Anda di halaman 1dari 4

Perempuan dan Realitas Kehidupan:

Sebuah Pengantar
Rihadatul A'isyil Fithriyah

Problematika mengenai isu-isu tentang perempuan memang tiada habisnya, dan


sudah menjadi perbincangan hangat selama beberapa abad terakhir. Perbincangan ini timbul
atas dasar keresahan kaum perempuan mengenai ketimpangan sosial yang salah satunya
mulai disuarakan oleh Mary Wollstonecraft pada awal abad ke 18 dalam bukunya A
Vindication of the Rights of Women (1792). Dalam bukunya, ia menyerukan pengembangan
intelektual perempuan sehingga mereka mampu berkembang menjadi individu yang mandiri.
Keresahan ini akhirnya berkembang menjadi isu global yang mencuri perhatian banyak pihak,
tidak terkecuali kaum muslim.

Lebih jauh, ajaran Agama Islam kerap kali dituding bertanggungjawab atas maraknya
ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap perempuan. Tuduhan yang dilayangkan pun
bukan tanpa alasan, karena jika ditelisik lebih dalam, faktor-faktor yang melatarbelakangi
anggapan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua macam: internal dan eksternal. Faktor
internal yang paling mendasar atas tuduhan tersebut adalah misinterpretasi hukum-hukum
Tuhan melalui prespektif fikih klasik, sehingga yurisprudensi Islam dianggap bias gender dan
mengkerdilkan hak-hak kaum perempuan. Banyak pihak yang memaknai fikih sebagai apa
yang dikehendaki dari nas Tuhan itu sendiri, sehingga mereka menyangsikan makna absolut
syariat Islam, meski pada hakikatnya fikih klasik seringkali dipengaruhi adat dan budaya
setempat.

Sedangkan faktor eksternal muncul dari para musuh Islam, baik kaum orientalis
maupun orang Islam itu sendiri. Mereka memandang Islam sebagai agama irasional yang
mengopresi kaum perempuan dengan aturan-aturannya yang timpang tindih. Dalih mereka
diperkuat dengan pemahaman tekstual mengenai hadis nabi yang secara eksplisit menyebut
perempuan kurang akal dan agamanya. Tuduhan-tuduhan semacam ini masih eksis tersebar
hingga sekarang. Tidak sebatas itu saja, faktanya benih-benih kebencian terhadap Islam juga
melahirkan tindakan rasisme berbasis agama, atau yang akrab kita dengar dengan
Islamphobia.

Meski emansipasi wanita telah disuarakan sejak 3 abad yang lalu, nyatanya
diskriminasi terhadap kaum perempuan masih menjadi momok yang menjamur di kehidupan
masyarakat. Hak-hak perempuan dalam bidang sosial-ekonomi, hukum, sampai kendali atas
kekuasaan dan partisipasinya di bidang politik belum sepenuhnya dapat dinikmati. Stigma
yang berkembang di masyarakat menafsirkan gender sebagai seperangkat tuntutan sosial
terkait kepantasan dalam berperilaku, sehingga timbul tekanan sosial yang melimitasi ruang
gerak perempuan terkait peran yang wajar bagi mereka, dan mengakibatkan rendahnya
kepercayaan diri perempuan dalam mengembangkan potensinya di ruang publik.
Maka hadirnya Forum Kajian Perempuan (FORKAPAN) diharapkan mampu menjadi
wadah untuk berdiskusi bagi perempuan dan memberdayakannya menjadi pemikir kritis serta
responsif terhadap keadaan. Forum kajian ini diharapkan dapat mengasosiasi para srikandi
bangsa yang memiliki cita-cita luhur beragama namun tetap berbudaya dan juga menjadi
ajang pengenalan lembaga kajian di Mesir, sehingga diskusi tidak lagi dipandang eksklusif
yang hanya di peruntukkan bagi kaum elit intelektual, akan tetapi menjadi tren arus keilmuan
di kalangan mahasiswi.

Bettie Friedan dalam bukunya The Feminine Mystique (1963) memandang bahwa
faktanya, kaum perempuan juga bertanggung jawab atas stigma negatif yang tersebar di
khalayak umum. Lebih lanjut, Ia mengatakan “Laki-laki bukanlah musuh, melainkan sesama
korban. Musuh yang sesungguhnya adalah fitnah perempuan terhadap kaumnya sendiri.”.
Oleh sebab itu, pengkajian secara komprehensif dan eksploratif terhadap hak-hak perempuan
beserta kewajibannya dirasa masih sangat dibutuhkan hingga sekarang, khususnya dikaji oleh
kaum perempuan itu sendiri.

Pada tahun 2014 al-Azhar al-Sharif telah mengeluarkan dokumen-dokumen resmi


terkait hak-hak dan kedudukan perempuan. Al-Azhar yang telah berdiri kokoh selama lebih
dari seribu tahun dan mewakili perwajahan Islam di dunia, tidak mengabaikan tanggung
jawab historisnya dalam merekontruksi pemahaman agama dan memulihkan kembali
konsep-konsep Islam yang telah terdistorsi. Upaya al-Azhar dalam mengembalikan fokus
umat Islam kepada doktrin rasional, stabil dan moderat dimanifestasikan melalui rekonsiliasi
antara nas dan nalar, begitu pula penyesuaian teks Islam klasik berdasarkan kebutuhan
zaman.

