertanyaan tersebutlah
diperoleh jawaban berupa persentase yang dapat menjadi hasil kuantitatif dari responden untuk dibahas
pada hasil dan pembahasan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perspektif Sampel Mengenai Kepemimpinan


Bagian ini akan mengkaji mengenai bagaimana perspektif sampel yang telah dipilih mengenai
pandangannya terhadap kepemimpinan. Dalam pembahasan, di dalam penamaan sampel akan disebut
sebagai sampel 1 dan seterusnya, sehingga di sini sampel akan merujuk kepada sampel yang sudah
ditetapkan pada bab III. Secara keseluruhan, untuk seluruh jawaban mengenai definisi kepemimpinan,
dominan menjawab dengan keyakinan serta jawaban yang bersifat berdasar pada pengalaman pribadi.
Untuk sampel pertama, dijelaskan bahwa kepemimpinan di sini adalah “Bagaimana cara kita
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan”. Pertanyaan ini benar adanya jika dikorelasikan
dengan kehidupan sehari-hari yang pada dasarnya akan selalu berkaitan dengan kepemimpinan, seperti
sosok ayah yang akan memimpin rumah tangga, dipimpin dalam pekerjaan kelompok oleh ketua
kelompok, dan lainnya, yang di mana sosok-sosok inilah yang akan berperan mempengaruhi keseharian
kita di dalam bertindak. Kemudian pernyataan lainnya datang dari sampel 2 yakni membahas mengenai
kepemimpinan dari segi definisi yang berdasarkan pada analisa pengalaman pribadi, yakni menjelaskan
bahwa kepemimpinan adalah aspek yang berhubungan yang dengan pemimpin itu sendiri yakni
“pemimpin adalah seseorang yang menuntun sebuah kelompok untuk menyukseskan tujuan tertentu”.
Berdasar pada jawaban sampel 2, hal ini mendasari bahwa jawaban sebagai seorang yang pemimpin,
kepemimpinan di sini dinyatakan sebagai tindakan dari seorang yang dipercaya sebagai pemimpin dan
melaksanakan kegiatan yang memiliki pola atau alur untuk memenuhi tujuan bersama. Sebagai faktual,
jawaban ini juga serupa dengan jawaban dari sampel 4 yang menyatakan bahwa pemimpin adalah sosok
yang mencerminkan secara natural untuk melaksanakan aspek-aspek kepemimpinan yang memiliki
perspektif dan poin utama yang sama, yakni melaksanakan kegiatan terorganisir bersama-sama untuk
memenuhi tujuan bersama.
Dari total 14 sampel yang menjawab pertanyaan mengenai pembahasan definisi dari
kepemimpinan, dijelaskan oleh sampel lain yakni sampel ke-10, yakni menjawab kepemimpinan adalah
sebagai kegiatan yang sifatnya melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang akan meneruskan apa yang
sudah diimplementasikan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya yang sudah diterapkan kepada
anggotanya sehingga dapat menginspirasi penerusnya untuk terus menerapkan dan memunculkan
sosok-sosok pemimpin. Terdapat jawaban lainnya yang termasuk ke dalam jawaban yang tergolong
filosofis pada jawaban yang dijawab oleh sampel 3. Jawaban yang dijawab olehnya menyatakan bahwa
“kepemimpinan adalah kata yang lekat dengan kata sifat yang dimiliki oleh tiap insan manusia.
Pimpinan, pemimpin, dan kepemimpinan adalah tiga jenis kata yang memiliki keterikatan penuh dalam
satu aspek kata kepemimpinan. Namun, hal yang membedakan di sini adalah dari kepemimpinan tiap
orang itu sendiri memiliki gayanya masing-masing, sehingga di dalam beragam klausa tersebut, gaya
kepemimpinan yang ideal ialah gaya kepemimpinan yang sifatnya holistik pada semua aspek, sehingga
untuk output yang diinginkan dari seorang pemimpin khususnya dalam peran anggota dengan pemimpin
itu sendiri memiliki output yang sama”. Secara keseluruhan sampel memang menjawab untuk
perspektif dari seorang pemimpin akan kerat kaitannya dengan orang yang mampu
mengimplementasikan kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari dengan objektif utamanya adalah
mampu menjadi maskot dan penggerak bagi beberapa orang yang mempercayai sosok sampel yang
adalah seorang pemimpin bagi orang yang dipimpin sehingga mampu memperoleh tujuan yang ingin
dicapai bersama.

