Anda di halaman 1dari 26

FENOMENA KEKERASAN TERHADAP ANAK PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN

CYBERBULLYING

YOHANA DEWI C73219066

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH &,HUKUM

C73219066@student.uinsby.ac.id.

Pendahuluan

Kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang begitu berkembang pesat


sehingga memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap perubahan sosial budaya
(Meidiyanto, 2015:1) salah satunya terkait fenomena kejahatan. Fenomena kejahatan
adalah masalah yang abadi dalam kehidupan manusia atau masyarakat, karena
kejahatan berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradapan manusia
(Erlina, 2014:218) (Pramtama, 2014:2). Jika dilihat dari aspek sosiologis, kejahatan
adalah salah satu jenis gejala sosial, yang berhubungan dengan masyarakat atau
individu (Hartanto, 2015:149). Banyak paradigma telah hadir menjelaskan tentang
keberadaan kejahatan (Firdausi dan Lestari, 2016:85). Menurut Muhammad secara
kriminologi, kejahatan ialah merupakan suatu pola tingkah laku yang sangat merugikan
masyarakat (dengan kata lain jika terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang
pasti mendapatkan reaksi masyarakat dan sosial (Mubarok, 2917:224).

Penyebab kejahatan ada beberapa factor seperti pergaulan, ekonomi,


kesempatan yang ada dan lain sebagainya. Di Indonesia factor-faktor tersebut yang
telah terjadi menunjukkan efek yang negative. Banyak kalangan masyarakat yang telah
melakukan perbuatan yang salah semata-mata tujuannya ingin memnuhi kebutuhan
hidupnya (Pratama, 2017:124). Oleh sebab itu diperlukan pengkajian secara kritis agar
mengetahui penyebab seseorang telah melakukan kejahatan, untuk mengetahui
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teori-teori kriminologi. Walaupun
abstrak, tetapi teori ini sangat diperlukan untuk mengkaji mengapa ada manusia yang
bisa atau mampu melaksanakan norma hukum dan norma sosial, ada juga manusia yang
justru melanggarnya. Teori ini tidak hanya penting bagi kegiatan penelitian dan

1
akademik, tetapi penting juga untuk Pendidikan kepada warga negara. Teori
merupakan alat yang berguna untuk membantu manusia memahami dan menjelaskan
dunia di sekitar kita. Dalam kriminologi, teori akan membantu manusia faham
mekanisme kerja system peradilan pidana dan memegang peranan dalam system
peradilan tersebut. Teori bisa memberikan pemecahan tentang cara yang dapat
dilakukan manusia untuk menyelesaikan masalah.

Paulus Hadisaputro (2004:10) mengatakan bahwa dalam konteks kriminologi,


asumsi-asumsi yang telah dikembangkan itu terarah pada upaya pemahaman terhadap
makna perilaku yang telah diperepsi oleh pelakunya sendiri, Ketika ia telah berinteraksi
dengan masyarakat atau kelompok sekitarnya (significant others) teori kriminologi
dapat digunakan sebagai penegak hukum pidana karena menawarkan jawaban atas
pertanyaan bagaimana atau mengapa manusia dan perilaku tertentu dianggap jahat
oleh masyarakat sekitar. Teori kriminologi juga bisa menjawab pertanyaan melalui
pemahaman sosiologis, politis, dan variable ekonomi yang dapat juga mempengaruhi
hukum, keputusan administrasi implementasi hukum dalam system peradilan pidana.
Seperti mengapa factor-faktor non yuridis dapat berpengaruh pada tingkah laku dan
pembentukan hukum, bagaimana sumber daya negara dan masyarakat dapat
menanggulangi kejahatan.

Kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM yang sangat kejam


yang dialami oleh perempuan. Fenomena ini telah menjadi kecemasan bagi setiap
negara di dunia. Termasuk negara-negara yang maju karena negara tersebut sangat
menghargai dan peduli dengan hak-hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan
ini dapat terjadi di mana saja baik ditempat umum, tempat kerja, maupun rumah
tangga, dan bisa dilakukan juga oleh siapapun seperti orang tua, suami, saudara laki-laki
ataupun perempuan. Bukan merupakan kelainan individu fenomena kekerasan
terhadap perempuan melainkan karena adanya kesenjangan kewajiban dan hak serta
peran laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh sistim patriarki. Timbulnya laki-
laki sebagai pihak yang superior dan memegang kekuasaan tertinggi atau yang
diutamakan, kemudian menempatkan perempuan di bawah laki-laki inilah akibat dari
sistim patriarki, perempuan sebagai pihak yang tersubordinasikan atau yang
dilemahkan. Akibat lain yang ditimbulkan dari adanya peran laki-laki dan perempuan
serta kesenjangan hak dan kewajiban yang dibebakan oleh system patriarki. Alibat dari

2
adanya system patriarki ini mengakibatkan timbulnya laki-laki sebagi pihak yang
superior atau pemimpin serta diutamakan dan menempatkan posisi perempuan
dibawah laki-laki. Perempuan sebagai pihak tersubordinasi atau yang dilemahkan.
Akibat lain juga yang timbul dari adanya peran laki-laki dan perempuan dan
kesenjangan antar status yaitu timbulnya kekerasan terhadap perempuan berbasis
gender (L.M Gandi Lapian, 2012). Selain tidak seimbang relasi antara laki-laki dan
perempuan, hal ini juga karena masyarakat indonesia telah meyakini notion yang palsu
yakni menyatakan bahwa kodrat perempuan yang kurang pandai dan lemah daripada
laki-laki. Oleh sebab itu Sebagian masyarakat Indonesia masih percaya adanya
pembagian kerja secara seksual yang telah mengsubordinasikan perempuan. Steorotipe
pun lantas telah melekat pada kaum laki-laki dan perempuan Indonesia, yang menjadi
semacam permakluman atau dianggap biasa bahwa perempuan adalah manusia yang
emosional, penakut, lemah, bodoh. Hal yang seperti ini telah berkembang dalam
masyarakat Indonesia yang bisa menyebabkan perempuan menjadi target dan mudah
sekali untuk dijadikan objek kekerasan. (Archie Sudariarti Luhulima, 2000).

Anak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan hidup
manusia dan perkembangan bangsa dan negara, agar bangsa dan negara terus berjalan
yang diisi dengan peran lain yang mampu bertanggung jawab. Agar keberlangsungan
tersebut terus terjaga makan negara harus memberikan perlindungan kepada anak dan
menjamin hak untuk hidup dan berkembang anak secara optimal. Hal ini menjadi
penting karena dengan adanya penjaminan negara atas keberlangsungan hidup anak
maka akan dihasilkan juga generasi yang berkualitas (Muwahid, 2019).

Anak juga adalah generasi yang akan meneruskan bangsa sehingga perlindungan
khusus dari tindakan kekerasan sangat diperlukan, baik kekerasan yang dilakukan
secara fisik, psikis, mapun kekerasan seksual. Sejauh ini masih banyak anak-anak yang
tidak menadaptkan perlindungan dari tidakan kekerasan yang dilakukan secara fisik
dan seksual, bahkan hampir tidak ada perlindungan terhadap anak yang mengalami
kekerasan secara psikis. Setiap anak memiliki kesempatan yang selebar-lebarnya untuk
dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal, baik fisik, mental, ataupun sosial. Oleh
sebab itu, diperlukan perlindungan agar dapa mewujudkan kesejahteraan anak tanpa
mendapatkan perlakuan yang diskriminatif (Muwahid, 2019).

3
Perlindungan hukum terhadap warga negara ini wajib diberikan oleh
pemerintah yang sesuai dengan nilai Pancasila. Perlindungan yang berdasarkan
Pancasila artinya melindungi dan menegakkan hukum akan harkat dan martabat
manusia berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lima sila Pancasial (Muwahid,
2019).

