Sebuah Pengantar
Rihadatul A'isyil Fithriyah
Lebih jauh, ajaran Agama Islam kerap kali dituding bertanggungjawab atas maraknya
ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap perempuan. Tuduhan yang dilayangkan pun
bukan tanpa alasan, karena jika ditelisik lebih dalam, faktor-faktor yang melatarbelakangi
anggapan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua macam: internal dan eksternal. Faktor
internal yang paling mendasar atas tuduhan tersebut adalah misinterpretasi hukum-hukum
Tuhan melalui prespektif fikih klasik, sehingga yurisprudensi Islam dianggap bias gender dan
mengkerdilkan hak-hak kaum perempuan. Banyak pihak yang memaknai fikih sebagai apa
yang dikehendaki dari nas Tuhan itu sendiri, sehingga mereka menyangsikan makna absolut
syariat Islam, meski pada hakikatnya fikih klasik seringkali dipengaruhi adat dan budaya
setempat.
Sedangkan faktor eksternal muncul dari para musuh Islam, baik kaum orientalis
maupun orang Islam itu sendiri. Mereka memandang Islam sebagai agama irasional yang
mengopresi kaum perempuan dengan aturan-aturannya yang timpang tindih. Dalih mereka
diperkuat dengan pemahaman tekstual mengenai hadis nabi yang secara eksplisit menyebut
perempuan kurang akal dan agamanya. Tuduhan-tuduhan semacam ini masih eksis tersebar
hingga sekarang. Tidak sebatas itu saja, faktanya benih-benih kebencian terhadap Islam juga
melahirkan tindakan rasisme berbasis agama, atau yang akrab kita dengar dengan
Islamphobia.
Meski emansipasi wanita telah disuarakan sejak 3 abad yang lalu, nyatanya
diskriminasi terhadap kaum perempuan masih menjadi momok yang menjamur di kehidupan
masyarakat. Hak-hak perempuan dalam bidang sosial-ekonomi, hukum, sampai kendali atas
kekuasaan dan partisipasinya di bidang politik belum sepenuhnya dapat dinikmati. Stigma
yang berkembang di masyarakat menafsirkan gender sebagai seperangkat tuntutan sosial
terkait kepantasan dalam berperilaku, sehingga timbul tekanan sosial yang melimitasi ruang
gerak perempuan terkait peran yang wajar bagi mereka, dan mengakibatkan rendahnya
kepercayaan diri perempuan dalam mengembangkan potensinya di ruang publik.
Maka hadirnya Forum Kajian Perempuan (FORKAPAN) diharapkan mampu menjadi
wadah untuk berdiskusi bagi perempuan dan memberdayakannya menjadi pemikir kritis serta
responsif terhadap keadaan. Forum kajian ini diharapkan dapat mengasosiasi para srikandi
bangsa yang memiliki cita-cita luhur beragama namun tetap berbudaya dan juga menjadi
ajang pengenalan lembaga kajian di Mesir, sehingga diskusi tidak lagi dipandang eksklusif
yang hanya di peruntukkan bagi kaum elit intelektual, akan tetapi menjadi tren arus keilmuan
di kalangan mahasiswi.
Bettie Friedan dalam bukunya The Feminine Mystique (1963) memandang bahwa
faktanya, kaum perempuan juga bertanggung jawab atas stigma negatif yang tersebar di
khalayak umum. Lebih lanjut, Ia mengatakan “Laki-laki bukanlah musuh, melainkan sesama
korban. Musuh yang sesungguhnya adalah fitnah perempuan terhadap kaumnya sendiri.”.
Oleh sebab itu, pengkajian secara komprehensif dan eksploratif terhadap hak-hak perempuan
beserta kewajibannya dirasa masih sangat dibutuhkan hingga sekarang, khususnya dikaji oleh
kaum perempuan itu sendiri.
Pemilihan fatwa Grand Syekh al-Azhar Dr. Ahmad al-Tayeb dalam FORKAPAN 2023 ini,
berdasarkan pada peran beliau sebagai titik pusat tranformasi dan moderasi yang digaungkan
oleh al-Azhar. Spirit yang diusung beliau tidak terbatas hanya mengubah arah pemikiran
unilateralisme dan stagnansi menjadi keberagaman dan pluralisme, tetapi juga membela hak-
hak orang lain, khususnya perempuan. Dr. Ahmad al-Tayeb dikenal sebagai Syekh al-Azhar
yang paling getol dalam menyuarakan pembelaannya terhadap hak-hak perempuan. Tidak
berhenti disitu saja, banyak kebijakan-kebijakan beliau yang mengangkat kedudukan
perempuan seperti mengangkat dr. Nahlah al-Saeedi sebagai penasehat, sehingga stigma
negatif tentang ketidakmampuan perempuan menduduki kursi strategis pun terpatahkan.
Pembelaannya terhadap kaum perempuan didasari atas rasa tanggungjawabnya sebagai
manusia, beliau mengatakan “Saya tidak menentang laki-laki atau bias terhadap perempuan,
tetapi saya melihat perempuan muslim di Timur tidak menikmati hak-haknya secara syariat.
Dan ini bukan pendapat saya saja, melainkan pendapat banyak ulama di Timur dan Barat.”.
Baru-baru ini majalah Shout al-Azhar edisi 16 November 2022, telah mengangkat tema
“Al-Azhar dan Pembaharuan Dalam Isu-Isu Perempuan”. Di dalamnya terdapat 14 fatwa Dr.
Ahmad al-Tayeb mengenai isu-isu perempuan, diantara lain: kekerasan terhadap perempuan,
polemik poligami, akses dan peran perempuan dalam ruang publik, diskriminasi perempuan
atas nama agama, khitan perempuan, rumah taat dan masih banyak lagi. Dalam kajian kali ini,
kita akan mengambil dua tema besar yang akan dibahas secara komprehensif oleh segenap
partisipan diskusi. Apakah itu?