Perspektif Narasumber Mengenai Gender dari Seorang Pemimpin

Gambar 4.1 Data perspektif sampel terhadap sosok pemimpin


Sumber: Data Diolah, 2022

Salah satu aspek pembahasan dan target di dalam penelitian adalah ingin mengetahui bagaimana
perspektif sampel dari segi menjawab secara spontan dan bagaimana seorang yang sudah pernah
mengenal lingkungan dan teknis lapangan sebagai seorang pemimpin untuk menyikapi mengenai
gender dari seorang pemimpin. Pertanyaan yang ditujukkan kepada sampel adalah mengenai pandangan
apakah seorang pemimpin itu adalah seorang pemimpin harus seorang laki-laki. Dari keseluruhan
sampel yang menjadi narasumber sebanyak 14 orang secara keseluruhan, seluruh sampel menjawab
secara serentak menyatakan bahwa seorang pemimpin itu dalam segala lini tidaklah harus seorang laki-
laki, sehingga 100% menjadi jawaban yang “kompak” untuk seluruh 14 sampel yang pernah menjadi
seorang pemimpin dalam lingkup organisasi dan kepanitiaan di lingkungan keorganisasian dan
kepanitiaan Universitas Brawijaya menunjukkan bahwa tidak membedakan apakah seorang pemimpin
itu laki-laki ataupun perempuan.
Kondisi sampel yang menyatakan secara serentak bahwa pemimpin dalam lingkup menjadi
seorang yang memiliki tanggung jawab tertinggi pada suatu organisasi atau kepanitiaan ini pada
dasarnya didasari oleh kondisi langsung di lapangan. Kondisi lapangan di sini dapat dianalisa dari
beberapa aktivitas dari beberapa sampel yang telah menjalankan penugasan sebagai seorang pemimpin
yang tentunya berada dalam kondisi bersosialisasi dengan orang banyak, di mana orang banyak di sini
berasal dari beragam jenis suku, ras, dan agama bahkan dalam lingkup gender yang berbeda-beda. Dari
kondisi perbedaan tersebut yang utamanya berada pada sisi gender, maka di dalam penuntasan tujuan
bersama di sini kembali lagi dalam kondisi sebagai seorang pemimpin ini, tidaklah memandang kembali
apakah orang yang mengisi posisi kepercayaan pada jobdesc yang diberikan pada sampel yang dalam
hal ini contohnya adalah sebagai seorang koordinator di bidang perlengkapan acara yang memerlukan
tenaga yang lebih “ekstra” serta kemampuan untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat dan oleh
karena untuk orang yang dirasa memiliki kompeten yang lebih untuk menyanggupi mengisi posisi ini
adalah seorang perempuan, maka sampel di sini tidak ragu untuk memilih seorang perempuan untuk
menjadi orang yang memegang posisi tersebut. Hal tersebut terbukti telah menjadi concern atau
prioritas utama bagi seorang sampel untuk lebih mengedepankan kompetensi dan segi kualitas dari
seorang yang dipercaya, tidak harus memandang gender atau jenis kelamin dari seseorang untuk
mengisi suatu posisi dalam hal memimpin dan dipimpin. Kondisi ini dapat diinterpretasikan sebagai
kondisi yang memang memiliki stigma yang baik untuk implementasi di dalam kehidupan sehari-hari,
di mana untuk stigma sebagai seorang pemimpin haruslah diisi oleh orang yang berjenis kelamin laki-
laki menjadi luntur dan dapat diterapkannya kondisi seimbang untuk hal yang berkaitan dengan
kepemimpinan dan keseharian di dalam mewujudkan tujuan bersama.