Perlindungan ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan


perkembangan, serta partisipasi anak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Apalagi anak merupakan golongan yang rentan sehingga membutuhan perlindungan
terhadap hak-haknya. Selain itu kelompok-kelompok yang rentan mendapatkan
perlakuan yang tidak baik termasuk melakukan kekerasan dan perampasan hak-haknya
yaitu kaum perempuan, anak-anak, dan buruh. Kaum inilah yang harus mendapatkan
perhatian yang lebih besar, dalam upaya pemenuhan terhadap perlindungan hak asasi
manusia (Muwahid, 2019).

Seajarah mencatat bahwa korban kejahatan telah memainkan peran penting


dalam memainkan peran penting dalam memecahkan masalah ekjahatan selama
berabad-abad. Namun, di era insdustrialisasi dan urbanisasi, peran korban semakin
berkurang korban tidak mempengaruhi proses penentuan nasib pelaku tindak pidana
yang merugikannya. Kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari suatu tindak pidana
bagi terdakwa. Korban kejahatan mendapatkan kembali perhatian dan ditemukan pada
akhir 1950-an dan awal 1960-an. Banyak pihak yang menaruh perhatian publik pada
masalah serius mengabaikan masalah korban. Diharapkan korban akan mengambil
posisi yang tepat tergantung dari penderitaannya (Chairah, 2019).

Pembahasan

Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam pasal 1


bahwa yang di maksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk
tindak kekerasan yang terjadi dengan adanya atau atas dasar perbedaan jenis kelamin
yang telah mengakibatkan atau akan mengakibatkan penderitaan ataupun rasa sakit
terhadap perempuan termasuk paksaan, ancaman, pembatasan kebebasan dari
kebebasan berpendapat dan yang lainnya baik yang terjadi diarea Domestik maupun
publik. Sedangkan menurut Komnas Perempuan menyatakan bahwa kekerasan

4
terhadap perempuan merupakan segala bentuk Tindakan kekerasan yang trlah
dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau cenderung bisa mengakibatkan
penderitaan dan kerugian seksual, fisik, dan psikologis terhadap perempuan. Hal seperti
ini bisa terjadi pada anak perempuan dan remaja serta perempuan dewasa. Termasuk
adanya ancaman, paksaan ataupun secara sengaja kekang kebebasan hak perempuan.
Tindakan kekerasan perpempuan baik fisik, seksual, dan psikologis bisa terjadi dimana
saja baik dalam lingkungan masyarakat ataupun lingkungan keluarga. Berkaitannya
kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana telah dipahami dari hasil konferensi
perempuan sedunia di Beijing tahun 1995, bahwa istilah kekerasan terhadap
perempuan (Violence Against Women) adalah sebagai kekerasan yang berdasarkan
gender (gender- basef violence). Harkristuti Harkrisnowo telah mengutip Hsuler
mendefinisikan bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan sebagai setiap
kekerasan yang selalu diarahkan terhadap perempuan hanya karena mekera
perempuan atau Any violent act perpetrated on woman because thay are woman.
(Harkristuti Harkrisnowo, 1995).

Pengertian Gender

Agar bisa memahami konsep gender harus dibedakan antara lata seks (jenis
kelamin) dan gender. Pengertian jenis kelamin adalah penafsiran atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang sudah ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis
kelamin tertentu juga termasuk kodrat dari tuhan. Misalnya manusia yang berjenis
kelamin laki-laki memiliki ataupun bersifat seperti memiliki oenis, memiliki
kalamenjing, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi seperti saluran untu melahirkan, memproduksi sel telur,
mempunyai Rahim dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat-alat tersebut adalah alat-
alat yang secara biologis tidak bisa ditukar antara alat biologis yang telah melekat pada
manusia laki-laki maupun perempuan. Secara permanen tidak akan pernah berubah,
merupakan ketentuan biologis, sering juga dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan
oleh Tuhan (Dr, Mansour Fakih. 2010). Gender tidak semata-mata pemberian dari tuhan
atau kodrat ilahi sering juga dipahami demikian. Menurut John M. Echols dan Hassan
Shadily bahwa secara etimologis kata “gender” berasal dari Bahasa Inggris yang artinya
jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983). Sedangkan menurut Victoria

5
Neufeldt bahwa kata gender astinya sebagai perbedaan yang terlihat atau tampak
antara laki-laki dan perempuan dalam tingkah laku dan nilai (Victoria Neufeldt, (ed.)
1884). Ada juga yang lebih tegas disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia
yakni gender merupakan sebuah konsep kultural yang telah dipakai untuk
membedakan perilaku, mentalitas, peran, ataupun karakter emosional antara laki-laki
dan perempuan yang telah berkembang di dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2010).
Sesungguhnya perbedaan gender tidak menjadi masalah asalkan tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities). Tetapi yang menjadi persoalan atau
permasalahan adalah perbedaan gender yang telah melahirkan banyak ketidakadilan,
baik terhadap kaum laki-laki ataupun kaum perempuan, terutama terhadap kaum
perempuan. Untuk memahami paradigma bagaimana perbedaan gender telah
menyebabkan ketidakadilan gender dapat dilihat dari menifestasi Penyerangan
langsung atau direct Attacks merupakan pesan yang telah dikirimkan pelaku terhadap
korban secara langsung. Modus operansi jenis ini merupakan dengan mengirimkan
pesan berupa ancaman taupun mengejek dengan melalui teks, email, ataupin IM guna
membobol akun email dan yang lainnya atau mencuri identitas ataupun password akun
online korban untuk mempermalukan korban dan menyakiti korban. (STOP
cyberbullying). Jenis i9ni juga masih mempunyai beberapa tipe lagi seperti pencurian
password terhadap korban guna membuat solah-olah korban telah melakukan hal-hal
jahat tersebut dengan akunnya sendiri. Hal-hal jajat itu bisa juga membuat orang lain
marah ataupun merasa offended oleh pelaku tanpa diketaui oleh si korban, ataupunbisa
juga dengan cara mengganti gambar yang sifatnya seksual rasis dan tidak sopan.

Jenis Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan menurut jenisnya secara khusus bisa di


gambarkan sebagai berikut (Aroma Elmina Martha, 2003) yaitu:

1. Kekerasan terhadap perempuan dalam area hubungan intim personal atau


Domestik. Banyak berbagai bentuk kekerasan yang bisa terjadi di dalam
hubungan keluarga, antara korban dan pelaku mempunya kedekatan tertentu.
Disini tercakup penganiyaan terhadap anak kandung, anak tiri, istri, bekas istri,
tunangan, pacar, penganiyaan pada orang tua, pemerkosaan oleh anggota
keluarga atau serangan seksual.

6
2. Kekerasan terhadap perempuan dalam area Publik. Banyak berbagai bentuk
kekerasan yang terjadi diluar hubungan personal, hubungan keluarga, dan
personal lainnya. Sehingga bisa meliputi banyak berbagai bentuk kekerasan yang
sangatlah luas, baik terjadi di lingkungan kerja termasuk untuk kerja domestic
(baby sister, pembantu rumah tangga), terjadi di tempat umum seperti
(kendaraan umum, bus, pasar, restoran, café, kampus, dan tempat umum
lainnya). Lembaga Pendidikan produk atau publikasi dan praktek ekonomis yang
sangat meluas seperti pelacuran, pornografi dan banyak bentuk-bentuk lainnya.
3. Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh lingkup negara. Kekerasan
secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan didiamkan atau dibenarkan
bisa terjadi oleh negara dimanapun, termasuk juga dalam kelompok. Seperti ini
adalah pelanggaran hak asasi manusia dalam situasi pertentangan antar
kelompok dan konflik bersenjata yang berkaitan dengan pemerkosaan,
oembunuhan (sistematis), seksual, perbudakan, kekerasan dengan paksaan.
Terkait adanya Kekerasan yang diterima oleh korban tidak hanya satu jenis
ataupun bentuknya, korban juga biasanya sering mengalami kejadian kekerasan
yang di sebabkan oleh relasi antar individua tau relasi personal yang sudah
memiliki kedekatan satu sama lain, baik karena perkawinan, hubungan pacar,
maupun hubungan keluarga dan kerja. Personal yang lebih lemah, rentan
mengalami bentuk kekerasan dan susah pula untuk keluar dari situasi kekerasan
kekerasan yang dialaminya (LBH Apik, 2017).

