Anda di halaman 1dari 12

Gender dan Politik

Politik, Kekuasaan, dan Keterlibatan


Perempuan (1)
• Politik dlm suatu negara berkaitan dgn mslh kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation
or distribution).
• Miriam Budiarjo (2008) menyebutkan politik adlh usaha utk menentukan peraturan2 yg
dpt diterima baik oleh sebagian bsr wrg, utk membawa masyarakat ke arah kehdpan
brsm yg harmonis.
• Seorg Filusuf politik mrpkn seni utk mengabdikan manusia dmn ada budaya politik yg
baik terjd apabila politik mampu menjamin prinsip2 kebebasan, kesetaraan, dan
solidaritas.
• Prinsip2 tsb dpt terjd di ruang publik, yg mrpkn ruang kebebasan politik dan kesman
(Haryatmoko, 2003).
• Perkmbgan praktik2 politik msh jauh dr tujuan awal spt yg disebutkan oleh Hannah
Arendt, yaitu menjamin prinsip kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
• Politik pd akhirnya hny ramah pd kls ttt saja, yaitu kls menengah ke atas yg tlh akrab dgn
sosialisasi dan pendidikan polktik, serta akses thd praktik2 polktik dlm sebuah institusi
atau lembaga.
Politik, Kekuasaan, dan Keterlibatan
Perempuan (2)
• Politik, yg mencakup kekuasaan, kebijakan publik, dan pengambilan keputusan dianggap
sbg kegiatan maskulin dan rasional yg hny dimiliki oleh laki2.
• Perempuan dgn anggapan sbg makhluk emosional tdk memiliki tmpt di ranah politik krn
dianggap tdk memiliki sifat2 bawaan yg menjd unsur dr praktik politik.
• Bagi kaum feminis, yg bersifat politis meliputi kehdpan pribadi dan kehdpan privat
(domestik) yg didsrkan atas hubungan kekuasaan yg tdk seimbang dmn kaum laki2
mempunyai lbh byk kekuasaan drpd dan atas perempuan (Lovenduski, 2008).
• Kekuasaan dianggap bkn menjd anak kandung perempuan, mengingat stereotipe
perempuan tradisional tdk mengenal kekuasaan.
• Kefemininan jg tdk memuat ketegaran, keperkasaan, atau ketegasan yg mrpkn unsur inti
kekuasaan.
• Perempuan akhirnya hrs menjd maskulin jika ingin berkuasa, dan mengeliminasi sikap
feminin agar bs disebut sbg kuat, tegar, dan berpengaruh (Mulia dan Farida, 2005).
Politik, Kekuasaan, dan Keterlibatan
Perempuan (3)
• Byknya perempun yg menduduki kursi pemerintahan, legislasi, birokrasi, dan
pejabat publik tdk berpengaruh byk thd kebijakan2 yg pro dan menyelesaikan
mslh2 perempuan, serta menjdkan hdp perempuan lbh baik spt tujuan politik
sejak awal.
• Di byk negara termsk Indonesia, perempuan msh dianggap sbg “penerima”,
sehingga blm sepenuhnya aktif dlm partisipasi politik.
• Dlm konteks “wakil rakyat” dlm pemerintahan pun, perempuan tdk bnr2
menjd wakil yg berkedudukan sbg penggerak dan pembntk kebijakan, krn hny
menjd follower pd setiap kebijakan publik yg sebagian bsr disusun dan
mewakili kepntga laki2.
• Kekuasaan dan politik yg kemudian melahirkan kebijakan2 dlm suatu negara,
hrsnya bs melibatkan kebijakan2 dlm suatu negara, hrsnya bs melibatkan
perempuan scr aktif sbg perwakilan dr kaumnya, yg paham mengenai
persoalan2 dan kebutuhan perempuan, dibandingkan laki2.
Androsentrisme Politik (1)
• Wajah politik semakin tdk ramah perempuan manakala keterwakilan perempuan justru
menjd alat utk melanggengkan kekuasaan dan kedudukan laki2 dlm bidang politik.