Penjelasan Mengenai Mengapa Pemimpin itu Tidaklah Harus Seorang Laki-Laki


Untuk menjelaskan lebih rinci mengenai pertanyaan yang memicu keseluruhan sampel secara
serentak menjawab kenyataan bahwa seorang pemimpin tidaklah harus laki-laki, maka dari keempat
belas sampel yang sudah menjawab perlu untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai apa alasan
keempat belas sampel menjawab secara serentak untuk mengapa pemimpin tidaklah harus laki-laki.
Sebagai landasan pondasi untuk jawaban sampel lainnya, sampel 2 menjawab secara dasar bahwa
pemimpin tidaklah harus seorang laki-laki, di mana menurutnya hal ini didasari dari tingkat tanggung
jawab dari seorang pemimpin itu sendiri, yakni tentunya memiliki tanggung jawab yang besar di dalam
memegang tanggung jawab untuk tingkat ketercapaian suatu organisasi atau program yang sedang
dipimpin. “Jadi, siapapun itu yang dirasa mampu menanggung tanggung jawab tersebut, mau itu laki-
laki atau perempuan ketika ia berkeinginan menjadi seorang pemimpin, menurut saya tidak masalah
selama mampu memegang tanggung jawab tersebut”. Jawaban dari sampel 2 tersebut memiliki pondasi
yang sama dengan penjelasan di bagian sebelumnya, di mana untuk keseluruhan sampel memiliki
penilaian dan perspektif bahwa di dalam hal memimpin dan dipimpin, sangat penting untuk lebih
mengedepankan tanggung jawab, kompetensi dan sadarnya seseorang terhadap pentingnya tanggung
jawab daripada hanya lebih mengedepankan gender dari seorang pemimpin itu sendiri.
Selain secara keseluruhan sampel yang menjawab secara dominan bahwa pemimpin di sini tidaklah
perlu dipandang jenis kelamin atau gender-nya adalah terletak pada jawaban sampel 5. Sampel 5
memberikan keterangan yang memiliki sifat sesuai dengan kondisi aktual untuk seorang pemimpin yang
ber-gender perempuan, yakni dikhususkan untuk pemimpin perempuan, selain jika dari segi kompetensi
seorang pemimpin perempuan memiliki nilai kepemimpinan yang rasional, pemimpin perempuan juga
menurut sampel 5 memiliki sisi emosional yang dominan dimiliki oleh seorang perempuan, yakni akan
lebih memiliki pendekatan intrapersonal yang lebih terasa hangat dan nyaman di dalam hubungan sosial
antara seorang pemimpin dengan orang yang dipimpin. Hal ini dapat menjadi pernyataan yang termasuk
ke dalam suatu stereotipe sesuai dengan penelitian menurut Amriani et al. (2015), menjelaskan bahwa
memang benar adanya sebuah stereotipe untuk sebuah gender yang sudah melekat dari dulu, seperti
misal laki-laki yang memiliki sifat yang lebih maskular, kuat, keras, dan rasional sedangkan untuk
perempuan dikenal sebagai seorang yang lemah lembut, penuh kasih sayang, anggun, cantik, dan sopan.
Sehingga merujuk pada sampel 5, jawaban ini termasuk ke dalam kategori pen-“stereotipe”-an untuk
gender dari seorang yang ada di sekitarnya termasuk pemimpin itu sendiri yang memandang adanya hal
“ekstra” dari perspektif perempuan sebagai seorang pemimpin. Hal ini dapat dianalogikan ketika kita
memandang seorang yang pandai memasak, di mana kita ketahui di dunia ini untuk orang yang lebih
pandai memasak dominan diisi oleh posisi perempuan, di mana kita menilai seorang perempuan adalah
orang yang memasak dengan lebih rinci, teliti, dan output rasa yang lebih memuaskan dibanding laki-
laki, di mana hal ini dapat dipatahkan dengan munculnya pemasak-pemasak ahli yang ternyata diisi
juga oleh seorang laki-laki. Selain dua jawaban dari sampel tersebut, secara keseluruhan, sampel-
sampel tersebut menegaskan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah perlu menetapkan atau
memandang gender sebagai prioritas utama, namun tetap lebih memandang kompetensi dan sejauh
mana bisa memiliki kepercayaan sebagai seorang pemimpin.