Di dalam siklus bentuk kekerasan terjadi juga pola berulang, yaitu karena adanya
konflik dan ketengan yang berlanjut dengan bentuk kekerasan, berakhir dengan siklus
tenang, permohonan maaf, dan bulan madu, kemudian Kembali diikuti dengan
ketegangan lagi dan terjadi kekerasan Kembali, demikian siklus seterusnya. Situasi
tenang dan bulan madu setelah terjadinya kekerasan sering sekali diisi dengan ucapan
permohonan maaf, penyesalan serta sikap yang manis, lembut lebih baik dari si pelaku.
Karena adanya siklus ini kekerasan tersebut menyebabkan korban selalu
mengembangkan harapannya dan selalu mempertahankan hubungannya bahkan sering
sekali disertai rasa kasihan terhadap si pelaku, oleh karena itu sehingga membuang si
korban sulit untuk keluar dari situasi atau perangkap bentuk kekerasan. Jika tidak ada
interview yang khusus, maka siklus kekerasan tersebut akan terus berputar dengan

7
perguliran cepat dengan bentuk kekerasan yang akan semakin kuat dan intens (Kristi
Poerwandi dan Ester Lianawati, 2010).

Cyberbullying Sebagai Fenomena Kekerasan Terhadap Anak Perempuan

Dampak dan efek dari globalisasi tidak hanya terjadi dalam satu aspek ataupun
satu dalm satu bidang saja, tetapi telah mempengaruhi aspek-aspek yang lainnya yang
ada di dalam kehidupan masyarakat, bisa terkait sosial, budaya, ekonomi, kemanan, dan
pertanahan. Salah satu yang menjadi focus di kriminologi disini yakni terkait mengani
aspek kejahatan yang mana globalisasi ini bisa mempengaruhi terjadinya kejahatan
yang berbasis teknologi yang ada. (Wahab, 2003, hal. 6).

Perkembangan teknologi ini selalu menghasilkan yang secara linier perkembang


yang sedang terjadi di dalam masyarakat. iniovasi-inovasi yang telah memberikan
dampak yang sangat luar biasa yakni seperti internet, yang telah mengubah secara
permanen sehingga membuat orang-orang bereaksi satu sama lain. Meskipun
perkembangan-perkembangan ini sudah membuat masyarakat mempunya Langkah-
langkah yang hebat dalam beberapa bidang, tapi hal ini secara ironi juga membantu
orang-orang membuat berbagai banyak bentuk pelanggaran yang secara mudah
berkembang dan merajalela. kita ketahui bullying tradisional saat ini telah berkembang
yang menjadi isu sebagai cyberbullying, hal ini salah satunya menjadi bukti adanya
kejadian tersebut. Cyberbullying adalah perpanjangan dari bullying, dan bullying adalah
kekerasan fissik atau psikologis yang digunakan seseorang atau kelompok terhadap
orang atau atau kelompok lain, membuat korban merasa teraniaya. Bullying dapat
terjadi di berbagai bidang kehidupan sosial dan politik, budaya, olahraga, pendidikan,
dan keluarga. Cyberbullying sebenarnya hanya tidnakan yang diidentifikasikan sebgai
bullying, yang artinya intimidasi, mengganggu, menghina, dan tindakan pelecehan di
internet (Muhlishotin, 2017).

Meskipun secara Teknik dan bentuk bullying dan cyberbullying dianggap suatu
hal yang sama, namun ternyata memiliki beberapa perbedaan. Tidak seperti halnya
bullying secara tradisional cyberbullying menutup identitas pelakunya di belakang
computer atau perangkat lunak digital lainnya yang di gunakan untuk melakukan
cyberbullying tersebut. hal ini yang mendasari pelaku cyberbullying dapat menyerang

8
korbannya tanpa harus melihat respon fisik dari korban tersebut. efek buruk dari
teknologi yang sudah canggi membuat generasi atau anak-anak zaman sekarang
berkata dan memiliki perilaku yang bisa dikatakan sangat buruk dan secara ga,blang
bebas dibandingkan dengan tradisional cyberbullying secara tatap muka.(Donegan,
2012. Hal. 34).

Hal ini meniumbulkan suatu permasalahan dan menjadi suatu permasalahan


global yang terjadi di seluruh belahan dunia. Dari kumpulan data, menghasilkan
statistik yang terjadi di negara paman sam atau biasa yang kita kenal juga dengan
negara amerika serikat, masih banyaknya anak-anak yang melakukan cyberbullying
serta banyaknya korban yang menjadi cyberbullying tersebut. menurut survey yang
dilakukan pada kisaran tahun 2015 terhadap 457 orang yang berusia 11-15 tahun di
Amerika Serikat. Memberikan hasil yang mengatakan bahwa 34,4% dari sampel yang di
survey mengatakan mereka pernah dan merasakan serta mengalami cyberbullying
walaupun hanya sekali dalam seumur hidup mereka di dunia. Penelitian tersebut
dilakukan oleh Hinduja dan Patchin pada kisaran tahunh 2015 menunjukan hasil yang
sangat komprehensif berdasarkan dengan modus operandi sebagaimana korban
mendapatkan cyberbullying dan di anggap melakukan perilaku yang tidak
menyenangkan dari para pelaku cyberbullying tersebut. (Hinduja & Patchin, 2015
cyberbullying Data, 2015).

Definisi-definisi .yang_dapat_digunakan_adalah_sebagai_berikut ini:.

1. Cyberbullying adalah segala sesuatu perbuatan yang dapat dilakukan melalui


media elektronik atau digital oleh seorasng individua tau kelompok yang
berulang-ulang selalu menyampaikan permusuhan ataupun pesan yang sgresif
dengan tujuan untuk melukai ataupun membuat tidak nyaman terhadap korban
dari cyberbullying. (Slonje & Smith. 2008, hal. 147). Cyberbullying juga adalah
seorang individu yang merupakan pengguna media elektronik dengan tujuan
untuk melakukan bentuk kekerasan terhadap individu lainnya. Seseorang yang
mengalami bentuk kekerasan atau ancamam melalui media elektronik
merupakan korban dari pelaku cyberbullying. (Hinduja & Patchin, 2008, hal.
129).
2. Cyberbullying adalah bentuk dari bullying yang telah terjadi di media digital
dengan medium teks elektronik. (Notar, Roden, & Padgett, 2013, hal. 5)

9
3. Electronic bullying online bullying atau cyberbullying adalah konsep atau metode
yang baru dari bullying melibatkan bentuk yang baru dari bullying yang telah
didefinisikan sebagai kekerasan menggunakan medi ateknologi seperti email,
ruang obrolan online, SMS, pesan bergambar, pesan instan, website sosial (My
Space, Facebook, instagram, dan yang lainnya), pesan bervideo termasuk di
dalamnya adalah sexiting, dan juga melalui blog. (Notar, Roden, & Padgett, 2013,
hal. 5).

Melihat dari jenisnya, cyberbullying mempunyai tiga jenis nantinya yang akan
mengarah pada modus operandi atau bagaimana cyberbullying tersebut agar bisa
terjadi. Tiga jenis tersebut merupakan direct attacks atau penyerangan secara langsung
dan juga menggunakan cara proxy serta postingan publik atau penyebaran gambar dan
informasi yang membuat malu atau memalukan korban.