• Politik msh bersifat androsentrisme yaitu scr eksplisit dan implisit asumsi, keyakinan,
konsep, hukum, dan kebijakan hny menguntungkan slh satu jns kelamin yaitu laki2.
• Peminggiran perempuan dlm politik jg terjd seiring bergesernya model sistem kepartaian
yg saat ini mayoritas berciri catch all party (partai yg mewakili sgl macam kepntgan klpk,
dan aspirasi) yg lbh non ideologis, pragmatis, dan sgt akomodatif thd beragam kepntgan.
• Dlm model spt partai ini, kader perempuan partai yg plng awal tersisih dan tdk
diperhitungkan kepntgan dan aspirasinya.
• Perempuan memiliki bargaining position yg lemah krn sistem politik yg msh berideologi
maskulin.
• Androsentrisme politik msh sgt jls terlht pd bntk2 sistem politik, pola rekruitmen politik,
proses pengambilan keputusan, serta merta menjdkan perempuan akrab dgn politik.
Androsentrisme Politik (2)
• Perempuan yg terjun di dunia politik dianggap bkn krn kemampuannya sndr, melainkan
krn adanya faktor eksternal yg mendukung keterwakilan mrk dlm politik.
• Fenomena politisi perempuan kuat diwrni oleh isu perempuan korup, perempuan
selebriti sbg bakal cln legislatif, atau anggota2 keluarga elit partai sbg caleg (dinasti
politik).
• Stigma perempuan yg msk dlm dunia politik erat dgn image korupsi, ketenaran,
nepotisme, bkn krn kemampuan dan kapabilitas yg dimiliki perempuan.
• Hal ini semakin menyulitkan perempuan utk terjun di dunia politik dan menyuarakan isu2
yg menjd aspirasi masyarakat dan perempuan pd khususnya.
• Virginia Woolf dlm A Room for One’s Own (dlm Karam, 2003), menganggap bahkan
selama ini gambaran perempuan ideal gambaran yg menonjolkan dan menganggungkan
atribut lelaki, tlh memberikan gambaran yg lbh realistis sejak kehdran perempuan dlm
kehdpan publik.
Representasi Perempuan dalam Politik (1)
• Represntasi memiliki dua makna yaitu sbg Vertreten (representasi atau keterwakilan) dan
Darstellen (re-presentasi atau penggambaran ulang).
• Dlm konteks ini representasi yg digunakan dlm arti Vertreten yg menunjuk pd substituting
for; speaking for (keterwakilan) dlm konteks politik, berarti keterwakilan perempuan dlm
bidang politik.
• Indikator mengenai perwakilan perempuan yg digunakan kini beragam, dr peningkatan
kesdran thd isu2 perempuan hingga perubahan proses dan struktur kelembagaan dan
upaya memengaruhi wacana pemerintahan itu sndr.
• Representasi perempuan dlm politik menjd kehrsan, mengingat; pertama, perempuan jg
mrpkn pelaku dlm pembgnan dan politik, tdk hny sbg penerima, sehingga keterlibatan
perempuan sgt dibutuhkan dlm mengidentifikasi kebutuhan2 perempuan dlm bntk
kebijakan.
• Kedua, perjuangan perempuan, dan jg laki2 dlm mengupayakan kesetaraan gender
membutuhkan kekuatan politik jg, melalui berbagai kebijakan dan peraturan yg dibuat,
sehingga perempuan sbg pihak yg mengalami subordinasi perlu berpartisipasi sbg
pembuat kebijakan.
Representasi Perempuan dalam Politik (2)
• Ketiga, perempuan dlm keterwakilan politik diperlukan utk memperjuangkan
permslhan2 yg dihadapi perempuan, spt meningkatnya kematian ibu dan anak saat
melahirkan, perdagangan perempuan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, maraknya
prostitusi, kekerasan dlm RT, serta pendidikan yg tdk merata yg menyebabkan
pemiskinan sistematik bagi perempuan.