Perspektif Kesetaraan Gender Bagi Sampel


Untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai hal di atas, maka diperlukan juga
penjelasan secara singkat dari total keseluruhan 14 sampel yang telah menjawab (100%) mengenai
bagaimana definisi kesetaraan gender di lingkup organisasi/kepanitiaan menurut sampel. Dimulai dari
sampel pertama yang memberikan pendapat bahwa “kalau dalam lingkup organisasi atau kepanitiaan
sepertinya masih aman, budaya patriarki mulai menyusut”. Sampel satu di sini menggunakan kosakata
untuk mendukung penjelasannya dari gender seorang pemimpin dalam konteks lingkungan kepanitiaan
atau organisasi, di mana budaya patriarki yakni menurut Sakina dan Siti (2017), menjelaskan mengenai
patriarki, yakni patriarki di sini khususnya di Indonesia, adalah sebuah sistem yang lebih
mengedepankan laki-laki di dalam berbagai aspek kegiatan manusia dan dominan untuk patriarki di
Indonesia dominan terjadi pada berbagai aspek di Indonesia seperti dalam kepemimpinan untuk kepala
daerah dan lainnya, sehingga hal ini dapat menjadi kesenjangan untuk aspek gender, di mana stigma
masyarakat di sini lebih mengedepankan gender dibanding dengan kompetensi dari seorang pemimpin
tersebut. Menyusutnya patriarki berdasarkan jawaban dari sampel 1 menandakan bahwa untuk hal-hal
yang bersifat kesenjangan khususnya pada aspek gender, sudah mulai luntur dalam lingkup organisasi
dan kepanitiaan, dan menjadi hal yang baik bagi seluruh elemen mahasiswa untuk bisa berkesempatan
menjadi seorang pemimpin dari kualitas tanpa memandang adanya perbedaan gender. Dilanjutkan
dengan jawaban dari sampel-sampel lainnya yang secara dominan menyatakan bahwa kesetaraan
gender ialah hal yang bersifat perlu adanya, dengan maksud tujuan yang positif untuk tetap
mengutamakan tugas dan tujuan bersama sebagaimana berdirinya organisasi atau direncanakannya
suatu program, sehingga kesetaraan gender di sini tidaklah perlu mematok apakah pemimpin itu adalah
seorang perempuan dan laki-laki dan lebih memandang kompetensi dari seseorang yang dipercaya tanpa
memandang gender dari seorang yang dapat dipercaya.
Untuk jawaban sampel lainnya yang selain memandang positif kesetaraan gender pada lingkup
organisasi dan kepanitiaan, ada juga yang menekankan pada beberapa hal yang perlu ditekankan
mengenai bagaimana kesetaraan gender yang bisa diterapkan. Sebagai contoh, untuk sampel 4 dan 7,
di mana untuk sampel 4 menjawab untuk perspektifnya mengenai kesetaraan gender dalam lingkup
organisasi dan kepanitiaan, menyatakan bahwa “saya setuju untuk pemimpin tidaklah harus laki-laki,
tapi akan lebih baik jika komposisinya adalah 50:50 antara perempuan dan laki-laki untuk pemegang-
pemegang jabatan inti, dibandingkan bersaing, lebih baik berkolaborasi saja untuk melengkapi
kekurangan masing-masing”. Jawaban dari sampel 4 ini dapat menjadi pembelajaran untuk seorang