1. Penyerangan langsung atau direct Attacks merupakan pesan yang telah


dikirimkan pelaku terhadap korban secara langsung. Modus operansi jenis ini
merupakan dengan mengirimkan pesan berupa ancaman taupun mengejek
dengan melalui teks, email, ataupin IM guna membobol akun email dan yang
lainnya atau mencuri identitas ataupun password akun online korban untuk
mempermalukan korban dan menyakiti korban. (STOP cyberbullying). Jenis
i9ni juga masih mempunyai beberapa tipe lagi seperti pencurian password
terhadap korban guna membuat solah-olah korban telah melakukan hal-hal
jahat tersebut dengan akunnya sendiri. Hal-hal jajat itu bisa juga membuat
orang lain marah ataupun merasa offended oleh pelaku tanpa diketaui oleh si
korban, ataupunbisa juga dengan cara mengganti gambar yang sifatnya
seksual rasis dan tidak sopan.
2. Cyberbullying yang menggunakan proxy merupakan pada saat kejahatan ini
menggunakan orang lain guna untuk melakukan kejahatan tersebut. orang
tersebut kadang atau biasanya tidak mengetahui bahwa mereka digunakan
atau dimanfaatkan agar melakukan cyberbullying. Jenis ini merupakan
cyberbullying yang sangat berbahaya, karean biasannya orang dewasa
dilibatkan dan mereka juga tidak tahu bahwa mereka sedang berinteraksi
dengan orang yang dikenal ataupun anak-anak (STOP cyberbullying).
Contohnya misalnya pada saat mendapatkan ISP ataupun service provider

10
yang telah bergabung tanpa mengetahui hal itu. Korban akan menekan
tombol yang ada pada layer IM Ketika dilakukan beberapa kali yakni tombol
peringatan, kemudian korban akan kehilangan akunnya. Ketika menekan
tombol IM tersebut aka nada peringatan ISP bahwa pengguna melawan
aturan nya atau aturan yang ada. Meskipun service provider sudah
mengetahui bahwa adanya penyalahgunaan tersebut dan mengecek
verifikasinya, yang harus dilakukan oleh si pelaku adalah membuat si korban
marah atau membuat si korban mengatakan atau menulis kata-kata yang
salah sehingga mereka akan terlihat bersalah (STOP cyberbullying) (Kraft &
Wang, 2009, hal. 25)
3. Sudah banyak kasus yang terjadi dengan menggtunakan computer untuk
menirimkan gambar taupun pesan yang tidak pantas atau tidak sesuai di lihat
atau menjadi konsumsi publik baik melalui imail atau website lainnya,
seperti gambar seks atau porno yang bisa menjatuhkan harga diri individu
lainnya. Sekali email itu dikirimkan, hal tersebut akan sekaligus tersebar ke
ribuan orang bahkan lebih dalam satu jam saja ataupun beberapa menit saja.
Tidak aka nada yang bisa mengontrolnya, dengan berkembangnya teknologi
yang ada mereka pun bisa langsung menerima gambar tersebut kemudian
menyebar ke seluruh kontaknya dengan waktu cukup satu detik saja.
Kemudian parahnya lagi mereka juga bisa menyebarkan gambar tersebut di
situs lain yakni seperti situs porno guna bertujuan di download dan di share
atau di sebarkan sehingga korban akan sangat dipermalukan dan sangat
menurunkan harga diri. Biasana mereka mengambil gambar korban yang
seperti itu Ketika korban ada di locker room, ruang ganti pakaian atau kamar
mandi, kemudian langsung mempublikasikannya secara online ataupun
dengan mengirim langsung kepada orang lain menggunakan handphonenya.
(Donegan, 2012. Hal. 34)

Cyberbullying merupakan kejahatan verbal dan mayoritas korbannya adalah


anak-anak. Cyberbulying ada karena penggunaan internet, dan pelaku cyberbulying yang
menggunakan internet merasa bahwa jaringan tersebut milik mereka dan oleh sebab itu
mereka merasa memiliki hak untuk menetapkan aturan penggunaannya. Pada
kenyataanya, cyberbulying tidak pernah menjadi pemilik jaringan interet. Sebagai
pemilik jaringan komunikasi yang terkomputerisasi, pemilik harus mempertimbangkan

11
masalah kebebasan berekspresi saat mengotrol pesan yang dikirim melalui jaringan
internet. Jika tidak ada etika dalam berkomunikasi melalui internet, maka akan
berdampak negatif (Muhlishotin, 2017).

Dengan menggunakan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan dn


individu sebagai korban kejahatan, cyberbullying diklasifikasikan sebagai
bentukkejahatan dunia maya. Tidak seperti bullying, cyberbullying memungkinkan
pelaku menggunakan komputer untuk menyamarkan identitas mereka. Anonimitas ini
memudahkan pelaku untuk menyerang korban tanpa melihat reaksi fisik korban.
Kejahatan cyberbullying yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan dunia maya
(cyebercrime) mengingat ciri-ciri khususnya sebagai berikut (Muhlishotin, 2017):

1. Tanpa kekerasan (non-violence)


2. Kontak fisik yang dilibitakan sangat sedikit (minimize of physical contact)
3. Alat dan teknologi digunakan dalam melakukan tindak kejahatan dunia maya
4. Pemanfaatan jaringan telematika global

Cyberbullying juga telah menjadi fokus perhatian masyarakat dan para


akademisi, karena dampak negatif yang telah diberikan oleh tindakan ini sangat lah
besar, hal ini juga dikarenakan Ketika berbicara terkait bullying tradisional. Dalam
bullying tradisional korban masih disediakan kesempatan untuk mlawan para pelaku
bullying tersebut secara langsung dan mengambil pengukuran sendiri untuk bisa
mengalahkan pelaku bullying tersebut. hal semacam ini jauh berbeda dengan
cyberbullying, pada cyberbullying korban tidak di berikan kesempatan yang sama untuk
menentang dan melawan para pelaku secara tatap muka atau face to face, karena para
pelaku nsejatinya bersembunyi di bawah anominitas yang di sediakan oleh media sosial,
seperti misalnya pelaku yang mengirimkan pesan digital atau yang dikenal dengan SMS
dengan nada kasar dan dengan tujuan mengganggu atau pula memberikan foto atau
rekaman hasil video tertentu yang dapat mengganggu korban, karena pesan digital
tersebut maka korban akan merasa tersusahkan untuk mengidentifikasi siapa pelaku
yang bersembunyi sebagai pengirim pesan tersebut. (Menesini, Nocentini, & Calussi,
2011, hal. 267-268).

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pastinya berkembang dengan pesat secara
terus-menerus juga akan memberikan efek peningkatan terhadap kasus cyberbullying.

12
Mempublikasikan keadaan orang lain secara online merupakan suatu hal yang
memberikan efek yang sangat berbahaya, karena mengijinkan orang lain dapat
mengetahuin berbagai macam informasi yang biasanya di simpan secara rapat dan
rahasia Ketika berhadapan dan berinteraksi secara apa itu yang disebuttatap muka
tanpa menampakkan fisik langsung face to face. Kerentanan seperti ini yang membuat
banyak nya anak berada di posisi baik mereka menjadi korban dari cyberbullying
ataupun pelaku yang aktif dari kasus cyberbullying itu sendiri. (Lenhart, 2010, hal. 32).

Bagi Sebagian orang isu-isu terkait cyberbullying masih dianggap sebuah hal
yang tidak penting dan besar layaknya perdagangan manusia, terorisme, dan hal-hal
besar lainnya. Tetapi suatu hal yang pasti cyberbullying merupakan suatu masalah yang
telah mendunia dan bisa terjadi kapan saja dimana saja dan kepada siapa saja, serta
berbasis teknologi. Jika kita melihat secara mendalam dalam paradigma kejahatan
transnasional, aspek global tidak cukup untuik membuat suatu isu bisa dikatakan
sebagai sebuah kejahatan transnasonal. Dalam mengidentifikasi sebuah fenomena
kejahatan sebagai sebuah kejahatan transnasional UN Crime Prevention and Criminal
Justice Branch memiliki pendapat bahwasannya Tindakan kejahatan tersebut harus bisa
melewati suatu batas internasional, dapat melawan hukum-hukum di beberapa negara
dan memiliki dampak kepada negara-negara lainnya (Abadinsky, 2010, hal. 2). Secara
inti atau esensialnya, kejahatan bisa disebut transnasional apabila kejahatan tersebut
merupakan kejahatan yang melewati batas nasional atau batas suatu negara.