Pemilihan fatwa Grand Syekh al-Azhar Dr. Ahmad al-Tayeb dalam FORKAPAN 2023 ini,
berdasarkan pada peran beliau sebagai titik pusat tranformasi dan moderasi yang digaungkan
oleh al-Azhar. Spirit yang diusung beliau tidak terbatas hanya mengubah arah pemikiran
unilateralisme dan stagnansi menjadi keberagaman dan pluralisme, tetapi juga membela hak-
hak orang lain, khususnya perempuan. Dr. Ahmad al-Tayeb dikenal sebagai Syekh al-Azhar
yang paling getol dalam menyuarakan pembelaannya terhadap hak-hak perempuan. Tidak
berhenti disitu saja, banyak kebijakan-kebijakan beliau yang mengangkat kedudukan
perempuan seperti mengangkat dr. Nahlah al-Saeedi sebagai penasehat, sehingga stigma
negatif tentang ketidakmampuan perempuan menduduki kursi strategis pun terpatahkan.
Pembelaannya terhadap kaum perempuan didasari atas rasa tanggungjawabnya sebagai
manusia, beliau mengatakan “Saya tidak menentang laki-laki atau bias terhadap perempuan,
tetapi saya melihat perempuan muslim di Timur tidak menikmati hak-haknya secara syariat.
Dan ini bukan pendapat saya saja, melainkan pendapat banyak ulama di Timur dan Barat.”.

Baru-baru ini majalah Shout al-Azhar edisi 16 November 2022, telah mengangkat tema
“Al-Azhar dan Pembaharuan Dalam Isu-Isu Perempuan”. Di dalamnya terdapat 14 fatwa Dr.
Ahmad al-Tayeb mengenai isu-isu perempuan, diantara lain: kekerasan terhadap perempuan,
polemik poligami, akses dan peran perempuan dalam ruang publik, diskriminasi perempuan
atas nama agama, khitan perempuan, rumah taat dan masih banyak lagi. Dalam kajian kali ini,
kita akan mengambil dua tema besar yang akan dibahas secara komprehensif oleh segenap
partisipan diskusi. Apakah itu?

1. Adat dan Tradisi: Penganiayaan Perempuan Atas Nama Agama


Grand Syekh al-Azhar Dr. Ahmad al-Tayeb melihat ada banyak sekali diskriminasi hak-
hak Perempuan yang terjadi disebabkan yurisprudensi (fikih) yang bersumber dari adat dan
tradisi, sehingga melahirkan banyak bias antara tradisi dan ajaran agama. Di sisi lain, tema ini
dipandang sebagai pokok permasalahan yang memayungi banyak persoalan yang lain.
Polemik sirkumsisi misalnya, atau yang lebih kita kenal dengan sunat pada anak
Perempuan yang masih marak terjadi meskipun telah dikecam dan dilarang oleh pihak medis
disebabkan bahaya yang ditimbulkan. Namun rupanya, pelarangan ini sama sekali tidak
diindahkan oleh sebagian pemuka agama, mereka masih getol memfatwakan bahwa hal
tersebut adalah syariat Tuhan, meski MUI telah mengeluarkan fatwa pengharaman khitan
pada anak perempuan.
Urusan rumah tangga juga tidak luput dari tema satu ini. Di banyak daerah para
perempuan dipaksa untuk menikahi pilihan orang tuanya meskipun ia dengan tegas
menolaknya. Setelah menikah mereka diperlakukan seperti pelayan oleh suami dan
keluarganya atas dasar ketaatan, padahal perlakuan tersebut lebih cocok disebut dengan
perbudakan. Dari sini kita dapat melihat urgensi untuk meninjau ulang teks-teks fikih klasik
yang lazimnya didominasi oleh pengaruh adat dan tradisi pada masa itu, sehingga tujuan dari
syariat Islam dapat dipahami secara obyektif sesuai tuntunan dari Tuhan.

2. Perempuan dalam Sektor Publik


Tema kedua ini masih berangkat dari misinterprestasi nas syariat di atas, akan tetapi
menurut data yang diusung oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (Kemen PPPA) melalui Global Gender Gap Report (GGGP) tahun 2021, menyatakan
bahwa Indonesia menempati urutan ke 115 dari 156 negara dalam rasio tingkat partisipasi
perempuan di bidang ekonomi dan menempati urutan ke 92 dari 156 negara dalam
pemberdayaan perempuan di sektor politik. Dari prosentase diatas, kita dapat melihat
ketimpangan sosial yang masih kental di masyarakat, sehingga dibutuhkan perhatian yang
lebih besar pada sub tema kali ini.
Pemberdayaan perempuan dalam sektor publik, baik sebagai partisipan maupun
menduduki posisi strategis, masih sering menemukan berbagai faktor penghambat.
Kebijakan dan undang-undang yang bias gender ditambah norma masyarakat yang
diskriminatif, membatasi perempuan dalam mengembangkan potensinya. Sehingga
keputusan Konferensi Internasional Al-Azhar yang diselenggerakan pada bulan Januari
tahun 2020 mengenai kebolehan perempuan menduduki posisi jabatan yang sesuai
kemampuannya termasuk jabatan tertinggi di negara, diharap mampu mendobrak
semangat kaum perempuan dalam mengembangkan potensinya dan melebarkan sayapnya
di sektor-sektor publik.
Dua tema diatas dianggap sebagai eminen dari 14 fatwa yang dikeluarkan Dr. Ahmad
al-Tayeb, dan tema yang paling aktual untuk dikaji oleh mahasiswi Indonesia khususnya,
karena menjadi problematika yang berkenaan langsung dengan praktik yang akan kita
hadapi di Indonesia nanti. Maka FORKAPAN 2023 yang diselenggarakan oleh Wihdah PPMI
mengajak para mahasiswi Indonesia di Mesir untuk menganalisis dan mengkaji kembali
fatwa ini, demi terciptanya kesadaran bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya
sejak dini dan menginspirasi untuk terus beraspirasi melalui ruang diskusi.

Anda mungkin juga menyukai