pemimpin, dan pada dasarnya hal ini memang benar adanya, di mana di dalam kehidupan sehari-hari
memang ada beberapa posisi yang dalam stigma kita termasuk ke dalam kategori “cocok” untuk masuk
sebagai kriteria pemegang posisi tersebut. Sebagai contoh, untuk posisi yang perlu diisi pada suatu
kepengurusan adalah sekretaris dan bendahara, yang di mana kita mengetahui, banyak dari posisi-posisi
ini diisi dari seorang perempuan, sehingga inilah yang menjadi salah satu rasionalisasi kuat mengapa
sampel 4 memberikan jawaban seperti yang sudah dicantumkan. Dilanjutkan dengan jawaban yang
paling berbeda dengan sampel lainnya yakni sampel 7, menjelaskan bahwa untuk hal yang berkaitan
dengan kesetaraan gender adalah hal yang baik, namun sampel 7 menjawab dengan: “untuk beberapa
hal lebih baik untuk dilakukan oleh perempuan karena lebih teliti, rapi, dan rinci”. Dari pertanyaan
sampel 7, ini merujuk pada pada pembahasan sebelumnya yang kembali memberikan gambaran dan
stereotipe untuk seorang perempuan yang lebih rinci, rapi, dan teliti di dalam menjalankan tugas adalah
sesuatu yang tidak bisa kita salahkan atau validasi kebenarannya, karena kembali lagi, pada dasarnya
hal ini kembali lagi pada kompetensi masing-masing sumber daya yang diolah oleh pemimpin itu
sendiri, dan sangatlah tidak menutup kemungkinan untuk seorang laki-laki yang memiliki kompetensi
tersebut. Sebagai asumsi, untuk sampel 4 dan 7 ini adalah tipe seorang yang pernah menjadi pemimpin,
akan tetapi besar kemungkinannya bahwa hal ini merujuk pada seorang pemimpin yang cukup sering
berada di lingkungan yang memang sudah seperti itu dan mengandalkan stereotipe untuk seorang laki-
laki dan perempuan.
Hal ini tidaklah menutup kemungkinan bahwa seperti itulah pandangan terhadap kesetaraan gender
dari perspektif sampel 4 dan 7, di mana hal ini menjadi sangat wajar untuk seseorang memiliki
pandangan yang berbeda terhadap suatu hal yang memang bersifat praktis, apalagi berhubungan dengan
pembagian posisi di tingkat kepengurusan dan organisasi. Namun, sebagai konklusi di dalam aspek
penilaian terhadap jawaban sampel, untuk jawaban sampel 4 dan 7 pada dasarnya hanyalah memandang
kesetaraan gender dari perspektif yang berbeda, di mana pandangan mengenai kesetaraan gender untuk
kedua jawaban sampel ini merujuk pada pandangan lebih mengedepankan stereotipe, seperti stereotipe
untuk perempuan yang lebih cocok memegang pekerjaan yang memerlukan perincian lebih dan
ketelitian, atau sebaliknya untuk pekerjaan yang lebih mengandalkan tenaga dan pengambilan
keputusan yang cepat diperuntukkan pada laki-laki. Hal ini memang pada dasarnya termasuk dalam
kondisi “setara” yang pada dasarnya sangatlah mungkin untuk menjadi patokan dan tiap orang yang
terlibat dalam suatu kepengurusan dan organisasi sangatlah wajar untuk memiliki pandangan ini.

E. KESIMPULAN

Pemimpin adalah salah satu anggota kelompok yang mempunyai pengaruh terbesar pada kegiatan
berkelompok dan mempunyai peranan sangat penting dalam mencapai tujuan kelompok. Tidak hanya
laki-laki yang memimpin, namun perempuan juga berhak menjadi seorang pemimpin. Pertanyaan yang
ditujukan kepada sampel yaitu arti dari kepemimpinan sendiri, pandangan sampel apakah sosok
pemimpin harus laki-laki serta pendapat secara singkat mengenai kesetaraan gender dalam lingkup
organisasi atau kepanitiaan. Secara dominan sampel menjawab arti kepemimpinan sebagai tindakan
dari seorang yang dipercaya sebagai pemimpin dan melaksanakan kegiatan yang memiliki pola alur
untuk memenuhi tujuan bersama. Kepemimpinan didefinisikan oleh sampel yaitu sebagai kegiatan yang
sifatnya melahirkan pemimpi-pemimpin baru yang akan meneruskan apa yang sudah
diimplementasikan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya yang telah diterapkan kepada anggotanya
sehingga dapat menginspirasi penerusnya untuk menerapkan dan memunculkan sosok-sosok
pemimpin. Salah satu target dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana perspektif sampel
yang pernah mengenal lingkungan dan teknis lapangan sebagai seorang pemimpin untuk menyikapi
mengenai gender dari seorang pemimpin. Jawaban sampel 100% menyatakan bahwa pemimpin tidak
seharusnya laki-laki. Hal tersebut didasari oleh tingkat ketercapaian suatu organisasi atau program yang
sedang dipimpin. Perspektif kesetaraan gender bagi sampel menjelaskan mengenai patriarki yakni
sebuah sistem yang lebih mengedepankan laki-laki dalam berbagai aspek kegiatan manusia. Sampel
mengatakan bahwa hal-hal yang bersifat kesenjangan khususnya pada aspek gender, sudah mulai luntur
dalam lingkup organisasi dan kepanitiaan. Seorang pemimpin tidak harus selalu seorang laki-laki,
dalam kehidupan sehari-hari memang ada beberapa posisi yang dalam stigma termasuk ke dalam
kategori “cocok” untuk masuk sebagai kriteria pemegang posisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Amriani N, Manda D, Suardi. 2015. Perempuan Maskulin. Jurnal Equilibrium. 3(1) : 57-66.
Efriana E.2022. Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Aspek Bermasyarakat. Universitas
Muhammadiyah yogyakarta.
Fibrianto, A S. 2016. Kesetaraan Gender dalam Lingkup Organisasi Mahasiswa Universitas Sebelas
Maret Surakarta Tahun 2016. Jurnal Analisa Sosiologi 5(1): 10-27.
Fitriana A, Cenni. 2021. Perempuan dan Kepemimpinan. Prosiding Webinar Nasional IAHN-TP. Hal:
247-256. Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang : Palangka Raya.
Gurmansyah W. 2019. Dinamika Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Jurnal
Hawa. 1(1) : 156-172.
Haslita, R., Samin, R., Kurnianingsih, F., Okparizan, O., Subiyakto, R., Elyta, R., dan Ardiansya, A.
(2021). Implementasi Kebijakan pada Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Jurnal
Pengabdian Masyarakat 1(1):81-86.
Kosasih. 2016. Peranan Organisasi Kemahasiswaan dalam Pengembangan Civic Skills Mahasiswa.
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial 25(2): 64-74.
Sakina AI dan Siti DH. 2022. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Jurnal Social Work. 7(1) : 1-
129.
Sari GR, Ismail E. 2021. Polemik Pengarusutamaan Kesetaraan Gender di Indonesia. Jurnal Penelitian
Ilmu Ushuluddin. 1(2) : 51-58.
Susanto NH. 2015. Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Budaya Patriarki. Jurnal
Muwazah. 7(2) : 120-130.
Yudiaatmaja F. 2013. Kepemimpinan: Konsep, Teori, dan Karakternya. Media Komunikasi FIS 12(2):
29-38.

Anda mungkin juga menyukai