Sebagai suatu permasalahan yang sudah menjadi global, cyberbullying secara


langsung telah melanggar hukum di negara-negara sebagai kejahatan di dunia
cybercrime atau siber. Cybercrime mempunyai tiga tahapan klasifikasi yang telah
diresume atau dirangkum oleh US Department if Justice yakni sebagai berikut ini: 1.
komputer atau jaringan komputer di jadikan target dari aktifitas criminal kejahatan.
Misalnya (malware, penyerangan DoS, dan hacking, 2. Komputer dijadikan alat untuk
melakukan sebuah penyerangan kejahatan. Misalnya (stalking, cyberbullying, fraud,
kejahatan hak izin, dan pornografi), 3. Komputer adalah aspek incidental kejahatan di
mana kejahatan ini bisa membantu dijadikan bukti adanya kejahatanh (Clough, 2010,
hal. 10).

Poin tersebut dapat di jadikan bukti bahwa cyberbullying itu salah satu kejahatan
yang berada pada dunia siber, yang mana ada korban dan pelaku dari peristiwa

13
tersebut. cybercrime ini telah menjadi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional
yang telah timbul di era globalisasi. Fifat ini merupakan alami yang kompleks oleh
kejahatan ini telah membuat tanpa adanya batas tertentu. Pelaku dan korban dapat juga
berada di wilayah ataupun lokasi yang berbeda atau jauh, tapi dampak yang dihadapi
oleh korban berasal dari masyarakat yang ada di seluruh dunia atau negara-negara,
dikarenakan sifat teknologi sendri yang universal (United Nations Office on Drugs and
Crime, 2014).

Di Indonesia yang biasa di kenal zamrud khatulistiwa, melihat akar atau inti dari
permasalahan cyberbullying yang terjadi saat ini, kita harus melihat berbagai macam
faktor salah satunya adalah mudahnya akses terhadap teknologi dan maraknya
pengguna teknologi. Berkurangnya secara intens pertemuan secara tatap muka atau
secara langsung serta perkembangan teknologi seperti halnya komputer, gadget dan
perangkat-perangkat mobile lainnya mempengaruhi dalam meningktanya penggunaan
network seperti Facebook, Twiitter, Instagram, dan berbagain macam plat form macam
media social lainnya. Media social menyediakan masyarakat lingkungan baru untuk
menyalahgunakan penggtunaan teknologi dan membully dengan akun-akun anonim
yang dapat di lakukan di manapun dan kapanpun (Manuel, 2011, hal. 219).

Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang sama-sama tidak bisa kita
pungkiri terkena secara signifikasn dampak dari globalisasi, hal ini juga berdampak
kepada anak-anak yang lahir di Indonesia yang telah memasuki dunia online tanpa
mengetahui resiko dan dampak buruk serta konsekuensi dari hal ini. Ini merupakan
temuan yang berdasarkan dari hasil studi yang di lakukan oleh UNICEF yang berjudul
“Penggunaan Internet di Kalangan anak-anak dan Remaja di Indonesia”. Berdasarkan
temuan ini sekitar 80% ataun mayoritas anak-anak yang menggunakan internet mereka
pergi untuk online setiap harinya setidaknya seminggu sekali. Hamper 9 dari 10 anak
yaitu 89% melakukan komunikasi secara online dengan teman-teman sepantaran
mereka. Sementara kelompok-kelompok yang lebih kecil juga melakukan interaksi
kepada kerabat-kerabat dan keluarga mereka (56%) atau berinteraksi dengan para
guru mereka secara online melalui internet (35%). Dalam hal ini yang di khawatirkan
adalah presentase yang relatif amat tinggi menjadi korban cyberbullying terhadap anak-
anak. Hanya 42% responden yang secara sadar menyadari resiko akan di tindas atau
mendapatikan cyberbullying secara online, dan diantara mereka terdapat 13% anak-

14
anak yang telah menjadi korban cyberbullying dalam kurun waktu 3 bulan terus
menerus. Salah satu contoh yang diberikan oleh reswponden adalah bullying dalam
panggilan nama yang dipermainkan pekerjaan orang tua, penampilan fisik, dan lain
sebagainya. Kurangnya kesadaran dalam pengupayaan dan masih tingginya sifat acuh
tak acuh kepada cyberbullying dan bahayanya yang membuat kerentanan anak-anak di
Indonesia mendapatkan cyberbullying oleh para pengguna internet. (UNICEF Indonesia,
2014, hal. 1-49).

Perilaku atau Tindakan cyberbullying serta permusuhan di kalangan anak-anak


atau remaja merupakan isu yang sudah cukup lama bergulir untuk dibahas serta
meresap di dalam tubuh masyarakat. cyberbullying sejatinya adalah produk dari agresi
dan kenakalan anak-anak dan juga komunikasi elektronik dan perkembangan dari dua
hal yang memberikan fokus tersendiri. (Hinduja & Patchin, 2008, hal. 129-156).
Perilaku eksternalisasi merupakan salah satu sindikat yang di prediksikan menjadi
penyebab dari marak dan timbulnya stasus korban kejahatan cyberbullying.
Meningktakan kesadaran tentang bahaya dalam prmggunaan teknologi untuk
melakukian bullying dan identifikasi masalah-masalah yang potensial yang
berhubungan secara erat dengan cyberbullying dan viktimisasi akan memfasilitasi para
orang tua, para pendidik, dan juga para psikolog dalam bagaimana cara
mengembangkan strateggi, interfensi, dan pencegahan kepada cyberbullying. (Williams
& Guerra, 2007, hal. 14-15). Hadirnya media sosial dan situs mengenai jaringan sosial
menjadikan hal-hal yang berbahaya di bandingkan dengan melakukan postingan-
postingan informasi pribadi di internet atau dunia maya. Kerentanan ini dikatakan oleh
para akademisi yang telah meneliti dapat dibagi menjadi dua, yakni pasif dan aktif.
Aktifitas di berbagai macam media sosial menimbulkan perihal yang paling rentan
dalam pembuatan anak menjadi korban disbanding melakukan eksposur terhadap
informasi-informasi pribadi (Wolak, Finkelhor, Mitcjell, & Ybarra, 2008, hal. 118).

Pada tahun 2010 Calvete dan kawan melakukan penelitian, menurut mereka
cyberbullying secara signifikan berhubungan dengan adanya agresi yang pro-aktif,
pendekatan kekerasan, pembenaran kekerasan, dan kurangnya dukungan juga dari para
teman di sekitar lingkungan si korban. Alasan yang lain terjadi adanya cyberbullying ini
adalah prasangka buruk, rasa iri, dan tidak ada toleransi terhadap agama yang lain,
disabilitas, rasa bersalah, kebanggaan, rasa malu, gender, dan kemarahan. (Hoff &

15
Mitchell, 2009, hal. 652). Data dibawah ini telah menyediakan beberapa alasan
tambahan dari cyberbullying. Beberapa alasan ini bisa menjelaskan penggunaaan
cyberbullying terhadap mereka yang tidak akan menentang secara langsung dengan
tatap muka atau face to face.

Beberapa alasan mengapa melakukan cyberbullying yakni:

1. Terjadinya Rasa Bosan


2. Adanya Kecemburuan Sosial
3. Melakukan Perlindungan Diri Sendiri
4. Ingin Balas Dendam

Beberapa alasan tersebut sering terjadi pada kalangan anak-anak di sekolah


menengah. Anak-anak yang sering melakukan sosialisasi yang secara online mempunya
mkemungkinan yang sangat tinggi untuk terlibat dalam bentuk terkait cyberbullying.
(Mason, 2008, hal. 323). Terjadi banyaknya kasus di kalangan anak-anak dan remaqja
ini juga dikarenakan adanya anonimitas yang terjadi pada media sosial, seperti apa yang
di bahas diatas. Anonimitas ini mempunyai pengaruh untuk membuat peningkatan
impulsifitas yang telah terjadi pada anak-anak dan juga telah menjadi faktor yang
sangat berpengaruh pada cyberbullying. Mereka bertingkah laku tanpa berfikir
bagaimana dan apa yang akan terjadi terhadap dirinya sendiri nantinya dan dan juga
terhadap korbannya. Impulsifitas telah jadi salah satu hal yang penting dalam kasusu
terkait cyberbullying yang dilakukan secara cepat yang bertujuan membalas dendam
dalam masalah-masalah yang terjadi baik yang berada pada dunia maya maupun pada
dunia nyata.

Cyberbullying tersebut menjadi salah satu hal yang masih dijadikan pusat
perhatian selama ini, tetapi tidak banyak penilitian dan literatur yang fokus pada
dimensi gender itu sendiri. Dimensi gender sudah biasa dilakukan dan juga telah
menghasilkan suatu temuan bahwa perempuan lah yang lebih sering menjadi korban
cyberbullying dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini juga disebabkan oleh perilaku
eksternalisasi diri ataupun rendahnya akan kepercayaan diri yang dimiliki oleh si
korban cyberbullying tersebut. viktimisasi dan perempuan yang terjadi di dunia maya
atau internet menjadi salah satu fokus perhatian dari negara-negara yang ada di dunia,
apalagi beberapa negara yang sudah berbasis siber. Sebenarnya banyak alasan yang

16
embuat perempuan yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi saat melihat kasus
sosialisasi pada dunia siber. Tersediannya dan rentannya perempuan yang ada di dunia
siber serta beberapa informasi terkait pada perempuan tersebut. Terbukanya informasi
terkait perempuan pada dunia maya atau di media sosial, dan jejaring sosial, apalagi
pengguna pertama oleh jejaring sosial yang begitu lengkap telah memberikan
informasinya tanpa mengetahui adanya bahaya yang mereka akan dapatkan. Hal ini
juga nmemberikan kesempatan yang sangat besar kepada para pelaku untuk
melancarkan aksinya (Halder & Jaishanker, 2011. Hal. 311).

Gender harus diperhitungkan secara jelas agar menjadi elemen penting dalam
melihat cyberbullying, khususnya dalam situasi atau konteks aktifitas jaringan sosial di
antara anak-anak. Jika melihat bullying tradisional, terlepas dari cyberbullying secara
online di sekolah menegah, dilakukian oleh kaum laki-laki. Penelitian ini sudah banyak
silakukan dalam membahas terkait penindasan fisik yang menghasilkan bahwa anak
atau kaum laki-laki secara umum lebih kuat dan kasar, serta secara alami sangat rentan
untuk melakukan bentuk kekerasan. Hanya karena seorang individu yang lebih besar
ataupun lebih kuat debandingkan dengan individu yang lain, tidak berarti lebih
cenderung bisa menindas seseorang di lingkungan sekitarnya. Meskipun demikian,
beberapa sifat ini jika di kombinasikan dengan agresi, maka akan sering mengakibatkan
perilaku intimidasi pada fisik. Pelaku cyberbullying jika merupakan anak perempuan
biasanya melakukan Tindakan penindasan yang caranya lebih halus ataupun
perempuan biasanya lebih licik dalaam melakukan hal tersebut misalnya, menfitnah
atau menyebarkan rumor dan memanipulasi hubungan sosial, yang bisa menjelaskan
mengapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan lah yang bisa mendominasi
cyber bullying di kalangan anak-anak (III, Colt, & Meyer, 2009, hal. 27).

Tersedianya ruang di media sosial ini dibuat guna mengeksplorasi identitas


lelalui perilaku yang dapat diobservasi oleh orang lainnya. Eksplorasi diri oleh individu
ini dapat dilihat bagaiman seorang merespon sesuatu hal yang sudah terjadi di
masyarakat. salah satunya bagaimana media sosial tersebut telah menjadi salah satu
sarana suaoay membantu respon masyarakat patriarki. Sistem patriarki tersebut secara
umum telah menggambarkan dengan jelas dominasi para kaum lelaki yang memiliki
hubungan dengan dominasi kekuatan secara fisik atau badaniyah lelaki terhadap kaum
perempuan dan juga menekankan pada system bahwasannya kaum perempuan selalu

17
menjadi subordinisasi dalam berbagai cara (Sultana, 2011, hal. 7). Adanya praktek
system patriarki ini telah memberikan dampak yang sangat tidak dapat terduga
terhadap pelaku cyberbullying yang dilakukan pada anak-anak gadis atau perempuan.
Bersumber dari beberapa penelitian yang mengatakan bahwa pada esensinya banyak
dari pelaku cyberbullying yang merupakan anak perempuan melakukian Tindakan aksi
mereka sekedar hanya ingin melakukan sebuah upaya pembuktian bahwa mereka juga
dapat untuk mendominasi para kaum laki-laki, walaupun bukan hanya sekedar di dunia
nyata tetapi di dunia maya sekalipun ataupun media siber (Snell & Englander, 2010, hal.
8).

Penggunaan media sosial yang terkesan masif di bumi khatulistiwa telah


menggrogoti Batasan pelaku untuk menjalankan Tindakan pelaku tersebut yang pada
kali ini yaitu cyberbullying tersebut. Hal ini menimbulkan perhatian khusus disebabkan
sosial media yang pada saat ini telah banyak digunakan oleh kaum anak muda untuk
mengikuti trend yang telah ada. Seperti yang telah dikatakan di atas, pada dasarnya
para pelaku cyberbullying hanya memerlukan akses kepada perangkat lunak mereka
yang dimaksud adalah handphone ataupun computer dan juga keinginan untuk
menteror dan melakukian bullying kepada korbannya. Siapapun dapat melakukan
Tindakan cyberbullying dan pelaku tersebut biasanya memiliki ketakutan untuk
mengalami perkelahian atau pertentangan secara tatap muka atau face to face dengan
korbannya. Menurut fakta yang ada akun anonim yang melakukan cyberbullying dapat
menyebabkan anak yang secara normal tidak akan melakukan cyberbullying cenderung
untukn ingin menjadi pelaku cyberbullying secara akal sehat (Poland, 2010, hal. 45).
Pada tahun 2010 Snakenborg, Vancker dan juga Gable menyatakan bahwasannya
kejahatan cyberbullying adalah kejahatan yang sangat special yang mana tersembunyi
daqn juga membahayakan, karena hal ini mampu mengukur anominitas serta
kesempatan untuk meraup korbgan lebih banyak tanpa adanya bahaya penghukuman
yang cukup jelas. Pernyataan seperti ini juga didukung oleh Reece pada tahun 2012
yang mendukung Snakenborg bahwa anonimitas dari internet memberikan efek untuk
mempermudah mengatakan dan berbuat sesuatu yang pada aslinya tidak dapat
dilakukian di dunia nyata. Siapapun bisa saja menjadi pelaku di balik layer komputer
(Notar, Roden, & Padgett, 2013, hal. 5-6).

18
Seperti halnya tradisional bullying baik itu pihak laki-laki ataupun kaum
perempuan sekalipun dapat menjadi pelaku cyberbullying, tetapi yang menjadi
pembeda adalah mereka melakukan dengan cara yang berbeda. Anak remaja pada kaum
laki-laki cenderung mengirimkan pesan-pesan dengan gertakan sexting atau pesan yang
bersifat seksual, dan juga pesan yang mengancam kerusakan secara fisik, semesntara itu
pada anak perempuan atau remaja perempuan mereka cenderung melakukan
cyberbullying dengan cara yang cukup berbeda yakni dengan menyebarkan berita-
berita yang berbau kebohongan serta rumor, mengekspost rahasia atau mengecualikan
orang lain dari email atau daftar teman mereka atau komunikasi elektronik lainnya,
seperti Whatsap atau Close Friend Instagram. Dikarenakan mudahnya dalam
melakukian cyberbullying seorang anak atau remaja dengan mudah pula mengubah
peran atau pergi dari korban satu ke korban cyberbullying yang lainnya, dan kemudian
Kembali lagi suatu saat (Donegan, 2012, hal. 34). Sebagaimana cyberbullying yang
dilakukian terhadap kaum perempuan yang mana kebanyakan berhubungan dengan
hal-hal yang berbau seksual menciptakan suatu keunikan dalam pembahasan terkait
masalah-masalah dalam cyberbullying.

Wadah yang disediakan oleh para penyedia jasa berbagai macam layanan media
sosial memberikan kesempatan baru dalam mengekspresikan dirinya, kemampuan
untuk bersosialisasi, saling menerlibatkan berbagai macam komunitas serta kreatifitas
dan juga berbagai macam metode literasi yang baru. Para peneliti yang melakukan
penelitian secara kritis memiliki pendapat bahwasannya konten yang bersifat kreatif
dari anak muda dapat menentang berbagai macam dominasi tradisional konsumen oleh
pihak produsen dan juga memberikan suatu fasilitas budaya kepada kelompok yang
inofatis diantara anak-anak muda secara local maupun global. (Livingstone, 2008, hal.
395). Hal-hal yang menimbulkan yang bergulir di platform media memperkokoh
kecemasan pada tubuh publik terkait jejaring sosial. Generasi My Space menamakan diri
mereka karena mereka menyarankan untuk tidak memiliki rasa privasi dan malu, dalam
hal ini terdapat suatu keunikan yang cukup unik yang pernah dirasakan sehingga
menjadi kepalaq berita atau headline, dimana dalam berita tersebut menyatakan
sebuah kejutan yang ada pada generasi sekarang yang mana mereka saat ini
menemukan kebebasan secara online: para anak-anak yang telah memasuki dunia
internet siap untuk menunjukkan badan dan juga jiwa mereka yang mana para orang
tua mereka sendiri tidak pernah mengijinkan. Dan yang lain mengaku: ‘para anak-anak

19
sekarang mereka sudah tidak lagi memiliki rasa maupun sifat malu. Mereka juga tidak
memiliki rasa privasi.’ Selain hal itu, ada platform jejaring sosial yang merupakan suatu
tempat yang memiliki sifat narsistik: ‘My Space adalah tentang aku, aku, aku, dan
lihatlah saya dan lihatlah saya’.

Budaya patriarki tidak terlepas dari nadanya isu ini di mana banyak dari
penelitian kaum feminis yang telah meneliti dari jangkauan budaya system patriarki
dan dampak pada baik secara verbal ataupun tertulis, yang mana Bahasa ini mendikte
realitas serta menghasilkan subjek (Butler, 2005, hal. 40). Jika Bahasa adalah digunakan
untuk mengklarifikasi dunia ataupun manipulasi realitas, ini akan menjustifikasika
adanya oatriarki yang di dunia maya atau siber, dimana gender, kelas, ras, ataupun
subjek seksual dikontruksikan atau dihasilkan terhadap sarana yang sifatnya abstrak.
Berbeda dengan lingklungan sosial, dimana Bahasa dapat mengandalkan isyarat tubuh
lainnya ataupun kontak langsung secara.tatap.muka.atau.face.to.face, di medial sosiaal
atau dunia maya Bahasa menjadi satu-satunya cara untuk membentuk realitas. Media
sosialm atau dunia maya mengurangi sangat segnifikan Bahasa secara interpersonal
melalui komunikasi dengan tatap muka secara face to face atau langsung. Berbeda
seperti nvideo chatting, Bahasa tulisan tanpa diragukan lagi sebagai media komunikasi
secara online yang sangat mudah untuk dimanipulasikan, sehingga membuat sebagai
satu hal yang sangat diandalkan di nmedia sosial atau ndunia maya. Bahasa tersebut
bisa membentuk masyarakat baru ndan budaya yang baru.

Hal seperti itu tidak terlepas dari adanya masalah yang terdapat di dalam dunia
maya, yang mana anak perempuan sedang mengalami relasi yang diopresi oleh kaum
laki-laki. Opresi ini juga tidak lepas dari adanya akar masalah yakni masyarakat
patriarkis. Secara nyata anak perempuan tidak dapat mengakses kekuatan yang dapat
diperoleh oleh kaum laki-laki guna mendoiminasi perempuan dengan adanya kekuatan
otoritas yang ada (Sultana, 2011, hal. 7). Akibat dari adanya dominasi tersebut gerakan
perempuan yang ada di dunia nyata akan semakin sempit dan dibatasi karena adanya
permasalahan ini. Oleh karena itu, dunia siber atau dunia maya dan dunia sosial
menjadi suatu wadah lyang sanagt tepat gunha mendobrak permasalahan tersebut.

Cyberbullying telah menjadi salah satu isu yang biasa terjadi dalam masyarakat,
tapi tidak banyak yang tahu secara jelas terkait ap aitu cyberbullying, penanganannya
dan seriusnya dampak yang diberikan. Banyak beberapa dari statistic telah menyatakan

20
bahwa anak-anak sangat lah rentan sebagai korban cyberbullying ini. Kerentanan
tersdebut belum banyak yang menyadari bahkan oleh masyarakat, karena tidak terlihat
Ketika korban mengalami viktimisasi dan kurangnya pemahaman juga terhadap
masyarakat terkait isu ini. Sejalan dengan hal itu, Ketika berbicara terkait literatur,
penelitian terkait cyberbullying memang sudah banyak dilakukan oleh banyak
akademisi, terkhusus para akademisi yang dating atau nberasal dari luar Indonesia atau
luar negeri. Tetapai sayangnya, penelitian terkait isu cyberbullying tersebut, yang telah
menggunakan perspektif gender itu sendiri tidak banyak dilakukan. Penggunaan
perspektif ini tidak hanya semata-semata sekedar pemaparan data banyaknya si korban
dan si pelaku dari cyberbullying, tapi bagaimana beberapa teori yang membahas terkait
gender teori feminisme bisa mengkaji secara mendalam terkait isu cyberbullying
tersebut.

Upaya Perlindungan Hukum

Banyak beberapa dari statistic telah menyatakan bahwa anak-anak sangat lah
rentan sebagai korban cyberbullying ini. Kerentanan tersdebut belum banyak yang
menyadari bahkan oleh masyarakat, karena tidak terlihat Ketika korban mengalami
viktimisasi dan kurangnya pemahaman juga terhadap masyarakat terkait isu ini. Sejalan
dengan hal itu, Ketika berbicara terkait literatur, penelitian terkait cyberbullying
memang sudah banyak dilakukan oleh banyak akademisi, terkhusus para akademisi
yang dating atau nberasal dari luar Indonesia atau luar negeri. Tetapai sayangnya,
penelitian terkait isu cyberbullying tersebut, yang telah menggunakan perspektif gender
itu sendiri tidak banyak dilakukan.

Penggunaan perspektif ini tidak hanya semata-semata sekedar pemaparan data


banyaknya si korban dan si pelaku dari cyberbullying, tapi bagaimana beberapa teori
yang membahas terkait gender teori feminisme bisa mengkaji secara mendalam terkait
isu cyberbullying tersebut.

Jika Bahasa adalah digunakan untuk mengklarifikasi dunia ataupun manipulasi


realitas, ini akan menjustifikasika adanya oatriarki yang di dunia maya atau siber,
dimana gender, kelas, ras, ataupun subjek seksual dikontruksikan atau dihasilkan
terhadap sarana yang sifatnya abstrak. Berbeda dengan lingklungan sosial, dimana
Bahasa dapat mengandalkan isyarat tubuh lainnya ataupun kontak langsung secara

21
tatap muka atau face to face, di medial sosiaal atau dunia maya Bahasa menjadi satu-
satunya cara untuk membentuk realitas. Media sosialm atau dunia maya mengurangi
sangat segnifikan Bahasa secara interpersonal melalui komunikasi dengan tatap muka
secara face to face atau langsung. Berbeda seperti nvideo chatting, Bahasa tulisan tanpa
diragukan lagi sebagai media komunikasi secara online yang sangat mudah untuk
dimanipulasikan, sehingga membuat sebagai satu hal yang sangat diandalkan.

Penanganan Korban Kekerasan

Segala bentuk upaya dan respon untuk penanganan yang langsung di berikan
terhadap perempuan korban kekerasan dari pihak lain itulah yang dimaksud dengan
layanan. Dengan demikian layanan sesungguhnya adalah merupakan suatu kegiatan
ataupun rangkaian kegiatan dengan tujuan membantu perempuan dan anak korban
kekerasan guna mampu mengatasi permasalahan yang telah muncul sebagai dampak
kekerasan yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2001).

Ada beberapa organisasi yang menyediakan layanan crisis center tidak berhenti
pada layanan yang telah diuraikan, apa juga diantara mereka menyediakan shalter atau
rumah aman. Yakni sebuah tempat sifatnya dirahasiakan, digunakan menampung untuk
sementara waktu para korban dan anak-anaknya selama proses kasusnya ditangani,
kemudian apabila korban dan anaknya merasakan ketidak nyamanan atau tidak aman
lagi tinggal di tempat tersebut. Ada beberapa layanan yang dilakukan oleh organisasi
atau individu di komunitas secara langsung. Komunitas ini sangat mengedepankan
pemberdayaan kekuatan yang lokal dalam masyarakat itu sendiri. Layanan yang
berbasis rumah sakit yakni melakukan layanan bagi korban kekerasan dalam hal fisik
yaitu penyembuhan dan perawatan luka yang telah disebabkan oleh Tindakan
kekerasan perbuatan visum et repertumyang bisa dijadikan bukti di depan pengadilan.
Layanan yang telah dilakukan oleh negara salah satunya adalah yang diberikan oleh
kepolisian. (Hayati E N, 2001).

Tentang standar pelayanan minimal (SPM) kekerasan terhadap perempuan dan


anak (KtPA). Ini dianggap sebagai kebijakan paying yang bertujuan untuk layanan
perlindungan korban kekerasan. SMP juga mempunyai mandat untuk melakukan
beberapa jenis pelayanan dasar terhadao korban yakni: pelayanan Kesehatan,
pelayanan pengaduan, pelayanan rehabilitasi sosial, bantuan hukum, dan pelayanan

22
penegakan, serta reintegrasi sosial dan pelayanan pemulangan. Dengan demikian
halnya Lembaga layanan yang telah dibentuk oleh pemerintah ataupun non perintah,
tidak ada perlakuan pembedaan ataupun kekhususan pelayanan terhadap korbgan
perempuan dan anak saja (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia, 2002).

Jika Bahasa adalah digunakan untuk mengklarifikasi dunia ataupun manipulasi


realitas, ini akan menjustifikasika adanya oatriarki yang di dunia maya atau siber,
dimana gender, kelas, ras, ataupun subjek seksual dikontruksikan atau dihasilkan
terhadap sarana yang sifatnya abstrak. Berbeda dengan lingklungan sosial, dimana
Bahasa dapat mengandalkan isyarat tubuh lainnya ataupun kontak langsung secara
tatap muka atau face to face, di medial sosiaal atau dunia maya Bahasa menjadi satu-
satunya cara untuk membentuk realitas. Media sosialm atau dunia maya mengurangi
sangat segnifikan Bahasa secara interpersonal melalui komunikasi dengan tatap muka
secara face to face atau langsung. Berbeda seperti nvideo chatting, Bahasa tulisan tanpa
diragukan lagi sebagai media komunikasi secara online yang sangat mudah untuk
dimanipulasikan, sehingga membuat sebagai satu hal yang sangat diandalkan

Kesimpulan

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pastinya berkembang dengan pesat secara
terus-menerus juga akan memberikan efek peningkatan terhadap kasus tersebut.
Cyberbullying juga telah menjadi fokus perhatian masyarakat dan para akademisi,
karena dampak negatif yang telah diberikan oleh tindakan ini sangat lah besar, hal ini
juga dikarenakan Ketika berbicara terkait bullying tradisional. Dalam bullying
tradisional korban masih disediakan kesempatan untuk mlawan para pelaku bullying
tersebut secara langsung dan mengambil pengukuran sendiri untuk bisa mengalahkan
pelaku bullying tersebut. hal semacam ini jauh berbeda dengan cyberbullying, pada
cyberbullying korban tidak di berikan kesempatan yang sama untuk menentang dan
melawan para pelaku secara tatap muka atau face to face, karena para pelaku nsejatinya
bersembunyi di bawah anominitas yang di sediakan oleh media sosial,

Cyberbullying telah menjadi salah satu isu yang sangat memusatkan perhatian
yang seribng terjadi di dalam masyarakat tetapi tidak banyak yang mengetahui dengan
jelas terkait apa yang di maksud dengan Cyberbullying. Ilmu pengetahuan dan teknologi

23
yang pastinya berkembang dengan pesat secara terus-menerus juga akan memberikan
efek peningkatan terhadap kasus cyberbullying. Mempublikasikan keadaan orang lain
secara online merupakan suatu hal yang memberikan efek yang sangat berbahaya,
karena mengijinkan orang lain dapat mengetahuin berbagai macam informasi yang
biasanya di simpan secara rapat dan rahasia Ketika berhadapan dan berinteraksi secara
tatap muka atau face to face. Kerentanan seperti ini yang membuat banyak nya anak
berada di posisi baik mereka menjadi korban dari cyberbullying ataupun pelaku yang
aktif dari kasus cyberbullying itu sendiri. (Lenhart, 2010, hal. 32).

Sejalan dengan hal itu, Ketika berbicara terkait literatur, penelitian terkait
cyberbullying memang sudah banyak dilakukan oleh banyak akademisi, terkhusus para
akademisi yang dating atau nberasal dari luar Indonesia atau luar negeri. Tetapai
sayangnya, penelitian terkait isu cyberbullying tersebut, yang telah menggunakan
perspektif gender itu sendiri tidak banyak dilakukan. Penggunaan perspektif ini tidak
hanya semata-semata sekedar pemaparan data banyaknya si korban dan si pelaku dari
cyberbullying, tapi bagaimana beberapa teori yang membahas terkait gender teori
feminisme bisa mengkaji secara mendalam terkait isu cyberbullying tersebut.

Daftar Pustaka

Butler, J. (2005). Excitable Speech: A Politics of the Performative (p. 34). New York, USA:
Routledge.

Chairah, D. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban


Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Sidoarjo. Al-Jinayah: Jurnal
Hukum Pidana Islam, 5 (1), 155-175.

Donegan, R. (2012). Bullying and Cyberbullying: History, Statistics, Las, Prevention and
Analysis. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications, 3 (1),
34.

Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2008). Cyberbullying: An exploratory analysis of faktors


related to offending and victimization. Deviant Behavior, 29, 129-156.

Hoff, D. L., & Mitchell, S. N. (2009). Cyberbullying: causes, effects, and remedies. Journal
of Educational Administration, 47 (5), 652-665.

24
III, S. C., Colt, J. P., & Meyer, N. B. (2009). Cyber bullying: protecting kids and adults from
online bullies (p. 27). USA: Praeger Publishers.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Lenhart, A. (2010). Teens, cell phones, and texting. Dipetik October 20, 2015, dari Pew
Internet & American Life Project: http://pewresearch.org/pubs/1572/teens-
cellphones-text-messag

Livingstone, S. (2008). Taking risky opportunities in youthful content creation:


teenagers' use of social networking sites for intimacy, privacy and self-
expression. LSE Research Online, 10 (3), 393-411.

Manuel, N. R. (2011). Cyber-bullying: Its recent emergence and needed legislation to


protect adolescent victims. Loyola Journal of Public Interest Law, 13 (1), 219-
252.

Muhlishotin, M. N. (2017). Cyberbullying Perpektif Hukum Pidana Islam. Al-Jinayah:


Jurnal Hukum Pidana Islam, 3 (2), 370-402.

Muwahid. (2019). Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di


Kota Surabaya. Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, 5 (2), 338-360.

Notar, C. E., Roden, J., & Padgett, S. (2013). Cyberbullying: A Review of the Literature.
Universal Journal of Educational Research, 1 (1),

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhdap Wanita.

Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Negara


Tahum 2010 tentang Peghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

UNICEF. (2014). Digital Citizenship Safety among Children and Adolescents in


Indonesia. UNICEF. Jakarta: UNICEF dan KOMINFO.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional

25
Wolak, J., Finkelhor, D., Mitchell, K. J., & Ybarra, M. L. (2008). Online “Predators” and
Their Victims: Myths, Realities, and Implications for Prevention and Treatment.
American Psychologist, 63 (2), 11-128.

26

Anda mungkin juga menyukai