• Langkah2 affirmative action spt kuota kursi parlemen dan jns sistem pemilu ttt trs-mnrs
diupayakan utk menghpskan ketdkseimbangan dlm representasi politik.
• Kuota dianggap menjd langkah smntr utk mengatasi ketdkseimbangan; dgn asumsi dlm
arena politik ketdkseimbangan tsb ada dan terutama dirasakan oleh perempuan.
• Parpol memiliki pengaruh bsr dlm mewujudkan representasi perempuan di ranah politik,
jg mrpkn lembaga yg plng memengaruhi cara pengaturan praktik representasi politik.
• Lovenduski (dlm Adelina dan Soetjipto, 2014) mengingatkan argumen yg biasa digunakan
parpol utk menghalangi kiprah perempuan di dlm politik dan di ruang publik adlh soal
pembedaan peran domestik dan publik.
Representasi Perempuan dalam Politik (3)
• Dgn pembekuan peran tsb, terjdlah marginalisasi thd anggota perempuan di dlm parpol
dgn cara meletakkan mrk lbh byk pd divisi yg mengurus hal2 ‘keperempuanan’ belaka.
• Representasi dlm artian keterwakilan perempuan dlm bidang politik pd akhirnya blm
mampu “mewakili” suara perempuan dlm memperjuangkan hak dan isu2 yg sulit
menerima keterlibatan perempuan dlm pencatutan parpol.
• Jika perempuan msk dlm kabinet, maka ia tdk bs memperlhtkan sisi feminin krn dianggap
bkn mrpkn sifat2 yg mencerminkan politisi.
• Mnrt Squires (dlm Adelina dan Soetjipto, 2014), ada tiga strategi utk mencapai keadilan
gender di arena politik, yaitu strategi melalui kuota, PUG, dan pembntkan fokus utama
gender yg dlm hal ini dimaknai sbg fokus utama thd perempuan.
• Berdsrkan penelitian menganai kepemimpinan perempuan di Asia, mnrt Mary
Katzenstein (dlm Suseno, 2013) ada dua faktor utama yg menghambat rekrutmen
kepemimpinan perempuan, yaitu :
Representasi Perempuan dalam Politik (4)
1) kondisi sosial meliputi struktur kls, kehdpan keagamaan dan budaya,
2) kelembagaan politik meliputi prosedur suksesi, sifat struktur partai yg pro atau kontra
kepemimpinan perempuan.
• Mnrt Hanna Pitkin (dlm Suseno, 2013), Keterwakilan perempuan dlm politik mencakup
empat hal, yaitu :
a. Representasi Formal mempunyai dua dimensi otorisasi pertama, artinya representasi
memperoleh keberadaan, peran, posisi dan akuntanbilitas sekudernya, kemampuan
konstituen utk menghukum keinginan mrk atau responsivitas perwakilan thd
konstituennya.
b. Representasi Simbolis Seseorg wakil menjd simbol yg mempresentasikan atau
menghdrkan sesuatu yg sebnrnya tdk ada (tdk hdr).
c. Representasi Deskriptif wakil menghdrkan sesuatu yg absen dgn mengangkat
kemiripan atau mencerminkan kesman, dan dlm bertndk ia mengatasnamakan yg
diwakilinya.
Representasi Perempuan dalam Politik (5)
d. Representasi Substantif tndkn yg diambil atas nama, utk kepntgan,
sbg agen dr, dan sbg pengganti yg diwakili.
• Keterwakilan perempuan dlm konteks kuota sbg hsl kebijakan afirmasi,
maka dpt disimpulkan.
• Pertama, sbg konsekuensi kuota, cara2 partai merekrut anggota
legislatif dan posisi perempuan dlm struktur kepengurusan parpol
maka dpt dikatakan keterwakilan perempuan flm politik bersifat
deskriptif.
• Kedua, jika berbagai pelaksanaan kebijakan afirmasi perempuan di
parlemen, maka bs memunculkan keterwakilan substantif perempuan
dlm perpolitikan.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai